Anda di halaman 1dari 28

Nama : Ali marwan

Nim :201812044
Unit/Semester : 2/6
Jurusan : HES
Fakultas :Syariah

Jual beli
Pengertian Jual Beli dalam Islam
Jual beli sendiri adalah pertukaran suatu barang karena memiliki nilai dengan uang atau alat
pembayaran lain yang diakui pada suatu daerah tertentu. Transaksi ini ditujukan agar
mendapatkan produk lainnya guna memenuhi kebutuhan baik bersifat primer maupun sekunder.
Kata tersebut sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu al bay yang berarti jual beli, sedangkan
secara harfiah didefinisikan sebagai pertukaran atau mubadalah. Sebutan ini digunakan untuk
menyebutkan penjual maupun pembeli sebagai penentu keabsahan dari transaksinya.
Rukun Jual Beli dalam Islam
Jual beli menjadi salah satu sektor perekonomian yang memiliki peran penting untuk
menjalankan roda kehidupan masyarakat baik secara konvensional maupun sistem digital. Hal ini
bisa dilakukan apabila memenuhi syarat dan rukun sesuai peraturan terbaru:
Peraturan jual beli dalam Islam sudah diatur dengan jelas, namun seiring perkembangan zaman
saat akan melakukannya perlu adanya pengkajian ulang dari sumber terpercaya agar transaksi
yang dilakukan sah. Secara umum terdapat beberapa rukunnya berikut ulasannya:
1. Barang atau jasa yang akan diperjual belikan.
2. Pihak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi.
3. Harga dapat diukur dengan nilai uang atau alat pembayaran lain yang berlaku disuatu
daerah.
4. Serah terima atau ijab qobul.

Syarat Jual Beli dalam Islam


Sebelum melakukan jual beli ada beberapa hal yang perlu dipenuhi agar transaksi yang
dilakukan bisa mendapatkan feedback saling menguntungkan. Sebaiknya hindari perkara yang
masih sama jika belum terdapat fatwa penguat, berikut ulasannya:
Terkait dengan Aqidain
Dalam hal ini timbul larangan yang menyebutkan bahwa jual beli tidak diperbolehkan dilakukan
oleh orang tidak berakal. Kegiatan tersebut dapat menimbulkan kerugian antara satu atau kedua
belah pihak. Oleh karenanya syarat pertama adalah penjual dan pembeli adalah orang berakal.

Terkait Objek pada Jual Beli Konvensional


1. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat.
2. Keberadaan barang harus nampak.
3. Dimiliki sendiri oleh penjual.
4. Dilarang menjual barang yang bukan dimiliki oleh penjual secara utuh.
5. Diserahkan langsung saat akad.

Terkait Shighat
Jual beli sendiri harus dilaksanakan tanpa adanya paksaan sehingga kedua belah pihak rela
menjalankannya. Hal ini berdasarkan kaidah muamalah yaitu an taradin minkum (suka sama
suka atau saling memiliki kerelaan) guna menghindari kekecewaan nantinya.

Terkait dengan Nilai Tukar


1. Harus suci (bukan barang najis).
2. Ada manfaatnya.
3. Dapat dipindahkan/ serah terima.
4. Dimiliki sendiri atau yang mewakilinya.
5. Diketahui oleh penjual dan pembeli.

Syarat Jual Beli Online


1. Penjual harus melampirkan foto produk.
2. Menyertakan spesifikasi secara lengkap.
3. Menyediakan garansi jika ada kecacatan.
Pendapat Ulama Tentang Syarat Jual Beli dalam Islam
Secara istilah jual beli adalah transaksi tukar menukar barang dengan konsekuensi beralihnya
kepemilikan yang dapat terlaksana karena adanya akad. Hal tersebut bisa termasuk perbuatan
maupun ucapan.
Sedangkan menurut Sheikh Taqiyuddin Al-Husny menjelaskan bahawa transaksi jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk keperluan tasharruf (pengelolaan). Agar sah maka harus
disertai lafadz ijab qobul. Berdasarkan penjelasan tersebut, berikut beberapa syaratnya:

Adanya Penjual dan Pembeli


Dalam hal ini ada syarat dan ketentuan baik untuk penjual maupun pembeli yaitu berakal, bukan
anak kecil serta ahli dalam bidang tersebut. hal ini untuk meminimalisir terjadinya penipuan serta
kerugian baik dari satu atau kedua belah pihak.

Adanya Barang dan Harga


Saat membeli barang tentu harus ada transparansi harga serta spesifikasinya. Secara umum syarat
dari produk yang dijual adalah harus suci, tidak berupa najis atau haram. Selain itu juga harus
melik sendiri dana tidak sedang terikat akad dengan orang lain.

Syarat Jual Beli dalam Islam


Sebelum melakukan jual beli ada beberapa hal yang perlu dipenuhi agar transaksi yang
dilakukan bisa mendapatkan feedback saling menguntungkan. Sebaiknya hindari perkara yang
masih sama jika belum terdapat fatwa penguat, berikut ulasannya:

Terkait dengan Aqidain


Dalam hal ini timbul larangan yang menyebutkan bahwa jual beli tidak diperbolehkan dilakukan
oleh orang tidak berakal. Kegiatan tersebut dapat menimbulkan kerugian antara satu atau kedua
belah pihak. Oleh karenanya syarat pertama adalah penjual dan pembeli adalah orang berakal.

Terkait Objek pada Jual Beli Konvensional


1. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat.
2. Keberadaan barang harus nampak.
3. Dimiliki sendiri oleh penjual.
4. Dilarang menjual barang yang bukan dimiliki oleh penjual secara utuh.
5. Diserahkan langsung saat akad.

Terkait Shighat
Jual beli sendiri harus dilaksanakan tanpa adanya paksaan sehingga kedua belah pihak rela
menjalankannya. Hal ini berdasarkan kaidah muamalah yaitu an taradin minkum (suka sama
suka atau saling memiliki kerelaan) guna menghindari kekecewaan nantinya.

Terkait dengan Nilai Tukar


1. Harus suci (bukan barang najis).
2. Ada manfaatnya.
3. Dapat dipindahkan/ serah terima.
4. Dimiliki sendiri atau yang mewakilinya.
5. Diketahui oleh penjual dan pembeli.

Syarat Jual Beli Online


1. Penjual harus melampirkan foto produk.
2. Menyertakan spesifikasi secara lengkap.
3. Menyediakan garansi jika ada kecacatan.
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Ringkasan Tentang Riba


dilarang riba dalam emas, perak, dan makanan. Dalam kecukupan dan di dalamnya ada
pertimbangan dan katanya dalam permintaan itu mengambil uang tertentu tanpa uang dan di
dalamnya juga dan dia adalah dari kitab dan Sunnah dan konsensus bangsa karena firman Allah
swt dalam Al- qur’an {Allah telah mengizinkan penjualan dan mengharamkan riba} Dan dia
berkata, damai dan berkah atasnya, semoga Allah melaknat pemakan riba, yang membayarnya,
saksinya dan penulisnya) Maka riba hanya diharamkan pada emas, perak, dan makanan. tidak
menjual emas untuk emas, atau kertas untuk kertas, dan gandum untuk gandum dan jelai) untuk
jelai, dan kurma untuk kurma dan garam untuk garam, kecuali jika mereka sama, sama dalam
jenis, dan di tangan kurma,
bagaimana cara menciumnya, dan siapa yang menambahkan stadion, maka dia
mengangkatnya) Jadi hadits menunjukkan apa yang disebutkan Syekh dalam penjualan emas dan
perak dengan perak, tentang persyaratan simetri, solusi dan penangkapan dalam majelis, dan
sebagai ini tiga syarat yang ditetapkan dalam emas dan perak, mereka juga diatur dalam
makanan serupa. Maka, dalam jual beli gandum dengan gandum dan sejenisnya, disyaratkan
adanya kesamaan antara panjang dan perpanjangan, dan tidak boleh menunda dan
mempertukarkan akad dalam musyawarah. sampai dia mengambilnya) Tidak, buktinya adalah
apa yang diriwayatkan oleh Hakim Yam Hizam dengan Zai yang setengah putus-putus ra. Dia
berkata, “Aku berkata, ya Rasulullah, aku membeli penjualan ini, maka apa yang halal bagiku
dan apa yang haram bagiku.” Dia berkata, “Wahai keponakanku, jangan menjual sesuatu sampai
kamu memilikinya.” Ada hadis lain dan para ulama menyebutkan dua alasan untuknya, salah
satunya adalah lemahnya harta, dengan bukti bahwa penjualan Alasan kedua bubar dengan
kerusakan penjualan Alasan kedua adalah suksesi dua jaminan pada satu hal pada satu waktu
Jika dijual, itu akan dijamin kepada pembeli dan dijamin kepada saya. Dia juga harus memiliki
penjualan yang dimiliki oleh dua orang pada saat yang sama. Ini adalah apa yang mereka
katakan, dan perbedaan antara menjualnya kepada non-penjual atau kepada penjual untuk semua
berita, dan sebagaimana tidak boleh menjual dengan izin atau modal perdamaian atau
rekonsiliasi, dan demikian juga tidak boleh memberikan, menyewakan, dan menggadaikannya.
Ya, benar untuk membebaskannya menurut Lebih tepatnya, karena kekuatan emansipasi, serta
generasi.
Adapun wakafnya, katanya pertama, jika kita menetapkan penerimaan di dalamnya, maka
itu seperti menjual, jika tidak seperti emansipasi. Dibolehkan membayar hutang dengannya, dan
mengetahui bahwa harganya sama dengan penjualan, sehingga penjual tidak menjual sebelum
mengambilnya, dan selebihnya dari apa yang telah kami sebutkan mengetahui apa yang telah
terjadi sebelumnya, dan Allah mengetahui sebaik-baiknya. Beliau bersabda: Tidak halal menjual
daging dengan hewan (diharamkan menjual daging dengan hewan sejenis, karena dia, damai dan
berkah besertanya, melarang domba dijual dengan daging) jenis kelaminnya, jika dari makanan,
dan soal itu juga tidak boleh untuk umum.
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Ringkasan Khiyar Dalam Jual Beli


Khiar adalah hal yang perlu dipertimbangkan dan juga dipahami, baik oleh penjual ataupun
pembeli.Khiyar dalam konteks jual beli bisa memiliki beberapa maksud. Hal ini diantaranya
adalah hak memilih yang diberikan kepada dua belah pihak (penjual dan pembeli). Penjual dan
pembeli memiliki hak yang sama untuk melangsungkan jual beli serta mengikuti syarat-syarat
jual beli.
Tujuan adanya khiyar adalah agar kedua belah pihak (baik penjual ataupun pembeli) tidak akan
mengalami kerugian atau penyesalan setelah transaksi yang diakibatkan dari sebab-sebab tertentu
dari proses jual beli yang dilakukan.

Pengertian Khiyar
Pengertian khiyar secara etimologi adalah memilih, sedangkan khiyar dalam jual beli menurut
syara’ ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli untuk meneruskan akad jual beli atau
membatalkannya.
Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dapat memikirkan sejauh
mungkin kebaikan kebaikan berlansungnya jual beli atau kebaikan untuk membatalkan jual beli,
agar masing-masing pihak tidak menyesal atas apa yang telah dijualnya atau dibelinya. Sebab
penyesalan tersebut bisa terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa, atau karena faktor-faktor
lainnya.
Hukum khiyar adalah boleh, sejauh memenuhi persyarata-persyaratan yang telah ditentukan,
tetapi hiyar untuk menipu hukumnya haram dan dilarang.Sebagaimana Rasulullah saw., bersabda
:
َ َ‫ﺎﺍﻟ ِﺨ َﻴﺎﺭ ِﺑ ُﻜ ِّﻞ ِﺳ ْﻠ َﻌ ٍﺔ ِﺇ ْﺑﺘَ ْﻌﺘَ َﻬﺎ ﺛَﻼ‬
‫ﺙ َﻟ َﻴﺎ ٍﻝ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻭﺍﺑﺒﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬ ْ ‫)ﺍ َ ْﻧﺖَ ِﺑ‬
Artinya :
“Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga malam”(HR.Al-
Baihaqy dan Ibnu Majah)
Hukum Khiyar
Adapun hukum khiyar adalah boleh, sejauh memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Akan tetapi khiyar yang tujuannya hanya untuk menipu hukumnya haram dan dilarang, seperti
sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
َ َ‫ﺎﺍﻟ ِﺨ َﻴﺎﺭ ِﺑ ُﻜ ِّﻞ ِﺳ ْﻠ َﻌ ٍﺔ ِﺇ ْﺑﺘَ ْﻌﺘَ َﻬﺎ ﺛَﻼ‬
(‫ﺙ َﻟ َﻴﺎ ٍﻝ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻭﺍﺑﺒﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬ ْ ‫ﺍ َ ْﻧﺖَ ِﺑ‬
Artinya:
“Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga malam” (HR. Al-
Baihaqy dan Ibnu Majah)

Jenis-Jenis Khiyar
Pada penerapannya, khiyar dibagi menjadi tiga jenis sesuai dengan proses transaksinya.
Pembagian jenis ini bertujuan supaya sistem atau konsep khiyar bisa diadaptasi dengan mudah
dalam kondisi apapun.
Berikut penjabaran dari jenis-jenis khiyar adalah sebagai berikut:

1. Khiyar Majlis
Khiyar majlis adalah jenis pemilihan yang dilakukan dalam satu majelis akad jual beli. Di antara
kedua belah pihak punya hak untuk memilih. Selain itu juga bisa meneruskan jual beli yang
sudah disepakati sebelumnya atau di akadkan dalam majelis tersebut. Hal ini sebagaimana yang
sudah diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.

2. Khiyar Syarat
Adapun maksud dari khiyar syarat adalah hak memilih berdasarkan persyaratan. Ketika
terjadinya akad jual beli, maka pembeli maupun penjual bisa memilih atau meneruskan bahkan
membatalkan proses transaksi jual beli, akan tetapi dengan batasan waktu yang ditentukan.
Apabila waktu yang ditentukan sudah tiba, maka proses transaksi jual beli tersebut wajib
dipastikan apakah akan berlanjut atau tidak.

3. Khiyar Aib
Sedangkan khiyar aib adalah hak pilih karena adanya cacat pada barang. Hak tersebut untuk
memilih, dapat membatalkan atau menerusan akad jual beli apabila ada sebuah kecacatan (aib)
pada objek atau barang yang sedang diperjual belikan. Ini terjadi ketika pembeli tidak
mengetahui adanya kecacatan di saat akad sudah berlangsung.

Manfaat Khiyar
Berbagai hal yang sudah diatur dalam Islam pasti mempunyai maksud serta tujuan yang sangat
baik bagi umatnya, begitu juga dengan khiyar. Konsep atau sistem khiyar tersebut hadir dan
dipraktikkan dalam aktivitas ekonomi sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang kerap kali
muncul ketika orang-orang melaksanakan transaksi jual beli.
1. Dengan adanya khiyar, berbagai masalah-masalah yang kerap muncul tersebut bisa
diatasi dan tidak menimbulkan dampak negatif ke depannya. Ada beberapa manfaat
dari khiyar adalah sebagai berikut:
2. Dengan khiyar, akad jual beli bisa dipertegas dan akan jadi lebih aman.
3. Memberi kenyamanan dan akan muncul kepuasan dari tiap pihak yang bersangkutan.
4. Kemudian, dengan adanya khiyar, maka risiko penipuan dalam transaksi akan juga
bisa terhindarkan. Pasalnya, dalam khiyar perlu adanya kejelasan serta hak masing-
masing pihak yang sudah jelas.
5. Masing-masing penjual maupun pembeli bisa dengan jujur dan terbuka untuk
melaksanakan proses transaksi.
6. Sebagai jalan untuk menghindari adanya perselisihan di dalam sebuah proses jual
beli.
7. Dengan berbagai manfaat teersebut, tentu memahami dan menjalankan khiyar adalah
nikmat dari Sang Kuasa bagi umatnya. Adanya khiyar senantiasa membantu
meningkatkan hajat hidup orang banyak dari sisi ekonomi maupun sosial.
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Ringkasan tentang ijarah


Pengertian ijarah
Dalam hadist ahkam ekonomi, sewa-menyewa disebut dengan kata ijarah. Ijarah berasal
dari kata "al-ajru" yang secara bahasa berarti "al-'iwadhu" yaitu ganti. Sedangkan menurut istilah
syara', ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Lafal
ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa atau imbalan. Dalam arti yang luas, ijarah
bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat dengan jalan memberikan imbalan dalam
jumlah tertentu. Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi
keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-
lain. Menurut etimologi, ijarah adalah menjual manfaat, demikian pula artinya menurut etimologi
syarat.

Rukun Ijarah
1. Adapun rukun-rukun dalam Ijarah adalah sebagai berikut:
2. Ada orang yang menyewakan suatu barang (Mu’ajjir dan Musta’jir)
3. Ada akad antara penyewa dan yang menyewakan
4. Ada ijab qabul (shigat)
5. Ada upah (ujrah)
6. Ada manfaat baik antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.

Syarat Ijarah

1. Kedua pihak yang melakukan transaksi Ijarah sudah dewasa (baligh) dan berakal (tidak
mabuk).
2. Kedua pihak yang melakukan transaksi memiliki kerelaan dan tidak didasarkan suatu
paksaan dari pihak mana pun.
3. Barang yang menjadi objek transaksi harus jelas adanya.
4. Barang yang menjadi objek transaksi harus halal sesuai syariat Islam.
5. Barang yang menjadi objek transaksi menjadi hak Mu’jar atas seizin pemiliknya.
6. Manfaat yang didapatkan harus diinformasikan secara terang dan jelas.

Jenis Ijarah
Terdapat dua jenis Ijarah berdasarkan objek yang disewakan, yaitu sebagai berikut:

Ijarah Manfaat

Ijarah jenis ini memiliki objek sewa berupa asset yang tidak bergerak seperti rumah, kendaraan,
pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya.

Ijarah Pekerjaan

Ijarah atas pekerjaan mengarah kepada objek sewa yang berbentuk pekerjaan atau jasa yakni
seperti menjahit baju, memperbaiki barang, membangun bangunan, mengantar paket, dan lain-
lain.

Sementara berdasarkan PSAK Nomor 107, Ijarah terbagi ke dalam beberapa jenis di bawah ini:

Ijarah Asli

Ijarah asli adalah transaksi sewa-menyewa terhadap objek Ijarah yang dilakukan tanpa ada
perpindahan hak kepemilikan atas asset atau barang tersebut.

Ijarah Muntahiya Bit Tamlik

Ijarah Muntahiya Bit Tamlik atau yang disingkat sebagai IMBT ini adalah akad Ijarah yang
terjadi dengan adanya perjanjian atau wa’ad perpindahan kepemilikan objek yang disewakan
tersebut pada waktu tertentu. Pepindahan kepemilikan dapat dilakukan setelah proses
pembayaran objek Ijarah telah lunas dan telah kembali kepada pemilik atau pemberi sewa.
Kemudian, perpindahan hak milik tersebut dapat dilakukan dengan membuat akad baru yang
terpisah dari akad ijarah sebelumnya. Pembayaran pemindahan kepemilikan dapat melalui hibah,
penjualan, atau angsuran.

Jual-dan-Ijarah

Transaksi Ijarah ini dilakukan saat objek Ijarah yang telah dijual kepada pihak lain, kemudian
disewa kembali karena penyewa atau pemilik sebelumnya masih membutuhkan manfaat yang
ada di objek tersebut. Hal ini bisa saja terjadi apabila pemilik objek Ijarah masih memerlukan
kegunaan dari barang tersebut namun membutuhkan uang sehingga harus menjualnya.

Ijarah-Lanjut
Ijarah-Lanjut merupakan kegiatan menyewakan lebih lanjut barang atau asset yang sebelumnya
telah disewa dari pemilik kepada pihak lain.

Pembatalan Ijarah
Akad Ijarah (sewa - menyew) dapat berakhir atau dibatalkan apabila terjadi permasalahan -
permasalahan di bawah ini.

1. Objek atau barang yang hendak disewakan mengalami kerusakan.


2. Objek sewa hilang atau musnah.
3. Masa sewa - menyewa yang sebelumnya sudah disepakati oleh kedua belah pihak telah
berakhir. Apabila dalam bentuk barang, maka penyewa harus mengembalikan kepada
pemiliknya. Sementara jika yang disewa adalah jasa, maka orang tersebut berhak
menerima upah dari jasa yang telah dilakukan.
4. Terjadi uzur pada salah satu pihak.
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Ringkasan tentang Ariyah


Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut bahasa adalah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ariyah ada beberapa
pendapat :
a. a.Menurut hanafiyah ‘ariyah ialah “memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”.
b. b.Menurut Malikiyah, ‘ariyah ialah “memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan
tanpa imbalan”.
c. cDan menurut Syafi’iyah, ‘ariyah ialah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang
yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatka, serta tetap zat barangnya
supaya ddapat dikembalikan kepada pemiliknya.
Jadi yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila digantikan dengan sesuatu
atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.

Dasar Hukum ‘Ariyah


Menurut Sayyid sabiq, tolong menolong adalah sunnah. Sedangkan menurut al Ruyani
bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal Islam. Landasan hukumnya dalam QS. Al Maidah
ayat 2: “Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu
tolong menolong untuk bernuat dosa dan permusuhan.”

Landasan hukum yang kedua adalah hadits:


“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu khianat
sekalipun dia khianat kepadamu.”
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Al ‘Ariyata Muadzaatun artinya barang
pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.

Rukun dan syarat ‘Ariyah


Menurut Hanafiyah, rukun ‘Ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qobul, tidak wajib diucapkan, tapi
cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum
ijab qobul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafadz), seperti seseorang berkata. “Saya utangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata. “Saya mengaku berutang benda anu kepada
kamu.” Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,

sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah :


1. Baligh,
2. Berakal,
3. Orang tersebut tidak dimahjur, (dibawah perlindungan).
4. Benda yang diutangkan, disyaratkan 2 hal yaitu :
5. Materi yang dipinjamkan dapat di manfaatkan,
6. Dan pemanfaatan itu dibolehkan.
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Penjelasan tentang Qiradh


Pengertian Qiradh
Pengertian Qiradh adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola dengan syarat bahwa
keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai kesepakatan.
Menurut Bahasa Qiradh berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qathu (potongan), sebab
pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar
mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang
diperoleh.
Dapat juga diambil dari kata muqaradhah yang berarti al-musawatu (kesamaan), sebab pemilik
modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.

Rukun Qiradh
Rukun Qiradh menurut para ahli :
Menurut Jumhur Ulama :
1. Dua orang yang melakukan akad (Al-aqidani)
2. Adanya modal (ma’qud alaih)
3. Adanya shighat (ijab dan qabul).
4. Menurut Ulama Salafiyah :
5. Modal
6. Pekerjaan
7. Laba
8. Shighat,
9. Dua orang yang berakad.
10. Syarat Qiradh (Mudharabah)
Syarat-syarat dari qiradh atau mudharabah antara lain :
Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai.
Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasarruf, maka dibatalkan akad
anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan
dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah
pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya,
umpamanya setengah, sepertiga, atau seperempat.
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan qabul dari pengelola.
Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
dinegara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu tertentu, sementara
diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad
mudharabah yaitu keuntungan
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Ringkasan Tentang Rahan


Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya atau
dapat juga kita sebut sebagai gadai.
Objek barang yang di tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau
gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang yang
mengambil barang tersebut serta menahannya disebut murtahin.
Akad Rahn sendiri di perbolehkan oleh syara dengan berbagai dalil yang terdapat dalam Al-
Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. -Dalil di dalam Al-Qur'an, yaitu firman ALLAH :
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Rabbnya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah
Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Baqarah : 283].
-Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasululloh Shallallahu 'alaihi
wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana dikisahkan Umul
Mukminin A'isyah Radhiyallahu 'anha.
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli dari seorang yahudi bahan makanan
dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya"[HR Al Bukhari no 2513 dan Muslim no.
1603]
B. Rukun dan Syarat
Di dalam Rahn (gadai) ada rukun dan syarat-syarat nya yang harus di penuhi agar rahn tersebut
sah dan tidak melanggar hukum islam, ada beberapa rukun rahn yaitu antara lain:
Harus ada akad dan ijab qabul
Aqid, aqid itu adalah yang menggadaikan barang dan yang member piutang gadai
Harus ada barang yang di gadaikan nya atau di jadikan jaminan, dan barang yang yang di
gadaikan itu harus dalam keadaan baik dan bukan barang yang bermasalah
Itulah beberapa rukun-rukun rahn yang wajib di ketahui dan di laksanakan apabila kita ingin
melakukan rahn (gadai).
Selain rukun rahn (gadai) ada juga syarat-syarat rahn antara lain yaitu:
Ada nya Rahin dan Murtahin, rahin dan murtahin itu adalah pemberi dan penerima gadai,
pemberi dan penerima gadai itu haruslah orang yang sudah baligh, sudah cakap untuk melakukan
sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syariat islam.
Dalam islam dianjurkan jika kita ingin melakukan gadai di anjurkan menggunakan gadai syariah
karna akan meminimalisir perbuatan riba, dalam gadai syariah tidak ada riba yang ada adalah
upah jasa titip barang yang kita jadikan jaminan tersebut dan upah jasa titip barang tersebut tidak
sebesar di gadai konvensial jadi gadai syariah tidak mengandung unsure riba.
Dalam rahn terdapat manfaat dan mudharat nya, manfaat rahn antara lain yaitu;
- Membantu saudara-saudara sesama muslim kita yang sedang mengalami kesulitan keuangan
- Memberikan pembiayaan agar masyarakat terhindar dari riba
- Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak
akan hilang begitu saja.
Adapun Mudharat dari rahn tersebut antara lain yaitu;
Resiko tak terbayar nya hutang nasabah tersebut atau terjadinya wanprestasi
Resiko penurunan nilai aset atau rusak nya aset yang dijadikan jaminan tersebut
Jadi Rahn itu adalah menjadikan suatu barang atau benda sebagai jaminan hutang yang dapat
dijadikan pembayaran ketika atau biasa disebut gadai. Gadai ada dua jenis yaitu gadai
konvensional dan gadai syariah, gadai konvensional dan gadai syariah terdapat perbedaan yaitu,
gadai syariah dilakukan secara sukarela tanpa ada nya paksaan dari pihak penggadaian untuk
mencari keuntungan yang sebesar besarnya, sedangkan gadai konvensional dilakukan dengan
prinsip tolong menolong tetapi dari pihak penggadaian bersifat mencari keuntungan sebesar-
besarnya
Nama : Ali marwan
Nim : 201812044
Unit/Semester : 2/6
Prodi : hes
Mk : study naskah hes

Ringkasan Tentang musaqah


Pengertian Al-musaqah
Al-musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat
membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah
(penyiraman/pengairan).
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak
atas nisbah tertentu dari hasil panen.

Landasan syariah
Al hadits
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah
SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi
hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluaraga-keluarga mereka sampai
hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 . semua telah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin pada zaman
pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan tetapi tidak seorang pun
yang menyanggahanya. Berarti ini adalah ijma’ sukuti (konsensus) dari umat.
Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di
Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana
mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.

Rukun dan Syarat Musaqah


Rukun musaqah adalah :
a. Pihak pemesok tanaman
b. Pemeliharaan tanaman
c. Tanaman yang dipelihara
d. Akad
Sedangkan syarat musaqah adalah sebagai berikut:
a. Ahli dalam akad.
b. Menjelaskan bagian penggarap.
c. Membebaskan pemilik dari pohon.
d. Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai batas akhir,
yakni menyeluruh sampai akhir.
Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun,
serta ketetapan waktu.
Ketentuan Al-Musaqah
Ketentuan Al-Musaqah adalah sebagai berikut:
a) Pemilik lahan wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.
b) Pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
c) Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaan.
d) Pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti dalam akad
e) Pemeliharaan tanaman wajib menganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jika
kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.

Berakhirnya akad Musaqah


Menurut para ulama fiqh, berakhirnya akad musaqah itu apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b. Salah satu pihak meninggal dunia.
c. Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur, disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat
diwarisi atau tidak. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh
diwarisi, jika salah satu meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari
pihak petani. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-musaqah tidak boleh tidak boleh
dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib
petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa akad al-musaqah sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad yang tidak
mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad
itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik
dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.

Pengertian Al-Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah diartikan wajan ٌ‫ ُﻣ َﻔﺎ َﻋ َﻠﺔ‬dari kata ‫ﻉ‬
ُ ‫ ﺍَﻟﺰَ ْﺭ‬yang sama artinya dengan
ُ‫ﺍﻹ ْﻧ َﺒﺎﺕ‬
ِ (menumbuhkan). Muzara’ah dinamai pula dangan mukhabarah dan muhaqalah. Orang irak
memberikan istilah muzara’ah dengan istilah al-qarah.
Dalam kamus istilah ekonomi muzara’ah ialah akad kerja sama pengelolaan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan menyerahkan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang
benihnya berasal dari pemilik lahan; pemilik tanah menyerahkan sekaligus memberikan modal
untuk mengelola tanah kepada pihak lain. Sedangkan mukhabarah adalah pemilik tanah
menyerahkan kepada pihak orang yang mengelola tanah, tetapi modalnya ditanggung oleh
pengelola tanah dengan pembayaran 1/3 atau ¼ hasil panen.
Ulama Malikiyah mendefenisikan :
“perserikatan dalam pertanian”
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
“pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk di tanami yangbekerja di beri
bibit.”
Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah:
“akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
Imam Syafi’i mendefenisikan :
“pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.”
Dalam mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam
al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah ini merupakan kehendak dan keinginan kedua belah pihak,
oleh karena itu harus terjadi dalam suatu akad atau perjanjian, baik secara formal dengan ucapan
ijab dan qabul, maupun dengan cara lain yang menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan
kerja sama secara rela sama rela.
Dapat dijelaskan bahwa muzara’ah merupakan kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap
tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila bibit disediakan sipekerja, maka kerjasama
ini disebut al-mukhabarah.
Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antar pemilik lahan dan penggarap,
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk di tanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al muzara’ah sering kali diidentifikasi dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit
perbedaan sebagai berikut.
a. Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
b. Mukhabarah : benih dari penggarapnya.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena
adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I
berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan
mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.
Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang
hasilnya dibagi
.
Landasan Syariah
a. Al-hadits
Diriwayatkan dari ibnu umar bahwa rasulullah saw. Pernah memberikan tanah khaibar kepada
penduduknya (waktu itu itu mereka masih yahudi) untuk di garap dengan imbalan pembagian
hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan bahwa bangsa arab senantiasa mengolah
tanah nya secara muzaraah denga rasio bagi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½ : ½, maka rasulullah pun
bersabda, “hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak
melakukan salah satu dari keduanya, tahan lah tanahnya.”
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “tidak ada satu rumah pun di madinah
kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4 . Hal
ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul
Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzaraah yang sahih adalah sebagai berikut:
Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan wakyu akad. Antara lain didasarkan
pada hadis :
Artinya : kaum muslimin berdasarkan syarat diantara mereka (HR.Hakim dari Anas dan Siti
Aisyah)
Menyiram atau menjaga tanaman, disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu haris dipenuhi.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram
atau menjaga tanaman.
Dibolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak
mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
Oleh Syekhul Islam Ibni Taimiyyah berkata; Muzara’ah merupakan asal dari al-ijarah
(mengupah atau menyewa orang), dikarenakan dalam kedu masing-masing pihak sama-sama
merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang terjadi.
Skema Al-Muzaraah dapat di gambarkan dalam skema sebagai berikut:

Rukun dan syarat Muzara’ah


Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab dan kabul yang menujukan
keridhaan diantara keduanya. Dan Secara rinci yakni:
tanah,
perbuatan pekerja,
modal,
alat-alat untuk menanam.
Ulama hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah dan musyaqah tidak memerlukan qabul secara
lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal ini sudah dianggap qabul.
Tentang sifat muzara’ah, menurut ulama Hanafiah merupakan sifat-sifat perkongsian yang tidak
lazim. Adapun menurut ulama Malikiah, diharuskan menaburkan benih diatas tanah supaya
tumbuh tanaman atau dengan menanamkan tumbuhan diatas tanah yang tidak ada gizinya.
Menurut pendapat paling kuat perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan
shighat.
Adapun syaratnya:
Syarat yang menyangkut orang yang berakad ialah keduanya harus sudah baligh dan berakal.
Syarat menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas dan dapat menghasilkan.
Syarat yang menyangkut tanah;
a) Menurut adat dikalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanahnya
tandus dan tidak memungkinkan dapat ditanami maka akad muzara’ah tidak sah.
b) Batas-batas tanah itu jelas.
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
Syarat menyangkut hasil panen ;
a) Pembagian panen masing-masing pihak harus jelas
b) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada pengkhususan
c) Pembagian hasil panen itu ditentukan, misalnya ½, 1/3, atau ¼, sejak dari awal akad, sehingga
tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah
tertentu secara mutlak, seperti 1 kwintal untuk pekerja, atau 1 karung, karena kemungkinan hasil
panen jauh dibawah itu atau melampaui itu.
Syarat menyangkut jangka waktu yang disesuaikan adat setempat.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa muzara’ah
memiliki beberapa syarat yang berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad),
tanaman, tanah yang ditanami, sesuatu yang dikeluarkan dari tanah, tempat akad, alat bercocok
tanam, dan waktu bercocok tanam.
a. Syarat aqid (orang yang melangsungkan akad)
Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
Imam abu hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkannya.
b. Syarat tanaman
Diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika
diserahkan kepada pekerja.
c. Syarat dengan garapan
Memungkinkan untuk digarap, yakni pabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
Jelas.
Ada penyerahan tanah.
d. Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
Jelas ketika akad
Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad
Ditetapkan ukuran diantara keduanya, seperti 1/3, ½ dan lain-lain.
Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak
dibolehkan mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekadar
pengganti biji.
e. Tujuan akad
Akad dalam muzara’ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan tanah.
f. Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau moderen dengan maksud sebagai konsekuensi
atas akad. Jika hanya bermaksud menggunakan alat dan tidak dikaitkan dengan akad, muzara’ah
dipandang rusak.
g. Syarat muzara’ah
Dalam muzara’ah harus menetapkan waktu. Jika waktu tidak ditetapkan, muzara’ah dipandang
tidak sah.
Pengertian Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari
penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa
hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.
Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara mujara’ah dan mukabarah:
"Mukabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari
pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik
tanah."
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru para ahli ialah:
Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”
Dapat dipahami dari pemaparan di atas bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan
ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada
peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk
dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah,
dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif
murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.
Landasan Hukum Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa
hadits yang melarang paroan tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits Bukhari dan Muslim,
diantaranya:
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami,
maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia untuk mereka yang
mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh Nabawi, Ibnu
Mundzir, dan Khattabi. Mereka mengambil alasan hadits Ibnu Umar, yang artinya;
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari
penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (Palawija).” (Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah
ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa
dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang
lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang
oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara
adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan
dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap
umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang
kedua ini.
Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah, dari sabda Nabi saw ,yang
artinya;
“Dari Thawus ra. bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan kepadanya: ya
Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa
Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata : hai Amr, telah menceritakan
kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi
saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”.
(HR.Muslim)
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat
melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan
mukhabarah ini.

Rukun dan Syarat Mukhabarah


Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
Pemilik tanah
Petani/Penggarap
Objek mukhabarah
Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a) Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b) Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c) Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya
kepada penggarap.Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
d) Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya muzara’ah dan mukhabarah:
a. Habis masa muzara’ah dan mukhabarah
b. Salah seorang yang akad meninggal
c. Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang mengnyebabkan batalnya
muzara’ah, antara lain :
Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
Si penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan lain-lain.
Zakat Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada
muzara’ah, zakatnya wajib atas orang yang mempunyai ladang atau tanah, karena pada
hakekatnya dialah yang bertanam, orang yang bekerja hanya mendapatkan upah atas
pekerjaanya.
Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas petani yang bekerja, pada hakekatnya dialah
yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan
sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Jika benih berasal dari keduannya, maka zakatnya
wajib atas keduanya.

Anda mungkin juga menyukai