Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Manusia
     Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan bani Adam, al-basyar, al-insan,
an-nas dan kahfi. Banyak rumusan tentang pengertian manusia. salah satunya, berdasarkan
studi isi Al-qur’an dan Al-hadist, Al-insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang
memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu
memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab
atas segala perbuatannya dan berakhlak.[1]
Menurut ajaran islam, manusia dibandingkan makhluk lainnya mempunyai berbagai ciri,
antara lain :
1.      Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang baik, ciptaan Tuhan yang paling
sempurna.
2.      Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman
kepada Allah.
3.      Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
4.      Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah-Nya di bumi.
5.      Disampingkan akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kemauan atau kehendak.
6.      Secara individual manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
7.      Berakhlak. Berakhlak adalah ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk lain.
Artinya, manusia adalah makhluk yang diberi Allah kemampuan untuk membedakan yang
baik dengan yang buruk.
Jadi, menurut agama Islam manusia itu merupakan perkaitan antara dua subtansi yaitu badan
dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan subtansi yang berdiri sendiri, yang tidak
tergantung adanya oleh yang lain.[2] Jadi badan tidak berasal dari ruh, begitu juga sebaliknya
ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan
ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia.

B. Pengertian Fitrah
    Dari segi etimologi fitrah berasal dari kata ‫ﻓﻄﺭ‬ berarti al-khilqah, al-ibda’, al-
ja’l(penciptaan). Dengan makna etimologi ini, maka hakekat manusia adalah sesuatu yang
diciptakan, bukan menciptakan.
      Para ulama berbeda pendapat tentang makna fitrah sebagai berikut[3] :
1.      Fitrah berarti suci (al-thurhr);
2.      Fitrah berarti tulus dan murni ( al-ikhlas);
3.      Fitrah berarti agama islam ( al-millat al-islam);
4.      Fitrah berarti ke-Esa-an Allah ( al-tauhid);
5.      Fitrah berarti tabiat asli manusia (al-tabi’iy al-insaniy);
6.      Fitrah berarti penciptaan mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan ( al-sa’idah wa al-
saqiyah);
7.      Fitrah berarti potensi untuk mengabdi dan ma’rifat kepada Allah;
8.      Fitrah berarti kesanggupan untuk menerima kebenaran ( isti’dad fi al-haq).
Kedelapan  makna  fitrah  tersebut dapat disebut sebagai potensi dasar manusia. artinya,
setiap manusia memiliki beberapa potensi itu, dan ia diberi kebebasan untuk mengembangkan
potensi mana yang ia sukai.
Ibnu Khaldun, umpamanya, mencoba untuk mengedepankan bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki potensi. Di antaranya adalah pada dimensi rasionalitas-intelektual.
Ini terlihat dari pandangannya bahwa pengetahuan dan memberi pelajaran merupakan
pembawaan tabiat bagi manusia. hal ini disebabkan karena kemampuannya untuk berpikir.
Dengan potensi akalnya, manusia mampu mengerti, memahami, menggambarkan sebab
akibat sesuatu gejala, yang kemudian mencari alternatif sebagai upaya mempertahankan
kehidupannya. Dengan kemampuan akalnya, manusia mampu untuk berkreasi dan berbudaya
secara dinamis.
Allah memberikan manusia potensi untuk senantiasa condong pada fitrahnya yanghanif.
Allah berfirman :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan  lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. Tidak ada perubahan pada fitrah
itu. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. al-Rum :
30)
Pengertian fitrah yang ditunjukkan ayat di atas, memberikan pengertian bahwa manusia
diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Menurut Hasan
Langgulung, fitrah pada pengertian yang lebih luas, yaitu pada pengertian  potensi dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia. namun demikian potensi tersebut hanya merupakan embrio
semua kemampuan manusia, yang memerlukan penerapan lebih lanjut dari lingkungannya
untuk bisa berkembang.[4]

C. Fitrah Manusia Menurut Pendidikan Islam


Penciptaan manusia disempurnakan dengan modal agar bisa menyelamakan hidupnya
selama di dunia. Modal ini berupa fitrah, pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan ( Rabb).
Fitrah inilah yang akan membawa manusia pada kecenderungan Ilahiyah. Namun sayangnya
karena dominasi nafsu amarah dan godaan iblis fitrah ini kadang lebih banyak terbenam di
alam bawah sadar manusia.[5]
Fitrah manusia merupakan anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya sehingga
harus dikembangkan agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna. Setiap usaha
pengembangan fitrah itu harus dilaksanakan secara sadar, berencana dan sistematis dan
pengembangan fitrah manusia harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang karena
jika tidak maka tidak akan tercapai manusia sempurna, bahkan dapat mendatangkan
kehancuran bagi manusia. untuk teraktualisasinya potensi yang dimiliki manusia sesuai
dengan nilai-nilai ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media yang
menstimulsi bagi pertumbuhan dan perkembang fitrah manusia kearah penyempurnaan
dirinya.
Pada prinsipnya potensi-potensi manusia menurut pandangan Islam tersimpul pada sifat-
sifat Allah ( Asma’ al husna). Artinya, sebagai contoh jika Allah bersifat al-‘ilmu  ( Maha
mengetahui), maka manusia pun memiliki sifat tersebut. Dengan sifat tersebut manusia
senantiasa berupaya untuk mengetahui sesuatu, setelah manusia mendapat pengetahuan akan
sesuatu, maka barulah ia merasa puas. Jika tidak, ia akan berusaha terus sampai pada tujuan
yang diinginkannya. Kemampuan manusia dalam mengetahui sesuatu karena ia telah
dilengkapi oleh Allah dengan alat-alat (jasmani dan rohani) yang sangat menunjang dalam
mewujudkan upayanya. Namun demikian, bukanlah berarti kemampuan manusia sama
tingkatannya dengan kemampuan Allah.[6]
Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.      Fitrah al gharizat: potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Bentuk fitrah ini
berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah ini dapat dikembangkan melalui pendidikan.
2.      Fitrah al munazalat : potensi ini merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah
wahyu ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing untuk mengarahkan fitrah al gharizat
berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua fitrah
tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Derajat manusia lebih tinggi dan lebih mulia dari makhluk Allah yang lain, bahkan dari
para malaikat sekalipun. Inilah fitrah manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna.
Jika manusia mengabaikan fitrahnya yang suci, derajat manusia akan sama dengan iblis yang
rendah. Selain fitrah dalam hal perjanjian manusia dengan Allah, fitrah manusia yang lain
adalah sebagai makhluk yang siap menerima dan mengemban amanah Allah. Amanah Allah
pada manusia adalah agar manusia beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah yang
memakmurkan bumi.[7]

Cahaya Sirr Allah


Nur Al Qalbu Sirrullah

 BERANDA
 SIR HU
 NAQS DNA
 KONTAK KAMI
 DONASI
 DAFTAR ISI

>Kultivasi Jiwa (Tazkiyatun Nafs) Menurut Islam


22042011

>

“Dia-lah (Allah SWT)yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menTAZKIYAH
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada
kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.  ” (QS. Al-Jum’ah 62: 2-4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa tazkiyatun nafs, merupaka salah satu missi semua Nabi dan Rasul, khusus Rasulullah Muhammad SAW, di samping menyampaikan
ajaran-ajaran Allah.

Islam mengakui bahwa pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan suci, yakni suci dari segala kotoran dan dosa. Yang ada pada bayi yang lahir itu adalah fitrah, yakni
potensi beriman, berislam dan berihsan kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya.

Oleh karena pengaruh kedua orangtuanya, serta lingkungannya, seseorang menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi, yang menyimpang dari tauhid, menyimpang dari Islam,
Iman dan Ihsan. Pengaruh keluarga dan lingkungan yang tidak kondosif untuk Iman, Islam dan Ihsan itu telah merusak fitrah seseorang, dan mengotori jiwa seseorang.
Untuk itu, Rasulullah diutus untuk mengembalikan manusia pada fitrah, dan untuk mensucikan kebali jiwa manusia dari segala yang mengotori jiwanya.

Missi setiap Rasul Allah untuk mengembalikan manusia pada fitrahnya dan mensucikan jiwa dari segala yang mengotorinya itulah yang disebut Tazkiyatun Nafs.

Makna dan Tujuan Tazkiyatun Nafs.


Tazkiyatun Nafs berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata tazkiyah dan nafs. Secara kebahasaan (etimologis) tazkiyah berarti mensucikan, menguatkan dan
mengembangkan. Sedangkang nafs adakah diri atau jiwa seseorang.

 At-tazkiyah bermakna at-tath-hiir, yaitu penyucian atau pembersihan. Karena itulah zakat, yang satu akar dengan kata at-tazkiyah disebut zakat karena
ia kita tunaikan untuk membersihkan/menyucikan harta dan jiwa kita.

 An-nafs (bentuk jamaknya: anfus dan nufus) berarti jiwa atau nafsu. Dengan demikian tazkiyatun nafs berarti penyucian jiwa atau nafsu kita.

Namun at-tazkiyah tidak hanya memiliki makna penyucian. At-tazkiyah juga memiliki makna an-numuww, yaitu tumbuh. Maksudnya, tazkiyatun nafs itu juga berarti
menumbuhkan jiwa kita agar bisa tumbuh sehat dengan memiliki sifat-sifat yang baik/terpuji. Dengan demikian istilah tazkiyatun nafsi memiliki makna mensucikan,
menguatkan dan mengembangkan jiwa sesuai dengan potensi dasarnya (fitrah), yakni potensi Iman, Islam dan Ihsan kepada Allah.

Dari tinjauan bahasa diatas, bisa kita simpulkan bahwa tazkiyatun nafs itu pada dasarnya melakukan dua hal.

1. Pertama, menyucikan jiwa kita dari sifat-sifat (akhlaq) yang buruk/tercela (disebut pula takhalliy – pakai kha’), seperti kufur, nifaq, riya’, hasad, ujub,
sombong, pemarah, rakus, suka memperturutkan hawa nafsu, dan sebagainya.

2. Kedua, menghiasinya jiwa yang telah kita sucikan tersebut dengan sifat-sifat (akhlaq) yang baik/terpuji (disebut pula tahalliy – pakai ha’), seperti ikhlas,
jujur, zuhud, tawakkal, cinta dan kasih sayang, syukur, sabar, ridha, dan sebagainya.

Berdasarkan makna itu pula tazkiyatun nafs bertujuan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yakni fitrah tauhid, fitrah Iman, Islam dan Ihsan, disertai
dengan upaya menguatkan dan mengembangkan potensi tersebut agar setiap orang selalu dekat kepada Allah, menjalankan segala ajaran dan kehendakNya, dan
menegakkan tugas dan missinya sebagai hamba dan khalifah-Nya di muka bumi.

Dengan tazkiyatun nafs, seseorang dibawa kepada kualitas jiwa yang prima sebagai hamba Allah, sekaligus prima sebagai khalifah Allah. Artinya dengan tazkiyatun
nafs, seseorang menjadi ahlul ibadah, yakni orang yang selalu taat beribadah kepada Allah dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta
menjadi khalifah, yakni kecerdasan dalam missi memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Allah untuk
kerahmatan bagi semua makhluk.

Mengapa tazkiyatun nafs itu penting?


Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa tazkiyatun nafs itu penting.
Alasan pertama, karena tazkiyatun nafs merupakan salah satu diantara tugas Rasulullah saw diutus kepada umatnya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Jumu’ah: 2:
“Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka
dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. ” Senada dengan itu, Allah SWT
juga berfirman dalam QS Al-Baqarah: 151: “ Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.”

Dari kedua ayat diatas, kita bisa mengetahui bahwa tugas Rasulullah saw ada tiga.

 Pertama, Tilawatul aayaat: membacakan ayat-ayat Allah (Al-Qur’an). 

 Kedua, Tazkiyatun nafs: menyucikan jiwa. 

 Ketiga, Ta’limul kitaab wal hikmah: mengajarkan kitabullah dan hikmah.

Jelaslah bahwa salah satu diantara tiga tugas Rasulullah saw adalah tazkiyatun nafs “menyucikan jiwa”. Tazkiyatun nafs itu sendiri identik dengan penyempurnaan
akhlaq, yang dalam hal ini Rasulullah saw bersabda tentang misi beliau diutus: “ Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq  (Sesungguhnya aku ini diutus hanya
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia).”

Alasan kedua pentingnya tazkiyatun nafs adalah, karena tazkiyatun nafs merupakan sebab keberuntungan (al-falah). Dan ini ditegaskan oleh Allah SWT setelah
bersumpah 11 kali secara berturut-turut, yang tidaklah Allah bersumpah sebanyak ini secara berturut-turut kecuali hanya di satu tempat, yaitu dalam QS Asy-Syams:
1-10:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta
pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (potensi) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ”

Kemudian alasan ketiga pentingnya tazkiyatun nafs adalah, karena perumpamaan tazkiyatun nafs adalah seperti membersihkan dan mengisi gelas. Jika gelas kita kotor,
meskipun diisi dengan air yang bening, airnya akan berubah menjadi kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang lezat, tidak akan ada yang mau minum karena
kotor. Tetapi jika gelasnya bersih, diisi dengan air yang bening akan tetap bening. Bahkan bisa diisi dengan minuman apa saja yang baik-baik: teh, sirup, jus, dan
sebagainya.

Demikian pula dengan jiwa kita. Jika jiwa kita bersih, siap menampung kebaikan-kebaikan. Tetapi jika jiwa kita kotor, tidak siap menampung kebaikan-kebaikan
sebagaimana gelas kotor yang tidak siap disi dengan minuman yang baik dan lezat.

Aplikasi Tazkiyatun Nafs menurut Al-Quran dan Sunnah


Dengan makna sebagaimana diuraikan di atas, tazkiyatun nafs tidak sekadar bermakna penyucian jiwa dan sembarang penyucian jiwa menurut kehendak setiap orang.
Tetapi tazkiyatun nafs harus dilakukan sesuai dengan cara-cara yang telah dituntunkan oleh agama Allah sebagaimana disampaikan oleh Rasul-Nya, Muhammad SAW.

Mengapa demikian? Karena tazkiyatun nafs adalah penyucian jiwa dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Yang Maha Suci dengan sifat  Subbuh (Maha
Suci dengan Segala Sifat Kesempurnaan-Nya ) dan Quddus (Maha Suci dengan terhindarnya dari segala sifat kekurangan-Nya ). Maka cara-cara melakukan tazkiyah pun
harus memenuhi apa yang telah dituntunkan oleh Allah dan Rasulullah.

Tazkiyatun Nafs, meliputi aspek-aspek sebagai berikut:


1. Tazkiyatud Din (mensucikan agama), yakni mensucikan jiwa dengan menegakkan aqidah shahihah (aqidah yang benar), al-tauhid al-khalish (tauihid yang murni dan
bersih), ibadah yang benar, muamalah yang memuliakan kemanusiaan, dan akhlak yang karimah. Aqidah Shahihah dan al-Tauhidul Khalish adalah keyakinan dan
keimanan yang kokoh, bersih dan lurus kepada Allah terhindar dari segal takhayul dan khurafat.

Ibadah shahihah adalah ibadah yang sesuai betul dengan ketentuan Al-Quran dan al-Sunnah, bebas dari segala bid’ah dhalalah. Yakni ibadah yang dilakukan selalu
merujuk dan menggali dalil-dalilnya dari Al-Quran dan Al-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush shalih, yakni pemahaman Rasul, shahabat dan tabiin, serta
generasi berikutnya yang setia kepada Al-Quran dan Al-Sunnah.

Muamalah yang benar adalah menjalankan pergaulan, prilaku dalam berhubungan dengan sesama manusia, seperti dalam jual beli, pinjam meminjam, hutang piutang,
saling tolong menolong semuanya dilakukan sesuai dengan rambu-rambu Al-Quran dan Al-Sunnah, yakni bebas dari saling mendhalimi, bebas dari riba, eksploitasi
sesama manusia dan sebagainya.

Akhlak Karimah adalah prilaku dalam berhubungan kepada Allah, sesama manusia dan kepada alam sekitar dengan nilai-nilai yang memuliakan manusia menurut
ajaran Al-Quran dan Sunnah, yang di dalamnya terkandung sikap sopan dan santun, sikap hormat dan menghargai orang lain, sikap kasih sayang, sikap malu, sikap
menjaga diri, dan sebagainya yang diajarkan oleh Allah dan Rasulullah.

2. Tazkiyatul Mal (mensucikan harta), yakni mensucikan jiwa dengan membersihkan harta yang diperoleh, dengan memberikan sebagian kepada orang yang
membutuhkan. Bahkan meyakini sebagaimana dituntunkan Allah dan Rasul-Nya, bahwa harta yang diperoleh dari usahanya adalah merupakan amanah dan titipan dari
Allah, bukan miliknya secara hakiki. Karena keberhasilan usaha yang dilakukan atau pun kegagalan yang dialami adalah ketentuan dari Allah setelah menjalan perintah-
Nya untuk bekerja keras. Maka Allah pun mengatakan bahwa pada sebagian harta yang diamanahkan kepada seseorang terdapat hak orang lain yang harus diberikan.
(QS. Al-Maarij: 24-25) Penyaluran harta yang menjadi hak orang lain dalam Islam dapat melalui pembayaran zakat, infaq dan shadaqah, semuanya diberikan kepada
orang yang berhak dan membutuhkan serta untuk keperluan kemasalahatan umum, seperti pembangunan tempat ibadah, tempat pendidikan dan penyantunan anak
yatim dan orang-orang miskin.

3. Tazkiyatul ‘Amal wal Akhlak. Penyucian amal perbuatan dan akhlak (prilaku dan budi pekerti) yakni dengan menjaga segala pikiran, perkataan dan perbuatan kita
dengan acuan Al-Quran dan Al-Sunnah, dan menjaganya dari hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Al-Quran dan Al-Sunnah.

Dengan demikian tazkiyatun Nafs adalah penyucian hati, penyucian jiwa agar seseorang menjadi dekat kepada Allah, berada dalam bimbingan dan tuntunan-Nya, yang
dilaksanakan dengan merujuk kepada ajaran agama-Nya yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Tazkiyatun Nafs tidak bisa dilakukan dengan cara-cara semau
gue, dan mengabaikan petunjuk Ilahi. Tazkyatun Nafs tidak dapat dilakukan dengan keyakinan yang dipenuh khurafat, amal ibadah yang dipenuh kebid’ahan dan
akhlak yang menyimpang dari akhlak karimah.

Karena semua telah ditetap tata cara dan rambu-rambunya dalam risalah para Nabi dan Rasul Allah, maka tazkiyatun nafs adalah merupakan salah satu missi kenabian
dan kerasulah setiap Nabi dan Rasul, termasuk dan terutama Rasulullah Muhammad SAW.

Pengaruh Tazkiyatun Nafs dalam Kehidupan


Apabila tazkiyatun nafs dilakukan dengan pemahaman, dan cara-cara implementasi yang telah disebut di atas, maka ia akan memberikan pengaruh positif terhadap
kehidupan manusia, antara lain dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam beragama, seseorang akan menjalankan agama dengan sepenuh hati, memandang segala perintah dan larangan yang datang dari Allah sebagai nikmat dan
karunia-Nya yang paling agung. Maka seseorang akan beragama Islam secara tulus dan hanya mengharap ridha dan cinta-Nya, serta selalu mendalami dalil-dalil
tuntunan Ilahi tersebut dalam menjalankan agama Allah.

2. Dalam berharta, seseorang siap untuk hidup sederhana, tidak boros, tidak bermewah-mewah, berjiwa solider terhadap penderitaan orang lain, sehingga dengan
longgar dan rela hati bersedia memberikan sebagaian harta miliknya kepada orang-orang yang membutuhkan karena Allah semata.

3. Dalam Amal, sanggup memelihara amal perbuatannya agar bermanfaat bagi dirinya, dan orang lain. Bersedia menjalankan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan
meninggal segala yang dilarangnya. Memiliki sikap peduli kepada orang lain, dengan menyampaikan dakwah, tausiyah (nasehat) dan amar ma’ruf nahi munkar, agar
sama-sama berada di jalan yang diridhai Allah.

4. Bersikap amanah, jujur dan dispilin dalam menjalan tugas-tugas kebajikan, baik dalam kontek hablun minallah (hubungan vertikal kepada Allah) maupun hablun
minannas (hubungan horisontal kepada sesama manusia dan alam sekitar).

Demikian uraian singkat tentang tazkiyatun nafs berdasarkan pesan-pesan dari Al-Quran dan Sunnah. Wallahu a’lam.

BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
          Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan bani Adam, al-basyar, al-
insan, an-nas dan kahfi. Banyak rumusan tentang pengertian manusia. salah satunya,
berdasarkan studi isi Al-qur’an dan Al-hadist, Al-insan (manusia) adalah makhluk ciptaan
Allah yang memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya
mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam,
bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak.
    Dari segi etimologi fitrah berasal dari kata ‫ﻓﻄﺭ‬ berarti al-khilqah, al-ibda’, al-
ja’l (penciptaan). Dengan makna etimologi ini, maka hakekat manusia adalah sesuatu yang
diciptakan, bukan menciptakan. fitrah pada pengertian yang lebih luas, yaitu pada pengertian 
potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. namun demikian potensi tersebut hanya
merupakan embrio semua kemampuan manusia, yang memerlukan penerapan lebih lanjut
dari lingkungannya untuk bisa berkembang.

          Penciptaan manusia disempurnakan dengan modal agar bisa menyelamakan

hidupnya selama di dunia. Modal ini berupa fitrah, pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan
( Rabb). Fitrah inilah yang akan membawa manusia pada kecenderungan Ilahiyah. Fitrah
manusia merupakan anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya itu harus dikembangkan
agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna.

B.   Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari
dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Prof. H.,Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998. h.10
Zuhairini. Dra. dkk., Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2009. h.75
Ramayulis. Prof. Dr. H., Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia, 2002. h.279-280

Chalil, Achjar dan Hudaya Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah. Jakarta:Balai            


Pustaka, 2008. h. 55 dan h.59-60

Komponen-komponen fitrah tersebut adalah:

1. Kemampuan dasar untuk baragama Islam (ad-dinul qayyimaah), di mana factor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad
‘Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah Al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk
beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah. Al i Fikry lebih menekankan pada peranan heriditas
(keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor keturunan psikologi (heriditas kejiwaan) orang tua anak
merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia itu.
2. Mawahid (bakat) dan Qabiliyyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka
“fitrah” mengandung komponen psikologi yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin merupakan elan vitale
(daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi semangat untuk mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Prof. DR. Mohammad Fadhil Al-Djamaly, juga berpendapat bahwa Islam itu adalah Agama yang mendorong manusia untuk mencari
pembuktian melalui penelitian, berfikir dan merenungkan ke arah iman yang benar.

3. Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut
Prof. DR. Hasan Langgulung, FITRAH itu dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat
Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya.
Jadi potensi manusia dan agama wahyu merupakan satu hal yang nampak dalam dua sisi; ibaratnya mata uang logam yang mempunyai
dua sisi yang sama. Mata uang itu kita ibaratkan fitrah
4. Dilihat dari sisi ia adalah potensi dan sisi lain adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang macam (Asma Al-Husna) merupakan potensi yang masing-masing berdiri
sendiri. Tetapi bila dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya berjuta-juta macamnya.
5. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas pada agama Islam. Dengan kemampuan manusia dapat dididik
menjadi agama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheist (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak
ulama Islam yang berpaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
6. Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci bersih yang reseptif
terbuka kepeda pengaruh eksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau responsi (jawaban) terhadap
pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah.[7]
Pendapat ini dikembangkan oleh para ulama ahli Sunnah Wal Jama’ah atau beberapa filosof muslim antara lain: Al-Ghazaly. Untuk
lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan komponen-komponennya:

Komponen komponen diatas menunjukan aspek-aspek psikologis fitrah yang saling pengaruh mempengaruhi antara satu aspek
terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Fitrah adalah faktor kemampuan dasar perkembangan manusia yang terbawa sejak lahir yang berpusat pada potensi dasar untuk
berkembang.
2. Potensi dasar itu berkembang secara menyeluruh (integral) yang menggerakkan seluruh aspek-aspeknya yang secara mekanistis satu sama
lain saling pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan tertentu.
3. Aspek-aspek fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsif terhadap lingkungan sekitar, termasuk pengaruh
pendidikan.
Komponen-komponen dasar tersebut meliputi :
1. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan
keahlian (profesional) dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Insting atau gharizah, adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar.
3. Nafsu dan dorongan-dorongannya (drivers)
4. Karakter atau watak tabiat manusia adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya.
5. Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang
diturunkan/diwariskan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.
6. Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham tuhan.[8]
 

1. Macam-Macam Fitrah Manusia


Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu[9]
1. Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan
daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2. Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi
kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan
dirinya. Namun demikian , diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat
kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal,
sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang
dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya.
Ada juga pendapat Ibn Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu:

1. Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati
nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
2. Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk
membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya,
semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin
tergelincir dari fitrahnya yang hanif.

Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa potensi yang dimiliki
oleh manusia diantaranya yaitu:

1. Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki.
2. Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
3. Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan
sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat diambil kesimpualan bahwa potensi manusia
yang dibawa sejak lahir terdiri dari:

1. Potensi agama
2. Potensi akal yang mencangkup spiritual
3. Potensi fisik atau jasadiah
4. Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu[10]
 
1. POTENSI MANUSIA
Dalam eksistensinya manusia tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya pada orang lain, karena  manusia merupakan makhluk
sosial. Kita tadi sudah berbicara tentang  hakikat manusia itu sendiri. Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
historis. Ha kikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah bangsa manusia itu sendiri.[11]
Mengenai  potensi manusia, kitab suci Al-Quran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif
yaitu al-insan dan al-basyar. Kata insan jika dilihat dari asal kata anasa mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Hal ini berarti
bahwa adanya keterkaitan manusia dengan kemampuan penalaran yaitu melalui penalaran manusia dapat mengambil pelajaran dari
apa yang dilihatnya, dapat mengetahui mana yang benar dan yang salah, dan  terdorong untuk meminta izin untuk menggunakan
sesuatu yag bukan miliknya[12]
Pengertian ini menunjukkan adanya potensi untuk dapat dididik pada diri manusia, artinya manusia merupakan makhluk yang dapat
diberi pelajaran atau pendidikan. Kemudian kata insan bila dilihat dari asal kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan bahwa manusia
merupakan makhluk yang tidak luput dari lupa dan salah.
Adapun kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat
tumbuhnya rambut. Dalam Al-Quran pemakaian kata basyar memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut
adalah anak Adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar. Dengan demikian kata basyar mengacu kepada manusia dari aspek
lahiriyahnya.[13]
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa manusia, dilihat dari kaitannya dengan kata insan, merupakan
makhluk yang potensial. Potensi-potensi yang dimiliki manusia tersebut menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan
pendidikan. Kemudian jika dikaitkan dengan kata basyar, manusia satu dengan lainnya merupakan makhluk yang sama dari aspek
lahiriyahnya, yaitu makhluk yang memiliki kesamaan dalam bentuk tubuh, makan dan minum dari sumber yang sama dari alam ini,
sama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dan pada akhirnya akan menemui ajalnya, kembali kepada Sang Khaliq.

Jadi pada dasarnya manusia memiliki potensi jasmani dan rohani. Potensi jasmani mengacu pada kata basyar dan potensi rohani
mengacu pada kata insan. Dengan potensi tersebut mampu menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagai pendukung,
penerus dan pengembang kebudayaan.

Manusia merupakan makhluk yang sangat luar biasa dengan segala potensi yang dimilikinya. Pada saat sekarang ini telah banyak
terjadi perkembangan dan kemajuan yang dibuat oleh manusia. ini disebabkan oleh potensi otak manusia yang luar biasa hebat.
Kemampuan otak manusia dapat menerima dan menyimpan banyak memori. Dengan pemanfaatan otak ini manusia telah banyak
menciptakan inovasi baru. Untuk itu manusia hendaknya selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah, salah satunya
dengan memanfaatkan fungsi otak kearah yang lebih baik yang akan menjadikannya makhluk yang bermartabat, baik dimata Allah
maupun dalam pandangan masyarakat.

Pada hakikatnya manusia sejak lahirnya telah diberi oleh Allah berbagai macam potensi. Potensi-potensi tersebut berupa potensi untuk
mendengar (sam’a), potensi untuk melihat (abshara), dan potensi memahami dengan hati (af-idah). Ketiga potensi tersebut merupakan
potensi dasar yang perlu dikembangkan sebaik dan semaksimal mungkin.

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
 E. Fitrah Sebagai Inner Potential
Inner potential dalam istilah maslow disebut kodrat batin yang bersifat pembawaan, intrinsik, tidak jahat, dan cenderung baik 
sementara dalam bahasa psikologi sufistik, dimaknai  fitrah rûhaniyyah atau inner potential yang memiliki daya positif. Inner
potential ini, bila dikembangkan terus melalui jalan tashfiyat al nafs (penjernihan jiwa dari hal-hal yang tercela dan pengembangan
melalui berbagai perbuatan terpuji) maka secara psikologis akan  berpengaruh positif terhadap kesalihan tingkah laku. dengan
demikian, inner potential sebagai potensi ruhaniah memiliki hubungan fungsional dengan tingkah laku psikologis yang dimunculkan.
Tesis tersebut dibangun atas dasar sebuah pandangan yang menyatakan, bahwa “suasana batin yang kondusif dalam keadaan
sempurna dan bersih, akan memunculkan tingkah laku yang baik dan positif. Kemungkinan ini terjadi karena dalam realitas hampir
tidak mungkin ntingkah laku muncul dipermukaan tanpa adanya sebab dalam bentuk dorongan yang berbasis kebutuhan psikologis
Manusia sebagai objek kajian psikologi sufistik tidak hanya dimaknai dalam keterkaitannya dengan dimensi jasmaniah dan kejiwaan
dalam tataran psikofisik, tetapi pemaknaannya dikaitkan juga dengan dimensi ruhaniah dalam tataran spiritual dan transendental.
Konsep di atas didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa manusia diciptakan dari dua unsur, jasmaniah dan ruhaniah. unsur
jasmaniah terdiri dari materi, sedang unsur ruhaniah berasal dari tuhan yang bersifatspiritual dan transendental. karenanya, ada
pendapat yang menyatakan bahwa manusia selain memiliki sifat sifat kemanusiaan (nasût), jugamemiliki potensi ketuhanan (lahût).

Atas dasar pemikiran tersebut, maka manusia dalam persepektif psikologi sufistik dituntut untuk menumbuh kembangkan potensi
ruhaniyah melalui tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli hingga sampai  pada tingkat manusia ideal atau insan kamil dari sisi psikologi
sebenarnya merupakan proses aktualisasi diri, dimana manusia mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak ilahiyah sebagai roto
tipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah situasi hidupnya ke arah hidup yang bermakna pemancaran sifat-sifat
ilahi dalam wujud akhlak insane merupakan perintah allah.[14]
Potensi ruhaniyah ( Inner Potensial) meliputi ;

1. al-Qalb
Menurut Al-Ghazali qalb mempunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-Qalb al-jasmani) atau daging sanubari (al-
lahm al-sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah
hitam kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama dan
kemanusiaan, karena hewan dan orang mati pun mempunyai qalb. Sedangkan qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf rabbani
ruhiy. al-Qalb merupakan alat untuk mengetahui hakikat sesuatu.

Alqalb sebagai inner potensial bila diberdayakan secara optimal, dapat berfungsi sebagai pemandu bagi pengembangan semua tingkah
laku, qalb yang berfunsi secara optimal dapat dikategorikan sebagai qlbu salim atau hati yang sehat, yang indikasinya dapat
diperhatikan melalui cirri – cirri sebagai berikut:

1. 1. selamat dari setiap nafsu yang menyalahi ajaran Allah,


2. 2. selamat dari hal – hal yang yang berlawanan dengan kebaikan dan kebenaran, 3. selamat dari penghambaan selain Allah ,
3. 4. bila mencintai dan membenci sesuatu karena Allah
4. 5. memiliki sikap kepribadian yang baik terhadap didri sendiri,
5. 6. memiliki keseimbangan mental dan
6. 7. memiliki empati dan kepekaan social[15]
 

1. al-Aql
Ada beberapa pengertian tentang aql. Pertama, aql adalah potensi yang siap menerima pengetahuan teoritis. Kedua, aql adalah
pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil yang muncul pada anak usia tamyiz,
seperti pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan berada di
dua tempat. Ketiga, aql adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empirik dalam berbagai kondisi. Keempat ,aql adalah
potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul syahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat.[16]
Aql sebagai inner potensial dan sebagai alat berfikir atau daya fikir, dalam psikologi sugistik memiliki 4 potensi:

1. 1. Potensi yang dapat membedakan citra manusia dengan hewan,


2. 2. Potensi yang dapat mengetahui perbuatan baik yang selanjutnya diamalkan dan perbuatan buruk selanjutnya ditinggalkan,
3. 3. Potensi yang dapat menyerap pengalaman, dan
4. 4. Potensi dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui akibat segala tindakan[17]
 

1. al-Ruh
Para ulama berbeda –beda dalam mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al-Qusyairi, ruh
adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan demikian ruh
berbeda dengan al-nafs dari sisi potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai pusat akhlak
terpuji. Ruh juga merupakan tempat mahabbah pada Allah.[18]
 

1. al-Nafs
Al-Nafs sebagai inner potential dibedakan menjadi 2 pengertian. Pertama, al-Nafs sebagai subtansi badani yang berpotensi amoral,
mengabaikan pertimbangan akal / hati nurani manusia. Nafs ini cenderung mengartikan al-Nafs dengan konotasi negatif. Itulah
sebabnya nafsu wajib diperangi (mujahadah al-nafs).[19]
Kedua sebagai subtansi yang berepotensi baik dan beradap. al-Nafs dalam arti ini mendapat berbaga i julukan sesuai dengan
kondisinya. Jika al-Nafs dalam menghadapi syahwat dengan tenang maka dijuluki al-Nafs al-Muthmainnah, Jika al-Nafs dalam
menghadapi syahwat dengan tidak tenang tapi lebih cenderung mengikutinya maka diberi julukan al-Nafs al-Ammarah, Nafs al-Nafs al-
Ammarah bisa menjadi al-Nafs al-Muthmainnah manakala seseorang terbebas dari akhlak yang tercela.[20]
Menurut al-Ghazali nafsu diartikan “Perpaduan kekuatan marah (gadlab) dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan ghadlab pada
awalnya tentu untuk sesuatu yang positif seperti untuk mempertahankan diri, mempertahankan agama dan sebagainya. Dengan
adanya ghdlab itulah jihad diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. Dengan kekuatan marah seorang wanita menolak untuk dinodahi
agama dan kehormatannya. Dengan kekuatan marah seseorang dapat menumpas kedhaliman dan sebagainya. Namun ketika gadlab
tidak terkendali maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela. Demikian juga dengan syahwat (syahwat sek)
perkembangbiakan manusia tetap berjalan, perpaduan antara pria dan wanita yang membentuk satu keluarga bisa terjadi sehingga
akan terbentuk komunitas sosial. Dengan syahwat (makan dan minum), muamalah mencari rejeki dapat berjalan. Bisa dibayangkan
seandainya tidak ada syahwat makan, minum dan sebagainya tentu roda perekonomian tidak mungkin berjalan. Namun bila syahwat
tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah kehancuran dan akhlak tercela[21]
Islam disebut agama fithrah karena merupakan jalan hidup yang dikehendaki dan ditunjukan oleh fithrah manusia. Sebab, didalam
islam tekandung pengertian penyerahan hamba kepada kehendak Allah swt. Dan fithrah manusia itu sesuai dengan kehendaknya.[22]
 

BAB III   PENUTUP


 

1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa hakekat fitrah sesuatu yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
kemampuan jasmani dan akalnya . Pada hakikatnya manusia sejak lahirnya telah diberi oleh Allah berbagai macam potensi. Potensi-
potensi tersebut berupa potensi untuk mendengar , potensi untuk melihat , dan potensi memahami dengan hati. Potensi- potensi
tersebut merupakan potensi dasar manusia yang perlu dikembangkan sebaik dan semaksimal mungkin untuk dapat lebih baik lagi.

1. Saran
Dari pembahasan di atas dan kesimpulan yang telah ada, kita telah mengetahui hakekat fitrah manusia menurut islam dan potensi
dasar manusia. Untuk itu setelah kita mengetahuinya, tahap selanjutnya memahaminya dan bisa tahu kemampuan dan potensi potensi
digunakan untuk di jalan allah.. Supaya kita termasuk orang orang bertakwa dan berada dijalan yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyidin & Samsul Nizar , 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Ciputat Press:  Jakarta
1. Arifin, 1996, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Nizar, Samsul, Peserta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam, Padang: IAIN Press, 1999
Ramayulis,  2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta
http://ahmadnurkholis19.blogspot.com/2013/01/tinjauan-filosofis-tentang-fitrah.html
http://artikelilmiyah.blogspot.com/2012/10/komponen-dasar-dan-dimensi-fitrah.html
http://ayu3nawang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-perspektif-filsafat-pendidikan-islam/
http://laskarcharles.wordpress.com/2010/03/28/hakikat-fitrah-manusia/
 

http://sapanmaluluang.wordpress.com/2011/07/14/fitrah-dan-potensi-manusia-dalam-pendidikan-islam/
 

[1] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 78
[2]  Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media Pratama , hal 37
[3] M. Arifin, Filasafat Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 160
[4] http:// hakikat-fitrah-manusia.html
[5] Jalaudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011, hal 127
[6] Abu Ahmadi, Dasar DasarPendidikanAgama Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal 16
 

[7] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hal 97-100


 

[8] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara , 2000, hal 100-103


[9] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam, , Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 76
[10] Samsul Nizar, opcit, hal 42-44
[11]  Abuddin Nata, Filsafat PendidikanIslam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal 28
[12] Ibid., hal. 29
[13] Ibid., hal 31
[14] Abdullah Hadziq , Kontribusi Psikologi Sufistik Terhadap Pengembangan Pendidikan Multicultural, Jakarta : Jurnal ISJD LIPI, 2008, hal.
8–9
[15] Abdullah Hadziq , Opcit, hal 12
[16] Tedi Priatna. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal 88
[17] Abdullah Hadziq , Opcit , hal 11
[18] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan AL  Qur’an, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994, Hal. 68
[19] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, hal 58
[20] Abdullah Hadziq , Opcit , hal 13
[21] http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/potensi-ruhaniah-manusia
[22] Hery Noer , Ilmu Pendidikan Islam , Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1995, hal 120
 

Home » alqur`an » Pendidikan Islam » Makalah Konsep Fitrah Dalam Al-Quran

 
ALQUR`AN PENDIDIKAN ISLAM

Makalah Konsep Fitrah Dalam Al-Quran


Makalah mini ini akan membahas sekelumit diskursus tentang fitrah dalam al-Quran, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya.
Semoga pembahasan singkat ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki perjalanan hidup ini.

A. Pendahuluan

Substansi ajaran Islam pada intinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud
manakala manusia tersebut mampu mendekatkan diri kepada Tuhan, karena memang dia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Islam merupakan agama
fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia.
Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan
insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap
dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber
daya manusia tersebbut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.[1]

Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama
kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak hanya
sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh
dengan kepribadiannya yang sempurna.

makalah mini ini akan membahas sekelumit diskursus tentang fitrah dalam al Qur’an, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya.
Semoga pembahasan singkat ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki perjalanan hidup ini.

B. Pengertian Fitrah

Secara lughatan (etimologi) berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang berarti
menjadikan.[2] Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan anyaa yang artinya mencipta.
Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan
masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam Kamus al Munjid diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al
shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu ada yang bermakna al dinu wa al
sunnah.[3]

Abu a’la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan, tetapi
di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[4] Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi manusia
beragama tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya ia pada aturan-aturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi tauhid (ketaatan
pada Tuhan) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara fitrah-nya.

Sehingga uraian Al-Maududi mengenai peletakan pengertian konsep fitrah secara sederhana yakni menunjukkan kepada kalangan pembaca bahwa meskipun manusia
telah diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, namun pada hakikatnya ia dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa segala gerak
dan lakunya cenderung berserah diri kepada Khaliknya.[5]

Mengenai fitrah kalangan fuqoha telah menetapkan hak fitrah manusia, sebagaimana dirumuskan oleh mereka, yakni meliputi lima ha: 1). Din (agama), 2) jiwa, 3). Akal,
4). Harga diri, dan 5). Cinta

Menurut Armai, bila interpretasi lebih luas konsep fitrah dimaksud bisa berarti bermacam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefenisikan oleh banyak
pakar d iatas, di antara arti-artinya yang dimaksud adalah : 1) Fitrah berarti “ thuhr’ (suci), 2) fitrah berarti “Islam”, 3) fitrah berarti “Tauhid” (mengakui keesaan Allah), 4)
fitrah berarti “Ikhlash” (murni), 5) fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran, 6) fitrah berarti “al-Gharizah” (insting), 7) fitrah berarti
potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah, 8) fitrah berarti ketetapan atas manusia, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan.[6]

Kata ini juga dipakaikan kepada anak yang baru dilahirkan karena belum terkontaminasi dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering disebut dalam keadaan fitrah
(suci). Pengaruh dari pengertian inilah maka semua kata fitrah sering diidentikkan dengan kesucian sehingga 'id al-fitri sering pula diartikan dengan kembali kepada
kesucian demikian juga zakat al-fitrah. Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri digunakan juga terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pengertian
keseimbangan sebagaimana yang tertera dalam al-Qur'an

Kata-kata yang biasanya digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan-Nya untuk melengkapi penciptaan itu adalah
kata ja’ala yang artinya “menjadikan”, yang diletakan dalam satu ayat setelah kata khalaqah dan ansy’a. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada
manusia.[7] 

]8[‫ياايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثي وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند هللا اتقاكم ان هللا عليم خبير‬

Artinya: Hai Manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan (khalaqna) kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan (ja’alna) kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal.
]9[‫قل هو الذي انشأكم وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة قليال ما تشكرون‬

Artinya: Katakanlah; Dialah yang menciptakan kamu (ansya’akum) dan menjadikan (ja’ala) bagimu pendengaran, penghihatan dan hati (fuad), akan tetapi amat sedikit
kamu bersyukur.

‫فاقم وجهك للدين حنيفا فطرت هللا التى فطر الناس عليها ال تبديل لخلق هللا ذلك الدين‬

]10[‫القيمولكن اكثر الناس ال يعلمون‬

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan (fathara) manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum ayat 30, maka
dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau acuan, di mana
berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang mempengaruhinya, maka posisi manusia dapat
“bergeser” dari kondisi fitrah-nya, untuk itulah selalu diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya melalui utusannya (Rasul-Nya).[11]

Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau intelegensia
(kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya,[12]dalam memahami agama Allah secara damai di dunia ini.

Quraish Shihab mengungkapkan dalam Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan
mengikut sertakan pandangan Quraish Shihab tersebut berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya
sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir.[13]

Ungkapan senada mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin yakni secara keseluruhan dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan
dasar/pembawaan itu disebut dengan fitrah.[14]Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang telah ditanamkan Allah
dalam diri setiap insan. Maka manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid.[15] Istilah fitrah dapat dipandang dalam dua sisi.
Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yakni bahwa
manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan Tuhan.

Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum pasti (unconfirmed state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya.
Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa manusia yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang
berhubungan dengan jiwa.[16]

Bila tidak berlebihan dalam memahami terminologi Abu Haitam dapat dipahami, pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan fitrah
(keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik maka yang bersangkutan akan senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila
keseimbangan ini sudah tidak mampu dipertahankan maka menyebabkan seseorang akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah adalah kata yang selalu digunakan
untuk menunjukkan kesucian sekalipun dalam bentuk abstrak keberadaannya selalu dikaitkan dengan masalah moral. Keabstrakan ini meskipun selalu dipakai dalam
aspek-aspek tertentu namun pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan.

C. Hubungan Fitrah Dengan Pendidikan Islam dalam al-Quran.

Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk
mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di
antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus
yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[17]

Potensi akal secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan
akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan salah.[18] Di samping itu menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam
menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa
lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.[19]

Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari
pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal
yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni
tujuan tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus.[20] Tujuan tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang
mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/akhir ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah.
Salah satu prilaku itu identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah
sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama yang cenderung
mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empirik dan realistic. Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat tetap, berlaku di sepanjang tempat,
waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek
didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization).[21] Sementara tujuan khusus
merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk
diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan
pendidikan Islam tersebut menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan
subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.[22]

Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah
seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.

Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya
penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara jasadi,
nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung
pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada
yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.[23]

Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung
berbagai teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an maupun hadis baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan
mampu membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya.[24]inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah kecenderungan peserta didik
pada yang benar dalam memiliki secara pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an
maka kalangan pemikir pendidikan Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta’lim, , ta’dib dimaksud dalam al-Qur’an. 

Dari ketiga kata tersebut, Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu’jam al Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam al-
Qur’an kata Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak lebih dari 872 kali.[25] Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata dari al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insy’ al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya
mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang sempurna.[26]

D. Signifikansi Fitrah Dalam Pendidikan Islam

Konsep fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik) secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan fujur. Peserta
didik pada dasarnya diciptakan dalam keadaan memiliki potensi positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia
akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fitrah manusia diciptakan
dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Akan tetapi implikasi dimaksud dalam penelitian ini mendapatkan bentuk konsep fitrah
sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara epistemologi pendidikan, mewujudkan peserta
didik yang memiliki potensi kepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia.

Jakfar Siddik mengungkapkan bahwa yang menjadi inti kemanusiaan itu adalah fitrah (agama) itu sendiri. Fitrah-lah yang membuat manusia (peserta didik) memiliki
keluhuran jiwa secara alamiah berkeinginan suci dan berpihak pada kebaikan dan kebenaran Allah swt.[27] Menurut penulis membuat suatu tatanan proses
perkembangan peserta didik terhadap lingkungan pendidikan sebagai lahan mengembangkan potensi kesucian peserta didik (konsep fitrah) dapat terpenuhi maka
kebutuhan kepribadian peserta didik akan lebih sempurna.

Potensi kalangan peserta didik sebagai anak manusia pengemban amanat Allah swt dan juga sebagai khalifah di muka bumi ini, ia dilahirkan adanya nilai bertauhid
Menurut Nurcholis Madjid merupakan sebuah peristiwa dengan adanya perjanjian mahkluk (manusia) dengan Tuhan Allah swt, maka dapat dikatakan bahwa manusia
(peserta didik) tersebut terikat dengan perjanjian itu (pemaknaan bersifat religius). Demikian juga halnya dengan agama pun sebenarnya memang adalah perjanjian,
yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan mitsaq atau ‘ahdun, perjanjian dengan Allah swt. Seluruh hidup merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi
perjanjian manusia dengan Allah. Intinya ialah ibadah, artinya memperhambakan diri kepada Allah. Karena Allah swt sendiri telah diakui sebagai Rabb. Maka
implikasinya, akibat dari beribadah kepada Allah itu adalah, bahwa manusia yakni kalangan peserta didik yang haus akan kebutuhan pengembanagan kepribadian nilai
fitrah-nya diharuskan menempuh jalan hidup yang benar.[28]
Menurut al-Attas, yang dikutip oleh Baharuddin, fitrah merupakan ketundukan manusia sebelum kehadirannya di bumi yang dijelaskan dalam surah al-A’raf/ 7: 172
menunjukkan utangnya kepada Allah, begitu juga kerugiannya yang total, sehinga dia mungkin bisa membayarnya dan kembali kepada Allah dengan menyerahkan diri
untuk mengabdi kepada-Nya. Kewajiban ini dirasakan oleh umat manusia sebagai suatu kecenderungan wajar dan alamiah, fitrah yang oleh al-Attas disepadankan
dengan al-din, merujuk kepada surat al-Rum/30: 30-32 fitrah adalah sifat dasar ketundukan pada manusia dan al-din adalah bentuk ketundukan bagi manusia.
Ketundukan sadar dan kehendak bebas memantapkan harmonisasi dan kosmos, sementara penolakan tunduk mengakibatkan ketimpangan dan kekacauan.[29]

Hakikinya, konsep fitrah bila diaktualisasikannya dalam pendidikan, tidak sekedar "tranfern of knowlegde" atau pun "tranfers of training". tetapi jauh dari itu merupakan
suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan, dan inilah yang merupakan potensi tauhid
bahagian konsep fitrah manusia. Tegasnya kebermaknaan konsep fitrah dalam hubungannya dengan wilayah pendidikan adalah melahirkan suatu kegiatan yang
mengarah dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai dengan atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Konsep fitrah yang merupakan potensi dasar manusia dapat
teraktualisasikan bila kondisi lingkungan serta proses pendidikan dapat membentuk nilai-nilai kepribadian tersebut. Secara global potensi-potensi tersebut mengarahkan
bentuk induvidualis dan sosialis yang beragama, atau dengan kata lain potensi fitrah termanifestasikan pada diri seseorang adalah nilai-nilai obyektifitas trasendensi
moral humanisme, terlebih lagi pada persoalan pengembangan keperibadian untuk menuju kepribadian muslim yang kaffah di mana hal itu merupakan bagian dari proses
internalisasi nilai-nilai fitrah terhadap pendidikan yang berasaskan Islam.

Individu dalam pandangan konsep fitrah yakni Islam memandang bahwa manusia memiliki daya untuk berkembang dan siap pula untuk dikembangkan. Akan tetapi tidak
berati individu tersebut dapat diperlakukan sebagai manusia pasif, melainkan memiliki kemampuan dan keaktifan yang mampu membuat dilihat dan penilaian, menerima,
menolak atau menentukan alternatif-laternatif yang lebih sesuai dengan pilihannya sebagai perwujudan dari adanya kehendak dan kemauan bebasnya.[30]

Jadi signifikansi pendidikan Islam dalam kerangka konsep fitrah dapat dideskripsikan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagian dunia dan
akhirat baik melalui ilmu maupun melalui ibadah, karena pada hakikatnya tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri adalah pencapaian kebahagian hidup di dunia dan
kesejahteraan di akhirat. Maka selayaknya yang harus menjadi fokus utama dalam rangka menyikapi hal ini adalah memperhatikan nilai-nilai Islam tentang manusia;
hakekat dan sifatnya, misi dan tujuan hidup di dunia dan akhirat nanti, hak dan kewajiban sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara fitrah,
setelah seseorang mengetahui tentang hakikat kehidupan, maka dia tidak saja dapat memberikan inspirasi kepada manusia lain, akan tetapi juga dapat mentransfer nilai-
nilai luhur yang ia kembangkan hingga menjadi manusia-manusia baru, yakni manusia yang cinta hidup damai, aman dan sejahtera karena fitrah mansuai yang
sebenarnya adalah hidup dalam jalinan cinta sesama

E. Penutup.

Hakikat Konsep fitrah bila dikaitkan dengan pendidikan Islam sebenarnya sangat bersifat religius yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan, sebab, setiap
manusia yang dilahirkan dia membawa potensi yang disebut dengan potensi keimanan terhadap Allah atau dalam bahasa agamanya adalah tauhid. Pengertian fitrah di
dalam al Qur’an adalah gambaran bahwa sebenarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu manusia yang tidak
beragama tauhid merupakan penyimpangan atas fitrahnya.

Setelah memahami konsep fitrah dalam arti luas, maka tujuan yang ingin dicapai adanya gerakan Islamisasi pendidikan berlandaskan sistem pendidikan Islam terhadap
ajarannya. Adanya paradigma ideologi humanisme teosentris berdasarkan konsep fitrah, diharapkan tidak saja mampu menjadi alat ukur perkembangan produktifitas
peserta didik secara fitrah, tetapi juga diharapkan implementasi operasionalnya tersusun secara sistematis, logis dan obyektif mengenai ajaran Islam. Bukan malah
sebaliknya melahirkan produktifitas peserta didik berdasarkan filsafat Barat mengenai teori-teori kemanusiaan, yang belum tentu memberikan uraian kebutuhan nilai
religiusitas peserta didik itu sendiri.

Perlu untuk dipertegas bahwa kebutuhan nilai religiusitas peserta didik sesuai tujuan pendidikan Islam harus berlandaskan teori konsep fitrah itu, sebab segala usaha
dalam meningkatkan sistem pendidikan Islam haruslah memelihara dan mengembangkan fitrah peserta didik agar sumber daya manusia itu menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai pada norma-norma ke-Islaman.

Seiring dengan tujuan konsep fitrah dalam sistem pendidikan Islam, konsep fitrah yang ada pada diri peserta didik dapat diformulasikan secara benar dan sempurna
sebagai pribadi muslim. Manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan aktualisasi hubungan dengan Allah swt, sesama manusia, dan alam
secara positif konstruktif, inilah yang disebut transendent humanisme teosentris. Sehingga adanya pendidikan Islam berdasarkan konsep fitrah, hendaknya kalangan
peserta didik pantas menjadi hamba pilihan sesuai uraian Allah swt dalam al-Qur’an.

Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga sesuai dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan
fitrahnya, sehingga akan membawa kepada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya. Di sisi lain, Islam sebagai way of life (pandangan hidup) yang berdasarkan nilai-nilai
ilahiyah, baik yang termuat dalam al Qur’an maupun al hadist diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi),
sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan sesalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan di mana saja ( likulli
zamanin wa makanin)

FITRAH DAN POTENSI MANUSIA DALAM


PENDIDIKAN ISLAM
By: jumiarti (407.690)
Tadris Bahasa Inggris
Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang
A.    Pendahuluan
Sesungguhnya manusia diciptakan oleh Allah SWT tidak lain hanya untuk mengabdi dan beribadah. Dan juga bertugas untuk mengemban amanah
untuk mengelola dan memamfaatkan kekayaan yang terdapat di bumi agar manusia dapat hidup sejahtera dan makmur lahir dan batin. Begitu
spesialnya manusia diciptakan oleh allah SWT. Dengan diberinya potensi, maka manusia dapat berpikir dan memngembangkan potensi yang
terdapat pada dirinya. Mengembangkan potensi tersebut salah satunya melalui dunia pendidikan.

Dalam pembahasan ini penulis akan berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan fitrah manusia dan potensi
manusia itu sendiri dalam pendidikan islam. Pertama penulis akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang mencakup bagian-bagiannya, fitrah
manusia, selanjutnya macam-macam fitrah, dan hubungan fitrah manusia itu sendiri dengan dunia pendidikan.

Semoga dengan adanya penjelasan tersebut kitta menjadi paham tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam. Terutama bagi
penulis sendiri agar menambah pemahaman dan cakrawala tentang manusia dalam pendidikan, berikut penjelasannya.

B.     Manusia
a.      Hakikat Manusia
Pengkajian tentang manusia dipandang dari berbagai aspek. Dari segi fisik disebut antropologi fisik. Dari sudut pandang budaya disebut antropologi
budaya, sedangkan yang memandang manusia dari segi hakikatnya yaitu antropologi filsafat. Dari pandangan filsafat inilah yang menyebabkan
pengkajian tentang hakikat manusia itu tidak pernah berakhir. Sehingga ada 4 aliran yang berbicara apa itu manusia. Aliran tersebut yaitu aliran
serba zat yang mengatakan bahwa yang sungguh-sugguh ada itu adalah zat dan materi. Kedua, aliran serba ruh yang mengatakan bahwa segala
sesuatu hakikatnya adalah ruh, begitupun manusia. Sementara zat hanyalah manfestasi dari ruh.

Ketiga, aliran dualisme yang merupakan gabungan dari zat dan ruh yang mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu jasmani
dan rohani, badan dan ruh. Keempat, aliran eeksistensialisme yang memandang manusia buakan dari zat dan ruh akan tetapi dari segi eksistensi
manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.

Berdasarkan kenyataan bahwa manusia itu mempunyai jasmani dan roh, jiwa atau rohani. Maka ada empat macam pandangan tentang hal tersebut
yaitu:

1. Pandangan idealistis tentang badan manusia


2. Pandangan materialistis tentang badan manusia
3. Pandangan bahwa badan adalah musuh dari roh
4. Pandangan bahwa badan manusia adalah jasmani yang di rohanikan ataupun sebaliknya.[1]

Pengetahuan tentang hakikat manusia ini merupakan bagian yang sangat penting. Dengan demikian kita dapat mengetahui hakikat manusia,
kedudukan dan fungsinya di alam semesta ini. karena manusia dalam pendidikan bukan saja sebagai objek namun juga sebagai subjek. Sehingga
pendekatan yang dilakukan dan aspek yang dilaksanakan dapat direncanakan secara matang.

Sastraprateja mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah yang hanya dapat dilihat dalam
perjalanan sejarah bangsa manusia. Pengamatan terhadap pengalaman manusia merupakan rangkaian Antropological Constant yaitu dorongan-
dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Ada enam Antropological Constant yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia
yaitu:
1. Relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan lingkungan ekologis
2. Ketertiban dengan sesama
3. Keterikatan dengan struktur sosial dan institusional
4. Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat
5. Hubungan timbal balik antara teori dan praktek
6. Kesadaran religius dan pemeluk agama[2]

Salah satu pemikir di abad modern yang mangkaji tentang hakikat manusia yaitu Alaxis Carrel yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang misterius, karena derajat perpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang
ada diluar dirinya.

Ibn Arabi melukiskan hakikat manusia bahwa tidak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup,
mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, yang merupakan sifat rabbaniyah.

b.      Manusia Dalam Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an banyak sekali gambaran yang membahas tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk
yang sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal dan pikiran.

Murthada Mutahhari melukiskan gambaran Al-Qur’an tentang manusia yaitu manusia sebagai suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di
bumi, serta sebagai makhluk semi samawi dan semi duniawi yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas terpecaya, rasa
tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, langit dan bumi. Akan tetapi manusia sering melupakan hakikat kedudukannya sebagai
hamba Allah.

Kesulitan para ahli dalam mendefinisikan hakikat manusia, akhirnya menyebabkan gagalnya usah-usaha ilmiah, ideologi dan tatanan sosial untuk
memberikan kebahagian kepada manusia di zaman modern ini. Itu semua disebabkan karena ketidak tahuan manusia untuk mengenal dirinya.

Di dalam Al-Qur’an ada tiga istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk pengertian manusia. Ketiga kata tersebut yaitu: al-basyar, al-insan, al-
nas.Meskipun ketiga kata tersebut merujuk kepada manusia, akan tetapi secara khusus memiliki makna yang berbeda, hal demikian dapat dilihat
dari pengertian dibawah ini yaitu:[3]
1.  Al-Basyar
kata Al-Basyar ini dinyatakan dalam alqur’an sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-basyar merupakan bentuk jamak
dari al-basyarat  (‫ )البشرة‬yang berarti kulit kepala, wajah dan tubuh menjadi tempat tumbuhnya rambut. Pemaknaan manusia dengan al-basyar
memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum, perlu
hiburan, sexs dan lain sebagainya.
Kata Al-Basyar ditujukan pada seluruh umat manusia tampa terkecuali. Ini berarti bahwa Rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar. Hal ini
mengisyaratkan bahwa manusia memiliki persamaan dengan ciri pokok dari makhluk Allah lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ciri pokok
tersebut diantaranya adalah persamaan dalam dunia ini memerlukan ruang dan waktu seta tunduk terhadap sunatullah. Dengan demikian
persamaan manusia dari aspek materi atau dimensi alamiah saja.[4]
2. Al-Insan
Kata ini dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 73 kali yang tersebar dalam 43 surat. Penggunaan kata Al-Insan pada umumnya digunakan
menggambarkan pada keisimewaan manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Ini
dikarenakan manusia memiliki potensi dasar yaitu fitrah akal dan kalbu. Menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia dan tertinggi
dibanding makluk lainnya.
Kata Al-Insan juga menunjuk pada proses kejadian manusia, baik Adam amupun manusia setelah Adam di alam rahim yang berlangsung secara
utuh dan berproses. Dalam hal ini ada dua dimensi yang terkandung yaitu pertama dimensi tanah (dengan berbagai unsurnya) yang
mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya tidak bisa lepas dari pengaruh kekuatan alam dan kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut
dengannya dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Dimensi kedua yaitu dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada
manusia) yang mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya kehidupan manusia diarahkan kepada tujuan disamping material dan non material, dengan
kata lain kehidupan manusia hendaknya senantiasa diarahkan kepada suatu realitas yang Maha Sempuna (Allah), tampa batas, tampa cacat, dan
tampa akhir.
Dengan demikian kata Al-Insan mengandung makna tentang keunikan manusia yaitu agar manusia hidup dengan nilai illahiyah, agar manusia
senantiasa menggunakan akal dan potensi yang dimilikinya secara optimal, dengan tetap berpedoman kepada ajaran Ilahi. Dengan inilah manusia
dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia jika tidak maka masnusia akan terjerumus dan jatuh kejurang kenistaan dan
kehancuran serta kehinaan.[5]
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang sifat umum manusia, serta sisi kelebihan dan kelemahan manusia yaitu:

–          Tidak semua yang di inginkan manusia berhasil dengan usahanya, bila Allah tidak menginginkannya.

–          Gembira bila ada nikmat, susah bila dapat cobaan

–          Manusia sering bertindak bodoh dan zalim baik terhaap dirinya maupun makhluk Allah lainnya

–          Manusia seringkali ragu dalam memutuskan persoalan

–          Apabila mendapat kenikmatan materi sering lupa diri dan kikir

–          Manusia adalah makhluk yang lemah

–          Kewajiban berbakti kepada kedua orang tua

–          Peringatan Allah agar manusia waspada terhadap bujukan rayuan orang-orang munafik  
3. Al-Nas
Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an dinyatakan sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat. Kata ini menunjukkan pada hakikat manusia sebagai
makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tampa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Kata ini juga
menunjukkan kepada karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai
potensi yang bisa digunakan untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia yang mau memmpergunakannya sesuai dengan ajaran
Tuhannya. Sedangkan sebagian yang lain menggunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasaan Tuhan.
Kata Al-Nas juga dipergunakan Al-Qur’an yaitu untuk menunjukkan kepada makna lawan dari binatang buas. Ia diasumsikan sebagai makhluk yang
senantiasa tunduk pada alam di mana ia berada.
Pendefinisian yang dinyatakan Allah SWT dalam Al-Qur’an dengan menyebut manusia dengan istilah Kata Al-Nas juga dipergunakan Al-Qur’an yaitu
untukAl-Basyar, Al-Insan, Al-Nas memberikan gambaran akan keunikan serta kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.
Referensi ini menjelaskan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara aspek material (fisik) im materil (psikis) yang dipandu oleh
ruh illahiah. Antara aspek fisik dan aspek psikis saling berhubungan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelengkapan fisik dan psikis. Dengan kelengkapan fisik,
ia dapat melaksanakan tugasnya yang memerlukan dukungan kekuatan fisik dan dengan kelengkapan psikis ia dapat melaksanakan kegiatannya
ynag memerlukan dukungan  mental.[6]
c.       Kedudukan Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga yang sebaik-baiknya dan rupa yang seindah-indahnya dilengkapi dengan
berbagai organ psiko fisik yang istimewa seperti panca indra dan hati agar manusia bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi
keistimewaan-keistimewaan itu.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah SWT. menciptakan manusia bukan secara main-main melainkan dengan suatu tujuan dan fungsi. Kesatan
wujud antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan al-taqwim dan
menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu:
1. Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah)
Konsep ’abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah SWT. Dengan penuh
keikhlasan. Yang  meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia
hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakalah aktivitas itu memang ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan
redho-Nya.[7]
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan.
Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hokum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada
setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi bagian dari segala
yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama.
Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al- Qur’an disebabkan karena telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia
tak kala ia berada di alam arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahan dari
kehidupan manusia itu sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT. adalah Tuhanya .

2. Manusia sebagai khalifah Allah fi al-ardh

Kata khalifah berasal dari fiil madhi Khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan. Jadi khalifah yaitu proses penggantian antara satu individu
dengan individu yang lain. Sebagai seorang khalifah ia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia
menggantikan orang lain menggantikan kedudukann kepemimpinannya atau kekuasaanya.[8]
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia
memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya
di muka bumi.

Menurut Ahmad Musthafa Al Marghi, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makna. Pertama, pengganti yaitu pengganti Allah SWT dalam
menjalankan titahnya di muka bumi. Kedua, manusia adalah pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan mendayagunakan
alam semesta bagi kepentingan manusia secara keseluruhan.
Salah satu aplikasi dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan
menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk mengelola dan memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk
memenuhi keperluan hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai Khalifah Allah yang hanya tunduk kepada-Nya
dan tidak akan tunduk kepada alam semesta.[9]
C.    Fitrah
a.      Konsep Fitrah Manusia
Dalam dimensi pedidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk alllah lainnya, terangkum dalam kata “fitrah”. Secra
bahasa fitrah berasal  dari kata fathaha yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kataal-fathr yang berarti belahan atau pecahan.

Dalam Al-Qur’an kata-kata yang mengacu pada pemaknaan kata fitrah muncul sebanyak 20 kali yang tersebar dalam 19 surat. Sehingga secara
umum pemaknaan kata fitrah dapat dikelompokkan kedalam empat yaitu:

1. Proses penciptaan langit dan bumi


2. Proses penciptaan manusia
3. Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan seimbang
4. Pemaknaan pada agama Allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (ma’rifat al-
iman)
Para pemikir muslim cendrung memaknai kata fitrah berdasarkan QS:30:30 sebagai potensi manusia untuk beragama. Ada juga yang memaknai
bahwa fitrah merupakan bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia berada dalam alam rahim.

Hasan langgulung mengartikan fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu
keterpaduan yang tersimpul dalam Asma’ul Husna. Batasan tersebut memberikn arti, misalnya sifat Allah Al-Ilmu “maha mengetahui” maka
manusia pun memiliki potensi untuk bersifat mengetahui dan begitu juga semuanya. Akan tetapi kemampuan manusia tentu saja berbeda dengan
Allah. Hal ini disebabkan karena berbeda hakikat diantara keduanya. Allah memilki sifat kemaha sempurnaan sedangkan manusia memiliki sifat
keterbatasan. Keterbatasan itulah yang menyebabkan manusia membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk memenuhi segala kebutuhan.
Keadaan ini menyadarkan manusia tentang ke-Esaan Allah, sehingga inilah letak fitrah beragama manusia sebagai manifestasi memenuhi
kebutuhan rohaniahnya.
Abdurrahman Shaleh Abdullah mengartikan kata fitrah sebagai bentuk potensi yang diberikan Allah padanya disaat peciptaan manusia dialam
rahim. Potensi tersebut belum bersifat final, akan tetapi merupakan proses. Ia juga mengatakan bahwa anak yang lahir belum tentu muslim,
meskipun ia berasal dari keluarga muslim. Akan tetapi Allah SWT telah membekalinya dengan potensi-potensi yang memungkinkannya menjadi
seorang Muslim.

Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan
sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada
manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang
diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi seluruh
dimensi manusia.

Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia itu terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak)
nya, apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin Sari).

Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin
baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah
lakunya. Namun demikian, pendekatan tersebut hanya sebatas teoritis manusia, sedangkan dosa balik itu dalam islam ada kemungkinan lain, yaitu
hidayah dari Allah SWT sebagai penentu yang Maha final.[10]
b.      Macam-Macam Fitrah Manusia
Dari sekian banyak pengertian tentang fitrah, maka dapat diambil kata kunci bahwa fitrah adalah potensi manusia. Potensi tersebut bukan saja
potensi agama saja. Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S. Praja pada diri manusia juga memiliki setidaknya tiga potensi fitrah yaitu:

1. Daya intelektual (quwwat al-al-‘aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai intelektualnya, manusia
dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) yaitu potensi yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan
bermamfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3. Daya defensif (quwwat al-ghaddab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari perbuatan yang dapat membahayakan
dirinya.
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada juga
pendapat Ibn Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu:

1. Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati
nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
2. Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk
membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah
tidak mengalami keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang
hanif.

Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab dalam mendefinisikan fitrah manusia ada beberpa potensi yang dimiliki oleh manusia
diantaranya yaitu:

1. Potensi jasadiah, yaitu contohnya potensi berjalan tegak dengan menggunakan kedua kaki.
2. Potensi akliyahnya, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk menarik sesuatu kesimpulan dari sejumlah premis.
3. Potensi rohaniyah, yaitu contohnya kemampuan manusia untuk dapat merasakan senang, nikmat, sedih, bahagia, tenteram, dan
sebagainya.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang macam-macam potensi manusia, maka dapat diambil kesimpualan bahwa potensi manusia yang dibawa
sejak lahir terdiri dari:

1. Potensi agama
2. Potensi akal yang mencangkup spiritual
3. Potensi fisik atau jasadiah
4. Potensi rohaniah mencangkup hati nurani dan nafsu.[11]

D.    Hubungan Fitrah Manusia Dengan Dunia Pendidikan


Dalam perspektif pendidikan Islam, fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan
tersebut meliputi kekuatan hidup, upaya mempertahankan dan melestarikan kehidupannya, kekuatan rasional (akal), dan kekutan spiritual
(agama). Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan terkait secara integral. Potensialitas manusia inilah yang kemudian dikembangkan, diperkaya,
dan diaktualisasikan secara nyata dalam perbuatan amaliah manusia sehari-hari, baik secara vertikal maupun horizontal. Perpaduan ketiganya
merupakan kesatuan yang utuh.
Dalam pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik
potensi yang ada pada aspek jasmani maupun rohani, intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya. Dengan ini,
pendidikan Islam akan mampu membantu peserta didiknya untuk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada
semua potensi yang dimiliknya. Mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, pada dasarnya
pedidikan berfungsi sebagai media yang menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah
penyempurnaan dirinya, baik sebagai ‘abdillah maupun khalifah.

Fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan. Menurut Zakiyah Drajat ada dua kebutuhan pesertadidik yaitu:

1. Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
2. Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan, papan, dan pangan
Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan memenuhi kebutuahn tersebut secara integral agar berkembang.[12]
Dalam perkembngannya manusia ingin selalu dipenuhi kebutuhan hidupnya, secara layak dan dapat hidup sejahtera. Tetapi kehidupan sejahtera
sifatnya relatif, karena selalu brubah dan berkembang sesuia dengan perkembangan sosial budaya. Semakin maju suatu masyarakat, maka akan
semakin beraneka ragam kebutuhannya.[13]
Kebutuhan pokok manusia antara lain yaitu:
1.      Kebutuhan biologis
Kebutuhan biologis atau kebutuhan jasmaniah, yang merupakan kebutuhan hidup manusia yang primer, seperti makan, tempat tinggal, pakaian,
dan kebutuhan sexsual. Setiap orang tentu akan memenuhi kebutuhan biologis tersebut, namun cara pemenuhan kebutuhan tersebut berbeda satu
dengan yang lain, tergantung kemampuan dan kebutuhan masing-masing.
2.      Kebutuhan Psikis
Kebutuhan Psikis yaitu kebutuhan rohaniah. Manusia membutuhkan rasa aman, dicintai dan mencintai, bebas, dihargai, dan lainnya. Manusia
adalah makhluk yang disebut “psycho-physik netral” yaitu sebagai makhluk yang memiliki kemandirian jasmaniah dan rohaniah. Dalam kemandirian
itu manusia memiliki potensi untuk berkembang dan tumbuh, untuk itu diperlukan adanya pendidikan, agar kebutuhan psikis dapat terpenuhi
dengan seimbang.
3.      Kebutuhan Sosial
Kebutuhan Sosial, yaitu kebutuhan manusia bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain. Karna manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki
keinginan untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial maka manusia memiliki rasa tanggung jawab untuk mengembangkan interaksi
antara masyarakat.
4.      Kebutuhan Agama (spiritual)
Kebutuhan Agama (spiritual) yaitu kebutuhan manusia terhadap pedoman hidup yang dapat menunjukkan jalan kearah kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi. Semenjak lahir manusia sudah membawa fitrah beragama dan akan berkembang degan adanya pendidikan. Dengan demikian manusia
disebut dengan makhluk berketuhanan atau disebut juga dengan makhluk beragama, karena dengan adanya agama manusia akan dapat
ketenangan lahir dan batin.
5.      Kebutuhan Paedagogis (intelek)
Kebutuhan Paedagogis (intelek) yaitu kebutuhan manusia terhadap pendidikan. Manusia disebut homo-educandum, yaitu akhluk yang harus dididik,
oleh karena manusia itu dikategorikan sebagai animal educable, yakni sebagai makhuk sebangsa binatang yang dapat dididik. Karena manusia
mempunyai akal, mempunyai kemampuan untuk berilmu pengeahuan, di samping manusia juga memiliki kemampuan untuk berkembang dan
membentuk dirinya sendiri (self-formig).

Dengan demikian jelaslah bahwa manusia dalam hidunya memerlukan pendidikan. Namun pendidikan yang bagaimanakah yang dapat
mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia yang telah ia bawa semenjak lahir. Karena fitrah manusia pada umumnya sama, hanya saja
yang membedakan mereka adalah pendidikan yang mereka dapatkan, sehingga terjadilah beragam agama dan kecerdasan setiap individu.

Ada tiga alasan penyebab awal kenapa manusia emerlukan pendidikan, yaitu:pertama, dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan
nilai kebudayaan antara generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai
tersebut meliputi nilai intelektual, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam kehidupan manusia sebagai individu, memiliki kecendrungan
untuk dapat mengembnagkan potensi-potensi yang ada dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk maksud tersebut, manusia perlu suatu sarana.
Saran itu adalah pendidikan. Ketiga, konvergensi dari kedua tuntutan di atas yang pengaplikasiannya adalah lewat pendidikan.[14]
Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusia. Ada dua implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:[15]
1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki
proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam harus
dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan qaliyah sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang
pintar secara intelektual dan terpuji secara moral.
2. Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah
membekali dengan seperagkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan
potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan
sesuatu yang bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah
maupun ‘abd.
Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pedidikan Islam masa kini dan masa depan.
Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan
merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsivpenciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan
Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan
sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.

Agar pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus
sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuwan dan rasional
filosofis. Yang harus dipahami bahwa pendekatan keilmuwan dan filosofis hanyalah sebuah media untuk menalar pesan-pesan Tuhan, baik melalui
ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (Qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual (kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui
sunnatullah.

Dalam buku lain ditemukan bahwa pendidikan merupakan gejala dan kebutuhan manusia. Dalam artian bahwa bilamana anak tidak mendapatkan
pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia sesungguhnya, dalam artian tidak sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi
fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya. Hanya pendidikanlah yang dapat memnusiakan dan membudayakan
manusia.[16]
Untuk mengembangkan potensi/kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong,
dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya kelak
dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam, seperti keadaan geografis, iklim dan lainnya. Sedangkan lingkunagan sosial ialah lingkungan yang berupa
manusia-manusia yang ada disekitar anak, yang berinteraksi dengan mereka, seperti orang tua, saudara, tetangga dan lainnya.

Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa fitrah yang dibawa oleh setiap manusia semenjak ia lahir harus dikembangkan
dengan pendidikan. Karena sifata manusia yang yang selalu membutuhkan orang lain untuk perubahan dan perbaikan dirinya. Dan juga
perkembangan fitrah manusia itu akan di pengaruhi oleh lingkungan. Di dalamfitrah manusia terdapatnya suatu kebutuhan-kebutuhan. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu adanya bantuan dari orang laian tersebut. Sehingga kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.

Dari penjelasan yang panjang lebar tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam, ada beberpa poin pokok yang sangat penting, yaitu
manusia (hakikat manusia, manusia dalam al-quran, dan kedudukan manusia), fitrah (konsep fitrah manusia, macam-macam fitrah manusia), dan
hubungan manusia dengan pendidikan islam.

Akhirnya, dari beberapa penjelasan yang telah penulis coba paparkan tentang fitrah dan dan potensi manusia dalam pendidikan islam semoga dapat
dipahami dan dimengerti. Penulis menyadari bahwa masih banyaknya kekurangan dan kelemahan, untuk itu penulis berharap kritik dan saran yang
membnagun untuk pembuatan artikel kedepannya. Semoga artikel yang penulis buat ini dapat diajukan sebagai salah satu tugas akhir dari filsafat
pendidikan dalam hal pengganti ujian semester.

       E.     Reference
1. Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press:
Padang
2. Prof. H.M. Arifin, M.Ed., 1996, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara: Jakarta
3. Prof. DR. H. Ramayulis,  2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta
4. Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat
Press:  Jakarta
5. Dra. Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta
6. Samsul Nizar,  2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta

[1] Zuhairini, dkk., 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta. Hal:74


[2] Ramayulis,  2008, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia: Jakarta, hal: 1-2
[3] Samsul Nizar, 1999, Peseta Didik Dalam Perspektif Pendidikan Islam: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Imam Bonjol Press: Padang,
hal: 13
[4] Ramayulis,  opcit, hal: 4-5
[5] Samsul Nizar, opcit, hal:16-17
[6] Ramayulis,  opcit, hal: 5-6
[7] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., 2005, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press:  Jakarta,
hal: 19
[8] Ramayulis,  opcit, hal: 9
[9] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 17-18
[10] Samsul Nizar, opcit, hal: 36-45
[11] Ibid, hal:42-44
[12] Samsul Nizar,  2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[13] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 95-97
[14] Samsul Nizar, hal: 85
[15] Dr. Al-Rasyidin & Dr. H. Samsul Nizar, M.A., opcit, hal: 21-23
[16] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95

artikel pendidikan islam


Kamis, 02 Februari 2012

FITRAH DAN KEMAMPUAN DASAR MANUSIA

MAKALAH
PENDIDIKAN AKHLAK
TENTANG
FITRAH DAN KEMAMPUAN DASAR MANUSIA
 

1.  

Oleh kelompok 5 :
         Indah Novitri
         Mara Ombun
         Ela Astia
         Ratna
         Lini Putri
         Parlindungan
         Desi Deswita

DOSEN PEMBIMBING :
Ahda Hidayat, S.SosI, M.Si
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-YDI)
LUBUK SIKAPING 2010/2011
KABUPATEN PASAMAN

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadiran Allah Swt yang telah memberikan rahmad dan

hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “FITRA DAN

KEMAMPUAN DASAR YANG DIMILIKI MANUSIA”. Syalawat beserta salam kepada arwah

junjungan kita umat manusia nabi besar Muhammad Saw selaku pembawa risalah kebenaran

kepermukaan bumi ini dengan panji taqwa yang disirami Al-Quran dan sunnahnya.

            Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, hal ini

disebabkan keterbatasan penulis, terutama dalam penguasaan keilmuaan yang penulis miliki. Namun

berkat rahmat Allah dan kesungguhan penulis serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,

sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini.


            Segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis khususnya, hendaknya

amal shaleh akan mendapat balasan yang baik dari allah Swt.

Amin ya rabbal alamin.

Wasalam

Lubuk sikaping,                       Oktober 2011

          Penulis  

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang………………………………………………….........

1.2    Rumusan Masalah……………………………………………...........

BAB II ISI/PEMBAHASAN

            2.1  Fitrah, kecendrungan dan kemampuan dasar manusia....................

            2.2  Akal,qalbu, dan nafs.......................................................................

            2.3  Kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani....................................

            2.4  Hak, kewajiban, dan keadilan.........................................................

            2.5  Hubungan hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak..................

BAB III PENUTUP

4.1  Kesimpulan…………………………………………………….........

4.2  Saran…………………………………………………………............

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar

dan dorongan-dorongannya di dalam, melainkan ia membuat dirinya sendiri berhadapan dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian sikap-sikap tersebut merupakan tanda dan

ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri

dianggap hal yang tidak wajar.  Perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaaan. Perbuatan yang sepeti inilah yang dapat dimintakan pertanggung

jawabannya dari orang yang melakukannya.akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya dan dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Jelaskan tentang fitrah, kecendrungan, dan kemampuan dasar manusia?

2.      Apa yang dimaksud dengan akal,qalbu dan nafs?

3.      Apa yang dimaksud dengan kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani?

4.      Apa yang dimaksud dengan hak, kewajiban, dan keadilan?

5.      Apa hubungan hak, kewajiban, dan keadilan dengan akhlak?


BAB II
ISI / PEMBAHASAN
2.1  Fitrah, kecendrungan, dan kemampuan dasar manusia

Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari asal kata al-fathr yang berarti belahan atau pecahan. Pemaknaan kata fitrah

dalam al-Quran dapat dikelompokkan pada 4 makna yaitu :


1.      Proses penciptaan langit dan bumi

2.      Proses penciptaan manusia

3.      Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan simbang

4.      Pemaknaan dalam agama allah sebagai acuan dasar dan pedoman bagi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (ma’rifat al-iman)

Para pemikir muslim mencoba untuk mencari definisi lain kata fitrah yang lebih representative sesuai dengan kemampuan fungsi, kedudukannya sebagai makhluk allah yang paling

sempurna kejadiannya. Hasan Langgulung mengartikan fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan suatu keterpaduan yang

tersimpul dalam al-asma’ al-husna Allah (sifat-sifat allah). 1 batasan tersebut memberikan arti, bahwa jika Allah memiliki sifat al-ilmu (maha mengetahui), maka manusia pun memiliki

potensi untuk bersifat sebagaimana sifat al-ilmu-Nya. Akan tetapi, bukalah berarti kemampuan manusia (makhluk) sama tingkatannya dengan kemampuan Allah (khaliq).

Potensi (fitrah) menurut Ibn Taimiyah sebagaiman disitir JuhajavS.Praja,pada diri maunsia juga memiliki setidaknya 3 potensi ( fitrah ) yaitu:

1. Daya intelektual ( quwwat al-‘aql ), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik danburuk.Dengan daya

intelektualnya,maunusia dapat mengetahui dan meng-ESakan Tuhannya.

2. Daya ofen sif ( quwwat al-syahwat ), yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat

bagi kehidupannya,baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.

3. Daya defensive ( quwaat al-ghadhab ), yaitu potensi dasar yang dapat mehindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.

Namun demikian, di antara ketiga potensi  tersebut,di samping agama potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali  (control) dua potensi lainnya.Dengan demikian,akan dapat

teraktualisasikan seluruh potensi yang ada secara maksimal,sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam Kitab dan ajaran-ajaran-Nya.Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi

potensi yang dimiliknya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan  amoral.

2.2  Akal, Qalbu, dan Nafs


A.     Akal

Akal dipandang sebagai “Mudabbir” (pengelola) yang dapat mengendalikan nafsu-nafsu. Sehingga nafsu tersebut bisa membantu pertumbuhan spiritual seseorang. Al-Ghazali

menganalogikan akal dan wazir yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh nafsu yaitu nafsu sahwat yang di analogikan dengan “pengumpulan pajak” dan nafsu ghadabiah yang di

analogikan dengan polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang wazir maka mekanisme Negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan.

Adapun kelemahan akal adalah ia tunduk pada subjek yang menggunakannya, sehingga ia kemudian terperangkap pada jurang subjektifitas. Dengan begitu kebenaran yang

ditangkap oleh akal bersifat fragmenter dan subjektif. Akibatnya terjadilah banyak perbedaan yang tajam dari para pengguna akal.
B.     Qalbu

Al- Qalb secara umum diartikan dengan hati, sedangkan secara khusus memiliki dua arti yaitu :
         Hati jasmani (al-Qalb Al-Jasmani) yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak didalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental.

         Menyangkut jiwa yang bersifat lathif (halus) rabbani (mempunyai sifat ketuhanan) dan ruhaniyyat.

Dalam kajian tasawuf Al-Qalb mempunyai fungsi sebagai berikut :

a)      Sebagai alat untuk menemukan penghayatan ma’rifat kepada allah. Karena dengan hati inilah manusia bias menghayati segala rahasia yang ada di alam ghaib.

b)      Hati berfungsi untuk beramal hanya kepada allah dan berusaha menuju allah, sedangkan anggota

c)      badan lainnya hanyalah pelayanan dan sekaligus alat yang dipergunakan oleh hati

d)      Hati pula yang taat pada allah, sedangkan anggota badan adalah pancaran hatinya

C. Nafs

Nafs adalah dimensi manusia yang berada diantara roh yang ada cahaya dan jasmani adalah kegelapan. Dalam kajian tasawuf nafs memiliki dua arti :

 Kekuatan hawa nafsu amarah, sahwat, dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber bagi timbulnya akhlak

 Jiwa atau yang bersifat lathif,rohani, dan rabbani

Menurut al-jilli nafs dibagi menjadi lima macam :

a. An-nafs al-hayawaniyah (jiwa kebinatangan) yaitu jiwa yang patuh secara fasif kepada dorongan-dorongan alami

b. An-nafs  al-ammarah (jiwa yang memerintah) yaitu jiwa yang suka memperturutkan kesenangan sahwat, tanpa memperdulikan perintah larangan allah.

c. An-nafs al-mulhamah (jiwa yang memperoleh ilham) yaitu yang mendapatkan bimbingan allah untuk berbuat kebaikan

d. An-nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesali diri) yaitu jiwa yang goyah dalam pendiriannya

e. An-nafs al-mutmainnah (jiwa yang tentram) yaitu jiwa yang menuju allah dalam keadaan tenang dan berada disisi allah dalam keadaan tentram

2.3  Kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani


a)      Kebebasan

Ahmad chairris zubair mengemukakan bahwa kebebasan adalah sesuatu yang terjadi apabila kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan diri atau keterikatan

kepada orang lain. Paham ini disebut negative, karena hanya dikatakan bebas dari sesuatu tetapi tidak ditentukan.

Dilihat dari sifatnya, kebebasan dapat dibagi 3 yaitu :


  Kebebasab jasmani
  Kebebasan rohani

  Kebebasan moral

b)      Tanggung Jawab

Sikap moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawabtanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan kebebasan dan tanggung jawab.

Sejalan dengan adanya kebebasan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti ia harus dapat mengatakan dengan jujur kepada kata hatinya, bahwa

tindakannya itu sesuai dengan penerangan dan tuntutan kata hati.

c)      Hati nurani

Hati nurani merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh ilham dari tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cendrung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.

Atas dasar inilah muncul aliran atau faham intuisisme yaitu faham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang

buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati.

2.4  Hak, kewajiban, dan keadilan

1. Hak

Hak adalah wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memilki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti

panggilan kepada kemauan orang lain dengan perantara akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.

Macam-macam hak yaitu:


  Hak obyektif adalah hak yang hakiki (dimiliki) yang merupakan suatu objek.

  Hak subyektif adalah hak yang berwenang untuk bertinda menurut sifat-sifatnya.

2. Kewajiban

Hak merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia  merupakan tuntutan dan terhadap orang lain hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati

terlaksananya hak-hak orang lain.dengan cara demikian orang lain pun berbuat yang sama pada dirinya, dan dengan demikian akan terpeliharalah pelaksanaan hak asasi manusia itu.

Di dalam ajaran agama islam, kewajiban ditempatkan sebgai salah satu hukum syara’ yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan

akan mendapat siksa. Dengan kata lain bahwa kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaan hak yang diwajibkan oleh allah. Melaksanakan shalat lima waktu membayar zakat

bagi orang yang memiliki harta tertentu dan sampai batas  nisab, dan berpuasa di bulan ramdhan misalnya adalah merupakan kewajiban.

3. Keadilan

Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap hak (yang sah). Sedangkan dalam islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan

untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan ini terjadi berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama.

Mengingat hubungan hak, kewajiban dan keadilan demikian erat, maka ada kewajiban dan dimana ada kewajiban maka keadilan yaitu menerapkan dan melaksanakan hak sesuai

dengan tempat, waktu dan kadarnya yang seimbang.

2.5  Hubungan hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak

Hubungan hak, kewajiban dan keadilan  dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya.

Hak yang demikian itu merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan oleh seseorang sebagai haknya.

Akhlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Sedangkan

keadilan sebagaimana telah diuraikan dalam teori pertengahan ternyata merupakan induk akhlak. Dengan terlaksananya ak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan

mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki.   

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan

Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari asal kata al-fathr yang berarti belahan atau pecahan. Pemaknaan kata fitrah

dalam al-Quran dapat dikelompokkan pada 4 makna yaitu :

5.      Proses penciptaan langit dan bumi

6.      Proses penciptaan manusia

7.      Pengaturan alam semesta beserta isinya dengan serasi dan simbang

Akal dipandang sebagai “Mudabbir” (pengelola) yang dapat mengendalikan nafsu-nafsu. Sehingga nafsu tersebut bisa membantu pertumbuhan spiritual seseorang. Al-Ghazali

menganalogikan akal dan wazir yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh nafsu yaitu nafsu sahwat yang di analogikan dengan “pengumpulan pajak” dan nafsu ghadabiah yang di

analogikan dengan polisi. Hanya dengan mengikuti Al- Qalb secara umum diartikan dengan hati, sedangkan secara khusus memiliki dua arti yaitu :

         Hati jasmani (al-Qalb Al-Jasmani) yaitu daging khusus yang berbentuk jantung pisang yang terletak didalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental.

         Menyangkut jiwa yang bersifat lathif (halus) rabbani (mempunyai sifat ketuhanan) dan ruhaniyyat.

Dalam kajian tasawuf Al-Qalb mempunyai fungsi sebagai berikut :


e)      Sebagai alat untuk menemukan penghayatan ma’rifat kepada allah. Karena dengan hati inilah manusia bias menghayati segala rahasia yang ada di alam ghaib.

f)       Hati berfungsi untuk beramal hanya kepada allah dan berusaha menuju allah, sedangkan anggota

g)      badan lainnya hanyalah pelayanan dan sekaligus alat yang dipergunakan oleh hati

h)      Hati pula yang taat pada allah, sedangkan anggota badan adalah pancaran hatinya
3.2  Saran

Kami sangat menyadari dalam proses penyusunan sampai terjadinya makalah ini kehadapan para pembaca banyak kekurangan, kekhilafan dan kesalahan baik dari bentuk

penyusunan maupun penulisannya. Untuk itu dengan didasari niat yang ikhlas serta kelembutan hati meminta kepada para pembaca (rekan-rekan mahasiswa dan dosen pembimbing) untuk

memberikan kritik dan sarannya,agar penyusunan dan penyajian makalah selanjutnya bisa lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Samsul Nizar, M.A. Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta : Gaya Media Pratama 2001) 
Ahmad Amin, Ilmu akhlak, ( Jakarta : Bulan Bintang 1975)
  

Diposkan oleh enangputra di 23.20.00 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog
Februari (7)

Mengenai Saya

enangputra
padang, sumatra barat, Indonesia

suka berbagi demi kebenaran dan saling menesehati tentang kebaikan meskipun masih ada kesalahan, karena sifat manusia tidak luput dari kekilaffan.

Lihat profil lengkapku


Pengikut
enang putra. Template Awesome Inc.. Gambar template oleh merrymoonmary. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Pustaka
Jumat, 10 Juni 2011
Akhlak Islami, Induknya dan Pembentukannya
1.      Pengertian Akhlak Islami
Akhlak Islami secara sederhana dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan
ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Akhlak Islam ini sifatnya universal
yang untuk menjabarkannya diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan
kesempatan sosial (kondisi dan situasi) yang terkandung dalam ajaran etika dan
moral di dalam suatu masyarakat tertentu. Menghormati orang tua misalnya, bagi
orang Barat adalah dengan memberikan berbagai fasilitas hidup, bagi orang
Sumatera adalah dengan hidup bersama, bagi orang Jawa dengan cara sungkem,
bagi orang Sunda dengan cara cium tangan dan sebagainya.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tolok ukur akhlak Islami adalah ketentuan
Allah, dan sesuatu yang dinilai baik oleh Allah pastilah esensinya baik pun
demikian sebaliknya, tidak mungkin Allah menilai kebohongan sebagai suatu
kelakuan yang baik. Sedangkan rumusan akhlak Islami itu sendiri diberikan oleh
kebanyakan para ulama.[1]

2.      Induk Akhlak Islami


Akhlak secara garis besar terbagi kepada dua bagian, yaitu akhlak yang
terpuji, al-akhlaq al-karimah dan akhlak yang tercela, al-akhlaq al-mazmumah. Dan
secara teoritis macam-macam akhlak ini berinduk kepada tiga perbuatan utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira, kesatria), dan iffah(menjaga diri dari
perbuatan dosa dan maksiat). Yang ini semua berinduk kepada sikap adil, yaitu
sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah
yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di
kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan
seksual) yang berpusat di perut,[2] mengenai terakhir ini telah dibicarakan sebelum
ini.
Tetapi walau demikian sikap adil ini tidak luput dari kritik para peneliti di
bidang akhlak sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles yang diikuti oleh Ibn
Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya, di mana sikap adil, tengah-tengah ini
tidak sepenuhnya diterima oleh mereka, karena menurutnya keutamaan sebenarnya
berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan, sikap dermawan
misalnya, akan lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir.
Demikian juga yang lainnya. Selain itu, lanjutnya, banyak keutamaan yang tidak
mempunyai tengah-tengah seperti jujur dan adil itu sendiri pun demikian dengan
benar dan baik. Sehingga dengan ini teori pertengahan tidak dapat menjelaskan
seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik ataupun yang buruk karena memang
teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber
pada penggunaan potensi rohani, akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan
secara pertengahan.

3.      Ruang Lingkup Akhlak Islami


Berkenaan dengan ruang lingkup akhlak Islami ini sesungguhnya sama dengan
ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola
hubungan yang dimulai dengan akhlak kepada Allah Swt hingga kepada sesama
makhluk yang tidak bernyawa sekalipun.[3]
a.       Akhlak kepada Allah Swt.  Akhlak kepada Allah Swt adalah akhlak yang seharusnya
dilakukan oleh setiap manusia sebagai makhluk kepada Khaliknya. Paling tidak ada
empat alasan mengenai ini.Pertama, Allah-lah yang telah menciptakan manusia.
[4] Kedua, Allah-lah yang telah memberi-kan perlengkapan pancaindera, akal pikiran,
hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna. [5] Ketiga, Allah-
lah yang tela menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelang-
sungan hidup manusia.[6] Dan keempat, Allah-lah yang telah memuliakan manusia
dengan diberikan kemampuan menguasai daratan dan lautan. [7] Quraish Shihab
mengatakan bahwa titik tolak akhlak terhadap Allah Swt ini adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, Dzat Yang Mahaterpuji,
Mahaagung.[8]
b.       Akhlak kepada sesama manusia. Berkaitan dengan akhlak terhadap sesama manusia,
al-Qur’an telah banyak sekali merincinya baik dalam bentuk berita, perintah
maupun dalam bentuk larangan.[9]Di sisi lain al-Qur’an juga menekankan
hendaknya setiap orang didudukkan secara wajar, karena semua manusia pada
hakikatnya adalah sama, hanya iman dan takwalah yang membedakan derajatnya di
sisi Allah Swt.[10]
c.        Akhlak kepada lingkungan. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah
segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan
maupun benda-benda yang tidak bernyawa. Akhlak terhadap lingkungan ini
diajarkan oleh al-Qur’an berdasarkan fungsi manusia sebagai khalifah di muka
bumi ini, yang berarti mengayomi dan memelihara lingkungan. [11]Berkaitan dengan
ini Nabi Muhammad Saw bersabda:

ً‫ـحة‬ِ ‫اِتَّـ ُقوا اهلل ِىف ه ِـد ِه الْبـهائِم الْمـعجمةَ فَار َكبوها صالِـحةً و ُكلُوها‬
َ ‫صال‬
َ َ ْ َ َ َ َ ُْ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ
“Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri
makanlah dengan baik.”[12]

2.      Pembentukan Akhlak Islami


Pada hakikatnya pembentukan akhlak Islami sama dengan tujuan pendidikan, di
mana tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba
bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk menjadi hamba Allah Swt yang
percaya dan menyerahkan diri sepenuh jiwa kepadaNya dengan memeluk agama
Islam, ini sama dengan tujuan hidup semua umat Muslim. [13]Selain itu Muhammad
Athiyah al-Abrasyi juga mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak
adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam. [14] Jadi dengan demikian pembentukan
akhlak Islami adalah juga pembentukan hamba Allah Swt yang berbudi pekerti
luhur sesuai dengan aturan Allah Swt.
Mengenai persoalan pembentukan akhlak ini, sebagian ulama mengatakan
bahwa akhlak pada dasarnya tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah instinct
(garizah) yang dibawa oleh manusia sejak lahir, [15] pembawaan dari manusia itu
sendiri, yaitu fitrah berupa kata hati atau intuisi yang berkecenderungan kepada
kebaikan, dan tumbuh dengan sendirinya tanpa pembentukan (ghair muktasabah).
[16] Sedangkan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari
usaha (muktasabah), pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan
sungguh-sungguh.[17]Imam al-Ghazali misalnya, mengatakan bahwa :

ُ‫لى اهلل‬
َ ‫صـ‬
ِ َ َ‫ـات َولِ َمـا ق‬
َ ‫ـال َر ُسـ ْو ُل اهلل‬
ِ َ ‫اعـ‬
ُ َ‫ظ َوالْتَأْد ْيب‬
ِ ‫ت الْوصـايا والْمو‬
ِ ِ
َ َ َ َ َ َ َ‫لَ ْـو َكـانَت االَ ْخالَ ُق الَ َت ْقبَ ُـل الْتَّغَُّيَر لَبَطَل‬
‫َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َح ِّسُن ْوا اَ ْخالَ قَ ُك ْم‬
“Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat,
nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan,
“Perbaikilah akhlak kamu sekalian”.[18]

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa usaha pembinaan akhlak melalui


berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus
dikembangkan. Sehingga menunjukkan hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi
Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu
bapak, sayang kepada sesama makhluk Allah dan seterusnya. Keadaan sebaliknya
juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan
tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal,
mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan sebagainya.
Pembinaan akhlak menurut al-Ghazali juga bisa ditempuh dengan cara
pembiasaan sejak kecil dan kontinyu. [19] Tetapi dapat juga dilakukan dengan cara
paksaan, sehingga lama kelamaan itu akan menjadi kebiasaan. Dan cara yang tak
kalah ampuhnya adalah dengan cara keteladanan.[20]
Selanjutnya pembinaan akhlak juga bisa dengan cara senantiasa merasa diri
banyak kekurangannya dibanding kelebihannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn
Sina bahwa jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaklah ia
terlebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan
membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya
itu tidak dalam kenyataan.[21]
Menurut para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut
perbedaan tingkat usia, karenanya cara yang paling efektif dalam melakukan
pembinan akhlak ini adalah dengan memperhatikan faktor kejiwaan seseorang yang
akan kita bina akhlaknya.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada
khususnya dan pendidikan pada umumnya, terdapat tiga aliran. Pertama, aliran
konvergensi yang berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipenga-ruhi oleh
adanya faktor internal, yakni pembawaan dan eksternal, yakni pendidikan dan
pembinaan. Aliran sesuai dengan ajaran Islam,[22] dalam sebuah hadis disebutkan
bahwa.

ِّ َ‫ـلى الْ ِفـطَْر ِة فَاَبَ َـواهُ يُ َه ِّو َدانِ ِـه اَْو يُن‬
‫صَرانِ ِـه اَْو مُيَ ِّج َسانِ ِـه‬ ٍ
َ ‫ُك ُّل َم ْـولُْود يُ ْـولَ ُد َع‬
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa ketuhanan dan
kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari)

‫ـل‬ ِ ‫آن فَــاِ َّن مَح ـلَةَ الْ ُقــر‬


ِّ ‫آن ِىف ِظـ‬ ِ ‫ب اَ ْـه ِـل بيتِ ـ ِـه وقِــراء ِة الْ ُقــر‬
ِّ ‫ب نَبِيِّ ـ ُك ْم َو ُح‬ ِّ ‫ـال ُح‬ٍ ‫ث ِخص ـ‬ ِ َ‫اَِّدب ــوا اَوالَ َد ُكم على ثَال‬
ْ َ ْ َ َ َ َْ َ َ َ ْ ْ ُْ
‫صغِيَـائِ ِـه‬ ِِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ‫اهلل َي ْو َم الَ ظ َّل االَّ ظلَّـهُ َم َع اَنْبِيَـائـه َوا‬
“Didiklah anakmu sekalian dengan tiga perkara: mencintai nabimu, mencintai keluarganya
dan membaca al-Qur’an, karena orang yang membawa (hafal) al-Qur’an akan berada di
bawah lindungan Allah, di hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, bersama
para nabi dan kekasihnya.” (H.R. al-Dailami dari Ali).[23]

Kedua, aliran nativisme yang mengatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh
adalah faktor bawaan dari dalam, aliran ini yakin terhadap potensi yang ada dalam
diri manusia. Dan ketiga, aliran empirisme yang berlawanan dengan aliran
nativisme, di mana faktor luarlah yang berpengaruh terhadap pembentukan diri
seseorang.

[1] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1996). Cetakan III. hal. 205 dan 261.
[2] Harun Nasution. Falsafat dan …  hal. 17.
[3] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an … hal. 261.
[4] Q.S. al-Thariq, [86]: 5-7; dan al-Mu’minun, [23]: 12-13.
[5] Q.S. al-Nahl, [16]: 78.
[6] Q.S. al-Jatsiyah, [45]: 12-13.
[7] Q.S. al-Isra’, [17]: 70.
[8] M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an … hal. 262.
[9] Lihat misalnya Q.S. al-Baqarah, [2]: 263.
[10] Lihat misalnya Q.S. al-Nur, [24]: 58; al-Baqarah, [2]: 83; al-Ahzab, [33]: 70; al-Hujurat, [49]: 11-12; dan Ali ‘Imran, [3]: 134.
[11] Lihat misalnya Q.S. al-An’am, [6]: 38; al-Hasyar, [59]: 5.
[12] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf … hal. 151.
[13] Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat … hal. 48-49.
[14] Muhammad Athiyah al-Abrasyi. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang. 1974). Cetakan II. hal. 15.
[15] Mansur Ali Rajab. Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlaq. (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah. 1961). hal. 91.
[16] Imam al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Juz III. (Beirut: Dar al-Fikr. t.t.). hal. 54.
[17] Ibid. hal. 90.
[18] Ibid. hal. 54.
[19] Imam al-Ghazali. Kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din. (Kairo: Maktabah al-Hindi. t.t.). hal. 190-191; lihat pula Asmaran,
As.Pengantar Studi Akhlak. (Jakarta: Rajawali Pers. 1992). Cet. I. hal. 45.
[20] Ibid. hal. 16; lihat pula misalkan Q.S. al-Ahzab, [33]: 21.
[21] Ibn Sina. Ilmu Akhlaq. (Mesir: Dar al-Marif. t.t.). hal. 202-203.
[22] Lihat dan pelajari misalnya Q.S. al-Nahl, [16]: 78; dan Luqman, [31]: 13-14.
[23] Lihat Ahmad al-Hasyimi Bek. Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah. (Mesir: al-Maktabah al-Tijari-yah al-Kubra. 1948). Cetakan VI.
hal. 9; mengenai petunjuk tentang pendidikan pada anak ter-sebut dapat kita lihat pada Ibn Qayyim al-Jauziyah. Tarbiyah al-
Aulad  dan Abdullah Nashih Ulwan. Tarbiyah al-Ulad fi al-Islam. (Semarang: Asy-Syifa’. 1981). Cetakan I, hal. 143; baca pula
H.M. Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 1994). Cetakan IV. hal. 60.
Diposkan oleh Akbar Bahaulloh di 22.08 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Label: Dunia Muslim
Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)


Artikel Lainnya:

Download Makalah
Tempat Download Makalah Gratis

Fitrah Manusia
 Jika Anda ingin makalah yang lengkap dalam format Microsoft Word silahkan download disini.
 
2.1 PENGERTIAN FITRAH (POTENSI) MANUSIA
Secara etimologi fitrah berasal dari kata fathara yang artinya ‘menjadikan’, secara terminologi fitrah adalah mencipta/menjadikan sesuatu
yang sebelumnya belum ada dan merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Menurut Shanminan Zain (1986) bahwa fitrah adalah
potensi laten atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia dibawah sejak lahir. Menurut Al Auzal (1976) fitrah adalah kesucian
dalam jasmani dan rohani. Menurut Ramayulis : fitrah adalah : kemampuan dasar bagi perkembangan manusia yang dianugrahkan oleh Allah
SWT yang tidak ternilai harganya dan harus dikembangkan agar manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan.

Dalam Al-Qur’an, dalam surat Ar-Rum ayat 30 dijelaskan, yaitu :

  

Anda mungkin juga menyukai