Anda di halaman 1dari 9

NAMA : Rosita Sari

NIM : 014.06.0065

MATERI KULIAH : KEJANG

DOSEN : dr. Rohmania Setiarini, Sp.N.,M.Sc

Latar Belakang : Kejang merupakan gejala yang timbul dari efek langsung atau
tidak langsung dari penyakit sistem saraf pusat ( SSP ). Obat – obat yang digunakan
untuk terapi berbagai penyakit vaskuler yang dapat mempengaruhi ambang kejang
dan menyebabkan kejang , selain itu penyakit dapat pula mendasari angka kejadian
kejang pada pasien stress. Kejang didefiniskan sebagai perubahan sementara dalam
keadaan atau tanda – tanda lain atau gejala yang dapat disebabkan oleh disfungsi
otak. disfungsi otak tersebut dapat disertai dengan motorik, sensorik dan gangguan
otonom tergantung paad daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri atau pun
penyebaran ke organ yang lain (Hidayat, 2016).

Definisi Kejang : merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan
tiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak.
Jika gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik
terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum.
(sumber : FK UI 2010).

Epidemiologi : Terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan puncak kejadian pada
awal kejang (kejang neonates atau tumor dan stroke) kehidupan. Kita ketahui
epilepsy adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati urutan kedua dari
penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak. Penyakit ini diderita oleh kurang
lebih 50 juta orang di seluruh dunia. Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari
beban penyakit global, dimana 80% beban tersebut berada di negara berkembang.
Pada negara berkembang di beberapa area 80- 90% kasus tidak menerima pengobatan
sama sekali.

Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara 40-70
kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden berkisar antara
100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi dari epilepsi bervariasi antara
5-10 kasus per 1.000 orang.

Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi
diperkirakan ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia adalah
5-10 kasus per 1.000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun.

Menurut Center for Disease and Prevention (CDC) pada tahun 2010 di AS,
epilepsy mempengaruhi 2,5 juta orang . Survie dari dokter, pelaporan diri, dan
penelitian dari campuran beberapa sumber ini, di simpulkan bahwa kejadian dan
prevalensi kejang dan epilepsi, kejang epilepsy pertama terjadi apada 300.000 orang
setiap tahunnya, 120.000 orang berusia > 18 tahun, dan antara 75.000 dan 100.00
diantaranya adalah anak- anak muda yang berusia 5 tahun yang mengalami kejang
demam. Laki – laki memiliki sedikit lebih beresiko dari pada perempuan.

Etiologi : Disebabkan oleh gangguan metabolisme akut seperti hiponatremia, dan


penggunaan obat antiaritmia atau antibiotic.

Penyebab lain yang mendasari timbulnya kejang :

1. Idiopatik atau timbul dari penyebab yang tidak diketahui


2. Trauma serebral dengan hilangnya kesadaran
3. Space Occupaying lesions : Tumor otak, Malformasi arteri vena (AVM),
Hematoma subdural, Neurofibromatosis
4. Infeksi Cerebral : Bakteri atau virus meningitis, Radang otak dan Abses otak
5. Kejang demam atipikal
6. Faktor genetic : seperti kromosom yg abnormal
7. Gangguan pembuluh darah serebral, seperti : hemoragis dan trombosis
8. Asidosis hipoksia
9. Riwayat keluarga

Patofisiologi : Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak


dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisiyang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls .Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepaskan muatan listrik, dimana membran neuron sehingga
membran mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan melepaskan muatan
listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasnya muatan listrik dengan jumlah
besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan kejang. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar tempat epileptic.
Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terusmenerus melepaskan muatan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Prawirohardjo,2015).

Klasifikasi Kejang : Klasifikasi kejang pertama kali diusulkan oleh Gastaut pada
tahun 2010 dan kemudian disempurnakan berulang kali oleh International League
Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 2015, dengan klasifikasi sebagai berikut :
1. Kejang parsial simplek
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami
gejala berupa.
 deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubih tertentu. - Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh
tertentu
 Halusinasi
2. Kejang parsial kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan
besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah.
Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin
tidur setelah serangan semacam ini.
4. Kejang absans / Petit Mal
Kejang ini di bagi menjadi kejang absans tipikal atau petit mal dan
kejang atipikal.Kejang absenstipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas
motorik motorik anak secara tiba-tiba,kehilangan kesadaran sementara secara
singkat,yang di sertai dengan tatapan kosong.Sering tampak kedipan mata
berulang saat episode kejang terjadi.Episode kejang terjadi kurang dari 30
detik.Kejang ini jarang di jumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Kejang absans atipikal di tandai dengan gerakan seperti hentakan berulang
yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas dan disertai dengan
perubahan kesadaran.
5. Kejang Mioklonik
Kejang yang ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara
tiba-tiba dan di sertai dengan flexi lengan.Kejang tipe ini dapat terjadi ratusan
kali perhari.

Factor resiko : Epilepsi, kejang demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor


otak, meningitis, ketidak seimbangan elektrolit, dan overdosis obat.

Manifestasi Klinis :

Pada kejang yang melibatkan satu area di otak, gejalanya meliputi:

 Gangguan sensasi pada penglihatan, pendengaran, atau penciuman.


 Gerakan berulang, seperti jalan berputar-putar.
 Gerak menyentak pada salah satu lengan atau tungkai.
 Perubahan suasana hati.
 Pusing.
 Kesemutan.

Sedangkan pada kejang yang memengaruhi seluruh bagian otak, gejala yang muncul
bisa berupa:

 Tubuh kaku lalu dilanjutkan dengan gerakan menyentak di seluruh tubuh.


 Gerak menyentak di wajah, leher dan tangan.
 Otot hilang kontrol, sehingga dapat membuat penderita tiba-tiba jatuh.
 Kaku otot, terutama pada punggung dan tungkai.
 Pandangan kosong ke satu arah.
 Mata berkedip cepat.

Terdapat pula gejala lain yang sering menyertai kejang, yaitu:

 Penurunan kesadaran sesaat, lalu bingung saat sadar karena tidak ingat apa
yang terjadi.
 Perubahan perilaku.
 Mulut berbusa atau ngeces.
 Napas berhenti sementara.

Pemeriksaan Diagnosis :

1. Pemeriksaan Anamnesis : Menanyakan riwayat penyakit sebelumnya dan


Riwayat penyakit keluarga.
2. Pemeriksaan fisik :
 Auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
 Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom
neurokutaneus dan perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang
bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada
bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang.
 Pemeriksaan neurologi meliputi status mental.

Pemeriksaan Penunjang :

1. Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan serum elektrolit dengan glukose,


kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan
toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan.
2. Pemeriksaan Elektroensefalografi
3. Pemeriksaan Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau
tidaknya kelainan struktural diotak.
4. Pemeriksaan Neuropsikologi : Pertimbangan akan dilakukan terapi
pembedahan, khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan
fungsi kognitif.

Penatalaksanaan farmakologoi dan non farmakologi :

Terapi farmakologi : Obat anti epilepsi (AED)

Berdasarkan jenis obat anti epilepsi :

1. Asam Valproat
2. Fenitoin : Phenytoin kapsul 100 mg; 300 mg.
3. Karbamazepin
4. Asam Valproat + Benzodiazepin
5. Asam Valproat + Fenitoin
6. Asam Valproat + Karbamazepin
7. Benzodiazepin + Fenitoin
8. Benzodiazepin + Karbamazepin
9. Asam Valproat + Benzodiazepin + Fenitoin
10. Asam Valproat + Benzodiazepin + Karbamazepin
11. Benzodiazepin + Fenitoin + Karbamazepin

Terapi non farmakologi : bisa dengan melakukan diet, pembedahan dan vagal


nerve stimulation (VNS), yaitu implantasi dari perangsang saraf vagal, makan
makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan konsumsi vitamin
yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi), istrirahat
yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan
epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas
panjang dan teknik relaksasi lainnya

Komplikasi : Akibat kejang terkadang memiliki konsekuensi serius. Kontraksi


otot yang sangat intens dan cepat dapat menyebabkan trauma, termasuk patah
tulang. Kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dapat menyebabkan trauma serius
akibat jatuh atau kecelakaan, orang tersebut dapat mengalami banyak konvulsi
tanpa menyebabkan kerusakan otak yang serius. Namun, konvulsi yang berulang
pada akhirnya dapat menurunkan kecerdasan. komplikasi yang disebut kematian
mendadak dan tidak dapat dijelaskan pada epilepsy.

Prognosis : Prognosis kejang bergantung pada jenis kejang. Kebanyakan


prognosis dapat baik bila ditangani dengan cepat dan tindakan yang bener dan
tidak memiliki keterbatasan.

Kesimpulan : Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat


sementara dan tiba – tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang
abnormal didalam otak. Jika gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak
tertentu , maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika
gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan
kejang yang bersifat umum.

Daftar Pustaka :
1. Guidelines for seizure Management. 2010
2. French, J.a. Pedley, T. A. Initial Management of Epilepsy. The new
England Journal of Medicine. 2015.
3. Prawiroharjo, C. J. Delanty, N. Pathophysiology of acute Symptomatic
Seizures. Seizures : Medical Causesand Management. 2015.
4. Haurer Stephen L. Harrison”s Neurology In clinical Medicine. Usa : Mc
Graw Hill Education, 2013.
5. Rudzinski, L.A. Shih, J.J. The Classfication of Seizures and Epilepsy
Syndromes. Novel Aspect On Epilepsy.2011 10.
6. Type of Seizures. USA : Epilepsy Foundation of America. 2009
7. Skidgel, R. A. Antiseizure Drugs. Medical Pharmacology. 2012
8. Persatuan Dokter Spesialis SarafIndonesia. Pedoman tatalaksana epilepsi.
Edisi ke-4. Jakarta: PERDOSSI; 2011. hlm. 3-28

Anda mungkin juga menyukai