Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN TEORITIS

HIGROMA SUBDURAL

A. Anatomi Fisiologi
1. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium (ATLS, 2011).
2. Tulang tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua
bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka
wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai
permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan
luar dan pada permukaan dalam yang terdapat lekukan supaya dapat sesuai
dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal
sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh
banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (ATLS,
2011).

Tulang kranium
3. Meningeal
Meningeal merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Fungsi meningeal yaitu melindungi struktur saraf halus yang
membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan
memperkecil benturan atau getaran, yang terdiri atas 3 lapisan sebagai berikut
(ATLS, 2011).
a. Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang
tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis
vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini
dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua
hemisfer otak. Pada durameter terdapat rongga yang dinamakan rongga
subdural, yaitu rongga potensial kecil yang terletak antara duramater
bagian dalam dan araknoid
b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)
Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter
dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan
otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
c. Piameter (Lapisan sebelah dalam)
Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur
jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus
longitudinalis inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan
darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum dengan
cerebelum.
Lapisan otak

4. Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan
pusat komputer dari semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak
di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang
kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan
batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram,
7/8 bagian berat terdiri dari otak besar (ATLS, 2011).

Bagian otak

a. Otak besar (cerebrum)


Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak,
berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak.
Masing-masing disebut fosa kranialis anterior atas dan fosa kranialis
media. Otak besar terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri yang
mengendalikan tubuh bagian kanan, dan belahan kanan yang
mengendalikan tubuh bagian kiri. Otak mempunyai 2 permukaan,
permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini dilapisi oleh
lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada pada bagian korteks serebral dan
zat putih yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut
saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian),
kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan
semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat,
berbicara, berpikir dan lain sebagainya (Shuqing, 2010).
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus
yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan lobus temporal.
1) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian
depan cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan
membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan,
penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol
perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara
umum.
2) Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
3) Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
4) Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata (Muttaqin, 2008)
b. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang
dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan
pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain.
Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta
mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak (ATLS, 2011). Apabila
terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada
sikap dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak
terkoordinasi (Muttaqin, 2008).
c. Batang Otak (Trunkus serebri)
Batang otak terdiri dari :
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara
serebellum dengan mensepalon, kumpulan dari sel saraf yang
terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna
dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berfungsi
sebagai vaso konstruksi (memperkecil pembuluh darah),
respiratori (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan
reflex, dan membantu pekerjaan jantung.
2) Mensefalon, atap dari mensefalaon terdiri dari empat bagian yang
menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut korpus
kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpus
kuadrigeminus inferior. Mensefalon ini berfungsi untuk sebagai
pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar
mata.
3) Pons varolli, merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu
terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan
kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan
korteks serebri.
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis.
Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon
(Shuqing, 2010).
5. Sistem Ventrikulus
Otak sangat lembut dan kenyal sehingga sangat mudah rusak. Selain lapisan
meninges, otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal (CSS) di
subarachnoid space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung sehingga
mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang dipengaruhi oleh gravitasi
dan juga meilndungi otak dari guncangan yang mungkin terjadi. CSS ini
terletak dalarn ruang-ruang yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Ruang-ruang ini disebut dengan ventrikel (ventricles). Ventrikel berhubungan
dengan bagian subarachnoid dan juga berhubungan dengan bentuk tabung
pada canal pusat (central canal) dari tulang belakang. Ruang terbesar yang
berisi cairan terutama ada pada pasangan ventrikel lateral (lateral ventricle).
Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga (third ventricle) yang
terletak di otak bagian tengah (midbrain). Ventrikel ketiga dihubungkan ke
ventrikel keempat oleh cerebral aqueduct yang menghubungkan ujung caudal
ventrikel keempat dengan central canal. Ventrikel lateral juga membentuk
ventrikel pertama dan ventrikel kedua (Puspitawati, 2009).
CSS merupakan konsentrasi dari darah dan plasma darah yang diproduksi
oleh choroid plexus yang terdapat dalam keempat ventrikel tersebut. Sirkulasi
CSS dimulai dalam ventrikel lateral ke ventrikel ketiga, kemudian mengalir ke
cerebral aqueduct ke ventrikel keempat. Dari ventrikel keempat mengalir ke
lubang-lubang subarachnoid yang melindungi keseluruhan SSP. Volume total
CSS sekitar 125 ml dan daya tahan hidupnya (waktu yang dibutuhkan oleh
sebagian CSS untuk berada pada sistem ventrikel agar diganti oleh cairan
yang baru) sekitar 3 jam. Apabila aliran CSS ini terganggu, misalnya karena
cerebral aqueduct diblokir oleh tumor dapat menyebabkan tekanan pada
ventrikel karena dipaksa untuk mengurangi cairan yang terus menerus
diproduksi oleh choroid plexus sementara alirannya untuk keluar terhambat.
Dalam kondisi ini, dinding-dinding ventrikel akan mengembang dan
menyebabkan kondisi hydrocephalus. Bila kondisi ini berlangsung terus
menerus, pembuluh darah juga akan mengalami penyempitan dan dapat
menyebabkan kerusakan otak (Puspitawati, 2009).

Sistem ventrikel otak


6. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat
alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mm air. Sirkulasi
cairan cerebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam
ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu masuk ke dalam kanalis
sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang subarakhnoid
melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan
ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum
tulang belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi
arakhnoid pada sinus sagitalis superior. Oleh karena susunan ini maka bagian
saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus terletak diantara
dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua ‘bantalan air’ ini maka sistem
persarafan terlindungi dengan baik. Cairan cerebrospinal ini berfungsi sebagai
buffer, melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan
makanan ke jaringan sistem persarafan pusat (Shuqing, 2010).

B. Konsep Teori Higroma


1. Pengertian
Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus
oleh kapsul dibawah duramater. Biasanya disebabkan oleh pecahnya
arachnoid sehingga liquor serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam
(Satyanegara, 2010).
Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah hematom
subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/ pengumpulan
cairan LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan
dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan cairan LCS
keluar ke ruang subdural. Dengan demikian higroma subdural serupa dengan
hematom subdural kronik (HSD kronik) (Vandenberg, et al., 2002).

CT Scan Higroma Subdural


Tampak penekanan pada ventrikel lateral kiri
2. Epidemiologi
Higroma subdural biasanya didapatkan karena trauma kepala akibat
kecelakaan dengan persentase kasus 6%. Sumber lain menjelaskan bahwa
subdural hygroma ditemui pada <5% pasien dengan trauma kepala, dan lebih
umum ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut.
3. Etiologi
Beberapa etiologi higroma subdural menurut beberapa sumber adalah sebagai
berikut.
a. Post-trauma kecelakaan
Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga
LCS mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Post-traumatic subdural
higroma merupakan kasus yang umum terjadi (Satyanegara, 2011).
b. Post-operasi (pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid, dan
reseksi kista)
Higroma subdural akut dan kronik merupakan komplikasi post-operasi
yang umum terjadi dari pintasan ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid
dan reseksi kista. Shuqing et al., (2010) melaporkan suatu kasus higroma
subdural setelah tindakan reseksi suatu lesi desak ruang pada ventrikel
lateral yang menyebabkan deformasi brainstem dekompresif. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat penting antara
prosedur pembedahan, pencegahan kehilangan LCS, dan fluktuasi yang
cepat dalam tekanan intrakranial (Zanini, 2010).
c. Komplikasi atau lanjutan dari hematom subdural akut
Kebanyakan subdural higromas (SDGs) atau higroma subdural terjadi
sekunder akibat trauma. Cofiar et al. (2007) melaporkan kejadian
perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute Subdural
Hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian
mengalami resolusi spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi
terhadap pembesaran higroma subdural. Hematom subdural akut
merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater, yang
biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian
hingga 60-80% kasus. Resolusi spontan cepat pada kasus hematom
subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu mekanisme resolusi spontan
yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma subdural.
Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma
subdural harus dipertimbangkan selama penatalaksanaan hematom
subdural akut (Shuqing, et al., 2011)
d. Komplikasi dari tindakan anestesi
Higroma subdural merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan
xanthochromic yang jernih atau disertai darah. Membedakan antara
higroma subdural dan hematom sulit dilakukan dan mungkin artifisial,
sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi hematom.
Vandenberg et al., (2002) melaporkan suatu kasus higroma subdural yang
terjadi setelah tindakan anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma
subdural merupakan komplikasi yang jarang dari anestesia spinal.
Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah kebocoran LCS
melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebocoran ini
menyebabkan pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the
brain), dengan konsekuensi berupa peregangan dan rembesan dari vena-
vena subdural intrakranial. Berkurangnya tekanan otak akibat atrofi
serebral, pengecilan otak pada alkoholik dan pintasan ventrikuler juga
merupakan faktor yang memberikan kontribusi. Namun, pada kebanyakan
kasus, mekanisme yang ada tetap belum diketahui dengan jelas (Cofiar,
2007).
4. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial, meski
sering tanpa disertai tanda-tanda fokal. Penyembuhan cedera otak primer yang
biasanya berupa memar otak, terganggu akibat adanya higroma ini
(Sjamsuhidajat, 2009). Stein (2008) dalam penelitiannya menemukan berbagai
gejala terkait cedera kepala sebagai berikut.
a. Nyeri kepala (headache)
b. Perubahan status mental
c. Gejala pada ekstremitas
d. Kehilangan kesadaran atau epilepsi
e. Somnolen atau tampak mengantuk
f. Mual muntah
g. Hemiparesis
h. Papilledema
i. Neck Stiffness (kaku leher)
j. Hemianopsia (penyempitan lapang pandang)
k. Disfasia
5. Patofisiologi
Patogenesis terjadinya higroma subdural adalah akumulasi cairan dalam
waktu lama di ruang subdural dapat terjadi akibat salah satu dari tiga proses
yang berbeda. Patogenesis yang paling lazim terjadi adalah likuifikasi
hematoma subdural akut sehingga membentuk atau terjadinya hematoma
subdural kronik. Ada postulat yang menyatakan bahwa semakin kental cairan
yang berakumulasi, semakin cepat pula peningkatan volumenya. Hal ini
terjadi karena gradien tekanan onkotik yang tinggi pada cairan yang kental.
Meskipun volumenya bisa menurun akibat degradasi darah dan protein,
namun adanya perdarahan ulang menyebabkan volumenya menetap sehingga
hematoma subdural tetap ada. Tipe akumulasi cairan subdural yang kedua
adalah terbukanya arachnoid sehingga cairan serebrospinal dapat memasuki
ruang subdural. Cairan serebrospinal bercampur dengan darah sehingga
berubah menjadi cairan xantokromatik yang encer, sering disebut higroma
subdural. Tipe akumulasi ketiga menghasilkan cairan yang lebih purulen.
Empiema subdural dapat disebabkan oleh perluasan langsung dari sinusitis
atau otitis media ke ruang epidural lalu ke ruang subdural. Akumulasi cairan
subdural yang purulen kadang-kadang juga terlihat setelah episode meningitis
bakterial, khususnya akibat Haemophilus influenzae (Swift, 2011).
6. Komplikasi
Komplikasi pada pasien dengan higroma subdural adalah perdarahan dan
infeksi pasca pembedahan. Bisa juga terjadi adanya herniasi batang otak
karena penumpukan cairan serebrospinal yang banyak (Sjamsuhidajat, 2009).
7. Prognosis
Dari segi mortalitas dan morbiditas secara neurologis, mortalitas mencapai
10-20% pada pasien dengan GCS 8 atau kurang. Pada beberapa laporan,
pasien dengan GCS 5 atau lebih tanpa syok, mortalitas mencapai 10%,
sedangkan pada GCS dibawah 5, mortalitas mencapai 50-70%. Syok akan
memperburuk hasil akhir (Satyanegara, 2010). Berdasarkan literatur lain,
prognosis higroma sendiri berprognosis baik, tetapi prognosis lebih ditentukan
oleh cedera otak primernya (Vandenberg, 2002).
8. Pemerikasaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis higroma subdural, selain anamnesis, gejala
klinis dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga penunjang berupa radiologis
diagnostik yaitu CT Scan dan MRI. CT Scan kepala dengan atau tanpa kontras
memiliki nilai diagnostik. Akumulasi cairan subdural umumnya bersifat
bilateral pada hampir 77% kasus (Cardarelli, et al., 2009). Ketebalan
akumulasi cairan subdural dapat bervariasi dari 4 mm hingga 42 mm. MRI
juga terbukti bermanfaat dalam membedakan akumulasi cairan subdural dari
dilatasi subarachnoid jinak atau hidrosefalus eksternal jinak yang tidak
membutuhkan intervensi bedah pada sebagian besar kasus. MRI dapat
menunjukkan efek penekanan akumulasi subdural terhadap korteks
(Cardarelli, et al., 2009).
Pada pemeriksaan neuroimaging, biasanya dengan CT scan dan MRI, terlihat
berbentuk seperti bulan sabit dengan adanya tumpukan cairan extraaxial
dengan CSF yang padat. Umumnya terjadi secara bilateral.
9. Penatalaksanaan
Sejumlah modalitas terapi pernah dilaporkan, antara lain evakuasi dan irigasi
ruang subdural melalui burr-hole, tap subdural, drainase subdural secara
kontinyu dan penggunaan shunt subduroperitoneal. Pemasangan shunt telah
dilaporkan oleh sejumlah peneliti, namun terdapat komplikasi antara lain
obstruksi, migrasi, infeksi, drainase unilateral dan perforasi usus (Kumar,
2010).
Pada higroma yang simtomatik, khususnya dengan status klinis yang
memburuk disertai dengan peningkatan volume higroma dengan kompresi
otak yang menyebabkan herniasi, dilakukan tindakan operasi drainase burr-
hole eksternal. Namun tetap dilakukan drainase subdural selama 24-48 jam
pasca operasi, jika tidak terjadi resorpsi yang memadai shunting pada ruang
subdural. Kekambuhan setelah tindakan drainase burr-hole sederhana
merupakan hal yang sering terjadi, karena kasus yang berulang
(Sjamsuhidajat, 2009).
Tindakan kraniotomi dilakukan untuk menemukan lokasi kebocoran CSF.
Juga dilakukan peletakan shunt subdural ke peritoneal, untuk mengalirkan
cairan yang berlebih menuju ruang peritoneum (Greaves dan Johnson, 2010).
Teknik Operasi Burrr-Holes
10. Pathway
C. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Demografi
Higroma subdural dapat terjadi pada segala usia dan jenis kelamin.
Namun, biasanya laki-laki lebih rentan terjadi higroma subdural karena
aktivitas yang lebih sering di luar rumah sehingga rentan terjadi
kecelakaan.
b. Keluhan utama
Keluhan pada pasien higroma subdural biasanya nyeri kepala hingga
penurunan kesadaran.
c. Anamnesis
Dalam cedera kepala, poin-poin yang harus digali dari anamnesis meliputi
1) Periode/waktu hilangnya kesadaran
2) Periode amnesia post trauma
3) Penyebab dan kasus cedera itu sendiri
4) Ada tidaknya nyeri kepala dan muntah
d. Riwayat penyakit sekarang
Kaji bagaimana pasien mengalami higroma subdural, sudah kemana saja
pasien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya, dan telah
mendapatkan pengobatan apa saja.
e. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah pasien pernah dilakukan tindakan operasi (pintasan
ventrikuler, marsupialisasi kista araknoid dan reseksi kista), saat operasi
dilakukan pembiusan total (general anastesi), lokal anastesi, atau regional
anastesi, apakah pernah mengalami perdarahan pada kepala, atau
mengalami trauma kepala sebelumnya.
f. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan pasien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem
(B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien (Muttaqin, 2009).
B1 (Breathing) Pernapasan
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
B2 (Blood) Kardiovaskuler
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
B3 (Brain) Persyarafan
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainya.
1) Tingkat kesadaran
Pasien dengan cedera otak biasanya akan mengalami gangguan
kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo, dan sinkope (pingsan).
Perubahan status mental umumnya terjadi seperti gangguan dalam
orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
emosi, tingkah laku, dan memori.
Tingkat kesadaran dapat dinilai menggunakan GCS (Glasgow Coma
Scale)
Penilaian GCS:

Membuka Mata (Eye)

Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata

Respon Bicara (Verbal)

Nilai
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak
dalam bentuk kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban

Respon Gerakan (Motorik)

Nilai
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

2) Pemeriksaan 12 saraf kranial


a) Saraf I (N.Olfaktorius)
Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II (N.Optikus)
Pasien biasanya mengalami perubahan dalam penglihatan seperti
ketajaman penglihatan, diplopia (penglihatan ganda), kehilangan
sebagian lapang pandang (hemianopsia), fotofobia, dan
papiledema mungkin didapatkan.
c) Saraf III, IV & VI (N.Okulomotor, N.Troklearis, N.Abdusen)
Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada pasien cedera kepala
biasanya mengalami perubahan seperti respon terhadap cahaya dan
kesimetrisan pupil, dan dapat pula terjadi deviasi pada mata pasien.
d) Saraf V (N.Trigeminus)
Umumnya tidak ditemukan paralisis pada otot wajah dan refleks
kornea biasanya tidak ada kelainan.
e) Saraf VII (N.Fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
f) Saraf VIII (N.Vestibulo-Koklearis)
Pasien biasanya mengalami penurunan daya pendengaran dan
gangguan keseimbangan tubuh.
g) Saraf IX dan X (N.Glosofaringeus dan N.Vagus)
Pasien cedera kepala biasanya akan mengalami hiccup (cegukan)
karena kompresi pada nervus vagus sehingga menyebabkan
kompresi spasmodik diafragma.
h) Saraf XI (N.Aksesorius)
Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan
biasanya terdapat kaku kuduk (Neck Stiffness).
i) Saraf XII (N.Hipoglosus)
Pasien biasanya mengalami gangguan pada kesimetrisan lidah
yaitu tampak lidah jatuh ke salah satu sisi (deviasi lidah), disfagia
(kesulitan menelan), disatria (gangguan bicara), disfasia (gangguan
perkembangan bahasa) sehingga pasien akan mengalami kesulitan
dalam berbicara maupun menelan.
3) Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, perubahan pada kontrol keseimbangan dan
koordinasi.
a) B4 (Bladder) Perkemihan
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, dan ketidakmampuan menahan miksi.
b) B5 (Bowel) Pencernaan
Pasien biasanya mengalami gangguan menelan, mual, muntah, dan
nyeri lambung yang menyebabkan tidak nafsu makan. Apabila
intake nutrisi tidak adekuat dapat terjadi penurunan berat badan
c) B6 (Bone) Muskuloskeletal
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot. Pasien akan mengalami intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (Activity Daily Living)
g. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien higroma adalah
sebagai berikut.
1) MRI dapat menunjukkan efek penekanan akumulasi subdural terhadap
korteks
2) CT scan terlihat berbentuk seperti bulan sabit dengan adanya
tumpukan cairan extraaxial dengan CSF yang padat
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2013).
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
penurunan aliran darah ke otak akibat edema serebri
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kompresi pada batang
otak
c. Nyeri akut (kepala) berhubungan dengan peningkatan TIK, pelepasan
mediator kimia
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kontraksi otot sekitar saraf
servikal
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi (NIC) Rasional


. (NOC)
1. Resiko Setelah dilakukan tindakan Monitor TIK 1) Perubahan status
ketidakefektifan keperawatan selama ...x24 1) Monitor status neurologi neurologi menandakan
perfusi jaringan otak jam ketidakefektifan perfusi pasien adanya perubahan TIK
berhubungan dengan jaringan otak tidak terjadi 2) Monitor jumlah dan dan penting untuk
peningkatan TIK dan dengan kriteria hasil: karakteristik cairan serebrospinal rencana intervensi
edema serebral 1) Warna kulit pada 3) Monitor intake dan output 2) Untuk menentukan
ekstremitas dalam batas pasien lokasi, penyebaran, dan
normal 4) Monitor suhu pasien perkembangan kerusakan
2) Peningkatan tingkat 5) Posisikan pasien dengan serebral
kesadaran kepala dan leher dalam posisi 3) Mencegah terjadinya
3) TTV dalam batas normal netral kehilangan cairan
(TD: 120/80, RR 16- 6) Monitor lingkungan yang 4) Hipertermi dapat
20x/mnt, nadi 80-100x/mnt, dapat menstimulus peningkatan meningkatkan resiko
suhu 36,5-37,5oC) TIK dehidrasi
5) Perubahan posisi
kepala dapat
meningkatkan TIK
6) Kebisingan, suhu,
pencahayaan dapat
mempengaruhi TIK
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas 1) Memudahkan ekspansi
pola napas keperawatan ....x 24jam 1) Atur posisi pasien untuk paru dan menurunkan
berhubungan dengan pola napas kembali efektif memaksimalkan ventilasi adanya kemungkinan
kompresi batang dengan kriteria hasil: 2) Anjurkan bernafas yang pelan lidah jatuh yang
otak 1) RR normal (16- dan dalam menyumbat jalan napas
20x/menit) 3) Auskultasi suara nafas, catat 2) Membantu keefektifan
2) Pergerakan dada normal area penurunan atau ketiadaan pernafasan pasien
3) Penggunaan otot-otot ventilasi dan adanya suara nafas 3) Mengidentifikasi
bantu pernapasan berkurang tambahan adanya sumbatan jalan
4) Monitor respirasi dan napas
oksigenasi 4) Menentukan
5) Kolaborasi pemberian kecukupan pernapasan,
oksigen yang sudah keseimbangan asam basa
terhumidifikasi dan kebutuhan akan
terapi
5) Memaksimalkan
oksigen pada darah arteri
dan membantu dalam
pencegahan hipoksia
3. Nyeri akut (kepala) Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1) Mengetahui
berhubungan dengan keperawatan selama ...x24 1) Lakukan pengkajian nyeri karakteristik nyeri untuk
peningkatan TIK, jam pasien dapat secara komprehensif termasuk pemilihan intervensi
pelepasan mediator mengontrol nyeri dengan lokasi, karakteristik, durasi, 2) Mengetahui reaksi
kimia kriteria hasil: frekuensi, kualitas dan faktor pasien terhadap nyeri
1) Menggunakan metode presipitasi yang dirasakan
non-analgetik untuk 2) Observasi reaksi non-verbal 3) Guna memilih
mengurangi nyeri dari ketidaknyamanan intervensi yang tepat
2) Menggunakan analgetik 3) Gunakan teknik komunikasi yang dapat digunakan
sesuai kebutuhan terapeutik untuk mengetahui 4) Mengurangi faktor
3) Melaporkan nyeri sudah pengalaman nyeri pasien yang dapat memperparah
terkontrol 4) Kontrol lingkungan yang nyeri pasien
dapat mempengaruhi nyeri 5) Mengurangi nyeri
seperti suhu ruangan, tanpa obat-obatan
pencahayaan, dan kebisingan 6) Mengurangi nyeri
5) Ajarkan teknik non-
farmakologi untuk mengatasi
nyeri
6) Kolaborasi pemberian
analgetik
4. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan berdasarkan masing-masing diagnosa keperawatan
dalam bentuk catatan perkembangan pasien, format catatan perkembangan
pasien mengikuti format yang ada diruangan dan sudah tersedia diruangan.
Penulisan catatan perkembangan dalam bentuk SOAP dilakukan setiap hari
atau per 24 jam. SOAP ini mengacu pada perkembangan kondisi pasien dan
respon pasien.
5. Discharge Planning
Sebelum pasien pulang, perawat hendaknya memberikan rencana tindak lanjut
atau discharge planning kepada pasien agar penyakit pasien tidak bertambah
buruk. Rencana tindak lanjut yang dapat diberikan kepada pasien yaitu
sebagai berikut.
a. Anjurkan untuk minum obat sesuai petunjuk dokter dan menghubungi
petugas kesehatan terdekat apabila obat dirasa tidak dapat memperbaiki
gejala yang dirasakan. Bawalah obat saat melakukan kontrol ke pusat
kesehatan.
b. Anjurkan untuk istirahat yang cukup dengan pencahayaan yang redup
apabila kepala terasa nyeri.
c. Hubungi petugas kesehatan terdekat apabila terdapat gejala kaku kuduk
atau kejang pada pasien.
d. Anjurkan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien untuk
mempercepat proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. 2011. Advanced Trauma Life Support (ATLS).
United States of America: American College of Surgeons Commite on
Trauma
Cofiar M, Eser O, Aslan A, Ela Y. 2012. Rapid Resolution of Acute Subdural
Hematoma and Effects on the Size of Existent Subdural Hygroma: A Case
Report Turkish. Jurnal Neurosurgery Vol 17 (3) :224-227. www.ncbi.nlm.
nih.gov/pubmed/17939112 [05 Desember 2015]
Greaves, I., and Johnson, G. 2010. Head And Neck Trauma.
Kumar, Raj. 2010. Chronic Subdural Fliud Collection in Children. Journal of Medical
Education and Research Vol 7 (1)
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC.
Puspitawati, Ira. 2009. Psikologi Faal. Jakarta: Universitas Gunadarma
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Shuqing Y, Ji-sheng W, Nan J. 2010. Compressive Brainstem Deformation
Resultingfrom Subdural Hygroma After Neurosurgery: A Case Report. Chinese
Medical Journal. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18706260 [05 Desember 2015]
Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2009. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Swift DM, McBride L. 2011. Chronic Subdural Hematoma in Children. Neurosurg
Clin sof North Am Vol 3.
Vandenberg JSP, Sijbrandy SE, Meijer AH, Oostdijk AHJ. 2002. Subdural Hygroma:
A Rare Complication of Spinal Anesthesia. Anesth Analg.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12032041 [05 Desember 2015]

Anda mungkin juga menyukai

  • LP Tumor Palpebra
    LP Tumor Palpebra
    Dokumen9 halaman
    LP Tumor Palpebra
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Leafleat PHBS
    Leafleat PHBS
    Dokumen2 halaman
    Leafleat PHBS
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Laporan Penyuluhan PHBS Pada Anak Remaja
    Laporan Penyuluhan PHBS Pada Anak Remaja
    Dokumen8 halaman
    Laporan Penyuluhan PHBS Pada Anak Remaja
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • LP Isos
    LP Isos
    Dokumen13 halaman
    LP Isos
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • LP Anemia
    LP Anemia
    Dokumen14 halaman
    LP Anemia
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Jtptunimus GDL Nurulhiday 6749 2 Babii
    Jtptunimus GDL Nurulhiday 6749 2 Babii
    Dokumen24 halaman
    Jtptunimus GDL Nurulhiday 6749 2 Babii
    Albert Matakena
    Belum ada peringkat
  • LP DM
    LP DM
    Dokumen20 halaman
    LP DM
    saraswati
    60% (5)
  • Pathway Sirosis
    Pathway Sirosis
    Dokumen1 halaman
    Pathway Sirosis
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Pathway Diare
    Pathway Diare
    Dokumen1 halaman
    Pathway Diare
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • DM Yu
    DM Yu
    Dokumen41 halaman
    DM Yu
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • LP Hidropnemotoraks Yuni
    LP Hidropnemotoraks Yuni
    Dokumen14 halaman
    LP Hidropnemotoraks Yuni
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan Inc-1
    Asuhan Keperawatan Inc-1
    Dokumen10 halaman
    Asuhan Keperawatan Inc-1
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Pathway Sirosis
    Pathway Sirosis
    Dokumen1 halaman
    Pathway Sirosis
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Pathway Isk Yuni
    Pathway Isk Yuni
    Dokumen1 halaman
    Pathway Isk Yuni
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Kasus 5
    Kasus 5
    Dokumen1 halaman
    Kasus 5
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • LP ISK YUNI
    LP ISK YUNI
    Dokumen8 halaman
    LP ISK YUNI
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen43 halaman
    Bab 2
    Anasfaizah Faizah
    Belum ada peringkat
  • Intervensi Triple S
    Intervensi Triple S
    Dokumen2 halaman
    Intervensi Triple S
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • LP Hemiparesis
    LP Hemiparesis
    Dokumen20 halaman
    LP Hemiparesis
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • ASKEP Hipertensi
    ASKEP Hipertensi
    Dokumen13 halaman
    ASKEP Hipertensi
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • LP Ulkus
    LP Ulkus
    Dokumen15 halaman
    LP Ulkus
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Askep Halusinasi
    Askep Halusinasi
    Dokumen34 halaman
    Askep Halusinasi
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Terapi Main
    Terapi Main
    Dokumen15 halaman
    Terapi Main
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Laporan Ikterus Neonatorum Peristi
    Laporan Ikterus Neonatorum Peristi
    Dokumen21 halaman
    Laporan Ikterus Neonatorum Peristi
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen7 halaman
    Bab Iv
    Linda Yulianti
    Belum ada peringkat
  • Terapi Main
    Terapi Main
    Dokumen15 halaman
    Terapi Main
    utari wulandari
    Belum ada peringkat
  • NASKAH ROLE PLAy
    NASKAH ROLE PLAy
    Dokumen5 halaman
    NASKAH ROLE PLAy
    mutia syukri
    Belum ada peringkat
  • Kasus 2
    Kasus 2
    Dokumen1 halaman
    Kasus 2
    2020032027 FURQAN JULFIARTO SULULING
    Belum ada peringkat
  • Format Pengkajian Gadar
    Format Pengkajian Gadar
    Dokumen5 halaman
    Format Pengkajian Gadar
    desi
    Belum ada peringkat