14-Article Text-27-1-10-20191218
14-Article Text-27-1-10-20191218
1. Pendahuluan
Pesantren dapat dicermati sebagai pusat produksi pemikiran
Islam di Indonesia [1] dan sebagai motor terbentuknya peradaban
pendidikan Islam di Indonesia [2], [3]. Pesantren merupakan
institusi pendidikan tertua dan juga produk budaya keilmuan yang
lahir di Indonesia. Cikal bakal keberadaannya diyakini telah ada
sejak abad 13 Masehi seiring masa pengenalam Islam di Nusantara
[4]–[6].
Di samping itu, I.J. Brugman dan K. Meysdi memprediksi
praktik lembaga pendidikan ala pesantren telah ada sebelum Islam
hadir di Indonesia melalui tradisi belajar pemeluk Hindu yang
kemudian mengalami proses asimilasi dengan nilai-nilai keislaman
[7].
Eksistensi pesantren di Indonesia diakui berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal 30 ayat 4 yang berbunyi, ”Pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” Tersurat bahwa pesantren
berfungsi sebagai satuan pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama (tafaqquh fiddin).
Undang-undang tersebut sejalan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. Peraturan tersebut dipertegas dengan
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Pendidikan Keagamaan Islam yang berbicara khusus di antaranya
tentang nomenklatur pondok pesantren. Pondok pesantren
mendapatkan penegasan melalui Peraturan Menteri Agama Nomor
18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok
Pesantren.
Selain berperan dalam area pendidikan dan penguatan
sumber daya manusia, pesantren memiliki fungsi sentral dalam
peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat [8], dan
benteng keutuhan bangsa [9]–[11]. Hal tersebut mempertegas besar
dan luasnya peran pesantren bagi kehidupan bangsa Indonesia
malam hari sesudah salat Magrib dan sesudah salat Subuh. Proses
pembelajaran sistem klasikal dilaksanakan pada pagi sampai siang
hari seperti di madrasah/sekolah pada umumnya [19].
Adapun model pembelajaran yang biasa digunakan dalam
sistem pendidikan pondok pesantren dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu sorogan, bandungan, dan weton [20]. Kata
sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau
disodorkan”. Maknanya adalah suatu sistem belajar secara
individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang
guru, terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya.
Seorang kyai menghadapi santri satu persatu, secara begantian.
Pelaksanaanya, santri yang banyak datang bersama, kemudian
mereka antri menuggu giliran masing-masing.
Bandungan ini sering disebut dengan halaqah, di mana
dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kyai hanya satu,
sedangkan para santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri
mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Sedangkan istilah
weton berasal dari bahsa Jawa yang diartikan berkala atau
berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin
harian, misalnya pada setiap selesai shalat Jum’at.
Metode lain yang diterapkan dalam pesantren diantaranya,
musyawarah/bahtsul masa’il. Metode ini merupakan metode
pembelajaran yang mirip dengan metode diskusi. Beberapa santri
membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kyai/ustadz
untuk mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan
sebelumnya. Juga ada metode hafalan (muhafazhah),
demonstrasi/pratek ubudiyah, muhawarah, mudzakarah, dan majlis
ta’lim [17].
4. Pembahasan
Transformasi model pendidikan di pondok pesantren dalam
era Revolusi Industri 4.0 dimulai dari sejarah pesantren itu sendiri.
Secara historis, aktifitas pesantren sejak awal telah merespon
persoalan kontemporer dan dibuktikan semenjak masa-masa awal
kejayaannya.
Pesantren pernah merespon tantangan global dalam
menghadapi kolonialisme bangsa barat yang saat itu sedang
5. Kesimpulan
Era Revolusi Industri 4.0 menghadirkan perubahan-
perubahan secara cepat yang acapkali sulit diikuti oleh masyarakat
awam. Oleh sebab itu, pesantren harus mampu memfungsikan
dirinya sebagai lembaga pendidikan dakwah yang secara terus
menerus mengedepankan terwujudnya substansi dakwah Islam
yaitu akhlak karimah.
Tantangan tersebut menjadi trigger bagi pesantren agar
dapat meningkatkan kualitas pendidikan, sehingga problem
global seperti pemberdayaan ekonomi, kesehatan, sosial
kemasyarakatan tidak menjadi beban bagi dunia pesantren saat ini.
Pesantren harus selalu optimis karena sejarah pesantren terbukti
secara konsisten mampu membentengi setiap pribadi santri
terhadap arus golbalisasi. Tentu saja simultanitas tersebut
bertujuan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang
selama ini terjadi. Selain itu konsep, peran dan prospek pesantren
ke depan sangat menjanjikan karena pesantren dapat mengambil
peran sebagai lembaga pendidikan yang konsen dibidang
Pendidikan Agama Islam yang menjunjung tinggi konsep akhklak
karimah.
Perlu dilakukan transformasi model pendidikan di pondok
pesantren guna memenuhi kebutuhan masyarakat di era Revolusi
Industri 4.0. Hal tersebut dilakukan dengan cara melihat
kebutuhan “pasar” yang membutuhkan sumber daya manusia
yang mampu bersaing, sehingga terbentuklah model-model
pondok pesantren era Revolusi Industri 4.0. Berbagai
pengembangan dilakukan, diantaranya penguasaan bahasa asing,
entrepreneurship, ICT (Information and Communication Technology),
serta kompetensi kekinian lainnya. Dalam konteks ini, tetaplah
pesantren harus lebih mengorientasikan peningkatan kualitas para
santrinya ke arah pengusaan ilmu-ilmu agama. Era Revolusi
Industri 4.0 ini hanyalah satu dari sekian tantangan yang harus
direspon pesantren tanpa harus meninggalkan jati dirinya.
6. Daftar Referensi
[1] K. B. Ahmad, “Metamorfosis Pemikiran Intelektual Muda NU:
Suatu Pandangan dari Outsider NU,” Millah, vol. 4, no. 2, pp.
111–126, 2004.
[2] A. Azra and J. Jamhari, “Pendidikan Islam Indonesia Dan
Tantangan Globalisasi: Perspektif Sosio- Historis,” in Mencetak
Muslim Modern: Peta Pendidikan Islam Indonesia, J. Burhanuddin
and D. Afrianty, Eds. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
[3] K. B. Ahmad, “Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Pendidikan
Islam : Pengalaman Indonesia untuk Asia Tenggara,”
Edukasi :Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, vol. 8,
no. 2, pp. 3939–3966, 2010.
[4] C. Tan, “Educative Tradition and Islamic Schools in
Indonesia,” Journal of Arabic and Islamic Studies, vol. 14, no. 3,
pp. 47–62, 2014.
[5] C. Geertz, The Religion of Java. Chicago: University of Chicago
Press, 1976.
[6] A. Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, 2nd ed.
Jakarta: Prenada Media, 2005.
[7] E. Gazali, “Pesantren di Antara Generasi Alfa dan Tantangan
Dunia Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0,” OASIS: Jurnal
Ilmiah Kajian Islam, vol. 2, no. 2, pp. 95–110, 2018.
[8] M. B. Muchsin, Y. A. Gani, and M. I. Islamy, “Upaya Pondok
Pesantren Dalam Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan,”
Wacana, vol. 12, no. 2, pp. 376–401, 2009.
[9] W. Wahyuddin, “Kontribusi Pondok Pesantren Terhadap
NKRI,” Saintifika Islamica: Jurnal Kajian Keislaman, vol. 3, no. 1,
pp. 21–42, 2016.
[10] M. Aziz, Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan
Nasional. Tangerang: Pustaka Compass, 2016.
[11] Z. M. Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda
Depan Menegakkan Indonesia 1945- 1949. Tangerang: Pustaka
Compass, 2014.
[12] B. Suharto, Marketing Pendidikan : Menata Ulang PTKI
Menghadapi Pasar Bebas ASEAN. Yogyakarta: LKiS, 2016.