Ali Marwan (201812044) Studi Naskhah
Ali Marwan (201812044) Studi Naskhah
Nim :201812044
Unit/Semester : 2/6
Jurusan : HES
Fakultas :Syariah
Jual beli
Pengertian Jual Beli dalam Islam
Jual beli sendiri adalah pertukaran suatu barang karena memiliki nilai dengan uang atau alat
pembayaran lain yang diakui pada suatu daerah tertentu. Transaksi ini ditujukan agar
mendapatkan produk lainnya guna memenuhi kebutuhan baik bersifat primer maupun sekunder.
Kata tersebut sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu al bay yang berarti jual beli, sedangkan
secara harfiah didefinisikan sebagai pertukaran atau mubadalah. Sebutan ini digunakan untuk
menyebutkan penjual maupun pembeli sebagai penentu keabsahan dari transaksinya.
Rukun Jual Beli dalam Islam
Jual beli menjadi salah satu sektor perekonomian yang memiliki peran penting untuk
menjalankan roda kehidupan masyarakat baik secara konvensional maupun sistem digital. Hal ini
bisa dilakukan apabila memenuhi syarat dan rukun sesuai peraturan terbaru:
Peraturan jual beli dalam Islam sudah diatur dengan jelas, namun seiring perkembangan zaman
saat akan melakukannya perlu adanya pengkajian ulang dari sumber terpercaya agar transaksi
yang dilakukan sah. Secara umum terdapat beberapa rukunnya berikut ulasannya:
1. Barang atau jasa yang akan diperjual belikan.
2. Pihak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi.
3. Harga dapat diukur dengan nilai uang atau alat pembayaran lain yang berlaku disuatu
daerah.
4. Serah terima atau ijab qobul.
Terkait Shighat
Jual beli sendiri harus dilaksanakan tanpa adanya paksaan sehingga kedua belah pihak rela
menjalankannya. Hal ini berdasarkan kaidah muamalah yaitu an taradin minkum (suka sama
suka atau saling memiliki kerelaan) guna menghindari kekecewaan nantinya.
Terkait Shighat
Jual beli sendiri harus dilaksanakan tanpa adanya paksaan sehingga kedua belah pihak rela
menjalankannya. Hal ini berdasarkan kaidah muamalah yaitu an taradin minkum (suka sama
suka atau saling memiliki kerelaan) guna menghindari kekecewaan nantinya.
Pengertian Khiyar
Pengertian khiyar secara etimologi adalah memilih, sedangkan khiyar dalam jual beli menurut
syara’ ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli untuk meneruskan akad jual beli atau
membatalkannya.
Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dapat memikirkan sejauh
mungkin kebaikan kebaikan berlansungnya jual beli atau kebaikan untuk membatalkan jual beli,
agar masing-masing pihak tidak menyesal atas apa yang telah dijualnya atau dibelinya. Sebab
penyesalan tersebut bisa terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa, atau karena faktor-faktor
lainnya.
Hukum khiyar adalah boleh, sejauh memenuhi persyarata-persyaratan yang telah ditentukan,
tetapi hiyar untuk menipu hukumnya haram dan dilarang.Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda
:
َ َﺎﺍﻟ ِﺨ َﻴﺎﺭ ِﺑ ُﻜ ِّﻞ ِﺳ ْﻠ َﻌ ٍﺔ ِﺇ ْﺑﺘَ ْﻌﺘَ َﻬﺎ ﺛَﻼ
ﺙ َﻟ َﻴﺎ ٍﻝ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻭﺍﺑﺒﻦ ﻣﺎﺟﻪ ْ )ﺍ َ ْﻧﺖَ ِﺑ
Artinya :
“Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga malam”(HR.Al-
Baihaqy dan Ibnu Majah)
Hukum Khiyar
Adapun hukum khiyar adalah boleh, sejauh memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Akan tetapi khiyar yang tujuannya hanya untuk menipu hukumnya haram dan dilarang, seperti
sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
َ َﺎﺍﻟ ِﺨ َﻴﺎﺭ ِﺑ ُﻜ ِّﻞ ِﺳ ْﻠ َﻌ ٍﺔ ِﺇ ْﺑﺘَ ْﻌﺘَ َﻬﺎ ﺛَﻼ
(ﺙ َﻟ َﻴﺎ ٍﻝ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻭﺍﺑﺒﻦ ﻣﺎﺟﻪ ْ ﺍ َ ْﻧﺖَ ِﺑ
Artinya:
“Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga malam” (HR. Al-
Baihaqy dan Ibnu Majah)
Jenis-Jenis Khiyar
Pada penerapannya, khiyar dibagi menjadi tiga jenis sesuai dengan proses transaksinya.
Pembagian jenis ini bertujuan supaya sistem atau konsep khiyar bisa diadaptasi dengan mudah
dalam kondisi apapun.
Berikut penjabaran dari jenis-jenis khiyar adalah sebagai berikut:
1. Khiyar Majlis
Khiyar majlis adalah jenis pemilihan yang dilakukan dalam satu majelis akad jual beli. Di antara
kedua belah pihak punya hak untuk memilih. Selain itu juga bisa meneruskan jual beli yang
sudah disepakati sebelumnya atau di akadkan dalam majelis tersebut. Hal ini sebagaimana yang
sudah diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.
2. Khiyar Syarat
Adapun maksud dari khiyar syarat adalah hak memilih berdasarkan persyaratan. Ketika
terjadinya akad jual beli, maka pembeli maupun penjual bisa memilih atau meneruskan bahkan
membatalkan proses transaksi jual beli, akan tetapi dengan batasan waktu yang ditentukan.
Apabila waktu yang ditentukan sudah tiba, maka proses transaksi jual beli tersebut wajib
dipastikan apakah akan berlanjut atau tidak.
3. Khiyar Aib
Sedangkan khiyar aib adalah hak pilih karena adanya cacat pada barang. Hak tersebut untuk
memilih, dapat membatalkan atau menerusan akad jual beli apabila ada sebuah kecacatan (aib)
pada objek atau barang yang sedang diperjual belikan. Ini terjadi ketika pembeli tidak
mengetahui adanya kecacatan di saat akad sudah berlangsung.
Manfaat Khiyar
Berbagai hal yang sudah diatur dalam Islam pasti mempunyai maksud serta tujuan yang sangat
baik bagi umatnya, begitu juga dengan khiyar. Konsep atau sistem khiyar tersebut hadir dan
dipraktikkan dalam aktivitas ekonomi sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang kerap kali
muncul ketika orang-orang melaksanakan transaksi jual beli.
1. Dengan adanya khiyar, berbagai masalah-masalah yang kerap muncul tersebut bisa
diatasi dan tidak menimbulkan dampak negatif ke depannya. Ada beberapa manfaat
dari khiyar adalah sebagai berikut:
2. Dengan khiyar, akad jual beli bisa dipertegas dan akan jadi lebih aman.
3. Memberi kenyamanan dan akan muncul kepuasan dari tiap pihak yang bersangkutan.
4. Kemudian, dengan adanya khiyar, maka risiko penipuan dalam transaksi akan juga
bisa terhindarkan. Pasalnya, dalam khiyar perlu adanya kejelasan serta hak masing-
masing pihak yang sudah jelas.
5. Masing-masing penjual maupun pembeli bisa dengan jujur dan terbuka untuk
melaksanakan proses transaksi.
6. Sebagai jalan untuk menghindari adanya perselisihan di dalam sebuah proses jual
beli.
7. Dengan berbagai manfaat teersebut, tentu memahami dan menjalankan khiyar adalah
nikmat dari Sang Kuasa bagi umatnya. Adanya khiyar senantiasa membantu
meningkatkan hajat hidup orang banyak dari sisi ekonomi maupun sosial.
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes
Rukun Ijarah
1. Adapun rukun-rukun dalam Ijarah adalah sebagai berikut:
2. Ada orang yang menyewakan suatu barang (Mu’ajjir dan Musta’jir)
3. Ada akad antara penyewa dan yang menyewakan
4. Ada ijab qabul (shigat)
5. Ada upah (ujrah)
6. Ada manfaat baik antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.
Syarat Ijarah
1. Kedua pihak yang melakukan transaksi Ijarah sudah dewasa (baligh) dan berakal (tidak
mabuk).
2. Kedua pihak yang melakukan transaksi memiliki kerelaan dan tidak didasarkan suatu
paksaan dari pihak mana pun.
3. Barang yang menjadi objek transaksi harus jelas adanya.
4. Barang yang menjadi objek transaksi harus halal sesuai syariat Islam.
5. Barang yang menjadi objek transaksi menjadi hak Mu’jar atas seizin pemiliknya.
6. Manfaat yang didapatkan harus diinformasikan secara terang dan jelas.
Jenis Ijarah
Terdapat dua jenis Ijarah berdasarkan objek yang disewakan, yaitu sebagai berikut:
Ijarah Manfaat
Ijarah jenis ini memiliki objek sewa berupa asset yang tidak bergerak seperti rumah, kendaraan,
pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya.
Ijarah Pekerjaan
Ijarah atas pekerjaan mengarah kepada objek sewa yang berbentuk pekerjaan atau jasa yakni
seperti menjahit baju, memperbaiki barang, membangun bangunan, mengantar paket, dan lain-
lain.
Sementara berdasarkan PSAK Nomor 107, Ijarah terbagi ke dalam beberapa jenis di bawah ini:
Ijarah Asli
Ijarah asli adalah transaksi sewa-menyewa terhadap objek Ijarah yang dilakukan tanpa ada
perpindahan hak kepemilikan atas asset atau barang tersebut.
Ijarah Muntahiya Bit Tamlik atau yang disingkat sebagai IMBT ini adalah akad Ijarah yang
terjadi dengan adanya perjanjian atau wa’ad perpindahan kepemilikan objek yang disewakan
tersebut pada waktu tertentu. Pepindahan kepemilikan dapat dilakukan setelah proses
pembayaran objek Ijarah telah lunas dan telah kembali kepada pemilik atau pemberi sewa.
Kemudian, perpindahan hak milik tersebut dapat dilakukan dengan membuat akad baru yang
terpisah dari akad ijarah sebelumnya. Pembayaran pemindahan kepemilikan dapat melalui hibah,
penjualan, atau angsuran.
Jual-dan-Ijarah
Transaksi Ijarah ini dilakukan saat objek Ijarah yang telah dijual kepada pihak lain, kemudian
disewa kembali karena penyewa atau pemilik sebelumnya masih membutuhkan manfaat yang
ada di objek tersebut. Hal ini bisa saja terjadi apabila pemilik objek Ijarah masih memerlukan
kegunaan dari barang tersebut namun membutuhkan uang sehingga harus menjualnya.
Ijarah-Lanjut
Ijarah-Lanjut merupakan kegiatan menyewakan lebih lanjut barang atau asset yang sebelumnya
telah disewa dari pemilik kepada pihak lain.
Pembatalan Ijarah
Akad Ijarah (sewa - menyew) dapat berakhir atau dibatalkan apabila terjadi permasalahan -
permasalahan di bawah ini.
Rukun Qiradh
Rukun Qiradh menurut para ahli :
Menurut Jumhur Ulama :
1. Dua orang yang melakukan akad (Al-aqidani)
2. Adanya modal (ma’qud alaih)
3. Adanya shighat (ijab dan qabul).
4. Menurut Ulama Salafiyah :
5. Modal
6. Pekerjaan
7. Laba
8. Shighat,
9. Dua orang yang berakad.
10. Syarat Qiradh (Mudharabah)
Syarat-syarat dari qiradh atau mudharabah antara lain :
Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.
Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasarruf, maka dibatalkan akad
anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan
dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah
pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya,
umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan qabul dari pengelola.
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
dinegara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu tertentu, sementara
diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad
mudharabah yaitu keuntungan
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes
Landasan syariah
Al hadits
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah
SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi
hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluaraga-keluarga mereka sampai
hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 . semua telah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin pada zaman
pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan tetapi tidak seorang pun
yang menyanggahanya. Berarti ini adalah ijma’ sukuti (konsensus) dari umat.
Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di
Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana
mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
Pengertian Al-Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah diartikan wajan ٌ ُﻣ َﻔﺎ َﻋ َﻠﺔdari kata ﻉ
ُ ﺍَﻟﺰَ ْﺭyang sama artinya dengan
ُﺍﻹ ْﻧ َﺒﺎﺕ
ِ (menumbuhkan). Muzara’ah dinamai pula dangan mukhabarah dan muhaqalah. Orang irak
memberikan istilah muzara’ah dengan istilah al-qarah.
Dalam kamus istilah ekonomi muzara’ah ialah akad kerja sama pengelolaan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan menyerahkan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang
benihnya berasal dari pemilik lahan; pemilik tanah menyerahkan sekaligus memberikan modal
untuk mengelola tanah kepada pihak lain. Sedangkan mukhabarah adalah pemilik tanah
menyerahkan kepada pihak orang yang mengelola tanah, tetapi modalnya ditanggung oleh
pengelola tanah dengan pembayaran 1/3 atau ¼ hasil panen.
Ulama Malikiyah mendefenisikan :
“perserikatan dalam pertanian”
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
“pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk di tanami yangbekerja di beri
bibit.”
Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah:
“akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
Imam Syafi’i mendefenisikan :
“pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.”
Dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam
al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah ini merupakan kehendak dan keinginan kedua belah pihak,
oleh karena itu harus terjadi dalam suatu akad atau perjanjian, baik secara formal dengan ucapan
ijab dan qabul, maupun dengan cara lain yang menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan
kerja sama secara rela sama rela.
Dapat dijelaskan bahwa muzara’ah merupakan kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap
tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila bibit disediakan sipekerja, maka kerjasama
ini disebut al-mukhabarah.
Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antar pemilik lahan dan penggarap,
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk di tanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al muzara’ah sering kali diidentifikasi dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit
perbedaan sebagai berikut.
a. Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
b. Mukhabarah : benih dari penggarapnya.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena
adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I
berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan
mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.
Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang
hasilnya dibagi
.
Landasan Syariah
a. Al-hadits
Diriwayatkan dari ibnu umar bahwa rasulullah saw. Pernah memberikan tanah khaibar kepada
penduduknya (waktu itu itu mereka masih yahudi) untuk di garap dengan imbalan pembagian
hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab senantiasa mengolah
tanah nya secara muzaraah denga rasio bagi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½ : ½, maka rasulullah pun
bersabda, “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak
melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah tanahnya.”
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “tidak ada satu rumah pun di madinah
kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4 . Hal
ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul
Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzaraah yang sahih adalah sebagai berikut:
Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan wakyu akad. Antara lain didasarkan
pada hadis :
Artinya : kaum muslimin berdasarkan syarat diantara mereka (HR.Hakim dari Anas dan Siti
Aisyah)
Menyiram atau menjaga tanaman, disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu haris dipenuhi.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram
atau menjaga tanaman.
Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak
mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
Oleh Syekhul Islam Ibni Taimiyyah berkata; Muzara’ah merupakan asal dari al-ijarah
(mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam kedu masing-masing pihak sama-sama
merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Skema Al-Muzaraah dapat di gambarkan dalam skema sebagai berikut: