Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

Kejang disertai Demam pada Anak

Disusun Oleh:

dr. Husnia Nabilah

Pembimbing:
dr. H.M. Arief Hermanu, Sp. A

RUMAH SAKIT PERMATA CIBUBUR


2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

I. PENDAHULUAN…...........................................................................................3

STATUS PASIEN……..........................................................................................3

II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................12

2.1 Defisini Kejang..........................................................................................12

2.2 Epidemiologi………………......................................................................12

2.3 Klasifikasi................. ................................................................................13

2.4 Faktor Resiko.............................................................................................13

2.5 Patofisiologi Kejang...................................................................................18

2.6 Diagnosis………………………................................................................19

2.7. Tatalaksana.................................................................................................21

2.8. Prognosis....................................................................................................23

III. KESIMPULAN..............................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu
tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang
demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5%
anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)

Di Amerika Serikatdan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia


prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika.
Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang
demam mencapai 14%.(1)

Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada
anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam, usia
dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia,
usia kehamilan dan bayi berat badan lahir rendah).(2)

STATUS PASIEN
Tanggal masuk RS : 10 Januari 2020 Pukul 15.45 WIB
No Reg/MR : 264-343

 Identitas Pasien
Nama : An. NT
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 15 bulan
Alamat : Kranggan, Bekasi

3
 Anamnesa
Keluhan Utama : Kejang demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke UGD RSU Permata Cibubur di bawa oleh orangtuanya dengan keluhan kejang
disertai dengan demam. Kejang pertama dialami pasien di rumah 1 jam SMRS, kejang kelojotan
seluruh tubuh, lama kejang 1 menit, setelah kejang pasien tertidur. Beberapa menit sampai di RS,
pasien mengalami kejang lagi pada seluruh bagian tubuh. Lamanya kejang 2 menit. Orangtua pasien
mengatakan pasien sudah demam ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk pilek disangkal. BAB
dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Pengobatan
Di rumah: Paracetamol sirup

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami kejang demam atau kejang tanpa demam sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam, kejang tanpa demam
atau menderita epilepsi

Riwayat Psikososial (Pendidikan dan Sosial Ekonomi)

Identitas Orangtua

1. Ayah
Nama : Tn. D
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
2. Ibu
Nama : Ny. N R
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

4
Status Pediatri

Nama : An. NT

Usia : 15 bulan

Tempat Lahir : Bidan

Cara Lahir : normal

Kelahiran : cukup bulan, dengan BB 3,125 gram, panjang badan 50 cm

Riw. Imunisasi : Lengkap

 Imunisasi BCG umur 0 bulan


 Imunisasi Hepatitis B umur 0 bulan, 1 bulan, 6 bulan
 Imunisasi DPT umur 2 bulan, 4 bulan, 3 bulan
 Imunisasi Polio umur 0 bulan, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan
 Imunisasi Campak umur 9 bulan

Riw. Tumbuh Kembang


Umur 3 bulan : pasien sudah dapat tengkurap sendiri
Umur 6 bulan : pasien sudah dapat duduk tanpa pegangan
Umur 9 bulan : pasien sudah dapat berdiri berpegangan
Umur 13 bulan : pasien sudah dapat berjalan lancar

 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Pasien tampak lemah
KU : Tampak Sakit Sedang                  
Kesadaran : Composmentis

Vital sign
Nadi : 104 x/menit, teratur, kuat
Suhu : 38,4oC
Respiratory rate : 29 x/menit
BB : 11 kg
Status gizi : cukup

5
Pemeriksaan generalis
Kepala : CA-/-, SI-/-, mata cowong (-), edema palpebral (-), pupil isokor +3/+3, ubun-
ubun cekung (-)
Faring : hiperemis, T2/T2. Detritus (-), uvula di tengah
Telinga : membrane timpani intak, hiperemis aruikula dekstra et sinistra
Thorax : Bentuk dada simetris (+), gerak napas simetris (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 tunggal, m (-), g (-)
Pulmo : ves/ves, RH (-), Wh (-)
Abdomen : datar, BU(+) 8x/m, supel, nyeri tekan (-), timpani
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT<2”, turgor agak lambat

Status Neurologis
Refleks meningen : Laseq (+), Kerniq (+), Kaku kuduk (-)
Refleks Fisiologis :
- Biceps : ++/++
- Tricpes : ++/++
- Knee Pes Refleks : ++/++
- Achilles Pes Refleks : ++/++
Refleks Patologis :
- Babinski : -/-
- Chadock : -/-
- Oppenhaim : -/-
- Gordon : -/-
- Schufner : -/-
- Klonus lutut : -/-
- Klonus kaki : -/-

Diagnosis Kerja :
- Kejang demam kompleks e.c suspek Meningtis
- Tonsilofanringitis Akut
- Otitis Media Akut

Planning IGD

6
1. Terapi :
1. O2 1 lpm nasal kanul
2. Diazepam supp 10 mg
3. Parasetamol drip 200 mg (IV)
2. Monitoring : Vital sign dan keluhan
3. Edukasi : Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, tindakan yang
akan dikukan, prognosa dan pengobatan
4. Konsultasi : Konsul dokter spesialis anak

Advice Dokter Spesialis Anak


 Observasi ketat per 24 jam
 IVFD Tridex Plain 14 tpm
 Inj. Bactesyn 2x500 mg IV
 Inj. Dexametason 2x 1,5 mg
 Drip Paracetamol 3x150 mg
 Inj. Fenobarbital 2x50 mg
 Stesolid supp 5 mg k/p bila kejang
 Otopain tetes telinga 3x3 tetes telinga kanan dan kiri
 Cek DPL, CRP, urin lengkap

Pemeriksaan Laboratorium (10/01/2020)


Hematologi Darah
Darah Rutin Hasil Satuan Nilai Normal
Hemaglobin 2.5 g/dL 12.0-16.0
Leukosit 4.510 ribu/L 4.000-10.000
Eritrosit 4.9 juta/L 4.2-5.2
Hematokrit 36 % 37-47
Trombosit 217 ribu/L 150-400
CRP Kuantitatif 2.4 mg/dL <10
Elektrolit
Natrium (Na) 144 mmol/L 135-147
Kalium (K) 5.6 mmol/L 3.5-5.0
Clorida (Cl) 87 mmol/L 94-111
Immunoserologi
NS 1 Antigen Negatif
Urine Lengkap
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih

7
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
pH 7.0 5.5-8.0
Protein Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton +/Positif Negatif
Urobilinogen 0.2 eu/dl 0.2-1
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar Negatif Negatif
Mikroskopis Urine
Epitel +/Positif Positif
Leukosit 0-1 /LPB 1-3
Eritrosit 0-1 /LPB 0-1
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri +/Positif Negatif
Jamur Negatif Negatif

Follow up di Ruangan
(Hari rawat ke 1) 10/01/2020
S : demam (-), kejang (-), anak lemas
O : KU/Kes : TSS/CM HR : 100x/menit RR : 25x/menit T : 36,9°C
Mata : CA -/-, SI -/-, cekung -/-
THT : dbn
Thoraks : retraksi (-) cor/pulmo dbn
Abdomen : datar, BU (+) 8 x/ m, supel, Nyeri tekan -, timpani
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2, turgor baik
Neurologi : Tanda Rangsang Meningen -/-
A : - KDS e.c Tonsilofaringitis Akut
OMA
P:
 IVFD Tridex Plain 14 tpm
 Inj. Bactesyn 2x500 mg IV
 Inj. Dexametason 2x 1,5 mg
 Drip Paracetamol 3x150 mg
 Inj. Fenobarbital 2x50 mg
 Stesolid supp 5 mg k/p bila kejang
 Otopain tetes telinga 3x3 tetes telinga kanan dan kiri

8
(Hari rawat ke 2) 11/01/2020
S : demam naik turun, kejang (-)BAB cair 2 x berampas, intake makanan baik,
anak aktif
O : Ku/Kes : TSS/CM HR : 93x/m RR : 20x/m T : 37,1°C
Mata : CA -/-, SI -/-, cekung -/-
THT : dbn
Thoraks : retraksi (-) cor/pulmo dbn
Abdomen : datar, BU (+) 6 x/ m, supel, Nyeri tekan -, timpani
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2, turgor baik
Neurologi : Tanda Rangsang Meningen -/-
A : - KDS e.c Tonsilofaringitis Akut
OMA
Diare Akut
P:
 IVFD Tridex Plain 14 tpm
 Inj. Bactesyn 2x500 mg IV
 Drip Paracetamol 3x150 mg k/p
 Inj. Fenobarbital 2x50 mg
 Stesolid supp 5 mg k/p bila kejang
 Otopain tetes telinga 3x3 tetes telinga kanan dan kiri
 Liprolac 2x1
 Orezinc syr 1x 5ml
 Cek Feses lengkap

(Hari rawat ke3) 12/01/2020


S : demam (-), kejang (-), BAB cair 1 x berampas, muntah (-), intake makanan
baik, anak aktif
O : Ku/Kes : TSS/CM HR : 93x/m RR : 20x/m T : 37,1°C
Mata : CA -/-, SI -/-, cekung -/-
THT : dbn
Thoraks : retraksi (-) cor/pulmo dbn
Abdomen : datar, BU (+) 6 x/ m, supel, Nyeri tekan -, timpani
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2, turgor baik

9
Neurologi : Tanda Rangsang Meningen -/-
Feses Lengkap
Warna Hijau Kuning
Bentuk Lembek
Lendir Negatif 1.005-1.030
Darah Negatif Negatif
pH 7.0
Mikroskopis Feses
Telur cacing Negatif Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Serat makanan +/Positif +/Positif
Serat tumbuhan Negatif Negatif
Serat otot Negatif Negatif
Lemak Negatif Negatif
Amylum Negatif Negatif
Leukosit 1-3 /LP 1-3
Eritrosit 0-1 /LP 0-1
Epitel +/Positif +/Positif
Lain-lain
Bakteri +/Positif +/Positif
Jamur +/Positif Negatif
Darah Samar Negatif Negatif

A : - KDS e.c Tonsilofaringitis Akut


OMA
Diare Akut ec Infeksi jajmur
P:
 IVFD Tridex Plain 14 tpm
 Inj. Bactesyn 2x500 mg IV
 Inj. Fenobarbital 2x50 mg
 Drip Paracetamol 3x150 mg k/p
 Inj. Dexametason 2x 1,5 mg
 Stesolid supp 5 mg k/p bila kejang
 Otopain tetes telinga 3x3 tetes telinga kanan dan kiri
 Liprolac 2x1
 Orezinc syr 1x 5ml
 Nystatin sirup 4x 1 ml

(Hari rawat ke 4) 13/01/2020


S : demam naik turun, kejang (-)BAB lembek 2x, intake makanan baik, anak aktif
10
O : Ku/Kes : TSS/CM HR : 93x/m RR : 20x/m T : 36,5°C
Mata : CA -/-, SI -/-, cekung -/-
THT : dbn
Thoraks : retraksi (-) cor/pulmo dbn
Abdomen : datar, BU (+) 6 x/ m, supel, Nyeri tekan -, timpani
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT <2, turgor baik
Neurologi : Tanda Rangsang Meningen -/-
A : - KDS e.c Tonsilofaringitis Akut
OMA
Diare Akut ec Infeksi Jamur
P:
 IVFD Tridex Plain 14 tpm
 Inj. Bactesyn 2x500 mg IV
 Inj. Fenobarbital 2x50 mg
 Drip Paracetamol 3x150 mg k/p
 Stesolid supp 5 mg k/p bila kejang
 Otopain tetes telinga 3x3 tetes telinga kanan dan kiri
 Liprolac 2x1
 Orezinc syr 1x 5ml
 Liprolac 2x1
 Orezinc syr 1x 5ml
 Nystatin sirup 4x 1 ml
 Pasien boleh pulang. terapi pulang:
- Probiotik 2 x 1 sach
- Zinc1 x 5 ml
- Fenitoin 2 x 50 mg

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang
demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat ataupun
epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.(3)
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu
tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang
demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5%
anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita
kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia
prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika.
Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%. Sedangkan di Hong Kong angka
kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam
insiden kejang demam mencapai 14%.(1)
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bankitan
kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf
tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan
kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5
tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan
sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.(4)

12
2.3 Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks.(5)

Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks

Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35%
berupa kejang demam kompleks.

2.4 Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat keluarga,
faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil primi/multipara, pemakaian
bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat badan lahir rendah, usia kehamilan, partus
lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).
a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C aksila atau
diatas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak
tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan
kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul
bangkitan kejang demam sebesar 80%.(6)
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan
meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu
akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan
dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu
13
fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut
mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate
ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel
terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya
ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan
mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan
ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga
membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.(5)
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara
pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam
glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator.
Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.
(5)
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2) perkembangan
prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi dan 6) mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase
perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama
pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor.
Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator
yang aktif, sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih
dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan
neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH
di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu
oleh demam.(5)
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi
autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita
dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut

14
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi
sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam
maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.(5)
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35tahun dapat mengakibatkan
berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan
dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi
hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai.(5)
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia
dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau
usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar
9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan
oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi
pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.(5)
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada
primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi
adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat
menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak
sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
g. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu, seperti
menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang.
Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah

15
menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko kerusakan pada janin.
Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa
dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang
sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang
berakibat terjadinya kejang.(5)
h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan
adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya
menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan
otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan
frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia
berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat
pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada
75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang.
Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga
terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai.(5)
i. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak
dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan
otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.(5)
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga
belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat, dan
sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan
aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20
detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.(5)
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan
plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat

16
dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan
kelainan neurologic.(5)
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari
cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang sulit
terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan
perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan cukup
bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel
dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak,
sehingga terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik.
Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang
akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid terutama terjadi pada bayi
premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini
akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi
klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, dan
terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan
terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes
Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan
parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati.

17
Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan
otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sequele yang secara langsung
menimbulkan cacat berupa cerebral palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus
kranilalis, serta kejang. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada
sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang
dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)

2.5 Patofisiologi Kejang


Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel
dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane ini
akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+, dan Ca++. Bila sel saraf
mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan
potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+ akan
lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane
masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial
kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar,
yang disebut sebagai respon lokal.(5)
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
(firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan
dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal
sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka permeabilitas membrane
kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke
dalam sel melalui mekanisme pompa Na – K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa
dan oksigen.(5)

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

18
a.Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b.Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c.Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa


pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi
oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K
ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau
kepekaan sel saraf meningkat.(5)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung,
otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan
terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas
motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme otak.(5)

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:


a.Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang
b.Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permeabilitas membrane sel
c.Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan
merusak neuron
d.Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen
dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan


meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya
diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan

19
energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerob),
hiperkapnea, hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi
hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.(5)

2.6 Diagnosis
Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk membuat
diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:(1)
a. Dari anamnesa yang didapatkan
- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)
- Kejang didahului demam
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5 menit
- Kejang umum dan tonik klonik
- Kejang berhenti sendiri
- Pasien tetap sadar setelah kejang
b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
- Suhu tubuh aksila 38,20C
- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab
lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal Project
adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang
pada satu episode demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama
dari 15 menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang
demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut
kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien
yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan rumat.(7)
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada anak-
anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi traktus
respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-9%). Anak-anak
yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang

20
rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data
kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC,
sedangkan 14-40% kejang terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara
39°C-39,9ºC.(1)
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan
untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%. Pungsi lumbal
menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan.(1)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat
di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan
EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk
terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul
kejang demam untuk me- nyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan
subaraknoid atau gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun
yang menderita kejang demam.(7)

2.7 Tatalaksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:
a. Mencegah kejang demam berulang
b. Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Pengobatan fase akut


Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu
dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan.
Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik

21
(asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).
(7)
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara
intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada
anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi
pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum
terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal
aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak
tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk
neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.
Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi
kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan
efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila
dibandingkan dengan diazepam intravena.(7)

Mencari dan Mengobati Penyebab


Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal diindikasikan
pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena gejala rangsang selaput
otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal
harus diperhatikan pula kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas
indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan
elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi
oleh demam dan pertama kali terjadi.(7)

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang


Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga
dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara
profilaksis, yaitu: (7)
• Profilaksis intermittent pada waktu demam
• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.

22
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien mengalami
demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam. Pemakaian Diazepam
penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang
suhunya mencapai 38,50C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam
sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain.
Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya
kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan
Diazepam oral sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis dan masih dapat
mengkonsumsi obat oral.(7)

Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari


Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau
saudara kandung.
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian
profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat,
tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian fenobarbital 4 –
5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang
bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memejiliki
khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti kejadian kang berulang
sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan asam valproate dan 33 % pada kelompok
tanpa pengobatan dengan asam valproat. Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB

23
perhari. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin
dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.

2.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian
berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar
4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan
penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang
demam cukup mengkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
38,50C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis
intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam

24
BAB III
KESIMPULAN

Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami
sekali kejang selama hidupnya.
Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut
merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan
sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit
berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang
salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol,
depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang
adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan
identifikasi kemungkinan penyebabnya. Selanjutnya, identifikasi dan koreksi terhadap
ketidakseimbangan elektrolit yang menyebabkan kejang sangat diperlukan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat hal tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi
Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and
Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion. Journal of
Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun. Medula.
2013;1(1):57-64.
4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term Treatment of the
Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.
5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas
Diponegoro; 2010.
6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri. 2002;4(2):59 -
62.
8. IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. 2016

26

Anda mungkin juga menyukai