@ Book Risalah Jejak Syariah 03-03-2021
@ Book Risalah Jejak Syariah 03-03-2021
01/2515/2008
Rekomendasi Diknas. Provinsi Kaltim No: 849/2614/II-D/2009
1
--- Awwalul Kalâm, Bikalîmatillâh ---
j
Saudaraku, terima kasih atas perkenan dan kesediaanmu membaca
risalah kecil yang amat sederhana ini, ku senantiasa berdô’â agar hanya
kebaikanlah yang kau dapatkan dari rangkaian tulisan yang memang
kupersembahkan khusus untukmu.
Subhânallâh, ruang dan waktu telah Ia ciptakan terlebih dahulu,
sebaik-baik tempat bagi makhluk baru yang bernama manusia. Kemarin,
hari ini dan esok. Dulu, sekarang dan nanti. Itulah tiga estafet waktu yang
senantiasa mengiringi kisah hidup anak manusia, karena ia merupakan
satu rangkaian yang tak terpisah. Dengan ragam redaksi yang bagaimana
pun, maka ‘ibroh (pelajaran) pengalaman sejarah adalah bagian modal
terpenting bagi hari ini hingga esok yang sedang dan akan kita ukir, tuk
juga menjadi cerita sejarah di masa yang akan
datang.
Masih kuat teringat dan dan takkan bisa
dilupakan, elegi kisah memilukan di tahun 1258 M.
(650 H.) Ketika kekuatan militer bangsa Mongol,
pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan
(Cucu Temujin [Genghis Khan], Saudara Khubilai
Khan yang pernah mengirim utusan ke Singosari–Jawa Timur pada tahun
1292 M.) dengan dukungan dua orang pengkhianat bernama Ibnu al-
Alqâmi dan Nashîruddîn at-Thûsî, mereka telah mengakhiri kekuasaan
Khalîfah Sulthân al-Muhtasîm, Khilâfah Bani Saljuk Abbâsiyyah.
3
Selama empat puluh hari pembantaian dan penghancuran bengis
merajalela, Baghdad negeri seribu satu malam; kota tercantik di dunia kala
itu telah berubah drastis menjadi kota mati yang menyeramkan. Laki-laki,
wanita dan anak-anak disembelih massal dengan kejamnya, bahkan perut
wanita hamil pun disobek hingga janin dalam kandungan tak luput dari
pemusnahan sadis ini, tumpukan gelimpangan mayat bergeletakan di
semua jalan bagaikan bukit-bukit kecil, piramida susunan kepala manusia
di tengah banjir darah yang menenggelamkan mata kaki, bau bangkai
busuk menyeruak pekat menjadi wabah penyakit yang menular hingga ke
Siria.
Bukan...., bukan pada bagian itu yang paling menyayat hatiku,
karena aku pun iri dan cemburu pada mereka yang telah berhasil
menyongsong kekalnya hidup baru sebagai Syuhadâ sebenar Syuhadâ,
masa itu malah menjadi momen lahirnya era baru Kekhilâfahan Islâm.
Bani Utsmaniyyah dari Kabilah Turkmaniyyah, yang pada mulanya
mendiami Kurdistan, namun akibat serangan Hulagu Khan dan pasukan
Tartar ke wilayah-wilayah asia kecil, maka Sulaiman (Kakek dari Ustman)
beserta kabilahnya (sekitar 100 kepala keluarga dan dikawal lebih dari 400
penunggang kuda) pada tahun 1220 M. harus hijrah dari Kurdistan menuju
Anatolia dan menetap di kota Akhlath (sebuah kota di Turki Timur yang
berdekatan dengan Sungai Waan di Armenia, hingga tahun 1230 M.
setelah wafatnya Sulaiman, kepemimpinan kabilah ini dilanjutkan oleh
Urtughril (Ayah dari Ustman), yang terus bergerak hingga ke barat laut
Anatolia, kabilah ini menjalin persahabatan dan persekutuan dengan Bani
Saljuk hingga bisa mengalahkan kekuatan Bizantium di daerah tersebut,
hingga tahun 1299 M. saat Urtughril meninggal dan kepemimpinan
4
dilanjutkan oleh Ustman, di mana wilayah dan kekuasaannya semakin
berkembang, maka mulai berdirilah Kesulthânan Ustmâniyyah hingga
pada tahun 923 H. / 1517 M. di bawah kepemimpinan Sulthân Salim I bin
Beyzin (923-926 H.), Kesulthânan Ustmâniyyah beralih menjadi
Kekhilâfahan melanjutkan masa akhir periode Khilâfah Abbasiyyah, yang
wilayah kekuasaannya meluas hingga meliputi 2/3 dunia.
Tidak lama setelah gempuran pasukan Tartar atas Baghdad dan
berbagai negeri sekitar, Berke Khan dari Golden Horde, Kazan (Mahmud
694 H.), Achmad Kholabî dan banyak generasi Mongol berikutnya malah
takluk memeluk Islâm dan turut mengemban syî’âr keagungan Islâm di
negeri nenek moyang mereka, hingga ke negeri lain seperti Lithuania,
Belarusia dan Polandia.
Semua yang hilang telah mendapatkan ganti yang jauh lebih baik,
tapi...., terbakarnya seluruh koleksi naskah ilmu pengetahuan di
perpustakaan Baghdad yang abunya telah merubah warna air sungai
Eufrat dan Tigris menjadi hitam kelam, tak kan pernah terganti sampai
kapan pun. Itulah musibah terbesar yang kerugiannya bukan hanya
ditanggung kaum Muslimîn, namun juga bagi peradaban manusia
seluruhnya.
Seiring pernikahan Ratu Isabella dari Castile dan Raja Ferdinand V
dari Aragon di tahun 1469 M., dengan padunya dua kekuatan besar ini
berikut sekutu lainnya, maka pada tahun 1483–1492 M., Granada di ujung
Selatan Iberia pun akhirnya tumbang, benteng Kesulthânan Islâm terakhir
di Andalusia setelah jatuhnya Toledo dan Cordova. Granada takluk
menyerah tanpa perlawanan pada tanggal 02 Rabi’ul Awwal 898 H. atau
02 Januari 1492 M. ketika Boabdil; Sulthân terakhir Granada dari Bani
5
Ahmar menyerahkan kunci kota itu kepada penguasa Kristen dengan
syarat penduduknya tetap diizinkan menjalankan keyakinan dan agama
mereka. Saat pergi menjauhi istananya, Boabdil menangis. Tentang ini
Ibunya berkomentar, “Kamu menangis seperti perempuan untuk sesuatu
yang tak pernah kamu pertahankan selayaknya laki-laki!”
Persyaratan yang disetujui Ferdinand dan Isabella tak bertahan lama
karena atas pengaruh gereja mereka segera mengingkarinya setelah
berhasil tuntas menguasai negeri itu. Maka segera berakhir pula lah
kedamaian ‘Espanol in Three Religions’, pengadilan Inkuisisi yang
dipimpin ‘Inquisitor General’ bernama Pendeta Tomas de Torquemada
bahkan tega membakar massal 300 orang secara hidup-hidup.
6
dengan banyaknya jilid buku yang dirampas dari berbagai koleksi setiap
keluarga dan individu warga yang tak terhitung jumlahnya.
Demikianlah pasangan yang dijuluki Los Reyes Catolicos (the
Catholic Kings / Monarchs) menyampaikan ucapan terima kasih mereka,
setelah Islâm memberikan kebaikan tak terbantahkan bagi kehidupan
masyarakat Eropa, sebagaimana diakui oleh ilmuan mereka sendiri, Oliver
Leaman yang menyatakan; “….pada masa peradaban agung [wujud] di
Andalus, siapa pun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiah ia
harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur
Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke
Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan
masalah-masalah itu. Jadi Islâm di Spanyol mempunyai reputasi selama
ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan
filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat
ini, di mana beberapa universitas penting berada”.
Sebelum Islâm datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam
kondisi kegelapan, tak satupun bidang ilmu yang maju, bahkan mereka
lebih percaya pada tahayul. “Sebuah kisah menarik terjadi pada zaman
Daulah Abbâsiyah saat kepemimpinan Hârûn al-Rasyîd, tatkala Beliau
mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa di
Eropa. Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu oleh pihak Uskup
dan para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga
mereka merasa ketakutan, karena dianggap sebagai benda sihir. Pada
masa itu dan masa-masa berikutnya, baik di belahan Timur maupun Barat,
umat Kristen masih mempergunakan jam pasir sebagai penentuan waktu”.
7
Melalui Spanyol, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung
di bawah pemerintahan Islâm, peradaban Islâm memasuki Eropa. Bahasa
‘Arab menjadi bahasa internasional yang digunakan berbagai suku bangsa
di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur dan Cordova di Barat, dua
kota raksasa Islâm menerangi dunia dengan cahaya gilang-gemilang.
Sekitar tahun 830 M, Alfonsi; Raja Austria telah mendatangkan dua
sarjana Islâm untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi Kedokteran
yang didirikan di Montpellier–Perancis dibina oleh beberapa orang
Mahaguru dari Andalusia. Keunggulan ilmiah Kaum Muslimîn tersebar
jauh memasuki Eropa dan menarik kaum intelektual dan bangsawan Barat
ke negeri-negeri pusatnya. Di antara mereka terdapat Roger Bacon
(Inggris); Gerbert d’Aurillac yang kemudian menjadi Paus Perancis
pertama dengan gelar Sylvester II, selama 3 tahun tinggal di Todelo
mempelajari ilmu Matematika, Astronomi, Kimia dan ilmu lainnya dari para
sarjana Islâm.
Tidaklah mengherankan, karena pada saat Kekhilâfahan Islâm
berkuasa saat itu Spanyol menjadi pusat pembelajaran (Centre of
Learning) bagi masyarakat Eropa dengan adanya Universitas Cordova. Di
Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan dari negeri tersebut
muncul nama-nama ‘ulamâ besar seperti Imâm Asy-Syâthibî pengarang
kitâb Al-Muwâfaqât, sebuah kitâb tentang Ushûl Fiqh yang sangat
berpengaruh; Ibnu Hazm al-Andalûsî pengarang kitâb Al-Fashl fî al-Milâl
wa al-Ahwâ’ wa an-Nihâl, sebuah kitâb tentang perbandingan sekte dan
agama-agama dunia, di mana bukti tersebut telah mengilhami penulis-
penulis Barat untuk melakukan hal yang sama.
8
Sejarah juga mencatat bahwa Uskup Agung Raymond di Spanyol
mendirikan Badan Penterjemah di Todelo yang ditujukan guna
menterjemahkan sebagian besar karangan sarjana-sarjana Muslim
tentang ilmu pasti, astronomi, kimia, kedokteran, filsafat dan lain-lain, di
mana waktu yang dibutuhkan untuk menterjemahkannya yaitu hingga satu
setengah abad (1135–1284 M).
William Drapper menyatakan; “Pada zaman itu Ibukota pemerintahan
Islâm di Cordova merupakan kota paling beradab di Eropa, 113.000 buah
rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid
dan istana yang banyak. Cordova menjadi masyhûr di seluruh dunia, di
mana jalan yang panjangnya bermil-mil dan telah dikeraskan diterangi
dengan lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya. Sementara kondisi di
London 7 abad sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu umum pun
tidak ada. Di Paris berabad-abad sesudah zaman Cordova, orang yang
melangkahi ambang pintunya pada saat hujan, melangkah sampai mata
kakinya ke dalam lumpur”.
Pernyataan sejenis juga dinyatakan Thomas Carlyle dalam buku
‘Hero is Prophet’; “Umat Islâm yang telah menerima pimpinan dan
bimbingan Nabi Muhammad, kemudian berhasil mendirikan pemerintahan
di Spanyol yang sangat mengagumkan di abad pertengahan, sedangkan
eropa kala itu masih diliputi keterbelakangan”.
Simak pula komentar W.E. Hocking dalam bukunya ‘The Spirit of
World Politics’; “Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga
pertengahan abad Ketiga Belas, Islâmlah pembawa segala apa yang
tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat”. Sehingga tidak aneh
jika dalam ‘New International Ensyclopedi’ dinyatakan; “Dunia saat ini
9
sepatutnya berterima kasih kepada Islâm, sebab muslim-lah yang telah
membangun al-Hamrâ yang sangat ternama di kala itu”.
Saudaraku, ternyata negeri kita tercinta pun tak luput dari tragedi
naas serupa, penulis buku ‘Hikâyat Malaka’ bernama Abdullâh Munsjî
menuturkan bahwa kolonial Inggris dan Belanda pernah
mengeluarkan peraturan khusus pengumpulan secara
paksa buku-buku naskah kuno Islâm; dari Riau, Langkat,
Pahang, Trengganu dan Klantan saja telah terkumpul
sekitar 70 jilid buku, belum lagi yang terkumpul dari seluruh
Sumatera, Jawa dan daerah lain yang diperkirakan ribuan jumlahnya.
Sebagaimana saat Raffles berkuasa di Jawa dan berhasil mengumpulkan
sekitar 300 jilid naskah, arsip-arsif naskah kuno Islâm di Timur Jauh pun
tidak luput dari pemburuan habis-habisan bangsa Barat–Eropa.
Sebagian naskah mereka ambil dan dibawa untuk koleksi negerinya,
sedang yang lainnya dimusnahkan dan tak jelas rimbanya. Saat ini di
Inggris saja terdapat lebih dari 1.200 naskah kuno dari Nusantara
terinventarisasi dalam sebuah katalogus susunan MC. Ricklefs dan P.
Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di
Inggris sejak sebelum abad ke-17. Naskah-naskah itu teridentifikasi ditulis
dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa
(kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Somba Opu (Ibukota Kesulthânan
Gowa yang sekarang dikenal dengan nama Makassar), Melayu,
Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, dan Sunda (kuno). Naskah-
naskah tersebut tersebar pada 20-an perpustakaan dan museum di
beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan
School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah, para
10
arkeolog, sejarahwan, dan filolog dari seluruh dunia termasuk Indonesia
sering melakukan riset kepustakaan, namun tentu berbagai naskah yang
tak ‘disukai’ Inggris, tidak akan dijumpai pada perpustakaan yang terbuka
bagi umum tersebut.
Banyaknya khasânah pemikiran Islâm beserta ilmu pengetahuan dan
sejarahnya yang dengan sengaja dikaburkan atau bahkan dimusnahkan
itulah, yang saat ini menjadi kerugian terbesar kaum Muslimîn, yang juga
menjadi kendala terbesar sekaligus memotivasi penyusun untuk coba
seoptimal mungkin menelusuri dan menuliskan ulang rangkaian Sejarah
Islâm di Benua Etam, pada skala lokal sekaligus benang merahnya
dengan tataran yang lebih luas di Nusantara bahkan dunia, karena Islâm
memang bukan cuma persoalan sebagai sebuah agama, tetapi sekaligus
juga merupakan sistem Ideologi bagi tatanan sosial dan pemerintahan
terbaik bagi peradaban hidup seluruh manusia.
Saudaraku terkasih dalam Islâm, tulisan ini dibuat memang bukan
semata sebagai sebuah cerita indah seperti dongeng yang sering Bunda
kisahkan mengiringi lelapnya tidur nanda dahulu. Namun semoga kiranya
dapat turut menginspirasi dan memotivasi kita dalam menyongsong hari
esok yang insyâ-Allâh pasti akan kembali memperlihatkan indahnya
tatanan dunia dalam naungan kekuasaan Islâm yang keniscayaannya
bukan sekedar karena Janji Allâh Swt. serta Kabar Gembira dari Rasûl-
Nya semata, namun karena memang hanya Syarî’ahlah jalan kembali bagi
kaffahnya keberîmânan pengikut Muhammad Saw. sekaligus solusi
tunggal terakhir bagi krisis akut multi-dimensi global saat ini.
11
Semoga upaya pengopinian hidup bersyarî’ah yang
turut didukung oleh kehadiran buku ini, sejalan dengan
wasîyât yang pernah disampaikan al-Mukarram
Hadhrâtusy Syeikh K.H. Hasyîm Asy’ârî, pendiri Nahdhatul
‘Ulamâ dalam kitâb ‘Adâbul ‘Âlimi wal Muta’allim hal. 11;
Beliau menyatakan “at-Tauhîd yujîbul îmân, faman lâ îmâna lahu, lâ
tauhîda lahu. Wal Îmân yujîbusy syarî’ah, faman lâ syarî’ata lahu, lâ
îmânalahu wa lâ tauhida lahu.” (“Tauhid mewajibkan îman, siapa yang
tidak berîmân, maka dia tidak bertauhîd. Dan îmân mewajibkan
bersyarî’ah, maka siapa yang tidak bersyarî’ah, tidak dianggap berîmân
dan tidak pula bertauhîd”).
Dalam pidatonya pada tanggal 29 Juni 1968 M. di
Gedung Pola Jakarta, K.H. Muhammad Dahlan, Ketua
PBNU yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan:
“Bahwa di atas segala-galanya, memang Syarî’at Islâm di
Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secara
konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber
hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan di dalam kehidupan rakyat
Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging.
Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan
segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah
menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari”.
Sebagaimana hal serupa juga terlihat dalam
Keputusan Tarjih Muhammadiyyah sejak Muktamar Ke–
31 tahun 1950 di Yogyakarta dan terus dikukuhkan
hingga saat ini, bahwa Maksud dan Tujuan Persyarikatan
12
Muhammadiyyah adalah: “Menegakkan dan menjunjung tinggi Islâm
sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islâm yang sebenar-benarnya
dalam tatanan orang-perorang maupun pemerintahan negara berdasar al-
Qur’ân dan as-Sunnah Shahîhah, menaati perintah dan larangan Allâh
untuk kemaslâhatan di dunia dan akhirat”. Pada bagian Muqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyyah pun dinyatakan dengan tegas bahwa
“Menjunjung tinggi hukum Allâh lebih daripada hukum yang manapun juga
adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku bertuhan
kepada Allâh”.
Demikian pula amânah Kongres Ummat Islâm ke IV, pada tanggal
17–21 April 2005 yang dihadiri oleh sekitar 500 utusan mewakili MUI
seluruh Indonesia, berbagai Lembaga dan Badan serta Organisasi
Kemasyarakatan Islâm yang telah melahirkan Deklarasi Jakarta dengan
rekomendasi utama yaitu; “Menjadikan Syarî’at Islâm sebagai satu-
satunya solusi dalam mengatasi berbagai macam problematika bangsa”.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah bahkan memberikan penegasan
bahwa “Seluruh ‘Ulamâ kaum muslimîn sepakat bahwa setiap kelompok
yang membangkang terhadap salah satu saja dari Syarî’at Islâm yang
mutawattir, maka sesungguhnya kelompok ini wajib diperangi sehingga
agama ini menjadi tegak hanya untuk Allâh semata”. (Radd Syaikh al-
Islâm Ibni Taimiyah ‘alâ ar-Rafîdhah)
Arti penting Syarî’ah yang berfungsi sebagai Jawâzir
(pencegah) sekaligus Jawâbir (penebus dosa) dalam
kehidupan kaum Muslimîn sungguh tidak perlu disangsikan
lagi. Bahkan demi tetap tegaknya Syarî’ah, Sulthân
Iskandar Muda dari Kesulthânan Aceh Dârussalâm di
13
bawah Dustûr (Undang-Undang Dasar) Kitâb Adat Mahkota Alam, Beliau
tanpa segan dan ragu sedikitpun, tegas menerapkan hukuman rajâm bagi
putera kandungnya sendiri yang bernama Meurah Pupok karena telah
berzina dengan isteri seorang perwira, keteguhan îmân dan tanggung-
jawabnya tampak nyata dari pernyataan Beliau pasca eksekusi “Mati anak
ada maqômnya, mati Syarî’ah ke mana hendak dicari”. Sungguh sebuah
keteladanan yang luar biasa sebagaimana pertama kali pernah Rasûlullâh
Saw. contohkan ketika menolak kompromi-anulirisasi penerapan Syarî’at
Islâm dengan menyatakan “Demi Allâh, seandainya Fatimah Binti
Muhammad mencuri, niscaya akan saya potong tangannya”. (HR. Bukhari
& Muslim).
Segala hal yang baik dari para pendahulu umat Islâm seyogyannya
menjadi cerminan teladan bagi kita, sementara segala hal yang kurang
baik, sejatinya dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga.
Awal meredupnya peradaban Islâm yang terjadi sejak abad ke-8
Hijriyyah (abad 13 M) hingga abad ke-14 Hijriyyah (abad 20 M) yang telah
mengakibatkan proses peralihan dari peradaban Islâm ke keradaban
Barat yang ditandai dengan masa pencerahan di dunia Barat serta
terjadinya penjajahan dan aneksasi terhadap negeri-negeri muslim oleh
armada perang dari negara-negara Barat lebih disebabkan oleh
melemahnya legitimasi politik dunia Islâm karena peran Kekhilâfahan
cenderung bersifat simbol serta hanya sebatas seremonial saja, hingga
tumbangnya sistem Kekhilâfahan di dunia Islâm, dari situlah kemudian
dimulainya hegemoni Barat terhadap dunia Islâm.
Jadi, sesungguhnya faktor utama kekalahan dan melemahnya peran
umat Islâm bukanlah terletak pada kuatnya pihak musuh-musuh Islâm,
14
tetapi lebih disebabkan oleh melemahnya kekuatan umat Islâm yang
diakibatkan oleh perbuatan kema’siyâtan yang dilakukan. Kema’siyâtan
terbesar terutama berupa sikap menyekutukan Allâh Swt. (musyrik) dalam
beribadah serta tidak memperdulikan lagi atas berbagai aturan (Syarî’at)
yang diperintahkan-Nya.
Perbuatan ma’siyât yang dilakukan oleh umat Islâm itulah yang telah
dikhawatirkan oleh Umar bin Khaththâb ra. saat Beliau menjadi Khalîfah,
hal ini sebagaimana dapat kita simak dari pesan tertulis beliau yang
pernah disampaikannya kepada Sa’ad Bin Abî Waqqash ketika akan
menghadapi sebuah pertempuran. Pada surat itu ditulis pesan sebagai
berikut:
“Sesungguhnya kami memerintahkan kepadamu dan kepada seluruh
pasukan yang kamu pimpin, agar taqwâ dalam segala keadaan, karena
taqwâ kepada Allâh merupakan seutama-utamanya persiapan dan strategi
paling kuat dalam menghadapi pertempuran. Aku perintahkan pula
kepadamu dan pasukan yang kamu pimpin agar benar-benar menjaga diri
dari berbuat ma’siyât. Karena ma’siyât yang engkau perbuat pada saat
berjuang lebih aku khawatirkan daripada kekuatan musuh, sebab engkau
akan ditolong Allâh jika musuh-musuh Allâh telah berbuat banyak
ma’siyât, karena jika tidak demikian kamu tidak akan punya kekuatan
sebab jumlah kita tidaklah sebanyak jumlah pasukan mereka, di mana
persiapan mereka berbeda dengan persiapan yang kita lakukan. Jika kita
sama-sama berbuat ma’siyât sebagaimana yang dilakukan oleh musuh-
musuh kita, maka kekuatan musuh akan semakin hebat. Sangatlah berat
kita akan dapat mengalahkan musuh kita jika hanya mengandalkan pada
15
kekuatan yang kita miliki, kecuali dengan mengandalkan ketaqwâan kita
kepada Allâh dan senantiasa menjaga diri dari berbuat ma’siyât...”
Syarî’at adalah ikatan pertama Islâm yang harus kita pegang teguh
untuk tidak terlepas, karena terlepasnya ikatan Syarî’at dapat menjadi
pangkal terlepasnya ikatan Islâm yang lain hingga ad-Dîn ini tinggal
namanya saja, sebagaimana diperingatkan Rasûlullâh Saw: “Ikatan-ikatan
Islâm akan terlepas satu persatu, dan bilamana ikatan itu terbuka manusia
akan memegangnya sampai tinggal satu, dan yang pertama terurai adalah
Syarî’ah dan yang terakhir adalah ibâdah…” (HR. Ahmad No. 21656; dari
Abû Umâma al-Bâhilî).
Akhirnya hanya kepada Allâh-lah hamba yang dhaîf ini menghiba
ampunan, seraya penuh harap berdô’â memohon limpahan rahmat, taufîq,
hidâyah dan inâyah-Nya; agar shalât, ibâdah, hidup dan kematian hamba,
seluruhnya ternilai sebagai sebenar pengabdian pada-Nya dan hamba
dapat kembali berpulang menjumpai-Nya dalam keadaan ridhô dan
diridhôi-Nya. Âmîn, âmîn, Allâhummâ âmîn.
16
17
KATA SAMBUTAN JURU BICARA HIZBUT TAHRIR INDONESIA
18
religiusitas Islâm sebagai perwujudan dari misi hidup beribâdah kepada
Allâh SWT.
Dalam konteks Indonesia, gagasan pemberlakukan Syarî’at Islâm
kembali mengemuka saat ini setelah sekian lama terbenam, karena
menemukan peluang menyusul kejatuhan rezim otoriter Orde Baru
sebelas tahun lalu. Momentum tersebut lebih terbuka sehubungan dengan
krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia, yang berawal dari krisis
moneter, kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, politik, sosial dan
krisis kepercayaan. Bagai berkah terselubung (blessing indisguise), krisis
multidimensi itu telah menunjukkan secara kasat mata kerapuhan sistem
ekonomi kapitalis atau sistem sekuler secara menyeluruh. Berbagai upaya
memang telah ditempuh oleh pemerintah, tapi sejauh ini tidak
menunjukkan hasil yang memuaskan. Kini saatnyalah untuk membangun
ketidakpercayaan masyarakat kepada sistem sekuler dan
mengarahkannya pada sistem Islâm. Ditambah dengan sejumlah ‘praktek’
Syarî’ah, seperti perbankan Syarî’ah yang mampu bertahan diterpa krisis
di saat bank-bank konvensional justru rontok berjatuhan, pendidikan Islâm
terpadu yang terbukti mampu membentuk anak yang cerdas dan shâlih,
pengelolaan zakât yang kendati melibatkan angka yang tidak spektakuler
tapi cukup mampu membantu kaum dhuafa, busana Muslim yang makin
bisa diterima dan sebagainya, kiranya dapat membuat upaya penerapan
Syarî’ah setidaknya tidak harus dimulai dari titik nol.
Akan tetapi dalam kenyataannya, gagasan mulia itu tidaklah mudah
untuk diwujudkan. Ganjalan yang dihadapi cukup berat. Secara sistemik,
ganjalan itu terutama datang dari sistem aktual yang berbasis ideologi
sekular yang diterapkan saat ini, yang didukung oleh berbagai elemen
19
masyarakat (partai politik, ormas, ornop, militer, pelaku bisnis dan
sebagainya) di dalam negeri. Dari dari luar negeri ganjalan itu datang dari
negara-negara kapitalis-imperialis baru yang berkehendak terus menjaga
kepentingan politik dan ekonominya, khususnya di dunia Islâm. Maka,
setiap sistem aktual pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan
diri, sekaligus memiliki cara-cara untuk memerangi setiap sistem alternatif
yang potensial mengancam eksistensinya. Sementara itu, secara
individual ganjalan bukan hanya datang dari kalangan non-Muslim, tapi
juga dari sebagian umat Islâm sendiri termasuk tokoh-tokohnya, yang
anehnya justru beberapa di antaranya bahkan juga tidak menghendaki
penerapan Syarî’ah Islâm. Individu seperti inilah yang secara sadar atau
tidak menjadi penopang utama berjalannya sistem aktual sebagaimana
tersebut di atas.
Secara kolektif, tantangan itu juga datang dari para ‘Ulamâ dan
pemimpin Islâm yang belum memiliki ketegasan sikap dan komitmen
untuk menjadikan penegakkan Syarî’at Islâm sebagai kepentingan
bersama (amru al-jamâ’î). Hal ini tercermin dari bagaimana orpol dan
ormas Islâm di mana sebagian besar para Ulamâ dan pemimpin Islâm itu
berafiliasi, belum secara sungguh-sungguh menjadikan penegakkan
Syarî’ah sebagai orientasi perjuangan mereka. Kenyataan ini masih
ditambah dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang --akibat
proses sekularisasi yang demikian panjang berlangsung di negeri ini
semenjak orde lama hingga sekarang-- belum cukup memahami esensi,
filosofi, bentuk dan keagungan, ketangguhan serta keindahan Syarî’ah,
tentu saja membuat perjuangan penegakkan Syarî’ah ini seolah menjadi
20
sesuatu yang remeh, tidak penting, bisa diabaikan dan bahkan tidak
jarang dirasa bakal menimbulkan ancaman.
Mengapa keadaan seperti itu bisa terjadi?. Beberapa faktor bisa
disebut. Di antaranya, Pertama, adanya sejumlah kesalahpahaman
terhadap Syarî’ah sedemikian sehingga dalam bayangan mereka, Syarî’ah
menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, mencengkeram kebebasan
dan seolah akan memundurkan kehidupan masyarakat modern sekarang
ini ke jaman batu. Kedua, memang ada kesengajaan dari kalangan
tertentu untuk menciptakan stigma negatif terhadap Syarî’ah dan
melakukan berbagai upaya untuk terus memelihara ketakutan dan
ketidaksukaan masyarakat pada Syarî’at Islâm, sekaligus memelihara
kepentingan pribadi, kelompok dan negara asing yang menjadi patron
politiknya, dan Ketiga, pada kenyataannya, apapun yang dikatakan
sebagai kebaikan-kebaikan yang akan diberikan oleh Syarî’ah, belumlah
terwujud secara nyata dan utuh dalam kehidupan masyarakat. Semua itu
masih sebatas wacana, kecuali pada realitas sejarah di mana tidak semua
orang dapat menghayatinya, oleh karena hal itu memang terjadi di masa
lampau.
Berkenaan dengan hal terakhir, khususnya menyangkut realitas
sejarah, perlu kiranya ada upaya khusus untuk menunjukkan bahwa
penerapan Syarî’ah di masa lalu memang pernah ada, dan berhasil
membawa kebaikan untuk masyarakat. Buku berjudul Jejak Syarî’ah di
Benua Etam (Kalimantan Timur) yang ditulis oleh saudara Hamdânî ini
telah berhasil menunjukkan hal itu. Bahwa melalui kekuasaan politik,
penerapan Syarî’ah di wilayah Benua Etam (Kalimantan Timur) berhasil
mewujudkan sebuah kehidupan yang membawa kebaikan (rahmat) untuk
21
semua, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Dengan
membaca buku ini kiranya penghayatan terhadap realitas sejarah
penerapan Syarî’ah menjadi lebih mudah dilakukan.
Sementara itu, ada pula sejumlah tuduhan keji yang dilontarkan,
yang kemudian semakin menimbulkan kesalahpahaman di tengah
masyarakat. Pertama, bahwa Syarî’at Islâm hanyalah untuk umat Islâm
dan itu pun hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang homogen di
mana semua rakyatnya beragama Islâm; Kedua, bila Syarî’at Islâm
diterapkan, ada ketakutan bahwa kelompok non-Muslim akan hidup
tertindas. Ketiga, penerapan Syarî’at Islâm akan membawa kemunduran
masyarakat. Modernisasi akan terhenti, dan masyarakat akan kembali
hidup seperti layaknya masyarakat terbelakang. Sejumlah publikasi buruk
tentang keadaan yang tengah terjadi di sejumlah negeri Muslim yang
bertekad akan menerapkan Islâm secara kaffah seperti Afghanistan, yang
kebetulan akibat didera perang yang berlangsung bertahun-tahun,
kehidupan rakyatnya miskin, terbelakang dan sebagainya, makin
memperkuat anggapan itu. Lagi-lagi buku ini berhasil membuktikan bahwa
ketakutan semacam itu sama sekali tidak benar. Syarî’at Islâm bisa
membawa kemajuan bagi kehidupan masyarakat pada waktu itu, juga
kebaikan untuk warga non Muslim.
Tuduhan-tuduhan di atas sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan.
Dalam kitâb al-Takâttu al-Hizby, Ulamâ terkemuka asal Yordania, Syeikh
Taqiyyuddîn an-Nabhâni mengatakan bahwa dalam pergulatannya di
tengah masyarakat, da’wah memang akan menghadapi sejumlah
hambatan. Di antaranya adalah adanya pertentangan sistem dan
perbedaan khasânah pemikiran (ikhtilâfu al-tsaqâfah) antara apa yang
22
sudah dipahami dan berkembang di tengah masyarakat dengan apa yang
disebarkan oleh da’wah. Perbedaan ini, mau tidak mau, akan
menimbulkan benturan pemikiran yang lumayan keras. Menjadi tugas
da’wah untuk mengurangi kesenjangan pemikiran itu, tentu saja dengan
cara menjelaskan Islâm dalam semua aspeknya melalui berbagai
pendekatan. Terpahamkannya masyarakat terhadap mabda’ (ideologi)
Islâm (ifhâmu al-mujtamâ al mabda’ al-Islâmiy) merupakan prasyarat
penting untuk menuju perubahan ke arah Islâm.
Upaya memahamkan masyarakat kepada mabda Islâm tidak akan
bisa berhasil tanpa upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh,
berkesinambungan dan dilakukan oleh semua komponen umat, terutama
para pemimpin dan tokoh-tokohnya. Melalui lisan para tokoh umat inilah,
proses memahamkan masyarakat kepada mabda Islâm akan berjalan
lebih optimal. Apa jadinya bila para tokoh justru membuat keraguan
terhadap Islâm di tengah masyarakat?. Ketidakmampuan atau bahkan
kegagalan kita menjelaskan ihwal Syarî’ah kepada masyarakat dengan
sebaik-baiknya tentu akan semakin menjauhkan atau sedikitnya
memperlambat laju transformasi masyarakat menuju ke kehidupan Islâm
yang dicita-citakan.
Dari pengalaman da’wah dalam berbagai forum yang sudah tak
terhitung banyaknya di seluruh Indonesia, sangat jelas terlihat dahaga
sekaligus kegairahan intelektualitas di kalangan masyarakat tiap kali
mendengar gagasan-gagasan Islâm tentang berbagai hal yang
dilontarkan. Sebenarnya masyarakat masih cukup bersemangat
menyambut seruan Islâm asal disampaikan secara jelas dan tegas.
Berpulang kepada kita, mampukah kita menghadirkan Islâm secara
23
komprehensif dengan hujjah (argumen) yang kuat sedemikian sehingga
mampu menggugah akal, menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan?.
Dalam konteks seperti inilah buku ini penting diterbitkan.
Tanggapan apresiatif dan respon positif dari para tokoh tampak
sangat nyata, meski terkadang muncul respon sebaliknya. Yakni ketika
gagasan penegakkan Syarî’ah dan Khilâfah dinilai sedikit utopis. Tidak
mengapa, karena setiap gagasan (baru) yang bersifat idealistik memang
cenderung ditolak. Sebabnya, mungkin bukan karena idenya itu sendiri,
melainkan karena sulitnya membayangkan implementasi dari ide-ide
tersebut ke dalam dunia riil yang kini memang telah berkembang demikian
kompleks.
Perubahan masyarakat ke arah Islâm jelas memerlukan proses,
termasuk proses bagaimana memenangkan pertarungan melawan
khasânah pemikiran tidak Islâmî yang sudah terlanjur ada agar pemikiran
Islâm diterima oleh masyarakat, sebagaimana disebut di atas. Rekayasa
sosial besar ini harus diawali dengan proses mengisi cakrawala pemikiran
masyarakat dengan gagasan-gagasan ideal dalam perspektif Islâm.
Sebagai umat Islâm, sudah terlalu lama rasanya kita terjebak di
dalam wacana sekularistik dalam hampir semua masalah, yang tentu saja
membuat solusi-solusi atas berbagai persoalan kehidupan yang kita
tawarkan juga sepenuhnya sekularistik. Kini saatnyalah kita
membebaskan diri dari cengkeraman itu dengan cara mereguk sebanyak-
banyaknya pemikiran, pendapat dan hukum Islâm tentang berbagai
perkara. Meski tentu saja masih diperlukan lagi upaya-upaya khusus agar
fakta-fakta sejarah yang ada dalam buku ini bisa terus dipahami dan
dihayati sedemikian sehingga mampu kemudian mempengaruhi ruang
24
berfikir masyarakat. Perwujudan ide-ide itu menjadi sebuah realitas di
tengah masyarakat sesungguhnya hanyalah refleksi dari perubahan
kesadaran masyarakat tadi.
Jadi, siapa bilang berfikir idealistik tidak perlu?. Sangat perlu, bahkan
harus karena Islâm memang adalah ajaran yang ideal. Dan karena itu,
Muslim yang baik semestinya memiliki pemikiran ideal. Dan di sinilah
sebenarnya esensi da’wah terletak: upaya untuk menjelaskan gagasan
idealistik Islâm kepada masyarakat agar kemudian mereka tergerak untuk
mewujudkannya. Dengan kesertaan semua kalangan masyarakat,
perjuangan penegakkan Syarî’at Islâm insya Allâh menjadi sebuah
keniscayaan. Just matter of time….
Akhirnya, atas terbitnya buku ini, saya ucapkan selamat saudara
Hamdânî Abû Ridhô Ibnu Thâhâ. Semoga buku ini kelak menjadi amal
jâriyah baginya. Dan mencerahkan pikiran kita semua bahwa telah pernah
ada penerapan Syarî’ah di sebagian wilayah Indonesia, tepatnya di Benua
Etam sehingga menambah semangat kita semua untuk mewujudkannya
kembali di masa mendatang karena hanya melalui penerapan Syarî’ah
saja lah cita-cita hidup dalam baldah thayyibah wa rabbun ghafûr bisa
diwujudkan. Insyâ Allâh
Wassalam,
Jakarta, 01 Juni 2009
25
Perkembangan Wilayah
Kalimantan dikenal sebagai pulau terbesar di Indonesia, luasnya
mencapai lima kali luas pulau Jawa. Kalimantan adalah pulau terbesar
ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah
barat Pulau Sulawesi. Pulau Kalimantan dibagi menjadi wilayah Indonesia
(73%), Malaysia (26%), dan Brunei (1%).
Dalam bahasa setempat, Kalimantan berarti pulau yang memiliki
sungai-sungai besar (‘Kali’ Sungai, ‘Mantan’ besar), Kalimantan dijuluki
‘Pulau Seribu Sungai’ karena banyaknya sungai yang mengalir di pulau
ini. Selain itu pulau Kalimantan dikenal juga dengan nama Brunei, Borneo,
Tanjung Negara (pada masa Hindu), Zabudj (sebutan oleh para pedagang
‘Arab), dan dengan nama setempat pulau Bagawan Bawi Lewu Telo
(Negeri tempat tiga Puteri). Pulau Kalimantan pada umumnya terbagi atas
wilayah Kalimantan Utara (Malaysia Timur dan Brunei Dârussalâm),
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur yang sejak abad Ke–9 dalam berita dari Cina disebut
Kho-Thay (Kerajaan Besar), dan dalam literatur kuno India disebut
Quetairy (Hutan Belantara).
26
Kalimantan Timur sendiri meliputi wilayah seluas ± 245.237,80 km2,
atau 1,5 kali luas pulau Jawa dan Madura, atau sebesar 11% dari total
luas wilayah Indonesia yang sebagian besar merupakan daratan yakni
20.039.500 Ha. (81,71%), sedangkan lautan hanya 4.484.280 Ha.
(18,29%), dengan kepadatan 11,22 jiwa/km2 dengan populasi sebesar
3.575.449 jiwa (2017). Provinsi ini berbatasan langsung dengan negara
tetangga, yaitu Negara Bagian Serawak dan Sabah, Malaysia Timur.
Terletak antara 113°44’–119°00’ BT. serta 4°24’ LU.–2°25’ LS.
Daerah Kalimantan Timur banyak terdapat pegunungan, hutan dan
pesisir, daerah yang terkenal sebagai gudang kayu ini mempunyai ratusan
sungai yang tersebar di hampir semua Kabupaten dan Kota dengan
sungai terpanjang yaitu Sungai Mahakam. Selain itu juga memiliki sumber
daya alam yang melimpah, baik hasil dari pertambangan emas, batu bara,
minyak bumi, gas alam cair, timah hitam, aneka hasil hutan, serta
berbagai sumber daya alam lainnya.
Wilayah Kalimantan Timur didominasi topografi bergelombang, dari
kemiringan landai sampai curam, dengan ketinggian berkisar antara 0–
1500 meter dpl. dengan kemiringan 60%. Sedangkan Struktur Geologinya
didominasi oleh batuan sedimen liat berlempung dan terdapat pula
kandungan batuan endapan tersier serta batuan endapan kwartener.
Formasi batuan endapan utama terdiri dari batuan pasir kwarsa dan
batuan liat.
Karakteristik Iklim Kalimantan Timur termasuk iklim Tropika Humida
dengan curah hujan berkisar antara 1500–4500 mm per tahun.
Temperatur udara minimum rata-rata 21°C dan maksimum 34°C dengan
perbedaan temperatur siang dan malam antara 5°–7°C. Temperatur
27
minimum umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai Januari,
sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai dengan
Agustus. Kelembaban Udaranya rata-rata mencapai 86% dengan
kecepatan angin rata-rata 5 knot per jam, data curah hujan selama 5
tahun dari tahun 1994–1998 mencatat bahwa rata-rata curah hujan
mencapai 2060,2 mm per tahun.
Setelah pada tanggal 17 Juli 2007, DPR RI sepakat menyetujui
berdirinya Tana Tidung sebagai Kabupaten baru, maka jumlah
keseluruhan Kabupaten dan Kota di Kalimantan Timur menjadi 14, yaitu :
10 Kabupaten (Berau, Bulungan, Kutai Barat, Kutai Kertanegara, Kutai
Timur, Malinau, Nunukan, Paser, Penajam Paser Utara serta Tana
Tidung) dan 4 Kota (Balikpapan, Bontang, Samarinda, serta Tarakan).
Terbagi menjadi 122 Kecamatan, 191 Kelurahan dan 1.347 Desa.
29
Bulungan, serta Kabupaten Pasir yang sebelumnya pernah masuk dalam
daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Setelah itu pemekaran demi pemerakan terus dilakukan, hingga pada
Rapat Paripurna DPR tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-
undang No. 20 Tahun 2012, Lima Kabupaten/Kota, yaitu Bulungan,
Tarakan, Malinau, Nunukan, dan Tana Tidung, resmi memisahkan diri dan
membentuk provinsi baru bernama Kalimantan Utara. Sedang 10
Kabupaten/Kota lainnya masih bersama dalam Provinsi Kalimantan Timur
yaitu, Samarinda, Balikpapan, Bontang, Kutai Kartanegara, Kutai Timur,
Kutai Barat, Berau, Mahakam Ulu, Paser, dan Penajam Paser Utara.
Secara lebih runut dinamika perubahan politik kekuasaan
pemerintahan di Kalimantan Timur, pada kurun waktu 1844 hingga tahun
1960 adalah sebagai berikut:
1844 : Tepat pada tanggal 11 Oktober, seiring kekalahan pasukan
Kesulthânan Kutai Kertanegara ing Martadipura dalam menghadapi
serangan militer Penjajah Belanda, maka Sulthân Adji Muhammad
Salehuddîn terpaksa menandatangani perjanjian yang menyerahkan
sebagian wilayahnya untuk berada dalam kedaulatan pemerintah
kolonial Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang
Residen berkedudukan di Banjarmasin. (Wilayah Kutai yang diambil
alih oleh Belanda [Vierkante-paal] antara lain; Kampung Palarang atau
sekitar Kampung Rawa Makmur Kecamatan Palaran Sekarang, serta
daerah Sungai Karang Asam Besar hingga Sungai Kerbau dengan 800
meter ke dalam menurut alur tepi Sungai Mahakam atau yang
sekarang mencapai Jalan Arief Rachman Hakim, Basuki Rahmat dan
seterusnya).
30
1846 : H. Von Dewall menjadi Administrator Sipil Belanda pertama di
Pantai Timur Kalimantan, menurut Staatsblad van Nederlandisch Indie
tahun 1849, wilayah Kesulthânan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-
afdeeling berdasarkan Vesluit van der Minister van Staat, Gouverneur-
Generaal van Nederlandsch-Indie pada 27 Agustus 1849 No. 8.
1853 : Pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai
Asisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi
masih di tangan Sulthân Adji Muhammad Sulaiman (1850–1899).
1855 : Kesulthânan Kutai Kertanegara ing Martadipura termasuk
sebagai bagian de zuid-en oosterafdeeling van Borneo.
1863 : Kesulthânan Kutai Kertanegara ing Martadipura kembali
mengadakan perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam
perjanjian itu terpaksa harus diakui bahwa Kesulthânan Kutai
Kertanegara ing Martadipura menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia
Belanda.
1888 : Pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu
Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda J.H. Menten yang
sekaligus meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah
Kutai, kemakmuran wilayah Kutai pun tampak semakin nyata sehingga
membuat Kesulthânan Kutai Kertanegara menjadi sangat terkenal
pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di
Kutai diberikan kepada Sulthân Adji Muhammad Sulaiman.
1899 : Setelah Sulthân Adji Muhammad Sulaiman wafat dan digantikan
oleh Sulthân Adji Muhammad Alimuddin hingga Beliau pun wafat pada
tahun 1910, maka pemerintahan sementara waktu sampai tahun 1920
dijabat sementara oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Adji
31
Pangeran Mangkunegoro hingga ketika Adji Muhammad Parikesit telah
dewasa dan dinobatkan sebagai Sulthân Kutai Kertanegara ing
Martadipura. Kondisi ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat
sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada
masa-masa ini, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap
melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924,
Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden, jumlah yang
sangat fantastis untuk masa itu. Bahkan di tahun 1932, Sulthân Adji
Muhammad Parikesit dalam rentang waktu satu tahuan, mendirikan
istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton
melibatkan arsitek kenamaan Hendri Louis Joseph Marie Estourgie.
1942 : Saat pecahnya Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia II,
ketika Penjajah Jepang berhasil mengalahkan dan mengakhiri
hegemoni Kolonial Belanda serta menduduki wilayah Nusantara
termasuk Kalimantan Timur,
sebagaimana hasil Perjanjian Kalijati
tanggal 8 Maret, Sulthân Kutai harus
tunduk pada Tenno Heika, Kaisar
Jepang. Jepang memberi Sulthân
gelar kehormatan Koo dengan nama
Kesulthânan Kooti.
1945 : Setelah Perang Dunia II berakhir seiring kekalahan Jepang,
menurut hukum internasional dan khususnya Perjanjian Postdan yang
diselenggarakan oleh negara-negara Sekutu dengan pihak Jepang,
Italia, dan Jerman menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Di mana
perjanjian ini menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai,
32
maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini dikembalikan
kepada penguasa sebelumnya. Oleh karenanya, Kolonial Belanda
kembali masuk menguasai Indonesia (Nederlandsch Indie / Hindia
Belanda), dan untuk di Kalimantan Timur bertepatan pada masa
kekuasaan Sulthân Adji Muhammad Parikesit (1920–1960); terjadi dua
kali perubahan status pemerintahan kesulthânan Kutai Kertanegara
ing Martadipura yaitu sebagai Zelfbesturende Landschappen atau
Daerah Istimewa, dan Daerah Swapraja atau serupa dengan istilah
Otonomi Khusus.
1946 : Belanda menjadikan Kalimantan Timur sebagai Keresidenan.
Samarinda sebagai ibukota, langsung di bawah Rechtstreeks
Gouvernement Bestuursgebied dan dikembalikan kepada Kesulthânan
Kutai Kertanegara ing Martadipura.
1947 : Pada tanggal 27 Januari, terjadi peristiwa perebutan kota
Sangasanga dari tangan Belanda oleh rakyat gerilyawan pejuang,
hingga penurunan bendera Belanda di Sangasanga Muara, dan
menaikkannya kembali setelah merobek bagian berwarna biru.
34
Tokoh Proklamator kelahiran Minangkabau; DR. (HC) Drs. H.
Mohammad Hatta (1902–1980) yang menegaskan akan menggunakan
‘Mosi Integral Natsir’ sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan
untuk melebur RIS ke NKRI, bahkan Muhammad Hatta menggelari
‘Mosi Integral Natsir’ layaknya Proklamasi Kedua setelah 17 Agustus
1945, hingga pada 17 Agustus 1950 NKRI kembali lahir sebagai satu
Negara Kesatuan Nasional dengan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950 mengakhiri berlakunya Konstitusi RIS 1949.
1950 : Seiring hengkangnya kolonial Belanda, Kalimantan Timur
bergabung dengan Republik Indonesia pada tanggal 10 April, waktu itu
pusat pemerintahan RI berada di Jogjakarta. Pada tanggal 29 Juni
keluar SK. Menteri Dalam Negeri No. C17/15/3 yang menetapkan
administrasi pemerintahan di Kalimantan Timur terbagi dalam tiga
daerah Swapraja yaitu Kutai dengan ibukota di Samarinda, Bulungan
dengan ibukota di Tanjung Selor, dan Berau dengan ibukota di
Tanjung Redeb.
1953 ; Sesuai ketentuan Undang-undang Darurat No. 3 / 1953, daerah
Swapraja dihapus dan berubah menjadi Daerah Istimewa (seperti
halnya D.I. Jogjakarta), Sulthân Kutai Adji Muhammad Parikesit
menjadi Kepala Daerah Istimewa Kutai berkedudukan di Samarinda.
1956 : Pemerintah RI menjadikan Kalimantan Timur sebagai Provinsi
bersamaan dengan pembentukan Provinsi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Barat berdasarkan Undang-undang No. 25 / 1956.
1957 : Provinsi Kalimantan Timur diresmikan pada tanggal 9 Januari,
ditandai dengan serah terima kekuasaan Pemerintah Daerah dari
Gubernur Kalimantan (1955–1957); Raden Tumenggung Ario Milono
35
(RTA. Milono, Putra Bangsawan Pangeran Ario Notodirdjo), kepada
Acting Gubernur Kalimantan Timur; Adji Pangeran Tumenggung
Pranoto (populer disingkat APT. Pranoto [1906–1976], nama aslinya
adalah Adji Addin, Putera Ketujuh Sulthân Adji
Muhammad Alimuddin atau Adik Tiri Sulthân Adji
Muhammad Parikesit). Sebelumnya pada tanggal 26
Februari 1952, Gubernur Kalimantan, RTA. Milono juga
telah mengangkat APT. Pranoto sebagai Bupati/Asisten
Gubernur Kalimantan.
1959 : Dengan berlakunya Undang-undang No. 27 / 1959 tentang
"Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", maka
dibentuk Daerah Tingkat II sebagai pengganti Daerah Istimewa yang
sebelumnya dipegang oleh Sulthân.
(Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong, Kotapraja
Balikpapan dengan ibukota Balikpapan, Kotapraja Samarinda dengan
ibukota Samarinda)
1960 : Pada tanggal 20 Januari, bertempat di Gubernuran di
Samarinda, APT. Pranoto sebagai Gubernur Kalimantan Timur atas
nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan
mengangkat sumpah 3 Kepala Daerah untuk ketiga daerah Swatantra
(Tingkat II), yaitu; Adji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Kutai (1960–1964), Kapten TNI AD. Soedjono A.J. sebagai
Walikota Kotapraja Samarinda (1960–1961), dan H. Adji Raden Sayid
Muhammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan (1960–1963).
1960 : tepat pada tanggal 21 Januari, bertempat di Balairung Kedaton
Putih, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa
36
Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala
Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sulthân Adji Muhammad Parikesit
kepada Adji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid
Muhammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesulthânan Kutai
Kertanegara ing Martadipura di bawah Sulthân Adji Muhammad
Parikesit berakhir, dan Beliau pun turun tahta serta hidup sebagai
rakyat biasa. Kemudian Daerah Tingkat II Paser juga dikembalikan ke
Kalimantan Timur, setelah sebelumnya sempat tergabung dalam
provinsi Kalimantan Selatan.
37
Beberapa Peta Kuno Pulau Kalimantan
38
Perniagaan Laut, Jalan Pembuka Cahaya Islâm
Menurut sejumlah Pakar Sejarah dan juga Arkeolog, sejak abad Ke–
5 M. sebelum kemunculan Islâm di Kota Makkah, di jalur perdagangan
Asia Selatan–Tenggara sudah ramai terjadi perniagaan atau kontak
dagang antara para pedagang Jazirah ‘Arab, India (Tanjung Comorin–
Gujârât), Sumatera-Nusantara (Barus, Kutaraja/Banda Aceh, Malaka) dan
China (Kanton). Nama Malaka sendiri diambil dari istilah Arab ‘Mulaqât’
yang berarti tempat pertemuan atau pusat perdagangan.
40
wilayahnya (Sriwijaya)”.
Temuan ini diperkuat Prof. DR. Hamka (1908–1981)
yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok
yang mengembara pada tahun 674 M. telah menemukan
satu kelompok bangsa ‘Arab yang membuat kampung dan
berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, Hamka menulis bahwa
penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah
masuknya agama Islâm di Tanah Air. Hamka juga menambahkan bahwa
temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia
Islâm dari Princetown University di Amerika.
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islâm di daerah
pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau Fansur. Kampung
kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota
Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer Selatan Medan. Ketika Sriwijaya
mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kesulthânan Aceh
Dârussalâm, Barus pun masuk dalam wilayah Kesulthânan Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia, mengingat
dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah
disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur ‘Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang
dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani
yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad Ke–2 M. juga telah
menyebutkan bahwa di Pesisir Barat Sumatera terdapat sebuah bandar
niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian
dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah
dari kayu Kamfer di kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan
41
bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II
atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.
Berdasakan buku ‘Nuchbatuddar’ karya Addimasqî, Barus juga
dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islâm di Nusantara sekitar
abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di Kompleks Pemakaman
Mahligai–Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddîn wafat tahun
672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus
sudah ada pada era itu. Sejarahwan Thomas Walker Arnold dalam
karyanya ‘The Preaching of Islâm’ (1968 M.) juga menguatkan temuan
bahwa agama Islâm telah dibawa oleh Pedagang–Muballigh Islâm asal
jazîrah ‘Arab ke Nusantara sejak awal abad Ke–7 M.
Da’wah Syî’âr Islâm yang masuk ke Nusantara melalui jalur
perdagangan juga diperkuat oleh keterangan penulis-penulis ‘Arab seperti
Sulaimân (850 M.), Ibnu Rustâ (900 M.), dan Abû Zaîd
(950 M.) yang menjelaskan bahwa pelaut-pelaut Arab
Islâm telah mengenal lautan Indonesia, dan bangsa
‘Arab telah pula mengenal pertambangan Timah dan
Kala yang dikuasai oleh Zabaj (Kerajaan Sriwijaya). Dari
ahli Geografi ‘Arab seperti Abû Zaîd al-Balkhî (934 M.), Istakhrî (950 M.),
Ibnu Hauqau (975 M.), dan Maqdîsî (985 M.), dijelaskan keterangan
tentang peta bumi yang telah dimiliki bangsa ‘Arab di dalamnya telah
menggambarkan pula Samudera Nusantara (Indonesia) di mana pada
saat yang sama bangsa Eropa masih menganggap Samudera Nusantara
sebagai jurangnya laut. Dengan petunjuk peta tersebut, ahli geografi dari
Persia yang bernama Abû Rayhân al-Birûni dapat dengan mudah
mengunjungi Sriwijaya di Selatan garis Katulistiwa pada tahun 1030 M.
42
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’Extreme-
Orient (EFEO) Prancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua–Barus, telah
menemukan bahwa pada sekitar abad Ke–9 M., Barus telah menjadi
sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti
‘Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis,
Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda-
benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini
menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Menurut laporan sejarah negeri Tiongkok disebutkan pula bahwa pada
tahun 977 M, seorang duta Islâm bernama Pu Ali (Abû ‘Alî) diketahui telah
mengunjungi negeri Tiongkok mewakili Kesulthânan Islâm pertama di
Nusantara yang bernama Kesulthânan Peureulak (didirikan pada tanggal
01 Muharram 225 H. atau 12 Nopember 839 M. oleh seorang dâ’î
pendatang dari Persia dan menetap di Peureulak bernama Alaiddîn
Sayyid Maulânâ Abdul Azîz Syah, sekaligus menjadi Sulthân pertamanya).
Kondisi peta Bumi yang sebagian besar didominasi oleh perairan laut
memang menjadi faktor utama yang telah mempengaruhi perkembangan
peradaban umat manusia, sehingga adalah wajar jika sejak dahulu kala,
pelayaran samudera menjadi jalur lintasan favorit yang menghubungkan
interaksi umat manusia antar benua, kondisi ini pula yang membentuk
karakter nenek moyang bangsa seribu pulau ini dikenal sebagai Pelaut.
Strategisnya letak daerah tanah rencong menjadi berkah sangat
potensial yang meniscayakannya menjadi pintu gerbang Nusantara yang
pertama kali menerima terangnya cahaya kebenaran Islâm, dengan
karakter kondisi yang tidak jauh beda, maka berbagai pulau di belahan
43
Nusantara lainnya juga segera menyusul menerima kehadiran syi’âr Islâm,
salah satunya adalah benua Etam di belahan Timur pulau Kalimantan.
Dalam buku ‘A Study of the Origin of Srivijaya’ yang ditulis Oliver
William Wolters diterangkan bahwa tujuan dan jalur lintasan perdagangan
orang-orang China di Nusantara meliputi Sumatera, Jawa dan Kalimantan
karena hasil buminya yang melimpah ruah, bahkan sejak abad Ke–4 M.
jalur pelayaran sungai Mahakam sudah ramai dikunjungi para pedagang
India. Terbukti pada saat itu, pusat Kerajaan Kutai Martadipura telah
pernah mendapat kunjungan para Brahmana dari Kerajaan Hindu India
seperti Magadha, Kalingga dan Amarawati yang berpusat di Kancipuran
India Selatan, hal ini melatarbelakangi telah dikenalnya benua Etam dalam
istilah India kuno dengan sebutan Quetairy (Hutan Belantara). Pada abad-
abad berikutnya dan seiring dengan perkembangan Islâm di negeri Tirai
Bambu, berdasarkan berita dari China disebutkan bahwa pada masa
pemerintahan Dinasti Tang (sekitar abad Ke–9 M.), pedagang Muslim
China yang berasal dari pelabuhan Kanton juga mengikuti alur
perdagangan bangsa India memasuki perairan sungai Mahakam dengan
umumnya membawa barang dagangan berupa sutera, keramik dan obat-
obatan. Sekembali dari Bumi Etam yang mereka sebut dengan istilah Kho-
Thay (Kerajaan Besar), umumnya mereka mengangkut barang perniagaan
berupa madu, lilin lebah, kayu gaharu, tengkawang dan emas. Hal ini
diperkuat dengan ditemukannya pecahan keramik era dinasti Tang
bersamaan dengan penggalian situs purbakala di Muara Kaman menyusul
ditemukannya empat Prasasti tugu batu berbentuk Yupa di tahun 1880 M.
Sulitnya jalur pelayaran yang pada masa itu masih mengandalkan
arah tiupan angin, membuat sebagian dari pedagang Muslim Kanton
44
tersebut tinggal menetap hingga menikah dengan wanita pribumi
penduduk asli benua Etam, sehingga pada era selanjutnya mulai
terbentuklah komunitas Muslim serta pembauran interaksi sosial yang
dalam kondisi ini tentu sebagian dari mereka telah mulai mengenalkan
tentang Islâm pada masyarakat setempat, apalagi pada abad Ke–9 M. itu
juga pernah terjadi kegagalan upaya Muslim Kanton di China untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Kaisar Hsi Tsung, sehingga banyak dari
mereka harus menyelamatkan diri ke luar China di antaranya memasuki
perairan Mahakam, sehingga wajar jika pada umumnya suku Dayak
Pantai telah lama memeluk Islâm secara turun-temurun.
Ditinjau dari catatan sejarah perkembangan aneka bangsa Dunia,
maka kedatangan pedagang Muslim Kanton–China memasuki perairan
Mahakam yang dihuni suku Dayak Pantai adalah laksana pertemuan dua
saudara, karena memang adanya hubungan pertalian darah Migran Ras
Deotro Melayu, di mana suku Dayak sendiri berasal dari Dataran Asia
yaitu daerah Selatan Gurun Gobi, Provinsi Yunan di China Selatan.
Dengan terkuaknya berbagai data baru seperti tersebut di atas,
maka telah terjadi rekonstruksi sejarah asal mula masuknya Islâm di
Indonesia yang sekarang dikenal dengan Istilah Teori Makkah bahwa
agama Islâm telah masuk ke Nusantara langsung dari tanah ‘Arab pada
abad Pertama Hijriah atau Ke–7 M., sebagaimana ditegaskan pada
kesimpulan seminar Sejarah Islâm yang berlangsung di Medan tahun
1963, yang dikukuhkan lagi dalam Seminar Sejarah Islâm di Banda Aceh
tahun 1963 dan 1978 M.
Seiring itu pula kini kita dapati bahwa Islâm sebagai agama telah
juga mulai dipeluk dan disyi’arkan oleh para pedagang Muslim dari Kanton
45
kepada penduduk Pribumi pesisir sungai Mahakam sejak abad Ke–9 M.,
lalu kemudian juga menjadi agama yang dipeluk secara personal oleh
penguasa generasi ketiga Kerajaan Kutai Kertanegara yang bernama Adji
Wirabayan yang lebih dikenal dengan nama Adji Maharaja Sulthân (1360–
1420 M.), serta anaknya yang juga menjadi Raja yaitu Adji Raja
Mandarsyah (1420–1475 M.), kesimpulan ini berdasarkan pertimbangan
ilmiah bahwa istilah nama “Sulthân” dan “...Syah” adalah diambil dari gelar
agama Islâm. Dengan pertimbangan serupa, maka kekuasaan generasi
kelima terlihat kembali diambil alih oleh seorang Raja yang beragama
Hindu yaitu Adji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475–1545 M.), baru
pada generasi berikutnya, yaitu pada masa Adji Raja Mahkota Mulia Islâm
terlihat jelas posisi dan peran Islâm yang bahkan telah menjadi agama
dan sistem resmi pemerintahan.
46
Sinergi Da’wah Multi Sektor Kunci Penerimaan Islâm
Senada dengan pola da’wah Islâm di berbagai penjuru Nusantara
lainnya, maka Para Penerus Da’wah Nabi di Kalimantan Timur, juga
menyampaikan seruan Islâm ke segenap elemen masyarakat, mulai dari
kalangan rakyat biasa, para pemuka masyarakat hingga kalangan
keluarga Kerajaan yang umumnya masih menganut Hindu.
Keberanian dan keberhasilan menyampaikan kebenaran Islâm pada
kalangan Istana, menjadi tonggak akselerasi percepatan penerimaan
masyarakat yang memiliki loyalitas sangat tinggi kepada Rajanya, untuk
lebih terbuka juga menerima Islâm.
48
dan tertua di Pasir Belengkong yang diberi nama Masjid Dasoi Tanah
(Masjid Beralas Tanah).
Masjid Jami’ Nurul Ibadah Paser Belengkong, Masjid Tertua Yang Tersisa & Jam Matahari Penunjuk Waktu Shalat
49
Kerajaan Sadurangas menjadi Kesulthânan Pasir yang wilayahnya bahkan
mencapai Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan.
51
Dalam rentang waktu yang tidak terpaut jauh dari Pasir, da’wah
syî’âr Islâm yang sama juga mulai menyapa Tanah Urang Barrau atau
Bumi Batiwakkal yang berasal dari ras Deutro Malay Sumatera atau ras
Melayu Muda Sumatera, namun kedatangannya di Berau tidak terlepas
dari rangkaian sejarah perkembangan Islâm di Kepulauan Sulu
(Solok/Solor) dan Mindanau Selatan yang dengan cemerlang berhasil
dirintis di tahun 1380 M. oleh ‘Ulamâ terkemuka keturunan Arab dari
Kesulthânan Malaka bernama Karim ul-Makdum
serta dibantu oleh seorang ‘Ulamâ yang diutus dari
Minangkabau – Sumatera Barat bernama Raja
Baginda di tahun 1390 M., hingga kemudian berhasil
mendirikan Kesulthânan Sulu yang berpusat di Bwansa Kepulauan Sulu
dengan Sulthân bernama Paduka Maulânâ
Mahasysyarî Syarîf Sulthân Hasyîm Syed Abû
Bakar yang datang dari Palembang dan
menikah dengan Paramisuli, Puteri ‘Ulamâ
Raja Baginda.
Setelah keberhasilan da’wah Islâm di Kepulauan Sulu inilah, maka
‘Ulamâ Raja Baginda terus melanjutkan syî’âr Islâm di Kalimantan bagian
Utara yang sejak sekitar lebih satu setengah abad sebelumnya telah
dirintis syî’âr Islâm oleh penda’wah Islâm ‘Arab dan China. Hingga
kemudian berdirilah Kesulthânan Brunei Dârussalâm, hasil konversi dari
Kerajaan Brunei ketika sekitar tahun 1402
M. Raja Brunei bernama Awang Alang
Betatar menerima Islâm dan menjadi
Sulthân dengan gelar Sulthân Muhammad
52
Syah. Kemudian langkah da’wah ‘Ulamâ Raja Baginda terus menyebar ke
bagian Timur Kalimantan yaitu daerah Kerajaan Berayu atau juga disebut
Barrau yang didirikan oleh Anak Angkat Nini Barituk Pemimpin Kampung
Lati yaitu Baddit Dippatung dengan gelar Adji Raden Surya Nata Kesuma
(1400–1432 M.) dan Isterinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Adji
Putari Permaisuri, di mana wilayah Kerajaan yang awalnya berpusat di
Sungkai Lati (Banua Lati) ini cukup besar yaitu meliputi Tanjung
Mangkaliat hingga Kinabatangan (termasuk wilayah Bulungan, Tidung dan
Sabah), Gunung Beriun sampai Tanjung Batu Bertulis, serta ke arah
pantai hingga pulau Birah-birahan dan Manubar serta wilayah Kerajaan
Alas dan Tungku yang kemudian hari diduduki Inggris.
Langkah da’wah ‘Ulamâ Raja Baginda ini memperkuat kembali syî’âr
Islâm yang pernah dirintis oleh Syarîf Ahmad dari Gujârât yang berlabuh
dan menjalankan misi da’wahnya pada sekitar abad ke-13, di kalangan
masyarakat daerah Benua Rantau Kunan (Kuran). Gerak da’wah Syarîf
Ahmad dan ‘Ulamâ Raja Baginda ini kemudian dilanjutkan dengan
cemerlang oleh Muballigh utusan langsung Sulthân Brunei Dârussalâm
yaitu Imâm Dja’far yang datang ke Kerajaan Barrau atau lazim disebut
Berau pada sekitar tahun 1575 M. di pertengahan masa pemerintahan
Dinasti Keenam Raja Adji Tumanggung Barani (1557–1589 M.), di mana
pada saat itu Kerajaan Berau sedang dalam masa kejayaan yang
wilayahnya meliputi tujuh daerah yang disebut Benua atau Nagri, yaitu
Benua Rantau Kunan (Kuran) dan Maracang (Marancang) yang terletak di
sebelah kanan udik sungai Berau [dengan wilayah meliputi Bulalung
Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak
Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung,
53
Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei], Benua Pantai
yang terletak di sebelah kiri udik sungai Berau [dengan wilayah
kekuasaannya meliputi Buyung-buyung, Semurut, Tabalar, Karang
Bassar, Balikkukup, Mataha, Kaniiungan, Talisatan, Dumaring, Batu Putih,
Tallauk Sumbang dan Maubar. Perbatasannya dengan Kutai di laut ialah
pulau Bira-Biraan Batu Baukir di Tanjung Mangkalihat dan Gunung Bariun
di tengah hutan], Rantau Bulalang (Bulalung) yang terletak di sebelah
pantai utara Sungai Berau, Rantau Buyut (Bunyut) yang terletak di
sebelah kanan muara sungai Berau, Rantau Sewakang (Sawakung) yang
terletak di pedalaman sungai Kelai sebelah kanan udik sungai Berau
[dengan wilayah kekuasaannya meliputi Passut, Bandang dan Maras
sampai ke Ulu Kelay], dan Rantau Lati yang terletak di pedalaman sungai
Lati sebelah udik sungai Berau [dengan wilayah kekuasaannya meliputi
Parisau, Sata, Samburakat, Birang, Malinau dan Si Agung].
54
M.) tanah Berau kembali kedatangan seorang ‘Ulamâ Musâfir dari ‘Arab
yang dikenal dengan nama Mustofa. Bahkan dalam ‘Memorie overgave en
overname’ yang ditulis Kontler J.S. Krom tertanggal 31 Juli 1940;
disebutkan bahwa proses Islâmisasi kemudian terjadi secara besar-
besaran saat Kesulthânan Berau dipimpin oleh Sulthân Zainal ‘Abidîn
(1779–1800 M.) yang sangat menggalakkan pentingnya pemahaman
tsaqôfah Islâm. Pengembangan syî’âr Islâm ini dipimpin oleh Imâm
Tabrânî seorang pemegang jabatan Penghulu yang turut menjaga
pelaksanaan Syarî’at Islâm di Kesulthânan Berau. Sulthân Zainal ‘Abidîn
wafat dan dimaqômkan di Muara Bangun pada tahun 1800 M. sehingga
Beliau juga dikenal dengan sebutan Marhum Di Bangun. Menjelang
berakhirnya era pemerintahan Sulthân Zainal ‘Abidîn sampai dengan awal
abad ke-19, tercatat pula peran seorang ‘Ulamâ besar
bernama Syeikh ‘Alî Junaidî al-Banjarî yang merupakan
keturunan ke-3 Syeikh Arsyad al-Banjarî, di antara sisa
pengaruh syî’âr Islâmnya adalah pembacaan Khutbah
Jum’at dengan menggunakan bahasa ‘Arab yang sampai
sekarang masih dipraktikkan oleh masyarakat Desa Babanir Bangun
Kecamatan Sambaliung.
Selain itu seorang ‘Ulamâ yang bernama Imâm Sambuayan juga
turut memperkuat Syî’âr Islâm di tanah Berau yaitu di sekitar Desa Sukan
sekitar tahun 1810 M.. Di daerah Muara Bayur juga masih tersisa jejak
semarak syî’âr Islâm dengan ditemukannya maqôm Sulaimân Bin Imâm
Hasânuddîn yang pada kayu nisan tertulis dengan aksara ‘Arab wafat
pada tahun 1358 H.
55
Sistem Kesulthânan tetap terus terjaga dan dipertahankan, walau
pun akhirnya sebagai akibat dari konspirasi politik devide et empera
kompeni kolonial VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) yang melahirkan kericuhan dan
insiden perpecahan di kalangan istana hingga
wilayah kekuasaan Kesulthânan Berau yang
berpusat di Muara Bangun tersebut harus dibagi dua menjadi Kesulthânan
Gunung Tabur (1800 M.) dan Kesulthânan Batu Putih (1810 M.) yang
kemudian berganti nama Kesulthânan Tanjung (1834/1836 M.), lalu
berubah kembali menjadi Kesulthânan Sambaliung (1849 M.). Konflik intrik
politik ini sebelumnya juga telah mengakibatkan lepasnya wilayah
Bulungan dan Tidung menjelang akhir abad ke-18 yang kemudian
membentuk sistem pemerintahan Kesulthânan sendiri.
Sebagai wilayah yang sebelumnya menjadi bagian dari Kesulthânan
Berau, maka jelas bahwa masuknya Islâm di Bulungan juga karena
pengaruh da’wah Imâm Dja’far dan Syî’âr Islâm oleh Kesulthânan Berau
serta didukung oleh Kesulthânan Brunei, pada sisi lain keterkaitan dengan
Kesulthânan Brunei adalah berkenaan dengan keberadaan salah seorang
keturunan Sulthân Brunei bernama Datu Mancang (1555–1595 M.) yang
didampingi Penasehat Kesulthânan dan juga Ahli Bahasa bernama Datu
Mahubut beserta ratusan pengikutnya yang dikawal oleh seorang
Panglima bernama Datu Tantalawî, mereka semua meninggalkan tanah
Brunei menuju ke sebuah sungai di daerah Bulungan yang dikenal dengan
nama Sungai Binai, dari sini terjadi persentuhan dan perkenalan Islâm
kepada masyarakat suku Khayan.
56
Selain itu optimalisasi penyebaran awal Islâm juga terlaksana berkat
gerak da’wah yang diemban dengan baik oleh Sayyid ‘Alî Idrus dan Sayyid
Abdullâh Bilfaqih, tepatnya bermula di Salimbatu Kecamatan Tanjung
Palas, maka sejak awal masa kekuasaaan sistem pemerintahan di
Bulungan telah berbentuk Kesulthânan yang dipimpin oleh Wira Amir Bin
Wira Digendung dengan gelar Sulthân Amîril Mu’minîn (1731-1777), pada
masa ini Kesulthânan Bulungan menerima kedatangan Syeikh Maghrîbî
dari Kesulthânan Demak yang semakin memperkuat Syî’âr Islâm di tanah
Bulungan.
Ketika kekuasaan Kesulthânan Bulungan berada di bawah pimpinan
Sulthân Muhammad Kasimuddîn, Beliau juga mempermarak Syî’âr Islâm
dengan mendatangkan seorang Muballigh ‘Ulamâ Besar dari Wajo
Sulawesi Selatan yang dikenal dengan nama H. Sahâbuddîn Ambo Tuwo
yang diangkat secara resmi sebagai Guru Agama di Istana Kesulthânan
Bulungan hingga sampai wafatnya Beliau menetap di Tanjung Palas,
semasa dengan Ambo Tuwo juga berdatangan ‘Ulamâ lain seperti Sayyid
Alwî Bin Abdurrahmân Idrus dari Hadramaut, Sayyid Hasân Bin Said
Yamânî dari Makkah dan Sayyid Muhsin Bin Abdullâh al-Attas dari Bogor.
Demikian juga pengaruh yang ditimbulkan atas kehadiran para saudagar
Muslim seperti Habâib dari Timur Tengah, Suku Bugis dan juga Banjar
yang datang untuk berdagang
sekaligus turut serta mengemban
syî’âr da’wah Islâm.
Langkah kepedulian seperti ini
ditunjukkan pula oleh cucunya yang
juga menjadi Sulthân Bulungan
57
yaitu Sulthân Maulânâ Muhammad Djalâluddîn (1931–1958), di mana
pada masa Beliau para Pegawai Masjid dan Pegawai Keagamaan lainnya
mendapat perhatian yang sangat serius. Selain itu Bulungan juga
kedatangan beberapa ‘Ulamâ besar dari Palu Sulawesi Tengah bernama
al-‘Alîmul ‘Allamah Sayyid Idrus Bin Salîm al-Djufrî beserta Ustadz
Assegaf Bin Syeikh al-Djufrî dan Rastam Bin Arsyad dengan tujuan untuk
mendirikan Madrasah guna pembinaan kader Islâm di masa yang akan
datang, berkat dukungan Sulthân Maulânâ Muhammad Djalâluddîn maka
dibangunlah dua Madrasah di Tanjung Selor dan Tanjung Palas, ketika
Sayyid Idrus Bin Salîm al-Djufrî beserta rombongan kembali ke Palu dan
berpulang ke Rahmatullâh, maka tugas Beliau terus dilanjutkan oleh
cucunya sendiri yang bernama Sayyid Seggaf Bin Muhammad Idris al-
Djufrî.
Di masa kepemimpinan Sulthân Maulânâ Muhammad Djalâluddîn ini
juga, kekuasaan Kesulthânan Bulungan berkembang pesat hingga
mencakup Sipadan dan Ligitan yang sekarang menjadi bagian wilayah
Malaysia, bahkan Tawau pun masuk dalam wilayah kekuasaan
Kesulthânan Bulungan yang setiap tahunnya selalu menyerahkan ‘upeti’
berupa uang ringgit emas.
Syî’âr Islâm dari Salimbatu turut
mempengaruhi perkembangan Islâm di pulau
Tarakan yang dikuasai oleh Kesulthânan Tidung
atau Kalkan/Kalka dari Dynasty Tengara yang
pertama kali berpusat di Binalatung, lalu pindah ke
Pimping bagian Barat dan Tanah Kuning, hingga
kemudian di Pamusian wilayah Tarakan Timur.
58
Salimbatu sendiri juga merupakan wilayah perbatasan antara Kesulthânan
Bulungan dan Kesulthânan Tidung setelah keduanya memisahkan diri dari
Kesulthânan Berau.
59
Tuan Di Bandang dan Tuanku Tunggang
Parangan pada tahun 1575 M. datang ke
Jahitan Layar atau Tepian Batu (Ibukota Kutai
Kertanegara waktu itu; sekarang Kutai Lama)
melewati selat Makassar dan sungai Mahakam, setelah mengislâmkan
Raja dan rakyat Kerajaan Gowa–Tallo, Luwu, Gantarang, dan juga Bima.
Beliau berdua bersama Syeikh Sulaimân Khatib Sulung yang populer
dengan gelar Datuk Patimang, Para ‘Ulamâ asal ranah Minangkabau,
Koto Tengah, Kampar – Riau, ketiganya ini adalah murid Sunan Giri yang
menjadi tim ekspedisi da’wah Islâm utusan khusus Sulthân Aceh Raya
Dârussalâm bersama Sulthân Johor (dari Istilah ‘Arab ‘Jauhar’ yang berarti
Permata).
Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro
berlabuh di Jahitan Layar pada Muara Sungai
Mahakam, dengan mengendarai kapal atau
perahu yang rupa bagian depannya berbentuk
tirus, haluan kapal yang lancip mirip dengan
moncong ikan Hiu Gergaji itu terlihat sangat unik dan menarik perhatian
serta menyajikan rasa aneh nan ganjil bagi penduduk setempat, inilah
yang kemudian hari melatarbelakangi Datuk Ri Tiro masyhur diberi gelar
Tuanku Tunggang Parangan (‘seperti mengendarai Hiu Parangan’).
Pada masa itu teknologi kemaritiman Nusantara memang baru saja
mengalami kemajuan. Kehadiran kapal-kapal Tiongkok dan Eropa dalam
kepentingan dagang memberi pengaruh baru. Menurut catatan para
pelayar Portugis, kapal lokal abad ke-16 sudah berbadan besar.
Muatannya 100 ton serta tidak memakai teknik ikat lagi melainkan pasak.
60
Hasil gabungan teknologi Tiongkok dan Eropa itu kemudian disebut
kapal hybrid (Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013).
Setelah Tuanku Tunggang Parangan bertemu Raja Mahkota. Beliau
segera menyampaikan seruan da’wah dan meminta raja untuk memeluk
Islâm. Seorang raja, kata Tunggang Parangan
kepada Raja Mahkota, diridhâi Allâh Ta’âla untuk
memerintah hamba Allâh di negeri tersebut.
“Lamun (jika) Raja hendak menurut saya,
baiklah, Raja masuk Islâm. Orang Islâm itu, lamun ia
mati baik, mendapat surga berapa lagi,” tutur Beliau.
Disampaikan juga kepada Raja, bahwa kematian dalam keadaan kafir,
akan menerima azab siksa Allâh di neraka. Perbincangan itu dicatat
dalam Salasilah Kutai yang ditulis pada 1849. Salasilah tersebut telah
diselidiki sejarawan Belanda, Constantinus Alting Mees dalam bukunya
berjudul De Kronik Van Koetai Tekstuitgave Met Toelitching (1935).
Momentum hadirnya da’wah Islâm ke Tanah Kutai adalah masa yang
bertepatan di mana Syi’ar Islâm sedang masyhur merebak luas di
Nusantara selepas runtuhnya Majapahit, sebagaimana Kutai Kartanegara
kala itu, adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha. Peran Majapahit
dengan wilayah yang besar telah diambil alih pamor dominasinya oleh
Kesultanan Demak berserta berbagai
Kesultanan Islâm lainnya yang marak
bermunculan di berbagai penjuru Nusantara,
di mana pada umumnya juga merupakan
hasil konversi dari berbagai Kerajaan Hindu-
Buddha sebelumnya.
61
Dalam Salasilah Kutai, Raja Mahkota pertama-tama menghilang dan
meminta Tuanku Tunggang Parangan menemukannya. Ujian pertama itu
berhasil dilewati dengan baik. Demikian pula dengan ujian berikutnya di
mana Raja membuat api yang besar lalu meminta dipadamkan. Tunggang
Parangan menjawabnya dengan berwudhu dan shalat dua raka’at. Hujan
deras kemudian datang tanpa henti dan memadamkan api.
Mengenai kisah tersebut, penggiat sejarah lokal, Muhammad Sarip,
memberikan pendapatnya. Adu kesaktian, secara harfiah, serupa dengan
riwayat metode da’wah yang mengutamakan unsur karomah atau
keajaiban. Namun demikian, cerita tersebut dapat pula dianggap sebagai
da’wah melalui dialog yang setara. ‘Adu kesaktian’ juga bermakna
perdebatan nalar atau dialektika yang dimenangkan Tuanku Tunggang
Parangan. Tafsir yang tak jauh berbeda juga diberikan sejarawan asal
Belanda, CA Mees yang menegaskan kisah riwayat tersebut hanyalah
kiasan sebagaimana latar belakang munculnya gelar ‘Tunggang
Parangan’.
Setelah Raja Mahkota menyatakan kesediannya secara sukarela
memeluk Islâm, Tuanku Tunggang Parangan langsung memandu Raja
Mahkota mengucapkan Dua Kalimat syahadat, serta mengajarkan Beliau
berbagai tatacara ibadah dan Syari’at Islâm lainnya.
Setelah kerabat keraton masuk Islâm, maka para
petinggi dan penduduk seluruh negeri seperti Jahitan
Layar, Hulu Dusun, Sembaran, Binalu, Sambuyutan
dan Dondang turut berduyun-duyun memeluk Islâm.
Lalu seiring pernyataan Islâm sebagai agama resmi pemerintahan, sistem
Kerajaan pun dikonversi menjadi Kesulthânan dengan Sulthânnya Adji
62
Raja Di Istana (Adji Di Maqôm; Penguasa pertama yang wafatnya
dimaqômkan) yang kemudian bergelar Mahkota
Mulia Islâm (1565–1605 M.), Bahkan sang
Sulthân ikut menyertai Tuanku Tunggang
Parangan berkeliling untuk berda’wah ke hampir
seluruh wilayah kekuasaan antara lain ke arah
pantai hingga Kaniungan, Manubar, Sangkulirang
di Utara hingga di sekitar sungai Jumpi di Selatan dan juga Manggar
(Balikpapan), ke arah Hulu ke pedalaman sampai ke Loa Bakung,
sehingga dalam waktu singkat Islâm sudah dipeluk oleh mayoritas rakyat
Kutai Kertanegara.
Salah satu langkah awal yang ditempuh Tuanku Tunggang Parangan
dalam pengembangan syî’âr Islâm dengan dukungan Sulthân Mahkota
Mulia Islâm adalah membangun sebuah langgar (Masjid) di Ibukota
Kesulthânan sebagai pusat penyiaran dan pendidikan Islâm yang awalnya
memang hanya diprioritaskan untuk Sulthân dan Para Pangeran atau
kalangan keluarga istana, selaku tumpuan harapan utama generasi
pelanjut kepemimpinan di masa yang akan datang. Harapan ini terwujud
dengan baik, seperti dengan terbimbingnya Adji Mandaraya putra Sulthân
Mahkota Mulia Islâm yang setelah wafatnya melanjutkan kepemimpinan
Kesulthânan, sang putra memiliki karakter yang shâlih dan tekun
mengikuti pembinaan keislâman dari Tuanku Tunggang Parangan di
langgar tersebut, hingga ia lebih dikenal dengan gelar Adji Di Langgar.
Pengajaran berikutnya, juga meluas ke kalangan Para Menteri,
Panglima, Hulu Balang, hingga akhirnya juga teruntuk kalangan rakyat
biasa.
63
Berbeda dengan Datuk Ri Bandang yang karena atas panggilan
Sulthân Gowa–Tallo akhirnya harus kembali memperkuat da’wah Islâm di
Makassar, maka hingga akhir hayatnya Tuanku Tunggang Parangan tetap
berada di Kutai, dan ketika meninggal sekitar tahun 1636 M. / 1045 H.,
Jenazahnya dimaqômkan di Jahitan Layar atau Kampung Kutai Lama,
wilayah Kecamatan Anggana. Hingga hari ini maqôm Beliau tetap dirawat
dan dilestarikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta Lembaga
Adat Kutai Kertanegara.
64
Lamohang Daeng Mangkona). Setelah tinggal beberapa lama di Jahitan
Layar (Kutai Lama), Beliau sekitar tahun 1668 M. pindah menetap di
Samarinda yang baru didirikan rombongan hijrah orang-orang Bugis Wajo
dari Kesulthânan Gowa (Wajo) Sulawesi Selatan yang dipimpin seorang
bangsawan bernama Lamohang Daeng Mangkona, mereka menolak
tunduk pada kolonial Belanda setelah perjanjian Bongaya yang terpaksa
ditandatangani Sulthân Hasânuddîn pada 18 Nopember 1667 M.
Mula-mula rombongan ini menetap di Kutai Lama dan turut
membantu Kesulthânan Kutai Kertanegara pada perang Bungka-Bungka
(Perang Lumpur) guna mengusir gangguan Bajak Laut dari Solok-
Philipina, selain itu sekitar 200 orang Bugis di bawah pimpinan La Hapide
Daeng Parani dan La Makkasau Daeng Mappuna
juga ditempatkan di Tenggarong untuk turut
menjaga keamanan Kesulthânan. Kemudian
berdasarkan persetujuan dan izin dari Sulthân
Kutai Kertanegara, Pangeran Dipati Mojo
Kesumo, Kafîlah ini membuka pemukiman baru di kampung Melantai,
yaitu wilayah sekitar muara Karang Mumus (Selili Seberang), suatu lokasi
dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan
perdagangan, terhitung sejak tanggal 05 Sya’ban 1078
H. atau 21 Januari 1668 M. (yang sekarang sejak
disahkannya Peraturan Daerah Kotamadya Dati II
Samarinda No. 1 pada tanggal 21 Januari 1988 telah
ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Samarinda).
65
Pada tahun 1672 M., Lamohang
Daeng Mangkona juga dianugerahi tanah di
wilayah hilir Sungai Mahakam yang
sekarang disebut Samarinda Seberang
(dahulu disebut Mangkujenang), hingga
menjadi pemimpin pemerintahan daerah tersebut (Adipati) dengan
anugerah gelar Pua’ Ado Yang Pertama pada tanggal 20 April 1708 M.
Menurut Salasila Bugis, pimpinan Bugis yang meminta izin kepada
Sulthân Kutai untuk bermukim di Samarinda adalah Anakhoda Latuji pada
kisaran tahun 1708 atau bahkan 1730-an. Nama ini bersesuaian dengan
tokoh Bugis dalam surat perjanjian antara Bugis dengan Sulthân Kutai.
Surat perjanjian tersebut telah diteliti ahli sejarah Constantinus Alting
Mees untuk keperluan disertasinya. Surat tersebut dimuat dalam bukunya
yang legendaris yang berjudul De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met
Toelichting (1935).
Sejak ibukota pusat pemerintahan
Kesulthânan Kutai Kertanegara dipindah dari
Kutai Lama (1300 – 1732 M.) ke Pemarangan
(Kampung Jembayan), hingga pada tanggal 28
September 1782 M. dipindah kembali oleh Sulthân Adji Muhammad
Muslihuddîn ke Tepian Pandan yang kemudian diubah nama menjadi
Tangga Arung (yang bermakna Rumah Sulthân) namun kemudian populer
disebut Tenggarong. Secara berturut-turut
Kota Sulthân Tenggarong juga kedatangan
tamu ‘Ulamâ terkenal dari berbagai daerah,
seperti pada sekitar tahun 1875 dengan
66
datangnya Sayyid Abdurrahmân bin Abdullâh bin Muhammad Assegaf, H.
Urai Achmad dan Sayyid Umar Assegaf yang ketiganya berasal dari
Sukadana (nama lama Pontianak) Kalimantan Barat dengan
menggunakan kapal layar dan terlebih dahulu melalui Matan, Banjar dan
Pasir.
Pada kisaran waktu yang sama juga datang dari Bugis – Sulawesi
antara lain H.M. Yahya dan H.M. Sa’ad Sengkang, serta Muhammad
Sayyid Daeng Faruku asal Bone (Kesulthânan Gowa) keturunan ‘Arab
yang lebih dikenal dengan nama Tuan (Sayyid) Muhammad Sajîd al-Bone.
Demikian juga dengan kedatangan para ‘Ulamâ yang datang dari Banjar –
Kalimantan Selatan seperti H.M. Kasîm Bin Sa’adjuddîn dan H.M. Toyib
Bâbussalâm serta disusul oleh H. Abdul Khalîd, H. Abul Hasân,
Muhammad Nasheer, H.M. Amîn, H. Abdurrasyîd, H. Abdul Latîef dan
Abdullâh Marisîe. Sedangkan ‘Ulama yang kemudian juga datang dari
tanah Jâwî seperti Imâm Marioga, Kasan Muslimîn, dan Martorejo.
Pada sekitar tahun 1877 M., Kutai Kertanegara juga
pernah kedatangan Syeikh Pranoto atau Habib Muhammad
bin Yahya (dari Penang Malaysia, kelahiran Hadramaut
Yaman 1844 M), yang kemudian bahkan menjadi menantu
Sulthân Adji Muhammad ‘Alîmuddîn (1899–1910 M.).
Perkenalan Habib Muhammad bin Yahya dengan Sulthân Adji
Muhammad ‘Alîmuddîn berawal dari pengembaraannya di sejumlah
wilayah nusantara, terutama di wilayah Timur. Pada 1877, ia singgah di
Tenggarong dan akhirnya menetap serta berda’wah di daerah tersebut.
Kiprahnya yang semakin dikenal luas oleh masyarakat setempat membuat
ia dikenal dengan panggilan Tenggarong di ujung namanya.
67
Kabar tentang kehadiran seorang ulama muda yang berilmu,
bersahaja, dan berwibawa terdengar oleh Sulthân yang kemudian
meminta Habib Yahya yang saat itu berumur 33 tahun untuk mengobati
Aisyah, putri sang Sulthân. Atas izin Allâh Swt. sang putri kemudian
sembuh.
Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Habib
Tenggarong, begitu akrab disapa, Sulthân menikahkan putrinya tersebut
dengan tokoh ulama tersohor itu. Sulthân juga memberi amanah jabatan
kepercayaan kepada Wulaity, sebutan untuk keturunan Hadhramaut
Yaman Selatan tersebut, berupa kedudukan sebagai Penghulu dan Mufti
Kesultanan. Selama menjabat sebagai mufti, Ia memiliki wewenang penuh
untuk mengurus segala persoalan Kesultanan yang berkaitan dengan
keagamaan. Tidak hanya di lingkunan istana, tetapi juga bertugas sebagai
guru bagi masyarakat secara umum, Beliau juga dianugerahi gelar Raden
Syarif Adji Pangeran Noto Igomo.
Pemukiman semakin berkembang
pesat di Samarinda Seberang dengan
terbentuknya perkampungan warga Bugis di
Sungai Keledang, Tambak Malang, Rapak
Dalam dan Mangkupalas, serta
perkampungan warga Banjar di daerah Baka
Ulu sekitar tahun 1880 M. Di Kecamatan Masjid masih berdiri tegak
sampai saat ini sebuah Masjid Tertua di Samarinda bernama Shirâthal
Mustaqîm yang mulai didirikan pada tahun 1881 M. oleh Sayyid
Abdurrahmân bin Abdullâh bin Muhammad Assegaf yang juga seorang
68
Bangsawan Pedagang, serta Kapitan Jaya, Petto Loloncong dan
Usulonna.
Oleh Sulthân Kutai Kertanegara, Adji Muhammad Sulaimân pada
tahun itu juga, Sayyid Abdurrahmân bin Abdullâh bin Muhammad Assegaf
diangkat menjadi kepala Adat dan Agama di Samarinda Seberang dengan
gelar Pangeran Bendahara. Masjid Shirâthal Mustaqîm
sendiri rampung dibangun dan diresmikan pada tanggal
27 Rajâb 1311 H. (Tahun 1891 M.) serta digunakan untuk
shalât yang untuk pertama kali diimâmi langsung oleh
Sulthân Adji Muhammad Sulaimân.
Menyusul perkembangan wilayah
Samarinda Seberang, daerah Samarinda yang
pada mulanya adalah tempat perpindahan
pusat pemerintahan Afdeeling Oast Borneo
Palaran yang merupakan tempat kecil dengan
beberapa perumahan rakyat. Namun kemudian
berkembang semakin ramai dengan adanya pendatang dari berbagai
daerah seperti Bugis Sulawesi Selatan, Kertanegara, Banjar Kalimantan
Selatan, Jawa dan yang lainnya, termasuk orang-orang China yang
berdiam di Kampung Pelabuhan dengan pimpinannya yang disebut Khoy
Goan (Letnan China). Selanjutnya terbukalah kampung Karang Asam,
Kampung Teluk Lerong, Kampung Selili,
Kampung Sungai Pinang, Air Putih dan lain-
lain.
Da’wah Islâm di Samarinda terus
berkembang semakin pesat dengan
69
datangnya beberapa ‘Ulamâ dari Banjarmasin Kalimantan Selatan seperti
K.H. Toyib Bâbussalâm yang mendapat gelar Tumenggung Mas
Penghulu, Beliau datang ke Samarinda sekitar tahun 1880 M. dan
menetap di Straat Masjid dan menjadi Tetuha orang-orang Banjar di
Samarinda di samping H. Abdurrahmân, di Bawah kepemimpinannya juga
berhasil di bangun Masjid Jami’ Samarinda yang berlokasi di tepi sungai
Mahakam sekitar tahun 1919 M. yang kemudian hari sekaligus menjadi
area pemaqômannya bersebelahan dengan maqôm K.H. Abdullâh
Marisîe.
Pada tahun 1885 M. kerabat K.H. Toyib Babussalâm dari
Banjarmasin yaitu K.H. Abdul Khalîd yang kemudian dikenal dengan
Penghulu II turut memperkuat da’wah Islâm di Samarinda serta menjadi
Imâm Masjid Jami’ Samarinda. Selain itu, seorang pembantu terdekat K.H.
Abdul Khalîd kelahiran Sungai Durian Banua Lawas tahun 1858 M.
bernama K.H. Abul Hasân yang pada usia 23 tahun (1881 M.) pindah
menetap di Muara Kedang atau Bongan Kutai, lalu kembali turut
membantu syî’âr Islâm di Samarinda sejak tahun 1920 M. dengan
menetap di Gang Hâji. Pada tahun 1926 M. Beliau diangkat menjadi
Penghulu dan Khadîm pada Laandrad Agama Islâm Samarinda
menggantikan K.H. Abdul Khalîd sehingga Beliau dikenal dengan sebutan
Penghulu III, pada tahun itu juga dengan dibantu K.H. Abdullâh Marisie
Beliau mendirikan Madrasah Ahlus Sunnah School. Lalu pada tahun 1930
M. saat K.H. Abul Hasân beserta keluarga berangkat ke Makkah untuk
menunaikan ibâdah hâji sekaligus memperdalam staqofah Islâm pada
Syeikh Sayyid Gusti, sesuai pesan Beliau maka K.H. Abdullâh Marisîe
(yang telah pindah menetap di Samarinda dari Banjarmasin sejak tahun
70
1918) diangkat dan dikenal sebagai Penghulu IV sekaligus Imâm Masjid
Jami’ Darussalam Samarinda.
Masjid Raya Darussalam Samarinda & Makam Beberapa ‘Ulamâ di Area Sampingnya
71
Penelaahan lebih lanjut tentang hal ini, akan memperlihatkan
keterkaitan atau hubungan historis yang berlanjut, antara pola
pengembangan da’wah oleh Kesulthânan Islâm Nusantara dengan proses
asal mula kedatangan Islâm ke Persada Nusantara. Di mana seiring
semakin maraknya arus lintas interaksi ekonomi para pedagang Muslim
serta para penjelajah Muslim hingga jalur pelayaran padat internasional
kala itu di Selat Malaka yang sejak abad ke-7 telah menghubungkan
Dinasti Tang di China, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan Kekhilâfahan Islâm
di Asia Barat.
Lebih lanjut pengaruh keberadaan Khilâfah Islâm terhadap
kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal
berdirinya Daulah Islâm. Keberhasilan umat Islâm melakukan penaklukan
(futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar
wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah
kepemimpinan ‘Umâr Ibnu al-Khaththâb ra. telah menempatkan Khilâfah
Islâm sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Dalam kitâb sejarah China yang berjudul Chiu T’hang Shu
disebutkan bahwa China pernah mendapat kunjungan diplomatik dari
orang-orang Ta Shih atau Ta Cheh (‘Arab) pada tahun 651 M. (31 H.),
empat tahun kemudian Dinasti yang dipimpin Kaisar Yong Hui ini kembali
kedatangan duta atau utusan yang dikirim Tan mi mo ni’ (Khalîfah atau
‘Amîril Mu’minîn), duta tersebut menyatakan bahwa mereka telah
mendirikan Daulah Islâmiyyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan
yang berarti saat itu adalah era kepemimpinan Khalîfah Utsmân Bin Affân
ra. (557–656 M.). Seiring itu dengan semakin terbuka luasnya kesempatan
untuk berda’wah serta berdagang, maka duta-duta dari Timur Tengah
72
yang datang ke China semakin banyak dan meningkat intensitasnya
termasuk 17 Duta Resmi yang dikirim Kekhilâfahan Bani Umayyah,
sehingga wajar jika sejak pertengahan abad ke-7 sudah berdiri
perkampungan Muslim di wilayah Kanfu atau Canton serta Guangzhou (di
mana pada daerah ini, tepatnya di Orchid Garden-Guangzhou, Shahabat
Nabi yang bernama Sa’ad Bin Abî Waqqâs dimaqômkan).
Perjalanan ekspedisi Islâm ke negeri Tirai Bambu biasa ditempuh
melalui jalur darat dan jalur laut. Perjalanan darat dari tanah ‘Arab sampai
ke bagian Barat Laut China ditempuh melalui kawasan Persia dan
Afghânistan yang dikenal dengan nama Jalan Sutera. Sedangkan
perjalanan laut ditempuh dari teluk Persia dan laut ‘Arab sampai ke
pelabuhan-pelabuhan China seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou
dan Yangshou, dengan melalui teluk Benggala, selat Malaka dan laut
China Selatan. Jalur laut menjadi rute yang ramai dan populer dipilih
karena lebih aman dibanding jalur darat yang sangat rawan dengan
perampokan dan peperangan.
Berdasarkan berita China dari dinasti Tang ini juga dikisahkan kedatangan
utusan Sulthân Ta Cheh (Sulthân dari Arab) yaitu Khalîfah Mu’awwiyah
Bin Abi Sufyân kepada Ratu Sima di Kerajaan Kalingga, peristiwa ini
terjadi saat Khalîfah Mu’awwiyah melaksanakan pembangunan kembali
armada Islâm, menurut Ruban Levi bahwa jumlah kapal yang dimiliki oleh
Khalîfah Mu’awwiyah pada tahun 34 H. atau 654/655 M. adalah sekitar
5.000 unit kapal yang berfungsi melindungi armada niaganya, sehingga
sangat wajar jika pada tahun 674–675 M. Khalîfah Mu’awwiyah dapat
mengirimkan dutanya ke Kalingga. Bahkan menurut Prof. Hamka dalam
bukunya ‘Sejarah Umat Islâm’ dinyatakan
73
74
bahwa duta ekspedisi yang datang ke China dan meneruskan perjalanan
hingga sampai di Kerajaan Kalingga, adalah Sahabat Rasûlullâh sendiri
yaitu Mu’awwiyah Bin Abî Sufyan yang menyamar sebagai pedagang
untuk melakukan pengamatan dan penyelidikan terhadap kondisi tanah
Jawa kala itu.
Pengakuan kebesaran Kekhilâfahan Islâm oleh penguasa di
Nusantara tercatat jelas dengan bukti adanya dua pucuk surat yang
dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya (Raja Srindravarman yang
meneruskan kekuasan Raja Lokitavarman) kepada Khalîfah masa Bani
Umayyah (660–749 M.). Surat pertama dikirim kepada Mu’awwiyah dan
surat kedua pada tahun 100 H. (718 M.) dikirim kepada ‘Umâr Bin Abdul
Azîz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwân (arsip) Bani
‘Umayyah oleh Abdul Mâlik Bin Umair yang disampaikan kepada Abû
Ya‘yûb ats-Tsaqâfî, yang kemudian disampaikan kepada Haitsâm Bin Adî.
al-Jahîzh yang mendengar surat itu dari Haitsâm menceriterakan
pendahuluan surat itu sebagai berikut:
“Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang
istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang
memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon Gaharu, kepada Mu’awwiyah….”
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd. Rabbih (246–329 H. /860–
940 M.) dalam karyanya, al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah
sebagai berikut:
“Dari Raja Diraja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu
raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya
terdapat dua sungai yang mengairi pohon Gaharu, bumbu-bumbu wewangian, Pala
dan Kapur Barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, Kepada
75
76
Penguasa Arab (‘Umâr bin Abdul Azîz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain
dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya
merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya
ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islâm
kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya”.
Ibnu Tighribirdî, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, an-
Nujûm azh-Zhâhîrah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhîrah, memberikan kalimat
tambahan pada akhir surat ini, yakni, "Saya mengirimkan hadiah kepada Anda
berupa bahan wewangian, Sawo, Kemenyan, dan Kapur Barus. Terimalah hadiah itu,
karena saya adalah saudara Anda dalam Islâm".
Dua tahun kemudian, yaitu di tahun 720 M., Raja Srindravarman
yang semula Hindu akhirnya memeluk Islâm, sehingga Sriwijaya Jambi
pun dikenal dengan nama Sribuza Islâm. Namun sayang pada tahun 730
M., Sriwijaya Jambi ditaklukkan dan Raja Srindravarman ditawan oleh
Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
77
Demikian juga didapati catatan berdasarkan
dokumentasi surat menyurat milik Kekhalîfahan
Bani Umayyah yang disimpan di Museum
Granada, Spanyol. Bahwa pada tahun 674 M.,
Raja Jay Sima (Putera Ratu Sima, Sri Maharani
Mahissasuramardini Satyaputikeswara) dari
Kerajaan Kalingga, Jepara - Jawa Tengah telah
memeluk Islâm. Ini adalah bagian dari hasil syi’ar da’wah ketika Khalîfah
Utsmân bin Affan pernah mengutus armada lautnya yang dipimpin
Muawiyah bin Abu Sufyan untuk melakukan ekspedisi mengenalkan Islam
ke daratan China termasuk ke
Nusantara, yaitu ketika sempat
singgah di Pantai Utara Jawa yang
ketika itu berada dalam wilayah
Kerajaan Kalingga.
Selain hal tersebut di atas, penghormatan kepada Kebesaran Islâm
juga ditunjukkan oleh Raja-Raja di Eropa sebagaimana arsif kutipan surat
berikut:
Dari George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia.
Kepada Penguasa Kaum Muslimîn di – Kesulthânan Islâm Andalusia.
Yang Dipertuan Agung, Hisyam III.
Yang Mulia..
“Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia,
bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, di mana
berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia,
yang metropolit itu. Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba kea-
78
79
gungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk
mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami,
yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.”
“Kami telah memutuskan puteri saudara kandung kami, Dubant, untuk
memimpin delegasi dari puteri-puteri pemuka Inggris agar bisa memetik
kemuliaan… agar kelak beliau bisa ditempatkan bersama teman-teman
puterinya dalam naungan kebesaran yang Mulia.”
“Puteri kecil kami, juga telah dibekali dengan hadiah kehormatan untuk
menghormati kedudukan yang Mulia nan agung... Hamba mengharapkan
kemuliaan yang Mulia dengan berkenan menerimanya, dengan penuh hormat
dan penuh cinta yang tulus”.
Tertanda,
Pelayan yang Mulia nan taat,
George II
81
yang oleh Kolonialis disebut ‘Paus Dari Timur’ ini pernah berperan
sebagai Tabib di Kerajaan Hindu Majapahit. Setelah membangun dan
menata pondok tempat kajian Islâm di Leran, akhirnya Beliau wafat
pada tahun 1419 M. dan dimaqômkan di Kampung Gapura Gresik-
Jawa Timur.
3). Maulânâ Ishâq atau Syekh Awwalul Islâm. Sebagaimana saudaranya,
Maulânâ Mâlik Ibrâhim, ‘Ulamâ dari
Samarkand ini juga ahli dalam bidang
Pengobatan. Beliau berda’wah di pulau Jawa
dan menikahi Dewi Sekardadu puteri Raja
Blambangan; Prabu Menak Sembuyu, dari pernikahan inilah lahir
Raden Paku atau Maulânâ ‘Ainul Yaqîn yang bergelar Sunan Giri serta
Dewi Saroh (Ibu Sunan Muria). Walau pun berhasil mengislâmkan
sang isteri tetapi Beliau gagal mengislâmkan mertuanya, hingga Beliau
terus berkelana dan wafat di Samudera Pasai Aceh.
4). Maulânâ Muhammad al-Maghrîbî atau Sunan
Gesang. Penda’wah Keliling asal Maghribi
atau Maroko – Afrika Utara, berda’wah di area
pulau Jawa bagian Timur hingga Barat.
Maqom atau Petilasan Beliau diklaim di
beberapa tempat seperti, Cirebon area Kesulthânan Kanoman,
Jatinom-Klaten, Parangtritis, Bantul, Batang, dan juga Gresik.
Wafatnya Beliau diperkirakan sekitar pada tahun 1419 atau 1465 M.
5). Maulânâ Mâlik Isrô’îl. Dalam susunan nasab keluarga besar
Azmatkhan yang ada di Asia Tenggara, khususnya keturunan Sayyid
Husein Jamaluddin Jumadil Kubro, Maulana Malik Israil adalah anak
82
yang ke 13. Nama asli beliau sendiri adalah Sayyid Ali Nurul Alam
Azmatkhan, sedangkan nama lainnya adalah Sultan Qonbul, Sultan
Patani Darussalam, Arya Gajah Mada, Minak Brajo Nato.
Walaupun dalam sejarah beliau sering dianggap berasal dari Turki,
sesungguhnya aslinya beliau berasal dari Patani. Beliau sendiri
merupakan pelopor berdirinya Kesultanan kesultanan Islam yang ada
di daerah Patani (Thailand) dan juga Champa (Vietnam) disamping
juga tokoh tokoh lain seperti Sayyid Ibrahim Zaenuddin Al Akbar As-
Samarakondi, As-Sayyid Sultan Sulaiman Al Bagdadi Azmatkhan.
Sebagai seorang Ahli Tata Negara dari Khilâfah Turki Utsmani, Beliau
adalah tokoh yang menentukan sukses tidaknya da’wah keluarga
besar Walisongo, terutama pada periode pertama inisiasi berdirinya
Majelis Da’wah Walisongo 1404 M. yang didukung penuh oleh Sultan
Muhammad I dari Khilâfah Turki Utsmani. 9 anggota angkatan pertama
Majelis Da’wah Walisongo ini keberadaannya sangat jelas tercatat
dalam sebuah surat yang tersimpan di museum Istambul Turki.
Maulânâ Mâlik Isrô’îl bersama Maulana Ali Akbar yang juga merupakan
kakaknya bergerak ke arah barat Pulau Jawa (Sunda). Beliau
diperkirakan wafat sekitar tahun 1435 M. dan bermaqôm di Gunung
Santri antara Serang-Merak.
6). Maulânâ Muhammad ‘Alî Akbar (Ahli Pengobatan dari Persia-Îrân,
bermaqôm di gunung Santri antara Serang-Merak di tahun 1435 M.).
7). Maulânâ Hasânuddîn (Penda’wah Keliling dari Palestina, dimaqômkan
tahun 1462 M. di samping Masjid Banten Lama). Beliau juga adalah
Kakek dari Sulthân Ageng Tirtayasa dan Sulthân Aliuddin.
83
8). Maulânâ Aliyuddîn (Penda’wah Keliling dari Palestina, dimaqômkan
tahun 1462 M. di samping Masjid Banten Lama).
9). Maulânâ Muhammad al-Baqir atau Syekh Subâkir. Ulama
asal Persia ini Ahli Syarî’ah, Pertanahan atau ekologi
lingkungan, pengusaha ulung, dan juga ahli ruqyah. dari
Persia, setelah beberapa waktu di pulau Jawa, kembali
dan wafat di Persia tahun 1462 M.
Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah terlebih dahulu
di Pasai, tercatat bahwa Sulthân Zainal ‘Abidîn I Bahiyah Syah Malik Az-
Zahir (Penguasa Kesulthânan Samudera Pasai 1349–1406 M.) adalah
orang yang telah mengantar Maulânâ Mâlik Ibrâhim dan Maulânâ Ishâq ke
tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, kembali datang para dâ’î ‘Ulamâ ke pulau
Jawa untuk menggantikan dâ’î yang wafat atau dipindah-tugaskan,
bahkan sebagian dâ’î adalah keturunan berdarah Jawa dengan gelar
Raden yang berasal dari kata Rahadian dengan arti Tuanku di kalangan
para Walî, menunjukkan bahwa da’wah Islâm sudah terbina dengan subur
hingga kalangan elit penguasa di Kerajaan Majapahit, mereka adalah :
1). Raden Rahmat atau Sayyid ‘Alî Rahmatullâh atau
Sunan Ampel. Raden Rahmat pada tahun 1440 M.
bersama Raden Santri sang Adik dari Campa datang ke
Palembang, tiga tahun kemudian baru berlabuh ke
Gresik dan menuju Majapahit menemui Bibinya (seorang Putri
Campa yang bernama Dwarawati yang dipersunting Raja Majapahit
yang bergelar Prabu Sri Kertawijaya atau Brawijaya Kertabumi).
Gelar Sunan Ampel diambil dari nama daerah yang lama ia tempati
84
yaitu Ampel Denta (Kota Wonokromo-Surabaya). Setelah menikahi
Puteri Adipati Tuban bernama Nyi Ageng Maloka, Beliau dikaruniai
beberapa putera dan seorang puteri di antaranya yaitu Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Beliau juga yang membidani lahirnya
Kesulthânan Demak (Kesulthânan Islâm pertama di Jawa), dan
menunjuk Raden Fatah putera Raja Majapahit Prabu Brawijaya V
sebagai Sulthân Demak tahun 1475 M. Beliau mengenalkan istilah
‘Mo Limo’ yaitu: “moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat
dan moh madon” (seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman
keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkoba, dan tidak
berzina”). Beliau wafat pada tahun 1481 M. di Demak dan
dimaqômkan di sebelah Barat Masjid Ampel Surabaya.
2). Sayyid Ja’far Shodîq atau Sunan Kudus. Beliau adalah
putera Sunan Ngudung (anak Sulthân Mesir yang
menjadi Panglima Perang Kesulthânan Demak) setelah
menikahi seorang perempuan bernama Syarîfah.
Setelah dari Palestina Sayyid Ja’far Shodîq datang berda’wah di
Kudus pada tahun 1436 M. serta menjadi Panglima Perang
Kesulthânan Demak sebagaimana Ayahnya.
3). Syarîf Hidayatullâh atau Sunan Gunung Jati. Beliau
lahir sekitar tahun 1448 M. putera Sulthân Syarîf
Abdullâh Maulânâ Hudâ seorang Pembesar keturunan
Bani Hasyîm dari Palestina, yang menikahi Nyai Rara
Santang puteri Raja Pajajaran Raden Manah Rarasa putera Raja
Siliwangi. Sejak usia 14 tahun Syarîf Hidayatullâh telah mengkaji
Islâm dari para ‘Ulamâ Mesir. Menyusul pendirian Kesulthânan
85
Bintoro Demak, atas restu para ‘Ulamâ, Beliau mendirikan
Kesulthânan Cirebon (Kesulthânan Pakungwati) guna penyebaran
da’wah Islâm ke pesisir Carbon (Cirebon) dan pedalaman Pasundan
atau Priangan. Dengan dibantu puteranya yang bernama Maulânâ
Hasânuddîn, Beliau melakukan ekspedisi ke Banten hingga
penguasa setempat yang bernama Pucuk Umum secara sukarela
menyerahkan penguasaan wilayah yang kelak menjadi Kesulthânan
Banten. Pada usia 89 tahun Beliau melimpahkan kekuasaan pada
Pangeran Pasarean dan wafat pada usia 120 tahun (1568 M.) di
Cirebon, lalu dimaqômkan di Gunung Sembung-Gunung Jati (15 km.
sebelum Cirebon dari arah Barat).
4). Raden Paku atau Maulânâ ‘Ainul Yaqîn atau Sunan
Giri. Beliau lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada
tahun 1442 M. dan juga digelar Jaka Samudera karena
pernah dibuang keluarga ibunya ke laut lalu dipungut
oleh Nyai Semboja. Setelah bersama Raden Fatah
mengkaji Islâm di Pesantren Sunan Ampel sepupunya, Beliau
berkelana ke Malaka dan Pasai hingga membuka pesantren di
perbukitan Desa Sidomukti arah Selatan Gresik, dalam bahasa Jawa
bukit disebut “Giri” sehingga Beliau disebut Sunan Giri. Selain
sebagai tempat pendidikan, pesantren Beliau juga menjadi pusat
pengembangan masyarakat dan pemerintahan yang dikenal dengan
nama Giri Kedaton dan Beliau digelar Prabu Satmata serta Sulthân
Abdul Faqîh. Saat Raden Fatah melepaskan diri dari Majapahit,
Beliau bertindak sebagai Penasehat sekaligus Panglima Militer
Kesulthânan Demak, serta Mufti Tertinggi se Tanah-Jawa. Selain
86
keluasan tsaqôfahnya dalam bidang ilmu Fiqih, Beliau juga dikenal
sebagai pencipta karya seni Islâmî yang luar biasa; permainan anak
seperti Jelungan, Jamuran, Lir-Ilir, dan Cublak Suweng, serta
Gending Asmaradana dan Pucung. Beliau akhirnya wafat dan yang
bermaqôm di Gresik.
5). Raden Sa’îd atau Raden Abdurrahmân atau Syeikh
Malaya yang bergelar Sunan Kalijaga. Beliau adalah
putera Adipati Tuban Raden Sahur atau Arya Wilwatikta
dan Dewi Nawangrum yang lahir di Tuban ± tahun 1450
M. Beliau juga berperan sebagai Penghulu Suci Kesulthânan Cirebon
yang disebut dengan istilah ‘Qadli Dzaqa’ sehingga Beliau disebut
Sunan Kalijaga. Beliau mengkreasi Lanskap pusat Kota berupa
Kraton, Alun-alun dengan Dua Beringin serta Masjid yang kemudian
mashur dirujuk oleh Kesulthânan Islâm lainnya. Beliau juga dikenal
sebagai Kreator karya seni Islâmî seperti Baju Taqwâ, Gong Sekaten,
Grebek Maulud, dan Layang Kalimasada. Peran da’wah Beliau
berhasil mengislâmkan Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (Kotagede-Yogyakarta). Beliau wafat ±
tahun 1569 M. dan dimaqômkan di Pasarean Kadilangu Demak),
6). Raden Makdum Ibrâhim atau Sunan Bonang (Putera
Sunan Ampel yang lahir tahun 1465 M. di sebuah Desa
Kabupaten Rembang). Beliau banyak menggubah
sastra berbentuk Suluk atau Tembang Tamsil seperti
Suluk Wijil yang dipengaruhi kitâb ash-Shiddîq karya Abu Sa'îd al-
Khayr. Beliau juga menggubah tembang Tombo Ati yang masih
87
masyhur sampai sekarang. Beliau wafat pada tahun 1525 M. dan
dimaqômkan di Desa Bonang.
7). Raden Syaifuddîn atau Qôsîm Dua atau Sunan Drajat.
Saudara Sunan Bonang yang lahir tahun 1470 M. ini
pertama kali mendapat tugas dari Ayahnya untuk
berda’wah ke pesisir Gresik, perjalanan melalui laut
membawanya terdampar di Dusun Jelog pesisir
Banjarwati (Lamongan). Pada tahun berikutnya Beliau berpindah 1
Km. ke Selatan dan mendirikan padepokan santri Dalam Duwur yang
sekarang bernama Desa Drajat, Paciran Lamongan.
8). Raden Fatah atau Praba atau Raden Bagus Kasan,
memiliki nama Tionghoa Jin Bun sehingga disebut
juga Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun,
putera Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, murid
Sunan Ampel ini menjadi Adipati Bintoro tahun 1462 M., membangun
Masjid Demak tahun 1465 M. dan menjadi Sulthân Demak tahun
1478 M. bergelar Sulthân Syah Alam Akbar al-Fatah.
9). Fathullâh Khan putera Sunan Gunung Jati,
10). Raden Prawoto atau ‘Umâr Said yang bergelar Sunan
Muria. Beliau adalah putera Sunan Kalijaga yang
menikahi Dewi Saroh Binti Syekh Maulânâ Ishâq. Gaya
da’wahnya serupa dengan Sunan Kalijaga Ayahnya,
seperti tampak pada lagu Sinom dan Kiranti yang Beliau karang.
Namun dalam mensyî’ârkan Islâm Beliau lebih suka berada di daerah
sangat terpencil yang jauh dari pusat Kota seperti Jepara, Tayu,
Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Beliau sering bertindak sebagai
88
penengah dalam berbagai konflik internal di Kesulthânan Demak
(1518–1530 M.), nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya
di lereng gunung Muria, 18 Km. ke Utara Kota Kudus.
11). Sunan Tembayat yang juga menjadi Adipati Pandhan Aran sehingga
juga disebut dengan Ki Ageng Pandhan Aran.
Demikianlah nampak dengan sangat jelasnya bagaimana eratnya
hubungan antara Islâm dan kekuasaan sebagaimana
pernyataan Abû Hamîd Muhammad Bin Muhammad al-
Ghazâlî ath-Thûsî asy-Syâfi’î atau lebih dikenal dengan
nama al-Imâm al-Ghazâlî (450–505 H. / 1058–1111 M.),
dalam ‘al-Iqtishôd fil I’tiqôd’ dengan jelas Beliau menyatakan “Dînul Islâm
adalah Pondasi, sedangkan Kekuasaan adalah Penjaga. Sesuatu yang
Tanpa Pondasi akan Roboh. Sesuatu yang Tanpa Penjaga akan
Hilang”. Maka baik untuk tataran lokal di berbagai wilayah Nusantara dan
juga Bumi Etam, apalagi pada tataran da’wah Internasional, keberadaan
dan peran sebuah institusi kekuasaan Islâm menjadi hal yang niscaya tak
terbantahkan wajib adanya.
Imâm Abû Hasân al-Mawardî (972–1085 M.) juga
menegaskan “Kekuasaan yang bersanding dengan
agama akan menjadi stabil, dan agama yang
bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan
kokoh Imân”.
Bila keduanya bertemu dan bersatu maka tujuan
dan sasaran da’wah tercapai, dan cita-cita membangun
umat akan terealisasi dengan izin Allâh. Namun jika
keduanya berpisah apalagi saling berhadapan, maka
89
segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai batas kehinaan sehingga
muncul berbagai macam fitnah dan musibah bagi umat” (Syaikh
Muhammad bin Sâlih al-Utsaimin [1347–1421 H]).
Oleh karena itu sangat wajar jika Waliuddîn
Abdurrahmân bin Muhammad bin Muhammad bin Abî
Bakar Muhammad bin al-Hakkâm Ibnu Khaldun (732–
805 H. / 1332–1406 M.); Bapak Sosiologi Islâm,
Peletak Dasar Ilmu Sosial dan Politik Islâm yang
menulis buku al-‘Ibâr (Sejarah Umum yang diterbitkan
di Kairo pada tahun 1284 M.) menyimpulkan bahwa “Sejarah peradaban
Islâm berkembang karena dukungan Sistem Khilâfah (Pemerintahan
Islâm)”.
“Negara Islâm (syi’ar Islâm dengan da’wah) adalah jalan masuknya
Islâm secara damai di Indonesia oleh para pedagang muslim yang juga
berprofesi sebagai dâ’î, Negara Islâm adalah pusat pengembangan Islâm
di Indonesia, Negara Islâm adalah benteng
perlawanan, dan cita-cita tegaknya kembali
Negara Islâm adalah modal perlawanan
imprealisme kolonial” (Abdul Qadir Djaelani).
90
91
92
93
94
Sistem Pemerintahan
Konversi sistem Kerajaan menjadi Kesulthânan, memiliki
konsekuensi sangat serius terhadap dominasi kekuasaan dan
kewenangan yang sebelumnya berada penuh di tangan Raja. Penguasa
baru yang disebut Sulthân kini tidak lagi berdaulat melebihi kedaulatan
hukum, hukum yang tidak lain adalah Syarî’at Islâm menjadi payung bagi
penyelenggaraan sistem pemerintahan di mana sang Sulthân pun harus
tunduk patuh di bawahnya.
Bukti konkrit akan hal ini dapat dilihat pada berlakunya dua Undang-
undang berlandaskan Syarî’at Islâm yang telah ditetapkan pada masa
Sulthân Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ki Dipati Jayaprana yang
bergelar Adji Pangeran Sinum Panji Mendapa (1710–1735 M.), yaitu
Undang-Undang Dasar Panji Salarin (Panji Salaten) yang terdiri atas 39
pasal dan Undang-undang Beraja Nanti (Braja Niti) yang terdiri atas 164
pasal. Dalam pasal 1 UUD Panji Salaten yang ditulis dengan huruf Arab
bahasa Melayu-Kutai tersebut tegas dinyatakan “bersyara‘ Islâm dengan
‘Alim ‘Ulamânya”. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa Sulthân
berkewajiban menjamin keamanan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang
berada di wilayah kekuasaannya, walaupun tidak beragama Islâm. Dalam
Undang-undang ini pula terdapat ancaman tegas yaitu hukuman potong
tangan bagi para pencuri lebih dari sepuluh real, dan hukum potong
sepuluh jari untuk pencurian di bawah jumlah sepuluh real.
Lebih lanjut walaupun Sulthân tetap memegang kekuasaan tertinggi
di Kesulthânan, tetapi apabila keputusannya dianggap tidak sesuai
dengan Syarî’at Islâm atau menzhâlimi rakyat, maka keputusannya dapat
dirubah oleh Kemufakatan Majelis Orang-Orang Besar dan Orang-Orang
95
Arif yang diwakili oleh ‘Alim ‘Ulamâ, Majelis tersebut memutuskan
berdasarkan Undang-undang tentang Wewenang Sulthân.
Di dalam melaksanakan tugasnya, Sulthân memberikan instruksi
kepada Mangkubumi. Selanjutnya, Mangkubumilah yang meneruskan
kepada bawahannya, Para Menteri dan Senopati. Selain menerima
instruksi Sulthân, Mangkubumi, Para Menteri, dan Senopati juga berhak
memberikan saran-saran dan pertimbangan kepada Sulthân.
Pada masa pemerintahan Adji Di Langgar, untuk pertama kalinya
dalam sejarah Kesulthânan Kutai Kertanegara terjadi pengangkatan
seorang Mangkubumi, yaitu Wadu (Putra Raden Wijaya) yang berkuasa
pada empat daerah meliputi Kuningan, Manubar, Sangkulirang dan
Balikpapan.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sulthân juga dibantu oleh
Majelis yang atas mufakat dan persetujuan Sulthân bertugas menetapkan
peraturan dan hukum yang berlaku di seluruh wilayah Kesulthânan.
Majelis ini beranggotakan kaum bangsawan dan rakyat biasa yang
mengerti betul tentang Syarî’at Islâm berikut kondisi adat istiadat rakyat
Kutai. Peraturan yang dibuat oleh Majelis ini kemudian disebut ‘Adat Yang
Diadatkan’ berdasarkan kesesuaiannya dengan Syarî’at Islâm.
Jika pada masa Adji Di Maqôm dan Adji Di
Langgar, operasionalisasi kegiatan keagamaan
dipimpin langsung oleh Sulthân, maka pada masa
Sulthân Adji Pangeran Sinum Panji Mendapa,
pimpinan keagamaan tersebut dikuasakan kepada
seorang pembantu Sulthân yang disebut Mas
Penghulu, yang bertugas mengkoordinir proses
96
pendidikan Islâm. Pada mulanya jabatan Mas Penghulu ini terbatas hanya
bagi kalangan keluarga Sulthân, namun dalam perjalanan selanjutnya
yaitu sekitar tahun 1854 M., maka kesempatan untuk menduduki jabatan
tersebut juga terbuka bagi khalayak umum terutama kepada mereka yang
memiliki pengetahuan Islâm yang baik.
98
abad Ke–16, saat Kesulthânan Berau dipimpin oleh Sulthân Adji Sura
Raja, Syarî’at Islâm telah mulai ditegakkan melalui pemberlakuan Undang-
undang Pidana dan Perdata bernama Pematang Ammas, dengan salah
satu ketentuan yaitu ancaman terhadap tindak kejahatan pencurian
dengan hukuman potong tangan, sesuai prasyarat dan ketentuan Syarî’at
Islâm, selain itu Undang-undang ini juga berisi serangkaian norma dan
aturan protokoler Kesulthânan dan hubungan dalam masyarakat yang
membawa rakyat Berau mencapai masa keemasannya.
Bahkan di masa Sulthân Zainal ‘Abîdîn I yang diangkat
menggantikan Sulthân Amiril Mu’minin, Penguasa Berau ke-13 yang wafat
setelah memerintah selama 12 tahun. Sulthân Zainal ‘Abîdîn I terus
menyempurnakan pemberlakuan Syarî’at Islâm dalam Undang-undang
Pematang Ammas baik terkait tata aturan dalam istana yang bersendikan
Islâm, termasuk berbagai aturan untuk menjaga keamanan, ketertiban,
serta hak dan kewajiban rakyat masa itu. Bahkan Beliau pun berperan
juga sebagai Da’i/Muballigh yang aktif menyampaikan ceramah dan
nasehat agar semua pihak dari kalangan istana serta seluruh rakyat, agar
mematuhi dengan baik segala ketentuan Syarî’at Islâm karena untuk
kemurnian keimanan kepada Allâh Swt.
Pemberlakuan Syarî’at Islâm juga nampak nyata di Kesulthânan
Pasir dengan diberlakukannya Undang-undang Boyan Bunganyaru pada
sekitar tahun 1706 M. di bawah kepemimpinan Sulthân Adji Geger
Indrajaya Bin Singa Maulâna.
Di bawah naungan Syarî’at Islâm pula lah, Kesulthânan Kutai
Kertanegara memberikan pengayoman dan jaminan perlindungan
kebebasan dalam memeluk keyakinan (agama) dan menjalankan ibadah
99
agama bagi seluruh warga masyarakat. Hal ini nampak nyata ketika
Sulthân Adji Muhammad Sulaimân memberikan hibah tanah pagi
pembangunan Kelenteng di Karang Mumus dan pendirian Gereja di
Tering.
Kedaton Kutai pada masa Sulthân Alimuddin dan Kedaton Baru di sisi samping Masjid Jami’
Masjid Agung Sulthân A.M. Sulaimân dalam posisi cukup dekat dari Masjid Jami Hasânuddîn;
100
Mahkamah Islâm
Adanya Mahkamah Islâm menjadi
penyempurna penerapan Syarî’at Islâm di
wilayah hukum Kesulthânan, melalui
lembaga yang berpusat di Ibukota Kesulthânan ini berbagai tindak
pelanggaran Syarî’at akan diawasi penuh dan diadili. Di setiap tempat dan
kota terutama pada daerah-daerah yang strategis, diangkat penghulu-
penghulu sebagai kepanjangan tangan dan berada di bawah naungan
Mahkamah Islâm Kesulthânan, seperti di Sanga-Sanga yang terkenal
dengan Penghulu K.H. Mohammad Nasheer.
Mahkamah yang dibantu oleh para ‘Ulamâ dan Juru Tulis ini juga
mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan agama, memberi
nasihat kepada Sulthân tentang maksud pendirian perhimpunan, sekolah
agama, masjid dan lain-lain, termasuk memeriksa keshahîhan materi
khutbah yang akan disampaikan para Khatib dalam mimbar Jum’at.
Segala masjid di seluruh Kutai, khotbahnya harus dibenarkan dahulu oleh
Mahkamah.
Beberapa nama yang tercatat pernah memimpin Mahkamah Islâm
Kesulthânan antara lain: Mufti Syeikh Khaidîr (1854–1896 M.), H. Urai
Ahmad Sambas (1896–1912 M.), Sayyid Muhammad Agil Bin Yachya
(1912–1918 M.), H. Amîn Bone (1918–1926 M.), H. Adji Amîr
Hasânoeddîn Seri Pangeran Noto Negoro (1926–1935 M.), Adji Pangeran
Ario Cokro Negoro atau Pangeran Ratu (1935–1945 M.), Muhammad
Sayyid Daeng Faruku asal Bone (Kesulthânan Gowa) keturunan ‘Arab
yang lebih dikenal dengan nama Tuan (Sayyid) Muhammad Sajîd al-Bone
(1945–1948 M.), dan terakhir adalah murid Daeng Faruku yang bernama
101
H. Ahmad Mochsîn (1948–1951 M.). H. Ahmad Mochsîn juga pernah
merangkap jabatan sebagai Penghulu Kerapatan Besar Kesulthânan serta
Aggota Komisi Agama Islâm Kesulthânan Kutai Kertanegara.
Pada masa Sulthân Adji Muhammad Parikesit dilaksanakan
pendirian Masjid Balikpapan atas pimpinan Sajîd Gasîm dibantu oleh M.
Tewet gelar Mas Djaja Prawira. Serta proyek renovasi Masjid Tenggarong
yang termasyur di seluruh Kalimantan menjadi seluas 950 m2 dengan
menelan biaya sebesar f 30.000-.
Suatu peristiwa menarik terjadi pada tahun 1928. Seorang yang
mengaku lulusan Universitas al-Azhâr Mesir,
Argub Ishâk diadili dan diusir dari Kutai karena
mengajarkan paham yang sesat lagi
menyesatkan. Diceritakan Argub Ishâk selama
beberapa hari memberikan ceramah kepada
sejumlah anak muda. Ia menda’wahkan paham
baru yang dibawanya berikut manipulasi dalîl-dalîl
yang memperkuat ajarannya. Ketika disadari
ajaran yang dida’wahkan sangat menyimpang dari prinsip pokok ajaran
Islâm, setelah melalui serangkaian penyelidikan hingga berhadapan
langsung dengan Achmad Penting (nama panggilan H. Ahmad Mochsîn
semasa muda), Ishâk diketahui mengajarkan paham Ahmadiyyah dan lalu
dilaporkan kepada H. Adji Amîr Hasânnoeddîn Seri Pangeran Noto
Negoro, Ketua Mahkamah Islâm waktu itu (1926–1935 M.). Detik itu pula,
Argub Ishâk dinyatakan bersalah dan diperintahkan untuk segera
meninggalkan tanah Kutai demi menjaga kemurnian aqîdah rakyat Kutai.
Sekira perintah ini tak dilaksanakan, hukuman mati telah siap menanti.
102
103
Hubungan Antar Kesulthânan
Kemakmuran dan ketentraman yang berlangsung pada masing-
masing Kesulthânan, selain dikarenakan adopsi sistem Kesulthânan yang
memberlakukan Syarî’at Islâm sebagai pedoman dalam pengaturan
sosial-kemasyarakatan, juga didukung adanya hubungan yang harmonis
antar Kesulthânan Islâm yang ada baik dalam jarak dekat atau pun jauh,
corak seperti ini umum didapati di banyak Kesulthânan penjuru Nusantara.
Ikatan aqîdah menjadi perekat persaudaraan antar Kesulthânan
untuk damai berdampingan bahkan saling membantu dan mempererat
ikatan kekeluargaan melalui tali pernikahan yang dilaksanakan sesuai
tuntunan Syarî’at Islâm dengan tanpa adanya pertukaran cincin ala Barat,
menghindari riya’ atau penampakan di depan umum saat pemberian
mahar (hadiah) pernikahan untuk mempelai wanita, tidak bersandingnya
para mempelai hingga tuntasnya akad Ijab-Qobul, serta tidak bercampur-
baurnya undangan pria dan wanita dalam resepsi pernikahan.
Ketika Sulthân Kutai bernama Adji Muhammad Idris mempersunting
puteri Sulthân Wajo Lamaddukelleng dari Sulawesi Selatan, maka
hubungan kekerabatan antara dua Kesulthânan menjadi semakin erat,
apalagi sang Sulthân Adji Muhammad Idris di tahun 1739 M. turut
berangkat dan bertempur bersama rakyat Makassar melawan VOC
(Belanda), hingga Beliau Syahîd di medan perang.
Seiring semakin melemah dan terdesaknya perlawanan rakyat Banjar
dengan kekalahan Lasykar Pangeran Antasari, Kesulthânan Kutai turut
memperlihatkan solidaritasnya dengan menerima Suaka empat orang
pangeran Banjar yaitu; Pangeran Nata (dari Amuntai) yang ditugasi
membantu pemerintahan di Muara Pahu. Sedang Pangeran Singa Menteri
104
(dari Rantau), Pangeran Surya Nata (dari Kandangan) dan Pangeran
Permata Sari (dari Tanjung-Tabalong), ketiganya menetap di Tenggarong
dalam jaminan perlindungan Sulthân Adji Muhammad Sulaimân. Para
pengikut dari para Pangeran Banjar ini juga diperkenankan tinggal
menetap yang keturunannya hingga kini menyebar di daerah Danau
Semayang, Muara Muntai, Muara Pahu, Danau Jempang, Danau
Melintang dan Kota Bangun dengan mata pencaharian utama sebagai
nelayan dan petani. Salah satu keturunan Pangeran Banjar yang bergelar
Panglima Katoeng bahkan diberi amanah untuk memerintah daerah Loa
Kulu.
Contoh lain adalah pernikahan Sulthân Berau Hasânuddîn Bin
Pangeran Tua dengan Dayang Lana Puteri Sulthân Sulu yang melahirkan
5 orang putera dan 4 orang puteri yang kembali pulang ke Sulu, hanya
seorang tinggal di Berau yaitu Sulthân Amîril Mu’minîn. Cucu
perempuannya juga menikah dengan bangsawan Sulu Syarîf Dakula.
Demikian pula turunan Pangeran Dipati, cucunya Sulthân Zainal ‘Abidîn
(Marhum Muara Bangun) menikah dengan Adji Galuh Besar, cucu dari
Sulthân Kutai Adji Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura.
Selain itu, Sulthân Sulu yang bernama Sulthân Salâhuddîn Karamat atau
Pangiran Bakhtiar juga pernah menikahi gadis Tionghoa dari daerah Tirun
(Kesulthânan Tidung), hal yang sama juga dilakukan putranya Sulthân
Badaruddîn I yang menikahi puteri dari keraton Tidung sebagai isteri
keduanya.
Dalam monografi Kabupaten Bulungan juga didapati keterangan
adanya hubungan kekerabatan yang erat antara Kesulthânan Bulungan
dengan Kesulthânan Berau, di mana Sulthân ‘Alîmuddîn yang memerintah
105
Kesulthânan Bulungan (1777–1817 M.) beristerikan 2 orang yaitu Adji
‘Aisyah dari Kesulthânan Tidung dan Pengian Intan dari Kesulthânan
Sambaliung. Selain itu juga terdapat salah seorang keturunan
Kesulthânan Brunei Dârussalâm bernama Datu Mancang yang setelah
tiba dan menetap di Bulungan menikahi Asung Luwang dan menghasilkan
seorang putri bernama Kenawai Lungu.
Sedangkan di Kesulthânan Pasir juga terdapat nama seperti
Pangeran Abdulwahîd (Putra Sulthân Ibrâhim Chalîluddîn) yang menikah
dengan Ratu Sa’diah (Ibu Ratu) yang merupakan salah seorang keturunan
dari Kesulthânan Banjar.
Setelah Sulthân Abû Bakar dari Kesulthânan Johor melakukan dua
kali lawatan ke Istambul pada tahun 1879 dan 1893 M., Khalîfah Abdul
Hamîd II bahkan menganugerahkan dua wanita Turki yaitu Khadîjah
Hanîm untuk dinikahinya, dan Ruqâyah Hamîn yang kemudian dinikahi
Engku Majîd bin Temenggung Ibrâhim (Adik
Sulthân Abû Bakar). Bahkan di tahun 1893 M.
kiriman kapal perang Khilâfah ‘Attughrul’ juga telah
sampai di Johor.
Lebih dari itu, sejak tahun 1893 M. Undang-undang tentang
Keuangan Kesulthânan Johor diadopsi dari Khilâfah Utsmâniyyah, dan
sejak tahun 1913 M. Undang-undang Khilâfah Utsmâniyyah dijadikan
Majâlah Ahkâm Johor. Sebelumnya pada tahun 1895 M. saat Sulthân
Ibrâhim memerintah, Beliau menginstruksikan kepada Jawatan Agama
Johor supaya seruan namanya pada khutbah disebut beriringan dengan
nama Khalîfah.
106
Lambang Daulah Khilâfah Utsmânîyyah
107
108
Hubungan ketundukan kesatuan politik
sebagai bagian dari negeri Islâm dalam naungan
Daulah Khilâfah Utsmânîyyah juga terlihat ketika
Syarîf Makkah (Gubernur Khalîfah untuk
kawasan Hijâz) memberi Meurah Silu gelar
Sulthân Mâlikussaleh di Kesulthânan Samudra-Pasai (1261
M.), Abdul Qadîr dari Kesulthânan Banten di tahun 1638 M.
(1048 H.) dianugerahi gelar Sulthân Abulmafâkir Mahmud
Abdul Kadîr oleh Syarîf Makkah yang dijabat Syarîf Zaid,
Pangeran Rangsang dari Kesulthânan Mataram memperoleh gelar
Sulthân Abdullâh Muhammad Maulânâ Mataramî dari Syarîf Makkah di
tahun 1641 M. (1051 H.), Sulthân Gowa XV yaitu I Mannuntugi Daeng
Mattola Karaeng Lakiung yang dianugerahi Syarîf (Mufti) Makkah dengan
gelar Sulthân Mâlikussaid, sama halnya dengan Sulthân Adji
Muhammad Sulaimân (1850–1899 M.) dari Kesulthânan Kutai
Kertanegara diberi gelar al-Adil Khalîfatul Mu’minîn, demikian
juga Sulthân Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sulthânnya
dari Syarîf Makkah berdasarkan kewenangan yang diberikan
Khalîfah.
Mengacu pada format sistem Kekhilâfahan saat itu, maka
penganugerahan gelar Sulthân memiliki arti pengukuhan sebagai
penguasa Islâm setingkat Kabupaten. Karena situasi dan kondisi yang
memang tidak memungkinkan, maka tidak semua Sulthân di Kesulthânan
Nusantara mendapatkan pengukuhan langsung oleh Syarîf Makkah,
namun secara de Jure dan de fakto pengukuhan para Sulthân di masing-
masing Kesulthânan tidak ditolak oleh Syarîf Makkah.
109
110
Bahkan ketika Kesulthânan Aceh dipimpin oleh Sulthân Alauddîn
Ri’ayat Syah al-Kahhar, sejak tanggal 20 September 1567 M. (975 H.)
sampai tahun 1577 M., berdasarkan Ferman (Surat Perintah Resmi yang
ditulis dan ditandatangani sendiri oleh Khalîfah Turki Utsmânî; Sulthân
Salîm II), armada Turki Utsmânî di Suez – Laut Merah, di bawah komando
Laksamana Kurtoglu Hizir Reis, diutus dan ditempatkan di Aceh serta
mendapat gelar Walî (Gubernur) Aceh. Bahkan Khalîfah juga telah
mengirimkan sebuah Bintang Kehormatan kepada Sulthân Aceh dan
memberi izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera
Kekhilâfahan Turki Utsmânî.
Fakta ini juga sangat nampak ketika The New York Times, pada
tanggal 5 Juli 1873 M. mempublikasikan berita adanya Desakan Belanda
agar Aceh memutuskan segala bentuk hubungan dengan Kekhilâfahan
Turki Utsmânî, bahkan juga mendesak Agar bendera Aceh dengan simbol
Bintang Bulan sebagaimana bendera Kekhilâfahan Turki, diubah-
sesuaikan dengan bendera Belanda sebagaimana bendera Indonesia
sekarang.
114
Sebelum Kesulthânan Kutai Kertanegara berdiri, bersama Pasir dan
Berau, tiga wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Majapahit tersebut berhasil
diambil-alih Kerajaan Banjar (Kerajaan Daha) yang kemudian atas
keberhasilan da’wah Sulthân Demak, berubah menjadi Kesulthânan
Banjar yang dipimpin Pangeran Samudera dengan gelar Sulthân
Suriansyah atau Suryanullâh. Pada masa awal Kesulthânan Banjar ini
(1595–1649 M.), Kerajaan Kutai Kertanegara bersama Pasir dan Berau
selalu mengantar ‘upeti’ ke Banjarmasin setiap musim Timur. Namun
kemudian, sebagai Kesulthânan yang berkedudukan setara (‘Amil di
bawah Syarîf Makkah), maka pada masa Kesulthânan Banjar dipimpin
Sulthân Musta’inbillâh (1650–1678 M.), kewajiban pembayaran ‘upeti’ ini
dihapuskan.
115
Islâm Perekat Harmonisnya Kebhinekaan Budaya
Pertumbuhan penduduk di Kalimantan Timur tidak saja berasal dari
penduduk setempat, tetapi erat pula dengan penduduk pendatang yang
berasal dari seluruh Nusantara. Namun, penyebaran penduduk tersebut
tidak merata dikarenakan sebagian besar memilih untuk tinggal di sekitar
pantai, daerah aliran sungai, unit pemukiman transmigrasi, daerah
perkotaan, dan di kecamatan yang potensi pengembangannya lebih baik.
Hal yang menarik bisa kita lihat pada kehidupan sekarang adanya
hasil peninggalan kebudayaan Islâm di Kalimantan Timur berupa istana,
masjid, dan maqôm. Bila kita melihat bentuk jirat dan nisan yang beraneka
ragam menunjukkan adanya perpaduan beberapa unsur, yaitu unsur lokal
dan daerah lain terutama Jawa dan Bugis. Unsur Jawa dapatlah kita lihat
pada maqôm-maqôm terdapat di daerah Anggana (Kutai Lama),
Sedangkan unsur Bugis antara lain terlihat di Tenggarong, Berau dan
Bulungan. Selain itu juga unsur lokal yang sangat menonjol terutama
terlihat pada maqôm rakyat biasa atau tokoh masyarakat, misalnya di
Jembayan, Sambaliung, dan Tanjung Palas. Demikianlah para penguasa
saat dahulu menghormati budaya yang berasal dari daerah lain, sehingga
mengekspresikannya pada bentuk maqôm mereka.
Penduduk yang bermukim di Kalimantan Timur berasal dari berbagai
suku bangsa, terutama Dayak, Kutai, Paser, Jawa, Banjar, dan Bugis. Di
antara mereka yang paling dekat hubungannya dengan Kesulthânan Kutai
adalah orang Bugis. Hal tersebut tidak mengherankan karena salah
seorang Sulthân Kutai adalah menantu Sulthân Bugis. Bahkan untuk
menjaga keamanan Sulthân, di Kesulthânan Kutai terdapat satu pasukan
khusus yang berisi para prajurit Bugis.
116
Kerukunan antar suku terlihat dalam perjalanan sejarahnya ketika
terjadi perang antara Kesulthânan Kutai dengan pasukan Inggris pada
tahun 1884. Ketika itu pasukan Kutai yang berasal dari berbagai suku
dipimpin oleh Awang Long berusaha untuk mempertahankan wilayah
kedaulatan mereka dari ekspansi Inggris yang dipimpin oleh Erskine
Murray. Pada awalnya pasukan Kutai menang, tetapi ketika bala bantuan
Belanda datang dari Makassar, pasukan Kutai dapat dipukul mundur dan
panglimanya gugur. Kekalahan tersebut mengakibatkan kedaulatan
Kesulthânan Kutai berada di bawah cengkraman kolonialisme Belanda.
Dari hal tersebut terlihat bahwa penduduk yang ada di Kesulthânan-
Kesulthânan di Kalimantan Timur yang berasal dari berbagai suku bangsa
dapat saling beradaptasi dan berintegrasi. Di antara mereka dapat saling
menyesuaikan diri, baik dengan lingkungan alam maupun dalam
lingkungan kehidupan sosial. Dalam beradaptasi, adat istiadat yang
berasal dari daerah masing-masing tetap dapat dipakai selama tidak
bertentangan dengan Syarî’at Islâm, dan tidak mengganggu
keharmonisan hubungan antar suku bangsa. Salah satu contohnya adalah
karakter orang Bugis yang keras tidak sampai menimbulkan konflik
dengan orang Jawa atau Banjar yang cenderung terbuka dan bersedia
menerima sesuatu secara apa adanya. Harmonisnya sistem kultur sosial
yang dibangun dan terbentuk sejak ratusan tahun lalu oleh Kesulthânan-
Kesulthânan Islâm, hingga kini masih tetap terjaga semangat
kerukunannya, walaupun berbagai pertikaian dan kerusuhan sosial
beberapa kali terjadi di provinsi lain sekitarnya, tetapi tidak sampai meluas
hingga Kalimantan Timur.
117
Janji Kemakmuran Garansi Tuhan
Seperti segenap penjuru bumi telah membuktikan, bahwa sungguh
jika penduduk suatu negeri telah berîmân dan bertaqwâ dengan tunduk
serta patuh pada Syarî’at-Nya, Allâh pasti akan melimpahkan keberkahan
dari pintu langit dan juga bumi (QS. al-A’râf [7]:96). Kesulthânan-
Kesulthânan yang pernah berdiri di Bumi Etam (Kalimantan Timur) telah
pula membuktikannya, hingga kemudian negeri tersebut menjadi incaran
menggiurkan bagi kolonialisme seperti Belanda yang dimulai dengan
kedok VOC-nya.
Besarnya anugerah kekayaan alam yang dilimpahkan Allâh Swt.
pada Kesulthânan Kutai terlihat dengan jelas, di antaranya ketika pada
tahun 1888 M., pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu
Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga
meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai.
Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata
sehingga membuat Kesulthânan Kutai menjadi sangat
terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber
daya alam di Kutai diberikan kepada Sulthân Adji
Muhammad Sulaimân.
Walaupun Kesulthânan seperti Kutai telah ditaklukkan dan diduduki
Belanda, yang berarti sumber kekayaan sebagian besar dikuasai dan
dirampas penjajah, namun pada masa Sulthân Adji Muhammad Parikesit
(dinobatkan tanggal 14 Nopember 1920 M.) ekonomi Kesulthânan Kutai
masih berkembang dengan sangat pesat dan kapital yang diperoleh Kutai
tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan setiap tahunnya.
Hingga tahun 1924 M., Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000
118
Gulden (jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu, sedang pecahan
terbesarnya senilai 20 Gulden). Di tahun 1936 M., Sulthân Adji
Muhammad Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang
terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut
selesai dibangun. Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun
1942 M., Sulthân Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang.
Jepang memberi Sulthân gelar kehormatan Koo dengan nama
Kesulthânan Kooti.
119
Interior Pendopo, Kedaton dan Istana Kesulthânan Kutai Kertanegara
120
Sikap Tegas Terhadap Kolonialisme
121
122
pagnie (VOC) dan diberi ijin untuk membuka kantor dagangnya di Banten,
kemudian Belanda juga mulai mencoba memasuki wilayah Nusantara
lainnya. Setelah sebelumnya pada tahun 1671 M. kompeni kolonial VOC
pernah mengirimkan pedagang senior Paulus de Beck de Beck dengan
Chialloup de Noorman ke Kutai dan ke Berau untuk berusaha
mengadakan dagang, tetapi tidak berhasil.
VOC yang didirikan sejak tahun 1602 M. berdasarkan keputusan
pemerintah Belanda tanggal 31 Desember 1799 M. dinyatakan bubar.
Maka seluruh harta kekayaan, hutang-piutang, dan kekuasaan VOC di
Indonesia diambil alih pemerintah Belanda. Untuk itu di Indonesia dibentuk
suatu pemerintahan dengan nama ‘Nederlandsch Indie’ (Hindia Belanda)
sehingga Indonesia secara resmi menjadi daerah jajahan Belanda, untuk
berjalannya roda pemerintahan Hindia Belanda, maka pada tanggal 28
Januari 1807 Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur
Jenderal yang berkuasa efektif sejak 15 Januari 1808 M.
Pada tahun 1844 M., dua buah kapal dagang pimpinan James
Erskine Murray asal Inggris kembali memasuki perairan Tenggarong.
Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk
mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap
di perairan Mahakam.
Namun Sulthân Adji Muhammad Salehuddîn atau Marhum
Tenggarong Anak (memerintah 1782–1845 M.) mengizinkan Murray untuk
berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan
tawaran Sulthân ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong,
Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh
pasukan Kesulthânan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada
123
pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Di
pihak armada Murray terdapat lima orang terluka dan tiga orang tewas,
termasuk Murray sendiri.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris.
Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai,
namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu
bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan
permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda
mengirimkan armadanya di bawah komando t’Hooft dengan membawa
persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t’Hooft
menyerang istana Sulthân Kutai, namun Sulthân Adji Muhammad
Salehuddîn telah selamat diungsikan ke Kota Bangun.
124
dan pengalaman, maka sengitnya perlawanan pasukan Kesulthânan Kutai
dapat dipatahkan setelah pada peperangan tanggal 12 April 1844 M.
terjadi insiden syahîdnya Awang Long tertimpa tembok yang roboh.
Akhirnya pada tanggal 11 Oktober 1844 M. Sulthân Adji Muhammad
Salehuddîn terpaksa menandatangani perjanjian yang menyerahkan
sebagian wilayahnya untuk berada dalam kedaulatan pemerintah kolonial
Hindia Belanda. (Wilayah yang diambil alih oleh Belanda [Vierkante-paal]
antara lain; Kampung Palarang atau sekitar Kampung Rawa Makmur
Kecamatan Palaran Sekarang, serta daerah Sungai Karang Asam Besar
hingga Sungai Kerbau dengan 800 meter ke dalam menurut alur tepi
Sungai Mahakam atau yang sekarang mencapai Jalan Arief Rachman
Hakim, Basuki Rahmat dan seterusnya).
Selain di Kesulthânan Kutai, juga tercatat perjuangan Sulthân Alam
yang bergelar Sulthân ‘Alîmuddîn (1800–1852 M.) dari Kesulthânan Batu
Putih (kemudian berganti nama menjadi Kesulthânan Tanjung) yang
sangat gigih dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Pada bulan
September 1834 M. Beliau memimpin pasukannya bertempur melawan
pasukan Belanda di laut dekat Batu Putih. Pihak Belanda menuduh
Sulthân Alam telah bersekongkol dengan pelaut Bugis dan Sulu dari
Mindanao Selatan yang menyebabkan perairan selat Makassar tidak
aman. Akibatnya, sejak tahun 1834 hingga tahun 1837 M. Beliau ditawan
dan diasingkan ke Makassar. Selama masa pengasingan, tahta
kekuasaan Kesulthânan Tanjung oleh Belanda diserahkan kepada Sulthân
Gunung Tabur, yang bertindak sebagai pelaksananya adalah Pangeran
Muda dari Kutai, yaitu keluarga dari istri Sulthân Alam. Pada tanggal 15
September 1836 M., dengan dipelopori oleh Sulthân Adji Kuning dari
125
Kesulthânan Gunung Tabur serta Pangeran Muda,
terlaksanalah ketetapan Musyawarah Rakyat
Berau yang mendesak agar Belanda segera
memulangkan Sulthân Alam ke tanah Berau,
Desakan ini akhirnya tak dapat ditolak kolonial
Belanda.
Sekembalinya dari masa pembuangan, Sulthân Alam tetap konsisten
melawan kolonialisme Belanda. Bahkan, ketika Belanda berusaha selama
tujuh tahun membujuknya agar berubah pikiran untuk tidak lagi
menyerang mereka, pendirian Sulthân Alam tetap bulat. Belanda akhirnya
mengalah. Pada tahun 1844 M., Belanda mengakui eksistensi
Kesulthânan Tanjung. Namun, tetap saja Sulthân Alam tidak menerima
pengakuan tersebut karena hal itu sama saja dengan bersedia di bawah
kontrol pemerintah kolonial Belanda. Prinsip yang dianutnya adalah bahwa
Syarî’at Islâm melarang mengangkat orang kâfir (baca: pemerintah
kolonial Belanda) sebagai pimpinan atau penguasa.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangan Beliau,
namanya dilestarikan sebagai nama Batalion 613 Raja (Sulthân) Alam
yang berkedudukan di Kota Tarakan. Melalui SK No. 007/TK/1999 tanggal
13 Agustus 1999 M., presiden Republik Indonesia kala itu telah
menetapkan Beliau sebagai Tokoh Nasional yang berhak mendapat
penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Jasa terhadap bangsa dan
negara. Penghormatan sejenis sebelumnya juga diberikan kepada Awang
Long dengan pelestarian nama Beliau untuk Batalion 611 yang
berkedudukan di Kota Samarinda.
126
Perlawanan sengit lain juga terjadi di Kesulthânan Pasir di bawah
komando Sulthân Ibrâhim Chalîluddîn (Adjie Medje) sejak tahun 1899 M.
sampai terjadinya peperangan terbesar di tahun 1915–1916 M.. Semangat
jihâd melawan kâfir penjajah itu pula yang mendorong rakyat Kaltim
berjuang melawan Kolonial pada peristiwa ‘Merah Putih’ Januari 1947 M.
di Sanga-Sanga.
127
Kesulthânan Islâm Nusantara didasarkan pada semangat ‘Perang Sabîl’
dengan bendera Islâm, di mana para Kyai (‘Ulamâ) turut ambil bagian
sebagai Pemimpinnya untuk memobilisasi kekuatan kaum Muslimîn.
Keterlibatan para Kyai (‘Ulamâ) seluruh Nusantara sangat nampak di
berbagai medan peperangan melawan para kolonial imperialis, yang
kesemuanya berdasarkan cita-cita penegakkan Syarî’at Islâm dalam
naungan Kesulthânan-Kesulthânan Islâm, yaitu antara lain :
1. Pembebasan Sunda Kelapa dari tangan Portugis oleh Sunan Gunung
Jati atau Syarîf Hidayatullâh bersama Fatâhillâh atau Faletehan pada
22 Juni 1522 M. Bahkan setelah keberhasilan merebut kembali Sunda
Kelapa yang dikuasai d’Albuquerque setelah menaklukkan Malaka
pada 1511 M., kemudian Sunan Gunung Jati menyerang Padjajaran
Hindu dan menguasainya sebagai hukuman atas persekongkolannya
dengan Portugis, demikian juga atas Sri Girindrawardana; Raja
Majapahit Hindu Terakhir di Jenggala yang turut bekerjasama dengan
Portugis. Gemilang kemenangan Perang Sabîl merebut Sunda Kelapa
disyukuri sebagai pertolongan dan karunia Allâh, hingga kemudian
atas restu Walî Songo lahirlah nama Jayakarta atau Fathan Mubîna
(Kemenangan paripurna bagi umat Islâm) yang diambil dari surat al-
Fath ayat 1, dari surat ini pula Fatahillah menyebutkan dirinya sebagai
Falatehan (Fa-tahnâ La-ka Fathan). Akibat kemenangan serangan ini
pula, Kesulthânan Demak bekerja sama dengan Kesulthânan lainnya
berhasil menutup laut Nusantara dari kapal-kapal Portugis, kembalinya
Sunda Kelapa ke tangan Islâm telah mengamankan Indonesia selama
200 tahun dari usaha penjajahan Portugis kecuali Timor Timur yang
memang tidak masuk dalam wilayah kekuasaan Kesulthânan Islâm;
128
2. Perang Padri yang dikobarkan oleh organisasi para ‘Ulamâ penegak
Syarî’at Islâm di ranah Minangkabau Sumatera Barat, setelah H.
Miskin dengan dibantu oleh H. Abdurrahmân dan H.M. Arif berhasil
menyatukan tujuh orang ‘Ulamâ di daerah Ampat Angkat
dalam wadah bernama ‘Harimau Nan Salapan’ yang
dipimpin Tuanku Nan Renceh, dengan organisasi ini
Kaum Padri berhasil menghimpun para ‘Ulamâ untuk
bersatu berjuang menegakkan Syarî’at Islâm secara utuh, murni dan
konsekuen di seluruh Sumatera Barat. Demi perjuangan inilah Perang
Padri yang kemudian dilanjutkan oleh murid Tuanku Nan Renceh yang
bernama Malin Basa atau Tuanku Imâm Bonjol berkobar selama 3
periode antara tahun 1802–1837 M., yaitu:
a. Periode 1802–1821 M.; era pembersihan yang dilakukan oleh Kaum
Padri terhadap kekuasaan para Penghulu Adat yang telah jauh
menyimpang dari ketentuan Syarî’at Islâm hingga akhirnya Syarî’at
Islâm kembali tegak di tengah masyarakat di bawah kepemimpinan
Tuanku Imâm Bonjol, di mana pada setiap Nagari yang dikuasai
diangkat Imâm untuk memimpin peribadatan dan Qadhi yang
bertanggung jawab menjaga penerapan Syarî’at Islâm,
b. Periode 1821–1832 M.; era pertempuran antara kaum Padri dengan
Belanda yang bersekutu bersama golongan Penghulu Adat yang
tersisa,
c. Periode 1832–1837 M.; era puncak perjuangan seluruh rakyat
Sumatera Barat, di mana Kaum Padri dan golongan Penghulu Adat
telah bersatu padu dengan rakyat dalam melawan Kolonial Belanda,
namun semua berakhir dengan kelicikan Belanda dalam menjebak
129
dan menangkap Tuanku Imâm Bonjol saat akan berunding pada
tanggal 28 Oktober 1837 M.
3. Perang Jawa (Juli 1825–1830 M.), perang terbesar di
pulau Jawa ini dikobarkan oleh ‘Ulamâ Besar Gusti
Pangeran Diponegoro (yang bergelar Sulthân Abdul
Hamîd Erucakra Sayyidin Panatagama Khalîfah
Rasûlullâh Sayyidin Panatagama), serta Pangeran Mangkubumi,
dibantu oleh ‘Ulamâ terkenal dari Solo bernama Kyai Mojo, Kyai
Gazâlî, Kyai Baderan, Kyai Kwaron, Kyai Hasân Baserî dan Sentot Alî
Prawirodirdjo, serta didukung penuh oleh seluruh santri dan pengikut
mereka. Pangeran Diponegoro dalam setiap perintahnya senantiasa
menekankan wajibnya rakyat melaksanakan Syarî’at Islâm
sebagaimana tertuang dalam surat Beliau untuk penduduk Kedu pada
hari Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 juli 1825 M.). Perang
yang membuat kolonial bangkrut ini langsung ditangani di bawah
pimpinan Jenderal De Kock Panglima Pasukan Hindia Belanda yang
kembali berakhir dengan jebakan
penangkapan pada meja perundingan di
Gedung Kresidenan Kedu Magelang pada
tanggal 28 Maret 1830 M., pada saat itu
kembali Gusti Pangeran Diponegoro
menjawab pertanyaan De Kock tentang tujuan perang ini adalah
berdirinya sebuah negara merdeka di bawah pimpinan seorang Imâm
yang dapat mengatur dengan Syarî’at Islâm di seluruh pulau Jawa.
[Semangat Jihâd Pangeran Diponegoro, kemudian hari dalam catatan
sejarah kembali dikobarkan di tanah Jawa oleh Panglima Besar
130
Jenderal Sudirman dengan Perang Gerilyanya. Beliau adalah Wakil
Ketua Pemuda Muhammadiyah Karisidenan Banyumas yang menjadi
Guru Agama Madrasah Muhammadiyyah, Pengisi Ceramah dan
Mengajar Mengaji Keliling di wilayah Cilacap dan Banyumas];
4. Perang Banjar (28 April 1859 – Januari 1905 M.) perang terbesar di
pulau Kalimantan ini dikobarkan dan dipimpin langsung oleh Sulthân
Pangeran Hidâyat dan dilanjutkan oleh Panambahan
Amîruddin Khalîfatul Mu’minîn atau Pangeran Antasari
dari Markas Besarnya di Hulu Sungai Teweh yang juga
menjadi tempat wafat dan maqômnya pada 11 Oktober
1862 M., kemudian dilanjutkan kembali oleh Pangeran Perbatasari
(Menantu Pangeran Antasari), Pangeran Amrullâh, Gusti Muhammad
Semân (Putera Pangeran Antasari) dan Panglima Batur. Pertempuran
selama 46 tahun ini adalah perlawanan terlama setelah Perang Aceh,
peperangan silih berganti terus berlanjut meledak di seluruh
Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh para komandan seperti Kyai
Demang Lehman, H. Buyasin, Panglima Bukhârî, Tumenggung
Antaluddîn, Tumenggung Aria Pati, Tumenggung Macan Negara,
Tumenggung Naro, dan Penghulu Rasyîd. Hingga Syahîdnya Gusti
Muhammad Semân dalam pertempuran di Baras Kuning Barito pada
bulan Januari 1905 dan seiring itu Panglima Batur dari Bakumpai juga
tertangkap dan dihukum gantung di Banjarmasin pada tahun yang
sama. (Satu kalimat terkenal yang diucapkan Pangeran Antasari di
hadapan Pangeran Hidâyat berbunyi; “Agama kita akan membenarkan
peperangan ini sebagai Perang Sabîl. Dan kematian yang dituntut dari
131
perjuangan ini tidaklah sia-sia, melainkan Syahîd. Kita hidup untuk
Allâh dan mati untuk Allâh”.);
5. Sedangkan Perang Aceh (1873–1942 M.) bukanlah suatu
pemberontakan tetapi perang antara Negara Islâm yang berdaulat
(Kesulthânan Aceh sebagai lanjutan dari Kesulthânan Pasai) yang
sejak 1507 M. telah dibangun kembali oleh Sulthân Ibrâhim dari Pidir
yang bergelar Sulthân ‘Alî al-Mogayat Syah, dilanjutkan oleh putranya;
Sulthân Alauddin Ri’ayat Syah dan mencapai puncak kejayaan pada
masa Sulthân Iskandar Muda Mahkota Alam (1607–1636 M.), di antara
tokoh lain yang terkenal dalam perlawanan perang Aceh seperti;,
Nuruddîn ar-Ranînî (dari Gujârât), Abdur Rauf as-Singkelî, Teuku
‘Umâr, Teuku Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nyak Dien, Cut
Meutia, dan Syekh Abdus Samân yang menciptakan tari perang atau
tari Saman dan tari Seudati, serta Teuku Chik Pante Kulu yang menulis
kumpulan syair pembakar semangat perang ‘Hikayat Perang Sabee
(Sabîl)’;
6. Demikian juga dengan perlawanan berulang kali Santri dan Umat Islâm
Banten (1834, 1836, 1842, 1849, 1880 dan 1889 M.), Perang Gerilya
Bagus Rangin selama 17 tahun di Cirebon, Perlawanan Hâji Wasyîd di
Cilegon tahun 1883 M., Perlawanan Kyai Rofi’i (Rofingi) di Pekalongan
tahun 1850 M., Perjuangan Kyai Bagus Kasan Besari (Kakek-Buyut
Hâji Oemar Said Tjokroaminoto) yang berupaya menegakkan Syarî’at
Islâm di Tegalsari, Ponorogo, Madiun, Jawa
Timur. Perlawanan K.H. Zainal Mustofâ dari
Pesantren Sukamanah Tasikmalaya pada 22
Februari 1944 M., Perlawanan Peta di bawah
132
pimpinan Supriyadi di Blitar pada tanggal 15 Februari 1945 M. yang
didukung penuh Kyai Ngabdullâh Sirodj dan Kyai Holîl.
Selain itu juga terdapat berbagai perlawanan dengan landasan yang
sama yaitu atas panggilan Îmân untuk tegaknya Syarî’at Islâm, seperti :
1. Perlawanan putera kedua Sulthân Malîkussa’îed yang
bernama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe yang bergelar Sulthân
Hasânuddîn Tumenanga Ri Balla Pangkana (1631–1670 M.), Beliau
bersama bala tentaranya berjuang menetralisir Tanah Gowa–Makassar
dari belenggu penjajah Belanda, sedemikian sengitnya perlawanan
yang Beliau tunjukkan hingga Belanda pun menggelarinya sebagai ‘De
Haantjes van Het Oosten’ yang artinya Ayam Jago dari Benua Timur.
2. Perlawanan Si Singamangaraja XII (Pemimpin
Pemerintahan dan Juga Imâm Agama negeri Toba di Kota
Bakara Tapanuli sejak 1304 H.) yang didukung penuh oleh
Panglima Nali dari Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari
Aceh, hingga Beliau Syahîd saat ditangkap dan ditembak Belanda
pada 17 Juni 1907 M.;
Gunawan Mangun Kusumo dari Boedi Oetomo 1918 M., menyatakan
bahwa rakyat di Desa tidak mengenal istilah tanah air dan kesatuan.
Mereka hanya mengetahui satu hal saja, yaitu bahwa dirinya Muslim. Bagi
mereka, agama sama dengan tanah air bagi orang Barat. Maka jelas
bahwa sebelum ada dan diopinikannya Soempah
Pemoeda 1928 M., sumpah yang dimiliki rakyat
Nusantara hanyalah ‘Soempah Sjahadat’.
133
Dijiwai oleh Soempah Sjahadat ini, pada kalangan masyarakat
pribumi Benua Etam masyhur dipegang sebuah motto yang berbunyi
“Saya boleh kehilangan kekuasaan, kekayaan atau kehilangan segala-
galanya, tetapi tidak dalam kepercayaan atau keyakinan dalam
beragama”. Karena kentalnya semangat keIslâman ini, maka pada
pertengahan tahun 1913 M. lahirlah cabang Sarikat Islâm di Samarinda
yang menjadi titik awal kebangkitan pergerakan poltik kemerdekaan rakyat
Benua Etam dengan azas cita-cita Islâm, melawan kolonial imperialis
Belanda.
Keterlibatan para Kyai (‘Ulamâ) terus berlanjut hingga berbagai
peperangan pasca proklamasi sebagaimana lahirnya deklarasi perang
suci atau jihâd yang lebih dikenal dengan nama Resolusi Jihâd, pada
pertemuan wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura yang
dipimpin langsung oleh Hadhrâtus Syeikh K.H. Hasyîm Asy’arî pada 21–
22 Oktober 1945 di Surabaya, yang dikukuhkan kembali dalam Muktamar
Ke-16 NU di Purwokerto pada 26–29 Maret 1946. Hadhrâtus Syeikh K.H.
Hasyîm Asy’arî memandang bahwa pembebasan dari cengkraman
belenggu penjajahan adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya Syarî’at dan
kemuliaan Islâm sebagaimana pernyataan tegas Beliau; “...Tidak akan
tercapai kemuliaan Islâm dan kebangkitan Syarî’atnya di dalam negeri-
negeri jajahan”.
134
Akibat Buruk Kolonialisme
Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje, sarjana ahli agama Islâm dan
bahasa Arab dari Belanda yang lahir pada tahun 1857, ia
belajar tentang Islâm di Universitas Leiden dan Strasbourg,
tiba di Jeddah pada 1884 untuk mempersiapkan kemampuan
bahasa Arab kemudian melanjutkan studi kehidupan Islâm
ke Makkah.
Dengan berpura-pura menjadi muslim, menunaikan ibâdah hâji, dan
memakai nama Abdul Ghaffâr, ia berhasil mempelajari Islâm langsung dari
para ‘Ulamâ Makkah dan mempelajari kehidupan umat Islâm di Indonesia
serta di berbagai negeri lain. Setelah selesai ia kembali memberikan
kuliahnya di Universitas Leiden (almamater asalnya), pada saat itu ia
ditugaskan membantu menyelesaikan pemberontakan Santri Aceh,
dengan memimpin kantor van Inlandsch en Arabische Zaken. Pengalaman
studi adalah landasan nasihatnya yang kemudian dijadikan sebagai
‘Islâmic Policy’ imprealis Belanda dalam mematahkan peranan pesantren
dan umat Islâm di Indonesia sebagaimana pengalaman Lord Kitchener
dalam mematahkan gerakan Mahdi di Sudan.
Snouck Hurgronje membagi Islâm ke dalam tiga kategori: (1) bidang
agama murni dan ibâdah, (2) bidang sosial kemasyarakatan, (3) bidang
politik, masing-masing bidang mendapat perlakuan yang berbeda. Dalam
bidang agama murni atau ibâdah, seperti ibâdah hâji, pemerintah kolonial
pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islâm untuk
melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan,
pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara
135
menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu
rakyat menempuh jalan tersebut. Dan dalam bidang politik, pemerintah
harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada
fanatisme dan Pan-Islâmisme, sebab hal ini dianggap akan bisa
menimbulkan perlawanan kepada penjajah Belanda. Jadi Snouck
Hurgronje hendak membatasi Islâm menjadi Agama Masjid belaka. Hal-
hal yang direkomendasikan Snouck antara lain :
a. Pemerintah Belanda harus memisahkan antara Islâm sebagai agama
dan Islâm sebagai doktrin politik, makin jauh kedua hal tersebut maka
akan makin mempercepat proses kehancuran Islâm;
b. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah harus menghidupkan
golongan pemangku adat, karena mereka akan menentang Islâm
disebabkan Lembaga Adat dibentuk oleh tradisi lokal sedangkan Islâm
bersifat universal, kondisi demikian akan memudahkan pemerintah
mempersempit ruang gerak Islâm;
c. Pemerintah Belanda harus mengadakan kerjasama kebudayaan
Indonesia-Belanda, ini dapat dicapai dengan memperalat golongan
priyayi yang kebanyakan menjabat sebagai pamong praja selalu
berdekatan dengan pemerintah, untuk memperlancar usaha ini
pemerintah mendidik golongan priyayi dengan pendidikan Barat. Untuk
tujuan pendidikan yang diarahkan kepada penyegaran hukum adat,
pemerintah Belanda diharuskan mengadakan penelitian lebih lanjut
tentang hukum adat dan sejarahnya di Indonesia sebelum kedatangan
Islâm, maka didatangkanlah beberpa sarjana peneliti seperti Prof. C.
Van Vollenhoven dari Universitas Leiden yang kemudian dikenal
sebagi penemu (Bapak) hukum adat, J.H. Kern dan J.L.A. Brandes
136
yang menghidupkan kembali pengetahuan tentang Indonesia Kuno,
Bahasa, dan Kesusteraan, dan N.J. Krom yang mengadakan
rekonstruksi sejarah pra-Islâm Indonesia serta menghidupkan kembali
masa jaya Singasari, Sriwijaya, dan Majapahit. Di samping itu
pemerintah juga merasa perlu melakukan penggalian dan restorasi
candi-candi yang telah rusak dan tertimbun seperti Borobudur dan
Prambanan;
d. Operasi militer ke daerah pedalaman dan menindak secara kekerasan
terhadap para ‘Ulamâ yang ada di kampung-kampung, serta
diusahakan untuk tidak memberikan kesempatan kepada para ‘Ulamâ
guna merekrut para santrinya sebagai mujahidin;
e. Terhadap orang awam pemerintah harus meyakinkan bahwa
pemerintah tidak memusuhi agama Islâm, tetapi bahkan melindunginya
dengan bukti pendirian berbagai Masjid. Pelaksanaan operasi ini
semuanya dengan dukungan Pemangku Adat.
Rekomendasi Snouck Hurgronje memberi pengaruh besar pada
kebijkan yang diambil pemerintah Kolonial Belanda (Ducth Islâmic Policy).
Sejak terjadi interaksi antara Kesulthânan Kutai dengan Hindia-Belanda
telah terjadi perubahan yang berarti dalam politik dan ekonomi Kutai.
Perubahan ini terjadi dengan masuknya 364 lembaga politik dan ekonomi
dari luar ke dalam Kesulthânan Kutai. Hal ini berakibat berubahnya sistem
politik dan ketatanegaraan yang ada. Selain itu, penemuan tambang batu-
bara sebagai akibat dari persentuhan Kutai dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan Barat juga sedikit banyak merubah
perekonomian Kesulthânan. Begitu pula dengan berkembangnya
137
perdagangan di Pelabuhan Samarinda sebagai indikator perubahan di
Kesulthânan ini.
Ketika Kutai berada di bawah pengaruh kolonial Belanda, hukum dan
Undang-undang Kesulthânan yang dianggap tidak sesuai dengan
kepentingan Belanda diabaikan bahkan dihapuskan, strategi ini diterapkan
untuk mendukung hegemoni politik pemerintah kolonial. Di samping cara
tersebut, Belanda juga mengakomodir hukum dan aturan adat yang sesuai
dengan politik kolonialismenya agar seolah-olah Belanda tidak melakukan
penjajahan atas mereka, kebijakan ini diambil berdasarkan kenyataan
bahwa rakyat sangat loyal dan simpati kepada Sulthân yang sedang
berkuasa.
Demikian pula dengan kejayaan Kesulthânan Kutai Kertanegara
yang bertahan hingga era kemerdekaan Indonesia, tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh Undang-undang Panji Salaten dan Beraja Nanti yang
mendorong para Sulthân untuk bersikap adil dan membela hak-hak serta
kesejahteraan rakyatnya.
Dengan tanpa mengesampingkan faktor-faktor lain, kemajuan dan
kemunduran Kesulthânan adalah seiring dengan kepedulian Kesulthânan
terhadap nasib rakyat kecil, Kesulthânan Kutai Kertanegara mengalami
kemunduran justru setelah memasuki era kemerdekaan Indonesia. Seiring
dengan itu, kepedulian kalangan bangsawan Kesulthânan terhadap nasib
rakyat Kutai pada umumnya dinilai sudah mulai berkurang. Masyarakat
Kutai menilai sudah terlalu lebar kesenjangan antara bangsawan Kutai
yang mengelola pemerintah Swapraja ketika itu dengan rakyat Kutai yang
mengalami penderitaan panjang akibat penjajahan kolonial Belanda.
138
Fakta kenyataan pahit lain bagi kaum Muslim, adalah gerakan
missionaris kristenisasi yang memang biasa membonceng dan saling
bekerjasama melanggengkan kolonialisme, sebagaimana pada tahun
1907 M. misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian,
wilayah hulu Mahakam ini terpaksa diserahkan kepada Belanda dengan
kompensasi tak layak, senilai 12.990 Gulden per tahun kepada Sulthân
Kutai Kertanegara, lalu pada tanggal 2 Juli 1909 M. ditugaskan kembali di
Laham dan Long Iram dua orang missionaris yang bergerak melalui
pendidikan yaitu Y.Y. Kroes dan Van Gent. Sejak saat itu, perkembangan
Kristenisasi tumbuh dengan sangat pesat di wilayah pedalaman hulu
sungai Mahakam, bahkan saat ini salah satu pusat gerakannya yang
berada di Sendawar–Kutai Barat dipimpin oleh seorang ‘Bruder’ yang
berhubungan langsung dengan pusat kepemimpinan Katolik di Vatikan.
139
Suplemen Tambahan
Bidang Politik
• Pemberian sertifikat tanah (925 H./1519 M.) kepada para pengungsi
Yahûdî yang lari dari kekejaman Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya
pemerintahan Islâm di Andalusia.
• Surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas
bantuan pangan yang dikirim Khalîfah ke Amerika Serikat yang sedang
dilanda kelaparan pasca perang dengan Inggris (abad Ke–18 M.).
141
• Surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara
Rusia dan mencari eksil ke Khalîfah (30 Jumâdil Awwâl 1121 H./07
Agustus 1709 M.)
• Pemberian izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah
berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khalîfah, karena
di Rusia mereka justru tidak sejahtera (13 Rabî’ul Âkhir 1282 H./05
September 1865 M.)
• Khalîfah membuat peraturan bebas cukai bagi barang bawaan orang-
orang Rusia yang mencari eksil ke Wilayah Khalîfah Utsmânî pasca
Revolusi Bolschevik (25 Desember 1920 M.).
• Pasukan Khilâfah Turki Utsmânî tiba di Aceh (1566–1577) termasuk
para ahli senjata api, penembak dan para teknisi. untuk mengamankan
wilayah Syamatîrah (Sumatera)
dari Portugis. Dengan bantuan
ini Aceh mampu menyerang
Portugis di Malaka.
142
Bidang Pendidikan
• Standar gaji guru yang mengajar anak-anak pada masa pemerintahan
‘Umâr Bin Khaththâb sebesar 15 Dinar atau 63,75 gram Emas (1 dinar
= 4,25 gram Emas), dan diikuti oleh para Khalîfah berikutnya.
• Di Bagdad berdiri Universitas al-Mustanshiriyyah, Khalîfah Hakâm bin
Abdurrahmân an-Nashîr mendirikan Universitas Cordoba yang
menampung Mahasiswa Muslim dan Barat secara gratis.
• Para Khalîfah mendirikan fasilitas sarana umum untuk sarana
pendidikan berupa perpustakaan, auditorium, observatorium dll.
• Ja’far Bin Muhammad (940 M.) mendirikan perpustakaan di Mosul
yang sering dikunjungi para Ulamâ baik untuk membaca atau
menyalin. Pengunjung perpustakaan mendapat segala alat yang
diperlukan (pena, tinta, kertas dll.) secara gratis.
• Mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan
diberikan pinjaman buku secara teratur.
• Pada masa Khilâfah Islâm abad Ke–10 M. Seorang
Ulamâ Yaqût ar-Rûmî memuji para pengawas perpustakaan di Kota
Mer Khurasa karena mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku
tanpa jaminan apapun bagi setiap orang.
• Para Khalîfah memberikan penghargaan sangat besar terhadap para
penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang
ditulisnya.
• Khalîfah Sulthân Nuruddîn Muhammad Zanky (Abad Ke–11 H.)
mendirikan Madrasah an-Nûriyah di Damaskus, di sekolah ini terdapat
fasilitas seperti asrama siswa, perumahan staff pengajar, tempat
143
peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan
diskusi.
• Sulthân Muhammad I (1416 M.) melakukan sensus pertanahan,
registrasi berjalan hingga abad ke–17, jumlah dokumen di pusat arsip
ini ada sekitar 1500 ton, meliputi wilayah dari Afghânistan sampai
Maroko, dari semenanjung Krim di Rusia sampai Sudan.
Bidang Sosial
• Pada masa Khalîfah ‘Umar Ibn al-Khaththâb ra., Beliau membangun
Dar ad-Daqîq (gudang tepung) tersebar di berbagai kota dan rute
perjalanan yang biasa ditempuh para musâfir, penuntut ilmu dan para
saudagar. Siapa saja di antara mereka yang kehabisan bekal dalam
perjalanannya, boleh mengambil bagiannya dari lumbung tersebut
tanpa dipungut biaya.
• Khalîfah Wâlid Ibnu ‘Abdul Mâlik membuat kebijakan dengan
memberikan kepada setiap orang jompo dan orang-orang cacat atau
buta seorang pelayan untuk membantu mereka menjalankan
kehidupannya sehari-hari.
• Ibnu Al-Jawzî melaporkan dalam bukunya mengenai masa hidup
Khalîfah Umar Ibn Abdul Azîz, bahwa Umar bertanya kepada para
Gubernurnya di seluruh negeri untuk menghitung jumlah semua orang-
orang buta, orang-orang berpenyakit kronis, dan orang-orang cacat.
Dia kemudian memberikan seorang pemandu bagi setiap orang buta
dan dua orang pembantu bagi setiap orang berpenyakit kronis atau
orang cacat di seluruh negeri Islâm yang membentang dari China di
Timur hingga ke Maroko di Barat, dan dari Rusia di Utara hingga ke
144
Samudra Hindia di Selatan. Ibnu Al-Jawzî juga meriwayatkan bahwa
Umar meminta para Gubernur itu untuk membawa kepadanya orang-
orang miskin dan tidak mampu. Begitu mereka datang, Beliau
menutupi semua kebutuhan mereka yang diambil dari Baitul Mâl. Dia
kemudian bertanya siapa di antara mereka yang punya hutang dan
tidak mampu membayarnya, dia kemudian membayarkan hutang-
hutang mereka secara penuh dengan dana yang diambil dari Baitul
Mâl. Lalu dia bertanya siapakah yang ingin menikah tetapi tidak
mampu, dan Beliau lalu membayar biaya untuk pernikahan mereka.
Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di bawah kekuasaan Islâm
adalah sedemikian baiknya selama masa pemerintahan Khilâfah Umar
Ibnu Abdul Azîz, sehingga negara tidak dapat menemukan orang-
orang miskin yang berhak untuk mendapatkan zakât. Beliau sampai
harus memerintahkan para pegawainya berkali-kali untuk menyeru di
tengah-tengah masyarakat banyak, kalau-kalau di antara mereka ada
yang membutuhkan harta, namun tidak ada seorang pun yang
memenuhi seruannya. Demikian juga tidak ada satu orang pun
penduduk Afrika yang mau mengambil harta zakât.
• Gaji para Pegawai Negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1.275
gram Emas).
• Masa al-Hakîm Bin Amrillâh di Kairo, Khilâfah membangun 20.000 unit
kios untuk disewakan kepada para pedagang dengan harga yang
murah.
• Negara juga membangun perumahan untuk rakyat dan bangunan-
bangunan besar yang dilengkapi suplai air, dengan menyediakan
145
50.000 ekor unta untuk mendistribusikan air ke perumahan-perumahan
rakyat.
• Ibnu Jarîr meriwayatkan bahwa pada masa Khalîfah al-Wâlid Ibnu
Abdul Mâlik Negara membangun dan merawat Masjid-Masjid,
membangun jalan, memenuhi kebutuhan rakyat, memberi uang untuk
orang-orang cacat dan orang-orang sakit, dan memerintahkan mereka
untuk tidak mengemis melainkan meminta kepada Negara jika mereka
tidak memiliki sesuatu yang mencukupi mereka. Dia adalah seorang
Khalîfah pertama yang membangun dan melembagakan Bimaristans
(rumah sakit). Dia menugaskan seorang pembantu bagi setiap orang
cacat, seorang pemandu bagi setiap orang buta, memberikan gaji bagi
para Imam Masjid, dan membangun pemondokan bagi para
Pendatang dari luar dan Pelancong di manapun pada Daulah Islâm
tersebut.
• Selama masa Ummayah dan Khilâfah Abbâsiyyah, rute para
pelancong dari Irak dan negeri-negeri Syam (sekarang Suriah,
Yordania, Libanon dan Palestina) ke Hijâz (kawasan Makkah) telah
dibangun dengan dilengkapi pondokan di sepanjang rute yang
dilengkapi dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal sehari-
hari untuk mempermudah perjalanan bagi mereka. Sisa-sisa fasilitas
ini dapat dilihat pada hari ini di negeri-negeri Syam. Catatan mengenai
waqâf untuk beberapa Rumah Sakit di negeri-negeri Syam
membuktikan hal ini. Sebagai contoh, adanya catatan tentang waqâf
Rumah Sakit Alnnoori di Allipo (Suriah) yang menyebutkan bahwa bagi
setiap orang sakit mental ditugaskan dua orang pembantu yang
bertanggung jawab yang memandikannya sehari-hari, menggantikan
146
dengan baju yang bersih, dan membantunya melakukan Shalât (jika
mereka dapat melakukannya) dan mendengarkan al-Qur’ân, dan
menemaninya berjalan atau berada di udara terbuka untuk bersantai.
• Khalîfah Sulthân Abdul Hamîd (1900 M.) berhasil
membangun jaringan kereta api Hijâz dari
Damaskus ke Madînah dan dari Aqâba ke Mân
untuk meningkatkan integrasi ekonomi dan politik
di daerah Arab yang jauh. Serta pembangunan
jaringan fax/telegraph antara Yâman, Hijâz Syiria, Îrâk dan Turki, lalu
jaringan tersebut dihubungkan dengan jaringan fax India dan Îrân,
semua jaringan diselesaikan hanya dalam waktu 2 tahun. Sementara
kaum Muslim bergegas untuk menyumbang dan menjadi relawan
untuk membangun jalur kereta api itu, Khilâfah menawarkan jasa
transportasi kepada orang-orang secara gratis.
Bidang Kesehatan
• Memberikan kesehatan gratis kepada masyarakat adalah suatu hal
yang dicontohkan oleh Rasûlullâh Saw. di Madînah. Ibnu Ishâq
melaporkan dalam buku Sirahnya bahwa sebuah kemah yang
dibangun di Masjid dan diberi nama seorang yang bernama Rofaydah
dari suku Aslâm, digunakan untuk memberikan diagnosis dan
pengobatan untuk orang-orang secara gratis untuk orang-orang kaya
maupun miskin. Ketika Ibnu Sa’ad Muadh ra. terkena panah selama
Pertempuran Parit, Rasûlullâh Saw. mengatakan kepada para
shahâbat untuk membawanya ke kemah Rofaydah. Rofaydah
dibayarkan oleh Negara melalui saham dari rampasan perang
147
sebagaimana yang disebutkan Alwâqidî dalam bukunya yang berjudul
al-Maghâzi.
• Perawatan kesehatan juga berlaku untuk anak-anak. Selama masa
pemerintahan Khalîfah Umar, ada kebijakan untuk memberikan upah
setiap kali seorang anak selesai masa menyusui. Namun, suatu hari
Umar ra. mendengar seorang bayi menangis kemudian dia meminta
kepada ibu anak itu untuk “Bertakwalah kepada Allâh Swt. atas bayi
Anda dan rawatlah dia”. Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia
berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah
dari Negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Umar merevisi kebijakan
itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Umar ra. takut Allâh
Swt. akan meminta pertanggung jawabannya dan dia berkata sambil
menangis “bahkan atas bayi-bayi yâ Umar!” yang berarti bahwa ia
akan diminta pertanggungjawabkan karena tindakannya merugikan
anak-anak.
• Bani Ibnu Thulûn di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan
tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman,
obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk
memberikan pengobatan gratis.
• Khalîfah Bani Umayyah banyak membangun Rumah Sakit yang
disediakan untuk orang yang terkena Lepra dan Tuna Netra.
• Bani Abbâsiyyah banyak mendirikan Rumah Sakit di Baghdad, Kairo,
Damaskus dan mempopulerkan Rumah Sakit keliling.
• ar-Râzî orang pertama yang mengidentifikasi penyakit cacar dan
campak dan menggeluti bidang operasi.
148
• Ibnu al-Haitsâm ahli optik yang menemukan perbandingan antara
sudat pemantulan (refleksi) dan pembiasan (refraksi).
• Gomar, salah seorang pemimpin dalam masa Napoleon selama
perang yang dilancarkan Perancis (1798-1801) untuk menduduki
Mesir, menggambarkan pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan
berusia 600 tahun yang ia lihat; “semua orang sakit biasa pergi ke
Bimaristan (rumah sakit) bagi kaum miskin dan kaum kaya, tanpa
perbedaan. Dokter berasal dari banyak tempat di wilayah Timur, dan
mereka juga mendapat bayaran yang baik. Ada apotek yang penuh
dengan obat-obatan dan instrumentasi, dengan dua perawat yang
melayani setiap pasien. Mereka yang memiliki gangguan fisik dan
kejiwaan diisolasi dan dirawat secara terpisah. Mereka kemudian
dihibur dengan cerita-cerita dari orang-orang yang telah sembuh (baik
secara fisik maupun kejiwaan) dan akan dirawat di bagian rehabilitasi.
Ketika mereka selesai dirawat, setiap pasien akan diberikan lima
keping emas sehingga para mantan pasien itu tidak perlu bekerja
segera setelah ia meninggalkan rumah sakit”.
Seorang orientalis Prancis, Prisse D’Avennes, menggambarkan rumah
sakit yang sama dengan mengatakan; “kamar-kamar pasien terasa
dingin karena menggunakan kipas besar yang terpasang dari satu sisi
ruang hingga ke sisi yang lain, atau terasa hangat karena parfum yang
dihangatkan. Lantai-lantai kamar pasien itu ditutupi oleh cabang-
cabang (Hinna) pohon delima atau pohon aromatik lainnya”.
149
Bidang Science & Technology
• Ilmu Bumi
– Masa Khalîfah al-Makmûn (abad Ke–11 M.) al-Khawarizmî dan 99
orang asistennya membuat peta bumi sekaligus peta langit (peta
dengan menggunakan petunjuk bintang), pada saat yang sama
bangsa eropa masih berkeyakinan bumi itu datar.
– Pemetaan bumi (informasi alam, hasil bumi dan barang tambang)
dimulai abad Ke–11 M. oleh al-Muqaddisî (Abû Abdullâh; 985 M.)
sehingga tersusun ensiklopedi sederhana mengenai ilmu bumi.
– al-Astakhrî (Abad Ke–10 M.) menerbitkan buku tentang ilmu bumi
negeri-negeri Islâm yang disertai dengan peta berwarna untuk
membedakan potensi masing-masing negeri.
– Abû Rayhân Birûnî atau al-Birûnî (Abad Ke–11 M.)
mengekspose bukunya tentang Ilmu bumi Rusia dan
Eropa. Ia juga berkarya di bidang lain seperti;
Matematika, fisika, Astronomi, Kedokteran,
Metafisika, Sastra, dan sejarah.
– al-Idrisî (Abad Ke–12 M.) membuat peta langit dan bola bumi
berbentuk bulat, kedua karyanya dibuat dari perak dan dihadiahkan
kepada Raja Roger II dari Sisilia.
– Karya al-Idrisî yang lain adalah Peta sungai Nil yang menjelaskan
asal sumbernya yang kemudian dijadikan acuan
pengelana Eropa dalam menemukan hulu
sungai Nil pada abad Ke–19 M.
150
– Quthbuddîn as-Syirâzî (1290 M.) membuat peta laut Mediterania
yang kemudian dihadiakan kepada Gubernur Persia.
– Yaqut Ibnu ‘Abdullâh ar-Rumî Ahli Geografi
penyusun ensiklopedi bumi setebal 6 Jilid yang
dikemas dengan judul Mu’jâm al-Buldân.
• Ilmu Astronomi
– al-Farâbî (796–806 M.) pada masa Khalîfah al-Manshûr
menerjemahkan buku astronomi Sidhandta yang kemudian terkenal
dengan Astronom pertama sejarah Islâm.
– Pakar Astronom di masa Khalîfah Ahmad Nihâwand; Habsî Ibnu
Hasîb (831 M.); Yahyâ Ibnu Abî Manshûr (870–970 M.). az-Zarqâlî
(1029–1089 M.) di barat dikenal dengan Arzachel, Nashiruddîn at-
Tûsî (Wafat 1274 M.) membangun observatorium di Kota Maragha
atas perintah Hulaghu.
– an-Nayrûzî (922 M.) pengulas buku Euclides dan penulis beberapa
buku tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan laut.
– Pakar Astronom di masa Khalîfah al-Makmûn, al-Majrîtî (1029–
1087 M.) Ta’dîl al-Kawâkib.
– Ibnu Jaber al-Battânî (858–929 M.) di Eropa dikenal al-Batânius,
mengembangkan beberapa penyelidikan yang pernah dilakukan
Ptolemeus.
– Alî Ibnu Yûnûs (Wafat 1009 M.) mempersembahkan sebuah buku
al-Zij al-Kabîr al-Hâkimî yang disalin ke Bahasa Persia sehingga
‘Umâr Khayân berhasil menyusun sistem penanggalan yang lebih
teliti dan akurat daripada penanggalan Gregorian.
151
– al-Birûnî (1048 M.) memaparkan teorinya mengenai rotasi bumi,
perhitungan serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan
akurasi yang sangat teliti.
• Ilmu Fisika
– al-Kindî (abad Ke–9 M.) pakar Fisika yang menguraikan hasil
eksperimen tentang cahaya, karyanya tentang fenomena optik
diterjemahkan ke Bahasa Latin yang memberikan pengaruh besar
dalam proses pendidikan Roger Bacon.
152
– Ibnu Haytâm (965–1039 M.) di barat dikenal dengan al-Hazen,
pakar dalam bidang optik dan pencahayaan, 200 judul buku
tentang optik dan pencahayaan dinisbatkan kepada Beliau.
Teorinya lebih dulu ada 5 abad sebelum teori yang sama
dikeluarkan Torricelli. Beliau pula yang mulai melakukan
eksperimen tentang gravitasi bumi jauh sebelum Newton
merumuskan teorinya tentang gravitasi bumi.
– Badî’uz Zamân Ismâ’îl (al-Jazârî; awal abad Ke–13 M.) membahas
tentang mekanika dituangkan dalam buku yang berjudul Kitâb fî
Ma’rifah, diuraikan di dalamnya berbagai fenomena mekanika
sederhana yang menjadi dasar bagi para sarjana modern dalam
menyusun ilmu mekanika modern.
153
buah buku yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa latin pada
tahu 1759 M. di Cremona.
– Kaum Muslim turut memberikan andil bagi para pakar tumbuhan
dan menyediakan informasi yang amat berguna mengenai sekitar
2000 jenis tumbuh-tumbuhan yang sebelumnya belum dikenal.
– al-Jahîr pakar zology menulis buku berjudul Kitâb al-Hayâwan yang
menjelaskan anatomi sederhana, makanan, kebiasaan hidup, serta
manfaat yang dapat diperoleh dari berbagai jenis hewan.
– ad-Damîrî (1405 M.) pakar zologi asal Mesir.
• Ilmu Kedokteran
– Khalîfah Hârûn ar-Rasyîd (abad Ke–9 M.) membuka
Fakultas khusus tentang Ilmu kedokteran di
berbagai perguruan tinggi di Baghdad lengkap
dengan rumah sakitnya.
– Alî at-Thabârî menulis buku kedokteran pertama
“Firdaus al Hikmah” pada tahun 850 M.
– Ahmad Ibnu at-Thabârî melakukan eksperimen pertama tentang
penyakit kurap, ia pakar kedokteran pertama yang menyingkap
penyakit kulit tersebut.
– Abû Bakar Muhammad Ibnu Zakariyâ atau dikenal dengan ar-Râzî
(864–932 M.), untuk bidang kedokteran saja ia menyusun sekitar
200 judul buku.
– Alî Ibnu Abbâs (994 M.) menusun buku ‘Kitâb al-Mâlik’ yang
mengupas tentang masalah gizi dan pengobatan dengan rempah-
154
rempah. Juga buku yang memaparkan sistem peredaran darah di
dalam pembuluh, kehamilan, persalinan dan lain-lain.
– al-Haysâm (965 M.) spesialisasi penyakit mata.
– Alî al-Baghdâdî, ‘Ammar al-Moselî menulis buku ‘al-Muntakhah fî
al-‘Ilâj al-Ayn’ buku-buku mereka disalin ke dalam bahasa latin dan
dicetak berulang-ulang bagi mahasiswa kedokteran Eropa pada
abad pertengahan.
– Ibn Bayhthâr ad-Dimasyqî (1197–1258 M)
peletak dasar Ilmu Farmasi, menyusun buku
al-Adawiyah al-Mufradah yang berisi kumpulan
berbagai resep obat-obatan.
– Ibnu Qasîm az-Zahrâwî al-Qurthûbî (lahir; 1009 M.) Spesialis
Bedah, menyusun buku at-Tasrîh yang menjadi referensi di
berbagai perguruan tinggi di Eropa.
– Ibnu Sînâ (1037 M.) bukunya yang terkenal ‘al-
Qanûn fî ath-Thîbb’, dianggap sebagai ensiklopedia
ilmu kedokteran dan ilmu bedah terlengkap di
zamannya (kurun abad Ke–12 s/d Ke–14 M.) dan
menjadi referensi utama fakultas Kedokteran di
berbagai perguruan tinggi Eropa.
– Ibnu Zuhr (1162 M.) Spesialis Ilmu Tulang dan Mikrobiologi, di
barat dikenal dengan Avenzoar.
– Lisanuddîn Ibnu al-Khatîb (1313–1374 M.) Spesialisasi bidang
Epidemi dan Kesehatan Lingkungan, menyusun kitâb tentang
penularan penyakit.
155
– Ibnu Jazlah (1100 M.) di eropa dikenal dengan Ben Gesla,
menyingkap tentang periodesasi dan jadwal berbagai penyakit
dengan memperhitungkan cuaca.
– Perhatian para Khalîfah dan kaum Muslimîn terhadap kesehatan
direalisasikan dengan pengadaan Dokter dan sarana kesehatan,
pada saat yang bersamaan di Eropa terdapat kepercayaan bahwa
mandi itu dapat mengakibatkan penyakit tertentu, dan
menggunakan sabun sebagai alat pembersih sangat berbahya
bagi mereka.
158
ekonomi terdepan di dunia. Islâm telah mencapai tingkat tertinggi selama
ini dalam sejarah manusia, dalam seni dan ilmu pengetahuan”.
Oleh karenanya adalah wajar jika Samuel P. Huntington dalam ‘the
Clash of Civilization, 1996’ akhirnya juga menyimpulkan bahwa Islâm
adalah peradaban (hadhârah) yang paling unggul.
Maka adalah sangat wajar, ketika Daulah Khilâfah selaku penyangga
utama tegaknya peradaban nan agung ini berhasil ditumbangkan oleh
makar dan konspirasi musuh-musuh Islâm pada tanggal 03 Maret 1924.
Kaum Muslimîn di Indonesia juga turut peduli dan menunjukkan sikap
penolakannya serta berupaya untuk kembali menegakkannya,
sebagaimana nampak pada beberapa catatan peristiwa pasca
penghapusan Khilâfah berikut ini:
• M. Syarîf Hussein selaku Amir Makkah membentuk Dewan Khilâfah
pada tahun 1924, yang terdiri dari 9 orang Sayyid dan 19 orang
perwakilan negeri-negeri muslim lainnya, di mana 2 orang di antaranya
adalah wakil Tanah Jâwî (Indonesia) yaitu H. Abdullâh Ahmad dan H.
Rasûl.
• Pelaksanaan Kongres Khilâfah pada tanggal 01 Juni 1926 di Makkah,
turut dihadiri oleh 2 orang utusan wakil Kaum Muslimîn Nusantara yaitu
HOS. Tjokroaminoto (dari organisasi Central Sarekat Islâm) dan K.H.
Mas Mansur (dari organisasi Muhammadiyyah). Penunjukkan mereka
berdua ditetapkan dalam Kongres Islâm ke-4 di Jogyakarta (21–27
Agustus 1925) serta Kongres Islâm ke-5 di Bandung (06 Februari
1926). Tjokroaminoto tegas menyatakan bahwa Khilâfah bukan cuma
untuk Kaum Muslimîn di Jazirah ‘Arab tetapi juga bagi Kaum Muslimîn
159
Nusantara, Umat Islâm adalah satu tubuh dan ketiadaan Khilâfah
membuat Umat Islâm laksana badan tanpa kepala.
• Sulthân Johor juga turut mengirim wakil resmi tanah Malaya yaitu Syed
Hasân dan Syed Abu Bakar al-Attâs, bahkan diikuti empat orang
lainnya yaitu Syed Muhammad Aqil, anak saudara beliau; Syed Ahmad
Bin Omâr dan dua anak lelaki Syed Ahmad yang bernama Syed
Muhammad ‘Alî dan Syed ‘Abdullâh.
• Seiring pelaksanaan Kongres Khilâfah di Makkah, pada tahun 1926 itu
juga organisasi-organisasi Islâm Nusantara membentuk Komite
Khilâfah yang berpusat di Surabaya.
• Ketika Kongres Khilâfah Kedua kembali diadakan pada tahun 1927 di
Makkah, kaum Muslimîn Nusantara kembali mengirimkan utusan yang
diwakili oleh H. Agus Salîm (Sarekat Islâm).
Walaupun berbagai upaya penegakkan Khilâfah tersebut gagal
terwujud karena kuatnya hegemoni kolonialis Inggris dan negara Barat lain
yang disokong para anteknya dari penguasa Timur-Tengah kaum
Muslimîn sendiri, tetapi gigihnya upaya kaum Muslimîn saat itu telah
menjadi goresan sejarah yang menunjukkan betapa mereka tidak rela
hidup tanpa naungan Daulah Khilâfah. Maka sudah seyogyanya semangat
dan potensi besar yang sudah lama terpendam itu kini kita tunjukkan
kembali, seiring sudah semakin dekat dan nampak jelas tanda-tanda akan
datangnya pertolongan yang Allâh telah janjikan. Allâhu Akbar.
162
Senarai Rujukan :
163
Anonim. 2009. Khilâfah dan Jejak Islâm, KeSulthânan Islâm Nusantara.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Bastoni, Hepi Andi. 2008. Sejarah Para Khalîfah. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Dewan Redaksi. 1997. Ensiklopedi Islâm. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
---. 1999. Ideologi Non Islâm Versus Ideologi Islâm. Jakarta: YPIM al-
Munawwarah.
164
Fathullah, Abu Lukman. 2010. 60 Hadist Sulthâniyah. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah.
Fel GM. 19 Mei 2018. Ketika Islâm Tiba di Bumi Etam. Samarinda:
Kaltimkece.
165
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan
Timur.
Matla, Husain. 2009. Islâm Memimpin Milenium III. Semarang: Big Bang.
Nadwi, Abul Hasan Ali. 1986. Islâm dan Dunia (Terjemahan). Bandung:
Angkasa.
Tasa, H.M. Ridwan, dkk. 2007. Kilas Sejarah Masjid Shirathal Mustaqiem
Samarinda. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda.
Yusuf, H.M. 2004. Adat dan Budaya Paser. Samarinda: Biro Hubungan
Masyarakat Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Serta kompilasi data yang dihimpun dari Situs Resmi Departemen Dalam
Negeri RI, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah
Kabupaten dan Kota, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten dan Kota di Kalimantan Timur.
167
168
169
170
al-Hamdulillâh dengan dukungan Dinas Pendidikan Kota Samarinda serta
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur, maka pada
tanggal 23 Agustus 2009 bertempat di Aula LPMP Samarinda-Seberang
telah dilaksanakan Kajian Perdana Bedah Buku Jejak Syarî’ah.
(Dokumentasi Kajian Buku Jejak Syariah Sesi – II, Tenggarong 17 Oktober 2009)
Pembedah Utama : Dr. H. Adji Pangeran M. Gondo Prawiro, M.M.
(Menteri Sekretaris Kesultanan Kukar. Ing Martadipura / Sekretaris Daerah Kabupaten Kukar.)
Sambutan Pembukaan : Hj. Rita Widyasari, S.Sos., M.M. (Ketua DPRD Kab. Kukar)
Publikasi Media : Lintas Kaltim TVRI Kaltim 17/10/09, Warta Berita RRI SMD 17/10/09.
171
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-
orang yang berakal” (TQS. Yûsuf [012] : 111).
: Yayasan Graha Khilafâh Jl. Teluk Merindu RT. 25, Kel. Rapak Dalam, Kec. Loa Janan Ilir,
Samarinda 75132. Kalimantan Timur. 0541-7275338 085250023344
172