Anda di halaman 1dari 120

(Diterbitkan Oleh Mulawarman Media, Tahun 2011)

Palestina Sepanjang Masa Banî Ibrâhim

Palestina sebutan yang sama dalam bahasa Suriah, ‫(فلسطين‬bahasa


Arab), ‫(פלשתינה‬bahasa Ibrani) atau Eretz Yisrael ‫(ארץ־ישראל‬bahasa
Ibrani) ialah kawasan di Timur Tengah antara Laut Tengah dan Sungai
Yordan.

Laut Tengah kadangkala disebut juga Laut Mediterania yang berarti


'daratan atau negeri tengah', Laut Tengah adalah laut antarbenua yang
terletak antara Eropa di Utara, Afrika di Selatan dan Asia di Timur,
mencakup wilayah seluas 2,5 juta Km². Pada masa lalu, laut ini
merupakan jalur lalu lintas yang sibuk, sangat mendukung bagi
perdagangan dan pertukaran budaya antara orang Mesir, Yunani Kuno,
Romawi Kuno dan Timur Tengah.

Laut Tengah dihubungkan ke Samudra Atlantik oleh Selat Gibraltar di


Barat dan Laut Marmara serta Laut Hitam, sedang di sisi Timur berurutan
oleh Selat Dardanella dan Bosporus. Laut Marmara biasanya dianggap
bagian dari Laut Tengah, sedangkan Laut Hitam tidak. Terusan Suez
buatan manusia di Tenggara menghubungkan Laut Tengah dan Laut
Merah. Pasang-surut di Laut Tengah sangat terbatas karena hubungan
yang sempit dengan samudra. Iklim Laut Tengah biasanya musim dingin
yang basah dan musim panas yang panas dan kering. Tumbuhan spesial
daerah ini adalah zaitun, anggur, jeruk, tangerine, dan cork.

Sedangkan Sungai Yordan adalah suatu sungai di Asia Barat Daya


yang berhulu di Utara wilayah tanah Palestina dekat Kibbutz Sede

1
Nehemya dan mengalir lewat Laut Galilea ke Laut Mati. Sungai itu
merupakan sebagian batasan antara wilayah Palestina dan Yordania.

2000 SM – 1500 SM
Nabi Ibrahim a.s. berasal dari kabilah Aram yang meninggalkan tempat
asli mereka di Jazirah Arab, lalu tinggal di tepian sungai Eufrat sebelah
Utara Suriah, kemudian sebagian dari mereka (termasuk keluarga Nabi
Ibrahim a.s.) berhijrah ke daerah Irak.
Sebagian besar sejarahwan sepakat bahwa tempat kelahiran Nabi
Ibrahim a.s. adalah di kota Ur–Kaldan, bagian Selatan Irak yang sekarang
dikenal dengan nama kota Babil di pinggiran sungai Eufrat yang
membentang hingga Barat Daya Irak. Sebagian Ilmuan lain menyatakan
Nabi Ibrahim a.s. lahir di kota Kutsa–Selatan Irak, daerah yang juga
menjadi tempat ia dilemparkan ke dalam kobaran api saat Irak (Babilonia)
dikuasai oleh Raja Namrud ibn Kana’an ibn Kusyi. Puing-puing reruntuhan
kota tersebut masih tersisa hingga sekarang dan diberi nama Tel Ibrahim.
Setelah da’wah di Babilonia kurang mendapat sambutan berarti, Nabi
Ibrahim a.s. pun hijrah memindahkan da’wahnya ke Syam. Dalam
beberapa waktu Ia tinggal di Haran, sebelah Utara Suriah yang sekarang
termasuk wilayah Turki. Di Haran Nabi Ibrahim a.s. menikahi Siti Sarah
(puteri Pamannya sendiri), karena seruannya juga tidak mendapat
sambutan yang baik dari penduduk Haran, maka Nabi Ibrahim a.s. terus
melanjutkan hijrahnya ke arah Selatan menuju tanah Kana’an (Palestina)
hingga ketika Palestina dilanda bencana kekeringan dan paceklik Nabi
Ibrahim a.s. beserta Siti Sarah pindah ke Mesir yang saat itu diperintah
Fir’aun Sanusart II dan Sanusart III dari Dinasti ke XII.

2
Pada beberapa waktu kemudian Nabi Ibrahim a.s. kembali ke
Palestina dan singgah di el-Khalil (Hebron), bahkan selama di Palestina
Nabi Ibrahim a.s. juga pernah berpindah-pindah ke berbagai tempat lain
seperti al-Quds, Beersheba dan el-Khalil sendiri. Ketika anak keturunan
yang dinanti tidak jua kunjung datang, Siti Sarah menyarankan agar Nabi
Ibrahim a.s. menikahi Siti Hajar hingga lahirlah Nabi Ismâ’îl a.s. (Bapaknya
bangsa ‘Arab) yang dengannya Nabi Ibrahim a.s. kembali membangun
Ka’bah. Setelah berselang 7 tahun dari kelahiran Nabi Ismâ’îl a.s. (atau
menurut riwayat lain 13 tahun), dari rahim Siti Sarah lahirlah Nabi Ishâq
a.s. yang kemudian mempunyai anak bernama Nabi Ya’qûb a.s.
Nabi Ya’qûb a.s. dilahirkan di Palestina pada abad ke-18 SM. atau
sekitar tahun 1750 SM. Ketika hijrah ke Haran Beliau menikah dan
dikaruniai 11 putera yaitu : Simeon, Reuben, Levy, Judah, Issachar,
Zebulun, Dan, Naphtali, Gad, Asher dan Yusuf. Sedangkan putera ke-12
bernama Bunyamin dilahirkan di tanah Kana’an (Palestina) setelah Ya’kub
a.s. dan anak-anaknya kembali ke Sa’ir dekat el-Khalil (Hebron).
Nabi Ya’qûb a.s. tinggal di Nablus daerah Kan'an atau Phoenician
yaitu sekitar Selatan Libanon sampai ke Gaza hingga ke anak sungai di
Mesir ke Timur lembah sungai Jordan, atau sekarang termasuk daerah
Israel dan Libanon (penduduk asli daerah ini juga disebut Canaanites atau
orang-orang Kana’an).
Nabi Ya’qûb a.s. juga dijuluki dengan sebutan Israel sehingga anak
keturunannya disebut Banî Israel. Salah satu keturunan Nabi Ya’qûb a.s.
bernama Nabi Yûsuf a.s., ketika kecil Beliau dibuang oleh saudara-
saudaranya yang dengki kepadanya. Nasibnya yang baik membawanya
ke tanah Mesir dan kemudian menjadi Menteri Bendahara Kerajaan negeri
3
Mesir yang pada masa itu dikuasai oleh Dinasti Hyksos. (Hyksos adalah
bangsa penggembala asal Asia yang hijrah ke Mesir karena bencana
kelaparan yang menimpa negerinya, dengan memanfaatkan kelemahan
dan pertikaian yang terjadi antar penguasa Mesir keluarga Fir’aun Dinasti
XII, bangsa Hyksos berhasil mengambil alih kekuasaan Mesir dan
membentuk empat Dinasti yang memerintah Mesir (1878–1580 SM),
namun ketika pada abad XVI SM. Ahmes berhasil mengalahkan keluarga
Hyksos dan mengusir mereka keluar dari Mesir, maka kekuasaan kembali
ke tangan keluarga Fir’aun Dinasti XVIII).
Ketika tanah Kana’an dilanda paceklik dan kelaparan, dengan bantuan
jasa Nabi Yusuf a.s., maka Nabi Ya’qûb a.s. beserta kesebelas anaknya
dan cucu-cucunya, yang kesemuanya berjumlah tidak lebih dari 70 orang,
mereka pindah menetap di Mesir. Nabi Yûsuf a.s. juga berusaha
mengumpulkan kembali keturunan keluarga Nabi Ya’qûb a.s. yang sudah
terpencar-pencar di sepanjang pantai laut tengah sampai daerah Irak
bagian Utara kembali ke Mesir, berdiam dan berkembang di Mesir sampai
500 tahun lebih hingga populasi anak keturunan Nabi Ya’qûb a.s.
membesar.
1500 SM – 1200 SM
Politik di Mesir mulai berubah. Bangsa Israel dianggap sebagai
masalah bagi negara Mesir. Banyak dari bangsa Israel yang lebih pintar
dari orang asli Mesir dan menguasai perekonomian. Saat keluarga Fir’aun
Dinasti XIX (1462–1288 SM) berkuasa, bangsa Israel bahkan diturunkan
statusnya menjadi budak. Permusuhan terhadap Banî Israel semakin
keras pada masa pemerintahan Ramses II; Raja Fir'aun ke 32, setelah
diutusnya Nabi Mûsâ a.s.
4
1200 SM – 1025 SM
Nabi Mûsâ a.s. memimpin lebih dari 1600 laki-laki dari 12 suku bangsa
Israel untuk meninggalkan Mesir, berkat usaha Nabi Mûsâ a.s. yang juga
keturunan Isrâ’îl, mereka berhasil lolos ke daerah Madyân, dekat Baitul
Maqdis dan Padang pasir Tih, mereka mengembara di gurun Sinai menuju
tanah yang dijanjikan, asalkan mereka taat kepada Allâh Swt. (masyhur
dikenal dengan cerita Nabi Mûsâ a.s. membelah dan menyeberangi Laut
Merah ketika bersama dengan bangsa Israel dikejar-kejar oleh tentara
kerajaan Mesir yang dipimpin raja Fir'aun yang bernama Bernevtah atau
Ramses II).
Namun saat mereka diperintah untuk memasuki tanah Filistin
(Palestina), mereka membandel dan berkata: "Hai, Mûsâ, kami sekali-kali
tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi ada orang yang gagah
perkasa di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan
berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja". (TQS. al-Mâidah [5]: 24)
Akibatnya mereka dikutuk oleh Allâh Swt. dan hanya berputar-putar
saja di sekitar Palestina. Allâh berfirman: "(Jika demikian), maka
Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh
tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi
(padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib)
orang-orang yang Fasik itu." (TQS. al-Mâidah [5]: 26).
Belakangan agama yang dibawa Nabi Mûsâ a.s. disebut Yahûdi
(menurut salah satu marga dari bangsa Israel yang paling banyak
keturunannya, yakni Yehûda, dan akhirnya bangsa Israel, tanpa

5
memandang warga negara atau tanah airnya, disebut juga orang-orang
Yahûdi).
Dalam buku Qabâih al-Yahûd dijelaskan 12 kejahatan Yahûdi yang
termaktub dalam al-Qur’ân, kejahatan itu adalah sebagai berikut:
1. Menuduh Nabi Mûsâ punya penyakit kusta karena tidak mau mandi
bersama mereka. (QS. al-Ahzâb [33]: 69),
2. Enggan melaksanakan Taurât, sehingga Allâh mengangkat gunung
Tursina untuk mengambil perjanjian yang teguh. (QS. al-Bâqarah [2]:
93),
3. Tidak mau berîmân kecuali jika melihat Allâh langsung. (QS. al-
Bâqarah [2]: 55 dan an-Nisâ [4]: 153),
4. Merubah perintah agar masuk negeri yang dijanjikan seraya bersujud
dan mengucapkan hithah, yakni memohon ampunan. Tapi mereka
mengganti perintah itu dengan cara melata di atas anusnya dan
mengatakan hinthah, yakni sebutir biji di rambut. (QS. al-Bâqarah [2]:
58-59),
5. Menuduh Nabi Mûsâ mengolok-olok mereka saat mereka disuruh
menyembelih sapi betina. (QS. al-Bâqarah [2]: 67),
6. Menulis al-kitâb dengan tangan mereka, lalu mengatakan ini dari Allâh.
(QS. al-Bâqarah [2]: 79),
7. Memutar-mutar lidahnya untuk
menyakinkan bahwa yang dibacanya itu
adalah wahyu yang asli. (QS. Alî Imrân
[3]: 78),
8. Merubah Firmân Allâh. (QS. al-Bâqarah
[2]: 75),
6
9. Menyembah patung sapi saat ditinggal Nabi Mûsâ mengambil Taurât.
(QS. al-Bâqarah [2]: 51 dan 92),
10. Mengatakan Tangan Allâh terbelenggu. (QS. al-Mâidah [5]: 64),
11. Menuduh Allâh itu faqîr. (QS. Alî Imrân [3]: 181),
12. Menyuruh Nabi Mûsâ dan Tuhan-Nya berperang untuk mereka (QS. al-
Mâidah [5]: 5:24).
Setelah wafatnya Nabi Mûsâ a.s. dan penghukuman 40 tahun masa
keterluntaan. Generasi baru kaum Yahûdi dipimpin oleh Nabi Yusya Bin
Nun (Murid Nabi Mûsâ a.s. sendiri), Beliau bersama kaumnya sekitar
tahun 1190 SM. berhasil menyeberangi sungai Yordan, menaklukkan
musuh mereka dan menduduki kota Jericho, kemudian menyerang kota
Adi, sebelah Ramalah serta berusaha menaklukkan al-Quds yang saat itu
menjadi ibukota bangsa Yabus, namun penaklukkan al-Quds gagal karena
terlalu sedikitnya jumlah pasukan mereka.
Sepeninggal Nabi Yusya a.s. kaum Yahûdi dipimpin sekelompok orang
yang disebut “Para Hakim”, pada era ini kaum Yahûdi tinggal di daerah
dataran tinggi sekeliling kota al-Quds dan Utara Palestina. Karena
penguasaan Palestina yang kurang terorganisir kaum Yahûdi kewalahan
menghalau serangan musuh seperti gangguan dari kabilah bangsa ‘Arab
Madyan serta perlawanan orang-orang Palestina sendiri hingga kejayaan
mereka berakhir dan terpecah belah dalam berbagai kabilah Yahûdi yang
berdiri sendiri-sendiri.

1025 SM – 923 SM
Setelah beberapa masa berlalu, Banî Isrâ’îl menyadari kebutuhan
mereka untuk bersatu kembali hingga mereka mencapai mufakat untuk

7
meminta kepada Nabi Samuel a.s. untuk memilih seorang raja bagi
mereka. Dengan petunjuk Allâh Swt. Nabi Samuel a.s. akhirnya menunjuk
seorang pemuda gagah berani dari keluarga paling sederhana pada suku
terkecil Banî Isrâ’îl yang dikenal bernama Syaul atau Thâlût untuk menjadi
pemimpin Banî Isrâ’îl yang membawahi seluruh pimpinan suku kabilah
yang ada. Berdirinya kerajaan Yahûdi ini terjadi sekitar tahun 1025 SM.
Semasa pemerintahannya Thâlût jarang sekali berada di Ibukota
karena waktunya lebih banyak dihabiskan di tenda militer dan medan
pertempuran, pada masanya Ia berhasil menyerbu dan menaklukkan
bangsa Amun yang tinggal di wilayah Timur Yordania.
Peperangan lain yang termasyhur adalah kemenangan melawan
kekuatan pasukan Goliath atau Jâlût yang menguasai Baitul Maqdis
Palestina. Turut serta dalam pertempuran ini Nabi Dâwûd Bin Yussa a.s.
seorang anggota pasukan Thâlût yang paling muda, mantan penggembala
kambing kelahiran Betlehem, dengan tangannya sendiri Nabi Dâwûd a.s.
berhasil membunuh Jâlût hingga Palestina berhasil direbut.
Setelah kematian Thâlût pada tahun 1004 SM, Nabi Dâwûd pun
kemudian dijadikan raja yang memimpin Banî Isrâ’îl sekitar 40 tahun
hingga tahun 963 SM. Pada 7 tahun pertama pemerintahannya, el-Khalil
(Hebron) menjadi Ibukota kerajaan, namun setelah itu Ibukota dipindah ke
Yerussalem, bahkan pada tahun 995 SM. bangsa Yabus yang mendiami
kota al-Quds berhasil ditaklukkan dan diusir keluar dari kota al-Quds.
Seiring dengan berbagai kemenangan yang diperoleh maka luas
wilayah kerajaan Nabi Dâwûd a.s. membentang dari tepi sungai Nil hingga
sungai Eufrat di Iraq. (Sekarang ini Yahûdi tetap memimpikan kembali

8
kebesaran Israel Raya seperti yang dipimpin raja Dâwûd. Bendera Israel
adalah dua garis biru [sungai Nil dan Eufrat] dan Bintang David).
Nabi Dâwûd a.s. dianggap sebagai pendiri kerajaan
Banî Isrâ’îl di Palestina yang sesungguhnya. Pada
masa pemerintahannya da’wah tauhid menyebar ke
seluruh penjuru ‘tanah yang diberkahi’, kebenaran dan
keadilan pun dijunjung tinggi. Sebagai nabi Dâwûd dikaruniai ilmu dan
kebijaksanaan serta Kitab Zabur dan kerajaan yang kuat.
Setelah wafat, kepemimpinan Nabi Dâwûd a.s. diteruskan oleh
anaknya Nabi Sulaimân a.s. yang memimpin Banî Isrâ’îl sekitar 40 tahun
pula lamanya hingga tahun 922 SM. Pada masa Nabi Sulaimân a.s. ini
Banî Isrâ’îl hidup dalam penuh kedamaian, ketentraman dan keadilan.
Kekuasan wilayahnya yang mencapai batas wilayah tanah Kana’an (Barat
Yordan) dalam kondisi tenang dan stabil, negera-negara tetangga tidak
ada yang sanggup menembus kekuatan pasukannya, Nabi Sulaimân a.s.
menikahi puteri Fir’aun, mengadakan kesepakan dengan Hairam Raja
Syur, kapal-kapal ekspedisinya mengarungi samudera hingga ke Selatan
Andalusia dan pada masanya pula Masjidil Aqshâ dibangun.
Kemasyhuran kerajaan Nabi Sulaimân a.s. tersiar luar ke berbagai negeri,
termasuk di antaranya cerita tentang kedatangan Ratu Bilqis dari negeri
Saba di pelosok Yaman.

923 SM – 800 SM
Sepeninggal Nabi Sulaimân a.s., kerajaan Banî Isrâ’îl terpecah menjadi
dua negara yang saling bertikai, keduanya bahkan digerogoti kerusakan
internal, kemunduran militer, politik dan wibawa luar negeri.

9
Semua berawal ketika Rehoboam Bin Sulaimân mengumumkan dirinya
menjadi raja bagi Banî Isrâ’îl setelah wafatnya sang Ayah, suku Yehuza
dan Benyamin yang tinggal di wilayah Selatan dan sekitar Yerussalem
membai’atnya menjadi raja. Rehoboam kemudian menuju kota Syakim
atau Syakin untuk mencari dukungan suku-suku Banî Isrâ’îl lainnya, maka
berkumpullah para pembesar dari suku-suku tersebut, mereka meminta
agar Rehoboam berlaku ramah dan arif dalam menjalankan
pemerintahannya nanti, namun karena wataknya yang keras Rehoboam
menolak permintaan mereka bahkan mengancam akan memperlihatkan
hukumannya. Akibatnya sepuluh suku Banî Isrâ’îl menyatakan
pembangkangannya dan menolak untuk turut membai’at Rohoboam
menjadi raja Banî Isrâ’îl. Mereka bahkan memilih Jeroboam dari suku
Elphraem untuk menjadi raja mereka sendiri. Mereka menamakan
kerajaan mereka dengan nama “Israel” dan menjadikan Syakim sebagai
Ibukotanya (Ibukota ini kemudian berpindah ke Terzah lalu ke Samirah).
Dengan demikian kerajaan yang ditinggalkan Nabi Sulaimân a.s. telah
terpecah menjadi dua bagian, yaitu bagian Utara yang mewarisi 72%
wilayah bernama kerajaan Israel (923–722 SM) yang beribukota di
Samirah atau Samaria dengan raja pertamanya Jeroboam, dan bagian
Selatan yang mewarisi 28% wilayah bernama kerajaan Yehûza atau
Judah (923–586 SM) yang beribukota di al-Quds (Yerusalem) dengan raja
pertamanya Rehoboam.

740 SM – 586 SM
Kerajaan Israel berumur lebih singkat dibandingkan kerajaan Yehûza,
pada tahun 740 SM. kerajaan ini sudah ditaklukkan oleh serangan Tiglath

10
Pileser raja Assyiria, namun kerajaan Isreal masih diperkenankan berdiri
sebagai negara bawahan dengan konpensasi hadiah seribu waznah
(sekitar 7,5 ton perak). Namun pada tahun 727 SM. ketika Assyiria
dipimpin raja Shalmaneser III, karena pemberontakan penduduk kerajaan
Israel maka kekuatan militer Assyiria kembali datang menyerang hingga
raja kerajaan Israel yang bernama Hosea Bin Elah memberinya hadiah
yang banyak sebagai pengampunan untuk tidak dihancurkan, raja
Shalmaneser III pun kembali ke negerinya, tetapi sebelum ia sampai di
Ninever kembali terdengar kabar pemberontakan kerajaan Israel, maka
dengan amarah memuncak ia pun segera kembali mengepung ketat
Samirah Ibukota kerajaan Israel. Tahun 721 SM sebelum kota Samirah
berhasil ditaklukkan Shalmaneser III meninggal dunia, namun Sargon II
selaku penggantinya terus mengobarkan dasyhatnya serangan hingga
runtuhlah kerajaan Israel untuk selama-lamanya. Seluruh penduduk
kerajaan Israel ditahan dan ditempatkan di lembah sungai Eufrat di bawah
kekuasaan seorang Gubernur Assyiria.
Kerajaan Yehûza sebenarnya telah lebih dulu menerima serbuan besar
bangsa asing dibandingkan kerajaan Israel, hal ini terjadi ketika pada
tahun 920 SM. karena provokasi raja Jeroboam, raja Fir’aun Mesir yang
bernama Syisyanak menyerbu dan merampas harta istana di Yerussalem,
namun sepeninggalnya kerajaan ini masih terus bertahan. Musibah besar
baru kembali terjadi ketika pada tahun 606 SM. ketika Nebukhadnesar raja
Raja Chaldea dari Babilonia (wilayah Irak Utara) datang dan menjarah
Yerussalem, ia membunuh banyak penduduk dan mengasingkan raja
Yehûza saat itu yang bernama Yehwakin Bin Bawakim beserta istri dan
keluarganya, ia lalu mengangkat Shedqea Bin Bawakim sebagai
11
pengganti Yehwakin, tetapi raja baru ini pun memberontak maka pada
tahun 599 SM. Nebukhadnesar kembali ke Yerussalem dan menggiring
para bangsawan kerajaan Yehûza ke Babilonia. Pada tahun 593 SM. raja
Shedqea kembali membangkang hingga pada tahun 586 SM.
Nebukhadnesar kembali menyerbu Yerussalam dan membunuh Shedqea
beserta seluruh anak dan saudaranya, kota Yerussalem dihancurleburkan,
harta kekeyaannay dibakar dan dirampas, bankan seluruh bangsa Yehûza
dibawa ke Babilonia. Selama 50 tahun ditahannya bangsa Yehûza,
Yerussalem menjadi kota mati porak-poranda tertelantarkan.
Nabi Ilyas a.s. (anak Nabi Hârûn a.s.) mengajak Banî Israel untuk
patuh kepada Allâh sesuai dengan ajaran Taurât dan Zabûr. Tetapi tiada
yang mengikuti kecuali sedikit, sebagian besar lainnya menolak dan
mendurhakainya.
Demikianlah Allâh Swt. mengazab Banî Israel dengan kehancuran
yang sangat menyakitkan karena kedurhakaan mereka sendiri.
"Sesungguhnya Kami telah mengambil kembali perjanjian dari Banî Isrâ’îl,
dan telah Kami utus kepada mereka rasûl-rasûl. Tetapi setiap datang
seorang rasûl kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini
hawa nafsu mereka, maka sebagian rasûl-rasûl itu mereka dustakan atau
mereka bunuh." (TQS. al-Mâidah [5]: 70). Hal ini juga bisa dibaca di Injil
(Bible) pada Kitâb Raja-raja ke-1 14:15 dan Kitâb Raja-raja ke-2 17:18.

586 SM – 538 SM
Hancurnya kerajaan Yehûda membuat Banî Israel hidup terlantar
sebagai rakyat jajahan. Dalam Injil Kitâb Raja-raja ke-2 23:27 dinyatakan
bahwa mereka tidak mempunyai hak lagi atas Yerusalem. Mereka diusir

12
dari Yerusalem dan dipenjara di Babylonia. Banî Isrâ’îl kembali terpencar
sampai ke daerah Mesopotamia Utara, sebagian dari mereka berdiam di
Hijaz, Mesir dan negeri yang lain.

538 SM – 330 SM
Pada tahun 538 SM. Cyrus raja Persia dari negeri Syam berhasil
menaklukkan dan meruntuhkan Babilonia, Cyrus mengijinkan bangsa
Israel kembali ke Yerusalem.
Kemudian Palestina juga ditaklukkan kerajaan Persia yang dipimpin
oleh raja Darius Agung (522-485 SM), orang-orang Banî Israel kembali
terpencar-pencar.

330 SM – 323 SM
Pada tahun 330 SM. Alexander Agung (356–323 SM) dari kerajaan
Macedonia (Yunani) berhasil mengalahkan pasukan kerajaan Persia yang
dipimpin Awar III, hingga pasukan Persia harus terusir dari negeri Syam.
Maka Palestina, Mesir, Mesopotamia (Irak), Iran, dan beberapa wilayah
India semuanya berada di bawah kekuasaan kerajaan Macedonia.
Setelah Palestina dikuasai oleh Macedonia (Yunani) yang nantinya
terus berlangsung hingga tahun 63 SM., Yahûdi pun kembali terpencar-
pencar, semasa berkuasa Alexander Agung melakukan Hellenisasi
terhadap bangsa-bangsa taklukannya. Bahasa Yunani menjadi bahasa
resmi Israel, sehingga nantinya Injil pun ditulis dalam bahasa Yunani dan
bukan dalam bahasa Ibrânî.

13
323 SM – 274 SM

Setelah wafatnya Alexander Agung pada tahun 323 SM. kerajaannya


yang besar dibagi-bagikan kepada para panglimanya. Palestina menjadi
bagian panglima ‘Ptolemy I’ penguasa wilayah Mesir. Dalam kekuasaanya
yang berlangsung sekitar 38 tahun (323 SM–285 SM) banyak terjadi
peperangan dengan negara tetangga yang berhasil dimenangkannya,
termasuk kemampuannya menguasai Yerussalem setelah kaum Yahûdi
menyatakan pembangkangannya, Ptolemy I menawan lebih dari 1000
penduduk Yahûdi ke Mesir sehingga pemberontakannya berhasil
dipadamkan dengan tuntas. Kekuasaan Ptolemy I lalu dilanjutkan oleh
Ptolemy II (285 SM–274 SM).

274 SM – 4 SM

Setelah terjadinya peperangan Panion antara pasukan Dinasti


Ptolemaik melawan pasukan Dinasti Seleucid di bawah pimpinan raja
Antiochus III yaitu keturunan Seleucus I, seorang panglima Alexander
Agung yang mendapat bagian Suriah Utara, Asia Kecil dan Dataran Tinggi
Iran. Di mana pertempuran tersebut berhasil dimenangkan raja Antiochus
III, maka kekuasaan di Palestina pun berada di bawah pimpinan Dinasti
Seleucid hingga tahun 63 SM. Dalam masa ini antara tahun 167 SM.–63
SM. Dinasti Seleucid tidak memerintah secara langsung wilayah Palestina
karena adanya kepemimpinan Yehuza Bin Ashmon yang dijuluki Makaby
(Maccabee) dan keturunan keluarga Makaby selaku ‘Pemimpin Spiritual
Agung’ yang juga diberi gelar sebagai ‘Gubernur Jendral’ sehingga
legalitas otonomi kerajaan Yahûdi diakui sebagai bagian dari kedaulatan
Dinasti Seleucid. Bahkan pada masa raja Yahûdi Makaby Alexander
14
Ganius dan isterinya Salome Alexander yang memerintah Palestina dari
tahun 103 SM.–67 SM. wilayah kekuasaan meliputi wilayah Timur Yordan
sampai pesisir Barat.

Sepeninggal Salome, kedua anaknya Herkanos II dan Adistopos saling


bertikai memperebutkan tahta kerajaan. Dalam permusuhan ini, orang-
orang Arab Anbath (Nabateans) ikut membantu Herkanos II. Pada tahun
63 SM. panglima perang Romawi yang bernama Pompey menaklukkan
kerajaan kecil Yahûdi tersebut, Pompey menghancurkan dinding-dinding
al-Quds dan mengangkat Herkanos II sebagai ‘Pemimpin Spiritual Agung’,
Dinasti Makaby tetap memerintah Palestina di bawah pengawasan
Romawi.

Pada tahun 40 SM. pasukan Persia kembali menyerbu dan menguasai


Palestina, mereka mengangkat saudara Herkanos II lainnya yang
bernama Antigons sebagai ‘Pemimpin Spiritual Agung’ di Palestina yang
berlangsung selama tiga tahun. Antigons adalah penguasa terakhir Dinasti
Makaby, sebab pada tahun 37 SM. pasukan Romawi berhasil
mengalahkan Persia dan kembali berkuasa di Palestina, mereka
mengangkat Herod yang sangat loyal kepada Romawi untuk menjadi
seorang raja bagi Palestina, Herod yang lalim ini memerintah hingga tahun
4 SM. Pada masanya ia telah menggunakan kekuasaannya untuk
membunuh Nabi Zakarîyyâ a.s. yaitu menggoroknya dengan gergaji,
demikian juga pembunuhannya atas Nabi Yahyâ a.s. dengan memenggal
kepalanya dan meletakkannya di atas bejana emas. Herod juga semasa
dengan Maryam Binti Imran.

15
Seiring dengan keberhasilan mengambil-alih Palestina dari Persia,
Romawi yang sedang bangkit usai mengalahkan kerajaan Karthago di
Utara Afrika, imperium Romawi di bawah raja Oktavianus Agustus (31
SM.–14 SM.) juga berhasil merebut Mesir dan Macedonia.

4 SM – 100 M
Nabi ‘Îsâ al-Masîh a.s. lahir, kemudian menjadi pemimpin gerakan
melawan penguasa Romawi. Namun selain dianggap subversi oleh
penguasa Romawi (dengan ancaman hukuman terberat yaitu hukuman
mati di kayu salib), ajaran Nabi ‘Îsâ a.s. sendiri ditolak oleh para Rabbi
Yahûdi. Namun setelah Nabi ‘Îsâ a.s. tiada, bangsa Yahûdi pun
memberontak terhadap Romawi.
Sebagai jawaban atas akasi pemberontakan bangsa Yahûdi, Roma
mengirim seorang panglimanya yang bernama Vespasianus ke Palestina.
Ia mengepung Yerussalem dan meredam pemberontakan di sana, Ia pun
lalu terpilih menjadi emperor Romawi yang kemudian pada tahun 70 M.
digantikan oleh anaknya yang bernama Titus. Titus adalah seorang
panglima yang jeli, ia menghabisi pasukan Yahûdi secara keji dan tanpa
ampun, setelah mengobrak-abrik Yerussalem, Titus menawan banyak
penduduk Palestina dan menjual sebagian dari mereka ke pasar budak,
penduduk yang beragama Nasrani diperkenankan kembali ke Palestina
tetapi tidak dangan Yahûdi.

100 – 300 M
Pemberontakan terus berulang dan gagal, seperti pemberontakan
pada tahun 132 – 135 M. yang dipimpin oleh Yarfuya dan Yarkuya. Raja
Romawi Kaisar Adrian sangat marah dan mengirim pasukan besar di

16
bawah pimpinan panglima Julius Cyprus hingga Yerussalem kembali
direbut dan dikuasai Romawi, akibatnya Palestina dihancurkan dan
dijadikan area bebas Yahûdi. Kaisar Adrian kemudian membangun kota
baru di atas reruntuhan kota Yerussalem dan diberi nama ‘Aelia’. Kaum
Yahûdi dideportasi keluar Palestina dan terdiaspora ke segala penjuru
imperium Romawi hingga ke Utara semenanjung Arab seperti Khaibar,
Taima dan Yatsrib. Namun demikian tetap ada sejumlah kecil pemeluk
Yahûdi yang tetap bertahan di Palestina. Dengan masuknya Islâm
kemudian, serta dipakainya bahasa ‘Arab di dalam kehidupan sehari-hari,
mereka lambat laun ter’arabisasi atau bahkan masuk Islâm.

300 – 570 M
Tahun 313 M. Pusat kerajaan Romawi dipindah ke Konstantinopel di
bawah kaisar Konstantin Agung (303-337M). Agama Kristen pun
berkembang yang diajarkan oleh St. Paulus seorang Yahûdi yang
mengaku-ngaku mengikuti ajaran Nabi ‘Îsâ a.s. dan selanjutnya agama
Kristen dijadikan agama resmi negara pada tahun 325 M. Kaisar
Konstantin sangat memperhatikan Palestina, ia membangun Gereja
Makam Suci yang menjadi gereja Nasrani teragung di Yerussalem, ia juga
membangun Gereja Langit di atas gunung Zaitun dan Gereja Kiamat di
kota Betlehem. Penduduk Palestina saat itu beragama Nasrani hingga
datangnya pembebasan Islam.

570 – 610 M
Nabi Muhammad saw. lahir di tahun 570 M. bersamaan dengan
kekalahan tentara Abrahah dalam upaya memusnahkan Ka’bah. Bangsa
Yahûdi merembes ke semenanjung ‘Arabia, di antaranya di Khaibar dan

17
sekitar Yatsrîb atau Madînah, kemudian berimigrasi dalam jumlah besar
ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dengan Persia.

610 – 613 M
Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasûlullâh dan mulai
menda’wahkan Islâm dengan membentuk kutlah atau kelompok da’wah
yang juga disebut sebagai partai Rasûl, seiring itu Rasûlullâh mulai
membina secara intenshif para Sahabatnya dalam kegiatan Tastqif
(pengkaderan) di rumah al-Arqâm bin Abî Arqâm, da’wah pada era ini
masih bersifat turtutup atau sembunyi-sembunyi.

613 M
Da’wah secara terbuka, setelah Rasûlullâh menerima wahyu; “Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik” (TQS. al-Hijr : 94). Dengan demikian, interaksi antara kaum
Muslimîn dan orang kâfir telah dimulai.

619 M
Nabi Muhammad saw. diperjalankan atau Isrâ’ dari Masjidil Harâm di
Makkah ke Masjidil Aqshâ di
Palestina, lalu Mi'raj ke Sidrâthul
Muntahâ. Rasûlullâh menetapkan
Yerusalem sebagai kota suci ke-3
ummat Islâm, di mana shalât di
Masjidil Aqshâ dinilai 500 kali
dibanding shalât di masjid lain selain
Masjidil Harâm di Makkah dan Masjid Nabâwi di Madînah. Masjidil Aqshâ
18
juga menjadi kiblat umat Islâm sebelum dipindah arahnya ke Ka'bah di
Masjidil Harâm, Makkah.
“Maha Suci Allâh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari al-Masjidil Harâm ke al-Masjidil Aqshâ yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS. al-Isrâ’ : 1)
Pada tahun ini Rasûlullâh juga mencari Nushrah (perlindungan dan
pertolongan) dari orang-orang yang berpengaruh serta memiliki kekuatan,
suku-suku dan kaum-kaum dalam rangka menyebarkan da’wah Islâm dan
menerapkan Islâm dengan syarat mereka memeluk Islâm.

621 M
Dimulainya fase da’wah selanjutnya. Terjadinya bai’at Aqabah I;
Rasûlullâh telah dibai’at oleh suku al-Aus dan al-Khazraj yang berasal dari
Yatsrib (Madînah). Proses pengiriman Mus’ab bin Umair ke Yatsrib untuk
mengajarkan Islâm kepada suku-suku tersebut hingga sebagian besar
penduduk Yatsrib memeluk Islâm.

622 M
Terjadinya bai’at Aqabah II; Rasûlullâh menerima penyerahan
pemerintahan Madînah dari al-Aus dan al-Khazraj. Bai’at Aqabah ke-II ini
diberikan oleh 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita. Mereka membai’at
Rasûlullâh untuk memeluk Islâm dan memberi perlindungan kepadanya.
Perintah untuk berhijrah oleh Nabi kepada para Shahâbatnya.
Kaum Quraiys merancang akan melakukan pembunuhan terhadap
Nabi, namun upaya mereka gagal dan Rasûlullâh melakukan hijrah ke

19
Yatsrib (yang kemudian berganti nama menjadi Madînah) serta
mendirikan Daulah (Negara) Islâm pertama yang setelah masa Rasûlullâh
disebut Khilâfah. Kaum Muhâjirîn dan Anshar dipersaudarakan dan
Rasûlullâh membangun masjid sebagai pusat pengembagan agama dan
politik negara Islâm. Rasûlullâh selaku kepala negara juga mengadakan
perjanjian dengan bangsa Yahûdi yang menjadi penduduk Madînah dan
sekitarnya yang dikenal dengan Shahîfah (Piagam) Madînah.
Peristiwa Hijrah Rasûlullâh sekaligus menjadi momentum dimulainya
penanggalan tahun Pertama Hijriyyah.

626 M
Pengkhianatan Yahûdi dalam perang Ahzâb (perang Parit) dan berarti
melanggar Perjanjian Madînah. Sesuai dengan aturan di dalam Kitâb
Taurât mereka sendiri, mereka harus menerima hukuman dibunuh atau
diusir.

632 M
Peristiwa Haji Wada’ (11 H), dihadiri oleh 100.000 kaum Muslimîn
(Shahâbat). Nabi Muhammad menyiapkan pasukan Usâmah bin Ziyâd
untuk menyerang Romawi. Pada tahun ini, Nabi Muhammad Saw. wafat.
Rasûlullâh bersabda: “Dulu Banî Isrâil diurus dan dijaga oleh para
Nabi, setiap seorang Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi
yang lain, dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang akan ada
adalah Khulafâ’ (para Khalîfah) dan jumlah mereka banyak, para
Shahâbat bertanya, “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami yâ
Rasûlullâh?” Nabi bersabda, “penuhilah bai’at yang pertama, dan yang
pertama, berikanlah kepada mereka yang menjadi hak mereka, maka

20
sungguh Allâh akan mempertanyakan kepada mereka atas apa yang
mereka diminta untuk mengurusinya” [HR. Imâm Muslim]

634 M
Terjadi peperangan Ajnadîn di Palestina. Khalîfah Abu Bakar ash-
Shiddîq wafat, Umar bin Khaththâb dibai’at menjadi Khalîfah.

641 M (15 H)
Di bawah pemerintahan Khalîfah Umar Ibnu Khaththâb ra. seluruh
Palestina dimerdekakan dari penjajah Romawi. Khalîfah Umar memasuki
Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh pemuka
kota tersebut, Uskup Yunani Batrick
Sofronius yang menyerahkan kunci kota al-
Quds kepadanya. Seterusnya seluruh
penduduk Palestina, Muslim maupun Non
Muslim, hidup aman di bawah pemerintahan
Khilâfah dengan kebebasan beragama yang dijamin sepenuhnya.
Status Palestina sebagai milik umat Islâm semakin kokoh melalui
perjanjian yang dibuat Amîrul Mukminîn Umar bin Khaththâb dengan
orang-orang Kristen Palestina. Saat itu Khalîfah Umar membuat perjanjian
yang terkenal dengan nama ‘al-Ihdât al-‘Umariyyah’ (perjanjian Umar)
atau juga disebut Perjanjian Illiya, yang berbunyi, “…atas nama Islâm dan
kaum Muslim”. Isinya antara lain menyebutkan tentang jaminan keamanan
atas diri dan harta serta kebebasan beribadah bagi penduduk Alia yang
beragama Nasrâni. Dan juga terdapat penegasan “Tidak boleh seorang
Yahûdi pun tinggal bersama kaum muslimîn di Baitul Maqdis”. (Ibnu Jarîr

21
ath-Thabârî, Tarîkhul Umâm wal Muluk, pada judul “Iftitah Baitul
Maqdis”—Penaklukan Baitul Maqdis).
Setelah pembebasan Palestina, futuhat berlanjut ke Ibukota Persia,
yaitu al-Madain. Terjadi peperangan Jalula’ dan Parsi jatuh ke tangan
Islâm serta banyak lagi kota-kota di Syiria yang dibebaskan.

691 M
Kubah Batu (Dome of The Rock) di bangun di Jerusalem (Tahun 72
H.).

700 – 1000 M
Wilayah Islâm meluas dari Asia Tengah, Afrika hingga Andalusia
(Spanyol). Di dalamnya, bangsa Yahûdi mendapat peluang ekonomi dan
intelektual yang sama. Ada beberapa ilmuwan terkenal di dunia Islâm
yang merupakan orang Yahûdi.

1095 – 1107 M
Mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan
Clermont, lebih dari 100.000 orang tentara salib dari Eropa bergerak ke
Palestina untuk merebut tanah suci dari orang Islâm dan mencari
kekayaan yang besar di Timur. Setelah perjalanan panjang yang
melelahkan, banyak perampasan dan pembantaian di sepanjang
perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. Karena
pengkhianatan kaum munafik (Golongan Fathimiyyah / Sekte Drusiah
yang mengaku Islâm tetapi ajarannya sesat). Kota suci ini jatuh setelah
pengepungan hampir 5 minggu, kemudian mereka mengangkat seorang
raja Kristen Katolik (Kingdom of Jerusalem) yang terbentang dari Palestina
hingga Antakiyah.
22
Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan
pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islâm dan Yahûdi dibasmi
dengan pedang. Kekejaman tentara Salib itu diakui oleh salah satu
anggota tentara Salib, Raymond dari Aguiles. Dalam dua hari, tentara
Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islâm dengan cara tak
berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan. Perdamaian dan
ketertiban di Palestina yang telah berlangsung semenjak Umar ra.,
berakhir dengan pembantaian yang mengerikan. Di tahun 1107 M. Kaum
Salib juga menaklukkan Tripoli dan sebagian Syiria.

1148 M
Khayruddin az-Zinki berhasil mengalahkan kaum Salib di dekat
Damsyik (Damaskus).

1069 – 1187 M
Sulthân Shalâhuddîn Yûsuf bin Ayyûb bin Syâdzî memerintah di Mesir.
Kaum Fathimiyyah dikalahkan dan al-Azhar dibersihkan dari paham
Fathimiyyah. Pada tahun 1171 M. Sulthân Shalâhuddîn selaku ‘amir (Wali
atau Gubernur) Mesir turut memberikan bai’at kepada Khalîfah al-
Mustadhî’ bi ‘Amrillâh; Khalîfah Banî Abbâsiyyah yang
berpusat di Baghdad.
Pada tahun 1185 M. (581 H.) Sulthân Shalâhuddîn yang
biasa dipanggil Abû al-Muzhfar dan dijuluki Mâlik an-Naser
(Penguasa yang Selalu Menang) telah berhasil menyatukan
Mesir, Syâm, Irak bagian Utara, serta Yâman tunduk berada di bawah
kekuasaannya. Berbagai keberhasilan ini tidak membuatnya puas dan
gembira, dia masih terlihat sedih dan jarang sekali tertawa, saat hal ini

23
ditanyakan ia menjawab; “Bagaimana saya bisa tertawa sedangkan Masjid
al-Aqshâ masih ditawan”.
Jihâd dan bagaimana cara membebaskan negeri-negeri dari
kekuasaan kaum Salib senantiasa menjadi pusat perhatiannya, dia
memerintahkan para ‘Ulamâ dan Khâtib untuk selalu mengangkat tema
jihâd dan pengorbanan fî sabîlillâh. Shalâhuddîn turun langsung dalam
pelatihan para pasukan serta pembangunan armada dan benteng-benteng
yang dibutuhkan.
Setelah mengirim surat dan mendapat ijin dari Khalîfah al-Mustadhî’ bi
‘Amrillâh untuk melancarkan Jihâd guna membebaskan beberapa wilayah
Islâm dari tangan tentara Salib, Sulthân Shalâhuddîn lulu mengirim
penyebarluasan berita ke segenap
penjuru Mesir, Syam dan al-Jazîrah untuk
mendorong agar seluruh kaum muslimîn
berbondong-bondong mempersiapkan diri
mereka dalam barisan Jihâd.
Maka kemudian terhimpunlah seluruh
kekuatan pasukan Islâm di bawah bendera Jihâd Sulthân Shalâhuddîn
dalam pertempuran di suatu tempat bernama Ra’s Almâ yang terletak di
dekat desa Hiththin di wilayah Thabariyah pada tahun 1187 M. Setelah
pertempuran ini, dua pemimpin tentara Perang Salib, Penguasa Karak
yang bernama Reynald dari Chatillon dan Raja Guy de Lusignan dibawa
ke hadapan Shalâhuddîn. Dengan tangannya sendiri Beliau menghukum
mati Reynald yang telah begitu keji perlakuannya mencela Nabi
Muhammad Saw., menyerang al-Hajjaj dan rombongan pedagang Muslim

24
serta berbagai kekejaman lainnya. Namun Shalâhuddîn membiarkan Raja
Guy pergi karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa.
Baitul Maqdis berhasil dikuasai kembali di pertengahan Rajab 583 H,
bertepatan dengan 20 September 1187 M., tiga bulan setelah
pertempuran Hiththin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi
Muhammad saw. Isrâ’ dan Mi'raj, pada tanggal 02 Oktober 1187
Shalâhuddîn dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan
membebaskannya dari 88 tahun pendudukan Tentara Perang Salib,
selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim.
Tidak lama berselang Shalâhuddîn juga berhasil membebaskan
Thabariyah, Uka, Shoeda, Ghaza, Nablis, Asqalan, Syiria dan berbagai
kota-kota lainnya dari kekuasaan kaum Salib kecuali Tyres (Tyrus).
Keberanian dan ketangguhan kaum muslimîn di medan perang membuat
orang Perancis sampai menjuluki dengan sebutan bangsa Moor (orang-
orang nekad) karena mereka menghambur ke medan perang secara suka
cita dengan dua pilihan yang sama baiknya; hidup mulia atau mati syahîd.
Shalâhuddîn menepati janjinya dengan tidak menyentuh seorang
Nasrânî pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka,
bahwa mereka semua akan dibantai. Shalâhuddîn dengan sigap bahkan
memerintahkan bawahannya untuk mencari hingga ketemu anak lelaki
seorang perempuan Nashrâni yang menuduh anaknya hilang diculik
pasukan Islâm. Shalâhuddîn hanya memerintahkan semua umat Nasrânî
Latin (Katolik) untuk meninggalkan Yerusalem. Sedangkan umat Nasrânî
Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan
beribadah menurut apa yang mereka pilih. Palestina sekali lagi
menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
25
1192 M
Sulthân Shalâhuddîn al-Ayyûbi dan Richard sepakat dalam perjanjian
Ramla, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada
para peziarah Kristen. Dalam kemiliteran Shalâhuddîn dikagumi ketika
Richard cedera, Shalâhuddîn menawarkan pengobatan di saat perang di
mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan
dipercaya.

1193 M
Sulthân Shalâhuddîn al-Ayyûbi Wafat dan dimaqâmkan di Damaskus–
Syiria, setelah Richard kembali ke Inggris. Bahkan ketika rakyat membuka
peti warisan, ternyata uang peninggalannya yang hanya terdiri dari 47
dirham dan satu keping emas tak cukup untuk biaya pemakamannya,
hartanya telah banyak dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Selain dikagumi Muslim, Shalâhuddîn atau Saladin mendapat reputasi
besar di kaum Kristen Eropa, kisah perang dan kepemimpinannya banyak
ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa, salah satunya adalah ‘The
Talisman’ (1825) karya Walter Scott.

1453 M
Setelah melalui proses reunifikasi dan revitalisasi wilayah-wilayah
Khilâfah yang tercerai berai setelah hancurnya Baghdad oleh tentara
Tartar–Mongol (1258 M), Khilâfah Utsmâniyyah di bawah Muhammad al-
Fatîh menaklukan Konstatinopel, dan mewujudkan Bisyârah Nubuwwah
Rasûlullâh.

26
1492 M
Andalusia sepenuhnya jatuh ke tangan Kristen Spanyol (reconquista).
Karena cemas suatu saat umat Islâm bisa bangkit lagi, maka melalui
pengadilan Inkuisisi terjadilah pembunuhan, pengusiran dan
pengkristenan massal. Hal ini tidak cuma diarahkan pada kaum Muslim
namun juga pada kaum Yahûdi. Mereka lari ke wilayah Khilâfah
Utsmâniyyah, di antaranya ke Bosnia. Pada 1992 Raja Juan Carlos dari
Spanyol secara resmi meminta maaf kepada pemerintah Israel atas
Holocaust (pemusnahan etnis) 500 tahun sebelumnya, namun tiada
permintaan maaf kepada umat Islâm.

1500 – 1700 M
Kebangkitan pemikiran di Eropa, munculnya sekularisme (pemisahan
agama [gereja] dengan negara), nasionalisme dan kapitalisme. Mulainya
kemajuan teknologi modern di Eropa. Abad penjelajahan Samudera
dimulai. Mereka mencari jalur perdagangan alternatif ke India dan China,
tanpa melalui daerah-daerah Islâm. Tapi akhirnya mereka didorong oleh
semangat kolonialisme dan imperialisme, yakni Gold, Glory dan Gospel.
Gold berarti mencari kekayaan di tanah jajahan, Glory artinya mencari
kemasyuran di atas bangsa lain dan Gospel (Injil) artinya menyebarkan
agama Kristen ke penjuru dunia.
Pada tahun 1514, Sulthân Sâlîm menaklukkan al-Quds dan sekitarnya,
maka sekitar 400 tahun pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai.
Seperti di negara-negara Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-
orang Palestina menikmati perdamaian dan stabilitas meskipun

27
kenyataannya memeluk tiga keyakinan berbeda, mereka semua hidup
damai berdampingan satu sama lain.

1529 M
Tentara Khilâfah berusaha menghentikan arus kolonialisme atau
imperialisme serta membalas reconquista langsung ke jantung Eropa
dengan mengepung Wina, namun gagal. Tahun 1683 M kepungan diulang
tetapi gagal lagi. Kegagalan ini terutama karena tentara Islâm terlalu yakin
pada jumlah dan perlengkapannya.
"… yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu,
maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu
sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu
lari ke belakang dan bercerai-berai." (TQS. at-Taubah [9]: 25).

1621 M

Banyak penulis Eropa yang meramalkan semakin dekatnya


kemunculan al-Masih untuk kedua kalinya dan kembalinya bangsa Yahûdi
ke Palestina. Di antaranya adalah Sir Henry Fish, penulis Inggris yang
menulis buku dalam edisi ‘Arabnya berjudul ‘Audah al-Yahûd (Kembalinya
orang-orang Yahûdi) pada tahun 1621. Di dalam buku tersebut, tahun
1661 diramalkan sebagai tahun kemunculan al-Masih. Kemudian disusul
buku karya seorang opsir Inggris bernama Broozerz yang terbit tahun
1774. di dalam buku tersebut sang penulis mengatakan bahwa tahun 1795
akan menjadi saksi kemunculan al-Masih sang Juru Selamat dan ia akan
mengajar orang-orang Yahûdi kembali ke Palestina, bahkan ia
menganggap orang-orang Inggris sebagai keturunan salah satu suku
Yahûdi.
28
1798 M
Napoleon berpendapat bahwa bangsa Yahûdi bisa diperalat bagi
tujuan-tujuan Perancis di Timur Tengah. Wilayah itu secara resmi masih di
bawah Khilâfah. Pada tahun ini juga Napoleon mengambil alih Mesir dan
membawa masuk kebudayaan Perancis.

1801 M
Napoleon ditundukkan di ‘Akka (Palestina). Napoleon dikalahkan di
Iskandariah dalam pertempuran laut Abû Qir. Kemudian terjadinya
perjanjian damai Khilâfah Utsmâniyyah dengan Perancis.

1831 M
Untuk mendukung strategi ‘devide et impera’ Perancis mendukung
gerakan nasionalisme ‘Arab, yakni Muhammad Ali di Mesir dan Pasya
Basyir di Libanon. Khilâfah mulai lemah dirongrong oleh semangat
nasionalisme yang menular begitu cepat di tanah ‘Arab.

1832 M
Lord Montvieri seorang politikus besar Inggris menawarkan kepada
Muhammad Ali Pasha sebuah proyek kolonisasi, yakni menyewakan dua
ratus kampung di Palestina selama lima puluh tahun. Akan tetapi proyek
ini gagal karena intervensi beberapa negara besar yang memaksa
Muhammad Ali Pasha menarik tentaranya dari Suriah dan Palestina.
Setelah gagalnya proyek tersebut, Lord Palmerston; Menteri Luar Negeri
Inggris dan juga Perdana Menteri Inggris yang sangat ambisius
mengembalikan Yahûdi ke Palestina, pada tahun 1865 melayangkan surat
kepada Duta Inggris untuk Khilâfah Turki Utsmâni, agar ia meminta
rekomendasi Sulthân mendukung hijrah Yahûdi ke Palestina, surat
29
rekomendasi tersebut dimaksudkan sebagai benteng pertahanan di
hadapan Muhammad Ali Pasha dan para penggantinya.
Pembubaran kantor Konsulat Inggris di al-Quds pada tahun 1840
merupakan izin bagi intervensi Inggris dalam urusan dalam negeri Khilâfah
Turki Utsmâni demi kepentingan Yahûdi. Dalam surat Menteri Luar Negeri
Inggris kepada Konsulat Inggris tertulis perintah agar “Jadilah kalian
pelindung orang-orang Yahûdi secara umum”. Pada saat itu jumlah
imigran Yahûdi yang ada di Palestina tidak lebih dari sembilan ribu jiwa
sesuai laporan konsulat. Setelah dibubarkannya Konsulat Inggris di al-
Quds ini, di Inggris pada tahun 1844 berdiri ‘Persatuan Warga Asing di
Inggris’ yang merangkul sejumlah Yahûdi asing. Perkumpulan ini didirikan
untuk memulangkan orang-orang Yahûdi ke Palestina di bawah
perlindungan Inggris.

1835 M
Sekelompok Yahûdi membeli tanah di Palestina, dan lalu mendirikan
sekolah Yahûdi pertama di sana. Sponsornya adalah milyuder Yahûdi di
Inggris, Sir Moshe Monteveury, seorang anggota Freemasonry. Ini adalah
pertama kalinya sekolah berkurikulum asing di wilayah Khilâfah.

1838 M
Inggris membuka konsulat di Yerusalem yang merupakan perwakilan
Eropa pertama di Palestina.

1840 M

Lord Gosch, seorang Yahûdi yang menjadi Duta Besar Inggris di


Istambul, pada tanggal 11 Agustus 1840 menulis surat kepada Sulthân

30
dan pemerintahan Turki Utsmâni untuk menjadikan Jil’ad dan Muab yang
terletak di Yordania dan luasnya sekitar 600.000 hektar sebagai koloni
otonom bagi orang-orang Yahûdi dengan kompensasi mereka membayar
kepada Sulthân beberapa juta Frank.

Lord Shavetsiery (1801-1885), seorang Inggris pendukung setia


gerakan Zionisme, pada Konfrensi London 1840 mengusulkan proyek
kepada Palmerston untuk mendudukkan Yahûdi di Palestina. Shavetsiery
percaya bahwa pembentukan negara Yahûdi di Palestina adalah tindakan
yang mempercepat datangnya al-Masih untuk kedua kalinya ke Bumi
sebagai bentuk realisasi ramalan Taurat.

Seorang Pendeta Bradshow pada tahun 1844 mengusulkan kepada


Parlemen dan gereja Inggris agar menyumbangkan masing-masing 4 juta
dan 2 juta Poundsterling bagi proyek Zionisme. Ketua Parlemen Inggris
yang juga seorang pendeta bernama Toly Kraebak menegaskan di dalam
Parlemen Inggris bahwa Palestina yang diperuntukkan bagi orang-orang
Yahûdi mencakup wilayah yang terbentang dari sungai Eufrat sampai
sungai Nil dan dari Laut Tengah sampai Gurun ‘Arab.

Hal senada juga diserukan oleh para Sastrawan Inggris seperti penyair
Byron, Novelis Walter Scott dan George Albert, melalui media sastra
mereka menyerukan kembalinya Yahûdi ke Palestina. Di antara penyeru
gagasan ini adalah seorang agamawan merangkap anggota Parlemen
Inggris dan Jurnalis bernama Lawrence Olivant (1829-1888), ia
menyerukan agar mengusir orang-orang ‘Arab sebagaimana yang dialami
orang-orang Indian di Amerika. Hal yang serupa juga dilakukan Pendeta
Wiliam Hasler (1845-1931) yang sangat mendukung proyek Zionisme
31
hingga ia menggalang dana dari berbagai donatur demi keberhasilan
proyek tersebut. Pada tahun 1892, pemerintah Inggris mengutus Wiliam
Hasler ke Istambul menemui Sulthân Abdul Hamîd, Khalîfah Turki
Ustmâni, untuk meyakinkannya mengenai masalah pendudukan Yahûdi di
Palestina.

1849 M
Kampanye mendorong imigrasi orang Yahûdi ke Palestina. Pada masa
itu jumlah Yahûdi di Palestina baru sekitar 12.000 orang. Pada tahun 1948
jumlahnya menjadi 716.700 dan pada tahun 1964 sudah hampir 3 juta
orang.

1854 M
Beberapa penulis non-Yahûdi di Inggris menerbitkan buku yang
menggagas proyek Zionisme di Palestina seperti buku yang dalam bahasa
‘Arabnya berjudul ‘Isti’mâr al-Falisthîn ‘an Tharîq al-Yahûd’ (Penjajahan
Palestina oleh Yahûdi) karya Kolonel Mitford. Kemudian disusul buku lain
yang dalam edisi ‘Arabnya berjudul ‘Isti’mâr al-Yahûd al-Munazhzham’
(Imperialisme Yahûdi yang Terorganisir) karya Kolonel Golz. Pada tahun
1877 terbit juga sebuah buku yang dalam edisi ‘Arabnya berjudul ‘An-
Nuzûh ilâ Falisthîn’ (Hijrah ke Palestina) atau ‘Jam’ Syumûl Isrâil al-
Musyarrodah’ (Mengumpulkan orang-orang Israel yang Tercecer) karya
Jemes Till. Di dalam buku tersebut, penulis Inggris ini menulis,
“Pendudukan Palestina oleh bangsa Yahûdi kemungkinan besar akan
berhasil sebagaimana pendudukan Amerika Utara oleh bangsa Inggris”, ia
menyarankan agar orang-orang Yahûdi memenfaatkan keberhasilan
kolonisasi Inggris di Timur Tengah.

32
1860 M
Perancis mengambil alih Syiria untuk menolong kaum Nashrâni.

1865 M

Para penyeru Zionisme Kristiani di Inggris mendirikan ‘Lembaga


Penelusuran Palestina’ yang didirikan di London di bawah asuhan Ratu
Victoria dan diketuai Kepala Uskup Canterbury, Uskup Agung Inggris.
Pendirian lembaga ini semakin menambah perhatian terhadap proyek
Yahûdi di Palestina, melalui studi-studi yang dilakukan oleh para ahli
arkeologi, sejarah, geologi dan agamawan. Tujuannya adalah untuk
menemukan tanah yang dijanjikan berikut batas-batasnya sesuai dengan
apa yang ada di dalam Taurat.

1876 M
Melalui gagasan Midhat Pashâ; Perdana Menteri Utsmâni, Khilâfah
Berhasil Diperangkap untuk menetapkan Qonûn Asâsi
1876, sebuat Konstitusi atau UUD Sekuler yang disusun
berdasarkan konsep sistem demokrasi dan terdiri dari
hukum-hukum kûfur yang bertentangan dengan Islâm.
Bisa ditebak, penerapan konstitusi ini pasti akan
berujung pada penghapusan Khilâfah.

1878 M

William Blackstone (1841-1935) seorang agamawan, pengarang dan


petualang kaya raya yang selalu menekan pihak-pihak penentu kebijakan
Amerika demi kepentingan Zionis Yahûdi. Ia menerbitkan karya
pertamanya yang berjudul ‘Jesus is Coming’ yang diterjemahkan ke dalam

33
48 bahasa termasuk ‘Arab. Karya yang dicetak berulang kali dan terjual
jutaan copy merupakan buku paling populer di abad ke-19, di antara
gagasan utamanya adalah “Perebutan kembali tanah Kana’an oleh
bangsa Yahûdi untuk selamanya”. Di dalam bukunya yang terbit tahun
1908, Blackstone menyatakan bahwa kepulangan Yahûdi ke Palestina
adalah pertanda datangnya akhir zaman. Atas jasanya ini, gerakan
Zionisme kontemporer menganggap blackstone sebagai pahlawan
terhebat yang berjuang demi cita-cita Zionisme.

1882 M
Imigrasi besar-besaran orang Yahûdi ke Palestina yang berselubung
agama, simpati dan kemanusiaan bagi penderitaan Yahûdi di Eropa saat
itu.
Kelompok Yahûdi Dunâmah yang dibentuk oleh Syabtay Zivi
melancarkan operasi untuk memuluskan rencana Banî Israel kembali ke
Palestina. Kelompok inilah yang memiliki andil besar dalam
menghancurkan nilai-nilai Islâm di tengah masyarakat dengan
menyebarkan pemikiran kufur, freemasonry, menyerukan free sex, dan
menggunakan Organisasi Persatuan
dan Pembangunan (Ittihâd wat
Tarâqîy) untuk menyerang
Kekhilâfahan. Merekalah kelompok
yang sangat memusuhi Sulthân
Abdul Hamîd II dan berusaha
menyingkirkannya. Orang-orang Yahûdi Dunâmah ini dianggap sebagai
kelompok pertama dan pondasi bagi gerakan Yahûdi Internasional.

34
1890 M
Kekuatan lobi Yahûdi mulai bermain keras merongrong daulah
Khilâfah, dengan membangkitkan gerakan-gerakan anti Sulthân Abdul
Hamîd II, di antaranya dengan pendirian Ittihâd wat Tarâqîy dan Fatat at-
Turk pada tahun 1890; suatu gerakan organisasi pemuda-pemuda Turki
yang telah didoktrin dengan faham sekular di bawah asuhan dan
bimbingan Gerakan Freemasonry di Turki, partai ini banyak digerakkan
oleh mahasiswa Akademi Ketentaraan dan Kedokteran Tentara, mereka
banyak melakukan gerakan rahasia untuk menjatuhkan kekuasaan
Sulthân Abdul Hamîd II dari dalam terutama dari garis tengah tentara.
Jelas agenda utamanya adalah menentang dan melakukan
pemberontakan atas Sulthân Abdul Hamîd II. Bahkan Ittihâd wat Tarâqîy
dengan lantang mengatakan akan memimpin Turki dengan idoleogi
Revolusi Perancis yang berdasarkan liberte, egalite dan fraternite.
Peristiwa ini lebih dikenali dengan peristiwa 13 Mac. Namun pada tahun
1897, gerakan ini terbongkar dan Sulthân memerintahkan
pembubarannya.

1891 M
Para penduduk Palestina mengirim petisi ke Khalîfah, menuntut
dilarangnya imigrasi besar-besaran
ras Yahûdi ke Palestina. Sayang
saat itu Khilâfah sudah mulai ‘sakit-
sakitan’ (dijuluki ‘the sick man at
Bosporus’). Dekadensi pemikiran
meluas, walau Sulthân Abdul Hamîd

35
sempat membuat terobosan dengan memodernisir infrastruktur, termasuk
memulai proyek pembangunan jalur kereta api dari Damaskus ke Madînah
via Palestina. Namun Sulthân tetap berusaha untuk tegar, dalam segala
kondisinya yang semakin sulit.

1892 M
Sekelompok Yahûdi Rusia mengajukan permohonan kepada Sulthân
Abdul Hamîd II, untuk mendapatkan ijin tinggal di Palestina. Permohonan
itu dijawab Sulthân dengan ucapan “Pemerintah Utsmâniyyah
memberitahukan kepada segenap kaum Yahûdi yang ingin hijrah ke Turki,
bahwa mereka tidak akan diijinkan menetap di Palestina”, mendengar
jawaban seperti itu kaum Yahûdi terpukul berat, sehingga duta besar
Amerika turut campur tangan.

1896 M
Theodor Hertzl, penulis Der Judenstaat (Negara Yahûdi), founder
negara Israel sekarang, pada tahun 1896 memberanikan diri menemui
Sulthân Abdul Hamîd untuk meminta ijin mendirikan gedung di al-Quds.
Permohonan itu dijawab Sulthân “Sesungguhnya Kekhilâfahan Utsmâni ini
adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu.
Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.

1897 M, 29–31 Agustus


Melihat keteguhan Sulthân, mereka kemudian membuat strategi ketiga,
yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29–31 Agustus 1897
dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilâfah
Utsmâniyyah.

36
1897 M
Setelah munculnya pogrom di Rusia, paham anti-semit di kawasan
Eropa Timur dan Tengah, dan juga kematian Alfred Dreyfus (Kapten
Tentara Prancis beragama Yahûdi) karena tuduhan menjadi
mata-mata musuh, gerakan nasionalisme Yahûdi muncul di
kalangan Yahûdi Eropa Gerakan ini lazim disebut dengan
Zionisme, yang ditemukan dan dipopulerkan oleh seorang
jurnalis Yahûdi berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl (Ketua
Zionisme Internasional dan Anggota Tertinggi Freemasonry), melalui buku
berjudul Der Judenstaat. Herzl menganggap, dengan adanya diskriminasi
berkepanjangan terhadap warga Yahûdi di hampir seluruh wilayah Eropa,
maka asimilasi bukan lagi menjadi pilihan bagi Yahûdi apabila mereka
ingin tetap hidup.
Lalu pada tahun 1897 Herzl menggelar kongres Zionis sedunia di
Basel Swiss. Peserta Kongres I Zionis mengeluarkan
resolusi, bahwa umat Yahûdi tidaklah sekedar umat
beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat
untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam
resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi umat
Yahûdi (walaupun secara rahasia) pada 'tanah yang
bersejarah bagi mereka'. Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan tanah
protektorat Uganda atau di Amerika Latin. Di kongres itu, Herzl menyebut
Zionisme adalah jawaban bagi ‘diskriminasi dan penindasan’ atas umat
Yahûdi yang telah berlangsung ratusan tahun. Pergerakan ini mengenang
kembali bahwa nasib umat Yahûdi hanya bisa diselesaikan di tangan umat
Yahûdi sendiri. Zionisme telah berhasil membangkitkan nasionalisme
37
Yahûdi yang berada di Eropa, sehingga mewujudkan terjadinya Aliyah
dalam beberapa gelombang. Di depan kongres, Herzl berkata, "Dalam 50
tahun akan ada negara Yahûdi!". Apa yang direncanakan Herzl menjadi
kenyataan pada tahun 1948.

1900 – 1901 M
Karena gencarnya aktivitas Yahûdi Zionis akhirnya Sulthân pada tahun
1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah
Yahûdi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, paspor
Yahûdi harus diserahkan kepada petugas Khilâfah terkait. Dan pada tahun
1901 Sulthân mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah
kepada Yahûdi di Palestina.

1902 M
Pada tahun 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya
menghadap Sulthân Abdul Hamîd untuk melakukan
risywah (menyogok). Di antara risywah yang
disodorkan Hertzl kepada Sulthân adalah :
1. 150 juta poundsterling Inggris khusus untuk
Sulthân,
2. Membayar semua hutang pemerintah
Utsmâniyyah yang mencapai 33 juta
poundsterling Inggris,
3. Membangun kapal induk untuk pemerintah, dengan biaya 120 juta
Frank,
4. Memberi pinjaman 5 juta poundsterling atau 35 juta lira emas tanpa
bunga,

38
5. Membangun Universitas Utsmâniyyah di Palestina.
Semuanya ditolak Sulthân, bahkan Sulthân tidak bersedia menerima
langsung kedatangan Hertzl, melainkan diwakilkan kepada Tahsin Basya,
perdana menterinya, sambil Sulthân mengirim pesan, “Nasihati Mr Hertzl
agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan
walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah
itu adalah hak umat Islâm. Umat Islâm telah berjihâd demi kepentingan
tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahûdi
silahkan menyimpan harta mereka. Jika Khilâfah Utsmâniyah
dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina
tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku
lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah
Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilâfah Islâmiyyah. Perpisahan
adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai
pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup”.
Sejak saat itu kaum Yahûdi dengan Zionisme semakin gencar
melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sulthân. Dengan
menggunakan jargon-jargon ‘liberation’, ‘freedom’, dan sebagainya,
mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamîd II sebagai ‘Hamîdian
Absolutism’, dan sebagainya.
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku
dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa?
Aku adalah Khalîfah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku
adalah di sini. Di Istanbul!” Tulis Sulthân Abdul Hamîd dalam catatan
hariannya.

39
1902 M, 4–9 Februari
Di Perancis dilaksanakan konferensi besar dengan agenda
meruntuhkan Utsmâni. Konferensi ini digerakkan oleh Ittihâd wat Tarâqîy
yang sudah dinyatakan terlarang. Hasil dari konferensi tersebut, mereka
meminta agar Negara-negara Eropa terlibat secara aktif untuk mengakhiri
dan menyingkirkan Sulthân Abdul Hamîd II dari Daulah Turki. Bahkan
mereka menyatakan telah menguasai sebagian besar kekuatan
ketentaraan dalam Daulah Turki, termasuk pimpinan tertinggi ketentaraan,
Mustafa Kamal Affandi.
Sebuah aksi massa meledak dan menuntut penggulingan Sulthân
Abdul Hamîd II, Pemuda-pemuda Turki yang berangkat ke Eropa saat itu,
sebagaimana diberitahu oleh Sulthân Abdul Hamîd II, mereka mempelajari
semua hal tentang Revolusi Perancis, kecuali satu hal yaitu siapa di
belakang Revolusi Perancis itu tidak dikaji. Lalu pemuda-pemuda sekuler
Turki ini pulang ke Turki dan bergabung dengan segala pergerakan yang
bertujuan untuk meruntuhkan Turki Utsmâni.

1909 M, 27 April
Malam itu, 27 April 1909 Sulthân Abdul Hamîd dan keluarganya
kedatangan beberapa orang tamu tak diundang. Kedatangan mereka ke
Istana Yildiz menjadi catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan.
Mereka mengatasnamakan perwakilan 240 anggota Parlemen
Utsmâniyyah [di bawah tekanan dari Turki Muda] yang setuju
penggulingan Abdul Hamîd II dari kekuasaannya. Senator Sheikh Hamdi
Affandi Mali mengeluarkan fatwa tentang penggulingan tersebut, dan
akhirnya disetujui oleh anggota senat yang lain. Fatwa tersebut terlihat

40
sangat aneh dan setiap orang pasti mengetahui track record perjuangan
Abdul Hamîd II bahwa fatwa tersebut bertentangan dengan realitas di
lapangan.
Keempat utusan itu adalah Emmanuel Carasso; seorang Yahûdi warga
Italia dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di Parlemen Utsmâniyyah
(Meclis-i Mebusan). Turut bersamanya melangkah masuk ke istana Yildiz
adalah Aram Efendi (wakil rakyat Armenia), Laz Arif Hikmet Pasha
(anggota Dewan Senat yang juga panglima militer Utsmâniyyah), serta
Arnavut Esat Toptani (wakil rakyat daerah Daraj di Meclis-i Mebusan).
“Bukankah jam-jam seperti ini adalah waktu dimana aku harus
menunaikan kewajibanku terhadap keluarga. Tidak bisakah kalian
bicarakan masalah ini besok pagi?” Sulthân Abdul Hamîd tidak leluasa
menerima kedatangan mereka yang kelihatannya begitu tiba-tiba dan
mendesak. Tidak ada simpati di raut wajah mereka.
“Negara telah memecat Anda!” Esat Pasha memberitahu
kedatangannya dengan nada angkuh. Kemudian satu persatu wajah
anggota rombongan itu diperhatikan dengan seksama oleh Sulthân.
“Negara telah memecatku, itu tidak masalah,…. tapi kenapa kalian
membawa serta Yahûdi ini masuk ke tempatku?” Spontan Sulthân marah
besar sambil menundingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.
Sulthân Abdul Hamîd memang kenal benar siapa Emmanuel Carasso
itu. Dialah yang bersekongkol bersama Theodor Herzl ketika ingin
mendapatkan izin menempatkan Yahûdi di Palestina. Mereka
menawarkan pembelian ladang milik Sulthân Abdul Hamîd di Sancak
Palestina sebagai tempat pemukiman Yahûdi di Tanah Suci itu. Sulthân

41
Abdul Hamîd menolaknya dengan tegas, termasuk alternatif mereka yang
mau menyewa tanah itu selama 99 tahun.
Pendirian tegas Sulthân Abdul Hamîd untuk tidak mengizinkan Yahûdi
bermukim di Palestina, telah menyebabkan Yahûdi sedunia mengamuk.
Harganya terlalu mahal. Sulthân Abdul Hamîd kehilangan takhta, dan
Khilâfah disembelih agar tamat riwayatnya.
Jelas terlihat bahwa saat tersebut adalah saat pembalasan paling
dinanti oleh Yahûdi, di mana Abdul Hamîd II yang telah menolak menjual
Palestina pada mereka, telah mereka tunjukkan di depan muka Abdul
Hamîd II sendiri bahwa mereka turut ambil bagian dalam penggulingannya
dari kekuasaan. Mendung menggelayuti wajah Abdul Hamîd II dan wajah
Khilâfah Islâmiyyah.
“Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu, siapakah sebenarnya yang
memilih mereka ini untuk menyampaikan berita penggulinganku malam
itu”. Sulthân Abdul Hamîd meluapkan derita hatinya di dalam catatan
hariannya.
Rencana menggulingkan Sulthân sebenarnya sudah disiapkan lama
sebelum malam itu. Beberapa Jumat belakangan waktu itu, nama Sulthân
sudah tidak disebut lagi di dalam khutbah-khutbah.
“Walaupun Anda dipecat, kelangsungan hidup Anda berada dalam
jaminan kami”. Esat Pasha menyambung pembicaraan.
Sulthân Abdul Hamîd memandang wajah puteranya Abdul Rahîm,
serta puterinya yang terpaksa menyaksikan pengkhianatan terhadap
dirinya. Malang sungguh anak-anak ini terpaksa menyaksikan kejadian
yang memilukan malam itu.

42
“Bawa adik-adikmu ke dalam”. Sulthân Abdul Hamîd menyuruhh ‘Amîr
Abdul Rahîm membawa adik-adiknya ke dalam kamar.
“Aku tidak membantah keputusanmu. Cuma satu hal yang kuharapkan.
Izinkanlah aku bersama keluargaku tinggal di istana Caragan. Anak-
anakku banyak. Mereka masih kecil dan aku sebagai ayah perlu
menyekolahkan mereka”. Sulthân Abdul Hamîd meminta pertimbangan.
Sulthân sadar akan tidak ada gunanya membantah keputusan yang
dibawa rombongan itu. Itulah kerisauan terakhir Sulthân Abdul Hamîd.
Membayangkan masa depan anak-anaknya yang banyak, sembilan laki-
laki dan tujuh perempuan.
Permintaan Sulthân Abdul Hamîd ditolak mentah-mentah oleh keempat
orang itu. Malam itu juga, Sulthân bersama para anggota keluarganya
dengan hanya mengenakan pakaian yang menempel di badan diangkut di
tengah gelap gulita menuju ke Stasiun kereta api Sirkeci. Mereka digusur
pergi meninggalkan bumi Khilâfah, ke istana kumuh milik Yahûdi di
Salonika, tempat pengasingan negara sebelum seluruh Khalîfah
dimusnahkan di tangan musuh Allâh.
Khalîfah terakhir umat Islâm, dan keluarganya itu dibuang ke Salonika,
Yunani. Angin lesu bertiup bersama gerimis salju di malam itu. Pohon-
pohon yang tinggal rangka, seakan turut sedih mengiringi tragedi
memilukan itu.
Di Eminonu, terlihat Galata di seberang teluk sedih. Bukit itu pernah
menyaksikan kegemilangan Sulthân Muhammad al-Fatih dan tentaranya
yang telah menarik 70 kapal menyeberangi bukit itu dalam tempo satu
malam. Mereka menerobos teluk Bosphorus yang telah dirantai pintu

43
masuknya oleh Kaisar Constantinople. Sejarah itu sejarah gemilang, tak
akan pernah hilang.
Terhadap peristiwa pemecatannya, Sulthân Abdul Hamîd II
mengungkap kegundahan hatinya yang dituangkan dalam surat kepada
salah seorang gurunya Syekh Mahmud Abû Shamad yang berbunyi:
“…Saya meninggalkan Kekhalîfahan bukan karena suatu sebab
tertentu, melainkan karena tipu daya dengan berbagai tekanan dan
ancaman dari para tokoh Organisasi Persatuan yang dikenal dengan
sebutan Cun Turk (Jeune Turk), sehingga dengan berat hati dan terpaksa
saya meninggalkan Kekhalîfahan itu. Sebelumnya, organisasi ini telah
mendesak saya berulang-ulang agar menyetujui dibentuknya sebuah
negara nasional bagi bangsa Yahûdi di Palestina. Saya tetap tidak
menyetujui permohonan beruntun dan bertubi-tubi yang memalukan
ini. Akhirnya mereka menjanjikan uang sebesar 150 juta pounsterling
emas.
Saya tetap dengan tegas menolak tawaran itu. Saya menjawab
dengan mengatakan, “Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi
bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku
hidup mengabdi kepada kaum Muslimîn dan kepada Islâm itu sendiri. Aku
tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islâm yang telah dirintis oleh
nenek moyangku, para Sulthân dan Khalîfah Utsmâniyyah. Sekali lagi aku
tidak akan menerima tawaran kalian.”
Setelah mendengar dan mengetahui sikap dari jawaban saya itu,
mereka dengan kekuatan gerakan rahasianya memaksa saya
menanggalkan Kekhalîfahan, dan mengancam akan mengasingkan

44
saya di Salonika. Maka terpaksa saya menerima keputusan itu daripada
menyetujui permintaan mereka.
Saya banyak bersyukur kepada Allâh, karena saya menolak untuk
mencoreng Daulah Utsmâniyyah dan dunia Islâm pada umumnya dengan
noda abadi yang diakibatkan oleh berdirinya negeri Yahûdi di tanah
Palestina. Biarlah semua berlalu. Saya tidak bosan-bosan mengulang rasa
syukur kepada Allâh Ta’ala, yang telah menyelamatkan kita dari aib besar
itu.
Saya rasa cukup di sini apa yang perlu saya sampaikan dan sudilah
Anda dan segenap ikhwan menerima salam hormat saya. Guruku yang
mulia, mungkin sudah terlalu banyak yang saya sampaikan. Harapan
saya, semoga Anda beserta jama’ah yang anda bina bisa memaklumi
semua itu.
Wassalâmu’alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.
22 September 1909
Pelayan Kaum Muslimîn
(Abdul Hamîd bin Abdul Majîd)
Deru langkah tentara kedengaran melangkah menuju istana. Meriam
ditembakkan sebagai tanda Sulthân Mehmed V dinobatkan menjadi
penguasa Utsmâniyyah. Resmilah malam itu Sulthân Mehmed V menjadi
Khalîfah ke 99 umat Islâm terhitung sejak Abu Bakr al-Siddiq ra. Tetapi
Khalîfah yang satu ini sudah tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Hanya
boneka pengumpan yang akan mempercepat pemberontakan untuk
pembubaran Khilâfah Utsmâniyyah.

45
“Entahlah, di saat hidup dan matiku tidak menentu, aku merasa begitu
tenang dan aman. Seperti sebuah gunung besar yang selama ini
mengendap di dadaku, ketika diangkat terasa lega!” keluh Sulthân Abdul
Hamîd.
Sulthân Abdul Hamîd mengusap kepala
anaknya Abdul Rahîm yang menangis
ketakutan. Anak-anaknya yang lain turut
menangis. Perjalanan dari Sirkeci Istanbul
menuju ke Salonika Yunani penuh misteri.
“Sabarlah anak-anakku. Jika Allâh
mengkehendaki kematian bagi kita,
bukankah kematian itu kesudahan untuk
semua”. Sulthân Abdul Hamîd memberi motivasi kepada seluruh
kerabatnya saat kereta api tengah meluncur laju. Bumi Khilâfah
ditinggalkan di belakang. Sejarah kegemilangan 600 tahun Banî Utsmânî,
berakhir malam itu, balutan hitam yang mustahil untuk diputihkan kembali.
Di tengah suasana malam yang sejuk, Sulthân Abdul Hamîd II
melonjorkan kakinya di atas bangku kereta api sambil dipijit-pijit oleh
anaknya Fatimah.
“Sabarlah anakku, negara tidak tahu apa yang telah mereka lakukan
kepada umat Muhammad ini”. Sulthân mengusap wajahnya yang
berlinangan air mata.
Terlalu lama Sulthân dan keluarganya dikurung di istana kumuh milik
Yahûdi itu. Mereka dikurung dalam kamar tanpa perabotan sama sekali.
Pintu dan jendela dilarang dibuka. Hari demi hari, adalah penantian
kematian sebelum mati bagi Sulthân dan keluarganya. Akhirnya pada
46
tahun 1912, Sulthân Abdul Hamîd dipulangkan ke Istanbul, akan tetapi
anak-anaknya dipisah-pisahkan, bercerai berai, dibuang ke Perancis
menjadi pengemis yang hidup terlunta-lunta di emperan jalan.
Kondisi di pembuangan Salonika atau di istana tua Beylerbeyi Istanbul
sama saja bahkan lebih parah. Sulthân dan beberapa anggota
keluarganya yang tersisa tidak dibenarkan keluar sama sekali walau
sekedar pergi ke perkarangan istana kecuali untuk shalât Jum’at di luar
istana, tentunya dengan penjagaan yang super ketat. Makanan untuk
Sulthân dan putera puterinya ditakar sedemikian rupa, dengan kualitas
makanan yang sangat rendah bahkan seluruh hartanya dirampas habis
oleh tentara Attaturk.
Hari-hari yang dilalui Sulthân dalam pembuangan dan pengasingan
sangat menyedihkan. Dia dan keluarganya selalu diancam akan dibunuh,
istana tua itu akan diledakkan. Pada suatu pagi selesai shalât Subuh,
Sulthân memanggil puteranya, Abdul Rahmân, dialah ahli waris terpenting
setelah ketiadaan Sulthân nanti. “Kita akan berikan semua harta kita
kepada pihak tentara karena mereka memaksa kita menyerahkannya”.
Keluh Sulthân kepada Abdul Rahmân dengan nada sedih.
Puteranya itu menangis terisak hebat. Dia menjadi amat takut dengan
para tentara yang bengis itu. Beberapa hari kemudian di lobi Deutche
Bank, Istanbul, terjadi serah terima secara paksa semua harta Sulthân,
termasuk seluruh tabungan Sulthân kepada pihak tentara.
Sulthân tinggal di istana tua sebagai penjara di Beylerbeyi selama 6
tahun dalam kondisi yang sangat memperihatinkan. Tubuh kurus kering
dan mengidap penyakit paru yang akut. Sulthân benar-benar diisolasi dari
dunia luar, sampai-sampai untuk mengobati penyakit saja dipersulit.
47
“Maafkan saya, Tuanku. Mereka tidak
mengijinkan saya untuk hadir lebih awal”,
dokter yang merawat Sulthân Abdul Hamîd
sambil berbisik. Nafas Sulthân Abdul
Hamîd turun naik. Penyakit asmanya
semakin serius. Dokter sudah tidak dapat
berbuat apa-apa lagi.
Sulthân Abdul Hamîd II menghembuskan nafas terakhir dalam penjara
Beylerbeyi pada 10 Februari 1918. Kepergiannya diratapi seluruh
penduduk Istanbul karena mereka sudah sadar. Berkat kebodohan
mereka membiarkan Khilâfah Utsmâniyyah dilumpuhkan setelah
pencopotan jabatan Khilâfahnya, 10 tahun yang lalu. Menangislah… tiada
sejarah yang mampu memadamkan penyesalan itu. Wa…Islâma!!!

1914 M
Khilâfah Turki Utsmânî memasuki masa Perang Dunia I sebagai
sekutu penguasa tengah. Kaum Muslimîn mengalami kekalahan dalam
beberapa peperangan dan wilayah Khilâfah menyempit. Inggris merampas
Palestina dan Trans-Jordan.

1916 M, 16 Mei
Perjanjian rahasia Sykes–Picot oleh sekutu (Inggris, Perancis, dan
Rusia) dibuat saat meletusnya Perang Dunia I, untuk mencengkeram
wilayah-wilayah ‘Arab dan Khalîfah Utsmâniyyah dan membagi-bagi di
antara mereka. PD I berakhir dengan kemenangan sekutu, Inggris
mendapat kontrol atas Palestina. Di PD I ini, Yahûdi Jerman berkomplot

48
dengan Sekutu untuk
tujuan mereka sendiri
guna memiliki pengaruh
atau kekuasaan yang lebih
besar.

1917 M
Menteri Luar Negeri Inggris keturunan Yahûdi, Arthur James Balfour,
dalam deklarasi Balfour pada tanggal 02 November 1917 menyampaikan
surat pemberitahuan kepada pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild,
untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Surat itu menyatakan posisi
yang disetujui oleh rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa
pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk
memperkokoh pemukiman Yahûdi di Palestina dan membantu
pembentukan ‘tanah air’ bagi Yahûdi di Palestina. Inilah inti kesepakatan
pejanjian Balfour yang dijadikan landasan legalitas keberadaan orang
Yahûdi mencaplok Palestina bahkan mengusir warga Palestina dari tanah
air mereka.
Pasca Sykes-Picot Agreement dan seiring kemenangannya dalam
Perang Dunia I, Dewan Sekutu memutuskan untuk membuat konferensi
yang diadakan di San Remo Italia, konferensi ini menghasilkan keputusan
yang memberikan wilayah Palestina dan Irak kepada Inggris pada 11
Desember 1917, sedangkan Prancis mendapatkan Suriah dan Libanon.
Keputusan ini mengikutsertakan Balfour Declaration sebagai salah satu
landasan dibuatnya alokasi wilayah tersebut, di samping Pasal 22 dari
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa menggunakan hasil

49
dari Konferensi San Remo untuk membuat British Mandate of Palestine
pada tahun 1920, yang menjadikan wilayah Palestina sebagai wilayah
mandat yang akan dikelola oleh Inggris.

1918 M
Setelah Perang Dunia Pertama usai (1914–1918), Inggris dan Perancis
berhasil menguasai wilayah Syam, Jazîrah ‘Arab dan Irak dari kekuasaan
Khilâfah Turki Utsmânî. Tentara pasukan Inggris datang penuh semangat
setelah mendengarkan seruan seniornya, Gladiston yang mengatakan
dengan congkak: “Wajib bagi kalian semua untuk melenyapkan al-Qur’ân”.
Ketika memasuki al-Quds, Pimpinan tentara Inggris Jenderal Lord
Edmund Allenby mengatakan; “Baru Sekarang Perang Salib Selesai”.
Sedangkan setelah Perancis merebut Syiria dari Turki Utsmânî, seorang
pembesar Perancis Jenderal Gouroud / Geraud (Ghoro) ketika memasuki
Masjid Umayyad di Damaskus–Syiria guna mendatangi maqâm
Shalâhuddîn al-Ayyûbi, sambil menginjak dan menendangi maqâm ia
berteriak lantang penuh sesumbar kepongahan; “Bangunlah hai
Shalâhuddîn!, Ini Kami datang untuk kedua kalinya!”.

1922 M, 20 Nopember
Selama perundingan dalam Perjanjian Lausanne, Menteri Luar negeri
Inggris, Lord Curzon menetapkan beberapa syarat dan kondisi agar Turki
dapat diberi kemerdekaan setelah kekalahannya dalam Perang Dunia I;
yaitu (1) Penghapusan sistem Khilâfah, (2) Pengusiran Khalîfah dari Turki,
(3) Penyitaan semua kekayaan Khalîfah, dan (4) Pengadopsian sistem
sekuler bagi negara Turki yang baru.

50
1924 M, 03 Maret
Majelis Nasional Agung yang berada di Turki menyetujui tiga buah
Undang-undang yaitu: (1) menghapuskan Kekhilâfahan, (2) menurunkan
Khalîfah dan (3) mengasingkannya bersama-sama dengan keluarganya.
Menanggapi kritik dan protes parlemen Inggris atas pemberian
kemerdekaan atas Turki, Lord Curzon
memberikan jawaban; “Persoalan yang utama
adalah bahwa Turki telah dihancurkan dan tidak
akan pernah bangkit lagi, karena kita telah
menghancurkan kekuatan spiritual mereka, yaitu
Khilâfah dan Islâm”.

1920 – 1929 M
Sekitar 100.000 orang Yahûdi pindah ke Palestina Jika kita
merenungkan bahwa ada 750.000 orang Palestina pada saat itu, maka
100.000 pasti bukanlah jumlah kecil. Dalam kurun waktu hampir 30 tahun
selama pemerintahan Mandat Inggris, telah terjadi beberapa bentrokan di
antara bangsa ‘Arab dan Yahûdi yang berada di wilayah Palestina, antara
lain Palestine Riots 1920, Palestine Riots 1929, ‘Arab Revolt 1936–1939,
dan Jerusalem Riots 1947.

1938 M
Nazi Jerman menganggap bahwa pengkhianatan Yahûdi Jerman
adalah biang keladi kekalahan mereka pada PD I yang telah
menghancurkan ekonomi Jerman. Maka mereka perlu ‘penyelesaian
terakhir’ (endivsung). Ratusan ribu keturunan Yahûdi dikirim ke kamp
konsentrasi atau lari ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat. Hal ini

51
semakin menguatkan niat bangsa Yahûdi di Eropa untuk kembali ke tanah
Palestina.
Sebenarnya ada etnis lain serta kaum intelektual yang berbeda politik
dengan Nazi yang bernasib sama, namun setelah PD II Yahûdi lebih
berhasil menjual cerita holocaust-nya karena menguasai banyak surat
kabar dan kantor-kantor berita dunia.

1944 M
Partai buruh Inggris yang sedang berkuasa secara terbuka
memaparkan politik ‘membiarkan orang-orang Yahûdi terus masuk ke
Palestina, jika mereka ingin jadi mayoritas. Masuknya mereka akan
mendorong keluarnya pribumi ‘Arab dari sana’. Kondisi Palestina pun
memanas.

1947 M
PBB sebagai penerus tugas LBB berinisiatif untuk membuat sebuah
proposal perdamaian untuk ‘Arab dan Yahûdi di Palestina, yaitu dengan
rekomendasi membuat partisi atau pembagian
atau pemecahan wilayah Palestina, sehingga
terbentuk negara ‘Arab dan Yahûdi–Israel
secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem
tidak ditempatkan di bawah penguasaan ‘Arab
ataupun Yahûdi, tetapi dijadikan sebagai
sebuah wilayah internasional yang diurus
secara internasional oleh PBB. Proposal
menjadi Resolusi 181 Majelis Umum PBB,
atau lebih dikenal dengan UN Partition Plan, memberikan 55% wilayah

52
Palestina untuk dijadikan negara Yahûdi, dan 45% sisanya untuk negara
‘Arab. Secara demografis, komunitas Yahûdi hanya ada sekitar 7% dari
seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan ‘Arab. Dengan
adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan wilayah yang
diberikan oleh PBB, protes dari bangsa ‘Arab pun bermunculan.
Adanya penolakan dari bangsa ‘Arab yang merasa diperlakukan tidak
adil melalui UN Partition Plan telah memicu kerusuhan selanjutnya di
Yerusalem antara ‘Arab dengan Yahûdi (khususnya melalui pasukan
paramiliter Haganah). Penolakan dari bangsa ‘Arab telah menggagalkan
proposal perdamaian ini, selain itu statusnya yang merupakan resolusi
Majelis Umum PBB menjadikannya tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat (non-legally binding). Gagalnya Mandat Inggris dan UN
Partition Plan di Palestina, tidak menghambat bangsa Yahûdi untuk
mewujudkan visi dari Zionisme.
Antara 29 November 1947 sampai dengan 15 Mei 1948, ketika
Palestina diberi dinding pembatas oleh PBB, organisasi teroris Zionis
mencaplok tiga perempat Palestina. Selama masa itu, jumlah orang-orang
Palestina yang tinggal di 500 kota besar, kota kecil, dan desa turun drastis
dari 950.000 menjadi 138.000 akibat pengusiran, serangan dan
pembantaian. (Komunitas Yahûdi telah berjumlah 630.000 orang dan 1,3
juta orang Palestina).

1948 M, Jum’at 14 Mei Pukul 16.00 waktu setempat


Sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di tanah
Palestina, untuk para pemukim Yahûdi, David Ben Gurion, yang
kemudian menjadi Perdana Menteri Israel pertama (1948-1953)

53
memproklamirkan berdirinya negara Israel. Berselang 10 menit setelah
proklamasi berdirinya Israel, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman
langsung mengumumkan sikap resmi negaranya dengan mengakui dan
mendukung berdirinya ‘Negara Israel’, serta langsung membuka
hubungan diplomatik secara resmi, kebijakan ini diambil Presiden Kristen-
Zionis Truman dengan mengabaikan keberatan Menteri Luar Negeri
George Marshal, gabungan pejabat dan staf, CIA dan korporasi diplomatik
AS. Sikap Amerika Serikat ini segera diikuti oleh Uni Sovyet hanya dalam
hitungan jam saja.
Proklamasi itulah pengumuman
resmi dimulainya penjajahan babak
baru yang dilakukan zionis Israel
sebagai kelanjutan penjajahan Inggris
atas tanah Palestina, mereka
melakukan agresi bersenjata terhadap rakyat Palestina
yang masih lemah, hingga jutaan dari mereka terpaksa
mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain. Palestina
‘Refugees’ menjadi tema dunia. Namun mereka menolak eksistensi
Palestina dan menganggap mereka telah memajukan areal yang semula
kosong dan terbelakang. Timbullah perang antara Israel dan negara-
negara ‘Arab tetangganya. Namun karena para pemimpin ‘Arab
sebenarnya ada di bawah pengaruh Inggris –akibat Imperialisme Perancis
dan Inggris di tanah ‘Arab sejak 1798– maka Israel mudah merebut
daerah ‘Arab Palestina yang telah ditetapkan PBB.
Dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina Ed-Dawayma
pada tahun 1948, mereka membunuh antara delapan puluh hingga
54
seratus lelaki, wanita, dan anak-anak ‘Arab. Untuk membunuh anak-anak,
mereka (para tentara) mematahkan kepala mereka dengan tongkat. Tidak
ada satu rumah pun tanpa mayat. Para wanita dan anak-anak di desa
tersebut dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa makanan dan air.
Kemudian, para tentara datang untuk meledakkan mereka dengan
dinamit. Sedangkan pada Pembantaian Deir Yassin 1948, korban tewas
sebanyak 254 orang, dan ratusan ribu orang lainnya harus pergi
meninggalkan tanah Palestina.
Kelahiran Israel pada 14 Mei 1948 telah menginisiasi konflik
berkepanjangan antara Arab dengan Israel. Konflik bersenjata pertama
antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah
diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum
memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan
organisasi paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang
tanpa komando. Sementara bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan
organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada. Namun setelah itu, bangsa
Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel seperti Irak,
Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap Israel.
Di tengah-tengah peperangan, organisasi paramiliter Israel dilebur
menjadi sebuah angkatan bersenjata yang disebut dengan Israeli Defense
Forces, sehingga mereka memiliki kekuatan militer yang lebih terkomando
dan rapi.
Elisabeth Diana Dewi dalam karya ilmiahnya, The Creation of The
State of Israel menguraikan bahwa secara filosofi, negara Israel dibentuk
berdasarkan tiga keyakinan yang tidak boleh dipertanyakan:

55
1. Tanah Israel hanya diberikan untuk bangsa pilihan Tuhan sebagai
bagian dari Janji-Nya kepada mereka;
2. Pembentukan negara Israel modern adalah
proses terbesar dari penyelamatan tanah
bangsa Yahûdi;
3. Pembentukan negara bagi mereka adalah solusi
atas sejarah penderitaan Yahûdi yang berjuang
dalam kondisi tercerai berai (diaspora). Maka,
merebut kembali seluruh tanah yang dijanjikan dalam Bibel adalah
setara dengan penderitaan mereka selama 3000 tahun. Oleh sebab
itu, semua bangsa non-Yahûdi yang hidup di tanah itu adalah
perampas dan layak untuk dibinasakan.

1948 M, 02 Desember
Protes keras Liga ‘Arab atas tindakan AS dan sekutunya berupa
dorongan dan fasilitas yang mereka berikan bagi imigrasi zionis ke
Palestina. Pada waktu itu, Ikhwânul Muslimîn di bawah Hasan al-Banna
mengirim 10.000 mujahidin untuk berjihâd melawan Israel. Usaha ini
kandas bukan karena mereka dikalahkan Israel, namun karena Raja
Farouk yang korup dari Mesir takut bahwa di dalam negeri Ikhwânul
Muslimîn bisa melakukan kudeta, akibatnya banyak tokoh-tokoh Ikhwânul
Muslimîn yang dipenjara atau dihukum mati.

1948 M, Desember
Sekelompok ilmuwan dan intelektual Yahûdi berbicara di The New
York Times akan bahaya Fasis dengan berdirinya negara Yahûdi. Salah
satu ilmuwan tersebut adalah Albert Einstein. Jauh hari sebelum semua

56
kejadian yang terjadi di dekade ini, semua orang sudah memprediksikan
kelakuan Israel yang selalu merupakan ancaman untuk perdamaian.
Perdana Menteri Israel David Ben Gurion pada tahun 1948 juga
menyatakan “Seandainya saya seorang pemimpin ‘Arab, saya tidak akan
pernah menandatangani sebuah perjanjian dengan Israel. Adalah hal yang
normal; kami telah merampas negara mereka. Benarlah, Tuhan
menjanjikan tanah itu kepada kami, tapi bagaimana hal itu dapat menarik
perhatian mereka? Tuhan kami bukanlah Tuhan mereka. Telah ada Anti -
Semitisme, Nazi, Hitler, Auschwitz, tapi apakah itu kesalahan mereka?
Mereka tidak melihat malainkan satu hal: kami telah datang dan telah
mencuri tanah mereka. Kenapa mereka mau menerima itu?”.
Golda Meir, Perdana Menteri Wanita Pertama Israel juga pernah
sesumbar; “Palestine is the land without nation for a nation without land”
(Palestina adalah sebuah negeri atau tanah air yang tidak berbangsa
diperuntukkan bagi sebuah bangsa (Israel) yang tidak bertanah air).

1949 M
Peperangan 1948 atau yang dikenal dengan nama al-Nakba
dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih dari satu tahun bertempur.
Berakhirnya perang al-Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian
perdamaian antara Israel dengan negara-negara ‘Arab di sekitarnya pada
bulan Juli 1949. Dan pada tahun itu pula, eksistensi Israel sebagai negara
ditegaskan dengan diterimanya Israel sebagai anggota PBB. Perang 1948
telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina yang terusir dari
kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa
menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara ‘Arab.

57
1949 M
Pengambil alihan kekuasaan Amerika yang pertama di Syiria, Husni
az-Zaim berkuasa.

1952 M
Jamal Abdul Nashîr berkuasa di Mesir melalui kekuasaan yang di
rancang oleh Amerika.

1953 M
Pembantaian di Qibya menyebabkan 96 orang tewas, teror menjadi
sebuah senjata politik Nazi. Namun Nazi tidak pernah menggunakan teror
dengan cara yang lebih berdarah dingin dan tanpa alasan seperti yang
dilakukan Israel dalam pembantaian di Qibya.
Pada tahun ini bermula di al-Quds, Syeikh Imâm Taqiyyuddîn an-
Nabhânî mendirikan Hizbut Tahrîr (harakah da’wah atau partai politik
Islâm Internasional) yang dikhususkan untuk berjuang kembali
melanjutkan kehidupan Islâm melalui tegaknya Khilâfah Rasyîdah
Islâmiyyah Kedua, yang juga akan membebaskan seluruh Palestina dan
negeri-negeri Islâm lainnya kembali ke pangkuan Khilâfah, serta
mengemban da’wah ke segenap penjuru alam.

1955 M
Seorang Jenderal dan sekaligus politisi termuka, Moshe Dayan telah
merancang untuk menduduki Kaero dan Damaskus demi memperluas
teritotial Israel, dan untuk mendominasi kawasan Timur Tengah. Dayan
menyusun rencananya ini ketika menjadi kepala staf angkatan pertahanan
Israel, Ia mengajukan rencananya itu pada Dewan Jenderal pada tanggal
26 Oktober 1955.
58
Dayan memaparkan secara rinci di depan Dewan Jenderal tentang
rincian rencananya itu dan fase-fase tahapannya yaitu: Serangan pertama
ke Mesir yang tujuannya adalah menduduki Jalur Gaza, Semenanjung
Sinai, hingga Terusan Suez, dan setelah itu menduduki Kaero; menduduki
Tepi Barat hingga al-Kholil pada fase pertama, kemudian sampai pada
sungai Yordan pada fase kedua; di Libanon dengan menduduki Libanon
Selatan hingga Sungai Lithani; dan di Suriah menduduki Golan sampai
Damaskus. Dalam tahun-tahun tersebut, ia melakukan secara riil usaha
memperluas Israel, dimana Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza,
Semenanjung Sinai, hingga Terusan Suez dan Dataran Tinggi Golan.
(Publikasi laporan di Harian Israel, Ha’aretz pada suplemen hari libur
Sabtu 21 Februari 2009; mengenai dokumen lama Israel yang berisi
protokol-protokol Pimpinan Dewan Jenderal Israel tentang rencana-
rencana tentara Israel pada masa Dayan sebagaimana diungkap oleh
Sejarahwan Israel, Tom Sigav yang menjelaskan teorinya seputar
kebijakan perluasan Israel dengan bersandar pada penelitian sejarahwan
dan peneliti Israel berkebangsaan Amerika, Jeylyron).

1956 M, 29 Oktober
Israel dibantu Inggris dan Perancis menyerang Mesir, Sinai dan Gaza
untuk menguasai terusan Suez. Mesir pun tunduk pada Resolusi PBB
untuk menerima pasukan PBB berada di Sinai, hal ini merupakan bagian
dari strategi yang dirancang Amerika Serikat.
Pada kurun waktu ini, militer di Yordania menawarkan bai’at ke Hizbut
Tahrîr untuk mendirikan kembali Khilâfah, namun Hizbut Tahrîr menolak
karena melihat rakyat belum siap.

59
1964 M
Para pemimpin ‘Arab membentuk PLO (Palestine Liberation
Organization). Dengan ini secara resmi, nasib Palestina diserahkan ke
pundak bangsa ‘Arab-Palestina sendiri, dan tidak lagi urusan umat Islâm.
Masalah Palestina direduksi menjadi persoalan nasional bangsa
Palestina.

1967 M
Konflik bersenjata Arab dan Israel tidak berhenti di tahun 1949. Selama
17 tahun, ketegangan antara negara-negara Arab dan Israel masih terus
terjadi, khususnya dari Presiden Mesir pada saat itu, yaitu Gamal Abdul
Nasser. Dirinya seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
berisikan tentang keinginannya untuk menghancurkan Israel. Pada tahun
1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah
mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara
Arab, telah berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana
negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Tepatnya pada tanggal 05
Juni 1957, Israel melancarkan serangan pertamanya ke Mesir, yang
dikhususkan ke pangkalan udara militer yang menjadi basis kekuatan
Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus melancarkan
serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung
dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Libanon. Perang yang dikenal
juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak
hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai
dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran

60
Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan
militer negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel.
Israel dengan mudah menghancurkan angkatan udara musuhnya
karena bantuan informasi dll. dari CIA (Central Intelligence Agency atau
Badan Intelijen Pusat milik AS), sementara itu angkatan udara Mesir ragu
membalas serangan Israel, karena Menteri Pertahanan Mesir ikut terbang
dan memerintahkan untuk tidak melakukan tembakan selama dia berada
di udara. Maka Israel berhasil memenangkan peperangan dan mengubah
peta geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perang 1967 lagi-lagi
menghasilkan problem pengungsi. Sekitar 250.000 penduduk Palestina
menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan
bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di
pengungsian.

1967 M, Nopember
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 242, untuk
perintah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya dalam
perang 6 hari, pengakuan semua negara di kawasan itu, dan penyelesaian
secara adil masalah pengungsi Palestina.
Setelah Perang 1967, Sharon menyebabkan 160.000 orang Palestina
meninggalkan Yerusalem Timur dan menjadi pengungsi. Teknik
hukumannya meliputi pengeboman rumah, pembongkaran kamp
pengungsi, dan penahanan ratusan pemuda tanpa alasan lalu menyiksa
mereka.
Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan di Jalur Gaza,
ratusan orang Palestina dibunuh, ribuan ditahan dan diusir dari Palestina,

61
dan di Gaza saja 2000 rumah telah dihancurkan dan 16.000 orang diusir
untuk kedua kalinya.

1969 M
Yasser Arafat dari faksi al-Fatâh terpilih
sebagai ketua Komite Eksekutif PLO dengan
markas di Yordania.
Pada tahun 1ni juga upaya pembakaran
al-Aqshâ mulai dilakukan Zionis Yahûdi,
ditahun-tahun belakangan tindakan brutal itu dipertegas dengan
penggalian terowongan di bawah masjid al-Aqshâ dengan alasan
arkeologis, di mana motif sebenarnya adalah upaya pemusnahan total al-
Aqshâ untuk pada lokasi yang sama diganti dengan bangunan Kuil
mereka.

1970 M
Berbagai pembajakan pesawat sebagai publikasi perjuangan rakyat
Palestina membuat PLO dikecam oleh opini dunia, dan Yordania pun
dikucilkan. Karena ekonomi Yordania sangat tergantung dari AS, maka

62
akhirnya Raja Husein mengusir markas PLO dari Yordania dan terpaksa
pindah ke Libanon.

Al-
PLO Hamas JIP
Fatah

1973 M, 6 Oktober
Tepat sebelum peringatan hari Yom Kippur
oleh Yahûdi, kembali terjadi konflik bersenjata
antara Arab dengan Israel. Yom Kippur War atau
yang dikenal dengan Perang Oktober menjadi
puncak konflik bersenjata antara Arab dan Israel.
Dalam perang ini, Bangsa Arab berhasil membalas kekalahannya dari
Israel. Mesir dan Syria menyerang pasukan Israel di Sinai dan dataran
tinggi Golan, Serbuan ini hampir berhasil melumpuhkan Israel secara telak
kalau Israel tidak tiba-tiba dibantu oleh AS. Presiden Mesir Anwar Sadat
terpaksa berkompromi dengan mendapat pengembalian Semenanjung
Sinai dan Gaza melalui sebuah perjanjian perdamaian pada tahun 1979,
hal ini karena Mesir cuma siap untuk melawan Israel, namun tidak
memiliki nyali untuk berhadapan dengan AS. ‘Arab membalas kekalahan
itu dengan menutup keran minyak. Akibatnya harga minyak melonjak
pesat.

63
1973 M, 22 Oktober
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi Nomor 338, untuk
gencatan senjata, pelaksanaan resolusi Nomor 242 dan perundingan
damai di Timur Tengah.

1977 M
Pertimbangan ekonomi bahwa perang telah memboroskan kas negara,
membuat Anwar Sadat pergi ke Israel tanpa konsultasi dengan Liga ‘Arab.
Ia menawarkan perdamaian, jika Israel mengembalikan seluruh Sinai.
Negara-negara ‘Arab merasa dikhianati. Karena langkah politiknya ini,
belakangan Anwar Sadat dibunuh pada tahun 1982.

64
1978 M, September
Mesir dan Israel menandatangani perjanjian Camp David yang
diprakarsai AS. Perjanjian itu menjanjikan otonomi terbatas kepada rakyat
Palestina di wilayah-wilayah pendudukan Israel. Sadat dan PM Israel
Menachem Begin dianugerahi Nobel Perdamaian 1979. Namun Israel
tetap menolak perundingan dengan PLO dan PLO menolak otonomi.
Belakangan, otonomi versi Camp David ini tidak pernah diwujudkan,
demikian juga otonomi versi lainnya. Dan AS sebagai pemrakarsanya juga
tidak merasa wajib memberi sanksi, bahkan selalu memveto resolusi PBB
yang tidak menguntungkan pihak Israel.

1980 M
Israel secara sepihak menyatakan bahwa mulai musim panas 1980
kota Yerussalem yang didudukinya itu resmi sebagai ibukota.

1982 M
Israel menyerang Libanon dan membantai ratusan pengungsi
Palestina di Sabra dan Shatila. Pelanggaran terhadap batas-batas
internasional ini tidak berhasil dibawa ke forum PBB karena –lagi-lagi–
veto dari AS. Belakangan Israel juga dengan enaknya melakukan
serangkaian pemboman atas instalasi militer dan sipil di Irak, Libya dan
Tunisia.
Pada saat pembantaian Sabra dan Shatilla, 14.000 orang (termasuk
13.000 orang sipil tak bersenjata) meninggal di tempat itu dalam beberapa
minggu, serta sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.

65
1987 M
Intifadhah, perlawanan dengan batu oleh orang-
orang Palestina yang tinggal di daerah pendudukan
terhadap tentara Israel
mulai meledak. Intifadhah
ini diprakarsai oleh Hamas, suatu harakah
Islâm yang memulai aktivitasnya dengan
pendidikan dan sosial.

1988 M, 15 Nopember
Diumumkan berdirinya negara Palestina di Aljiria, ibu kota Aljazair.
Dengan bentuk negara Republik Parlementer.
Ditetapkan bahwa Yerussalem Timur sebagai
ibukota negara dengan Presiden pertamanya
adalah Yasser Arafat.
Setelah Yasser Arafat mangkat kursi
presiden diduduki oleh Mahmud Abbas. Dewan Nasional Palestina, yang
identik dengan Parlemen Palestina beranggotakan 500 orang.

1988 M, Desember
AS membenarkan pembukaan dialog dengan PLO setelah Arafat
secara tidak langsung mengakui eksistensi Israel dengan menuntut
realisasi resolusi PBB Nomor 242 pada waktu memproklamirkan Republik
Palestina di pengasingan di Tunisia.

1991 M, Maret
Yasser Arafat menikahi Suha, seorang wanita Kristen. Sebelumnya
Arafat selalu mengatakan “menikah dengan revolusi Palestina”. Pada
66
tahun ini juga Madrid Conference dilaksanakan melalui tekanan Amerika
Serikat; Israel, PLO, Jordan, Syiria dan negara-negara lain melakukan
pertemuan dengan tujuan untuk countain Israel melalui proses damai.

1993 M, September
Madrid Conference yang dilaksanakan pada tahun 1991, kemudian
dilanjutkan dengan Oslo Accords pada tahun 1993. PLO–Israel saling
mengakui eksistensi masing-masing, lalu Israel berjanji memberikan hak
otonomi kepada PLO di daerah pendudukan. Motto Israel adalah ‘land for
peace’ (tanah untuk perdamaian). Pengakuan itu dikecam keras oleh
pihak ultra-kanan Israel maupun kelompok di Palestina yang tidak setuju,
namun negara-negara ‘Arab (Saudi ‘Arabia, Mesir, Emirat dan Yordania)
menyambut baik perjanjian itu. Mufti Mesir dan Saudi mengeluarkan
'fatwa' untuk mendukung perdamaian.
Setelah kekuasaan di daerah pendudukan dialihkan ke PLO, maka
sesuai perjanjian dengan Israel, PLO harus mengatasi segala aksi-aksi
anti Israel. Dengan ini maka sebenarnya PLO dijadikan perpanjangan
tangan Yahûdi. Yasser Arafat, Yitzak Rabin dan Shimon Peres mendapat
Nobel Perdamaian atas usahanya tersebut. Setelah Oslo Accords, masih
ada Hebron Agreement dan juga Wye River Memorandum yang tidak
menghasilkan apapun bagi proses perdamaian Palestina dan Israel.

1994 – 1995 M
Rabin dibunuh oleh Yigar Amir, seorang Yahûdi fanatik. Sebelumnya, di
Masjid Hebron, seorang Yahûdi fanatik membantai puluhan Muslim yang
sedang shalât Subuh. Hampir tiap orang dewasa di Israel, laki-laki
maupun wanita, pernah mendapat latihan dan melakukan wajib militer.

67
Gerakan Palestina yang menuntut kemerdekaan total menteror ke tengah
masyarakat Israel dengan bom ‘bunuh diri’. Targetnya, menggagalkan
usaha perdamaian yang tidak adil itu. Sebenarnya ‘land for peace’
diartikan Israel sebagai “Israel dapat tanah, dan ‘Arab Palestina tidak
diganggu atau bisa hidup damai”. Di tahun ini pula Israel dan Yordania
menanda-tangani perjanjian menyerahkan hak-hak kaum Muslimîn
terhadap tanah air mereka.

1996 M
Pemilu di Israel dimenangkan secara tipis oleh Netanyahu dari partai
kanan, yang berarti kemenangan Yahûdi yang anti perdamaian.
Netanyahu mengulur-ulur waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian. Ia
menolak adanya negara Palestina, agar Palestina tetap sekedar daerah
otonom di dalam Israel. Ia bahkan ingin menunggu atau menciptakan
kontelasi baru (pemukiman Yahûdi di daerah pendudukan, bila perlu
perluasan hingga ke Syria dan Yordania) untuk sama sekali membuat
perjanjian baru.
AS tidak senang bahwa Israel jalan sendiri di luar garis yang
ditetapkannya. Namun karena lobby Yahûdi di AS terlalu kuat, maka Bill
Clinton harus memakai agen-agennya di negara-negara ‘Arab untuk
‘mengingatkan’ si ‘anak emasnya’ ini. Maka sikap negara-negara ‘Arab
tiba-tiba kembali memusuhi Israel, Mufti Mesir malah kini memfatwakan
jihâd terhadap Israel. Sementara itu Uni Eropa (terutama Inggris dan
Perancis) juga mencoba ‘aktif’ menjadi penengah, yang sebenarnya juga
hanya untuk kepentingan masing-masing dalam rangka menanamkan

68
pengaruhnya di wilayah itu. Mereka juga tidak rela kalau AS ‘jalan sendiri’
tanpa bicara dengan Eropa.
Di tahun ini pula Israel menyerang Libanon untuk menunda
pelaksanaan perjanjian dengan PLO. Israel membuka terowongan di al-
Aqshâ, sebagai salah satu upaya menunda pelaksanaan perjanjiannya.

2000 M.
Pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat di Camp
David, AS, kembali tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pada tahun
ini pula, Intifada jilid ke-2 kembali muncul di masyarakat Palestina. Pasca
Camp David Summit, masih ada upaya perdamaian melalui Beirut Summit
yang diprakarsai oleh Arab Peace Initiative, dan juga proposal Peta Jalan
Damai atau Road Map for Peace yang diusulkan oleh Quartet on Middle
East yang terdiri dari AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa (UE). Dan sama
seperti upaya-upaya perdamaian sebelumnya, kedua pertemuan itu tidak
berhasil mendamaikan Palestina dan Israel.

69
2002 – Sekarang
16 Juni 2002 Proyek jahanam pembangunan tembok pemisah Israel
dimulai. Panjang tembok seluruhnya mencapai 750 kilometer dengan
tinggi delapan meter. Tembok itu dilengkapi dengan parit perlindungan,
kawat berduri, kawat beraliran listrik, menara pengawas, sensor elektronik,
kamera video, pesawat pengintai tanpa awak, menara penembak jitu
(sniper), dan jalanan untuk patroli kendaraan. John Dugard, staf ahli hak
asasi manusia PBB untuk wilayah Palestina dalam laporannya ke Human
Rights Commission PBB mengungkapkan, pembangunan tembok
pemisah oleh Israel di Yerusalem Timur telah menimbulkan persoalan
kemanusiaan yang besar bagi warga Palestina.
Dugard mengingatkan bahwa pembangunan tembok pemisah oleh
Israel di wilayah Palestina tetap berlanjut meskipun pada tahun 2004
International Court of Justice sudah memerintahkan agar tembok itu
dihancurkan. Israel berargumen pembangunan tembok pemisah itu
sebagai langkah pengamanan bagi wilayahnya. Menurut data OCHA, ada
bulan Agustus terdapat 376 pembatas dan penghalang jalan, dan pada
Januari jumlahnya meningkat menjadi 471. Selain itu, Israel juga
memperketat pembatasan berpergian terhadap warga Palestina yang
menyebabkan warga Palestina kesulitan hanya untuk pergi ke pasar atau
ke rumah sakit.

70
Dengan tembok tembok seperti itu otomatis warga palestina seperti
dipenjara ditanah airnya sendiri, maka jadilah Palestina sebagai penjara
terbesar di muka bumi.
Sebuah usul perdamaian yang saat itu dibuat adalah Peta menuju
perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB
dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima
peta itu namun dengan 14 ‘reservasi’. Pada saat itu Israel sedang
menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang
diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang
diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan
seluruh 'kehadiran sipil dan militer yang permanen' di Jalur Gaza (yaitu 21
pemukiman Yahûdi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan
'mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan
mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus
melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza'.

71
Pemerintah Israel berpendapat bahwa “akibatnya, tidak akan ada
dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan”,
sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu
terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel ‘akan diizinkan untuk
menyelesaikan tembok [Penghalang Tepi Barat Israel] dan
mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini’.
Pada tahun 2005. Dalam satu pekan, Zionis Israel telah membunuh
110 orang rakyat Palestina, 51 orang merupakan penduduk sipil, 6 orang
perempuan dan 27 orang adalah anak-anak laki dan perempuan. Selain
itu, ada 236 orang yang luka parah, separuhnya adalah penduduk sipil, 11
orang di antaranya adalah perempuan, 58 orang anak laki dan
perempuan.
Di hari kemenangan Partai Kadima pada pemilu tanggal 28 Maret 2006
di Israel, Ehud Olmert [yang kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri
Israel menggantikan Ariel Sharon yang berhalangan tetap karena sakit]
berpidato. Dalam pidato kemenangan partainya, Olmert berjanji untuk
menjadikan Israel negara yang adil, kuat, damai, dan makmur,
menghargai hak-hak kaum minoritas, mementingkan pendidikan,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta terutama sekali berjuang untuk
mencapai perdamaian yang kekal dan pasti dengan bangsa Palestina.
Olmert menyatakan bahwa sebagaimana Israel bersedia berkompromi
untuk perdamaian, ia mengharapkan bangsa Palestina pun harus fleksibel
dengan posisi mereka. Ia menyatakan bahwa bila Otoritas Palestina, yang
kini dipimpin Hamas, menolak mengakui negara Israel, maka Israel 'akan
menentukan nasibnya di tangannya sendiri' dan secara langsung
menyiratkan aksi sepihak. Masa depan pemerintahan koalisi ini sebagian
72
besar tergantung pada niat baik partai-partai lain untuk bekerja sama
dengan Perdana Menteri yang baru terpilih.
Berdasarkan jajak pendapat tahun 2006 dan 2007, 78% orang Yahûdi
menentang parpol ‘Arab, 75% tidak mau hidup satu gedung dengan orang
‘Arab, 75% percaya orang ‘Arab suka dengan kekerasan, 68% takut
meledaknya intifada baru, 64% khawatir bertambahnya penduduk ‘Arab,
dan 56% percaya orang ‘Arab tak akan bisa mencapai tingkat kebudayaan
seperti dicapai bangsa Yahûdi. Oleh karena itu, 55% orang Yahûdi Israel
meminta orang Arab diusir, 50% mendukung pengalihan warga ‘Arab ke
wilayah non Yahûdi dan 42% menyebut ‘Arab tak berhak ikut Pemilu.
Pada tahun 2007, di masa-masa akhir pemerintahan George W. Bush,
Quartet on Middle East ditambah dengan partisipasi dari Mesir,
mengadakan konferensi untuk kembali membicarakan perdamaian antara
Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya dalam kronik
sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara
disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi. Dengan diterimanya
solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi
perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina
dan Israel. Meski demikian, hasil dari Annapolis Conference masih belum
bisa diimplementasikan karena semakin rumitnya konflik yang terjadi di
wilayah Palestina-Israel.
Oktober 2008 lalu, di Acre yang berpenduduk 53 ribu dengan 17 ribu di
antaranya ‘Arab, ribuan perusuh Yahûdi menghancurkan 30 rumah, 84
toko dan 100 kendaraan. Secara perlahan atau terang-terangan, Israel
terus mengintimidasi dan memaksa warga Arab untuk keluar dari Israel,
termasuk dengan mengundang warga Yahûdi seluruh dunia menetap di
73
Israel. “Mereka memanfaatkan (kedatangan) orang Yahûdi oriental (Asia),
dan kini dari Rusia yang ultra relijius”, kata arsitek Buthaina Dabit.
Sementara itu sebelum terjadinya serangan habis-habisan Israel ke
Gaza (27/12/2008), sudah terjadi serangan-serangan kecil di antara kedua
belah pihak di sekitar Jalur Gaza, disebabkan Israel menutup tempat-
tempat penyeberangan atau jalur komersial ke Gaza sehingga pasokan
bahan bakar minyak terhenti, yang memaksa satu-satunya pusat
pembangkit listrik di Jalur Gaza tutup. Pembantaian Zionis-Yahûdi ke
Gaza telah menewaskan lebih dari 1500 kaum muslim sipil, termasuk
orang tua, wanita dan anak-anak. Bahkan banyak jasad para mujahid
yang terlantar tak dapat dimaqâmkan hingga menjadi santapan binatang
buas.

74
Di tengah penggunaan bom curah pospor putih yang mematikan
membuat korban luka mencapai angka lebih dari 5300 orang hingga
rumah sakit tak sanggup menangani, ratusan ribu pengunggi yang bahkan
tak mendapati satu pun tempat aman tersisa tak terkecuali gedung milik
PBB sekalipun. Kerusakan fisik bahkan yang mencapai 5 triliun lebih.
Bengis dan biadabnya kebrutalan Israel yang selalu terjadi berulang
kali terjadi, tak terkecuali bagi kendaraan dan kapal-
kapal pembawa bantuan kemanusiaan sekali pun,
sedianya bagi bangsa zionis memang dianggap
sebagai suatu hal biasa yang wajar bahkan memang
harus terjadi seperti itu, sebagaimana seorang rabbi milliter Yahûdi Brig.
Jend. Avichai Rontzki mengatakan kepada kantor berita Haaretz bahwa
tentara Yahûdi seharusnya tak boleh punya rasa belas kasihan kepada
non-Yahûdi ketika berperang, atau mereka akan dikutuk. Rontzki juga
memuji tindakan tentara Israel dengan menyatakan “Mereka semua
berperang dengan hati dan jiawanya, dan juga keberaniannya tentu saja”.
Seiring upaya bantuan terhadap para korban kejahatan Israel. Maka
sumber permasalahan, eksistensi zionis-Israel yang hanya mengenal
bahasa perang (logika kekuatan, bukan
kekuatan logika atau dialog) dan Tegaknya
ideologi kapitalisme berikut negara penyokong
juga harus dilenyapkan, Itulah urgensinya
Khilâfah, pelindung darah dan kehormatan umat.

75
Status Tanah Palestina

Palestina merupakan tanah kaum muslimîn yang dikuasai pada masa


Umar bin Khaththâb. Menurut Ibnu 'Asâkir di dalam al-Mustaqshâ fi
Fadhâil al-Masjid al-Aqshâ, setelah menaklukkan Damsyiq Beliau
kemudian mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ke
daerah Iliyâ (Palestina) dan mengepung daerah tersebut selama beberapa
hari hingga penduduk negeri tersebut meminta damai kepada kaum
Muslimîn dengan syarat Umar bin Khaththâb menjumpai mereka. Setelah
meminta saran para Shahâbat, Umar pun datang dan membuat perjanjian
dengan mereka yang dikenal dengan perjanjian 'Umarîyyah atau 'Iliyâ. Isi
perjanjian tersebut antara lain:
“Dengan nama Allâh yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini
adalah apa yang diberikan oleh hamba Allâh, Umar; Amîrul Mu’minîn
kepada penduduk Iliyâ di Ammân. Saya memberikan keamanan atas jiwa
dan harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang
yang sakit dan yang tidak bersalah dan seluruh agama mereka. Gereja
mereka tidak boleh ditempati dan dihancurkan, tidak boleh diambil
bagiannya ataupun isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta
mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka.
Seorang pun dari mereka tidak boleh dimudhârâtkan. Demikian pula tidak
seorangpun dari orang Yahûdi boleh tinggal di Iliyâ... Dan apa yang ada di
dalam tulisan ini merupakan janji Allâh, jaminan Rasûl-Nya, jaminan para
Khalîfah dan kaum Muslimîn jika mereka memberikan jizyah”. (Perjanjian)
ini disaksikan oleh Khâlid bin Wâlid, 'Amru bin 'Ash, Abdurrahman bin Auf
dan Mu'awiyah bin Abu Sofyân (Târîkh ar-Rusul wa al-Mulûk: II/307).
76
Dengan perjanjian tersebut jelas bahwa tanah Palestina merupakan
tanah milik kaum muslim. Klausul yang menyatakan bahwa "tidak seorang
pun dari orang Yahûdi boleh tinggal di Iliyâ" menujukkan kaum Yahûdi
tidak boleh menetap di Palestina apalagi dengan cara merampas dari
pemiliknya, membunuh dan mengusir penduduknya yang kini diperkirakan
lebih dari lima juta orang.
Di masa Kekhilâfahan Islâm orang-orang kâfir beberapa kali
mencaplok wilayah Palestina. Namun kaum Muslim dengan semangat
jihâd di bawah panji Khilâfah Islâm tidak pernah tinggal diam dan
membiarkan orang-orang kâfir bercokol di wilayah tersebut. Shalâhuddîn
al-Ayyûbî misalnya pada bulan Ramadhân 584 H. telah membebaskan al-
Quds dari tentara Salib yang dipimpin oleh Raja Richard III dari Inggris
(Richard The Lion Heart). Demikian pula dengan Qutuz, Ia bersama
mujahidin lainnya tidak hanya membebaskan al-Quds namun juga seluruh
wilayah Syam dan Irak dari tentara Mongol dan Tartar.
Sikap ini pula yang ditunjukkan oleh Khalîfah Abdul Hamîd II, ketika
sejumlah delegasi Yahûdi bermaksud bernegosiasi dengan Beliau agar
mengizinkan orang-orang Yahûdi berkunjung ke Palestina sesuka mereka
dan mendirikan tanah koloni di dekat al-Quds yang dapat disinggahi ketika
mereka melakukan ziarah di tempat tersebut. Kompensasinya mereka
akan membayar seluruh hutang Daulah Utsmâniyyah, membangun
armada lautnya dan memberikan utang sebesar 35 juta lira emas tanpa
bunga untuk membenahi keuangan negara tersebut. Dengan penuh 'izzah
sang Khalîfah dengan tegas menolak tawaran tersebut dengan
mengatakan:

77
“Katakanlah kepada orang-orang Yahûdi yang tak punya malu itu
sesungguhnya utang negara bukanlah suatu aib karena negara-negara
lain seperti Prancis juga memiliki hutang. Sesungguhnya Baitul Maqdis
yang mulia telah ditaklukkan pertama kali oleh Sayyidinâ Umar. Saya tidak
siap menanggung malu sepanjang sejarah dengan menjual tanah yang
suci kepada orang-orang Yahûdi dan mengkhianati amanah yang
dibebankan kaum muslimîn untuk menjaganya. Suruhlah orang-orang
Yahûdi menyimpan uang mereka. Negara yang mulia ini tidak mungkin
berlindung di balik benteng dengan harta musuh Islâm. Suruh mereka
keluar dan jangan mencoba lagi bertemu dengan saya atau masuk ke
tempat ini”. (Shahwah ar-Rajulu al-Marîdh, hal. 213-214)

78
Palestina Pasca Runtuhnya Khilâfah

Israel tidak mungkin dapat mencaplok sebagian dari wilayah Palestina


tanpa dukungan dari Inggris dan negara-negara barat. Pada tanggal 2
November 1917 Inggris menjanjikan pembentukan negara kepada Yahûdi
di tanah Palestina melalui perjanjian Balfour. Kemudian pada tanggal 11
Desember 1917 pada Perang Dunia Pertama negara tersebut berhasil
menguasai wilayah Palestina.
Setelah perang Dunia I berakhir Inggris mendapat mandat dari Liga
Bangsa-Bangsa untuk mengontrol Palestina. Salah satu agendanya
mempersiapkan berdirinya negara Israel. Inggris pun mengambil sejumlah
langkah untuk merealisasikan perjanjian Balfour di
antaranya melatih dan mempersenjatai orang-orang
Yahûdi.
Ketika perang dunia II berakhir, Majelis Umum PBB
pada tanggal 29 Oktober 1947 mengeluarkan resolusi
No. 181 yang membagi tanah Palestina menjadi dua
bagian yakni tanah ‘Arab dan tanah Israel. Selanjutnya
pada tahun 1948 enam negara Arab yang juga
merupakan kaki tangan Inggris terlibat perang dengan Israel untuk
mencegah berdirinya negara Israel. Perang tersebut sebenarnya
merupakan rekayasa Inggris untuk menunjukkan
kehebatan Israel atas negeri-negeri Islâm. Akhirnya
tanggal 15 Mei 1948, Israel mengukuhkan dirinya
sebagai sebuah negara merdeka (al-Qadhayâ as-
Siyâsiyyah, hal. 6-8).
79
Setelah itu berbagai perundingan yang dipelopori oleh negara-negara
barat khususnya AS dan Inggris mulai dari Perjanjian Madrid, Oslo hingga
Anapolis terus digelar. Meski demikian kesepakatan agar Israel hengkang
dari Palestina tak pernah ada. Perjanjian hanya berputar pada masalah
keamanan dan perbatasan di mana pada tahun 1967 mencaplok
beberapa bagian wilayah otoritas Palestina. Ini karena tujuan utama dari
perjanjian tersebut hanyalah retorika agar eksistensi Israel makin kokoh.
Di sisi lain penguasa-penguasa Arab terus memperlihatkan wajah
pengkhianatan mereka kepada kaum muslim. Mulanya mereka mengecam
eksistensi Israel. Namun secara perlahan satu
demi satu dari mereka berdamai dan
bekerjasama dengan Israel. Bahkan mereka
melakukan berbagai tindakan biadab misalnya
menutup daerah perbatasan mereka terhadap
kaum Muslimîn yang bermaksud melintas
untuk berjihâd di bumi Palestina atau
menangkapi ‘Ulamâ yang memfatwakan jihâd melawan Israel
sebagaimana yang dilakukan oleh Rezim penguasa ‘Arab Saudi.

80
Komentar Politik Atas Perang 1967 yang
Dipublikasikan Tanggal 12 Juni 1967
Terlihat jelas sekarang bahwa perang tiga hari di Palestina dan Sinai,
yaitu perang yang mendorong Mesir mengerahkan tentaranya di Sinai dan
di Sharm el-Sheikh dengan maksud untuk merehabilitasi antek Amerika,
Abdel Nasser di wilayah itu, agar dengannya dapat membangkitkan
kemarahan. Pengerahan tentara tersebut dimanfaatkan betul oleh Inggris
untuk menjalankan rencana-rencananya yang telah lebih dari setahun
direncanakan namun tidak berjalan mulus. Itu semua dapat dijalankan
berkat bantuan seorang pengkhianat, yaitu Raja Hussein, dan adanya
kesepakatan dengan Israel. Dengan demikian, mulai terungkap konspirasi
Inggris terhadap umat Islâm. Fakta-fakta itu mengungkapkan bahwa
Inggris dan anteknya, yaitu sang pengkhianat, Hussein. Mengingat,
karena mereka itulah, maka orang-orang Yahûdi dapat melakukan
pembantaian terhadap umat Islâm, menghancurkan negaranya, serta
menaikkan berdera dan simbol Zionis di atas Masjid al-Aqshâ.
Inggris yakin bahwa menaklukkan Teluk Aqaba tidak mungkin
dilakukan dengan kekuatan militernya. Untuk itu, ia mulai berusaha
dengan cara lain. Sedang cara yang paling mungkin adalah menciptakan
perang skala besar, yakni kembali pada rencana-rencananya semula.
Akhirnya mereka segera menghubungi orang-orangnya di Israel dan juga
anteknya, yaitu sang pengkhianat, Raja Hussein. Komunikasi dengan
orang-orangnya di Israel berlangsung antara 22 dan 26 Mei 1967. Di
mana ia mulai menekan Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol, dan Ben
Gurion dipersiapkan untuk menggantikan posisinya. Setelah berunding

81
akhirnya mereka sampai pada sebuah kompromi (jalan tengah).
Kemudian, Moshe Dayan diangkat sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan
Haim Bar Lev diangkat sebagai Deputi Kepala Staf. Dengan begitu orang-
orangnya Inggris telah menguasai militer Israel untuk memimpin
peperangan melawan negara ‘Arab. Hal itu terwujud secara penuh pada
tanggal 1 Juni 1967.
Semua itu terlihat jelas melalu studi komparasi berbagai peristiwa dan
kajian berbagai fakta bahwa Inggris telah bersiap untuk terlibat dalam
perang membantu orang-orang Yahûdi, tetapi tidak dengan cara terbuka,
seperti yang terjadi pada tahun 1956, namun dengan cara sembunyi-
sembunyi. Inggris tampak mengirimkan ke Israel sejumlah besar pesawat
tempur dan sekaligus pilotnya, serta dikirim pula staf umum pasukan untuk
merencanakan peperangan. Dengan demikian, praktis Inggris-lah yang
memerintahkan peperangan dan yang merencanakannya melalui
beberapa staf perwira Inggris. Dan secara riil, pesawat-pesawat tempur
Inggris dan pilot-pilotnya yang memimpin serangan udara. Dengan
demikian, apa yang dikatakan Mesir bahwa Inggris berkonspirasi dan ikut
serta dalam melakukan serangan udara itu benar. Tetapi, tidak seperti
yang dikatakan Kairo, di mana pesawat tempur itu datang dari kapal induk
yang ada di laut. Justru yang benar adalah Inggris telah mendatangkan
beberapa pesawat tempur dan pilotnya, serta staf umum pasukan
sebelum peperangan dilakukan. Bahkan Inggris telah mempersiapkan
semuanya jauh sebelumnya. Inggrislah yang merencanakan peperangan,
yang memimpin serangan udara secara riil, dan Inggris pula-lah yang
memimpin Israel.

82
Keterlibatan Inggris dalam peperangan ini adalah keterlibatan penuh.
Hal itu terbukti bahwa Inggris telah mempersiapkan semuanya, dan
Inggris menjadi penopang kekuatan persenjataan udara. Bahkan Inggris
pada minggu terakhir bulan Mei 1967 sudah berhubungan erat secara riil
dengan faksi Ben Gurion. Hal itu tampak pada penyerahan Departemen
Perang dan kepemimpinan militer pada faksi Ben Gurion pada hari
pertama bulan Juni. Dengan demikian, Inggris telah menjamin kesiapan
Israel untuk menghadapi peperangan.
Sementara kontak Inggris dengan anteknya, sang pengkhianat, Raja
Hussein tampak mulai intensif dilakukan pada waktu yang sama, yaitu
antara tanggal 22 dan 26 Mei 1967. Raja Hussein bertemu dengan Dubes
Mesir pada tanggal 26 Mei 1967 di Amman, dan dihadiri oleh Gubernur al-
Quds (Yerusalem), Anwar al-Khatib. Raja Hussein meminta Dubes Mesir
untuk memberitahu Kairo bahwa Yordania sudah siap untuk
menandatangani kekuasaan penuh dengan Republik Uni ‘Arab,
khususnya yang terkait dengan aktivitas yang telah direncanakan, serta
telah siap untuk merubah departemen dan setiap orang yang dipandang
oleh Kairo tidak sesuai. Setelah pertemuan ini, Dubes pergi ke Kairo.
Namun, Abdel Nasser menunjukkan bahwa ia tidak menerima tawaran
dari Raja Hussein ini. Dalam pidatonya yang disampaikan tidak lama
setelah itu, ia mengatakan bahwa reaksioner telah meminta kita untuk
bekerja sama, tetapi kami menolaknya. Kami tidak ingin bekerja sama
dengan bukit kecil yang menjadi spionase Inggris-Amerika.
Raja Hussein tidak putus asa, ia kembali mengontak Abdul Nasser
dengan cara yang lain. Pada hari Selasa, 30 Mei 1967 masyarakat
dikejutkan dengan kedatang Hussein ke Kairo, dan mengadakan pakta
83
pertahanan bersama. Ketika Hussein kembali ke Amman telah disiapkan
upaya penyambutan oleh rakyat yang luar biasa meriahnya di sepanjang
kiri kanan jalan-jalan Amman yang dilalui mobilnya. Setelah satu setengah
jam perjalanan, ia pun sampai di istana. Bahkan tidak sedikit masyarakat
yang terpaksa untuk membungkukkan kepalanya agar bisa menciumnya.
Semua itu telah menjadikan Abdul Nasser berhasrat untuk berkerja sama
membuat sebuah pakta pertahanan bersama, karena terkesan dengan
sambutan yang luar biasa terhadap Raja Hussein.
Pakta pertanahan bersama inilah yang memungkinkan Inggris ikut
serta dalam memerangi Tepi Barat dan menyerahkannya. Dan fakta yang
menunjukkan bahwa Raja Hussein telah menyiapkan semua persoalannya
kepada Inggris untuk memukul (menyerang) adalah pada tanggal 23 Mei
1967, Raja Hussein bertemu dengan para perwira senior, dan
mengatakan kepada mereka bahwa pergerakan tentara Mesir ini
tujuannya bukan Israel, melainkan kami (Yordania). Ingat! Abdel Nasser
itu adalah antek Amerika yang setia. Dia ingin menginternasionalisasikan
al-Quds (Yerusalem) dan mendirikan pemerintah Palestina untuk
berdamai dengan Israel. Anda harus waspada sekecil apapun
peristiwanya dalam hal ini.
Lalu pada tanggal 29 Mei 1967, Raja Hussein bertemu dengan perwira
tentara. Dia berbicara dengan mereka khusus tentang krisis, serta tentang
konsultasi dan negosiasi dengan Dubes Mesir. Kepada mereka dia
berkata, dan bahkan dia bersumpah tiga kali bahwa dia akan membakar
Abdel Nasser, antek Amerika dalam peperangan ini. Perundingan ini terus
berlangsung hingga dia pergi ke Kairo tanggal 30 Mei 1967 dan membuat
pakta pertahanan bersama.
84
Setelah persiapan untuk Inggris sempurna, maka Raja Hussein
mengadakan pakta pertahanan bersama pada tanggal 30 Mei 1967
tersebut. Pada tanggal 1 Juni 1967 Moshe Dayan resmi menjabat Menteri
Pertahanan, dan diperintahkan untuk membuat setiap sarana peperangan.
Dayan pergi ke Kanada dan AS untuk memastikan bahwa Amerika akan
diam dan bersikap netral. Pada tanggal 2 Juni 1967 dia pergi ke Amerika,
dan ia bertemu dengan Perdana Menteri Kanada dan Presiden AS,
Lyndoln B. Johnson selama dua hari. Pada tanggal 4 Juni 1967 dia
kembali ke Inggris dan sangat puas dengan sikap netralitas yang
ditunjukkan Amerika. Maka pada tanggal 5 Juni 1967 Israel mulai
menyerang ke Sinai, lalu diikuti serangan ke Tepi Barat.
Demikian inilah persiapan yang dilakukan Inggris untuk menciptakan
sebuah peperangan secara militer di Israel, tentang angkatan udara
Inggris, dan tentang pengiriman tentara Yordania kepada Israel untuk
dibantainya. Terkait peperangan yang dilakukan Yordania khususnya, dan
teknis pengiriman tentaranya, maka sebenarnya tidak terjadi peperangan
di Yordania, kecuali hanya perang di radio, artinya perang militer tidak
pernah terjadi. Sedang beberapa individu dan perwira yang melakukan
perlawanan telah menunjukkan tekad dan keberanian mereka dengan
memasuki perkampungan Moherm Yahûdi di al-Quds (Yerusalem) pada
hari pertama. Namun, kemudian mereka menarik diri karena orang-orang
Israel mengambil jalan memutar melalui desa Shu’fat. Adapun tentara
Yordania, maka secara umum tidak terjadi peperangan sama sekali.
Tentara Yordania pergi melalui Tepi Timur untuk memasuki
peperangan. Dalam perjalannya mereka melintasi jalan-jalan di pusat kota
Amman dilengkapi senjata berat dan ringan, seperti tank-tank yang
85
membuat masyarakat di antara para remaja dan orang dewasa merasa
tergetar. Jumlah tank-tank itu mencapai angka tiga ratus tank, bahkan ada
yang mengatakan lebih dari angka itu. Akan tetapi, tank-tank itu tidak
melakukan peperangan, melainkan pergi ke Tepi Barat. Di sini mereka
tidak melakukan peperangan namun menunggu dan hanya menunggu
perintah.
Ketika musuh menyerangnya, maka dengan mudah musuh
menghancurkan semua peralatannya, karena mereka dalam posisi
menunggu, bukan dalam posisi yang siap siaga untuk berperang dan
bertempur. Bahkan mereka dalam posisi diam dan menunggu, atau
mereka dalam posisi menarik diri ke Tepi Timur yang mereka namakan
dengan garis pertahanan kedua. Pertahanan dan persenjataan mereka
semua hancur, termasuk mobil-mobil yang diparkir di lembah yang
dipersiapkan, semuanya hancur tanpa kecuali. Begitu pula, sebagian
besar peralatan pasukan Irak juga ikut hancur, semuanya dihancurkan
hanya dalam sekali serangan.
Pasukan Yahûdi adalah pihak yang memutuskan tempat
berlangsungnya peperangan di Yordania. Yordania tidak berpartisipasi
sama sekali, kecuali setelah penembakan di al-Quds (Yerusalem). Maka
mereka mengadakan peperangan di al-Quds saja, sementara di
perbatasan-perbatasan yang lain tetap tenang. Kemudian tentara Israel
bergerak menuju Jenin, sehingga pertempuran dengan mereka terjadi di
Jenin, sementara perbatasan-perbatasan yang lain diam. Dari semua itu
jelaslah bahwa Yahûdi ingin memisahkan dan melenyapkan Hebron dan
juga Betlehem, ketika al-Quds (Yerusalem) telah dikuasai. Mereka juga
ingin memisahkan Nablus, Tulkarm dan lainnya, ketika mereka berhasil
86
memasuki Tubas dan Badan melalui Jenin. Dengan demikian seluruh Tepi
Barat telah jatuh, sehingga tidak perlu lagi melakukan peperangan di
tempat lain. Kemudian keluarlah perintah untuk menarik diri dari Jenin dan
dari al-Quds (Yerusalem) ke garis pertahanan kedua, yakni ke Tepi Timur.
Dengan demikian, seluruh Tepi Barat berhasil dikuasai Israel hanya dalam
waktu 48 jam saja.
Peperangan di Tepi Barat diawasi sendiri oleh Raja Hussein, sehingga
dijamin tidak adanya pemberontakan. Beberapa hari sebelum peperangan
mereka telah melakukan pertemuan, dan mengingatkan mereka akan
konsekuensinya jika mereka melanggar perintah. Mereka selalu diingatkan
tentang pentingnya kedisiplinan dan kepatuhan terhadap perintah. Namun
demikian ada beberapa unit yang melakukan pembangkangan tetapi
akhirnya mereka berhasil dihancurkan. Sementara di Hebron dan
pemberantasannya, maka di sana tidak terjadi tembakan meski hanya
sekali. Pasukan yang ada di hadapan kaum kâfir semua durhaka. Mereka
mengeluarkan perintah untuk menarik diri dan meninggalkan senjatanya,
serta tidak memberikan kesempatan kepada komandan untuk
memutuskan rencana selanjutnya. Hal itu terjadi pada hari Rabu 7 Juni
1967. Setelah mereka menarik diri, semua pesawat tempur dan peralatan
lainnya dihancurkan.
Penduduk Hebron sendiri berulang kali meminta senjata kepada
Gubernur. Namun Gubenur menjanjikan pasukan militer sehingga tidak
perlu persenjataan untuk mereka. Akhirnya tekanan pada Gubernur
semakin kuat, pada hari Rabu 7 Juni 1967 pada saat kehadiran walikota
Hebron. Lalu walikota Hebron menyampaikan kepada mereka bahwa
Hebron adalah kota terbuka. Dia dan Gubenur telah menyerahkannya
87
kepada pemimpin Israel sehari sebelumnya, yaitu pada hari Selasa. Pada
Kamis sore tanggal 8 Juni 1967 orang-orang Yahûdi memasuki Hebron
tanpa ada peperangan. Dan itu semua, setelah penghentian peperangan
secara riil di semua front Yordania.
Inilah beberapa fakta proses peperangan di Tepi Barat, dan beberapa
fakta proses penyerahan Tepi Barat oleh Raja Hussein kepada Israel.
Semua proses itu diawasi sendiri olehnya, sebab dia takut dalam proses
penyerahan ini terjadi pemberontakan dan kekacauan. Apakah setelah
mengetahu fatkta-fakta yang tidak terbantahkan ini masih ada masyarakat
yang tidak mengerti bahwa Inggris yang bersekongkol menghancurkan
pesawat tempur Mesir dan membantai tentara Mesir. Ingat! Inggris
bersama anteknya, sang pengkhianat Hussein yang telah menyerahkan
Tepi Barat dan Masjid al-Aqshâ kepada Israel, sehingga Israel dapat
menaikkan bendera dan simbol Zionis di atasnya. Benar, Inggris adalah
yang memimpin Israel dalam peperangan ini. Sementara sang
pengkhianat, Raja Hussein adalah yang memimpin secara langsung
proses penyerahan Tepi Barat dan Masjid al-Aqshâ.
Inilah kenyataan yang memalukan dan meyedihkan, serta proses
terjadinya. Adapun yang mendorong semua itu dijalankan terkait
persoalan Palestina, maka sesungguhnya Inggris dalam rencana-
rencananya dengan menciptakan perang bersekala besar di kawasan
Timur Tengah adalah keinginan untuk memukul (menjatuhkan) Abdel
Nasser yang merupakan antek Amerika, membersihkan persoalan
Palestina, dan penciptaan bulan sabit yang subur. Semua itu telah
diusahakan dan dicoba oleh Inggris sejak Februari 1966 hingga sekarang
dan terus berusaha untuk berhasil. Tetapi kemudian, dalam perang sekala
88
besar di Palestina dan di Sinai, Inggris berhasil memukul Abdel Nasser
dengan sangat keras dan serius, jika tidak dikatakan hampir mematikan.
Inggris telah membuat sendiri penopang yang kuat untuk pembersihan
persoalan Palestina, namun tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa
ia akan berhasil dalam rancangannya, termasuk rancangannya terkait
perang sekala besar ini. Oleh karena itu, Inggris hanya menciptakan
penopang-penopang saja, Inggris gagal dalam proses terkait persoalan
pembersihan. Adapun keberhasilannya dalam hal penopang, maka
pendudukan yang dicapai Israel adalah penopang yang dapat dijadikan
sebagai subjek bargaining. Sementara ketidak-berhasilannya dalam
mewujudkan rencananya, maka sesunguhnya objek krisis bukanlah
Palestina, melainkan polisi internasional dan Teluk Aqaba, bukan yang
lain.
Untuk itu, keberhasilan Israel menduduki Tepi Barat dan Sinai tidak
menjadikan sebagai pendudukan yang abadi, melainkan pendudukan
yang sementara. Seperti pendudukan di Sinai dan Gaza pada tahun 1956.
Israel akan melakukan perundingan untuk keluar dari tempat-tempat yang
didudukinya sebagai konsesi. Sehingga hal itu tidak bisa dijadikan sebagai
jalan pembersihan. Bahkan, ia hanya penopang untuk solusi pembersihan.
Oleh karena itu, kemudian Amerika melakukan aktivitas politik di luar
Amerika dan di dalam Amerika sendiri, serta di Rusia untuk mengeluarkan
Israel dari tempat-tempat yang didudukinya, dan masuk dalam
perundingan mengenai masalah-masalah pengungsi untuk melaksanakan
rencananya terkait penyelesaian masalah Palestina.
Dengan demikian, hasil dari proses ini adalah untuk menjalankan
secara riil menuju pembersihan persoalan Palestina, baik sesuai dengan
89
rencana AS maupun Inggris. Jika faktanya demikian, maka masalahnya
sekarang setelah pendudukan Israel adalah sebuah tindakan kriminal
apabila seorang Muslim terkait persoalan Palestina menempuh jalur politik
apapun. Sebab dalam hal ini hanya tinggal satu jalan saja tidak ada yang
lain, yaitu jalan militer, jalan perang yang tidak terbatas, perang yang
membinasakan, dan tidak ada jalan lain sama sekali. Untuk itu, kami seru
umat Islâm di seluruh dunia untuk segera menyelamatkan Masjid al-Aqshâ
dan Palestina, dan kami menyerukan mereka untuk segera berjihâd.
Sekaranglah, saat yang baik untuk melakukan serangan mengembalikan
kehormatan.

90
Agama dan Krisis Palestina

Ketika ada orang mempersepsi krisis Palestina bukan masalah agama


(hanya masalah kemanusiaan), sebenarnya persepsi tadi menggantung
pada kerangka pikir yang berdasarkan pandangan hidup yang dibentuk
Yahûdi yaitu sekulerisme dan nasionalisme. Memisahkan agama dalam
hal ini Islâm dalam memahami krisis Palestina itulah cara pandang agama
mereka. Sebab itu kita cuma punya satu pilihan dalam memahami krisis
Palestina, yaitu menggunakan pandangan hidup dan kerangka pikir kita
sendiri yaitu Islâm.
Sebagai sistim nilai yang diyakini setiap pemeluknya, agama telah
membentuk pandangan hidup seseorang yang menjadi dasar, bingkai dan
lingkungan bagi akalnya selama menjalani kehidupan. Terlepas dari benar
atau salah pandangan hidup itu, ia akan membentuk kerangka berpikir
ketika akal berinteraksi dengan realitas untuk membentuk realitas baru
sesuai pandangan hidupnya tadi, inilah yang disebut kerangka berpikir.
Pengakuan akan adanya Tuhan dan persepsi manusia tentang-Nya
ada dalam semua agama, ini dasar pembentukan pandangan hidup
seseorang. Manusia tidak mampu menjangkau Tuhan dengan akal,
perasaan dan panca inderanya. Sehingga ketergantungan manusia
terhadap informasi tentang Tuhan sangat besar guna diîmâninya.
Kesalahan informasi berakibat fatal karena membuat manusia salah
mengîmâni-Nya.
Dan otomatis pandangan hidup dan kerangka berpikir yang akan dia
digunakan dalam memahami dan membuat realitas jadi salah, untuk itulah
harus dipastikan bahwa informasi yang diterima tentang Tuhan harus
91
berasal dari Tuhan sendiri, karena Dia-lah yang mengetahui Diri-Nya.
Juga harus dipastikan manusia yang membawa informasi dari Tuhan
memang utusan yang diangkat oleh Tuhan sendiri, informasi- informasi itu
terhimpun dalam sebuah kitâb suci.
Talmud merupakan kitâb suci kelompok Zionis-Yahûdi di seluruh
dunia. Seluruh tindak-tanduk Zionis-Israel mengacu pada ayat-ayat
Talmudisme. Kita perlu mengetahui apa yang diyakini Yahûdi Israel
sehingga mereka begitu gigih menguasai Palestina sampai menggunakan
cara-cara yang sadis menurut akal manusia. Yahûdi Israel tidak merasa
bersalah karena dalam pikiran mereka Tuhan (Yahweh) tidak pernah
marah kepada orang-orang Yahûdi, melainkan hanya (marah) kepada
orang-orang non-Yahûdi (Talmud IV/8/4a).
Bagi Yahûdi Israel, penyerangan kepada Muslim Palestina bukan
masalah dan mereka tidak terikat dengan aturan apapun. Mengapa?
Karena dalam Talmud disebutkan, “Hanya orang-orang Yahûdi yang
manusia, sedangkan orang-orang non Yahûdi bukanlah manusia,
melainkan binatang” (Kerithuth 6b hal.78, Jebhammoth 61a).
Dari sejarah Yahûdi di Palestina, pada tahun 1170 orang Yahûdi di
daerah itu berjumlah 1140 jiwa. Sampai tahun 1267 di al-Quds
(Yerusalem) hanya dijumpai dua kepala keluarga Yahûdi. Namun pada
tahun 1845 di seluruh Palestina telah bermukim 12.000 Yahûdi sedangkan
penduduk Palestina sendiri saat itu 350.000 orang. Pada tahun 1882
warga Yahûdi yang tinggal di sana menjadi 25.000 jiwa sementara
penduduk muslim 500.000 jiwa.
Pada tahun inilah titik tolak bangsa Yahûdi untuk membuat negara
Israel. Master plan dan road mapnya tertuang dalam buku ‘der
92
Judenstaad’ (The Jewish State). Untuk mewujudkan negaranya pemimpin
Zionis saat itu (1902) Theodore Hertzl melobi Menlu Rusia Plahve dan
Tsar Nicholas II. Hertzl meminta surat pengantar Plahve yang ditujukan
kepada Khalîfah Sulthân Abdul Hamîd II. Surat itu berisi permintaan izin
mendirikan tempat penampungan bagi orang-orang Yahûdi di Palestina.
Surat itu ditolak mentah-mentah oleh Sulthân Abdul Hamîd II dengan
perkataan tegas, “Bagaimana mungkin aku menyerahkan sebagian tanah-
tanah itu, karena daerah itu bukan milikku, tanah itu adalah milik kaum
muslim. Tanah itu diperoleh dan dipertahankan oleh mereka dengan
cucuran keringan, darah dan air mata ribuan prajurit. Selama aku masih
hidup jangan harap kalian bisa menguasai tanah Palestina!”.
Ketegasan Sulthân Abdul Hamîd II tidak membuat Hertzl putus asa.
Dia menawarkan uang tunai tiga juta pounsterling emas ditambah bonus
pelunasan utang luar negeri dengan syarat orang-orang Yahûdi diizinkan
tinggal di Palestina. Tawaran itu juga ditolak keras Sulthân Abdul Hamîd II.
Hal ini membuat Zionis mencari jalan lain. Mereka meminta bantuan
Inggris yang pada saat itu menjadi negara super power dan menguasai
kawasan Palestina dan sekitarnya. Pertemuan antara Hertzl dan Balfour
(Menlu Inggris) pada tahun 1906 membuahkan deklarasi Balfour yang
isinya komitmen Inggris untuk mendirikan negara Israel beserta strategi-
strateginya. Sejak itu sampai proklamasi pendirian negara Israel
berbondong-bondonglah Yahûdi dari Eropa migrasi ke Palestina, jumlah
warga Yahûdi meningkat menjadi 30 persen dari penduduk Palestina.
Kegigihan Yahûdi merebut tanah Palestina dilandasi keyakinan mereka
“Tanah orang non-Yahûdi, kepunyaan orang Yahûdi yang pertama kali
menggunakannya”, (Babba Bathra 54b). “Kepemilikan orang non-Yahûdi
93
seperti padang pasir yang tidak dimiliki; dan semua orang (setiap Yahûdi)
yang merampasnya, berarti telah memilikinya”, (Talmud IV/3/54b).
Maka sejak tahun 1947 tercatat 23 kali peristiwa pembantaian umat
Islâm yang dilakukan tangan-tangan Yahûdi Israel. Selanjutnya mulai
tahun 1967, 18.147 rumah warga Palestina dihancurkan. Sejak tahun
1992, lebih dari 65 resolusi DK PBB dikeluarkan untuk menghentikan
tindakan brutal Israel. Namun, tak satu pun yang dilaksanakan PBB.
Melanggar aturan seolah menjadi watak dasar bangsa Israel ini,
sebagaimana mereka terbiasa melanggar perintah-perintah Tuhan
mereka. Serangan yang dimulai akhir tahun 2008 lalu dimulai pada hari
Sabat yang disucikan orang-orang Yahûdi. Pada hari itu, mereka
seharusnya berdiam di rumah. Namun, yang terjadi mereka justru
melanggarnya.
Yahûdi Israel memahami realitas Palestina dengan agamanya dan
ingin membentuk realitas di sana menurut agamanya. Ketika ada orang
mempersepsi krisis Palestina bukan masalah agama (hanya masalah
kemanusiaan), sebenarnya persepsi tadi menggantung pada kerangka
pikir yang berdasarkan pandangan hidup yang dibentuk Yahûdi yaitu
sekulerisme dan nasionalisme. Memisahkan agama dalam hal ini Islâm
dalam memahami krisis Palestina itulah cara pandang agama mereka.
Sebab itu kita cuma punya satu pilihan dalam memahami krisis
Palestina,yaitu menggunakan pandangan hidup dan kerangka pikir kita
sendiri yaitu Islâm.
Untuk itu para penguasa negeri mkuslim seyogyanya melakukan hal-
hal berikut: Pertama; menyerukan jihâd dan membuka pintu-pintu
perbatasannya dengan Palestina, seraya menggerakkan semaksimal
94
kekuatan tentara yang mereka miliki. Inilah yang wajib mereka lakukan
dalam rangka memenuhi seruan Allâh SWT: Jika mereka meminta
pertolongan kepada kalian dalam urusan agama, maka kalian wajib
menolong mereka. (TQS al-Anfâl [8]: 72).
Kedua, negara Israel harus dihapus sebagaimana Rasûlullâh saw.
mengusir orang-orang Yahûdi dari semenanjung ‘Arab. Sebab, akar
persoalannya adalah berdirinya negara Israel di tanah kaum Muslim.
Tanah Palestina adalah hak dan milik umat Islâm yang diperoleh dengan
tetesan darah dan air mata serta mengorbankan banyak nyawa.

95
Kehancuran Negara Banî Israel Makin Dekat

Penyerbuan Israel terhadap Gaza beberapa waktu lalu kian


menunjukkan tabiat mereka sebagai bangsa yang biadab. Dalam
serangan selama tiga pekan itu, Israel tidak membedakan objek
sasarannya. Anak-anak, wanita, orang tua, dan orang sakit yang tidak
berdaya pun menjadi sasarannya. Banyak gedung, rumah, sekolah, rumah
sakit dan infrastruktur yang hancur. Tak ketinggalan, banyak masjid juga
menjadi sasaran keganasan Israel, bahkan negara Zionis itu
menggunakan fosfor putih yang amat merusak. Kawasan yang sudah
lama dipenjara dalam tembok-tembok batas buatan Israel itu pun luluh
lantak.

Bukan sekali ini saja mereka melakukan kebiadaban. Sejak bangsa itu
merampas tanah Palestina, telah banyak kaum Muslim yang menjadi
korbannya. Berbagai kerusakan yang dilakukan Israel itu sesungguhnya
kian mendekatkan mereka kepada kehancuran. Berkaitan dengan hal ini
dapat disimak dalam firmân Allâh Swt.
“Dan telah Kami tetapkan terhadap Banî Israel dalam Kitâb itu:
Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali
dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang
besar. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari
96
kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami
yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di
kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian
Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan
Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami
jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti)
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka
kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi
(kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk
menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid,
sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan
untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”.
(TQS. al-Isrâ’ [17]: 4-7).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa Banî Israel akan melakukan dua kali
kerusakan besar di muka. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Jarîr al-Thabârî,
kata latufsidunna bermakna lata’shinna (sungguh-sungguh kalian berbuat
ma’siyât). Sementara lata’lunna uluww[an] kabîr[an] berarti latastakbiranna
‘alâl-Lâh bi ijtirâikum ‘alayhi istikbar[an] syadîd[an] (menyombongkan diri
dengan kesombongan yang sangat di hadapan Allâh dengan berbuat
lancang terhadap-Nya). Di hadapan Allâh Swt mereka menolak untuk taat,
di hadapan manusia mereka berbuat dzalim dan melampaui batas.
Menurut sebagian mufassir, kejahatan besar itu terjadi di masa silam.
Sesudah mereka melakukan berbagai kejahatan, seperti membunuh Nabi
Zakarîyyâ a.s., didatangkan kepada mereka pihak yang mengalahkan
mereka. Mereka adalah Jâlût dan tentaranya. Lalu mereka diberi
kesempatan mengalahkan Jâlût dan tentaranya kembali melalui tangan
97
Dâwûd a.s. Ada juga yang menyatakan, mereka dihancurkan oleh
pasukan Nebukadnezar, Raja Babilonia. Sebagian lainnya menafsirkan,
kaum yang menghancurkan mereka adalah Raja Sinhareb dari Assuria.
Lainnya lagi menunjuk bangsa Amaqilah yang tinggal di Palestina sebagai
pelakunya.
Jika dicermati, ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa
pendapat-pendapat itu tidak tepat.
Pertama, dari segi waktu kejadian. Dalam ayat ini digunakan lafadz
latufsidunna dan wata’lunna. Keduanya adalah al-fi’l al-mudhâri’ yang
mengandung pengertian sekarang dan akan datang. Hal ini diperkuat
dengan huruf al-lâm di awal kedua al-fi’l al-mudhâri’. Menurut Syekh As’ad
Bayudh al-Tamimi, huruf al-lâm tersebut memberikan makna akan datang
dan bersifat kepastian. Sehingga makna kata latusidunna dan lata’lunna
adalah kalian pasti akan melakukan kerusakan dan kalian pasti melakukan
kesombongan. Ini berarti, ketika ayat ini diturunkan, peristiwa itu belum
terjadi, bukan sebelumnya. Sementara peperangan dengan Jâlût atau
pembantaian oleh Nebukadnezar dilakukan jauh sebelum ayat ini turun.
Oleh karena itu tidak tepat jika ayat ini merujuk kepada kejadian di masa
silam.
Memang masih terbuka peluang penafsiran untuk umat di zaman dulu
manakala kata al-Kitâb dalam ayat ini diartikan Taurât atau Lawh al-
Mahfûzh. Namun jika dikaitkan dengan makna keseluruhan janji dalam
ayat ini –sebagaimana dijelaskan dalam paparan berikutnya–, maka kata
al-Kitâb tersebut lebih tepat dimaknai al-Qur’ân.
Kedua, pihak yang mengalahkan Banî Israel. Dalam ayat ini
disebutkan bahwa pihak yang dibangkitkan Allâh Swt untuk mengalahkan
98
mereka ketika mereka melakukan kerusakan pertama adalah ‘ibâd[an]
lanâ. Dalam al-Qur’ân, lafadz ‘abd yang disandarkan dengan Allâh Swt,
hanya digunakan untuk manusia yang menghambakan diri kepada-Nya.
Sehingga, lafadz tersebut menunjuk kepada orang-orang Mu’min yang
shâlih. Dalam ayat pertama surat ini, misalnya digunakan lafadz bi ‘abdihi
untuk menyebut Rasûlullâh saw. Demikian juga dalam firmân Allâh Swt:
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allâh (Muhammad) berdiri menyembah-
Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak
mengerumuninya”. (TQS. al-Jinn [72]: 19).
Kata ‘abdinâ yang menunjuk kepada Rasûlullâh saw juga terdapat
dalam QS. al-Bâqarah [2]: 23. Kata tersebut juga digunakan untuk Nabi
Nûh dan Nabi Lûth dalam QS. al-Tahrîm [60]: 11. Digunakan juga untuk
menyebut Nabi Ibrâhim, Nabi Ishâq, dan nabi Ya’qûb (lihat QS. Shâd [38]:
45). Tentang ‘ibâd al-Rahmân, Allâh Swt juga berfirmân:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik”. (TQS.
al-Furqân [25]: 63).
Dalam beberapa ayat selanjutnya, karakter ‘ibâd al-Rahmân
digambarkan sebagai hamba Allâh yang shâlih. Bertolak dengan
kenyataan tersebut, maka lafadz ‘ibâd[an] lanâ yang akan mengalahkan
Banî Israel itu tidak tepat jika dinisbahkan kepada Jâlût dan tentaranya,
Nebukadnezar dari Babilonia, Raja Sinhareb dari Assuria, bangsa bangsa
Amaqila.
Digunakannya kata ba’atsnâ (Kami bangkitkan) makin menguatkan
bahwa hamba Allâh Swt yang mengalahkan mereka pada kerusakan
99
pertama yang mereka lakukan itu adalah orang-orang yang diridhai-Nya.
Kata ba’atsa, bisa berarti menghidupkan setelah kematiannya. Bisa pula
berarti arsala (mengirimkan). Dalam al-Qur’ân, semua kata ba’atsnâ –
yakni kata ba’atsa yang di-mudhaf-kan kepada Allâh Swt– disebutkan
dalam konteks pujian. Mereka adalah para nabi dan rasûl, orang-orang
shâlih, dan pemberi peringatan. Allâh Swt berfirmân:
“Kemudian sesudah Nûh, Kami utus beberapa rasûl kepada kaum mereka
(masing-masing), maka rasûl-rasûl itu datang kepada mereka dengan
membawa keterangan-keterangan yang nyata”. (TQS. Yûnus [10]: 74).
Allâh Swt berfirmân:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasûl pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): Sembahlah Allâh (saja), dan jauhilah Thâghût itu”. (TQS. al-
Nahl [16]: 36).
Allâh Swt berfirmân:
“Dan andai kata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-
tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasûl)”. (TQS. al-Furqân
[25]: 51).
Dengan demikian, hamba yang dibangkitkan Allâh Swt untuk
mengalahkan Banî Israel adalah kaum Mu’min. Bukan dari kalangan kaum
kâfir, seperti Nebukadnezar, Jâlût, dan sebagainya.
Ketiga, rangkaian peristiwa. Dalam ayat ini, peristiwa yang melibatkan
Banî Israel sebagai pelaku kekerasan dan ‘ibâd[an] lanâ sebagai pihak
yang dibangkitkan untuk mengalahkan Banî Israel berkelanjutan; mulai
dari kerusakan pertama hingga kerusakan kedua.
Diberitakan ayat ini, setelah Banî Israel melakukan kerusakan besar di
muka bumi, lalu dibangkitkan ‘ibâd[an] lanâ untuk mengalahkan dan
100
menghukum mereka. Kelak kemudian hari, Banî Israel diberi kesempatan
lagi untuk mengalahkan pihak yang dulu menghukum mereka pada
kerusakan pertama. Dalam ayat ini disebutkan:
“Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka
kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak
dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar”. (TQS. al-Isrâ’ [17]: 6).
Frasa radadnâ lakum al-karrah ‘alayhim (Kami berikan kepadamu
giliran untuk mengalahkan mereka kembali). Dhamîr hum (kata ganti
mereka) merujuk kepada ayat sebelumnya. Mereka tidak lain adalah
‘ibâd[an] lanâ. Mereka yang sebelumnya mengalahkan Banî Israel, selang
beberapa waktu kemudian akan dikalahkan Banî Israel. Peristiwa itu
terjadi agak lama setelah kerusakan pertama. Sebab, dalam ayat ini
digunakan kata tsumma yang memberikan makna li al-tartîb ma’a al-
takhalli (urutan peristiwa disertai dengan senggang waktu). Setelah
mereka melakukan kerusakan kedua, maka mereka kembali dikalahkan
kaum yang sebelumnya menghukum mereka pada kerusakan kedua. Itu
artinya, peristiwa yang diberitakan dalam ayat ini merupakan rangkaian
yang berkelanjutan.
Bertolak dengan kenyataan tersebut, jika ditafsirkan bahwa pihak yang
yang menghacurkan mereka adalah Jâlût atau Nebukadnezar jelas tidak
tepat. Sebab, pertikaian di atara mereka tidak berlanjut kepada generasi-
generasi berikutnya. Bangsa Babilonia sudah lama menghilang. Demikian
dengan Jâlût dan tentaranya.
Dengan tiga alasan tersebut, maka penafsiran yang menjelaskan
bahwa berita dalam ayat tentang kerusakan Banî Israel sudah terjadi
sebelum turunnya ayat ini tidak tepat. Berdasarkan tiga alasan itu pula
101
dapat disimpulkan bahwa peristiwa itu terjadi sesudah diutusnya
Rasûlullâh saw. Sedangkan pihak yang dibangkitkan Allâh Swt untuk
membangkitkan mereka adalah Rasûlullâh dan umat beliau, umat Islâm.
Pertama, dari segi waktu kejadian. Ayat ini turun di Makkah, sebelum
peristiwa hijrah Nabi saw ke Madînah. Jika digunakan al-fi’l al-mudhâri’,
yakni latufsidunna dan wata’lunna, maka peristiwa yang diberitakan itu
terjadi sesudah ayat ini turun. Fakta sejarah menunjukkan, Banî Israel
benar-benar melakukan kerusakan besar setelah hijrahnya Rasûlullâh saw
ke Madînah.
Ketika Rasûlullâh saw hijrah ke Madînah, sudah ada tiga kabilah besar
dari kalangan Yahûdi yang tinggal di Madînah dan sekitarnya. Ketiganya
adalah Banî Qainuqâ’, Banî Nadhîr, dan Banî Quraizhah. Sesungguhnya
Banî Isrâ’îl itu telah mendapat khabar mengenai akan diutusnya nabi akhir
zaman. Bahkan, Nabi ‘Îsâ pun sudah memberitahukan kepada mereka
nama nabi yang akan diutus itu (lihat QS. al-Isrâ’ [61]: 6). Sehingga
mereka amat mengenali Rasûlullâh saw, bahkan seperti mengenali anak-
anak mereka sendiri. Allâh Swt berfirmân:
“Orang-orang (Yahûdi dan Nasrânî) yang telah Kami beri al-Kitâb (Taurât
dan Injîl) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui”. (TQS. al-
Bâqarah [2]: 146).
Meskipun demikian, itu tidak membuat mereka berîmân. Mereka justru
ingkar ketika Rasûlullâh saw diutus, dan menuduh beliau membawa sihr
mubîn (sihir yang nyata) (lihat QS. al-Shâf [61]: 6). Pengingkaran itu

102
disebabkan karena mereka sakit hati ketika rasûl terakhir yang diutus
bukan dari kalangan mereka. Allâh Swt berfirmân:
“Sebahagian besar Ahli Kitâb menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekâfiran setelah kamu berîmân, karena
dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran”. (TQS. al-Bâqarah [2]: 109).
Rasa dengki itu melahirkan permusuhan terhadap Islâm dan umatnya.
Berbagai tindakan lancang dan kurang ajar mereka lakukan terhadap
umat Islâm. Seperti yang dilakukan Banî Qainuqâ terhadap seorang
Muslimah yang ke pasar mereka. Diam-diam seorang pengrajin
mengikatkan ujung baju wanita itu sehingga ketika bangkit, auratnya
tersingkap. Mereka pun tertawa dibuatnya. Secara spontan wanita Muslim
itu berteriak. Seorang laki-laki Muslim yang berada di dekatnya melompat
ke arah pengrajin itu dan membunuhnya. Orang-orang Yahûdi lainnya lalu
mengikat laki-laki itu dan membunuhnya. Ketika Rasûlullâh saw
mendengar berita tersebut, Rasûlullâh saw langsung memobilisasi kaum
Muslim. Setelah mereka dikepung dalam benteng selama lima belas hari,
akhirnya mereka menyerah. Keputusan akhirnya, Banî Qainuqâ’ itu
dipaksa angkat kaki dari Madînah.
Tak cukup di situ, Banî Israel itu bahkan menyusun berbagai skenario
untuk membunuh Rasûlullâh saw dan menghabisi kaum Muslim. Ketika
Rasûlullâh saw berada dalam rumah salah seorang Banî Nadhîr, ada
salah seorang di antara mereka yang diperintahkan untuk membunuh
Rasûlullâh saw. Caranya, dengan menjatuhkan batu penggiling dari atap
rumah. Namun rencana jahat tersebut gagal karena Rasûlullâh saw

103
mendapat kabar dari Malaikat Jibril. Tindakan mereka itu tentu jelas
merupakan kema’siyâtan besar.
Betapa tidak, orang yang hendak mereka bunuh adalah utusan Allâh
Swt. Sosok yang menjadi uswah hasanah bagi manusia (lihat QS. al-
Ahzâb [33]: 21); tidak keluar dari lisannya kecuali wahyu yang diwahyukan
Allâh Swt kepadanya (lihat QS. al-Najm [53]: 3-4); tidak melakukan
perbuatan kecuali mengikuti wahyu-Nya (lihat QS. al-An’âm [6]: 50);
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya (lihat QS. al-
Thâlaq [65]: 11); sehingga mentaati perintahnya sama halnya dengan
mentaati Allâh Swt. (lihat QS. an-Nisâ’ [4]: 69). Terhadap pelaku
pembunuhan para nabi, Allâh Swt berfirmân:
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka
mendapat kemurkaan dari Allâh. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allâh dan membunuh para nabi yang memang tidak
dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka
dan melampaui batas”. (TQS. al-Bâqarah [2]: 61).
Ayat ini menunjukkan betapa besarnya dosa membunuh para nabi.
Oleh karena, ketika tindakan itu mereka lakukan terhadap Rasûlullâh
saw., berarti mereka telah melakukan kerusakan atau kema’siyâtan besar.
Dan sebagai hukuman atas kejahatan mereka, Allâh Swt.
menganugerahkan kemenangan kaum muslimîn atas mereka. Setelah
dikepung benteng mereka selama lima atau enam hari, mereka akhirnya
menyerah dan hengkang dari Madînah. Rasûlullâh saw. memberikan
kesempatan kepada mereka meninggalkan Madînah dengan membawa
harta yang dapat dibawa. Berkaitan dengan pengusiran Yahûdi Banî
Nadhîr, Allâh Swt berfirmân:
104
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kâfir di antara ahli Kitâb dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama.
Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan
mereka dari (siksaan) Allâh; maka Allâh mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allâh
mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-
orang yang berîmân. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan jika tidaklah
karena Allâh telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar
Allâh mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat adzab
neraka”. (TQS. al-Hasyr [59]: 2-3).
Kejadian itu tidak membuat mereka jera. Para pemimpin Yahûdi Banî
Nadhîr kemudian memprovokasi kaum Quraiys dan kebilah-kabilah di
sekitarnya untuk menyerang Rasûlullâh saw dan kaum Muslim. Mereka
juga berjanji untuk membantu dan mendukung rencana tersebut. Para
kabilah yang berhasil diprovokasi itu pun berhimpun menjadi satu.
Pasukan yang terdiri dari berbagai kabilah (Quraiys, Kinanah, Ghathfan,
dll yang disebut dengan ahzab) berjumlah amat besar, hingga mencapai
sekitar sepuluh ribu pasukan. Jumlah tersebut lebih banyak daripada
seluruh penduduk Madînah, termasuk anak-anak, wanita, dan orang-
orang tua.
Ketika pasukan ahzab datang hendak menyerbu Madînah, Yahûdi
Banî Quraizhah pun berkhianat. Mereka mengkhianati perjanjian yang
telah disepakati bahwa mereka tidak menolong siapa pun yang hendak
105
memerangi Rasûlullâh saw. Mereka bersekongkol dengan pasukan kaum
Musyrik untuk menikam umat Islâm dari belakang; menghabisi umat Islâm
hingga ke akar-akarnya. Tentu saja, kejahatan mereka pun bisa disebut
sebagai kerusakan dan kema’siyâtan besar. Dan lagi-lagi, Allâh Swt
memberikan pertolongan-Nya kepada Rasûlullâh saw dan kaum Muslim.
Setelah pasukan Ahzab diporakporandakan pasukan malaikat sehingga
mereka pulang dengan kekalahan, kaum Yahûdi Banî Quraizhah
dikepung. Akhirnya mereka berhasil ditaklukkan. Mereka dijatuhi hukuman
berat: laki-laki yang sudah baligh dijatuhi hukuman mati, harta bendanya
disita. Peristiwa itu diabadikan dalam firmân Allâh Swt:
“Dan Allâh menghalau orang-orang yang kâfir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun.
Dan Allâh menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan. Dan
adalah Allâh Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Dan Dia menurunkan orang-
orang Ahli Kitâb (Banî Quraizhah) yang membantu golongan-golongan
yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa
takut dalam hati mereka. Sebahagian mereka kamu bunuh dan
sebahagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu
tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula)
tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allâh Maha Kuasa terhadap
segala sesuatu”. (TQS. al-Ahzâb [33]: 25-27).
Setelah itu, yang masih tersisa adalah Yahûdi yang di Khaibar. Khaibar
merupakan kandang kosnpirasi dan pengkhianatan, pangkalan militer,
sumber permusuhan, dan pemicu peperangan. Di kampung itu, berhimpun
kaum Yahûdi yang mendorog Banî Quraizhah melanggar perjanjian dan
berkhianat; menjalin kontak dengan kaum munafik yang menjadi duri
106
dalam masyarakat Islâm; dan berhubungan dengan penduduk Ghathfan
dan orang-orang Badui yang memusuhi Islâm. Di samping itu mereka
menjalin kerjasama dengan kâfir Makkah untuk menyerang kaum Muslim.
Namun belum sempat makar itu direalisasikan, mereka diserbu terlebih
dahulu oleh tentara kaum Muslim. Beberapa benteng yang mereka
gunakan sebagai pelindung pun akhirnya berhasil dijebol kaum Muslim.
Mereka pun akhirnya ditaklukkan. Kekalahan Yahûdi Khaibar sekaligus
menjadi akhir keberadaan Banî Israel di Jazîrah ‘Arab. Sesudah itu
mereka terserak-serak ke berbagai daerah dan negera.
Demikianlah, Banî Israel itu telah melakukan kerusakan dan
kesombongan besar. Namun mereka akhirnya dapat dikalahkan dan diusir
dari kampung halamannya oleh hamba-hamba Allâh Swt: Rasûlullâh saw
dan para shahâbâtnya. Kejahatan Banî Isrâ’îl di masa Rasûlullâh saw itu
bisa dimasukkan pada kerusakan pertama.
Kedua, pihak yang mengalahkan mereka. Sebagamaina telah dipaparkan,
sebutan ‘ibâd[an] lanâ itu disematkan orang-orang yang menghambakan
diri kepada-Nya. Selain ayat yang telah disebutkan di atas, beberapa ayat
lainnya juga menyebut Rasûlullâh saw sebagai hamba-Nya, seperti dalam
QS al-Bâqarah [2]: 23. Dalam QS al-Tahrîm [66]: menyebut Nûh dan Lûth
sebagai ‘abdinâ min ‘ibâdinâ al-shâlihîn.
Dengan demikian, setelah ayat ini diturunkan maka umat yang berhak
menyandang gelar ‘ibâd[an] lanâ adalah umat Rasûlullâh saw. Dan
sebagaimana terjadi dalam sejarah, merekalah yang terbukti diberi
pertolongan Allâh Swt untuk menghukum kejahatan mereka.
Penyebutan ulî ba’s[in] syadîd[in] makin mengukuhkan kesimpulan itu.
Sebagaimana diterangkan al-Syaukânî, kata tersebut berarti orang yang
107
memiliki quwwah fî hurûb wa bathsy ‘inda al-liqâ’ (kekuatan dalam perang
dan keras ketika bertemu). Sifat ini amat tepat jika dikaitkan dengan
Rasûlullâh saw dan para shahâbâtnya. Dalam berperang, mereka adalah
pasukan yang gagah berani. Kekuatan mereka jauh melebih kaum kâfir.
Allâh Swt berfirmân:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-
orang kâfir, disebabkan orang-orang kâfir itu kaum yang tidak mengerti.
Sekarang Allâh telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang
yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika
di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allâh. Dan Allâh beserta
orang-orang yang sabar”. (TQS. al-Anfal [8]: 65-66).
Ayat ini memberikan gambaran amat jelas, bahwa kekuatan kaum
Muslim dua kali lipat dibanding dengan kaum kâfir. Bahkan sebelumnya,
kekuatan mereka dinyatakan setara dengan sepuluh orang kâfir. Ini jelas
menunjukkan betapa besarnya kekuatan mereka.
Hampir dalam setiap peperangan melawan kaum kâfir, jumlah mereka
lebih sedikit. Meskipun demikian, mereka bisa mengalahkan kaum kâfir
itu. Pada Perang Badar, jumlah kaum Muslim yang hanya 317 harus
berhadapan dengan pasukan Qurays yang berjumlah lebih dari seribu.
Bahkan pada Perang Mu’tah, pasukan kaum Muslim yang berjumlah 3.000
berhasil mengimbangi pasukan Romawi yang 200.000. Pasukan Romawi
108
itu pun akhirnya ketakutan melanjutkan pertempuran. Sebagaimana telah
dipaparkan, semua kabilah Banî Israel di Madînah dan sekitar tak ada
yang mampu berhadapan dengan Rasalullah saw dan para shahâbâtnya.
Umat Islâm di bawah pimpinan Rasûlullâh saw, juga berhasil mengusir
seluruh kabilah Banî Israel dari kampung halaman mereka. Ungkapan
fajâsû khilâla al-diyâr amat tepat untuk menggambarkan tindakan yang
mereka lakukan. Sebagaimana dikatakan Abdul Halîm Khawaja dalam
Hatmiyatu Izâlat Dawlah Ban Isrâ’îl, kata fajâsû khilâla al-diyâr berarti
datang dan pergi, lalu mengelilingi kampung. Mereka memeriksa, apakah
masih ada orang yang tersisa; yang masih belum meninggalkan kampung
mereka atau yang belum dihukum mati. Gambaran ini amat sesuai dengan
tindakan para shahâbât ketika memerangi kabilah-kabilah Banî Israel

109
Khilâfah Akan Menaungi Palestina

Kaum Muslim seharusnya menyadari bahwa Yahûdi sebenarnya lemah


dan pengecut. Mereka tidak akan mampu berhadapan dengan kaum
Muslim jika saja kaum Muslim bersatu. Jika kita menelaah nash al-Qur’ân
tentang kaum Yahûdi, jelaslah bahwa Kaum Yahûdi sebenarnya kaum
yang lemah. Mereka tidak akan pernah memiliki kekuatan jika berhadapan
dengan umat Islâm yang bersatu di bawah satu komando kepemimpinan.
Allâh Swt. berfirmân:
“Mereka tidak akan membahayakan kalian, kecuali hanya dengan kata-
kata mereka yang menyakitkan. Jika mereka memerangi kalian, niscaya
mereka akan mundur kocar-kacir, kemudian mereka tidak akan
mendapatkan kemenangan. Mereka akan ditimpa kehinaan di mana saja
mereka berada, kecuali jika mereka terikat dengan tali Allâh dan tali
manusia”. (TQS ‘Alî Imrân [3]: 111-112).
Dua ayat ini menjelaskan posisi Yahûdi di hadapan umat Islâm.
Setelah Allâh menjelaskan posisi umat Islâm sebagai umat terbaik (khayru
ummah) pada ayat sebelumnya (ayat ke-110), pada dua ayat ini Allâh
menjelaskan bahwa Yahûdi seharusnya tidak berkutik, lemah dan tidak
berdaya jika berhadapan dengan umat Islâm. Mereka baru akan
mendapat kemuliaan jika mereka terikat dengan tali Allâh dan tali
manusia. Imâm Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
tali Allâh adalah transaksi dzimmah (yaitu menjadi kâfir dzimmi) dan
membayar jizyah kepada pemerintahan Islâm. Adapun yang dimaksud
dengan tali manusia adalah: perdamaian, perjanjian dan suaka dari umat
Islâm. Kedua ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa umat Islâm akan
110
ada pada posisi kuat jika mereka memiliki pemerintahan yang mandiri.
Pemerintahan inilah yang akan memberikan perlindungan (dzimmah) dan
jaminan keamanan kepada Yahûdi. Jika kaum Yahûdi tidak mau menjadi
ahl adz-dzimmah dan tidak meminta suaka kepada umat Islâm maka
mereka tidak akan ada dalam posisi aman. Di mana saja mereka berada
akan selalu terusir dan dihinakan.
Namun sayang, saat ini umat Islâm tidak memiliki kekuatan untuk itu,
karena lenyapnya Daulah Khilâfah Islâm. Akibatnya, posisi umat Islâm
yang kuat dan disegani tidak bisa diwujudkan. Karenanya, wajar jika saat
ini Yahûdi sepertinya berada dalam posisi kuat, dan selalu mendapatkan
kemenangan; tidak seperti yang diceritakan di dalam kedua ayat di atas.
Di dalam QS al-Isra’ (17) ayat ke 4-8, Allâh Swt. menjelaskan tentang
perjalanan kaum Yahûdi di dunia ini. Mereka akan selelalu melakukan
kerusakan di muka bumi. Namun, setiap kali mereka melakukan
kerusakan maka akan datanglah tentara Allâh yang akan melibas dan
menghancurkan kekuatan mereka. Di dalam ayat kedelapan Allâh
menjelaskan (yang artinya):
“Jika kalian kembali (melakukan kerusakan) maka Kami akan kembali
menindak kalian”. (TQS al-Isrâ [17]: 8).
Ketika mengomentari ayat ini, Sayyid Qutb berkata dalam tafsirnya:
“Jika Banî Isrâ’îl kembali melakukan kerusakan di muka
bumi, balasan pasti akan datang di hadapan mereka.
Sunnatullâh terhadap mereka pasti akan berlaku. Memang
benar, Yahûdi kembali melakukan kerusakan. Lalu Allâh
memberikan kekuasaan kepada kaum Muslim terhadap

111
mereka hingga mereka terusir dari Jazîrah Arab. Setelah itu, mereka
kembali lagi melakukan kerusakan. Lalu Allâh pun memberikan
kekuasaan kepada hamba-hamba-Nya yang lain untuk menindak
mereka hingga datanglah masa Hitler yang mengenyahkan kekuatan
mereka. Hari ini kaum Yahûdi dalam bentuk Israel kembali melakukan
kerusakan. Mereka telah menimpakan berbagai malapetaka kepada
bangsa ‘Arab, khususnya Palestina. Karenanya, pasti Allâh akan
menghancurkan kekuatan mereka dengan lahirnya kekuatan pasukan
umat Islâm. Inilah janji Allâh yang pasti akan terjadi. Waktu kita
menunggunya sudah sangat dekat”.
Berdasarkan ayat ini, kaum Yahûdi akan selalu melakukan kerusakan
berulang-ulang ketika mereka memiliki kekuatan dan kesempatan, dan
ketika umat Islâm jauh dari agamanya. Imâm Abu Bakar Jabir al-Jazîrî
dalam tafsir Aysar at-Tafâsir menjelaskan sebab kekuatan umat Islâm
yang mampu menghalau dan menghentikan kejahatan Israel adalah
karena mereka memiliki negara yang besar dan kuat. Mereka bisa
memiliki negara yang besar dan kuat karena mereka menerapkan
Kitâbullâh dan terikat dengan Syarî’ah-Nya.
Demikian juga dengan umat Islâm saat ini. Mereka tidak akan memiliki
kekuatan untuk menghadapi musuh-musuhnya, termasuk Yahûdi Israel,
kecuali dengan kembali menjalankan Syarî’ah Allâh di bawah naungan
negara yang kuat, yaitu Khilâfah.
Lalu apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan Gaza ini? Solusinya sangatlah jelas. Semua kaum Muslim
sudah mengetahuinya tanpa harus membuka kitâb-kitâb para ‘Ulamâ
untuk membahasnya. Semua kaum Muslim tahu, bahwa jika ada satu
112
negeri Muslim yang diserang dan diduduki maka fardhu ‘ain bagi
penduduk negeri itu untuk berjihâd. Jika mereka tidak mampu maka
kewajiban jihâd ini meluas kepada penduduk di negeri terdekat. Dalam hal
ini yang paling wajib setelah penduduk Gaza adalah kaum Muslim dan
tentara Muslim di Mesir.
Siapapun pasti mengetahui bahwa besi tidak bisa dihadapi kecuali
dengan besi juga, pasukan tidak bisa dihadapi kecuali dengan pasukan
pula. Pendudukan tidak bisa dihentikan kecuali dengan kekuatan. Karena
itu, yang harus dilakukan oleh para pemimpin ‘Arab adalah mengerahkan
pasukan mereka untuk mengusir Israel, permasalahan Palestina tidak
akan bisa diselesaikan kecuali oleh kaum Muslim sendiri.
Upaya menyerahkan permasalahan Palestina kepada dunia
internasional sama saja dengan membuka jalan bagi penjajahan kaum
kâfir dan semakin mengokohkan eksistensi Israel. Hal ini sangat
bertentangan dengan firmân Allâh Swt.: “Dan Allâh sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kâfir untuk menguasai orang-orang
berîmân”. (TQS. an-Nisâ [4]: 141).
Sejarah telah membuktikan, Palestina berhasil ditaklukan dari
kekuasan kaum Nasrânî dengan kekuatan pasukan kaum Muslim.
Penguasa kaum Muslim saat itu terus-menerus melakukan peperangan
untuk menaklukan Palestina selama 200 tahun hingga
akhirnya Palestina berhasil dikuasai kembali di bawah
pimpinan Sulthân Shalâhuddîn.
Karena itu, saat ini pun tidak jauh berbeda. Tidak
mungkin membebaskan Palestina dari cengkeraman
Yahûdi Israel, kecuali melalui kekuatan pasukan yang hebat di bawah
113
komando Amîrul Mu’minîn (Imâm / Khalîfah). Inilah yang saat ini harus
diupayakan oleh kaum Muslimîn, menegakkan kembali Khilâfah Islâm.
Khilâfah itulah yang akan mengusir Israel dan akan menyelesaikan
permasalahan Palestina serta semua permasalahan yang menimpa kaum
Muslim saat ini.
Bukan hanya akan dapat dibebaskan oleh Khilâfah, Palestina bahkan
akan menjadi pusat Kekhilâfahan. Hal ini diperkuat oleh beberapa hadîts
Rasûlullâh saw. yang memberikan isyarat bahwa Kekhilâfahan akan
singgah di Palestina, bahkan Palestina suatu saat akan menjadi ibukota
Khilâfah yang kedua ini.
Ibn Hawalah menuturkan bahwa Rasûlullâh saw. pernah berkata:
“Sungguh Syam akan ditaklukan untuk kalian. Kekayaan Persia dan
Roma akan dibagikan kepada kalian. Kemudian salah seorang dari kalian
akan memiliki harta begini dan begini hingga salah seorang akan diberi
harta seratus dinar, tetapi ia marah karenanya”. Kemudian Beliau
meletakkan tangannya di kepalaku dan bersabda, “Jika engkau telah
melihat Khilâfah menempati tanah yang disucikan (Palestina) maka akan
datanglah saatnya banyak gempa, guncangan, fitnah dan perkara-perkara
besar. Saat itu Kiamat lebih dekat dari manusia daripada tanganku ini dari
kepalamu”. (HR Ahmad, Abu Dâwûd, ath-Thabrânî, al-Hâkim, al-Baihâqî
dan adh-Dhiyâ).
Berdasarkan hadîts ini, Khilâfah yang akan singgah di Baitul Maqdis itu
bukanlah Khilâfah pada masa Umar (yang telah menaklukannya). Sebab,
peristiwa besar dan guncangan yang diceritakan di dalam hadîts belum
terjadi. Peristiwa tersebut baru akan terjadi setelah Khilâfah yang kedua,

114
yaitu Khilâfah yang saat ini sedang diperjuangkan dan dinantikan oleh
kaum Muslim.
Rasûlullâh saw. pernah bersabda:
“Ingatlah, ibukota negeri kaum Mukmin adalah Syam”. (HR Ahmad, Ibnu
Hibban dan Ibnû Asâkir dalam Kanzul-Ummal).
Yang dimaksud dengan Syam di sini adalah Baitul Maqdis. Hal ini
dikuatkan oleh hadîts-hadîts lain yang menyatakan bahwa Khilâfah akan
berada di Baitul Maqdis. Ibnu Hibban menceritakan dalam kitâb Shahîh
Ahâdîts, bahwa asy-Syâm (daerah yang mencakup Yordania, Syria,
Palestina, Libanon dan bagian dari Irak) akan menjadi pusat tanah
(ibukota) orang-orang Mukmin pada akhir zaman.
Masirah bin Jalis bertutur, berdasarkan penuturkan dari al-Wâlid bin
Muslim, dari Marwan bin Janah, dari Yûnus bin Maisarah al-Jabalânî,
bahwa Rasûlullâh saw. pernah bersabda:
“Urusan (Pemerintahan Islâm / Khilâfah) ini akan berada di Madînah
(Yatsrib), lalu di Syam, kemudian di Jazîrah (Damaskus), selanjutnya di
Irak, lalu di Madînah (Konstantinopel), dan kemudian di Baitul Maqdis
(Palestina)”. (HR Ibnu Asâkir).
Para ‘Ulamâ meyakini bahwa yang dimaksud dengan Madînah (yang
kedua) adalah kotanya Heraclius (Konstantinopel). Hadîts ini juga
membicarakan tentang kota-kota yang akan menjadi ibukota Khilâfah dan
semuanya telah terjadi, kecuali Baitul Maqdis. Insya Allâh, Baitul Maqdis
akan menjadi ibukota Khilâfah suatu saat nanti.
Abdurrahmân bin Abî Umairah al-Mujnî mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Rasûlullâh saw. Bersabda:

115
“Di sana, di Baitul Maqdis, akan terjadi baiat (kepada Imâm/Khalîfah)”.
(HR Ibnu Asakir).
Hadîts ini juga diriwayatkan oleh al-Hakîm dan beliau
menshahihkannya. Abdullâh bin Umar ra. Berkata, bahwa Rasûlullâh saw.
pernah bersabda:
“Akan ada hijrah setelah hijrah. Penduduk bumi paling baik adalah orang
yang menempati tempat hijrahnya Ibrahim (Syam / Palestina)”. (HR. al-
Hakîm).
Al-Hakim berkata, “Hadîts ini shahih sesuai dengan syarat al-Bukhâri
dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkannya”. Wal-Lâhu a’lam bi
al-shawâb.

116
Renungan Penutup
“Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan
agama, maka kalian wajib menolong mereka”. (TQS. al-Anfâl [8]: 72)
“Sesungguhnya Allâh Telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (TQS. at-Taubah
[9]: 111)
"Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak
memperjuangkan kebenaran, dan mereka tidak akan terpengaruh dengan
orang-orang yang memusuhi dan memerangi mereka". (HR. Muslim).
Ketika Rasûlullâh Saw. ditanya oleh Shahâbat tentang siapa mereka itu ?.
Maka beliau menjawab : "di sekitar masjid al-Aqshâ".
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang berîmân ialah orang-orang
Yahûdi dan orang-orang musyrik" (TQS. al-Mâidah [5]: 82).
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allâh (Islâm) dan tali (perjanjian)
dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allâh
dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kâfir
kepada ayat-ayat Allâh dan membunuh para nabi tanpa alasan yang
benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui
batas”. (TQS. Alî Imrân [3]: 112)
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allâh
membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kâfir) dan

117
supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada”. (TQS. Alî
Imrân [3]: 140)
Dari Abu Hurairah bahwa Rasûlullâh Saw, bersabda : “Tidak akan
terjadi kiamat sehingga kaum Muslimîn berperang dengan Yahûdi, maka
kaum Muslimîn berhasil membunuh mereka sehingga Yahûdi
bersembunyi di balik pohon dan batu. Lalu batu atau pohon itu berkata :
Hai Muslim..! Wahai Hamba Allâh..! ini Yahûdi sembunyi di belakangku,
maka segera bunuh dia, kecuali gharqad karena ia adalah dari pohon
Yahûdi”. (H.R. Bukhâri–Muslim)
Dalam hadîts lain salah seorang Shahâbat berkata : Kamu nanti akan
memerangi Yahûdi sedangkan posisi kalian di sebelah timur sungai
(Jordania), sedangkan mereka di sebelah baratnya. Lalu Shahâbat lain
berkata : Demi Allâh aku tidak mengetahui bahwa di bumi ini ada sungai
yang dinamakan “Jordania” wahai Rasûlullâh? Lalu Rasûlullâh menjawab :
“Sungai Jordania”.
“Allâhumma ikhlâ’ Kiyân al-Yahûd, wa a’wanahâ, wa duwal al-latî
da’amathâ wa da’amat wujudahâ min Falasthîn wa sairî bilâd al-Muslimîn
min judzurihâ. Wa ‘aqim ‘alaihâ daulata al-Khilâfah yâ Rabb. Allâhumma
‘ajjil lanâ nushrâtaka bi qiyâmihâ”. (“Ya Allâh, cabutlah entitas Yahûdi,
para pendukungnya, juga negara-negara yang mendukungnya dan
mendukung eksistensinya dari Palestina dan seluruh negeri kaum Muslim
hingga ke akar-akarnya. Yâ Rabb, dirikanlah di atas puing-puingnya
Negara Khilâfah. Yâ Allâh, segerakanlah pertolongan-Mu dengan
tegaknya Khilâfah”).

Allâhhumasyhad, fainnâ qad ballaghnâ...


118
“Maha suci Allâh, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam
dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya”.
(TQS. al-Isrâ [17] :1)

Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamîn,


Wash-Shalâtu Was-Salâmu ‘alâ Rosûlillâh.
Risâlah Kecil ini dapat dirampungkan dengan baik
Semoga Membuka Wawasan & Semangat Da’wah
Sinergis Bersama Menyongsong
Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafûr
Bersama Tegakkan Syarî’at Islâm
© Hak cipta hanya milik ,
harap disebarluaskan sebagai amal jâriyah

Mr. HARIT (Hamdânî AbûRidhô IbnuThâhâ)

 : Yayasan Graha Khilafâh Jl. Teluk Merindu RT. 25, Kel. Rapak Dalam, Kec. Loa Janan Ilir,
Samarinda 75132. Kalimantan Timur.  0541-7275338 085250023344

119

Anda mungkin juga menyukai