Anda di halaman 1dari 34

Kesemutan

1. Artritis Gout
a. Definisi
Penyakit artritis gout adalah salah satu penyakit inflamasi sendi yang
paling sering ditemukan, ditandai dengan penumpukan kristal monosodium
urat di dalam ataupun di sekitar persendian.
b. Etiologi
Menurut Naga (2012), penyakit gout dibagi menjadi dua, yaitu gout
primer dan gout sekunder
- Gout primer adalah gout yang disebabkan oleh faktor genetik. Kombinasi
faktor genetik dan hormonal diduga menjadi penyebab terganggunya
metabolisme. Akibatnya, produksi asam urat juga ikut meningkat. Gout
jenis ini juga dapat diakibatkan karena berkurangnya pengeluaran asam
urat dari tubuh. Namun pada penyakit gout primer ini, 99% penyebabnya
belum diketahui (idiopatik).
- Gout sekunder biasanya timbul karena adanya komplikasi dengan
penyakit lain (hipertensi). Obat diuretik yang diresepkan untuk hipertensi
menyebabkan buang air kecil lebih sering dan megurangi jumlah cairan
dalam tubuh. Cairan yang tersisa dalam tubuh akan lebih padat sehingga
menyebabkan peningkatan risiko terbentuknya kristal yang menyebabkan
gout. Obat antihipertensi tertentu juga meningkatkan kadar serum asam
urat sehingga dapat mengakibatkan gout. Penyebab lain gout sekunder
antara lain karena meningkatnya produksi asam urat akibat nutrisi, yaitu
mengonsumsi makanan dengan kadar purin tinggi. Faktor lingkungan juga
dapat berperan dalam timbulnya penyakit ini. Seseorang yang tinggal di
lingkungan yang sama dengan penderita penyakit tertentu lebih berisiko
untuk menderita penyakit yang serupa karena adanya kesamaan dalam
kebiasaan sehari-hari.
c. Factor Resiko
Berikut ini yang merupakan faktor resiko dari gout arthritis :
- Suku bangsa /ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensinya pada suku maori di
Australia. Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat tinggi
sekali sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi pada penduduk
pantai dan yang paling tinggi di daerah Papua.
- Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi.
Konsumsi ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam urat.
- Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia.
Misalnya Obesitas, diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi,
dislipidemia. Adipositas tinggi dan berat badan merupakan faktor resiko
yang kuat untuk gout pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan
adalah faktor pelindung.
- Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya
hiperurisemia. Misalnya Diuretik, antihipertensi, aspirin. Obat-obatan juga
mungkin untuk memperparah keadaan. Diuretik sering digunakan untuk
menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal
tersebut juga dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang
asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat
dalam darah dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh
pemakaian diuretik dapat "disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis.
Serangan gout juga bisa dipicu oleh kondisi seperti cedera dan infeksi.hal
tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat. Hipertensi dan
penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen
untuk gout. Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu:
dosis rendah menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar
asam urat, sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.
- Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan
perempuan pada semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin
laki-laki dan perempuan sama pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi
Ujian Nasional Survey III, perbandingan laki-laki dengan perempuan
secara keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam populasi managed
care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan
perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65
tahun, dan 3:1 pada mereka lima puluh enam persen lebih dari 65 tahun.
Pada pasien perempuan yang lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi
datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan proporsi dapat melebihi
50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun.
- Diet tinggi purin
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan
bagian dari kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan
makanan dengan purin tinggi
d. Klasifikasi
Gout arthritis, meliputi 3 stadium:
1) Gout Arthritis Stadium Akut
Radang sendi timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur
tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang hebat
dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan
utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering
pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit
berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut,
dan siku. Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal,
diet tinggi purin, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian obat
diuretik dan lain-lain.
TFP (Task Force Panel) merekomendasikan penatalaksanaan awal
arthritis gout pada stadium akut yaitu dengan farmakoterapi dalam 24 jam
pertama serangan. Pilihan regimen terapi merekomendasikan pemberian
monoterapi sebagai terapi awal antara lain NSAIDs, kortikosteroid oral
atau kolkisin oral. Kombinasi terapi diberikan berdasarkan tingkat
keparahan sakitnya, jumlah sendi yang terserang atau keterlibatan 1-2
sendi besar.
Allopurinol tidak diberikan saat serangan akut arthritis gout. Namun,
jika pasien telah mendapatkan allopurinol secara regular ketika serangan
akut muncul, sebaiknya dilanjutkan dalam dosis yang sama.13 Untuk
pasien yang perlu memulai allopurinol, tunggu setindaknya 2 minggu
sampai serangan akut teratasi untuk memulai terapi.
2) Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode
interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak dapat ditemukan
tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat.
Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan masih terus berlanjut,
walaupun tanpa keluhan.
3) Stadium Gout Arthritis Kronik
Stadium ini umumnya terdapat pada pasien yang mampu mengobati
dirinya sendiri (self medication). Sehingga dalam waktu lama tidak mau
berobat secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai
tofi yang banyak dan poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh
dengan obat, kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi
yang paling sering pada aurikula, MTP-1, olekranon, tendon achilles dan
distal digiti. Tofi sendiri tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi
inflamasi disekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada
sendi serta dapat menimbulkan deformitas. Pada stadium ini kadang-
kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.
Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi,
pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan
dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. 1 Tujuan
terapi meliputi terminasi serangan akut; mencegah serangan di masa
depan; mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cepat dan aman;
mencegah komplikasi seperti terbentuknya tofi, batu ginjal, dan arthropati
destruktif. Pengelolaan gout sebagian bertolakan karena adanya
komorbiditas; kesulitan dalam mencapai kepatuhan terutama jika
perubahan gaya hidup diindikasikan; efektivitas dan keamanan terapi
dapat bervariasi dari pasien ke pasien. Namun, dengan intervensi awal,
pemantauan yang cermat, dan pendidikan pasien, prognosisnya baik.
e. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria
dewasa kurang dari 7 mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila
konsentrasi asam urat dalam serum lebih besar dari 7 mg/dl dapat
menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Serangan gout
tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan secara
mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat mengendap
dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan dengan terjadinya
serangan gout. Dengan adanya serangan yang berulang – ulang, penumpukan
kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan mengendap dibagian
perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga. Akibat penumpukan
Nefrolitiasis urat (batu ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal
monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada
beberapa pasien gout atau dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat
ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan patella yang sebelumnya tidak
pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout dapat timbul pada
keadaan asimptomatik. Terdapat peranan temperatur, pH, dan kelarutan urat
untuk timbul serangan gout. Menurunnya kelarutan sodium urat pada
temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa kristal monosodium urat diendapkan pada kedua
tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristalmonosodium urat pada
metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang
berulang-ulang pada daerah tersebut.

f. Penegakan Diagnosis
- Anamnesis
Tanda dan Gejala
Menurut Soekanto (2012), tanda dan gejala yang biasa dialami oleh
penderita penyakit arthritis gout adalah:
1) Kesemutan dan linu
2) Nyeri terutama pada malam atau pagi hari saat bangun tidur
3) Sendi yang terkena arthritis gout terlihat bengkak, kemerahan, panas,
dan nyeri luar biasa.

Menurut Junaidi (2013), tanda dan gejala arthritis gout yaitu:


1) Menyerang satu sendi dan berlangsung selama beberapa hari,
gejalanya menghilang secara bertahap dimana sendi kembali berfungsi
dan tidak muncul gejala hingga terjadi serangan berikutnya
2) Urutan sendi yang terkena serangan gout berulang adalah ibu jari kaki
(padogra), sendi tarsal kaki, pergelangan kaki, sendi kaki belakang,
pergelangan tangan, lutut, dan bursa elekranon pada siku
3) Nyeri hebat dan akan merasakan nyeri pada tengah malam mejelang
pagi
4) Sendi yang terserang gout akan membengkak dan kulit biasanya akan
berwarna merah atau kekuningan, serta terasa hangat dan nyeri saat
digerakkan serta muncul benjolan pada sendi (tofus). Jika sudah agak
lama (hari kelima), kulit di atasnya akan berwarna merah kusam dan
terkelupas (deskuamasi). Gejala lainnya adalah muncul tofus di helix
telinga/pinggir sendi/tendon. Menyentuh kulit di atas sendi yang
terserang gout bisa memicu rasa nyeri yang luar biasa. Rasa nyeri ini
akan berlangsung selama beberapa hari hingga sekitar satu minggu,
lalu menghilang
5) Gejala lain yaitu demam, menggigil, tidak enak badan, dan jantung
berdenyut dengan cepat.
- Pemeriksaan Fisik
Menurut Muttaqin (2010) pemeriksaan fisik dengan pendekatan per
sistem dimulai dari kepala ke ujung kaki dapat lebih mudah dilakukan
pada kondisi klinik. Pada pemeriksaan fisik diperlukan empat modalitas
dasar yang digunakan meliputi, inspeksi yaitu proses observasi. Perawat
menginspeksi bagian tubuh untuk mendeteksi karakteristik normal atau
tanda fisik yang dignifikan. Kedua yaitu palpasi, dalam melakukan palpasi
menggunakan kedua tangan untuk menyentuh bagian tubuh untuk
membuat suatu pengukuran sensitive terhadap tanda khusus fisik.
Keterampilan ini sering kali digunakan bersamaan dengan inspeksi.
Selama palpasi, pasien diusahakan dalam keadaan santai sehingga tidak
terjadi ketegangan otot yang dapat memengaruhi hasil pemeriksaan.
Selanjutnya yaitu perkusi, merupakan teknik pemeriksaan fisik dengan
melibatkan pengetukan tubuh dengan ujung-ujung jari guna mengevaluasi
ukuran, batasan dan konsistensi organ-organ tubuh yang bertujuan untuk
menemukan adanya cairan di dalam rongga tubuh. Keempat yaitu
auskultasi, teknik ini adalah teknik pemeriksaan fisik dengan
mendengarkan bunyi yang dihasilkan tubuh. Setelah pemeriksaan fisik
terdapat pemeriksaan tambahan mengenai pengukuran tinggi badan dan
berat badan untuk mengkaji tingkat kesehatan umum seseorang dan
pengukuran tandatanda vital (tekanan darah, suhu, respirasi, nadi).
- Diagnosis Banding
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik,
psoriasis, calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis
rematik. Untuk diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan
analisis cairan sendi dimana pada penderita artritis gout mengandung
monosodium urat yang negatif birefringent (refraktif ganda) yang juga
ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi) (Setter
dan Sonnet, 2005). Analisis cairan sinovial dan kultur sangat penting
untuk membedakan artritis septik dengan artritis gout. Artritis gout
cenderung tidak simetris dan faktor reumatoid negatif, sedangkan pada
artritis rematik cenderung terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus
memiliki faktor reumatoid positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada
penderita psoriasis dan adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan
artritis gout (Depkes, 2006).
- Pemeriksaan Penunjang
1) Serum asam urat Umumnya meningkat, diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan
ini mengindikasikanhiperuricemia, akibat peningkatan produksi asam
urat atau gangguan ekskresi. Kadar asam urat normal pada pria dan
perempuan berbeda. Kadar asamurat normal pada pria berkisar 3,5 – 7
mg/dl dan pada perempuan 2,6 – 6mg/dl. Kadar asam urat diatas
normal disebut hiperurisemia
2) Angka leukosit Menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai
20.000/mm3 selama serangan akut. Selama periode asimtomatik angka
leukosit masih dalam batasnormal yaitu 5000 - 10.000/mm3
3) Eusinofil Sedimen rate (ESR) Meningkat selama serangan akut.
Peningkatan kecepatan sedimen ratemengindikasikan proses inflamasi
akut, sebagai akibat deposit asam urat di persendian
4) Urin spesimen 24 jam Urin dikumpulkan dan diperiksa untuk
menentukan produksi dan ekskresidan asam urat. Jumlah normal
seorang mengekskresikan 250 - 750 mg/24 jamasam urat di dalam
urin.
g. Penatalaksanaan
- Non Farmakologi
Penatalaksaan artritis gout tidak hanya dapat diselesaikan secara
farmakologis, namun dapat juga dilakukan secar non farmakologis dengan
melakukan latihan fisik berupa latihan fisik aerobik dan latihan fisik
ringan. Risiko terjadinya gout lebih besar terjadi pada lelaki yang tidak
memiliki aktivitas fisik dan kardiorespiratori fitnes dibandingkan dengan
lelaki yang aktif secara fisik dan kardiorespiratori. Penelitian lain
menyebutkan bahwa serum asam urat dapat diturunkan dengan melakukan
olah raga rutin dan teratur, namun jika olah raga tersebut hanya dilakukan
secara intermiten justru akan meningkatkan kadar serum asam urat. Untuk
mencegah kekakuan dan nyeri sendi, dapat dilakukan latihan fisik ringan
berupa latihan isometrik, latihan gerak sendi dan latihan fleksibiltas yang
keseluruhan itu tercakup dalam stabilisasi sendi.
1) Konseling pasien bahwa dengan penatalaksanaan yang tepat maka
nyeri sendi yang dirasakan dapat berkurang dan komplikasi akibat
goutarthritis dapat dicegah.
2) Konseling pasien mengenai makanan yang dianjurkan berupa diet
rendah purin. Menginformasikan segala hal tentang penyakit
goutarthritis, serta aktifitas yang dianjurkan untuk pasien.
3) Konseling kepada anggota serumah tentang pentingnya memberi
dukungan pada pasien dan mengawasi pengobatan seperti diet pasien,
kapan harus kontrol kembali, dan latihan olahraga.
4) Konseling tentang rumah sehat.
- Farmakologi
Terapi pada gout biasanya dilakukan secara medik (menggunakan
obat-obatan). Medikamentosa pada gout termasuk:
1) Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINs)
OAINS dapat mengontrol inflamasi dan rasa sakit pada
penderita gout secara efektif. Efek samping yang sering terjadi karena
OAINS adalah iritasi pada sistem gastroinstestinal, ulserasi pada perut
dan usus, dan bahkan pendarahan pada usus. Penderita yang memiliki
riwayat menderita alergi terhadap aspirin atau polip tidak dianjurkan
menggunakan obat ini. Contoh dari OAINS adalah indometasin. Dosis
obat ini adalah 150- 200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-
100 mg/hari sampai minggu berikutnya.

2) Kolkisin
Kolkisin efektif digunakan pada gout akut, menghilangkan
nyeri dalam waktu 48 jam pada sebagian besar pasien. Kolkisin
mengontrol gout secara efektif dan mencegah fagositosis kristal urat
oleh neutrofil, tetapi seringkali membawa efek samping, seperti nausea
dan diare.
Dosis efektif kolkisin pada pasien dengan gout akut
berhubungan dengan penyebab keluhan gastrointestinal. Obat ini
biasanya diberikan secara oral pada awal dengan dosis 1 mg, diikuti
dengan 0,5 mg setiap dua jam atau dosis total 6,0 mg atau 8,0 mg telah
diberikan. Kebanyakan pasien, rasa sakit hilang 18 jam dan diare 24
jam; peradangan sendi reda secara bertahap pada 75-80% pasien dalam
waktu 48 jam. 10 Pemberian kolkisin dosis rendah dapat menurunkan
efek samping gastro-intestinal ataupun efek toksisitas dari kolkisin itu
sendiri. AGREE (Acute Gout Flare Receiving Kolkisine Evaluation)
membandingkan efektivitas pemberian kolkisin dalam dosis tinggi (4,8
mg dalam 6 jam) dan dalam dosis rendah (1,8 mg dalam 1 jam) dalam
sebuah studi acak. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kolkisin
dosis rendah lebih superior dalam hal efikasi maupun tingkat
keamanannya dibandingkan kolkisin dosis tinggi. Pemberian kolkisin
lebih dari 1,8 mg dalam 1 jam (AUC0 43.8 nanograms x jam/ml) akan
meningkatkan efek sampingnya tanpa meningkatkan efek klinisnya.
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya berbentuk pil atau dapat pula berupa
suntikan yang lansung disuntikkan ke sendi penderita. Efek samping
dari steroid antara lain penipisan tulang, susah menyembuhkan luka
dan juga penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Steroids
digunakan pada penderita gout yang tidak bisa menggunakan OAINS
maupun kolkisin. 1 Prednison 20-40 mg per hari diberikan selama tiga
sampai empat hari. Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama
1-2 minggu. ACTH diberikan sebagai injeksi intramuskular 40-80 IU,
dan beberapa dokter merekomendasikan dosis awal dengan 40 IU
setiap 6 sampai 12 jam untuk beberapa hari, jika diperlukan.
Seseorang dengan gout di satu atau dua sendi besar dapat mengambil
manfaat dari drainase sendi diikuti dengan injeksi intraartikular
dengan 10-40 mg triamsinolon atau 2-10 mg deksametason, kombinasi
dengan lidokain
- Profilaksis
Profilaksis dengan kolkisin mengurangi tingkat serangan akut
berulang, konsentrasi asam urat serum adalah normal. Dalam suatu
penelitian terhadap 540 pasien, kolkisin benar-benar efektif 82% dari
pasien, memuaskan 12% dari pasien, dan efektif hanya pada 6% pasien.
Meskipun diperlukan durasi profilaksis, belum ditetapkan kelanjutan
terapi untuk setidaknya satu tahun setelah konsentrasi urat serum telah
kembali ke normal. Myoneuropati kadangkadang dilaporkan selama
profilaksis dengan kolkisin pada pasien yang memiliki kreatinin clearence
50 ml per menit. Kolkisin yang dikombinasikan dengan probenesid telah
disetuji oleh FDA (Food and Drug Administration) sejak tahun 1982.
Gout dapat dicegah dengan mengurangi konsentrasi asam urat serum <
6,0 mg/dL. Penurunan kurang dari 5,0 mg/dL mungkin diperlukan untuk
resorpsi dari tofi. Terapi dengan obat yang menurunkan konsentrasi asam
urat serum harus dipertimbangkan, ketika semua kriteria sebagai berikut:
penyebab hiperurisemia tidak dapat dikoreksi atau, jika diperbaiki, tidak
menurunkan konsentrasi serum asam urat kurang dari 7,0 mg/dL; pasien
memiliki dua atau tiga serangan pasti gout atau memiliki tofi; dan pasien
dengan kebutuhan untuk minum obat secara teratur dan permanen. Dua
kelas obat yang tersedia: obat urikosurik (misalnya probenesid) dan
xanthine oxidase inhibitor (misalnya Allopurinol).
h. Komplikasi
Penderita gout minimal mengalami albuminuria sebagai akibat
gangguan fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan
hiperurisemia dan gout, yaitu2,15 :
- Nefropati urat
yaitu deposisi kristal urat pada interstitial medulla dan pyramid ginjal,
merupakan proses yang kronis, ditandai oleh adanya reaksi sel giant di
sekitarnya.
- Nefropati asam urat
yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah yang besar pada duktus
kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal ginjal akut.
Disebut juga sindrom lisis tumor dan sering didapatkan pada pasien
leukemia dan limfoma pascakemoterapi.
- Nefrolitiasis
yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25% dengan gout primer.
i. Prognosis
Dengan pengobatan dini, pemantauan yang ketat disertai pendidikan
terhadap penderita, prognosis umumnya baik.
Prognosis pada pasien ini dalam hal quo ad vitam: dubia ad bonam
dilihat dari kesehatan dan tanda-tanda vitalnya masih baik; quo ad
functionam: dubia ad bonam karena pasien masih bisa beraktivitas sehari-hari
secara mandiri; dan quo ad sanationam: dubia ad bonam karena pasien masih
bisa melakukan fungsi sosial kepada masyarakat sekitar.

Nyeri Punggung dan Kesemutan

2. Stenosis Spinal (Lumbar)


a. Definisi
Lumbar Spinal Stenosis di tulang belakang merupakan penyakit yang
terjadi karena adanya penyempitan kanal pada tulang yang mengelilingi saraf.
b. Etiologi
Beberapa kondisi yang mendasari terjadinya lumbar spinal canal stenosis
yaitu:
- Pertumbuhan berlebih pada tulang
- Ligamentum flavum hipertrofi
- Prolaps diskus

Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif tulang dan
pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko terjadinya stenosis
tulang belakang meningkat pada orang yang:

- Terlahir dengan kanal spinal yang sempit


- Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
- Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia)
- Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya.
c. Factor Resiko
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal
adalah struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet lamina, osteofit pada
corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet. Struktur jaringan
lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum penonjolan annulus atau
fragmen nukleus pulposus, penebalan kapsul sendi facet dansinovitis, dan
ganglion yang bersal dari sendi facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan
lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari
terjadinya lumbar spinal canal stenosis yaitu :
- Degenerasi diskus, merupakan tahap awal yang paling sering terjadi pada
proses degenerasi spinal, walaupun artritis pada sendi facet juga bisa
mencetuskan suatu keadaan patologis pada diskus. Pada usia 50 tahun
terjadi degenerasi diskus yang paling sering terjadi pada L4-L5, dan L5-
S1. Perubahan biokimia dan biomekanik membuat diskus memendek.
Penonjolan annulus, herniasi diskus, dan pembentukan dini osteofit bisa
diamati. Sequela dari perubahan ini meningkatkan stres biomekanik yang
ditransmisikan ke posterior yaitu ke sendi facet. Perubahan akibat arthritis
terutama instabilitas pada sendi facet. Sebagai akibat dari degenerasi
diskus, penyempitan ruang foraminal chepalocaudal, akar saraf bisa
terjebak, kemudian menghasilkan central stenosis maupun lateral stenosis.
- Instabilitas Segmental
Konfigurasi tripod pada spina dengan diskus, sendi facet dan ligamen
yang normal membuat segmen dapat melakukan gerakan rotasi dan
angulasi dengan halus dan simetris tanpa perubahan ruang dimensi pada
kanal dan foramen. facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas
segmental, biasanya pada pergerakan segmental yang abnormal misalnya
gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh
kolapsnya ruang diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang
anteromedial apsek dari prosesus articularis superior dan inferior akan
mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan flexi akan
membagi tekanan ke arah anterior. Degenerasi pergerakan segmen dengan
penyempitan ruang diskus menyebabkan pemendekan relatif pada kanal
lumbalis, dan penurunan volume ruang yang sesuai untuk cauda equina.
Pengurangan volume diperparah oleh penyempitan segmental yang
disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum flavum.
Pada kaskade degenerative kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi
kurang terakomodasi pada gerakan rotasi karena perubahan pada diskus
dan sendi facet sama halnya dengan penekanan saraf pada gerakan
berputar, kondisi ini bisa menimbulkan inflamasi pada elemen saraf cauda
equina kemudian mengahasilkan nyeri.
- Hiperekstensi segmental
Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan
otototot abdomen. Perubahan degeneratif pada annulus dan kelemahan
otot abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi
facet posterior merenggang secara kronis kemudian mengalami subluksasi
ke arah posterior sehingga menghasilkan nyeri pinggang
d. Klasifikasi
Putu Indah, dkk., (2016) menyebutkan bahwa kalsifikasi spinal canal
stenosis lumbar dibagi berdasarkan etiologi dan anatomi. Berdasarkan etiologi
lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi stenosis primer dan
sekunder.
- Stenosis Primer:
1) Defek kongenital dibagi menjadi:
a) Disrapismus spinalis;
b) Segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan;
c) Stenosis intermiten (d’Anquin syndrome).
2) Perkembangan
a) Kegagalan pertumbuhan tulang, seperti: Akondroplasia; Morculo
disease; Osteopetrosis; Eksostosis herediter multiple.
b) Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis.
- Stenosis Sekunder:
1) Degeneratif yaitu degeneratif spondilolistesis;
2) Iatrogenik yaitu post-laminektomi, post-artrodesis, postdisektomi;
3) Akibat kumpulan penyakit yaitu akromegali, paget diseases, fluorosis,
ankylosing spondylitis;
4) Post-fraktur;
5) Penyakit tulang sisitemik;
6) Tumor baik primer maupun sekunder.

Berdasarkan anatomi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi:

- Sentral stenosis,
Biasanya terjadi pada tingkat diskus sebagai hasil dari pertumbuhan
berlebih sendi facet terutama aspek inferior prosesus articularis vertebra
yang lebih ke cranial serta penebalan dan hipertrofi ligamentum falvum.
- Lateral stenosis
Lateral stenosis dapat mengenai daerah resesus lateralis dan foramen
intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang terjadi sebagai akibat dari
perubahan degeneratif sama halnya dengan central spinal stenosis,
mempengaruhi kanal akar saraf pada tingkat diskus dan aspek superior
pedikel.
- Foraminal stenosis
Foraminal stenosis paling sering terjadi di tingkat diskus, biasanya
dimulai dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis ini menjadi penting
secara klinis walaupun hanya melibatkan aspek superiornya saja pada
level intermediet, karena pada level ini akar saraf keluar dari bagian
lateral, sebelah inferior pedikel dimana dia bisa ditekan oleh material
diskus atau tulang yang mengalami hipertrofi yang membentuk osteofit
dari aspek inferior vertebra chepalis atau dari prosesus artikularis superior
vertebra caudalis.
- Ekstraforaminal stenosis

Kebanyakan karena akar saraf pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus,


prosesus transversus, atau articulatio sacroilliacal.

e. Patofisiologi
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,
kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen
tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat
ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik
dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran
cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada
berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan
pada segment tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut
berkurang, akibatnya nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan
kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada
annulus. Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus
tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan
level hidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus
mampu melawan beban tekan dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen
tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama, namun pada orang yang
memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat
jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil
dibanding pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai
keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus
berkaitan dengan proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di annulus.
Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga
menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang
terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk
jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.
f. Penegakan Diagnosis
- Anamnesisdan Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis biasanya muncul pada dekade ke-6 atau ke-7,
kebanyakan pasien mengeluh nyeri punggung (95%) selama satu tahun.
Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar hilang timbul,
kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai atau
kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah, memburuk dengan
berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbar, gejala tersebut membatasi
pasien untuk berjalan (neurogenik klaudikasi 94%, bilateral 69%).
Nyeri pada ektemitas bawah biasanya berkurang pada saat duduk,
berbaring, dan posisi fleksi lumbar. Bedanya gejala sentral stenosis
dengan lateral stenosis adalah, pada sentral stenosis, fleksi pergelangan
kaki dan lutut berkurang atau timbul nyeri, pada lateral stenosis pasien
masih bisa berjalan normal dan tidak nyeri hanya saja nyeri timbul pada
saat istirahat dan malam hari. Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda
tergantung pola dan distribusi stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan
satu akar saraf pada satu level. Misalnya akar saraf L5 pada level L4-L5,
atau beberapa akar saraf pada beberapa level dan sering tidak jelas tipenya
dan gejalanya kadang tidak sesuai dengan akar saraf yang terkena.
Walaupun nyerinya menyebar ke arah caudal namun tidak semua area
merasakan gejala seperti yang disebut di atas. Gejalanya bisa asimetris,
dan tidak konsisten, bervariasi setiap hari dan tidak sama dari sisi ke sisi.
Bisa kram, nyeri tumpul, dan paraestesia difus. Penemuan klinis yang
berkaitan dengan lumbal stenosis adalah gejala bertambah saat spina
ekstensi dan berkurang saat spina fleksi. Karena pada saat ektensi. kanalis
spinalis akan berkurang kapasitasnya. Gaya berjalan pasien dengan lumbar
stenosis cenderung stopped forward, mula- mula pasien bisa berjalan,
namun lama kelamaan timbul nyeri dan kelemahan, setelah istirahat
(duduk) pasien bisa berjalan kembali dengan kekuatan normal, namun
lama kelamaan timbul kelemahan lagi. Kekuatan otot pada tungkai bawah
akan menurun, gejala ini bisa saja spesifik bila ada keterlibatan akar saraf
pada lumbar dan sakral. Otot-otot yang dipengaruhi antara lain: gluteus
medius, hamstring (semimembraneus, semitendinous, bisep femoris),
gastrocnemius, dan soleus. Sensorisnya bisa berkurang pada tes pinprick
dan sentuhan ringan mengikuti pola dermatom, juga menunjukkan
ketrlibatan akar saraf, termasuk saddle anesthesia (kadang melibatkan
gland penis dan klitoris).
- Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosa stenosis lumbar harus didukung dengan beberapa
hasil dari pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menentukan stenosis lumbal menurut Putu Indah, dkk.,
(2016) yaitu sebagai berikut:
1) X-ray
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan
oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi,
menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet joint,
menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis,
spondilolisis, dan spondilolistesis.
2) CT Scan
CT Scan dinyatakan efektif untuk mengevaluasi tulang,
khususnya di aspek resesus lateralis. Selain itu dia bisa juga
membedakan mana diskus dan mana ligamentum flavum dari
kantongan tekal diskus lateralis yang mengarahkan kecurigaan kita
kepada lumbar stenosis, serta membedakan stenosis sekunder akibat
fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari L3 sampai sambungan
L5-S1. Namun derajat stenosis sering tidak bisa ditentukan karena
tidak bisa melihat jaringan lunak secara detail.
3) MRI
MRI merupakan pemeriksaan gold standart diagnosis lumbar
stenosis dan perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa
mengakses jumlah segmen yang terkena, serta mengevaluasi bila ada
tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa membedakan dengan baik
kondisi central stenosis dan lateral stenosis. Bisa mendefinisikan
flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas sendi facet, osteofit,
herniasi diskus atau protrusi. Ada atau tidaknya lemak epidural, dan
kompresi teka dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik. Potongan
sagital juga menyediakan porsi spina yang panjang untuk mencari
kemungkinan tumor metastase ke spinal. Kombinasi potongan axial
dan sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal dan neural
foramen. Namun untuk mengevaluasi resesus lateralis diperlukan
pemeriksaan tambahan myelografi lumbar dikombinasi dengan CT
scan tanpa kontras.
g. Penatalaksanaan
- Terapi Konservatif
1) Lumbar Corset-type
Korset dapat digunakan untuk mobilisasi, meskipun
manfaatnya kontroversial. Korset lumbosakral tidak memberikan
keuntungan jangka panjang. Korset dapat membatasi tekanan di
cakram dan mencegah gerakan ekstra di tulang belakang. Tetapi juga
dapat menyebabkan otot punggung dan perut melemah. Biasanya
pemakaian korset dianjurkan selama satu hingga dua minggu.
2) Obat anti-inflamasi
Karena rasa nyeri stenosis disebabkan oleh tekanan pada saraf
tulang belakang, mengurangi inflamasi (pembengkakan) di sekitar
saraf dapat meredakan nyeri. Nonsteroid antiinflammatory drugs
(NSAID) awalnya memberikan penghilang rasa sakit. Ketika
digunakan selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki efek anti
inflamasi.
3) Injeksi steroid
Kortison adalah anti inflamasi kuat. Suntikan kortison pada
sekitar saraf atau di "ruang epidural" bisa mengurangi pembengkakan
dan rasa sakit. Tetapi sebetulnya tidak dianjurkan untuk menerima ini,
karena pemberian yang lebih dari 3 kali per tahun. Suntikan ini lebih
cenderung untuk mengurangi rasa sakit dan mati rasa namun bukan
mengurangi kelemahan pada kaki.
4) Akupuntur
Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa sakit untuk
kasus-kasus yang kurang parah. Meskipun sangat aman, namun
kesuksesan pengobatan ini secara jangka panjang belum terbukti
secara ilmiah.
- Terapi Operatif
Terapi operatif dilakukan jika memiliki indikasi yaitu, gejala
neurologis yang bertambah berat, defisit neurologis yang progresif,
ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan menyebabkan
penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang gagal. Prosedur
yang paling standar dilakukan adalah laminektomi dekompresi. Tindakan
operasi bertujuan untuk dekompresi akar saraf dengan berbagai tekhnik
sehingga diharapkan bisa menangani stenosis lumbar. Standar
laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan ligamentum
flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan level
transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf
terperangkap harus didekompresi.
h. Komplikasi
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia
maka kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada
orang yang lebih muda, selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada
orang lanjut usia yang akan mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi.
Komplikasi dibagi menjadi empat grup, infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan
kematian. Kematian berkorelasi dengan usia dan penyakit komorbid.
Peningkatan resiko komplikasi yang berkaitan dengan fusi meliputi infeksi
luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli paru, kerusakan saraf.
Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada instrumen. Komplikasi
laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar, spondilolistesis
postoperative.
i. Prognosis
Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga,
pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca operasi.
Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang terkena
multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapat tanda defisit neurologis,
wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis.

3. Osteoporosis
a. Definisi
Secara harfiah kata osteo berarti tulang dan kata porosis berarti
berlubang atau dalam istilah populer adalah tulang keropos. Osteoporosis
merupakan kondisi tulang menjadi keropos, yang memiliki sifat yang khas
berupa berkurangnya massa tulang. Osteoporosis adalah penyakit tulang
sistemik. Fraktur osteoporosis dapat terjadi pada tiap tempat meskipun fraktur
yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang
(lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti
bahwa semua fraktur pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosis
disebabkan oleh kelainan ini.
b. Etiologi
Menurut etiologinya osteoporosis dapat dikelompokkan dalam
osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terjadi
akibat kekurangan massa tulang yang terjadi karena faktor usia secara alami.
Osteoporosis primer ini terdiri dari dua bagian:
- Tipe I (Post Menopausal)
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Ditandai
oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’fracture, dan berkurangnya
gigi geligi. Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat
tersebut, dimana jaringan trabekular lebih responsif terhadap defisiensi
estrogen.
- Tipe II (Senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur
panggul dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal
terbesar terjadi pada usia tersebut.
Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang
disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat
pemberian obat yang mempercepat pengeroposan tulang. Contoh penyebab
osteoporosis sekunder antara lain gagal ginjal kronis, hiperparatiroidisme
(hormon paratiroid yang meningkat), hipertirodisme (kelebihan horman
gondok), hipogonadisme (kekurangan horman seks), multiple mieloma,
malnutrisi, faktor genetik, dan obat-obatan.
c. Factor Resiko
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab atau faktor-faktor yang berisiko
terkena osteoporosis, antara lain:
- Riwayat Keluarga
Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita
osteoporosis. Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan
densitas tulang. Wanita yang mempunyai ibu pernah mengalami patah
tulang panggul, dalam usia tua akan dua kali lebih mudah terkena patah
tulang yang sama. Disamping itu keluarga juga berpengaruh dalam hal
kebiasaan makan dan aktifitas fisik.
- Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh
sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang
dapat terjadi pada usia 45 tahun. Pada wanita postmenopause kerapuhan
tulang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pembentukkan tulang.
- Usia
Kehilangan masa tulang meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Semakin bertambah usia, semakin besar risiko mengalami osteoporosis
karena tulang menjadi berkurang kekuatan dan kepadatannya.
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35
tahun. Patah tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan
pada laki-laki patah tulang baru meningkat pada usia >75 tahun.
Penyusutan massa tulang sampai 3-6% pertahun terjadi pada 5-10 tahun
pertama pascamenopause. Pada usia lanjut penyusutan terjadi sebanyak
1% per tahun. Namun, pada wanita yang memiliki faktor risiko
penyusutan dapat terjadi hingga 3% per tahun. Selain itu, pada usia lanjut
juga terjadi penurunan kadar 1,25 (OH)2D yang disebabkan oleh
kurangnya masukan vitamin D dalam diet, gangguan absorpsi vitamin D,
dan berkurangnya vitamin D dalam kulit.
- Aktifitas Fisik
Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi Ca yang tinggi dan
pembentukan tulang tidak maksimum. Namun aktifitas fisik yang terlalu
berat pada usia menjelang menopause justru dapat menyebabkan
penyusutan tulang. Kurang berolahraga juga dapat menghambat proses
pembentukan tulang sehingga kepadatan massa tulang akan berkurang.
Semakin banyak bergerak dan olah raga, maka otot akan memacu tulang
untuk membentuk massa.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akivitas fisik seperti
berjalan kaki pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan
menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. Hasil
penelitian Recker et.al dalam Groff dan Gropper (2000), membuktikan
bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan tulang
spinal. Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh
atau anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan
respon osteogenik dari estrogen.
- Status Gizi
Zat gizi dan gaya hidup juga mempengaruhi kondisi tulang, meskipun
hal ini mungkin lebih berhubungan dengan variabel luar seperti zat gizi
dan aktifitas fisik yang tidak teratur. Perawakan kurus cenderung memiliki
bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko terjadinya
kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif terjadi bila berat badan
meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat.
- Kebiasaan Konsumsi Asupan Kalsium
Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen
utama pembentuk tulang. Sebagai mineral terbanyak, berat Ca yang
terdapat pada kerangka tulang orang dewasa kurang lebih 1 kilogram.
Penyimpanan mineral dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone
Mass atau PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika
massa tulang tercapai dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari
terjadinya osteoporosis pada usia berikutnya. Pencapaian PBM menjadi
rendah jika individu kurang berolahraga, konsumsi Ca rendah, merokok,
dan minum alcohol.
Kalsium dan vitamin D dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang yang
kuat. Kalsium juga sangat penting untuk mengatur kerja jantung, otot, dan
fungsi saraf. Semakin bertambahnya usia, tubuh akan semakin berkurang
pula kemampuan menyerap kalsium dan zat gizi lain. Oleh karena itu, pria
dan wanita lanjut usia membutuhkan konsumsi kalsium yang lebih
banyak.
Konsumsi Ca yang dianjurkan National Osteoporosis Foundation
(NOF) adalah 1000 mg untuk usia 19-50 th dan 1200mg untuk usia 50th
keatas. Sumber - sumber kalsium terdapat pada susu, keju, mentega, es
krim, yoghurt dan lain – lain.
- Kebiasaan Merokok
Wanita yang mempunyai kebiasaan merokok sangat rentan terkena
osteoporosis karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan
tulang dan juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam
tubuh berkurang sehingga susunan sel tulang tidak kuat dalam
menghadapi proses pembentukan tulang.
- Penyakit Diabetes Mellitus Orang yang mengidap DM lebih mudah
mengalami osteoporosis. Pemakaian insulin merangsang pengambilan
asam amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukkan kolagen
tulang, akibatnya orang yang kekurangan insulin atau resistensi insulin
akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol gula yang buruk juga akan
memperberat metabolisme vitamin D dan osteoporosis.
d. Patofisiologi
Osteoporosis pasca menopause disebabkan karena adanya defisiensi
estrogen. Estrogen memegang peran yang sangat penting dalam metabolisme
tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk
menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut. Efek tak langsung
estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang
meliputi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25 (OH)2 vitamin D, eksresi
kalsium di ginjal dan sekresi hormon paratiroid. Setelah menopause, terjadi
penurunan produksi estrogen oleh ovarium, maka resorpsi tulang akan
meningkat, sehingga insiden fraktur meningkat. Estrogen berperan dalam
menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marraw stromal cells dan
sel-sel mononuklear seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL6) dan
tumor necrosis factor-alpha (TNF- α) yang berperan meningkatkan kerja
osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan
meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut, sehingga aktifitas osteoklas
meningkat.
Defisiensi estrogen juga menurunkan sekresi transforming growth
factor (TGF-α), yang merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan (growth
factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat
lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Jika hal ini erus
berlangsung, maka osteoporosis akan terjadi dan risiko fraktur meningkat.
Asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi
dan paparan sinar matahari yang rendah merupakan pemicu terjadinya
osteoporosis. Defisiensi kalsium dapat menyebabkan timbulnya
hiperparatiroidime sekunder yang persisten sehingga akan meningkatkan
proses resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Aspek nutrisi yang lain
adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1.
Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis
karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.
e. Penegakan Diagnosis
- Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada populasi geriatri.
Tujuannya adalah untuk faktor-faktor yang meningkatkan risiko
“kepadatan tulang rendah”, risiko jatuh, dan akibat dari fraktur. Hal-hal
diatas mencakup riwayat jatuh, jumlah jatuh dalam setahun terakhir, gait
(gaya berjalan), kesulitan menjaga keseimbangan serta fraktur fragilitas.
Faktor-faktor risiko lain yang telah disebutkan di atas juga perlu untuk
ditanyakan termasuk obat-obatan seperti glukokortikoid ataupun non-
glukokortikoid yang diketahui dapat menginduksi osteoporosis, lalu
ditanyakan pula riwayat fraktur akibat trauma minimal, imobilisasi lama,
penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari,
asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, kurangnya latihan yang teratur
yang bersifat weight-bearing. 7,26 Kadang-kadang keluhan utama dapat
langsung mengarah pada diagnosis osteoporosis ataupun diagnosa banding
alinnya, misalnya fraktur kolumna femoris yang mengarah pada
osteoporosis, bowing leg pada penyakit riket, atau rasa kebas di sekitar
mulut dan ujung jari pada hipokalsemia, dan lain-lain.
Tahap dini osteoporosis biasanya tanpa indikasi dan gejala apapun.
Seseorang tidak akan menyadari bahwa mereka mengalami osteoporosis
hingga mereka jatuh, menabrak sesuatu, atau terpeleset dan mengalami
patah tulang. Akan tetapi, ada beberapa tanda yang harus diwaspadai,
antara lain seperti:
a) Nyeri dan memar yang terjadi setelah jatuh, dimana proses jatuh tanpa
terjadi banyak tekanan atau trauma
b) Sakit punggung yang datang tibatiba pada tulang punggung yang
dirasakan walaupun hanya membungkuk untuk meraih sesuatu atau
tergelincir di dalam bak mandi.
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, 2 tujuan utama yang ingin dicapai adalah :
menilai risiko terjadinya fraktur serta mengidentifikasi kemungkinan
fraktur yang telah terjadi namun belum terdiagnosis. Universitas Sumatera
Utara Tinggi badan dan berat badan wajib diukur pada kasus osteoporosis.
Demikian pula gaya berjalan, deformitas tulang, range of motion (ROM),
ketidaksamaan panjang kaki, nyeri spinal (termasuk nyeri tekan pada
vertebra), pemeriksaan neurologi secara menyeluruh, jaringan parut pada
leher (bekas operasi tiroid), uji Get-Up-and-Go-Test (menilai kelemahan
otot proksimal, gait dan risiko jatuh), skrining fraktur vertebra dengan
ditemukannya : (1) berkurangnya tinggi badan >2 cm ; (2) jarak iga ke
pelvis 5 cm (evidence level A). Lokasi kemungkinan fraktur yang perlu
diidentifikasi adalah vertebra, kolumna femur dan pergelangan tangan.
Selain itu pemeriksaan fungsi kognitif juga penting dilakukan, karena
hal ini terbukti berkaitan terhadap kejadian jatuh dalam rentang setahun.
Kondisi hipokalsemia akan ditandai dengan adanya iritasi muskuloskletal
yang berupa tetani,biasanya akan didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi
sendi MCP, dan ekstensi sendi-sendi IP. Pada keadaan laten, akan
didapatkan tanda Cvostek dan Trosseau. Pada penderita
hiperparatiroidisme primer akan didapatkan band keratoplasty akibat
deposisi kalsium fosfat pada tepi limbik kornea. Penderita dengan
osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (dowager
hump), dan penurunan tinggi badan, selain itu juga didapatkan
protuberansia abdomen, spasme otot para vertebral dan kulit yang tipis.
- Diagnosis Banding
1) Homocysteinemia/ Homocystinuria
2) Hyperparathyroidism
3) Imaging in osteomalacia and renal osteodystrophy
4) Mastocytosis
5) Multiple myeloma
6) Paget diseases
7) Scuvy
8) Sickle cell anemia.
- Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus osteoporosis terdiri atas
pemeriksaan biokimia tulang, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan BMD,
dan pemeriksaan fungsi beberapa organ terkait seperti kelenjar tiroid,
traktus digestivus, hepar, dan ginjal.
1) Pemeriksaan biokimia tulang
Pemeriksaan ini meliputi ion kalsium, kadar kalsium total
dalam serum dan urin, kadar fosfor dalam serum, fosfat urin,
osteokalsin serum, piridinolin urin, dan apabila diperlukan maka dapat
disertai dengan hormon paratiroid dan vitamin D.
2) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kasus osteoporosis sangat tidak
sensitif, bahkan seringkali tidak didapatkan gambaran radiologi yang
spesifik pada penurunan densitas massa tulang spinal yang sudah lebih
dari 50%. Pemeriksaan radiologi juga bersifat subyektif bergantung
pada keahlian pemeriksa, alat radiologi yang digunakan, serta teknik
pencucian dan kualitas film.
3) Pengukuran Bone Mineral Density (BMD)
Pemeriksaan BMD merupakan salah satu pendekatan diagnosis
osteoporosis yang ditetapkan oleh WHO. Penderita osteoporosis
secara umum mengalami penurunan BMD sehingga terjadi kerapuhan
tulang.
f. Penatalaksanaan
- Non Farmakologi
Secara umum, perlu disampaikan edukasi dan program pencegahan
terhadap pasien-pasien osteoporosis antara lain :
1) Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem
neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko
terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-
60 menit/hari, bersepeda maupun berenang
2) Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-
hari maupun suplementasi
3) Hindari merokok dan minum alkohol
4) Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron
pada laki-laki dan menopause awal pada wanita
5) Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis
6) Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang
sudah pasti osteoporosis
7) Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh,
misalnya lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi
yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik
8) Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang
terpajan sinar matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas,
misalnya SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar
25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun, maka
suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 lU/hari pada orang tua
harus diberikan. pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi
1,25(OH).D harus dipertimbangkan
9) Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi
asupan Natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan reabsorpsi
kalsium ditubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari,
berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari)
10) Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan
jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis
serendah mungkin dan sesingkat mungkin
11) Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat
penting mengatasi aktivitas penyakitnya, karena hal ini akan
mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat artritis
inflamatif yang aktif.
- Farmakologi
Bifosfonat, merupakan terapi pilihan utama pada tatalaksana
osteoporosis khususnya bagi pasien dengan kontraindikasi terapi hormon,
atau pada pasien laki-laki. Bifosfonat memiliki efek penghambat
osteoklas. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa absorbsi bifosfonat
sangat buruk, oleh karena itu harus diberikan dalam keadaan perut kosong
dengan dibarengi 2 gelas air putih dan setelah itu penderita harus dalam
posisi tegak selama 30 menit. Efek samping bifosfonat adalah
hipokalsemia dan refluks esofagitis. Jenis-jenis bifosfonat yang tersedia
saat ini antara lain : Alendronat (oral; 10 mg/hari atau 70 mg/minggu),
Risedronat (oral; 5 mg/hari atau 35 mg/minggu), Ibandronat (oral; 2,5
mg/hari atau 150 mg/bulan) dan zoledronat (merupakan bifosfonat terkuat
dengan sediaan intravena, dosis 5 mg setahun sekali dan diberikan
perlahan selama 15 menit).
Raloksifen, merupakan salah satu dari golongan selective estrogen
receptor modulators (SERM). Obat ini disetujui oleh FDA sebagai terapi
pencegahan dan pengobatan pada osteoporosis. Mekanisme kerja
raloksifen hampir sama dengan estrogen dengan dosis 60 mg/hari.
Raloksifen hanya diindikasikan pada wanita paska-menopause < 70 tahun.
Terapi pengganti hormonal. (1) pada wanita paska menopause :
estrogen terkonyugasi (0,3125 – 1,25 mg/hari) dikombinasi dengan
medroksiprogesteron asetat 2,5-10 mg/hari, setiap hari secara kontiniu. (2)
pada wanita pra-menopause : estrogen terkonyugasi diberikan dengan
penyesuaian terhadap siklus haid. (3) pada laki-laki : Pada laki-laki yang
jelas menderita defisiensi testosteron, dapat dipertimbangkan pemberian
testosteron.
Kalsitonin, dapat diindikasikan pada kasus osteoporosis, penyakit
paget dan hiperkalsemia karena keganasan. Obat ini dapat menurunkan
resorpsi tulang. pemberiannya secara intranasal dengan dosis 200 U per
hari. Dapat juga diberika secara subkutan.
g. Komplikasi
Komplikasi serius yang sering ditemui adalah kasus patah tulang.17
Keretakan tulang sering muncul pada tulang belakang atau pinggul, dan
pergelangan tangan. Fraktur pada tulang menyebabkan penurunan kualitas
hidup seperti kecacatan, isolasi social bahkan kematian.

Daftas Pustaka

Artritis Gout :

1. Sholihah MF. Dosis dan Treatment Gout Arthritis, Vol 03, No 07. Lampung : FK
UNILA ; 2014. Hlm 39-45
2. Asrizal TM, Berawi NK. Penatalaksanaan Gout Arthtritis pada Seorang Lansia
Usia 63 Tahun dengan Pola Makan yang Tidak Teratur, Vol 06, No 01. Lampung
: FK UNILA ; 2019. Hlm 194-201
Stenosis Spinal (Lumbar) :

1. Apsari BIP, Suyasa K, Kawiyana, dkk. Lumbar Spinal Canal Stenosis Diagnosis
Dan Tatalaksana. Denpasar : FK UNUD ; 2019. hlm 1-17

Osteoporosis :

1. Widyanti ERL, Kusumastuty I, Arfiani PE. Hubungan Komposisi Tubuh dengan


Kepadatan Tulang, Vol 04, No 01. Malang : FK UNBRAW ; 2017. Hlm 23-33
2. Humaryanto. Deteksi Dini Osteoporosis Pasca Menopause, Vol 05, No 02.
Jambu : FK Universitas Jambi ; 2017. Hlm 164-77

Anda mungkin juga menyukai