Jika ada suatu pemilihan calon pemimpin di sekolah seperti pemilihan ketua OSIS, ketua MPK, ketua Kelas pasti sebagian besar dari kita memilih orang-orang berjenis kelamin laki-laki. Jumlah ketua yang berjenis kelamin perempuan terlihat sangat jarang ditemui di mana-mana. Mengapa demikian? Apakah ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan padahal telah adanya emansipasi perempuan. Apakah perempuan memang tidak mampu utnuk menjadi seorang pemimpin? Jika kita mengamati di Negara Indonesia, para pemimpin di bidang politik sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Mengapa seakan-akan seorang pemimpin harus berjenis kelamin laki-laki? Padahal sebagaimana yang kita ketahui bahwa jumlah perempuan di Indonesia jauh lebih banyak daripada laki-laki dan kita telah hidup di zaman emansipasi perempuan. Data menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang menjadi anggota legislatif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Data menunjukkan bahwa dari setiap delapan anggota DPR RI hanya terdapat seorang perempuan dan setiap 13 orang anggota MPR RI hanya terdapat seorang perempuan. Dapat dilihat pula pada jumlah wanita yang menjadi Lurah atau Kepala Desa. Data menunjukkan dari setiap 40 orang Lurah hanya terdapat seorang wanita dan dari setiap 55 orang Kepala Desa, hanya terdapat seorang wanita. Data-data tersebut menunjukkan adanya ketimpangan gender di bidang politik, yakni di bidang legislatif dan eksekutif, sekaligus pula menggambarkan bahwa kedudukan dan peranan wanita jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki pada bidang politik. Mengapa terjadi perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik? Padahal jika kita lihat di sekolah-sekolah favorit terdapat lebih banyak siswa perempuan daripada laki-laki. Hal ini sebenarnya menjelaskan bahwa perempuan pun mampu menjadi pemimpin dan bahkan mungkin lebih mampu daripada laki-laki. Mungkin kita mengenal adanya ideologi patriaki, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa kekuasaan itu berada di tangan laki-laki. Hal inilah yang menyebabkan anggapan bahwa para pemimpin haruslah seoarang laki-laki dan ternyata ideologi ini telah mengakar di berbagai pelosok dunia termasuk Indonesia sehingga tak heran lagi jika ada ketimpangan gender di bidang politik. Sebenarnya di Indonesia telah diakui persamaan kedudukan semua warga negara, termasuk tidak membedakan status gendernya. Sebenarnya, banyak pihak telah mengusahakan persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki di bidang politik, sebagai contoh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum pada pasal 65 ayat 1 yang berbunyi ‘’Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%.’’ Sesungguhnya hal tersebut merupakan peluang yang baik bagi para perempuan untuk mengejar ketertinggalannya di bidang politik, namun hingga saat ini sepertinya para kaum perempuan belum memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya karena mereka juga terlihat enggan dengan dunia politik karena citra politik yang keras dan tidak sesuai dengan karakter perempuan, serta karena adanya anggapan bahwa politik itu sebagai dunianya para lelaki. Maka dari itu, sebenarnya dengan adanya persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan diharapkan pembangunan pun akan berjalan lancar, pendidikan akan merata, dan para perempuan memiliki persamaan kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin dari suatu organisasi. Karena jika kita melihat keadaan bahwa jumlah warga negara Indonesia perempuan lebih banyak daripada laki-laki diharapkan dengan adanya persamaan kedudukan negara Indonesia akan lebih cepat maju dalam pembangunan di segala bidang.