Anda di halaman 1dari 11

Filsafat Feminisme Islam Fattima Mernissi

Diajukan untuk memenuh itugas

MataKuliah:FilsafatModern

Dosen Pengampu:Dr.FatrawatiKumari,M.Hum

Oleh:

Siti Zulaikha(190103030281)

UNIVERSITASISLAMNEGERIANTASARI

FAKULTASUSHULUDDINDANHUMANIORA

JURUSANAQIDAHDANFILSAFATISLAM

BANJARMASIN

2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan perempuan merupakan yang selalu menarik untuk dikaji,


baik eksistensi, karakteristik, maupun problematikanya seiring dengan laju
perkembangan masyarakat. Ia selalu menjadi pembicaraan formal dan non
formal dari zaman dulu sampai sekarang, seolah-olah pembahasan tentang
perempuan tidak akan pernah ada habisnya. Sejarah peradaban manusia
mencatat bahwa sebelum datangnya Islam, kedudukan wanita sangat
mengkhawatirkan. Mereka tidak dipandang sebagai manusia yang pantas
dihargai. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial
dan memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat
terhormat dimasyarakat. Persoalan hak-hak perempuan merupakan salah satu
isu utama pemikiran Islam liberal di dunia Islam dewasa ini, disamping
perlawanan atas teokrasi, masalah demokrasi, hak-hak non muslim, kebebasan
berfikir dan mengenai faham kemajuan . Oleh karena itu, hendaknya dipahami
persamaan pria dan wanita dalam kemanusiaan, namun hal ini tidak berarti
meyakini persamaan keduanya dalam berperanan.Persoalan hak-hak
perempuan merupakan salah satu isu utama pemikiran Islam liberal di dunia
Islam dewasa ini, disamping perlawanan atas teokrasi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidupFattima Mernissi


2. Bagaimana pemikiran Fattima Mernissi

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui riwayat hidup Fattima Mernissi


2. Untuk mengetahui pemikiran Fattima Mernissi

1
PEMBAHASAN

A.Riwayat Hidup Fatima Mernissi


Fatima Mernissi, selanjutnya ditulis Mernissi adalah seorang Profesor dalam
bidang sosiologi di Universitas Muhammad V Rabat. Dia lahir di salah satu
harem di Kota Fez Maroko Utara pada tahun 1940-an.45 Sebagai ilmuwan
Mernissi aktif menulis, terutama yang berkenaan dengan masalah wanita; dan
saat ini sedang melaksanakan proyek penelitian di Institut Maroko Universitaire
de Recherche Scientifique.Mernissi berasal dari keluarga kelas menengah dan
semasa kanak-kanak ia hidup dengan keceriaan dan kebahagiaan, tinggal
bersama dengan sepuluh orang bersepupu yang berusia sebaya –baik yang laki-
laki dan perempuan– di dalam rumah besar.1 Pendidikan yang ditempuhnya
mulai sekolah Alquran, yaitu pendidikan tradisional yang mirip dengan sekolah
zaman pertengahan, serta sekolah yang paling murah penyelenggaraannya,
sekaligus harapan dari berjuta-juta orangtua dalam menapak pendidikan anak-
anak mereka.Suatu kenangan yang kurang menguntungkan bagi Mernissi semasa
di sekolah Alquran adalah bahwa dia tidak memiliki suara yang merdu dalam
melagukan ayat-ayat Alquran, justru itu dia tidak pernah tampil pada barisan
depan dalam setiap memperingati hari-hari bersejarah dalam Islam;sekalipun
sesungguhnya Mernissi mempunyai daya ingat atau otak yang bagus. Pendidikan
selanjutnya yang dilalui Mernissi adalah sekolah lanjutan tingkat pertama dalam
Sekolah Nasional serta sekolah menengah atas pada sebuah Sekolah Khusus
Wanita (sebuah lembaga yang dibiayai oleh Pemerintah Perancis). Pada masa
remajanya dia aktif dalam gerakan menentang Kolonialisme Perancis,untuk
merebut kemerdekaan Nasional. Bersama remaja lainnya, baik laki-laki dan
perempuan dia pernah turun ke jalan-jalan kota untuk menyanyikan “Al-Hurriyat
1
NurulAgustina. 1999. Melacak Akar Pemberontak Fatima Mernissi, (Jakarta:
Mizan), hal 69.

2
Jihaduna Hatta Narha” (Kami akan berjuang untuk kemerdekaan sampai kami
memperolehnya”. Setelah tamat dari sekolah menengah atas, Mernissi
melanjutkan studinya ke Universitas Muhammad V Rabat, mendapatkan
pendidikan bidang Sosiologi dan Politik. Kemudian dia hijrah ke Paris bekerja
sebentar sebagai jurnalis. Selanjutnya dia meneruskan pendidikan tingkat
sarjananya di Amerika Serikat, dan pada tahun 1973 dia memperoleh gelar Ph.D.
dalam bidang Sosiologi dari Universitas Brandeis dengan Disertasi yang
berjudul: Sexe Ideologie et Islam, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-
Jins Kahandasat Ijtima‟iyat.Sekembalinya ke Maroko, Mernissi bekerja pada
Departemen Sosiologi Universitas Muhammad V di Rabat. Dia tercatat sebagai
peserta tetap dalam konferensi-konferensi dan seminar-seminar internasional;
juga menjadi Profesor tamu (Dosen Terbang) pada Universitas California di
Berkeley dan Universitas Harvard. Sebagai seorang feminis Arab Muslim,
pengaruhnya melebihi intelektual di lingkungannya dan dia dikenal baik di
negerinya sendiri maupun di luar negeri terutama Perancis. Karya-karyanya telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan
Jepang.Mernissi juga sering mengadakan perjalanan keliling ke negara-negara
Islam untuk mengadakan ceramah, seperti Turki, Kuwait, Mesir, dan lain-lain;
dari hasil kunjungannya itu dia dapat menyimpulkan bahwa betapa besarnya
Negara mempergunakan Islam untuk mengabsahkan penyensoran, dimana hal ini
telah menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap iklim intelektual di setiap
tempat. Banyak hal yang dapat dikatakan di Maroko atau Turki dengan cukup
aman, tetapi tidak dapat dikatakan (disensor) di tempat lain.Dari segi Fiqh,
Mernissi adalah penganut Sunni yang bermazhab Maliki,(Siti
ZubaidahPemikiran Fatima Mernassi 2018Medan CV.Widya puspita hal 20-21)2
mengingat mayoritas Muslim Maroko menganut mazhab tersebut.

3
B.Pemikiran Fatima Mernissi

Istilah feminisme pertama kali dipergunakan pada tahun 1890 M, dan sejak itu
istilah feminisme mulai dikenal secara luas . Gerakan feminisme Muslim meliputi
kesadaran perempuan akan pembatasan atas dirinya karena gender, penolakan
perempuan terhadap ketidakadilan dan berusaha membangun sistem gender yang
lebih adil, yang melibatkan peran baru perempuan dan hubungan lebih optimal di
antara laki-laki dan perempuan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam
semua masyarakat disepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat matriarki yang
jumlahnya tidak seberapa.2 Pemikiran Fatima Mernissi dalam menggugat sistem
patriarki, nampaknya dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis. Fatima
Mernisi sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan
individu yang berkembang di barat. Gerakan feminisme di barat semakin
menyadarkan betapa dominasi laki-laki, masih bertahan di dunia Arab. Hal ini
terlihat, ketika perang teluk berlangsung semua tertarik untuk memperjuangkan
kemerdekaandan untuk menuntut dihentikannya perang, termasuk di dalamnya
perempuan. Pasca perang, perempuan Arab disuruh kembali ke balik cadar.
Muslimah dilarang untuk berhubungan dengan dunia luar dengan simbol kewajiban
memakai purdah(FatimaMernissi 1994.WanitadalamIslam.Bandung:Pustakahal3)2.
Pengaruh barat dalam pola pemikiran Fatima Mernissi tidaklah diserap begitu saja,
tanpa adanya upaya untuk memformulasikannya. Fatima Mernissi mengungkapkan
bahwa agama harus dipahami secara progresif untuk memahami realitas sosial dan
kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenar atas
kekerasan. Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk
menghilangkan penindasan politik dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur
aduknya antara yang profan dan yang sakral, antara Allah dan kepala negara, antara
Al Qur’an dan fantasi-fantasi imam harus di dekonstruksi.Fatima Mernissi

Ali EnginerAsghar.Hak-hak Perempuan dalam Islam. (Yogyakarta: Yayasan


2

Bentang Budaya.1994: 50),1.

4
menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an seperti dalam surat al-Ahzâb ayat
53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga hijab. Berdasarkan pemahaman ini
terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki yang boleh memasuki sektor publik.
Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut Fatima Mernissi
penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna berdasarkan
konteks historisnya. Pemahaman yang demikian ini, nampaknya dipengaruhi oleh
pemikiran Qasim Amin, yang menurutnya penutupan wajah dengan cadar dan
pengucilan perempuan (hijab) dari masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi
merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarki, karena tidak satu pun dalam
nash yang tegas menyebutkannya. Mengelompokkan jilbab dengan lembaga-lembaga
lain akan membatasi kajian pemakaian jilbab oleh wanita.3 Salah satu kontroversi
dalam diskursus tentang perempuan adalah mengenai penggunaan jilbab bagi
perempuan. Jilbab merupakan salah satu dari sekian banyak isu yang menimbulkan
pro dan kontra . Jilbab wajib dipakai ketika seorang perempuan melangkahkan
kakinya keluar rumah.4 Berbicara masalah jilbab tidak akan pernah lepas dari masalah
wanita dan kedudukannya. Sedangkan kajian kedudukan wanita dalam Islam
termasuk dalam bidang yang sensitif, karena persoalan masyarakat terhadap
perempuan dari masa ke masa tidak akan lepas dari cara pikir masyarakat.5

Begitu juga penafsiran hadis yang berkenaan dengan kepemimpinan


perempuan, atau sering disebut dengan hadis misoginis, yang menurutnya rangkaian
sanadnya, seperti Abu Bakrah harus diteliti latar belakang kehidupannya. Adanya
perbedaan antara laki-laki dan perempuan semata-mata disesuaikan dengan watak
dasar dan kodratnya. Sebenarnya tidak ada perbedaan antara satu individu dengan

3
ElGuindi,Fadwa.1999.JilbabAntaraKesalihan,KesopanandanPerlawanan.Jaka
rta:Serambi hal 26)3.
4
Maiyamani.2000.FeminismedanIslam:PerspektifHukumdanStrata.Bandung:N
uansaCendekia.hal411), 4.
5
HadiyahSalim1991WanitaIslam:KepribadiandanPerjuangannya.Bandung:Ros
dakarya.hal 3)

5
individu lainnya, dalam memberikan hak kepada kaum perempuan. 6 Metode berfikir
Fatima Mernissi nampaknya juga dipengaruhi oleh Muhammad Al-Ghazali, yaitu
dalam kaitannya dengan studi kritik hadis. Hadis misoginis tentang kepemimpinan
perempuan nampaknya dipengaruhi oleh Al-Ghazali, yang pemahamannya dikaitkan
dengan Al Qur’an Surat al-Mu`minun (23): 23, yang bercerita tentang Ratu Saba.
Fatima Mernissi berkesimpulan bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci yang bersumber
dari wahyu adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada hadis yang hanya berupa
pelaporan dari para sahabat yang dianggap mengetahui perbuatan dan perkataan yang
bersumber dari Nabi. Di samping itu, pola pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri juga
amat mempengaruhi pemikirannya, yang menyebutkan karyanya Nahnu wa al-Sarwa
dan Taqwin al-‘Aql al-‘Arabi. Dia (al-Jabiri) mengkritik kaum muslim dan para
politisi Arab tidak bisa secara adil dalam bersikap terhadap perubahan yang terjadi.
Pemikiran masyarakat Arab harus dirubah dalam menyikapi kemajuan dan
modernisme, terutama dengan berubah metode berfikirnya.Hal yang demikian,
terlihat bahwa Fatima Mernissi berusaha membangun kembali penafsiran dengan
menghubungkan konteks sosialnya. Fatima Mernissi berusaha menelusuri khazanah
keilmuan, baik berupa penafsiran ayat-ayat Al Qur’an, hadis-hadis misoginis yang
dimuat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ataupun karya-karya lain seperti
Tarikh al-Thabari, syarah Shahih al-Bukhari yaitu Fath al-bari, al-Isabah fî Tamyiz
al- Shahabah, Thabaqat al-Kubrakarya ibn Sa’ad, Sirah karya ibn Hisyam dan lain-
lain. Dengan menganalisis terhadap proses penafsirannya, maka nampak jelas metode
yang digunakan adalah historis sosiologis, dengan menggunakan analisis
hermeneutik, atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan hermeneutik hadis.
Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya yang keras untuk
membongkar hadis-hadis yang bernuansa misoginis.Dalam memperjuangkan 
gagasan-gagasannya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, Fatima Mernissi
melakukan kritik terhadap hadis-hadis  misogini dan beberapa ayat Al Qur’an, yang
menurutnya dalam tafsirnya menyimpang dari semangat diturunkannya wahyu
6
FatimaMernissi1994.Wanita dalam Islam Bandung:Pustaka hal 87

6
tersebut. Diantara gagasannya tersebut adalah:
a. Kritik Hadis Misogini tentang Kepemimpinan Perempuan
Al Bukhari dalam kitab hadisnya menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Bakrah yang artinya: “barang siapa yang menyerahkan urusan pada wanita maka
mereka tidak akan mendapat kemakmuran”. Abu Bakrah mengatakan bahwa hadis
tersebut dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika orang-orang Persia
mengangkat seorang wanita untuk menjadi pemimpin mereka. Kemudian Rasulullah
bertanya: “Siapakah yang telah menggantikannya sebagai pemimpin”. Jawab Abu
Bakrah: “Mereka menyerahkan kekuasaan kepada putrinya”. Lalu Rasulullah
bersabda sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan hadis ini, menurut Fatima
Mernissi, persoalan mendasar yang perlu dipertanyakan adalah ”mengapa hadis
tersebut diungkapkan oleh Abu Bakrah, ketika Aisyah mengalami kekalahan pada
perang jamal”. Menurut Fatima Mernissi, bahwa Abu Bakrah mengungkapkan hadis
tersebut ketika menolak untuk ikut terlibat dalam perang saudara.

b.    Hadis yang Diriwayatkan oleh Abu Hurairah


Al Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, yang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda: “anjing, keledai, dan wanita akan membatalkan shalat
seseorang apabila ia melintas di depan mereka dan menyela dirinya antara orang-
orang yang sholat dengan kiblat”. Fatima Mernissi melaukan kritik terhadap hadis ini
dengan mendasarkan diri pada koreksi Aisyah kepada Abu Hurairah yang secara
harfiah (ayah kucing betina kecil). Nama pemberian Rasulullah ini tidak disenanginya
dengan mengatakan; “jangan panggil saya abu Hurairah. Rasulullah menjuluki saya
nama Abu Hirr (ayah kucing jantan), karena jantan lebih baik dari betina”. Abu
Hurairah memiliki semacam kecemburuan berlebihan terkait kucing betina dan kaum
wanita. Hal ini yang mendorong Rasulullah, kata Abu Hurairah, untuk mengatakan
yang menjadikan kucing betina jauh lebih baik dari wanita, akan tetapi hal ini
ditentang oleh Aisyah. Dalam riwayat yang lain, bahwa suatu ketika Aisyah ditanya
tentang tiga hal yang membawa bencana, yaitu rumah, wanita dan kuda, seperti yang

7
diriwayatkan Abu Hurairah. Aisyah mengatakan bahwa Abu Hurairah itu
mempelajari hadis ini secara buruk. Abu Hurairah memasuki rumah kami ketika
Rasulullah di tengah-tengah kalimatnya. Dia hanya sempat mendengar bagian
terakhir dari kalimat. Rasulullah sebenarnya mengatakan: “semoga Allah SWT
membuktikan kesalahan kaum Yahudi; mereka mengatakan tiga hal yang membawa
bencana, yaitu rumah, wanita dan kuda”. Tindakan Abu Hurairah juga sempat
menjengkelkan Umar, ketika ditawari suatu pekerjaan dengan mengatakan bahwa
dirinya orang yang terbaik. Berdasarkan argumentasi ini Fatima Mernissi tidak dapat
menerima hadis misogini ini.Dia berusaha menyingkap keraguan berkenaan tindakan
diskriminasi yang dilakukan Abu Hurairah. Abu Hurairah memang banyak
meriwayatkan hadis, namun banyak hadis yang diriwayatkannya bernuansa misogini.
Fatima Mernissi berusaha membongkarnya, walaupun hadis tersebut dimuat dalam
Shahih al Bukhari.7

c. Ayat tentang Hijab


Pemikiran Fatima Mernissi yang lainnya yaitu tentang penafsiran ayat hijab, seperti
yang ada dalam surat al Ahzab (33): 53. Dengan meneliti sebab-sebab turunnya,
bahwa ayat ini bukanlah menjustifikasi pemisahan peran laki-lakidan perempuan.
Karena turunnya ayat ini berkaitan dengan peristiwa ketika Rasulullah menikah
dengan Zaynab ibn Jahsi. Rasulullah merasa risih dengan beberapa sahabat yang
tidak segera pulang setelah menghadiri pernikahannya. Kegelisahan Rasulullah itu
akhirnya dijawab dengan turunnya ayat 53 surat al Ahzab. Menurut at Thabari, ayat
hijab ini mengandung pemahaman adanya pembagian ruang menjadi dua kawasan,
yaitu yang memisahkan masing-masing dari dua laki-laki yang ada saat itu, Nabi
Muhammad SAW dan Anas. Dari sinilah sumber yang dibenarkan dalam riwayat
yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, menurunkan atau menarik sebuah

7
Eko Setiawan, “Studi Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan Gender dan
Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Panggung Politik”, dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No.2,
Desember 2019).

8
tirai (satrun) antara diri beliau dengan Anas, dan ayat tentang hijab ini akhirnya
diturunkan. Hal ini dapat dipahami bahwa tindakan Rasulullah yang menarik sebuah
tirai adalah untuk menutupinya antara dirinya dengan Anas. Menurut Fatima
Mernissi, jika ayat ini dibaca secara cermat, maka akan didapatkan pemahaman
bahwa penekanan Allah SWT dalam ayat ini adalah soal kebijaksanaan. Dan ingin
mengajarkan kepada para sahabat beberapa aspek sopan santun yang tampaknya
belum membudaya. Berdasarkan fenomena hijab tersebut, menurut Fatima Mernissi
dapat diambil pengertian bahwa para sahabat nampaknya amat terbiasa mengunjungi
rumah Rasulullah, tanpa formalitas apapun. Begitu juga dapat dipahami, rumahnya
gampang dikunjungi oleh umatnya tanpa terjadinya pemisahan antar kehidupan
pribadi (tempat tinggal istri-istri Nabi) dengan ruang publik (masjid).8

DAFTAR PUSTAKA

8
(Eko Setiawan, “Studi Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan Gender dan
Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Panggung Politik”, dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No.2,
Desember 2019

9
Agustina, Nurul, Melacak Akar Pemberontak Fatima Mernissi, Jakarta: Mizan, 1999.

Ali Enginer, Asghar,Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Yayasan


Bentang Budaya, 1994.

El Guindi, Fadw, Jilbab Antara Kesalihan, Kesopanan dan Perlawanan. Jakarta:


Serambi, 1999.

Mernissi, Fatima,Wanita dalam Islam. Bandung: Pustaka, 1994.

Mernissi, Fatima,Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan. Yogyakarta: LkiS, 1994


Salim, Hadiyah, Wanita Islam: Kepribadian dan Perjuangannya. Bandung:
Rosdakarya, 1991.

Setiawan, Eko, “Studi Pemikiran Fatima Mernissi tentang Kesetaraan Gender dan
Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Panggung Politik”, dalam Jurnal
Studi Islam, Vol. 14, No.2, Desember 2019.

Zubaidah, Siti 2018,PemikiranFatimaMernassi,Medan:CVWidyapuspita, 2018.

10

Anda mungkin juga menyukai