Anda di halaman 1dari 5

Ujian Tengah Semester Fikih dan Ushul Fikih

Nama : Fahmi Aulia Fathul

Npm : 41182911190052

Kelas : pararel 1

Jawaban

1. Fikih
Fikih adalah di alam bahasa Arab, perkataan fiqh yang ditulis fiqih atau kadang-kadang
fekih setelah diindonesiakan, artinya paham atau pengertian. Kalau dihubungakan
dengan ilmu ,,dalam hubungan ini dapat juga dirumuskan (dengan kata lain), ilmu fiqih
adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar
yang terdapat di dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.
Dengan kata lain ilmu fikiih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang
terdapat di dalam Al-Quran untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah
dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.
Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat
cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan
digunakan landasan dalam masalah akidah .

Ushul fikih
Ushul fikih adalah Menurut aslinya kata "Ushul Fikih" adalah kata yang berasal dari
bahasa Arab "Ushulul Fikih" yang berarti asal-usul Fiqh.
Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fikih ini, Ushul Fikih itu ialah,
suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan
dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya.

Ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fikih ini meliputi:
a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat,
mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal,
azimah dan rukhshah).
b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti
apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak,
menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri
atau dipaksa, dan sebagainya.
c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku
itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah
orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya
d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan
yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha
manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid
samawiyah.
e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh,
mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad,
nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas
penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid
dan sebagainya.
g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma',
qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana,
bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h. Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful
munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq;
dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan
penyelesaiannya.

2. – Masa Nabi Muhammad


Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah
wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang
menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan
pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur
di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi
bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?,
ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya:
kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan
berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di
dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka
Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan
Rasulullah SAW” (HR. Tirmidzi)
Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu
Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih
adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis.
Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.

-masa sahabat nabi


Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-hukum
yang terrdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta
rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena itu
mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka
tidak menggunakan pengetahuan Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek
sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan menjadi teladan bagi umat sesudahnya.
-masa tabi’in
Pada masa tabiin, tabi’ al-tabiin, dan para imam mujtahid kekuasaan Islam meluas ke
daerah daerah yang di huni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan
bangsa Arab, kondisi budayanya cukup berbeda-beda. Banyak di antara ulama yang
bertebaran ke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut
yang masuk Islam. Semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang
ketetapannya tidak di jumpai di dalam al-quran dan hadis. Karena itu ulama-ulama yang
tinggal di daerah tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan
penalaran mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ditambah pula dengan
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu,
kegiatan ijtihad menjadi maju pesat.

-masa tabi’ tabi’in (periode imam madzhab)


Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun
ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan
teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara
membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang
telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti
istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia
berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki –setelah al-Quran
dan Hadis- lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan
hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-imam yang lain.

-masa modern
Upaya untuk mengembangkan fiqh di era modern dan global dewasa ini bagaimanapun
juga merupakan hal yang sa-ngat krusial dan urgensial dilakukan oleh para sarjana
muslim. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari semakin kompleksnya realitas sosial
dan problematika kemasyarakatan yang muncul. Untuk itu semangat berijtihad sudah
sepatutnya ditumbuh-kembangkan di kalangan ummat, tidak boleh sekali pun ditu-tup
atau “dibunuh” dengan penafsiran hukum yang tunggal dan cenderung dipaksakan baik
lewat kekuasaan atau tidak.

3. Sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan
yang mempunya kekuatan, yang bersifat mengikat , yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tergas dan nyata . Dengan demikian yang dimaksud dengan
SUMBER HUKUM ISLAM adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan atau
pedoman syariat Islam.

Ulama Ahli Fiqih berpendapat bahwa sumber Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan al-
Hadits. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku tinggalkan bagi kamu dua hal yang
karenanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian berpegang kepada
keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah (Hadits).” (HR. Baihaqie) Selain
itu Ulama ahli fiqih menjadikan Ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam setelah
al-Quran dan Sunnah
4. Sunnah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa
dilakukan, adat kebiasaan, sebagai lawan dari kata bid’ah. Sedangkan Sunnah menurut
istilah menurut para Fuqaha’ adalah sesuatu yang dituntut oleh perbuatan syara’ untuk
dikerjakan dengan ketentuan yang pasti, sedangkan menurut ahli hadist adalah
perkataan, perbuatan-perbuatan atau keadaan Nabi Muhammad, sedangkan menurut
ahli ushul Fiqh berarti perkataan–perkataan, perbuatan-perbuatan atau ketetapan–
ketetapan Nabi yang berhubungan dengan pembentukan hukum.

Kehujjaan As Sunnah dalam mengistimbatkan hukum menempatkan pada posisi kedua


sesudah Al-Quran. Sunnah sebagai hujjah dalam mengistimbatkan hukum terbagi atas
tiga yaitu sunnah Qauliyah (perkataan nabi) yaitu hadis Rasul yang beliau sampaikan
dalam berbagai tujuan yang membuat berbagai maksud syariah baik yang berkaitan
dengan Aqidah Akhlak maupun yang. Lainnya. Kedua sunnah Fi’liyah ( perbuatan
nabi) segala peraturan pekerjaannya yang dipahami dan dilakukan nabi untuk diikuti
umatnya sampai kepada umat akhir zaman. Dan yang adalah sunnah Tagririyah yaitu
sunnah seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan
kepada nabi dan nabi mengetahui apa yang dilakukan ocang ito dan mampu menyangga
namun nabi diam dan tidak menyangga nya maka hal ini merupakan pengakuan
nabi.Fungsi Sunnah terhadap Al-Quran untuk menjelaskan kepada umat Islam ajaran-
ajaran yang diturunkan Allah melalui Al-Quran.

5. Ijma merupakan sumber penetapan hukum Islam setelah Alquran dan As Sunnah.
Mengutip buku Ijma Sebagai Dalil Syari Ketiga tulisan Tajun Nashr, definisi ijma
adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah wafatnya
beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i”.

Jenis-jenis ijma’

-ditinjau dari segi terjadinya


a. ljma' sharih/qouli/bayani, yaitu para mujtahid
menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan, seperti hukum masalah ini
halal dan tidak haram.
b. Ijma' sukuti/iqrari yaitu para mujtahid seluruh atau
sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan
jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang
telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.

-ditinjau dari segi keyakinan


a. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah sebagai dalil qath'i diyakini
benar terjadinya.
b. ljma' zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ itu dzhanni, masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan
hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmâ’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
-ditinjau dari waktunya
a. Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah Saw
b. Ijma’ khulafaurrasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-
empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi
c. Ijma’ shaikhan, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab
d. Ijma’ ahli Madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma’
ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki,
tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam
e. Ijma’ ulama Kufah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab
Hanafi menjadikan ijma’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

Contoh ijma’ = menghimpun suatu lembaran lembarann wahyu (pembukuan Al-


Quran)

6. Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat sebab perkara yang sudah
dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Namun, sebenarnya adat itu lebih luas dari
pada’urf, sebab adat kadang-kadang terdiri atas adat perseorangan atau bagi
orangtertentu, sehingga hal ini tidak bisa dinamakan ‘urf. Dan kadang-kadang terdiri
atas adat masyarakat, maka inilah yang disebut ‘urf.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut
istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan
sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau
lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Saddu dzari’ah ialah menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju
kerusakan. Oleh karena itu,apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah atau disumbat
agar todak terjadi kerusakan.
Contoh : penerapan urf pada ekonomi Islam

Anda mungkin juga menyukai