Anda di halaman 1dari 14

Makalah Pendidikan Kewarganeraan

Sengketa Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Nama : Marcelino Oktaviansyah

NPM : 183112700650137 // 22

Program Studi : Sistem Informasi

Nama Dosen : Drs R. Iwan siswadijaya, M.Si


BAB I

PENDAHULUAN

1.Latarbelakang

Di era modern ini banyak sekali negara yang melakukan hubungan dengan
negara lain untuk memenuhi kebutuhan negaranya. Hubungan yang dijalin
tersebut terikat dengan hukum internasional. Tentu kita mengetahui
dengan adanya hukum internasional sangat berdampak positif dalam
menjaga ketertiban hubungan internasional. Namun, belum tentu suatu
hubungan hukum yang terjadi antara para pihak tidak selalu berjalan
lancar. Adakalanya timbul ketidakserasian yang kemudian menimbulkan
sengketa diantara kedua belah pihak. Wilayah merupakan hal yang sering
disangkut pautkan dengan kedaulatan. Saat wilayah suatu negara
dilanggar oleh negara lain, sama dengan mengganggu kedaulatan suatu
negara.

Sama halnya dengan negara Indonesia dan Timor Leste, karena suatu
wilayah kedua negara tersebut bersengketa. Timor leste merupakan suatu
negara yang dulunya termasuk kedalam wilayah Indonesia. Setelah
merdeka pada tanggal 20 Mei 2002, Timor Leste resmi memisahkan diri dan
membentuk negara baru yaitu Republic Rakyat Demokratik Timor Leste.
Persoalan kemerdekaan Timor Leste tentunya menjadi cabuk tersendiri bagi
pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan dan
malah memilih opsi untuk memerdekaan Timor Leste.

Persoalan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia tidak selesai sampai disitu
saja, masalah pelik yang sering muncul yakni masalah perbatasan. Ada
beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia – Timor Leste yang masih
belum disepakati dan masih menjadi klaim antar dua negara tersebut. Oleh
karena itu, makalah ini disusun untuk mengupas lebih jauh lagi konflik
antara Indonesia dan Timor Leste atas perebutan wilayah perbatasan
tersebut juga dan mengupas penyebab dan berbagai cara yang ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
B. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang akan dibahas :

1. Sengketa Perbatasan Indonesia – Timor Leste

2. Penyebab sengketa antara Indonesia – Timor Leste

3. Cara penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor Leste

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui sengketa internasional antara Indonesia – Timor


Leste

2. Untuk pengetahui penyebab sengketa antara Indonesia – Timor Leste

3. Untuk mengetahui seberapa jauh penyelesaian sengketa antara


Indonesia – Timor Leste

4. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa antara Indonesia –


Timor Leste

D. Manfaat

1. Memberi pengetahuan bagi peserta didik tentang sengketa


internasional antara Indonesia – Timor Leste

2. Menambah wawasan peserta didik dan masyarakat umum tentang


penyelesaian sengketa antara Indonesia – Timor Leste

E. Metode Penelitian

Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka. Metode


penulisan makalah ini dengan mengumpulkan bahan-bahan,materi-materi
dan informasi-informasi yang diperoleh dari jurnal yang tersedia.
BAB II

ISI

A. Sengketa antara Indonesia – Timor Leste

Timor Leste merupakan bagian dari wilayah Indonesia setelah pemerintah


Indonesia menginvasikan wilayah tersebut. Namun karena adanya berbagai
macam gugatan dunia internasional mengenai keabsahan invasi ABRI
(sekarang TNI) terhadap Timor Leste dipertanyakan, pelanggaran HAM berat
dan ringan menjadi suatu polemic di masyarakat internasional menjelang
akhir tahun 1990-an atau tepatnya tahun-tahun menjelang 2000. Yang
pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi yang
luar biasa pada tahun 1998 yang terkenal dengan sebutan reformasi.
Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Jose Ramos Horta untuk meminta
dukungan internasional guna menekan pemerintah Indonesia. Akhirnya
pada tanggal 30 agustus 1999 pemerintah Indonesia dibawah presiden
Habibie mengadakan referendum untuk Timor Leste dan akhirnya Timor
Leste ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Kemerdekaan Timor Leste membuktikan bahwa pemerintah Indonesia tidak


dapat menjaga wilayah kedaulatannya. Kemerdekaan yang diberikan itu
juga tidak menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapi Indonesia malah
timbul persoalan-persoalan baru. Masalah perbatasan menjadi hal yang
lumrah untuk diperdebatkan mengingat kedua negara tersebut hanya
berbatasan dengan tapal batas. Hingga sekarang pemerintah Indonesia dan
Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua
negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas
yang belum terselesaikan. Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara
kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang
berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare
dan Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa
Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan
distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha.
Wilayah perbatasan ini sering menimbulkan konflik antara warga
perbatasan yang banyak memakan korban jiwa, memang pada tahun 2005
pemerintah Indonesia dan Timor Leste bertemu di Bali untuk membahas
masalah tapal batas kedua negara. Namun seiring berkembang isu politik
dan ekonomi antar kedua negara, wilayah perbatasan tersebut masih
menyisakan persoalan.

B. Penyebab Terjadinya Sengketa antara Indonesia – Timor Leste

1. Pembangunan jalan di dekat perbatasan

Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste


membangun jalan di dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana
menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut telah melintasi wilayah
NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas sejauh 50 m.
Padahal berdasarkan nota kesepakataan kedua negara pada tahun 2005,
zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia
maupun Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste
tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang
genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan
kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten
Timor Tengah Utara. Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu
terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan,
Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013.

2. Insiden penggiringan 19 ekor sapi

Eskalasi konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19


ekor sapi milik warga Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste
masuk ke wilayah mereka. Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi
enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Timor Leste untuk
mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya dari
empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap
perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik
Oekussi, Timor Leste.
3. Pembangunan di wilayah zona netral/telah melebihi batas wiayah.

Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor


Leste. Satu tahun sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur
Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana,
Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, terlibat
bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini
dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan
Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih disengketakan,
bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah Indonesia
sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh
pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara
kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai
oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste. Menurut Kepala Desa
Haumeni Ana, Petrus Asuat, Selasa (16/9/2014) mengatakan, enam titik
yang berpotensi konflik itu yakni Subina di Desa Inbate, Pistana di Desa
Nainaban dan Desa Sunkaen, Tububanat di Desa Nilulat, Oben di Desa
Tubu, Nefonunpo dan Faotben di Desa Haumeni Ana.

4. Membuka lahan pertanian di zona netral

Puluhan warga distrik Oecusi Timor Leste dilaporkan membuka lahan


pertanian di zona netral Sunkaen (Pistana) yang merupakan satu dari
empat titik sengketa antara Indonesia dan Timor Leste yang berada
disepanjang perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara
Timur. Luas lahan yang di garap itu diperkirakan mencapai 3000 meter
persegi. Pembukaan lahan tersebut tentu saja merupakan sebuah
pelanggaran.

Kedua negara sudah sepakat untuk menjadikan ke-empat lokasi sengketa


sebagai daerah netral. Kedua negara tidak boleh melakukan aktifitas apa
pun di daerah itu. Warga Oecusi secara sepihak telah mengklaim lokasi
Sungkaen sebagai wilayah Timor Leste. Empat titik sengketa di wilayah itu
meliputi Manusasi, Haumeni Ana, Inbate, dan Sungkaen. Pemerintah kedua
negara sudah berulang kali melakukan survei dan pemetaan dilokasi yang
menjadi sengketa. Apalagi tim negosiasi kedua negara memiliki bukti
historis dan sejarah yang berbeda mengenai kepemilikan lahan yang
disengketakan.

C. Pembahasan Kasus

1. Masalah Sengketa Perbatasan Indonesia – Timor Leste

Persetujuan Penegasan dan Penetapan Batas RI-RDTL tertuang dalam


komunike bersama yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Hasan
Wirajuda dan Ketua UNTAET Sergio Viera de Mello di Denpasar pada
tanggal 2 Februari 2002. Selanjutnya pemerintah RI dan UNTAET sepakat
untuk segera melakukan peninjauan lapangan sebagai langkah awal
menuju penegasan dan penetapan batas wilayah RI-RDTL.

2. Wilayah/Area Permasalahan Sengketa

1. Noel Besi / Citrana

Daerah sengketa terletak di Kabupaten Kupang, dengan luas + 1.069 Ha,


berawal dari sengketa lahan. Pada waktu Timor Timur masih bergabung
dengan NKRI, daerah Noel Besi/Citrana merupakan daerah perbatasan
Kabupaten Kupang (NTT) dengan kabupaten Ambeno (wilayah Timor
Timur). Daerah ini dialiri Sungai Noel Besi yang bermuara di selat Ombai
dimana sejak jaman Portugis aliran sungai mengalir di sebelah kiri daerah
sengketa.

Dari aspek yuridis, batas Negara menurut Treaty/Traktat 1904 Belanda-


Portugis disebutkan muara Sungai Noel Besi mempunyai Azimuth kompas
300 47’ NW kearah pulau Batek dan dari aspek Teknis (menurut Toponimi)
nama Sungai Noel Besi terdapat di sebelah timur Sungai Nono Noemna.
Mengingat adanya perbedaan pandangan yang sangat tajam tentang batas
darat kedua Negara, masing-masing merasa perlu adanya data/analisis
yang lebih lengkap dan akurat.
2. Bijael Sunan/Manusasi

Daerah sengketa meliputi daerah seluas ± 142,7 Ha, dikarenakan adanya


perbedaan persepsi traktat/Treaty juga di sebabkan karena masalah adat.
Sebelum tahun 1893 daerah ini di kuasai oleh masyarakat Timor Barat,
namun antara 1893-1966 daerah ini di kuasai masyarakat Timor Timur
(Portugis). Pada tahun 1966, garis batas di sepanjang Sungai Noel Miomafo
digeser ke utara mengikuti puncak pegunungan/bukit (watershed) mulai
dari puncak Bijael Sunan sampai dengan barat laut Oben yang ditandai
dengan pilar Ampu Panalak.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemindahan batas wilayah


yang dilakukan secara adat dengan melintasi batas antar Negara/batas
Internasional, disaksikan oleh Gubenur Portugis dan NTT pada saat itu.
Pada kasus manusasi terdapat 2 hal yang cukup menarik, pertama
menurut Treaty 1904 garis batas mengikuti Thalweg (walaupun prinsip
median line termasuk disepakati), kedua menurut adat, garis batas
mengikuti punggung bukit (Bukit Oelnasi). Prinsip delineasi berdasarkan
watershed/punggung bukit juga dianut dalam Treaty 1904.

3. Dilumil/Memo

Daerah bermasalah di Dilumil/Memo Kabupaten Belu mencakup daerah


seluas ± 41,9 Ha, berawal dari sengketa lahan yang berada di delta S.
Malibaka sebagai hasil proses pengendapan. Dalam hal ini, pihak RI pada
awalnya menghendaki batas wilayah RI-RDTL berada disebelah timur Delta,
sedangkan RDTL menghendaki di sebelah barat Delta. Namun pada
perkembangan terakhir (sesuai pertemuan TSC-BDR RI-RDTL tahun 2004),
pihak RI menghendaki penarikan batas sesuai median line yang membagi
dua river island/delta.

4. Subina-Oben.

Penyelesaian permasalahan unsurveyed hingga sekarang belum ada


kemajuan (titik temu). Oleh karena itu perlu adanya upaya penyelesaian
dengan merujuk pasal 6 Provisional Agreement RI-RDTL (2005) yang
melibatkan Pemda dan masyarakat setempat. Penegasan dan penetapan
batas antar kedua Negara dilakukan lewat forum kerjasama Technical Sub
Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR), yang dibuat
berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan oleh Belanda
dengan Portugis yaitu Colonial Boundary Treaty 1859, Convention 1893 dan
Convention 1904, Masalah batas timbul karena adanya perbedaan fisik
lapangan dan penafsiran serta RDTL pernah menjadi salah satu propinsi
NKRI.

Wilayah yang menjadi sengketa tersebut sering menimbulkan


konflik kekerasan antar warga desa dua negara. Kemiskinan didaerah
tersebut menjadi salah satu penyebab konflik, mengingat daerag free zone
(yang masih diklaim pihak Indonesia – Timor Leste) adalah lahan
persawahan yang cukup subur untuk pertanian. Sehingga terkadang warga
dari Timor Leste melakukan penanaman bibit pertanian dilahan tersebut
yang mana kegiatan tersebut tentunya sangat tidak disukai oleh warga NTT
diperbatasan. Seringnya pihak dari Timor Leste melakukan pembangunan
gedung maupun jalan yang melewati batas yang ditetapkan membuat pihak
Indonesia geram. Bentrok yang sering terjadi di beberapa desa yang telah
disebutkan diatas, perlu ada tindakan tegas dan negosiasi damai antara
dua pihak (Indonesia dan Timor Leste) untuk menyelsaikan konflik
tersebut, sebelum konflik ini berkembang menjadi besar sehingga dapat
menimbulkan korban jiwa.

3. Analisa Konflik Perbatasan Indonesia – Timor Leste

Konflik sendiri secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana dua atau
lebih aktor berjuang untuk mendapatkan sumber langka dalam waktu yang
sama,atau setidaknya aktor-aktor tersebut mempunyai posisi yang
dipersepsikan dan diyakini berlawanan dalam satu waktu yang sama.
Secara lebih khusus, untuk sengketa dan konflik perbatasan, Paul K. Huth
menjelaskan ada tiga faktor mengapa wilayah perbatasan sering
disengketakan dan menjadi pemicu konflik, yaitu kandungan sumber daya
alamnya, Komposisi agama dan etnis dalam populasinya, dan lokasinya
yang strategis secara militer.

Sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan Timor Leste


memang lebih disebabkan perebutan lahan petanian (sumber daya alam)
antara kedua warga negara yakni warga desa Haumeni Ana, Kecamatan
Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan
warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Permasalahan mengenai
penetepan sengketa batas wilayah antar kedua negara juga menjadi
pemicu, namun pendekatan pembangunan ekonomi berupa kesejahterhaan
dan tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam konflik tersebut.

Resolusi konflik secara umum dapat diartikan sebagai upaya yang


dilakukan untuk menyelesaikan konflik secara konstruktif dengan cara
mencari kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam
konflik.Menurut Vestergaard, resolusi konflik mencakup dua hal utama,
yaitu isu dan relasi (hubungan antar-aktor). Johan Galtung
memperkenalkan tiga pendekatan perdamaian dalam resolusi konflik.
Pertama, pemeliharaan perdamaian (peacekeeping), yaitu upaya untuk
mengurangi atau menghentikan kekerasan melalui intervensi yang
dilakukan oleh pihak penengah, umumnya dilakukan oleh militer. Kedua,
penciptaan perdamaian (peacemaking), yaitu upaya untuk menciptakan
kesepakatan politik antarpihak yang bertikai, baik melalui mediasi,
negosiasi, arbitrasi, maupun konsolidasi. Ketiga, pembangunan perdamaian
(peacebuilding) yaitu upaya rekonstruksi dan pembangunan sosial ekonomi
pasca konflik untuk membangun perubahan sosial secara damai. Dengan
tiga tahapan ini, diharapkan konflik bisa terselesaikan sampai ke akar
masalah, sehingga di masa mendatang konflik tersebut tidak pecah
kembali.

Pemerintah Indonesia ataupun Timor Leste harus bertemu secara langsung


demi menciptakan perdamaian di perbatasan, jangan sampai ketika konflik
tersebut mengalami eskalasi baru dua negara muali bertindak. Pendekatan
semacam ini harus ditinggal, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Persoalan kemapanan secara ekonomi maupun yang disebut sebagai
kesejahterahan adalah entry point yang harus segara mendapat tindakan
dari kedua negara. Intervensi militer memang dibutuhkan dalam ranah
pendekatan keamanan secara tradisional namun pendekatan human
security harus lebih diutamakan, karena ini menyangkut persoalan hak
warga negara dan menyangkut nama baik negara serta

keamanan negara tentunya.

D. Penyelesaian Konflik

Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, melakukan kunjungan


resmi dan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan
diskusi terkait sengketa batas. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat
2012, kedua negara telah menyepakati 907 koordinat titik-titik batas darat
atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas darat tersebut
ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan
Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor
Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang
berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7 km.

Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum


disepakati, hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola
pendekatan penyelesaian yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak
Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan UNTEA menekankan
bahwa penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara
Belanda-Portugis Tahun 1904 dan sama sekali tidak berkenan
memperhatikan dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah
tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat
masyarakat adat ikut dipertimbangkan.

Pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey (survei lapangan
bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste. Hal
tersebut dilakukan, terkait perundingan mengenai batas wilayah darat.
Kemlu RI secara konsisten sudah menyampaikan keberatan atas
pembangunan secara permanen oleh pihak Tinor Leste. Perwakilan Kemlu
RI juga telah melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai rincian letak
wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Tak hanya Kemlu,
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga bernjanji untuk memeriksa
informasi mengenai pendirian bangunan permanen di wilayah sengketa ini.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sengketa antara Indonesia dan Timor Leste terjadi karena perebutan batas
wilayah yang hingga sekarang belum ada penyelesaiannya. Penyebab
sengketa tersebut karena Timor Leste berulang-ulang kali melanggar
kesepakatan yang telah disepakati tentang batas wilayah tersebut. Hingga
sekarang telah dilakukan berbagai upaya untuk meredam persoalan ini
agar tidak ada lagi bentrok yang hingga menimbulkan korban jiwa seperti
pertemuan antara Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao dan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan diskusi terkait
sengketa batas pada tahun 2012. Upaya diplomatik juga telah dilakukan
dan pada tahun 2016 ini sedang berlangsung joint field survey (survei
lapangan bersama) yang dilakukan otoritas Indonesia dengan Timor Leste.
Referensi

 http://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/analisa-
konflik-perbatasan-indonesia-timor-
leste_5559e93ab67e610c7dd366af
 https://nasional.tempo.co/read/109006/warga-timor-leste-buka-
lahan-pertanian-di-zona-netral

Anda mungkin juga menyukai