Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Dalam praktik administrasi pertanahan di Indonesia, hal yang paling
menarik untuk didiskusikan dan sering menjadi wacana di kalangan masyarakat
adalah mengenai “Pendaftaran Tanah”. Pendaftaran tanah mempunyai arti penting
dan mempunyai manfaat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam
sejarah umat manusia dan bangsa dimulai dari tanah, dan bahkan konon manusia
pertama diciptakan dari tanah. Awalnya tanah merupakan kebutuhan dasar seperti
untuk tempat tinggal, ladang untuk budidaya tanaman dan memungut hasil,
maupun ladang untuk berburu hewan. Dewasa ini tanah bagi masyarakat
mempunyai makna yang multi dimensi, yaitu: ekonomi, sosio-kultural,
sosiorelegi, hukum, politik, pertahanan, keamanan, dan kedaulatan suatu Negara.

Multidimensi pemaknaan tanah mengakibatkan dalam penyelenggaraan


urusan pertanahan menjadi kompleks dan merupakan masalah lintas sektoral,serta
dari sudut pandang hak individual, kepemilikan tanah merupakan komponen dari
hak asasi manusia. Tanah sebagaimana yang tampak sehari-hari ternyata
mempunyai pengertian yang bermacam-macam tergantung sudut pandang dan
kepentingan. Ada yang mengenal tanah sebagai benda/barang atau material, tubuh
bumi (soil), sebagai tempat/lokasi (land) dan ruang hidup (space). Pengertian
tanah sebagai material berkaitan dengan kegunaan fisik sebagai bahan galian atau
barang tambang. Pengertian tanah sebagai soil, berkaitan dengan kegunaan
sebagai wahana tumbuh dan berproduksinya sesuatu komoditi tanaman.
Pengertian tanah sebagai land berkaitan dengan tempat bermukim dan berusaha
bidang pertanian maupun non-pertanian. Sedangkan sebagai space berkaitan ruang
dimana manusia hidup dan berada, yang dikenal sebagai ruang geografi, dengan
entity utama posisi, luas, jarak, accessibility.

1
Pengertian tanah dalam Pasal 4 UUPA adalah permukaan bumi yang dapat
dilekati sesuatu hak atas tanah. Permukaan bumi itu, berada di daratan dan
permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut. Dengan demikian,
tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang
berkaitan tempat bermukim dan kegiatan manusia di atas atau di bawahnya,
sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan.
Aspek-aspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang
tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak. Titik awal hubungan
antara subyek hak dan obyek hak (tanah) merupakan hubungan yang bersifat
hakiki, adalah hubungan penguasaan dan penggunaan dalam rangka memperoleh
manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik untuk
kepentingan sendiri sebagai mahluk individu maupun kepentingan bersama
sebagai mahluk sosial. Hubungan penguasaan dan penggunaan tanah itu
memerlukan kepastian hukum kepemilikan tanah. Oleh karena tanah dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah berupaya meletakkan dasar-
dasar untuk mengatur penguasaan, pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan
pengendalian pemanfaatan tanah guna terselenggaranya pengelolaan dan
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan
mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria yang sering disebut Undangundang Pokok Agraria
(selanjutnya disingkat UUPA).

Ditetapkannya undangundang ini, diharapkan dapat memberi


kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa dan harus sesuai
pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya
menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu, dalam UUPA
harus mewujudkan penjelmaan dari cita-cita bangsa, yang termaktub dalam sila-
sila Pancasila serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan
dalam Pasal 33 UUD 1945. Penjelasan umum Romawi II UUPA diuraikan bahwa
UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan
dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada
tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik

2
tanah. Lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
(bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah berdesarkan judul makalah adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana Pengertian pendaftaran tanah?
2. Bagaimana tujuan pendaftaran tanah ?
3. Bagaimana tanggungan hak dalam pendaftaran tanah?
4. Bagaimana pengertian hak tanggungan?
5. Bagaimana subjek dan objek tanggungan?
6. Bagaimana pembebasan dan hapusnya hak tanggungan?

1.3. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah, makalah bertujuan untuk mengetahui :


1. Pengertian pendaftaran tanah
2. Tujuan pendaftaran tanah
3. Tanggungan hak dalam pendaftaran tanah
4. Pengertian hak tanggungan
5. Subjek dan objek tanggungan
6. Pembebasan dan hapusnya hak tanggungan

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah yang dikenal di dunia ini berasal dari negeri Mesir
Kuno, ketika Raja Firaun saat itu memerintahkan pegawai kerajaannya untuk
mengembalikan patok-patok batas tanah pertanian rakyat yang hilang akibat,
meluapnya air sungai Nil.4 Perkembangan selanjutnya, Negara-negara di seluruh
dunia melaksanakan pendaftaran tanah, hal ini ditandai dengan adanya istilah
pendaftaran tanah dalam beberapa bahasa dan pelaksanaannya disesuaikan dengan
tujuan tertentu. Untuk memperoleh gambaran secara jelas mengenai pengertian
pendafataran tanah dimaksud, Pendaftaran tanah terdiri dari kata “pendaftaran”
dan kata “tanah”. Oleh karena itu untuk mengetahui pengertian pendaftaran tanah
dapat dipisahakan dalam 2 pengertian yaitu disatu pihak pengertian tentang
pendaftaran dan dipihak lain pengertian tentang tanah itu sendiri.

Secara etimologis pendaftaran berasal dari kata “daftar” yang kemudian


mendapat imbuhan “pe-an” sehingga berubah bentuk menjadi kata “pendaftaran”.
Kata daftar berarti catatan/tulisan yang diatur bersusun. Sedangkan kata
“pendaftaran” mempunyai makna pencatatan/perbuatan mendaftarkan. Pengertian
tanah menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah bumi dalam arti permukaan
bumi/lapisan bumi yang di atas sekali. Pengertian tanah dapat dijumpai dalam
Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menyatakan: “Atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dinyatakan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai

4
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain serta badan-
badan hukum”.

Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah


permukaan bumi. Dari segi istilah, ditemukan istilah pendaftaran tanah dalam
bahasa latin disebut “Capitastrum”, di Jerman dan Italia disebut “Catastro”, di
Perancis disebut “kadastrale” atau “kadaster”. Maksud dari Capitastrum atau
kadaster dari segi bahasa adalah suatu register atau capita atau unit yang diperbuat
untuk pajak tanah Romawi, yang berarti suatu istilah teknis untuk record
(rekaman) yang menunjuk kepada luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak
atas suatu bidang tanah.

2.1.1. Pengertian Pendaftaran Tanah Menurut Para Ahli

Sesuai dengan fungsinya, kadaster dapat dirumuskan sebagai suatu tugas


tertentu (yaitu pengukuran, pemetaan dan pembukuan) yang harus
diselenggarakan oleh pemerintah atau suatu badan/organisasi pemerintah
(Kadaster Dienst atau Jawatan Pendaftaran Tanah) yang harus menjalankan tugas
tertentu tersebut. Saat ini, arti kadaster tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kadaster modern, sebagaimana definisi para ahli.

Sotendik/Muller menyatakan bahwa Kadaster berasal dari kata


“Capitastrum” yang berarti satu daftar umum dimana berisi nilai-nilai serta sifat-
sifat. Bahasa Perancis “Cadaster”, Italia disebut “Kadaster”. Jaarsma menyatakan
bahwa Kadaster adalah suatu badan dengan peta-peta dan daftardaftar
memberikan uraian semua bidang tanah yang terletak dalam suatu wilayah
Negara. Van Huls menyatakan bahwa Kadaster sebagai suatu pembukuan
mengenai pemilikan tanah yang diselenggarakan dengan daftardaftar dan peta-
peta yang diperbuat dengan menggunakan ilmu ukur, parlindungan menyatakan
bahwa istilah pendaftaran berasal dari Cadastre (bahasa Belanda Kadaster).
Sedangkan kata kadaster berasal dari bahasa latin Capitastrum yang berarti suatu
Register atau Capita atau Unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi dan
berarti suatu istilah teknis untuk suatu record atau rekaman yang menggambarkan

5
tentang luas, nilai, subyek atas hak pada suatu bidang tanah. Selanjutnya
dikemukakan bahwa pendaftaran tanah adalah suatu pendaftaran yang melalui
suatu ketentuan yang sangat teliti dan terarah, sehingga tidak mungkin asal saja,
lebih-lebih lagi bukan tujuan pendaftaran tanah tersebut untuk sekedar
diterbitkannya bukti pendaftaran tanah.

Menurut Maria Sumardjono, Kadaster merupakan suatu daftar yang melukiskan


semua persil tanah yang ada dalam suatu daerah berdasarkan pemetaan dan
pengukuran yang cermat.8 Sedangkan Subekti dan Tjitro Sudibyo9 , menyatakan
Kadaster merupakan suatu lembaga yang ditugaskan menyelenggarakan
pendaftaran tanah dengan maksud untuk menetapkan identifikasi tiap-tiap
potongan tanah (persil) dan mencatat tiap-tiap pergantian pemilik (pemindahan
hak milik) begitu pula hak-hak kebendaan yang membebani tanah-tanah itu,
seperti hipotek, gadai tanah dan lain-lain. Juga hak kebendaan lain atas tanah, hak
guna bangunan, hak guna usaha dan lain-lain. Sedangkan Boedi Harsono10 ,
menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa
pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang
ada di wilayah-wilayah tertentu, pengelolaan, penyimpanan dan penyajian bagi
kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di
bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya

Effendi Perangin menjelaskan bahwa pendaftaran tanah meliputi: 1)


Pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta pendaftaran
dan surat ukur, dari peta dan pendaftaran surat ukur dapat diperoleh kepastian luas
dan batas tanah yang bersangkutan; 2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut termasuk dalam hal ini pendaftaran atau pencatatan
daripada hak-hak lain (baik hak atas tanah maupun jaminan) serta beban-beban
lainnya yang membebani hak-hak atas tanh yang didaftarkan itu; dan 3)
Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang menurut Pasal 19 ayat 2 berlaku
sebagai alat bukti yang kuat. Dengan demikian ‘cadaster’ adalah merupakan alat
yang tepat memberikan uraian dan identifikasi dari tanah tersebut dan juga
sebagai continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) daripada hak

6
atas tanah. Pendaftaran tanah adalah perbuatan mendaftarkan tanah yaitu bumi
dalam arti permukaan bumi paling atas yang dimanfaatkan untuk tanah garapan,
tanah pertanian dan tanah perkebunan serta tanah pertanian untuk menciptakan
suatu catatan/tulisan yang diatur bersusun yang dapat digunakan untuk tujuan-
tujuan tertentu.

2.1.2. Pengertian dalam Peraturan Perundang-undangan

UUPA menentukan bahwa tanah-tanah diseluruh wilayah Republik


Indonesia harus didaftarkan sedemikian rupa sehingga benar-benar membantu
usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan
sosial. Pendaftaran tanah menurut UUPA adalah suatu usaha menuju kearah
kepastian hak atas tanah yang dilakukan melalui pendaftaran hak-hak atas tanah
dan pendaftaran peralihan hak-hak tersebut, pemberian surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, yang dalam penyelenggaraannya
dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas ekonomi
serta kemungkinan penyelenggaraannya.

Berdasarkan Penjelasan Umum PP 10 Tahun 1961 dapat diketahui bahwa


yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran hak-hak
atas tanah yang diselenggarakan desa demi desa atau daerah-daerah yang
setingkat dengan itu yang dilaksanakan oleh jawatan pendaftaran tanah dalam
rangka untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah tersebut. Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai penyempurna dari PP 10 Tahun 1961,
di dalam Pasal 1 butir (1) menyebutkan bahwa: “Pendaftaran tanah adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta
dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya”.

7
Serangkaian kegiatan pendaftaran tanah dari kegiatan pengumpulan data
sampai dengan penyajian serta pemeliharaan data pada dasarnya merupakan
kewajiban pemerintah, sedangkan penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (sekarang Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) sebagai lembaga
pemerintah yang mempunyai tugas di bidang pertanahan yang salah satu tugasnya
adalah melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah atau land registration tidak hanya
mendaftarkan tanah secara fisik melainkan juga mendaftarkan hak atas tanah guna
menentukan status hukum tanah serta hak-hak lain yang membebani. Dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali (initial registration) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance).
Menurut Pasal 1 angka 9 PP 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah untuk pertama kali
adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah
yang belum didaftarkan berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 atau PP No. 24 Tahun
1997.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui: a)


Pendaftaran secara sistematik, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali yang dilakukan serentak meliputi semua obyek pendafataran tanah yang
belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah desa/kelurahan. b) Pendaftaran
secara sporadik yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai
satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Sedangkan pemeliharaan data
pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data
fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah
dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Data fisik
adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan.

Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan
satuan rumah susun bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar,
pemegang haknya dan ada tidaknya hak pihak lain serta bebanbeban lain yang

8
membebaninya. Perubahan tersebut seperti apa yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 Pasal 94 yaitu: Pemeliharaan data
pendaftaran tanah dilaksanakan dengan pendaftaran perubahan data fisik dan data
yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah didaftar dengan mencatatnya di dalam
daftar umum sesuai dengan ketentuan di dalam peraturan ini. Pertama, perubahan
data yuridis dapat berupa: (1) Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya; (2) Peralihan hak karena pewarisan; (3) Peralihan hak karena
penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi; (4) Pembebanan hak
tanggungan; (5) Peralihan hak tanggungan; (6) Hapusnya hak atas tanah, hak
pengelolaan, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan; (7)
Pembagian hak bersama; (8) Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan
putusan pengadilan atau penetapan Ketua Pengadilan; (9) Perubahan nama akibat
pemegang hak yang ganti nama; dan (10) Perpanjangan jangka waktu atas tanah.
Kedua, perubahan data fisik dapat berupa: (1) Pemecahan bidang tanah; (2)
Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah; dan (2)
Penggabungan dua atau lebih bidang tanah. Pemegang hak yang bersangkutan
wajib mendaftarkan perubahan yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997.

2.2. Tujuan pendaftaran tanah

Tujuan pendaftaran tanah adalah segala sesuatu yang ingin dicapai dari
pelaksanaan pendaftaran tanah. S. Rowton Simpson17 mengemukakan maksud
pendaftaran tanah dapat di bedakan dalam 2 ( dua) tujuan untuk mencapainya,
yaitu: a. Tujuan yang bersifat fiskal, diantaranya di perlukan untuk perencanaan
pembangunan dan perpajakan. b. Tujuan yang bersifat hukum antara lain untuk
menjamin kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Pendaftaran tanah
dengan tujuan fiskal mempunyai fungsi yang berhubungan dengan kepentingan
Negara yaitu untuk keperluan pemungutan pajak tanah, Douglas J Whalan
berpendapat bahwa pendaftaran tanah mempunyai 4 (empat) keuntungan, antara
lain: a. Security and certainty or true, artinya dengan pendaftaran tersebut terdapat
adanya kebenaran dan kepastian dari hak tersebut baik dari peralihan haknya dan

9
juga adanya suatu klaim dari orang lain. b. Peniadaan dari keterlambatan dan
pembiayaan yang berkelebihan artinya dengan adanya pendaftaran tanah tersebut
maka tidak perlu selalu di ulang dari awal setiap adanya peralihan haknya, apakah
dia berhak atau tidak dan bagaimana rangkaian peralihan hak tersebut. c.
Penyederhanaan atas alas hak yang berkaitan, artinya dengan adanya pendaftaran
tanah tersebut maka peralihan hak itu di sederhanakan dan segala proses akan
dapat di permudah. d. Ketelitian, artinya dengan adanya pendaftaran tanah, maka
ketelitian sudah tidak diragukan lagi.

Dengan demikian, berdasarkan tujuannya kadaster dapat dibedakan dalam


kadaster pajak dan kadaster hak. Kadaster pajak (belasting kadaster) diadakan
untuk keperluan pemungutan pajak tanah yang adil dan merata atau hanya untuk
kegiatan administrasi belaka. Objek dari kadaster pajak adalah bidang tanah
menurut penggunaannya. Artinya pajak dipungut dari wajib pajak berdasarkan
luas dan jenis penggunaan tanahnya. Umumnya harga tanah ditetapkan hanya
berdasarkan harga taksiran saja, sehingga pengukuran (batas-batas bidang tanah -
pajak- yang diukur dan dipetakan berdasar penggunaannya) tidak dilakukan secara
teliti dan seksama. Untuk kepentingan penarikan pajak, misalnya yang
diselenggarakan di Romawi sehingga muncul istilah capitastrum tersebut, juga
yang dilaksanakan di Perancis dan Nederland atas perintah Napoleon Bonaparte
yang disebut belasting kadaster atau fiscale kadaster, juga ada pendaftaran tanah
dalam rangka keperluan administrasi intern belaka seperti yang diselenggarakan
oleh para Lurah/Kepala Desa dalam rangka tugas mereka menyaksikan/
menguatkan pengalihan hak-hak atas tanah di wilayahnya yang pembukuannya
tidak merupakan daftar umum.

2.3. Tanggungan Hak dalam Pendaftaran Tanah

Aturan hukum pelaksanaan Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah di


dalam memperoleh kredit pada bank umum mengacu kepada UU No. 4 Tahun
1996, yang mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga
jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang berupa
tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. UU Hak
Tanggungan tersebut, memiliki asas-asas diantaranya: 1). Mempunyai kedudukan

10
yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996);  2). Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996);  3). Hanya dibebankan pada hak atas tanah
yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996), dll. 2.
Prosedur pelaksanaan Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah di dalam
memperoleh kredit pada bank umum melalui tahapan: (1) Perjanjian utang
(perikatan) yang mengandung janji untuk memberi Hak Tanggungan) perjanjian
ini bersifat konsensual obligatoir artinya mengandung kewajiban debitur untuk
memberi (menyerahkan) objek Hak Tanggungan kepada kreditur. (2) Perjanjian
Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat (2) UUHT), yang diawali dengan
perjanjian pemberian Hak Tanggungan dan berakhir pada saat pendaftaran.
Bentuk perbuatan hukum dari perjanjian pemberi hak tanggungan ini adalah Akte
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat PPAT (Pasal 10 ayat (2) jo
Pasal 17 UUHT. APHT tersebut kemudian dapat didaftarkan pada Kantor
Pertanahan.

Pada hakekatnya pendaftaran hak adalah pendaftaran hak-hak atas tanah


dalam daftar-daftar umum, yaitu daftar-daftar terbuka bagi setiap orang yang
memerlukan keterangan dari daftar-daftar itu, atas nama pemegang haknya.
Pendaftaran hak itu dapat dibagi dalam pendaftaran hak dengan daftar-daftar
umum yang mempunyai kekuatan bukti (registration of rights) dan pendaftaran
hak dengan daftar-daftar umum yang tidak mempunyai kekuatan bukti
(registration of deeds). Sementara tugas administrasi berupa pekerjaan
mendaftarkan haknya, karena pasal ini dengan tegas hanya mengatur tentang
“pendaftaran” yang merupakan tindakan administratif. Kewenangan untuk
melakukan hal itu diberikan kepada Pemerintah (Pasal 19 ayat (1)). Pendaftaran
itu dilakukan “oleh” pejabat (pejabat administrasi negara, Pejabat Tata Usaha
Negara) yang diberi kewenangan untuk itu, bukan dilakukan oleh pihak lain
dihadapan pejabat. Dengan demikian tugas pendaftaran tanah adalah tugas
administrasi hak yang dilakukan oleh negara dalam memberikan kepastian hak
atas tanah. Artinya negara bertugas untuk melakukan administrasi tanah, dan
dengan administrasi ini negara memberikan bukti hak atas telah dilakukannya
administrasi tanah tersebut. Negara hanya memberikan jaminan yang kuat atas

11
bukti yang dikeluarkannya, bukan semata-mata memberikan hak atas tanah
kepada seseorang tetapi bukti administrasi saja.

2.4. Pengertian Hak Tanggungan

Hak Tanggungan adalah satu-satunya hak jaminan atas tanah dalam


Hukum Tanah Nasional yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang
memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah
tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu dalam hal debitor
cedera janji dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut dengan Hak
Mendahulu daripada kreditor yang lain.7 Mengenai macam-macam hak atas tanah
sebagaimana ditentukan di dalam UUPA dapat dilihat dari ketentuan Pasal 16 ayat
(1) UUPA yaitu: 1. Hak milik 2. Hak guna usaha 3. Hak guna bangunan 4. Hak
pakai 5. Hak sewa 6. Hak membuka tanah 7. Hak memungut hasil hutan 8. Hak-
hak lain Hak-hak perorangan atas tanah (yang meliputi hak-hak atas tanah dan hak
jaminan atas tanah) tersebut di atas, baik secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Karena semua tanah dalam
wilayah Republik Indonesia, baik yang berupa tanah hak (tanah tanah yang
dikuasai dengan sesuatu hak atas tanah) maupun tanah negara (tanah yang
langsung dikuasai negara) keseluruhannya diliputi oleh Hak Bangsa Indonesia
maupun Hak Menguasai Negara tanpa kecuali. Boedi Harsono berpendapat bahwa
“hak menguasai sebagai Hak Bangsa Indonesia, tanah adalah kepunyaan bersama
rakyat Indonesia.”

2.4.1. Pengertian asas-asas Tanggungan

Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada


hukum adat, yang menggunakan Asas Pemisahan Horizontal, yang menjelaskan
bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Hak Tanggungan sebagai satu-satunya

12
lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunansan utang tertentu mempunyai 4
( empat ) asas, yaitu sebagai berikut :

1) Memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak


Tanggungan (asas droit de preference). Hal ini berarti bahwa Kreditor pemegang
Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan
pelunasan atas piutangnya daripada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan
benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Dalam hal ini apabila debitor
cidera janji (wanprestasi) maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak untuk
menjual obyek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dengan hak mendahulu
daripada kreditor-kreditor yang lain, yang bukan pemegang hak tanggungan atau
kreditor pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.

2) Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada (asas
droit de suite). Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu
tetap terbeban Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi
meskipun hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut telah
beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun Hak Tanggungan yang
ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.
Sifatdroit de suite ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
kepentingankreditor selaku pemegang Hak Tanggungan karena kreditor masih
tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi jika debitor cidera janji
walaupun obyek dari Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik
pihak lain.

3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas. Asas spesialitas maksudnya benda


yang dibebani Hak Tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan secara tegas dan jelas mengenai
benda yang dibebani itu berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya, apa batas-
batasnya, dan apa bukti pemiliknya. Adapun asas Publisitas artinya hal
pembebanan Hak Tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk
itu terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan. Untuk sahnya

13
pembebanan Hak Tanggungan dipersyaratkan bahwa wajib disebut secara jelas
piutang yang mana dan sampai sejumlah berapa yang dijamin, serta benda-benda
yang mana yang dijadikan jaminan. Hal ini yang disebut pemenuhan syarat
spesialitas, yang menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT, selain identitas pemegang dan
pemberi Hak Tanggungan, serta domisili masing-masing wajib dicantumkan
dalam APHT yang bersangkutan.Selain disebut dalam APHTnya, hak tanggungan
yang diberikan juga wajib untuk didaftarkan sehingga adanya hak tanggungan
serta apa yang disebut dalam akta itu dapat dengan mudah diketahui oleh yang
berkepentingan karena tata usaha pendaftaran yang ada di Kantor Pertanahan
terbuka bagi umum, yang merupakan pemenuhan syarat publisitas dan diatur
dalam Pasal 13 UUHT.

4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Artinya dapat dieksekusi seperti


putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.15 Kemudahan dan
kepastian pelaksanaan eksekusi terjadi dengan adanya sifat hak melakukan
eksekusi dari pemegang Hak Tanggungan dengan mencantumkan irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertipikat Hak
Tanggungan. Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera
janji, maka benda jaminan siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan
dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan Hukum Acara
Perdata.

Selain asas-asas yang telah di jelaskan di atas, terdapat pula asas yang
lainnya, seperti Asas Asesi (Asas Perlekatan) Baik perlekatan yang sifatnya
horisontal maupun perlekatan yang sifatnya vertikal, yang menyatakan bahwa
benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda tidak bergerak,
berdasarkan asas asesi maka benda- benda yang melekat pada benda pokok,
secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda
pokoknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 571 KUHPerdata
yang menyatakan: “Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya
kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.”

14
Lalu ada Asas Pemisahan Horisontal asas yang hanya mengakui hak atas
tanah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja dimana pemilikan atas tanah
dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas
pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat. Berkaitan
dengan penerapan asas pemisahan horizontal tersebut, Bachtiar Effendie
mengemukakan bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UUPA yang secara tegas
telah menjabarkan asas pemisahan horizontal tersebut.

Penerapan asas pemisahan horizontal tersebut tidak selalu mutlak


diterapkan kendatipun UUPA telah mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang
mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (termasuk
mencabut Pasal 500 jo Pasal 571 ayat 1 jo Pasal 601 KUHPerdata). Penerapan
asas pemisahan horizontal haruslah secara kasuistis atau perkasus sehingga
dengan demikian penyelesaian kasus tersebut akan dapat memenuhi rasa keadilan
dalam masyarakat.17 Boedi Harsono sebagaimana dikutip oleh Bachtiar Effendie
juga mengemukakan pendapatnya mengenai asas pemisahan horisontal. Beliau
mengemukakan bahwa asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat
dipertahankan secara mutlak, sebab di kota-kota, bangunan-bangunan pada
umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik
bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu lintas hukum, maka pemilik tanah
dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain
pemiliknya. Di desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan
bangunan (tanaman diatasnya), pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik
bangunan/tanaman di atasnya.

2.5. Subjek dan Objek Hak Tanggungan

Subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak


tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan.
Pemberi hak tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.
Umumnya pemberi hak tanggungan adalah debitor sendiri.Tetapi dimungkinkan
juga pihak lain, jika benda yang dijadikan jaminan bukan milik debitor. Bisa juga
debitor dari pihak lain, jika yang dijadikan jaminan lebih dari satu, masing-masing

15
kepunyaan debitor dan pihak lain atau debitor bersama pihak lain, jika benda yang
dijadikan jaminan milik bersama. Juga mungkin bangunan milik suatu Perseroan
Terbatas, sedang tanah milik direkturnya, sedangkan pemegang hak tanggungan
terdiri dari perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
berpiutang atau sering disebut kreditor.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 UUHT bahwa

pemberi mempunyai Hak Tanggungan adalah “orang perseorangan atau

badan hukum yang kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.” Dengan demikian,

karena objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Negara, sejalan dengan

ketentuan Pasal 8 Undang-undang Hak Tanggungan itu yang dapat

menjadi pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan

hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Negara.

Pada umumnya pemberi Hak Tanggungan adalah debitor itu sendiri (yang

berhutang), tetapi dimungkinkan juga pihak lain, jika yang dijadikan

jaminan hutang bukan milik debitor. Bisa juga debitor dan pihak lain, jika

yang dijadikan jaminan lebih dari satu masing-masing kepunyaan debitor

dan pihak lain, misalnya bangunan milik suatu Perseroan Terbatas

sedangkan tanahnya milik direkturnya. Pasal 9 UUHT, menyebutkan

bahwa pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan

hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Orang itu bisa

orang asing dan bisa juga badan hukum asing, baik yang berkedudukan di

Indonesia ataupun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan

16
dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara

Republik Indonesia.

Mengenai subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan

Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa

yang menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum

yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu

perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu

sebagai berikut:

a. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang

menjaminkan objek hak tanggungan (debitor);

b. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang

menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari pihutang yang

diberikannya.

Subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia adalah Warga

Negara Asing. Dengan ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai

salah satu objek hak tanggungan, bagi warga negara asing juga

dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek hak tanggungan apabila

memenuhi syarat. Sebagai pemegang hak tanggungan yang berstatus

Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing

atau badan hukum asing tidak disyaratkan harus berkedudukan di

Indonesia. Oleh karena itu jika perjanjian kreditnya dibuat di luar negeri

dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau badan hukum asing yang

berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang Hak

Tanggungan. sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan

17
untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia, hal ini

sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT).

Untuk dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan

atas tanah, termasuk Hak Tanggungan, benda yang bersangkutan harus

memenuhi syarat-syarat yang tersurat dalam Undang-undang Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum angka 5 dan

Pasal 4 ayat (1) sebagai berikut:

1. Dapat dinilai dengan uangkarena utang yang dijamin berupa uang;

2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus

memenuhi syarat publisitas;

3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan karena apabila debitor

cidera janji, benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual

dimuka umum;

4. Memerlukan penunjukan dengan Undang-undang.24

Sehubungan dengan persyaratan di atas dan berdasarkan Pasal 4

UUHT, yang merupakan objek Hak Tanggungan adalah:

1. Hak Milik

2. Hak guna usaha

3. Hak guna bangunan

4. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah Negara maupun hak pakai atas

tanah hak milik

5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang

telah ada atau akanada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut.

18
Selain objek-objek tanah Hak Pakai yang tidak dapat dipindah tangankan,

juga ada beberapa tanah yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan,

yaitu:

 Tanah milik yang sudah diwakafkan

 Tanah-tanah yang diperlukan untuk peribadatan dan keperluan suci

lainnya

 Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan

UUHT juga membuka kemungkinan membebankan tanah berikut atau

tidak berikut bangunan atau tanaman yang ada diatasnya. Sebagaimana

diketahui bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat yang

dalam hubungannya dengan bangunan dan tanaman menggunakan asas

pemisahan horizontal, dimana menurut asas tersebut bangunan dan

tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian tanah yang

bersangkutan. Menurut pasal 5 UUHT, suatu objek hak tanggungan dapat

dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan

lebih dari satu utang.Artinya, bahwa suatu objek hak tanggungan dapat

dibebani lebih dari satu hak tanggungan sehingga terdapat pemegang hak

tanggungan peringkat pertama, peringkat kedua dan seterusnya.

Apabila suatu objek hak tanggungan dibebani dengan lebih dari

satu hak tanggungan, peringkat maisng-masing hak tanggungan ditentukan

menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Yang dimaksud

dengan tanggal pendaftaran adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan

secara lengkap surat- surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika

hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi

19
tanggal hari berikutnya.Agar pembuatan buku tanah hak tanggungan

tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang

berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.

Menurut pasal 23 huruf (f) PP Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta

pemberian hak tanggungan (APHT). Bagi pemegang hak tanggungan tidak

ada persyaratan khusus, ia bisa orang perseorangan, bisa badan hukum,

bisa orang asing, bisa badan hukum asing baik yang berkedudukan di

Indonesia ataupun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan

dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara

Republik Indonesia.

2.6. Pembebasan dan Hapusnya Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang

menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin

pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah

sebagai mana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan

bahwa pemberian Hak Tanggungan, didahului dengan janji untuk

memberikan Hak Tanggungan sebagai mana jaminan pelunasan hutang

tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak

terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan

yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak

Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT

20
yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang- undangan yang

berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik

(Penjelasan Umum angka 7 UUHT). Proses pelaksanaan pemberian Hak

Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pemberian hak

tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan.

1. Pemberian Hak Tanggungan

Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan

Pasal 15 UUHT. Dalam Pasal 10 UUHT diatur tentang tata cara pemberian

Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan secara langsung,

sedangkan dalam Pasal 15 UUHT diatur tentang pemberian kuasa

pembebanan Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada

penerima kuasa.

Prosedur pemberian Hak Tanggungan sesuai ketentuan Pasal 10


UUHT

adalah:

(1) Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai

jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari perjanjian utang piutang.

(2) Dilakukan dengan penggunaan Akta Pemberian Hak Tanggungan

oleh PPAT sesuai perundang-undangan yang berlaku.

(3) Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari

konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan

tetapi belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan

bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang

bersangkutan.

21
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut

dapat diketahui. bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan

terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam dan

merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang

bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Ini berarti setiap janji untuk memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu

dituangkan dalam perjanjian utang piutangnya.

Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan

dibuat, dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji”

pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu,

berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir.Sesuai

dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak

Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam

APHT. APHT ini merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai

jaminan untuk pelunasan piutangnya.

Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu

mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin, maka menurut

ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1)

UUHT menegaskan, bahwa ketentuan mengenai isi Akta Pemberian Hak

Tanggungan tersebut, sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak

Tanggungan. Jika tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang

sifatnya wajib dalam APHT, mengakibatkan APHT-nya batal demi

hukum. Konsekuensi hukum bagi tidak dicantumkannya secara lengkap

22
hal-hal yang disebutkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut,

seyogyanya dicantumkan sebagai salah satu ayat atau pasal dalam Batang

Tubuh UUHT dan tidak sekadar dikemukakan dalam Penjelasannya.27

Prosedur pembebanan Hak Tanggungan yang menggunakan surat

kuasa membebankan Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 15 UUHT adalah sebagai berikut :

1). Wajib dibuatkan dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi

persyaratan sebagai berikut :

a). tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain

daripada membebankan Hak Tanggungan ;

b). tidak memuat kuasa substitusi ;


c). mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah

utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas

debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

2). Tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apa

pun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau

karena telah habis jangka waktunya.

3). Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas

tanah yang sudah telah terdaftar wajib diikuti dengan penggunaan

APHT selambat- lambatnya 1 ( satu ) bulan sesudah diberikan.

4). Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas

tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan penggunaan Akta

Pemberian Hak Tanggungan ( APHT ) selambat - lambatnya 3

( tiga ) bulan sesudah diberikan. Prosedur pada angka 3 dan 4 tidak

23
berlaku dalam hal surat kuasa membebankan Hak Tanggungan

diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pendaftaran hak tanggungn

Pendaftaran jaminan hak tanggungan diatur dalam ketentuan Pasal

13 UUHT. Menurut ketentuan pasal ini Kewajiban pendaftaran Hak

Tanggungan dapat ditemukan rumusannya dalam pasal 13 Undang-

Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 13 :

1. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor


Pertanahan

2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan


Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT
wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor
Pertanhaan.
3. Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah
Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah atas tanah
yang menjai objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4. Tanggak buku tanah Hak Tanggunga sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari
ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan
diberi bertanggal hari kerja berikutnyadimaksudkan agar
pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut
sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan
mengurangi jaminan kepastian hukum.

24
5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

Dari rumusan masalah pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan

tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat

pendaftaran Hak Tanggungan pada buku Tanah hak atas tanah yang

dibebankan dengan hak tanah. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan

oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas

pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah

Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah

ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri agraria no. 3 tahun 1997.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka daptlah

diketahui mengenai syarat sahnya pembebanan hak tanggungan yaitu:

1. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah(PPAT) sesuai dengan peraturan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2)

UUHT);

2. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal


11 ayat

(1) UUHT) yang meliputi :

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan;

b. Domisili para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan;

c. Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin

pelunasannya dengan hak tanggungan;

d. Nilai Tanggungan;

e. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan.

25
Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan

19 UUHT. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah

tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan. Pasal 18 UUHT disebutkan

mengenai hapusnya hak tanggungan yaitu:

1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:

a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

Hapusnya hutang itu mengakibatkan hak tanggungan sebagai

Hak Accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya

hak tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan

dari hutang debitor yang menjadi perjanjian pokoknya.

Dengan demikian, hapusnya hutang tersebut juga

mengakibatkan hapusnya hak tanggungan;

b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak

Tanggungan; Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang

hak tanggungan apabila debitor atas persetujuan kreditor

pemegang hak tanggungan, menjual objek hak tanggungan

untuk melunasi hutangnya, maka hasil penjualan tersebut akan

diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan dan sisanya

dikembalikan kepada debitor. Untuk menghapuskan beban hak

tanggungan, pemegang hak tanggungan memberikan pernyataan

tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut kepada

pemberi hak tanggungan (debitor). Pernyataan tertulis tersebut

dapat digunakan oleh kantor pertanahan dalam mencoret catatan

hak tanggungan yang tercantum pada buku tanah dan sertifikat hak

atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan yang bersangkutan,

26
(sebagaimana dimaksud pada Pasal 22 UUHT);

c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan

peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;

Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua

pengadilan negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek

hak tanggungan dibebani lebih dari satu hak tanggungan. Dan

tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang hak

tanggungan dan pemberi hak tanggungan tersebut mengenai

pembersihan objek hak tanggungan dan beban yang melebihi

harga pembeliannya, apabila pembeli tersebut membeli benda

tersebut dari pelelangan umum. Pembeli yang bersangkutan

dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan

negeri yang berwenang (yang daerah kerjanya meliputi letak

objek hak tanggungan yang bersangkutan) untuk menetapkan

pembersihan tersebut dan sekaligus menetapkan ketentuan

mengenai pembagian hasil penjualan lelang tersebut diantara

para yang berpihutang (kreditor) dan para pihak berhutang

(debitor) dengan peringkat mereka menurut Peraturan

Perundang- undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (3)

UUHT).

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Alasan hapusnya hak tanggungan yang disebabkan karena

hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak

lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya

27
syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang

berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang

salah satunya meliputi keberadaan dari sebidang tanah

tertentu yang dijaminkan.

2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya

dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai

dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak

Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.

3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak

Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua

Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas

tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah

yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan

sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

28
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hukum tanah Indonesia menganut asas pemisahan horizontal. Undang-


Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bersumber pada
hukum adat. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang membagi, membatasi,
dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang
berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal. Berdasarkan hal tersebut maka
tanah tempat didirikannya rumah susun terspisah dengan unit satuan rumah susun.
Asas pemisahan horizontal memungkinkan bangunan berdiri di atas tanah Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, di mana masing-masing hak
tersebut memiliki jangka waktu. Pemilik satuan unit rumah susun harus melepas
hak milik atas satuan rumah susun jika hak sekunder tanah tersebut berakhir.
Berakhirnya hak milik atas satuan rumah susun karena hak sekunder tanah
berakhir, dalam undang-undang terkait merupakan hal yang legal, demikian hal
tersebut menurut penulis bertentangan dengan rasa keadilan. Bertentangan dengan
126 rasa keadilan karena dalam beberapa kasus pemilik sataun rumah susun tidak
mengetahui dengan jelas tentang status tanah di mana rumah susun tersebut
didirikan.

Asas pemisahan dalam penerapannya dalam sistem rumah susun,


inkonsisten dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
karena dalam hak milik atas satuan rumah susun terdapat tanah bersama dan
benda bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Asas

29
pemisahan horizontal tidak efektif digunakan pada masa sekarang mengingat
bangunan-bangunan yang didirikan sudah menggunakan model permanen.
Bangunan model permanen terlebih jika bangunan tersebut berdiri secara vertikal
akan sangat sulit dipindahkan oleh pemilik hak milik atas bangunan tersebut
apabila hak sekunder tanah berakhir. Asas pemisahan horizontal akan relevan jika
diterapkan pada masa lampau di mana bangunan didirikan dengan model semi
permanen. Asas lex spesialis derogat legi generali digunakan untuk
menyelesaikan konflik hukum di atas. Asas lex spesialis digunakan untuk
mengecualikan asas pemisahan horizontal terhadap rumah susun. Asas yang
digunakan untuk mengecualikan asas pemisahan horizontal adalah dengan
menggunakan asas perlekatan. Bangunan menjadi bagian dari tanahnya, oleh
karena itu dengan sendirinya bangunan tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku pada tanahnya (hukum tanah).

3.2. Saran

Berdasarkan makalah tersebut kita memahami pentingnya mempelajari


mengenai keimigrasian yang kelak bisa menjadi acuan hukum. Pahami dan
patuhilah semua hukum dengan baik agar kehidupan kita pun dapat berjalan
dengan baik

30
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 2009, Mengenal Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termaksud Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence),
Kencana, Jakarta.

Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grafindo, Jakarta.

Andi Hamzah, dkk, 1992, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, PT. Rieneka Cipta,
Jakarta.

A.Z.Nasution, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit


Media, Jakarta. 1995, Konsumen dan Hukum, Tinjauan sosial Ekonomi dan
Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1995), hal. 78-80).

Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta

31

Anda mungkin juga menyukai