Anda di halaman 1dari 4

PERANG PADRI

Berawal dari Perang Saudara Hingga Perang Melawan Penjajah Belanda


Oleh : Sofia

Sumber gambar: Selasar.com

Dalam sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, kerap kali tidak lepas
dari berbagai peperangan. Setiap daerah di Indonesia tentu memiliki sejarah tersendiri terkait
berbagai peristiwa perlawanan terhadap bangsa asing yang pernah menjajahnya. Begitu pula
dengan masyarakat muslim Minangkabau Sumatera Barat. Pada hakikatnya pertarungan yang
dilakukan oleh kaum muslimin adalah pertarungan melawan kebathilan.

Pada abad ke 18 masehi terjadi Perang Padri yang disebabkan oleh konflik internal
antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang berselisih prinsip mengenai agama. Namun pada
akhirnya perang padri berubah menjadi perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda.
Karena kaum Padri dan kaum Adat bergabung melawan Belanda.

Kaum Padri adalah sebuah nama di daerah Padang, yang mana di daerah inilah awal
mulanya diterapan gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakan puritanisme adalah sebuah
gerakan pemurnian ajaran Islam. Gerakan ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia oleh tiga
kaum muda Padri yang baru pulang dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka
itu adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada tahun 1803 Masehi. Kemudian
mereka membentuk kelompok Harimau nan salapan atau kaum muda Padri yang melakukan
penentangan terhadap praktek kehidupan beragama masyarakat Minangkabau yang sudah
menyimpang jauh dari kemurnian Islam.

Perjudian, penyabungan ayam, mabuk minuman keras, penentuan hukum adat


matriarkat mengenai warisan, urusan rumah tangga sampai pemerintahan merupakan
kebiasaan kaum Adat yang bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, kedatangan
tiga orang Haji yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Ranceh dan tuanku Imam
Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Adapun yang melatari gerakan Padri yang berlangsung selama 28 tahun (1809-1837)
di daerah-daerah yang sekarang merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Sumatera Utara, dan Provinsi Riau, pada dasarnya gerakan Padri ini dapat dipandang sebagai
bagaian dari proses panjang penyesuaian antara adat dan budaya Minangkabau yang bersifat
lokal dengan ajaran agama Islam yang bersifat universal. Gerakan Padri ini mencakup tiga
babak, yaitu :

Babak pertama, Pada tahun 1809-1821. Padri sebagai gerakan intelektual pemurnian
agama Islam dari berbagai kebiasaan masyarakat yang menyimpang dari syariat Islam
dimana terjadi pertempuran kecil-kecilan yang menjamur di berbagai wilayah Sumatera Barat
antara kekuatan reformis dari Kaum Padri dengan kekuatan tradisionalis dari Kaum Adat.
Kaum Padri mengobarkan semangat jihad atau perang di jalan Allah untuk melawan Kaum
Adat.

Kedua, Perang Padri (1821-1832) merupakan taraf awal dari peperangan melawan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa Belanda, setelah Inggris pergi, Belanda
mulai melakukan intervensi militer ke jantung Sumatera Barat dengan dalih ingin menolong
penguasa Minangkabau yang sah, yaitu keluarga raja di Pagaruyun dan para penghulu adat.
Perang padri melawan Belandapun terjadi. Belanda mula-mula melakukan penyerangan ke
daerah Tanah Datar di sekitar pusat kerajaan Minangkabau dan berhasil mengalahkan tuanku
Halaban di Luhak Agam. Namun untuk terus masuk ke jantung Minagkabau, tidaklah mudah
bagi Belanda. Karena kaum Padri tetap tegar dalam perjuangan dan semangat mereka.
Kemudian Belanda mengubah taktik dengan tawaran berdamai. Perjanjian damai pertama
kali terjadi pada 22 Januari 1824, dikenal dengan perjanjian Masang, yang didatangkan oleh
tuanku Imam Bonjol dari pihak Padri dan Letnan Kolonel Raff di pihak Belanda. Isinya
mengakhiri permusuhan kedua belah pihak dengan mengakui daerah kekuasaan dan
kebebasan berdagang dari daerah masing-masing.

Namun, kelicikan Belanda tetap tercermin dalam perjanjian ini, karena disana terdapat
politik belah bambu yang tercantum kalimat bahwa “kaum Padri akan membantu Belanda
melawan Padri lainnya yang mengganggu Belanda”. Ini berarti jika hal itu terjadi, maka
akan terjadi perang saudara antar sesama Paderi. Sehingga perangpun kembali berkecamuk.

Ketiga, Perang Minangkabau (1832-1837) sewaktu masyarakat Minangkabau bersatu


untuk melakukan perlawanan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada
tanggal 10 September 1833, Belanda melakukan penyerangan terhadap Bonjol dari berbagai
penjuru yakni dari Bukittinggi melalui Matur dan Pantar terus ke Bonjol di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Elout, dan dari Tapanuli Selatan Tuanku Rao di bawah pimpinan Mayor
Eilers. Serangan besar-besaran itu menyebabkan benteng Bonjol jatuh. Belanda berhasil
menduduki daerah itu.
Jendral Van Den Bosch mengeluarkan “plakat panjang” (25 Oktober 1833), dan
menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat
dan Belanda tidak akan membebankan pajak kepada rakyat. Namun rakyat menanam kopi
dan menjualnya hanya boleh kepada kompeni (Belanda). Akibat perbuatan semena-mena
tersebut akhirnya menyebabkan rakyat melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Seluruh
Minangkabau bergerak dengan penggerak pertama yang dilakukan oleh Bonjol dan segera
diikuti daerah lain. peristiwa perang terhadap penjajah tersebut terjadi pada bulan Januari
1834.

Sultan Bagagarsyah, Raja Minangkabau, dibuang ke Batavia. Banyak penghulu adat


serta ulama digantung. Karena dicurigai telah ikut dalam barisan Padri. Sementara Tuanku
Imam Bonjol melanjutkan perjuangan dengan penuh semangat. Belanda mendatangkan bala
bantuan militer dari Jawa. Pasukan perang yang dulu dipakai melawan Pangeran Diponegoro
dikirim ke Minangkabau, Belanda menyerang Bonjol dan berhasil menduduki Mathur dan
Pantar pada tanggal 3 dan 4 Juni 1834. Pada tanggal 30 April 1835, dalam peperangan ini
menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Belanda melakukan penyerangan dari
Mathur dan Palembayan serta ke Tapanuli Selatan. Bonjol terkepung sehingga
mengakibatkan pasukan Tuanku Imam Bonjol terjepit.

Setelah 10 bulan Bonjol dikepung oleh Belanda, akhirnya mereka berhasil menguasai
daerah barat daya Bonjol namun Tuanku Imam Bonjol sendiri masih jauh dari jangkauan
Belanda yang hendak menangkapnya. Karena sulitnya menaklukkan Bonjol, resident Belanda
di Padang mengirim surat kepada Tuanku Imam Bonjol yang berisikan ajakan untuk
berunding. Tawaran itu diterima Imam Bonjol dengan beberapa syarat:
1. Jalan dari Bukittinggi ke Rao tidak boleh melewati Bonjol.
2. Rakyat Minangkabau tidak boleh dipaksa untuk ikut rodi.
3. Belanda harus menghentikan campur tangannya di Minangkabau.

Dengan syarat-syarat tersebut, terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak.
Namun secara tiba-tiba, diakhir November hingga Desember 1836 Benteng Bonjol diserang
kembali secara bertubi-tubi oleh Belanda dengan mengirim meriam dan melakukan
penyusupan ke dalam benteng. Dengan pedang terhunus Tuanku Imam Bonjol mengejar
tentara Belanda yang akhirnya mundur, sehingga mereka gagal kembali untuk merebut
benteng Bonjol. Karena sulitnya Belanda untuk menduduki Bonjol, pada tanggal 9 Maret
1837. Panglima tentara Hindia Belanda, Mayor Jendral Cochius, datang ke Padang dan terus
ke Bonjol. Panglima mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding, namun ternyata tidak
berhasil. Peperangan terjadi kembali dan benteng Bonjol dihujani tembakan yang bertubi-tubi
lagi. Akibatnya benteng itu mengalami kerusakan berat dan ini terjadi pada bulan Agustus
1837. Sampai akhirnya Benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda.

Tuanku Imam Bonjol dapat meloloskan diri dan menyingkir ke Koto Marapak, lalu
bersembunyi di Bukit Gadang bersama pasukannya. Beliau kemudian memimpin perang
gerilya dari hutan-hutan. Beberapa kali tempat persembunyian Tuanku Imam Bonjol
dikepung Belanda, namun beliau bisa meloloskan diri ke daerah Tujuh Lurah. Sebulan
kemudian, datang undangan dari resident Sumatera Barat untuk berunding di Padang (28
Oktober 1837). Undangan itu dikabulkannya. Tetapi ternyata beliau dikhianati. Sesampai di
Padang, pasukan resident yang beliau temui ternyata tentara Belanda yang sudah siap untuk
menangkapnya.

Mula-mula Tuanku Imam Bonjol dipenjarakan di Bukittinggi. Khawatir akan


pengaruh ulama pejuang ini, Belanda pun memindahkannya ke Padang. Nampaknya Belanda
masih cemas pengaruh dan semangat akan terus berkobar di kalangan pengikutnya, beliau
kemudian dibuang dan diasingkan ke Cianjur (Jawa Barat) pada tanggal 23 Januari 1838.
Setahun kemudian, pembuangan Tuanku Imam Bonjol diperjauh lagi, sehingga pada tanggal
19 Januari 1839 beliau dipindahkan ke Ambon. Dua tahun di Ambon, pada tahun 1841,
beliau dipindahkan lagi ke Manado. Di tempat inilah, pada tanggal 8 November 1864 beliau
meninggal dalam usia 92 tahun, sesudah 27 tahun lamanya menjadi tawanan. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di Kampung Lotak, Minahasa Sulawesi Utara.

Dari rentetan peristiwa berikut terlihat jelas betapa tegasnya Islam terhadap kaum adat
yang enggan untuk menerapkan syariat Islam dan usaha sengit dilakukan kaum muslimin di
Minangkabau dalam menyatukan kaum Adat dengan kaum Padri sehingga lahir kesepakatan
diantara keduanya hingga timbul konsensus bersama “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah” yang berarti Adat bersendi Syariat, dan Syariat bersendi kitab Allah.

Akan tetapi pihak musuhpun tidak pernah menyerah untuk menghancurkan dan
memecah belah kaum muslimin dengan berbagai strategi poletik kotornya. Dari dulu hingga
kini pola musuh dalam menjatuhkan umat Islam terus berulang rumusnya yakni dengan angin
segar perundingan lalu mengkhianati, dengan tipuan lalu melucuti kaum muslim dari
ideologi.

***

Daftar Pustaka :

Citra, Putri, 2018. “Dakwah Pada Masyarakat Minangkabau (Studi Kasus Pada Kaum
Padri)”.
Islamic Communication Journal UIN Walisongo Semarang. No.1. Vol.3.
Lilie, Kori, 2019. “Gugatan Terhadap Kepahlawan Tuanku Imam Bonjol”. IAIN Bukitting.
No.1. Vol.29.
Zed, Mestika, 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai