Anda di halaman 1dari 136

1 | CAT – Ratu-buku.blogspot.

com
PROLOG
Tidak.

AKU tidak pernah menyukai kucing. Bahkan anak kucing pun.

Satu alasan, aku alergi terhadap kucing. Kalau berada dalam satu
ruangan dengan kucing, aku akan mulai batuk-batuk dan bersin-
bersin. Dan wajahku akan membengkak bagai marshmallow.

Selain itu, bagiku tampang kucing sangat jahat. Kenapa mereka


harus menatap seperti itu?

Apa yang mereka pikirkan?

Kenapa mereka menyelinap ke sana kemari dengan diam-diam


begitu? Seakan-akan merahasiakan kesalahan.

Aku tahu. Aku tahu.

Terkadang aku agak terbawa perasaan.

“Marty, tenanglah.” Itu yang selalu dikatakan Dad padaku. “Marty


jangan terlalu membesar-besarkan. Marty dinginkan kepalamu.” Dad
memiliki sejuta ekspresi manis seperti itu.

Kuakui ia benar. Terkadang aku lupa diri. Terkadang aku


keterlaluan. Terkadang aku lepas kendali.

Maksudku, itu salah satu risikonya menjadi remaja, bukan? Tapi aku
berkata jujur sewaktu mengatakan aku tidak pernah berniat
membunuh kucing tersebut.

2 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kucing tersebut menyebabkan aku sinting.

Hewan itu menyebabkan seluruh regu basket sinting, dengan hidup


di bawah panggung penonton gimnasium seperti itu. Muncul setiap
kali kami hendak berlatih. Berlarian di sela-sela kaki-kaki kami.

Yeah. Kucing itu menyebabkan kami sinting.

Tapi aku tidak pernah berniat membunuhnya. Dan percayalah, aku


membayar atas kematiannya.

Kami semua membayarnya.

3 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
1
PADA hari Selasa, saat latihan basket telah berlangsung separuh
jalan, Coach Griffin kehilangan kesabaran terhadap diriku dan anak-
anak lainnya.

“Marty! Ada masalah apa kau hari ini?” sentaknya. “Kau dan dua
badut lainnya, pergi dari lapanganku! Cobalah memperbaiki
lemparan bola kalian!”

Langit-langit gimnasium SMA Shadyside hampir tiga puluh kaki


tingginya dan dipenuhi lampu-lampu putih dan oranye yang berjajar
rapi. Panggung penonton berada di kedua tepi lapangan— yang
kami sebut sisi sekolah dan sisi jalan.

Pintu ganda di salah satu ujung gimnasium menuju sekolah. Di


ujung seberangnya, papan nilai menjuntai di atas pintu yang menuju
ruang loker.

Barry, Dwayne, dan aku berjalan ke panggung penonton di sisi


sekolah. Di lapangan, latihan dimulai lagi.

“Ada apa dengan Coach?” tanya Barry. “Ada yang lupa


memberitahunya bahwa ini SMA, bukan NBA?”

Dwayne mendengus. “Dia mendengar isu bahwa dia orang baik. Dia
ingin meluruskan pendapat itu.”

Aku tertawa.

4 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Dwayne Clark adalah pelawak dalam kelompok kami. Ia tidak pernah
menganggap serius apa pun. Ia dan Barry Allen sudah lama sekali
menjadi sahabat terbaikku.

“Aku serius,” gerutu Barry. “Mungkin permainan kita tidak terlalu


bagus, tapi Coach tidak perlu menyuruh kita keluar lapangan.”

Aku mengambil sebuah bola basket dari panggung penonton dan


melemparkannya ke dada Barry. Ia menangkapnya dengan mudah.

Barry melemparkan bola tersebut ke arah Dwayne. Kami saling


melemparkan bola tersebut selama beberapa saat. Barry dan Dwayne
sangat kontras dari segi fisik. Dwayne berambut pirang. Ia agak
pendek untuk ukuran pemain basket. Dan ia seharusnya mengurangi
berat badannya beberapa kilo.

Barry jangkung, kurus, dan berambut hitam. Ada beberapa gadis


yang menganggap ia mirip pemeran Superman di televisi. Kecuali
untuk kacamatanya, kurasa ia tidak mirip sedikit pun. Kalau tidak
sedang bermain basket, Barry mengenakan kacamata berbingkai
kawat hitam.

Mengenai kepribadian, Barry juga kebalikan dari Dwayne. Barry


terlalu serius, sehingga merugikan dirinya sendiri, dan ia sangat
mudah marah. Terlalu mudah. Sifat pemarah Barry sering kali
menyebabkan ia mendapat masalah.

Para anggota regu lainnya bergemuruh melintasi gimnasium dari


satu sisi ke sisi yang lain. Kulemparkan bola ke Dwayne, dan
menyadari bahwa Coach Griffin melirik ke arah kami.
5 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Tenang, guys,” kataku. “Coach benar. Permainan kita hari ini tidak
maksimal. Mungkin kita perlu istirahat beberapa menit.
Pertandingan hari Jumat nanti penting sekali.”

“Setiap pertandingan penting untukmu, Marty,” kata Dwayne. “Kau


harus berusaha mendapatkan beasiswa basket.”

Dwayne senang mengolok-olokku tentang beasiswa basket untuk


masuk college. Mendapatkan beasiswa itu akan mempermudah
kehidupanku dan orangtuaku. Dan sekalipun lelucon Dwayne tidak
bermaksud jahat, kurasa ia agak iri padaku.

Barry merupakan cerita lain. Aku tahu Barry memang iri. “Setiap
pertandingan penting bagi Shadyside Tigers, Dwayne,” sergahku.
“Regu ini sangat berarti bagiku.” “Hebat,” ejek Dwayne.

Ia dan Barry melontarkan tawa mirip hyena.

Kalau Dwayne dan Barry berlawanan satu sama lain, aku ada di
tengah-tengahnya. Tidak terlalu jangkung, tidak terlalu pendek.
Tidak terlalu gemuk, tidak kurus. Rambutku berwarna cokelat muda.

Itulah aku, Mr. Rata-rata. Kecuali dalam hal basket.

Kami bertiga telah bermain basket di bundaran di ujung jalan tempat


tinggalku sejak kelas tiga SD. Dan hasilnya kelihatan jelas.

Regu Tigers tengah mendapat tahun terbaik mereka setelah sekian


lama. Terutama karena Dwayne, Barry, dan aku. Terutama karena
aku.

6 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Semua orang mengatakan akulah bintang regu. Kucoba untuk tidak
menjadi besar kepala karenanya. Tapi tidak mudah.

Kami duduk di panggung penonton bersama Joe Gimmell, Kevin


Hackett, dan beberapa pemain lainnya.

Kit Morrissey juga ada di panggung tersebut. Aku terkejut


melihatnya di sana. Kurasa aku belum pernah melihat cewek datang
sebelumnya.

“Hei, Dwayne,” godaku. “Kit sedang memperhatikanmu, buddy.


Mungkin akhirnya kau mendapat kencan untuk pesta perpisahan
nanti.”

“Dia sudah memintaku, Marty,” katanya membual. “Tentu saja


kutolak. Aku tidak ingin merusak reputasiku dengan terlihat
bersamanya di depan umum.”

“Yeah, terserahlah,” kataku sambil melambaikan tangan.

Sebagian besar orang menganggap Kit Morrissey gadis paling cantik


di Shadyside. Tapi setahuku tidak ada seorang cowok pun yang
cukup bernyali untuk mengajaknya keluar.

Dwayne pasti akan mendapat serangan jantung kalau Kit


menyapanya.

Aku mengamati latihan selama beberapa menit. Coach Griffin


kembali berteriak pada Larry Burns.

Kuambil sehelai handuk kecil dan mulai menggosok wajahku.

7 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Agak ke bawah panggung, Kevin Hackett tengah mengambil
minuman dari kotak pendingin.

“Ada yang tersisa, Hackett?” tanyaku.

“Hanya Gatorade,” jawabnya sambil angkat bahu.

“Hei,” bisik Barry, menyodokku dengan sikunya. “Lihat siapa yang


baru datang.”

Aku berpaling ke arah pintu ganda gimnasium. Gayle Edgerton dan


Riki Crawford berdiri di sana. Gayle yang berambut merah

mengawasi sekeliling gimnasium. Ia melihatku, lalu menarik lengan

Riki dan berjalan mendekati kami.

“Oh, man.” Aku mendesah. “Ada-ada saja.”

“Kau mau pergi?” tanya Barry. “Akan kututupi.” “Tidak, man, aku
tidak akan melarikan diri,” kataku memutuskan. “Aku tidak punya
alasan untuk bersembunyi. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun.”

“Oke, ini pemakamanmu,” gumamnya.

Para pemain di lapangan berteriak dan melambai ke arah Gayle dan


Riki saat mereka berjalan menyusuri tepi lapangan. Kevin
menawarkan Gatorade pada Gayle, tapi gadis tersebut tidak
mengacuhkannya.

Kev yang malang, pikirku. Ia sudah mengejar Gayle selama empat


tahun. Gayle tersenyum pun tidak mau kepadanya.

8 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Hai, guys,” kicau Gayle sambil tersenyum, memperlihatkan kawat
gigi di mulutnya. Ia satu-satunya senior yang masih mengenakan
kawat gigi. Tapi tampaknya ia tidak merasa terganggu. Ia tidak
pernah menutupi mulutnya kalau tersenyum atau tertawa. Kurasa
hebat juga ia bisa percaya diri seperti itu.

“Dengar, Marty,” kata Gayle, “aku mau menulis artikel tentang


Tigers untuk majalah sekolah, dan aku ingin mewawancarai kalian.
Kau tahu. Tentang julukan Tiga Pendekar itu. Riki akan memotret
untuk artikel itu.”

Hebat, pikirku. Persis yang kubutuhkan.

Riki dan aku pernah keluar bersama-sama. Bukan kegiatan


istimewa—nonton film, menyantap piza, berjalan-jalan ke mal.

Sewaktu aku tidak lagi meneleponnya, ia marah sekali. Katanya kalau


aku ingin memutuskan hubungan dengannya, seharusnya aku
mengatakannya terus terang, bukannya meninggalkan dirinya begitu
saja.

Sulit kupercaya ia begitu membesar-besarkan masalah ini. “Jadi, kau


mau menjadikan kami bintang, hah?” kata Dwayne bergurau. “Sudah
saatnya!”

Riki memandangku dengan penuh harap. Mungkin ia mengira aku


akan meminta maaf. Tapi tidak ada lagi yang harus kukatakan.

Sewaktu Barry menyiku diriku, seketika aku merasa lega. “Marty—


kucingnya!” jeritnya sambil menunjuk. “Itu dia! Tangkap!”

9 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
2
AKU berpaling dan melihat kucing tersebut melesat keluar dari
bawah panggung penonton.

Coach Griffin memaki.

Dave Ionello tengah bersiap memasukkan bola. Kucing tersebut


melesat memotong jalurnya. Dave hampir terjatuh karena hewan
kelabu keperakan tersebut. Cengkeramannya pada bola terlepas, dan
bolanya memantul menjauh.

Kucing tersebut berhasil tiba di seberang gimnasium dengan


selamat. Hewan itu berlari sepanjang panggung penonton, menuju
dinding seberang.

“Tangkap!” teriak Dwayne. Ia melesat. “Jangan!” kata Gayle


memprotes. “Itu jahat!”

Dwayne berlari mengejar kucing itu. Hewan tersebut berada di


bawah keranjang dekat pintu ganda. Sewaktu melihat kedatangan

Dwayne, si kucing melesat sepanjang tepi lapangan.

Barry dan aku lari menyeberangi lapangan untuk mencegatnya.


Coach berteriak pada kami, tapi kami tahu ia tidak benar-benar
marah.

Memburu kucing tersebut boleh dikatakan telah menjadi bagian dari


latihan. Dan kegiatan ini ternyata menjadi semacam permainan bagi
kami.

10 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Tapi kami tidak pernah berhasil menangkap kucing tersebut hingga
sekarang. Entah bagaimana, si kucing selalu berhasil meloloskan diri.
Kata Coach, si kucing terlalu gesit bagi kami. Terserah.

“Keberuntunganmu habis, Marty,” kata Barry sambil terengah-


engah, berlari di sampingku. “Kurasa Riki ingin bertengkar lagi
denganmu.”

“Yeah,” kataku menyetujui. “Untung kucing itu keluar.” “Tangkap,


guys!” teriak Dave Ionello sewaktu Barry dan aku berlari
melewatinya.

Coach kembali meneriakkan nama-nama kami. Aku berbalik dan


melihat senyuman di wajahnya. Kurasa kami tidak akan mendapat
masalah besar.

Para pemain lainnya berdiam diri di tengah-tengah lapangan untuk


menyaksikan Dwayne mengejar kucing tersebut, serta Barry dan aku
yang berlari untuk memotong jalur pelarian hewan itu.

Gayle dan Riki menjerit-jerit agar kami tidak mengganggu si kucing.

“Aku berhasil memaksanya keluar!” teriak Dwayne. “Ke arah kalian!”

Kucing tersebut terbirit-birit menjauhi Dwayne, belum menyadari


kehadiran Barry dan diriku. Kalau menyadarinya, ia mungkin akan
menyelinap ke bawah panggung penonton, seperti biasanya.

Sepertinya makhluk tersebut sudah sekitar sebulan tinggal di bawah


sana. Aku tahu ada beberapa anak yang suka memberinya makanan
dan air.

11 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Para pemandu sorak sangat menyukainya dan memberinya nama-
nama bodoh seperti Puffy dan Baby.

Gayle pernah menulis artikel pendek tentang kucing yang tinggal di


gimnasium untuk koran sekolah. Aku tersenyum saat membaca
permohonan Gayle dalam tulisannya agar ada yang mau mengadopsi
hewan tersebut dan memberinya rumah yang baik.

Dengan cara yang aneh, kucing tersebut telah menjadi maskot


Tigers. Kalau saja bulunya belang-belang, kami mungkin akan
menjadikannya maskot resmi.

Tapi sayangnya kucing itu berbulu kelabu keperakan, dan ada bercak
hitam berbentuk berlian di kepalanya.

Kami tidak pernah benar-benar memikirkan apa yang akan kami


lakukan kalau berhasil menangkap kucing tersebut. Kepala sekolah
mengatakan keberadaan hewan di dalam gimnasium menimbulkan
bahaya kesehatan. Jadi, kami mungkin akan menghubungi Tempat
Penampungan Hewan Shadyside.

Tapi yang penting bukanlah menangkap kucing tersebut. Yang


penting adalah mengejar-ngejarnya.

“Kemari, pus, pus!” panggil Barry. “Kemari, pus.”

Barry dan aku berhasil memblokir jalur kucing tersebut. Si kucing


memelototi kami dan mendesis.

Kuulurkan tanganku ke arahnya. Si kucing menyelinap ke bawah


panggung penonton dan menghilang.

12 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Harper!” teriak Coach Griffin.

Aku berbalik. Kuharap ia tidak terlalu marah. Aku merasa lega


sewaktu melihatnya masih tersenyum.

“Kalau sudah selesai bermain-main, mungkin kau dan badut- badut


lainnya mau main basket?” tanya Coach.

“Mau sekali!” jawabku.

Untuk paruh waktu kedua latihan, Coach selalu membagi anak- anak
menjadi dua regu dan bermain satu melawan yang lain. Aku
melewati Gayle dan Riki sewaktu berlari-lari kecil kembali memasuki
lapangan.

“Badut?” tanya Gayle. “Kukira dia memanggil kalian Tiga Pendekar.”

“Kalau sedang senang terhadap kami, dia memanggil kami begitu,”


kataku menjelaskan. “Kalau permainan kami kurang baik, kami
menjadi Moe, Larry, dan Curly.”

Kudengar Gayle tertawa sewaktu aku berlari memasuki lapangan.


Barry mendapat posisi tengah. Ia melontarkan bola ke arahku begitu
pertandingan dimulai, dan kami melesat maju di lapangan, menuju
keranjang.

Kulemparkan bola ke Dwayne, dan ia mengalihkannya ke Barry


sewaktu Barry telah berada di sudut lapangan. Barry berpura-pura
melemparkan bola tiga angka dan mengalihkannya pada aku yang
telah berada di dalam lingkaran. Kuterima bolanya dan
memasukkannya ke dalam keranjang.

13 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kami sudah beraksi kembali. Sewaktu berlari kembali ke sisi
seberang lapangan, kulihat Riki dan Gayle tengah bercakap-cakap di
tepi lapangan. Apa mereka sedang membicarakan diriku?

Aku tidak suka kalau Riki menceritakan versinya pada Gayle.


Terutama karena Gayle bermaksud menulis tentang diriku untuk
koran sekolah. Barry mencuri bola dan melemparkannya
menyeberangi lapangan ke arahku. Hampir-hampir aku gagal
menangkapnya.

“Waspada, Harper!” teriak Coach Griffin dari tepi lapangan. Sewaktu


berlari melintasi lapangan lagi, aku melirik sekilas ke arah kedua
gadis tersebut. Riki tengah menunjuk ke arahku. Aku tahu pasti
mereka tengah membicarakan diriku!

“Marty!” teriak Barry. “Awas...”

“Whoooa!” Aku melirik ke bawah dan melihat kucing kelabu


keperakan tersebut melesat di depanku. Terlambat. Kakiku mengenai
kucing tersebut tepat di bawah perutnya.

Kucoba mempertahankan keseimbanganku. Tapi tidak bisa.


Kudengar jeritan marah kucing itu sewaktu aku menerjangnya, lalu
terlontar melewatinya. Aku jatuh ke lantai gimnasium dengan keras.

Ada sesuatu yang remuk terjepit lututku. Dan sakit yang membara
memancar dari kakiku.

Sambil menjerit kesakitan, aku terkapar di lantai. Apa yang sudah


kulakukan? aku penasaran.

14 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
3
“SAKIT?” tanya perawat sekolah.

Ia menekankan tiga jarinya ke lututku. Aku mengernyit, dan


mengertakkan gigi.

“Oh, yeah,” kataku sambil mengerang. “Tolong jangan lakukan lagi.”

“Bagaimana?” tanya Coach Griffin.

“Kurasa kucing itu sudah menghabiskan delapan dari sembilan


nyawanya hari ini!” gerutuku.

“Aku berbicara dengan Mrs. Nathanson, Marty,” sergah Coach


Griffin.

“Aku setuju denganmu, Coach,” kata Mrs. Nathanson sambil


mendesah. “Mungkin hanya terkilir.Tapi Marty perlu beristirahat
selama dua hari, atau kerusakannya bisa lebih parah lagi. Akan
kuberi kau perban Ace, Marty, untuk mengempiskan bengkaknya.”

Setelah Mrs. Nathanson berlalu, Coach Griffin berbalik


memandangku.

“Ya, sudah,” katanya. “Harper, maaf, tapi kau tidak ikut bertanding
hari Jumat nanti.”

“Aow, yang benar saja!” jeritku. “Anda pasti bergurau!”

“Oh, man!” Dwayne mengerang. “Sekarang kita tidak bakal bisa


menang. Mereka akan menyantap kita seperti sarapan.”

15 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Coach, kita memerlukan Marty,” pinta Barry.

“Kucing bodoh itu!” sergahku. “Lebih baik aku tidak melihatnya lagi
dalam waktu dekat.”

“Dengar, Harper,” sentak Coach Griffin sambil menusukkan jarinya


ke arahku. “Kalau kau tidak menteror kucing itu, ini tidak akan
terjadi.”

“Aduh, Coach, Anda tahu itu tidak benar,” kataku sambil mengerang.
“Kami bahkan tidak mengejar kucing itu sewaktu aku jatuh. Kucing
itu lari ke lapangan dan aku terjatuh karenanya.”

Coach mengerutkan kening ke arahku. “Kalau kau tidak ingin


bertanggung jawab atas keadaan lututmu, itu urusanmu. Tapi
memenangkan pertandingan basket ini urusanku. Dan kau bagian
dari rencana kejuaraan besar. Jadi, jaga dirimu baik-baik, Marty,”
kata Coach Griffin.

Aku mengangguk, terlalu jengkel dan marah untuk menjawab. Regu


basket kami mulai meninggalkan lapangan. Coach mengikuti mereka.

Dwayne dan Barry tetap menemaniku.

Gayle dan Riki mengawasi dari tepi lapangan. Setelah semua orang
berlalu, mereka menggabungkan diri dengan kami.

“Well, itu berita buruk,” Dwayne berkomentar. “Aku akan


mengenakan kemeja Hawaii ekstra-ajaibku hari Jumat nanti.”

Dwayne selalu punya lelucon untuk setiap kesempatan, dan sehelai


kemeja Hawaii yang buruk untuk melengkapinya. Tahun ini
16 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
regu basket kami membeli seragam pertandingan yang khusus dibuat
untuk Dwayne. Seragam tersebut dihiasi tulisan Hawaii yang benar-
benar buruk.

Dwayne dan Barry masing-masing memegangi satu lenganku dan


membantuku bangkit berdiri. Kucoba menguji kekuatan lututku.

“Bagaimana, Marty?” tanya Riki.

“Sakit,” sahutku ketus.

“Well, itu bukan salahku!” jeritnya.

“Maaf,” gumamku. “Aku bukan marah pada kalian. Aku marah pada
kucing bodoh itu. Pokoknya, lututku sakit, tapi aku masih bisa
berjalan.”

“Tidak mungkin kau bisa bertanding hari Jumat nanti, Marty,” kata
Barry, mengamati keadaanku.

“Yeah,” kataku menyetujui dengan sedih. “Tapi minggu depan jelas


aku sudah siap. Tidak peduli apa kata Coach.”

“Yeah,” kata Barry “Sebaiknya kau sudah siap minggu depan. Ingat
beasiswamu.”

“Aku bahkan tidak tahu apakah akan memenangkan beasiswa itu atau
tidak!” seruku.

Tidak ada yang mengatakan apa-apa selama waktu yang terasa lama.

“Tapi…,” kata Dwayne, hendak mengatakan sesuatu.

17 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Rasanya kau pernah memberitahuku bahwa kau sudah mendapatkan
beasiswa itu,” kata Riki.

“Memang,” kataku, tergagap. “Kurang-lebih. Tapi belum benar-


benar pasti. Masih ada satu orang lagi yang sedang dipertimbangkan
universitas.”

“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya pada kami?” tuntut


Gayle.

Lalu aku teringat alasan Gayle datang ke gimnasium. “Gayle, ini


tidak akan dimuat dalam koranmu,” kataku menjelaskan. “Hanya
antara kita, oke?”

Aku tidak ingin Gayle memberitahu seluruh sekolah bahwa aku


sudah berbohong dengan mengaku telah mendapatkan beasiswa itu.

“Katakan saja, Harper,” desak Barry.

“Well, kalian tahu aku, kan,” kataku memulai. “Kurasa aku agak
terhanyut. Kudengar dari universitas bahwa aku mendapat
kemungkinan kedua. Kurasa aku sudah terburu-buru
menyimpulkan.”

Aku mendesah. “Aku tahu tindakan itu bodoh. Tapi... sekali


berbohong, aku tidak bisa mengingkarinya dan mengatakan yang
sejujurnya. Terlalu memalukan kalau kulakukan.”

Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik. Lalu Riki


tersenyum dan meninju bahuku. “Jangan khawatir, Marty,” katanya.
“Kau akan memenangkan beasiswa itu. Aku yakin.”

18 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Aku tahu Riki hanya berusaha bersikap manis, tapi aku tetap saja
merasa lebih baik. “Trims, Riki,” jawabku.

Aku berbalik kepada yang lain. “Ayo pergi dari sini.” “Aaaah!” jeritku
begitu mulai melangkah. “Wow—sakitnya.

Aku hampir-hampir melupakan lutut sialan ini.”

“Hati-hati, man,” Barry memperingatkan. “Kurasa kita tidak akan


bisa memenangkan turnamen tanpa dirimu.”

“Aku tahu kalian tidak bisa menang tanpa diriku,” kataku bergurau.

Dengan tertatih-tatih aku melangkah ke pintu ganda gimnasium


bersama teman-temanku.

Lalu aku melihatnya.

Kucing kelabu keperakan tersebut berdiri di dekat pintu.

Bahkan dari jarak yang cukup jauh, bisa kulihat mata hijaunya
melotot ke arahku.

“Hewan yang berani,” gumam Riki.

“Hewan bodoh,” sergahku. “Tangkap dia.”

19 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
4
“JANGAN lagi!” seru Gayle.

Barry dan Dwayne berlari mengejar kucing tersebut dengan


kecepatan penuh. Aku tertatih-tatih di belakang mereka, dengan
tekad bulat untuk membalas dendam. Kucing itu melesat
menyeberangi gimnasium, bagai sebuah kilasan keperakan.

Kali ini kucing itu tidak berlari ke bawah panggung penonton.


Sebaliknya, ia justru melesat sepanjang tangga panggung penonton.

Barry dan Dwayne berlari mengejarnya.

Sewaktu aku tertatih-tatih di dua anak tangga pertama panggung


penonton, Barry dan Dwayne berhasil menyudutkan kucing tersebut
di puncak anak tangga. Kucing tersebut berpaling ke sana kemari,
mencari jalan untuk meloloskan diri.

Aku bergegas menaiki tangga, kebencianku pada kucing itu semakin


besar, seiring dengan setiap langkah menyakitkan. Kalau bukan
karena kucing ini, aku pasti ikut dalam pertandingan hari Jumat
malam nanti.

“Hei, sudahlah!” seru Gayle. “Itu cuma kucing. Marty, ayolah! Kau
bahkan tidak melihat kau lari ke mana!”

Aku tidak mengacuhkan Gayle. Sesudah aku selesai menanganinya,


kucing ini tidak akan berkeliaran di dalam gimnasium lagi. Hewan
tersebut akan mendapat rumah yang menyenangkan di Tempat

20 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Penampungan Hewan Shadyside. “Kemari, pus, pus, pus,” panggil
Dwayne.

Rasa sakit memancar dari lututku sewaktu melangkah ke puncak


panggung penonton di samping Dwayne. Barry berdiri di tepi, dua
anak tangga ke bawah dari tempat kucing tersebut meringkuk,
terjebak. Kami tidak akan membiarkannya lolos.

Aku maju selangkah, dan meringis kesakitan. Mendaki tangga


panggung penonton menyebabkan sakitnya semakin hebat.

“Ini semua salahmu, kucing,” sentakku.

Kucing tersebut melengkungkan punggung dan mendesis ke arahku.

“Marty! Jangan ganggu kucing itu!” panggil Riki dari lantai


gimnasium. “Please!”

Kuulurkan tanganku untuk menangkap kucing tersebut,


menyambarnya dari bawah kaki depannya, dan mengangkatnya.

Hewan tersebut mendesis dan menggeliat-geliat. Kucing tersebut


mengibaskan cakarnya yang setajam pisau cukur ke lenganku. Tapi
aku tetap tidak melepaskannya.

Kucing tersebut mulai memberontak hebat dalam cengkeramanku.


Lalu kepalanya menunduk—dan hewan tersebut membenamkan
giginya ke lenganku.

Sebelum aku sempat menjerit, si kucing mengibaskan cakarnya ke


keningku. Aku terhuyung-huyung mundur ke tepi panggung
penonton.
21 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Sakit yang tajam menyengat dari lengan dan wajahku. Darah
menetes ke mataku.

“Marty awas!” seru Barry.

Kucoba mencari pijakan. Tapi lututku yang terluka tidak mampu


bertahan. Aku jatuh ke tepi panggung penonton. Kalau tidak berhasil
berpegangan, aku pasti jatuh.

Riki menjerit.

“Marty!” seru Dwayne.

Aku berpaling, dan melihat Dwayne. Kulepaskan kucing itu dan


meraih tangan Dwayne. Dwayne menarikku kembali ke panggung
penonton.

Aku berpaling tepat pada waktunya untuk melihat kucing tersebut


jatuh. Ia berputar-putar di udara, dan menghantam lantai kayu keras
pada sudut yang salah.

Derakan yang memuakkan menggema ke seluruh gimnasium. Hewan


tersebut tidak bergerak.

“Kukira kucing selalu mendarat pada kakinya,” gumam Barry. “Aku


juga,” jawabku.

Lalu kudengar jerit kemarahan Gayle. “Kau... kau membunuhnya!”

22 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
5
GAYLE menatapku dari bawah. Pandangannya penuh kemurkaan.
“Kau benar-benar kejam,” jeritnya.

“Hah?” Gimnasium terasa berputar-putar. Aku duduk di salah satu


bangku.

“Kucing itu!” jerit Riki. “Kau melemparkan kucing itu dari panggung
penonton!”

Kedua gadis tersebut menatapku, wajah mereka memucat karena


shock.

“Tidak!” protesku. “Ayolah, Riki... Gayle. Aku melepaskan kucing itu


agar bisa berpegangan pada Dwayne.”

“Kau benar-benar menjijikkan, Marty,” sergah Gayle. “Kau


membunuh kucing malang itu!”

“Ayolah, Gayle,” pintaku. “Kami tidak sengaja melakukannya. Kau


melihatnya...”

“Kuberitahukan apa yang kulihat!” jerit Gayle. “Kalian tiga orang


goblok mengejar kucing itu dan melemparkannya dari atas
panggung penonton! Kau membunuh seekor hewan yang tidak
berdaya, Marty. Kau... kau...”

“Hei, guys,” kata Dwayne dari lantai gimnasium. “Kalian mau setup
kucing?”

23 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Barry tertawa.

Gayle memandang Dwayne. Bibir Dwayne tertarik ke belakang


dengan jijik, dan kukira ia akan menangis.

Dwayne mengangkat kucing tersebut pada ekornya. Gayle dan Riki


menjerit ngeri. Kemeja Hawaii Dwayne ternoda darah, tapi
tampaknya ia tidak menyadari.

“Ayolah, Gayle,” kata Barry sambil mengerang. “Siapa yang peduli


dengan kucing bodoh itu? Hewan itu hanya mengacaukan latihan
basket kami saja. Tidak ada bedanya antara kucing gelandangan
dengan tikus, kalau menurutku.”

“Kau idiot.” Gayle mencibir. “Tikus termasuk serangga pengganggu.


Kucing hewan yang cantik dan peka.”

“Well, aku cantik dan peka,” kata Dwayne sambil meringis. Wajah
Gayle memerah karena murka. Riki berdiri diam, sambil
menggeleng-geleng.

“Kau sudah mengenalku selama empat tahun,” kataku mengingatkan


Gayle. “Kaukira aku akan sengaja membunuh kucing itu? Membunuh
hewan apa pun dengan sengaja? Yang benar saja!”

“Aku tahu apa yang sudah terjadi, Marty,” kata Gayle. “Jangan coba
mengatakan aku tidak melihatnya. Aku berdiri tepat di sini. Aku
tidak bodoh, kau tahu.”

“Aku tidak pernah mengatakan kau bodoh! Tapi maksudku, Gayle,


kau tahu bagaimana aku sangat mencintai Teddy. Membunuh kucing

24 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
itu sama seperti membunuh Teddy, anjingku sendiri. Tidak mungkin
aku akan menyakiti hewan.” Dwayne mengacungkan kucing itu.

“Hei, Gayle, mungkin kau memerlukan mantel bulu?” tanyanya. Ia


dan Barry tertawa terbahak-bahak.

“Cukup. Aku pergi!” jerit Gayle.

“Hentikan, guys,” seruku. Aku benar-benar marah sekarang. “Ini


tidak lucu.”

Aku berpaling pada Riki. “Bantu aku, Riki,” pintaku. “Kau tahu aku
tidak akan membunuh hewan. Ya, aku memang marah. Ya, aku
mengejar kucing itu. Ya, aku ingin menyingkirkannya. Tapi bukan
dengan membunuhnya!”

Riki menyapukan tangan ke rambut pirangnya yang dipotong


pendek.

“Riki?” pintaku.

“Kukira aku mengenalmu,” katanya pelan. “Tapi aku juga


melihatnya, Marty. Mungkin kau tidak sengaja melakukannya.
Mungkin kejadiannya memang kecelakaan. Tapi tampaknya tidak
seperti kecelakaan.”

“Oh, man, kalian semua sudah sinting!” jeritku sambil mengangkat


tangan tanda menyerah.

Aku kembali memandang Riki, tapi ia bahkan tidak mau membalas


tatapanku.

25 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Oke. Baik,” kataku tergagap. “Terserahlah. Kau dan Gayle mau
bilang apa, silakan saja! Aku pergi! Aku harus menyembuhkan lutut
ini agar bisa main basket minggu depan!”

“Pergilah,” kata Gayle sambil mencibir. “Tidak ada yang


menghentikanmu.”

“Sulit dipercaya!” teriakku. “Kucing bodoh itu sudah melukai lututku.


Lalu aku mencoba mengusirnya dari gimnasium, dan hewan itu
merobek lengan dan wajahku. Aku berdarah, kalau kalian tidak
menyadarinya!”

Kuhapus darah dari keningku. Tidak satu pun dari kedua gadis
tersebut tampak bersimpati.

“Hei, aku menyesal hewan itu mati, tapi aku tidak membunuhnya,”
kataku bersikeras.

Baik Gayle maupun Riki tidak berbicara.

“Lidah kalian dimakan kucing?” tanya Barry pada mereka. “Tutup


mulutmu, Barry!” teriakku. “Kau dan Dwayne sudah bersikap seperti
idiot. Kenapa kalian tidak membelaku?” Dwayne dan Barry hanya
berdiri diam. Paling tidak, mereka tidak tertawa lagi.

“Well?” desakku.

“Ayolah, Marty.” Dwayne angkat bahu. “Siapa yang peduli dengan


kucing?”

“Lagi pula,” tambah Barry, “kami teman-teman terbaikmu. Siapa


yang akan mempercayai kalau kami mengatakan kau tidak
26 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
membunuh kucing itu?” Mereka benar. Orang-orang kemungkinan
besar akan lebih mempercayai Gayle. Bagaimanapun, kami adalah
Tiga Pendekar.

Itulah yang ingin ditulis Gayle hingga ia datang kemari.

Sekarang ceritanya berubah.

“Gayle, please...,” aku hendak berkata.

“Aku sudah muak bicara denganmu,” sela Gayle. “Kau bukan cowok
seperti yang kukira semula, Marty. Kau tidak akan lolos dari
kesalahanmu ini.” Sejenak Gayle memelototiku dengan dingin, lalu
berbalik dan berderap keluar, dengan Riki di sampingnya.

Dwayne dan Barry bergegas menjauh. Kuawasi mereka membuang


bangkai kucing tersebut ke dalam tong sampah di belakang
gimnasium.

Aku merasa dingin. Kubayangkan tatapan dingin Gayle sekali lagi.


Begitu marah. Begitu jijik.

Membunuh kucing tersebut merupakan kecelakaan. Kejadian yang


sangat memalukan, kuakui. Tapi yang benar saja—apa sebenarnya
yang menjadi masalah Gayle? Mengapa ia begitu membesar-
besarkan kejadian ini?

Tentu saja, siang itu aku tidak tahu betapa jengkelnya Gayle. Dan
aku tidak mungkin bisa mengetahui bahwa kematian kucing
gelandangan itu baru merupakan kematian pertama.

Yang lain-lain akan mati sebelum tahun pelajaran kali ini berakhir.
27 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
6
AKU tiba di sekolah hari Rabu pagi dengan tekad bulat untuk
berbicara dengan Gayle. Gayle selama ini merupakan teman yang
baik. Pendapatnya penting bagiku.

Aku merasa jengkel sewaktu tiba di rumah semalam, aku bahkan


tidak bisa memberitahu orangtuaku tentang apa yang sudah terjadi.
Kami merupakan keluarga yang cukup dekat, tapi kejadian ini benar-
benar menyebabkan aku terguncang.

Hujan tercurah dari langit sewaktu aku memarkir mobil ibuku di


tempat parkir SMA Shadyside. Dengan tertatih-tatih aku
menyeberangi jalan menuju pintu depan.

Sebuah Saturn kelabu berhenti di tepi jalan, dan Lydia James


melompat turun. Ia menutupi kepalanya dengan ransel.

“Hai, Lydia,” panggilku.

Lydia berpaling, melihatku, lalu membuang muka. Ia berlari- lari


menaiki tangga di depanku.

Saturn kelabu tersebut melaju pergi dengan membawa Mrs. James di


belakang kemudi. Ibu Lydia tersebut memelototiku sewaktu berlalu
memasuki lalu lintas.

Whoa! pikirku. Aku pernah melakukan kesalahan apa terhadapnya?

Aku berlari menaiki tangga, mengejar Lydia, dan berhasil


menangkap pintu tepat sebelum menutup.

28 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Lydia?” ulangku. “Aku menyapamu.”

Ia berbalik dan menatapku dengan pandangan benci.

Dua gadis tertawa kecil sewaktu berpapasan dengan kami. Lydia


bergegas menuju kelasnya.

Kami berdua terlambat, jadi aku tidak berani mengejarnya. Lagi pula,
pada saat ini aku sudah menduga apa yang sedang terjadi.

Gayle.

Jelas Gayle telah memberitahu beberapa teman kami. Tapi apa yang
diberitahukannya?

Bahwa aku seorang pembunuh kucing?

Bagaimana mereka bisa mempercayai bahwa aku mampu melakukan


tindakan sekejam itu?

Dan siapa yang akan diberitahu Gayle setelah ini? Apa ia akan
menulis tentang kejadian ini dalam koran sekolah?

Aku mendesah dan tertatih-tatih menyusuri lorong. Aku


menghindari segerombolan murid lain yang juga terlambat. Pintu
ruang kelasku terbuka. Aku bisa mendengar suara-suara dari dalam.

Bel berdering tepat pada saat aku masuk ke dalam. Sebagian besar
murid lainnya masih berdiri sambil bercakap-cakap.

Hari ini baru benar-benar dimulai setelah guru kelas kami, Mrs.
Howe, memerintahkan kami untuk duduk dan diam.

29 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Kau terlambat, Marty,” tegur Mrs. Howe dengan ketus. Aku benar-
benar terkejut. “Maaf, Mrs. Howe,” kataku.

“Oh, duduk sajalah,” perintahnya. “Kau beruntung aku tidak


menghukummu.”

“Menghukum?” tanyaku. “Apa yang sudah ku...?” “Duduk!”


sentaknya.

Ia memelototiku hingga aku berjalan ke mejaku dan duduk. Pada


waktu itu semua anak lainnya telah duduk di kursi masing-masing.

“Kau seharusnya malu pada dirimu sendiri,” gumam Mrs. Howe


sewaktu berjalan melewati mejaku.

Mataku membelalak. Jadi, itu sebabnya! Mrs. Howe sudah


mendengar bahwa aku membunuh kucing bodoh itu.

Gayle sudah bekerja dengan cepat.

Aku melirik ke sekeliling kelas, mencari-cari dukungan. Ada


beberapa anak yang mencibir, tapi yang lainnya tampak marah.
Sebagian besar gadis-gadis mengerutkan kening ke arahku.

Hebat, pikirku. Aku tidak akan pernah bisa berkencan dengan gadis
dari SMA Shadyside lagi!

“Gayle sudah keterlaluan,” kataku kemudian kepada Dwayne dan


Barry di ruang makan. “Dwayne, adik perempuanmu bahkan tidak
mau menyapaku di lorong, sesudah istirahat kedua. Semua orang di
sekolah menganggapku semacam orang sinting pembunuh kucing!”
Barry melalap roti isinya seakan-akan tengah kelaparan.
30 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Dwayne dan aku menyantap hamburger hockey-puck. Kemeja
Hawaii oranye dan biru Dwayne ternoda saus.

“Kau tahu,” gumam Dwayne dengan mulut dipenuhi hamburger,


“hamburger ini rasanya mirip kucing.” Barry tertawa terbahak-
bahak.

“Ayolah, guys,” pintaku. “Beri aku kesempatan. Ini serius.” Mereka


mencoba mengendalikan diri. Barry menanggalkan kacamatanya dan
menggosok matanya, menyapu air mata karena tawanya.

Dwayne berusaha meredakan napas. Lalu mereka saling melirik, dan


kembali terbahak- bahak.

Pertunjukan mereka mulai menarik tatapan murid-murid lainnya,


juga para wanita di belakang meja makan siang.

“Oh, ini benar-benar keterlaluan!” bisikku marah.

“Oke, oke,” kata Barry menyetujui. “Kau benar, Marty. Gayle sudah
keterlaluan. Tapi apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?”

“Barry benar, man,” kata Dwayne. “Kami sudah memberitahukan


kejadian sebenarnya pada semua orang, tapi tampaknya tidak ada
yang ingin mengetahui kebenarannya.”

“Hei, Marty, apa kau tahu bahwa Gayle adalah presiden Klub Hak-
Hak Hewan?” tanya Barry.

“Aku baru tahu tadi pagi,” kataku menggerutu. “Dia mungkin juga
satu-satunya anggota. Sekarang berani taruhan dia sudah merekrut
separuh sekolah.”
31 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Sesudah makan siang, aku menuju kelas. Kulihat segerombolan anak
berkumpul di depan salah satu papan pengumuman di luar kantor
pembimbing.

Aku berdiri di belakang kelompok tersebut dan menjulurkan leherku


untuk melihat poster yang sudah menarik perhatian semua orang.
Saat membacanya, perutku terasa melilit.

Dengan huruf-huruf hitam besar, poster tersebut bertuliskan:


KEKEJAMAN TERHADAP HEWAN! Poster itu mengumumkan
akan diselenggarakan pawai minggu depan. Kulihat namaku
dicantumkan dalam poster tersebut. Tepat di atas foto hewan-hewan
yang dilecehkan dan disiksa, foto-foto yang menjijikkan.

Sementara aku berdiri dan shock, seorang gadis di depanku


berpaling. Matanya membelalak sewaktu mengenaliku. Dengan cepat
ia menyiku cowok di sebelah kanannya. Sebelum aku menyadari apa
yang terjadi, paling sedikit dua puluh orang murid yang marah telah
menatapku.

Aku merasa begitu malu, hingga tidak mengatakan apa pun untuk
membela diri. Aku hanya berbalik dan melangkah pergi.

Bagaimana mungkin Gayle tega berbuat begini padaku? Dalam


semalam ia sudah menjadikan diriku anak yang paling dibenci di
sekolah, dengan satu gosip yang tidak benar.

Lalu pikiran yang mengerikan melintas di benakku “Oh, tidak.” Aku


tersentak. “Kalau kejadian ini masuk ke dalam catatan sekolahku,
tidak mungkin aku bisa mendapatkan beasiswa itu!”
32 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Aku harus bertindak. Tapi apa? Kemudian kutemukan Gayle dan
Riki bersama setengah lusin gadis lainnya dan dua cowok dari regu
lari.

“Gayle, kita harus bicara,” kataku. “Kau harus berhenti menyebarkan


berita bohong tentang diriku.”

“Kalian mendengar sesuatu?” tanya seorang gadis berambut pirang


dengan sok.

Gayle tidak mengacuhkanku.

“Ayolah, Gayle, kita masih berteman sampai kemarin,” pintaku.


“Benar, Marty,” jawabnya dingin. “Kita dulu teman. Sampai
kemarin.”

“Baik! Itu maumu?” teriakku. “Kau benar-benar menyebalkan,


Gayle.”

Salah seorang cowok, Aaron Hatcher, mulai mendekatiku. “Mundur,


Aaron,” sergahku. “Ini bukan masalahmu.”

“Ya, Aaron, jangan ikut campur,” kata Gayle menyetujui. “Kalau


tidak, dia mungkin akan memperlakukanmu sama seperti kucing itu.”

“Oh, man...” Aku mengerang. Aaron menyambar lenganku. Kalau


Dwayne dan Barry tidak berada di sana untuk menyeretku pergi, aku
mungkin sudah memukulnya.

“Tenang, Marty,” bisik Barry di telingaku. “Kau ingin diskors? Kau


tidak bisa menanggungnya, dan juga regu basket kita tidak bisa
menanggungnya.”
33 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Bye, Marty,” kata Gayle sambil mencibir. “Kau akan mendengar
kabar dariku tidak lama lagi.”

“Kukira teman seharusnya saling mempercayai!” seruku padanya.

Ia tidak mengacuhkannya.

Riki hanya berdiam diri. Sekarang ia melangkah mendekatiku. Ia


meraih lenganku dan mengajakku keluar dari gimnasium ke lorong
yang berubin.

“Kau mau apa di dalam tadi?” tuntut Riki. “Apa keadaannya belum
cukup buruk tanpa dibantu tindakanmu yang seperti orang bodoh
itu?”

“Kau benar. Tapi juga...,” aku tergagap.

“Kalau kau menutup mulut, mungkin kau bisa bermain basket lagi
minggu depan. Kau tampaknya sudah bisa berjalan dengan baik,”
katanya, mengamatiku dan mengubah topik pembicaraan.

“Well, lututku masih lemah,” kataku mengakui. “Pelatih tidak akan


mengizinkan aku ikut bertanding minggu ini. Tapi minggu depan
aku akan bertanding.”

“Kalau kau menjaga sikapmu,” katanya. “Yeah.” Aku mendesah.

Orang-orang melewati kami dalam perjalanan mereka ke kelas


masing-masing. Beberapa orang menatapku. Aku selalu suka menjadi
pusat perhatian di lapangan basket. Tapi ini berbeda. Aku tidak
menyukainya sama sekali.

34 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Ayolah, Riki. Apa kau tidak bisa bicara pada Gayle untukku? Aku
tahu kau dan aku bukan teman terbaik, tapi kaulihat apa yang
dilakukannya padaku.”

“Aku tidak suka memberitahumu hal ini,” jawabnya. “Tapi aku


berpihak pada Gayle. Kupikir kau sudah sinting, memperlakukan
kucing seperti itu. Kurasa kau layak dihukum. Tapi aku tidak ingin
regu kita gagal dalam pertandingan karena dirimu.”

“Aku tidak tahu apa pendapatmu tentang kejadian di atas panggung


penonton itu,” kataku. “Tapi aku tidak pernah...”

Ekspresi shock Riki yang begitu tiba-tiba menyebabkan aku


menghentikan kata-kataku di tengah-tengah kalimat. Pandangannya
terpaku ke wajahku. Aku mengangkat tanganku dan menyentuh
pipiku. Kuturunkan lagi tanganku dan menatap jemariku. Jemariku
basah dan merah.

Karena darah.

35 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
7
“MARTY, kau berdarah!” jerit Riki.

“Yeah, bisa kulihat,” jawabku tajam. “Kucing itu mencakarku


kemarin di sini. Kukira lukanya sudah menutup. Aku pasti tidak
sengaja membuatnya terbuka lagi, entah bagaimana.”

“Kurasa begitu,” kata Riki.

“Nanti kita bicara lagi,” kataku padanya. Aku pergi ke kamar kecil
tanpa menunggu jawaban. Kusiramkan air ke wajahku, lalu
mengeringkannya dengan tisu. Kusambar tisu baru dan
menyentuhkannya dengan lembut ke keningku.

Setelah satu-dua menit, pendarahannya berhenti. Aku tidak tahu apa


yang sudah kulakukan hingga lukaku kembali terbuka. Tapi aku
yakin nanti pasti sembuh. Sewaktu keluar dari kamar kecil, aku
melihat Coach Griffin. Ia berdiri di balik pintu kantin, mencari-cari
seseorang. Aku tidak ingin berbicara dengan Coach pada waktu itu.
Aku berbalik dan bergegas menuju lokerku.

“Harper!” panggil Coach Griffin. Ia sudah melihatku. “Kemarilah


sebentar.” Dengan enggan aku berbalik menghadapinya. Coach
Griffin berjalan mendekatiku.

“Yeah, Coach?” tanyaku. “Ada apa?”

Tatapannya tajam menusukku. “Kurasa kau tahu ada apa, Marty,”


jawabnya.

36 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Jangan sampai dia juga terpengaruh, pikirku. “Coach, kalau ini
tentang kucing itu...”

“Ya?” Kuceritakan kejadiannya menurut versiku. Bagaimana aku


hendak jatuh dan tanpa sengaja melepaskan kucing itu.

Coach Griffin memelototiku. “Marty,” katanya dengan kaku, “apa kau


sadar bahwa ceritamu itu terdengar lemah?”

“Well, yeah, kurasa begitu,” kataku mengakui. “Tapi, Coach, itulah


yang terjadi. Aku tidak akan membunuh hewan. Anda tahu, aku
sendiri memiliki hewan peliharaan.”

Ia menatapku sesaat lebih lama, lalu ekspresi wajahnya berubah.


“Aku percaya,” katanya. “Sebagian besar guru dalam gedung ini juga
merasa begitu. Tidak ada yang ingin menganggapmu bisa sekejam
itu.”

“Tidak, Coach,” kataku bersikeras. “Aku bersumpah. Tapi kuharap


Mrs. Howe juga sependapat dengan Anda.”

“Masalah sebenarnya bukan pada guru-guru,” kata Coach padaku.


“Masalahnya anak-anak lainnya. Dan yang lebih penting lagi,
orangtua mereka.”

“Hah?” kataku. “Ada apa dengan orangtua mereka?”

Coach Griffin mengerutkan kening. “Kalau berita ini dimuat di


koran, sekolah akan tampak sangat buruk. Kau tahu. Sekolah harus
memikirkan citranya di mata publik.”

37 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Aku memikirkan beasiswa akademiku. Aku melihatnya terbang ke
luar jendela. Aku tiba-tiba merasa mual.

“Aku egois, Marty,” Coach Griffin mengakui. “Aku hanya


memikirkan regu basketku. Dan artikel buruk apa pun di koran akan
berarti sangat buruk bagi regu basket.” Ia mengerutkan kening.
“Menurut isu yang kudengar, kau benar-benar membunuh kucing
itu. Dan Dwayne dan Barry membantumu.”

“Apa maksud Anda, Coach?” tanyaku dengan gugup. “Anda mau aku
mengundurkan diri dari regu?”

Kerutan di kening pelatih itu bertambah dalam. “Tidak, Marty. Aku


ingin kau kembali bergabung secepat mungkin. Masalahnya, Klub
Hak-hak Hewan membesar-besarkan kejadian ini. Kalau kau ingin
ikut bertanding minggu depan, well...”

“Apa, Coach?” desakku. “Apa yang harus kulakukan? Aku bersedia


melakukan apa saja.”

“Kepala Sekolah memintaku bicara denganmu. Dia ingin kau


menghadapi tuduhan klub di Sidang Murid besok.”

“Tapi itu tidak benar!” protesku. “Anak-anak di Sidang Murid teman-


teman Gayle semua. Kalau aku disidang, mereka akan menyantapku
hidup-hidup!”

“Mereka akan bersikap adil,” jawab Coach Griffin pelan. Tapi aku
tahu mereka tidak akan bersikap adil. Aku tahu aku akan hancur.

38 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
8
SIDANG MURID mengadakan pertemuan di gimnasium keesokan
harinya, sewaktu makan siang.

Bagian perawatan membawa meja guru untuk hakim. Meja tersebut


diletakkan di bawah keranjang seberang, menghadap ke panggung
penonton. Di sampingnya terdapat kursi kayu yang digunakan
sebagai tempat saksi.

Aku duduk di sebuah kursi yang mirip, menghadap ke meja hakim.


Semua orang lainnya duduk di panggung penonton.

Banyak murid dan guru yang hadir. Aku mencari-cari di antara


mereka dan merasa lega sewaktu melihat orangtuaku tidak ada di
sana.

Semalam aku sudah memberitahu mereka tentang seluruh kejadian-


nya. Mereka sangat memahami. Mereka menawarkan untuk hadir
dalam Sidang Murid hari ini dan menunjukkan dukungan mereka
padaku.

Aku merasa bersyukur. Tapi kukatakan aku bisa menanganinya


sendiri.

Tapi apa benar?

Duduk di sana, di hadapan semua orang, sulit kupercayai betapa


gugup perasaanku. Kedua tanganku sedingin es. Mulutku terasa
begitu kering, sehingga aku terus-menerus menelan ludah.

39 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Aku penasaran, apakah semua orang bisa melihat betapa tegangnya
diriku.

Aku menyilangkan kaki. Mencoba tampak tenang. Bagaimanapun,


aku tahu aku tidak bersalah.

Tapi apakah Sidang Murid akan menganggap demikian pula? Dan


kalau mereka memutuskan aku bersalah, apa hukumanku nanti?

Riki dipanggil terlebih dulu. Ia tampaknya juga gugup. Tapi ia


menceritakan kejadiannya menurut versinya dengan sederhana.

Dwayne dan Barry mendapat giliran berikutnya. Mereka bersaksi


dengan baik, dan ini mengejutkan. Dwayne bahkan tidak bergurau.
Dan Barry menceritakan pada semua orang betapa aku sangat
sayang pada anjingku, dan bahwa aku tidak pernah menyakiti hewan.

Aku selalu menganggap Sidang Murid ini sebagai lelucon. Tapi tiba-
tiba aku harus menganggapnya sangat serius.

Reputasi dan karier akademiku tergantung dari sidang ini.

Sesudah itu, Mrs. Howe meminta Gayle maju ke depan. Aku berhenti
mendengarkan. Paling tidak, kucoba untuk tidak mendengarkan.
Tapi setelah semenit, aku tidak tahan lagi.

“... dia menyambarnya, dan melemparkannya dari atas panggung


penonton,” kata Gayle. “Lalu dia dan Dwayne dan Barry mengayun-
ayunkannya, menggoda kami. Lalu aku pergi.”

“Itu tidak benar!” teriakku sambil melompat bangkit dari kursiku.


Suaraku serak.
40 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Dua orang anak tertawa. “Duduk, Martin,” perintah Mrs. Howe.

“Tapi aku...”

“Martin. Duduk. Kau akan mendapat giliranmu nanti.”

Aku kembali duduk. Akhirnya aku mendapat kesempatan untuk


menceritakan kejadiannya menurut versiku. Aku ditanyai oleh
seorang gadis bernama Jessica Wells. Ia bertindak sebagai pengacara
untuk Klub Hak-hak Hewan. Aku juga memiliki pengacara. Ia akan
mendapat kesempatan menanyaiku sesudah Jessica selesai.

“Jadi, Marty, kau mengaku tidak menggoda Gayle dengan bangkai


kucing. Dan kau tidak membuang bangkai itu ke tong sampah?”
tanya Jessica, mencoba terdengar seperti pengacara sejati.

“Sepenuhnya,” kataku. “Kau sudah mendengar kisah yang sama dari


Barry dan Dwayne. Bahkan dari Riki! Aku tidak pernah
menyentuhnya lagi sesudah...”

“Sesudah apa?” tuntut Jessica. “Kapan kau terakhir kali menyentuh


kucing itu?”

“Well, sewaktu aku menjatuhkannya,” kataku.

“Sewaktu kau menjatuhkannya?” tanya Jessica keras-keras. “Aku


mengerti. Ada satu pertanyaan lagi.”

“Oke,” gumamku.

“Apa kau pernah memberitahu teman-temanmu bahwa kau akan


'menyingkirkan' kucing itu?” tanya Jessica.

41 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Bisikan-bisikan dan napas tersentak memenuhi auditorium. “Well,
ya. Ya. Kurasa aku memang pernah mengatakannya. Tapi... tapi yang
kumaksudkan adalah...”

Tidak ada yang mendengarkan sekarang. Semua orang berbicara dan


berbisik-bisik sendiri.

Juri berada di luar gimnasium selama lima belas menit. Sewaktu


mereka masuk kembali, beberapa orang di antaranya bahkan tidak
bersedia memandangku.

Tapi mereka tetap saja menyebabkan aku terkejut.

“Juri memutuskan bahwa terdakwa, Martin A. Harper, tidak bersalah


untuk tuduhan pembunuhan terhadap kucing itu,” Carey Donovan
membacakan keputusan mereka.

Kudengar erangan dan sentakan napas terkejut dari panggung


penonton. Dua orang anak bertepuk tangan.

Aku mengembuskan napas panjang, lega.

“Tapi, dalam hal kekejaman terhadap hewan, juri memutuskan kau


bersalah sepenuhnya,” lanjut Carey membacakan keputusan mereka.

Lalu ia melirikku. “Menjijikkan.” “Hei!” protesku.

“Cukup, Carey,” Mrs. Howe menegurnya. “Terima kasih. Terima


kasih pada kalian semua karena sudah menganggap serius acara ini,
dan karena sudah melakukan pekerjaan dengan begitu bertanggung
jawab.”

42 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Mrs. Howe membungkuk di atas mejanya. “Martin, karena kau
diputuskan bersalah atas kekejaman, kau harus melakukan layanan
masyarakat selama tiga puluh jam di Tempat Penampungan Hewan
Shadyside. Hukumanmu akan dimulai minggu ini.”

Tiga puluh jam?

Dengan belajar dan bermain basket, aku tidak bakal punya waktu
luang semenit pun selama berminggu-minggu!

Aku hendak memprotes. Tapi lalu aku melihat sesuatu bergerak di


bawah panggung penonton.

Aku melihat ada bayang-bayang yang bergerak.

Sebuah sosok gelap yang menyelinap dari bawah bangku. Sepasang


mata hijau memelototiku dari kedua sisi bercak hitam berbentuk
berlian.

“Oh, tidaaak,” kataku mengerang.

Kucing itu. Kucing kelabu keperakan itu.

43 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
9
“KUCINGNYA—kucingnya di sana!” kataku dengan suara tercekik.

Aku menunjuk ke sepasang mata hijau kemilau di bawah bangku.


“Kucingnya—masih hidup!” Aku melompat bangkit. Kedua kakiku
gemetar sewaktu aku melesat ke panggung penonton. Beberapa anak
lainnya berlompatan bangkit. Mereka mengintip ke bawah tempat
duduk. Kudengar tawa riuh. Banyak yang melontarkan tatapan
kebingungan.

“Tidak ada kucing di sana!” kata seseorang.

“Apa ini yang kaulihat?” tanya seorang gadis. Ia mengambil


sepasang sepatu sneaker tinggi dari bawah kursinya.

“Tadi ada!” kataku bersikeras, sambil masih tetap menunjuk ke


tempat tadi aku melihatnya. “Sungguh!”

“Cukup, Marty,” bentak Mrs. Howe. “Hentikan. Ini tidak lucu.”

“Anda benar,” kataku menyetujui. “Ini sama sekali tidak lucu.”

®LoveReads

Siang itu aku membawa buku sejarahku sewaktu berlatih. Aku duduk
di tepi lapangan, membaca tugasku. Ujian akhir sudah semakin
dekat. Kurasa sebaiknya aku belajar mulai sekarang. Sebagaimana
biasa, ada beberapa gadis yang tengah duduk di panggung penonton

44 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
di belakangku, mengawasi latihan. Salah satunya adalah Jessica
Wells. Ia turun dan duduk di sampingku. Ia sangat manis, dengan
mata hijau cemerlang yang selalu berkilau-kilau, senyum memesona,
dan rambut cokelat lurus. “Hei.”

“Hei.”

“Aku mau minta maaf,” katanya. “Menjadi pengacara dalam Sidang


Murid merupakan keharusan untuk mata pelajaran studi sosial.
Kemarin giliranku. Aku tidak ingin menyebabkan kau mendapat
masalah apa pun.”

“Wow,” jawabku. “Terima kasih banyak. Sebagian besar orang


bahkan tidak bersedia tertangkap basah bercakap-cakap denganku
sekarang ini. Karena aku ini pembunuh kucing yang sangat jahat.”

Ia mengerutkan kening. “Aku senang mereka memutuskan kau tidak


bersalah atas tuduhan itu.” Para T'igers berderap ke sana kemari,
melintasi lapangan. Tapi saat menatap mata hijau Jessica, aku
hampir-hampir tidak ingat mereka berada di sana.

“Yo, Harper!” seru Dwayne. Sewaktu berpaling ke lapangan, kulihat


ia dan Barry mengacungkan jempol masing-masing.

Aku tertawa, begitu pula Jessica. Bagus. Lalu aku melihat Riki. Ia
berdiri di dekat pintu ganda gimnasium yang terbuka, memelototi
diriku dan Jessica. “Hei!” panggilku pada Riki. Aku tersenyum dan
melambai memanggilnya, sebagaimana yang biasa kulakukan pada
temanku yang mana pun.

45 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Hai, Riki!” panggil Jessica. Riki berbalik dan berderap keluar dari
gimnasium. Punggungnya tampak kaku karena marah.

“Ada apa dengan dia?” tanya Jessica.

Aku benar-benar tidak ingin membicarakannya. Tapi kupikir


jawaban yang hanya separuh masih lebih baik daripada tidak ada
jawaban sama sekali.

“Kami keluar bersama-sama dua kali,” kataku mengakui. “Dia tidak


tahu kenapa aku tidak lagi meneleponnya.”

“Kenapa?” tanya Jessica.

Aku tidak siap untuk mendapat pertanyaan tersebut. “Entahlah,”


jawabku akhirnya. “Kurasa aku cuma tidak ingin berhubungan serius
dengan dia, atau apa pun.”

Jessica dan aku duduk menyaksikan latihan basket dalam kebisuan.


Reguku bermain dengan baik. Kurasa mereka bisa menang tanpa
kehadiranku dalam pertandingan besok malam.

Sewaktu teman-temannya turun dari panggung penonton dan


menuju pintu, Jessica bangkit berdiri. “Well, teman-temanku sudah
pergi. Sebaiknya aku mengejar mereka.” Ia mendesah.

Kuucapkan selamat tinggal dan berterima kasih untuk kata-kata


manis yang diucapkannya tadi. Lalu kuambil buku pelajaranku dan
membacanya. Beberapa menit kemudian kudengar jeritan lirih.

Sewaktu mendengarnya lagi, aku tahu jeritan tersebut suara seekor


kucing.
46 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
10
SAMBIL menjerit terkejut, aku melompat naik ke atas kursi.
“Ngeooong! Hssssss!”

Aku berbalik—dan melihat tiga orang gadis, kurang-lebih selusin


anak tangga di atasku. Mereka tengah tertawa-tawa. Apa mereka
yang tadi menirukan suara kucing? Kenapa semua orang bersikap
sekejam ini?

Setelah latihan, Coach Griffin mendekatiku.

“Kau seharusnya lebih memusatkan perhatianmu pada latihan,


Marty,” katanya memarahi. “Aku ingin umpan balikmu, bagaimana
caranya mengatasi absennya dirimu.”

“Mudah, Coach,” jawabku. “Pindahkan Lenny ke tengah, biarkan


Dwayne dan Barry yang jnenyerang maju. Yang bertugas menjaga
sudah cukup bagus.”

Coach Griffin tersenyum. “Hmm, ternyata kau memperhatikan juga.”

“Agak,” jawabku.

“Dengar, Marty, aku ingin kau tahu bahwa tindakanmu hari ini
sudah benar, membela diri seperti itu. Sidang Murid menjadikanmu
teladan.”

Ia menggeleng. “Kurasa itu tidak adil. Akan kucoba memperingan


hukumanmu. Kau harus beristirahat untuk bisa ikut bertanding hari
Jumat yang akan datang.”

47 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Aku akan baik-baik saja, Coach,” kataku berjanji. “Lagi pula, aku
sudah memikirkannya. Aku memang tidak membunuh kucing itu,
tapi mungkin aku agak kejam terhadapnya. Sudah seharusnya
kuterima hukuman itu dan melakukan kerja tiga puluh jam penuh.”

Coach Griffin membelalak terkejut. “Kau anak yang baik, Marty,”


bisiknya. “Tapi kalau kau memberitahu siapa pun apa yang baru saja
kukatakan, latihanmu setiap hari akan menjadi siksaan pribadi
sampai musim pertandingan berakhir.”

Aku meringis. “Trims, Coach.”

Malamnya, setelah makan malam, aku belajar sejarah hingga lewat


pukul sepuluh. Teddy, anjing shar-pei-ku, tidur nyenyak di
ranjangku. Sesekali ia mengangkat kepala dan menggoyang-
goyangkan tubuhnya yang bagai beludru keriput.

Setelah sejarah terasa tidak masuk akal lagi bagiku, kucoba belajar
trigonometri.

Setiap beberapa menit, aku memikirkan kejadian selama tiga hari


terakhir. Tentang Jessica Wells, dan tentang komentar Coach
Griffin.

Aku juga banyak memikirkan Gayle dan Riki, dan kucing bodoh
yang malang itu.

Dan aku juga memikirkan saat mengira melihat kucing tersebut di


bawah panggung penonton selama Sidang Murid. Dan tentang
mendengar dengkuran dan desisannya sewaktu regu basket berlatih.

48 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Apa aku hanya mengada-ada?

Apa anak-anak melontarkan lelucon keji padaku?

Telepon berdering, mengejutkanku. Aku melirik jam sambil meraih


tangkai telepon. Saat itu pukul sebelas lewat lima belas.

“Halo?” Sunyi.

“Siapa ini?” tanyaku.

Lalu kudengar seseorang bernapas. Tidak berat, seperti yang biasa


dilakukan orang iseng di telepon. Napas orang ini lembut.

“Halo? Siapa ini?” kataku sekali lagi. Kubanting tangkai telepon.

Jantungku berdetak kencang di telingaku. Telepon kembali


berdering.

Aku menatapnya. Telepon berdering lagi.

Aku menelan ludah dengan susah payah.

Pada deringan ketiga, kuangkat telepon tersebut.

“Kau akan membayar, Marty,” bisik seorang wanita dengan suara


serak. “Kaudengar? Kau akan membayar perbuatanmu!”

“Hei—siapa ini?” jeritku.

Lalu aku mengenali suara tersebut.

49 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
11
“ADA apa denganmu, Riki?” tanyaku dengan marah. “Ada apa
denganmu?” balas Riki.

“Untuk terakhir kalinya, aku tidak membunuh kucing itu!” kataku.

“Aku bukan menelepon tentang kucing!” kata Riki. “Aku tahu apa
yang sudah kaulakukan, jerk! “

Aku mengempaskan diri ke ranjang, di samping Teddy. Sambil


mendesah, aku menatap ke luar jendela.

“Aku mau tidur, Riki. Kenapa tidak kaukatakan saja alasanmu


berteriak-teriak padaku di tengah malam? Lalu kita berdua bisa
menutup telepon dan aku bisa istirahat.”

Awan melayang menutupi bulan. Aku membenamkan kepalaku ke


bantal dan menatap ke langit.

“Well, Riki?” kataku mengulangi.

“Kau sibuk menggoda Jessica Wells, lalu melambai padaku, seakan-


akan segalanya baik-baik saja!”

“Oh, man.” Aku mendesah dan memejamkan mata karena frustrasi.


“Kenapa kau harus peduli dengan siapa aku bicara? Untuk terakhir
kalinya, aku bukan pacarmu, Riki. Lagi pula, kukira kau membenciku
sekarang. Kau tahu, karena sudah membunuh kucing itu.”

“Jessica hanyalah penghinaan terbaru bagiku,” katanya.

50 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Kudengar kau juga tertarik pada Kit Morrissey.”

“Please,” kataku sambil mengerang. “Cowok macam apa di Shadyside


yang tidak tertarik pada Kit?”

“Dan,” lanjut Riki, “hari ini Gayle memberitahuku bahwa dia


melihatmu keluar bersama Lisa Greene pada malam kau
membatalkan acaramu denganku. Katamu kau sakit.”

Riki mengerang. “Kau pembohong, Marty. Aku tidak tahan


dibohongi lebih lama lagi.”

Apa yang bisa kukatakan?

Riki memang benar. Sekalipun begitu, aku harus mengatakan sesuatu


agar ia mau menutup teleponnya.

“Kau tahu, Riki?” kataku. “Kau benar. Aku keluar bersama Lisa
malam itu. Kami tidak bersenang-senang, tapi kau tidak peduli
tentang itu. Aku berbohong padamu karena kurasa lebih baik begitu
daripada menyakiti perasaanmu.”

Aku menghela napas. “Mungkin sebaiknya aku tidak memedulikan


perasaanmu,” lanjutku. “Tapi kuharap kita bisa berteman. Kurasa aku
keliru.”

“Sejak dulu pun kau selalu keliru!” teriaknya begitu keras, hingga aku
terpaksa menjauhkan telepon dari telingaku.

“Oh, kau benar-benar cowok yang peka, Marty, tidak ingin menyakiti
perasaanku,” jeritnya. “Kalau kau tidak ingin menyakiti perasaanku,

51 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
kau seharusnya tidak membohongiku sejak awal! Aku benci padamu.
Aku benar-benar benci padamu!”

“Terserah,” jawabku.

Riki membanting teleponnya.

Aku menatap ke langit, membiarkan nada panggil berdengung di


telingaku.

®LoveReads

Di sekolah keesokan harinya, aku mengurusi urusanku sendiri.

Aku tidak lagi tertarik untuk berdebat dengan siapa pun tentang
kucing yang telah mati itu.

Sebagian besar anak-anak bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.


Kehidupan boleh dikatakan sudah kembali normal.

Pada akhir hari itu, aku sudah merasa jauh lebih baik. Lututku yang
sakit masih terasa berdenyut-denyut, tapi suasana hatiku sudah baik.
Mungkin seluruh kejadian mengerikan itu sudah benar-benar
berlalu.

Setelah makan malam, ayahku menurunkanku di belakang sekolah


untuk mengikuti pertandingan basket. Aku tertatih-tatih memasuki
pintu belakang, menuju ruang loker. Coach Griffin menyapaku.

Aku berdiri di pintu yang menuju gimnasium dan mendengarkan ia


menyampaikan ceramah kecilnya seperti biasa. Sewaktu regu basket

52 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
berlari-lari melewati diriku, banyak di antaranya yang menepuk
bahuku atau melontarkan ibu jari ke arahku.

Para penonton seketika riuh ketika kami memasuki gimnasium. Tapi


suara lain segera terdengar di antaranya.

Suara erangan kucing. Regu lawan tengah mengejekku. Aku merasa


begitu malu dan marah. Aku menunduk dan berharap bisa berada di
tempat lain selain di gimnasium ini.

Dwayne berteriak menyuruh mereka menutup mulut. Barry, Kevin,


dan beberapa anggota regu basket lainnya juga berteriak- teriak.

Tapi regu lawan tidak berhenti, hingga Coach Griffin menyeberangi


lapangan dan membisikkan sesuatu kepada pelatih mereka.

Tidak lama setelah itu, suara kucing berhenti.

Saat pertandingan dimulai, kudengar lebih banyak lagi yang


menirukan suara kucing dari panggung penonton. Kucoba untuk
tidak mengacuhkannya dan memusatkan perhatian pada
pertandingan.

Tapi tidak semudah itu.

Pada saat istirahat paruh waktu, sebuah tangan lembut menyentuh


bahuku.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Jessica Wells.

“Aku baik-baik saja.” Aku mendesah. “Seandainya aku tahu siapa


yang masih menyebarkan cerita tentang kucing itu.”

53 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Ia angkat bahu. “Mungkin Gayle.”

“Siapa lagi?” jawabku.

“Kau tahu,” katanya, “kurasa mereka mengolok-olokmu bukan karena


kau sudah membunuh kucing itu.”

“Apa ada alasan lain?” tanyaku.

“Kurasa mereka mengolok-olokmu karena kau agak ketakutan


sewaktu Sidang Murid kemarin. Kau tahu, sewaktu kau mengatakan
melihat kucing.”

“Aku memang melihat kucing,” kataku bersikeras. Jessica menatapku


dengan tajam.

“Aku tidak tahu apa yang kulihat itu kucing yang sama,” tambahku.
“Tapi tampaknya mirip sekali. Entahlah. Aku cuma ingin masalah
kucing bodoh ini berlalu.”

“Pasti, Marty,” katanya berjanji. “Gayle dan Klub Hak-hak

Hewan sudah mengorganisir pawai antikekejaman terhadap hewan.


Tapi setelah acara itu selesai... Sabar sajalah.”

“Yeah. Sabar,” gumamku.

“Nah,” katanya dengan nada ringan, “kudengar kau berkencan


dengan Lisa Greene.”

Aku tersenyum.

“Ada yang lucu?” tanyanya.

54 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Agak,” kataku mengakui. “Aku heran melihat cepatnya isu
menyebar di sekolah ini.”

“Jadi, kau tidak berpacaran dengan Lisa?”

“Kami pernah jalan-jalan bersama,” jawabku. “Tapi hanya itu saja.


Kami cuma berteman.”

Jessica tersenyum. “Bagus.”

Kami saling tersenyum. Lalu sama-sama menunduk.

Tapi aku tetap tersenyum. Orang-orang boleh menggodaku sesuka


hati, selama gadis-gadis seperti Jessica tetap tersenyum padaku.

®LoveReads

Aku baru pulang menjelang pukul sepuluh malam. Aku ingin


merebahkan diri di ranjang dan tidak membuka mata hingga pagi
hari. Tapi aku tahu tidak akan sempat belajar banyak selama dua
malam di tempat penampungan hewan besok.

Aku duduk di depan mejaku. Kubuka buku pelajaran matematikaku


dan mulai membaca.

“Hah?”

Aku melompat ketika mendengar beberapa ekor kucing menjerit.

Sekarang dengan kesadaran penuh aku merangkak menyeberangi


ranjang ke jendela dan mengintip ke luar.

55 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Aku tidak bisa melihat mereka, tapi dalam kegelapan di luar sana,
dua ekor kucing tengah berkelahi. Jeritan-jeritan mereka terdengar
mengerikan—dan sangat dekat dengan rumah.

Sambil berlutut di ranjang, kututup jendelanya. Tidak membantu.

Aku masih tetap mendengar perkelahian mereka, masih mendengar


mereka saling mengeong mengancam dan mendesis-desis.

Akhirnya kudengar raungan memekakkan telinga. Lalu sunyi.

“Whoa.” Aku mendesah.

Kemudian aku kembali duduk di meja belajarku dan membuka buku


pelajaran sejarah. Tapi aku merasa terlalu lelah untuk bisa
berkonsentrasi.

Saat menguap untuk ketiga kalinya, kuputuskan untuk


mengakhirinya. Kututup buku pelajaran sejarah dan kuregangkan
tubuhku.

Ada yang menggaruk jendela di atas ranjangku. Aku melompat dari


kursi, menjatuhkannya ke lantai. Kutatap jendela itu.

Tidak ada apa-apa di sana.

Lalu kudengar suara garukan lagi. Suara cakar menggurat kaca.


Jantungku berdebar-debar di dalam dada. Kudengar desisan lembut.

Lalu ada yang mencakar-cakar jendela lagi. Apa pun yang ada di
luar, tengah berusaha masuk.

56 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
12
“HEI!” jeritku.

Terdengar sesuatu menghantam kaca. Tongkat?

Lalu segenggam kerikil menghujani jendela. “Man, aku bisa sinting!”


gumamku.

Bukan kucing yang tengah mencakari jendela. Aku mengintip ke


halaman di bawah. Dwayne dan Barry tengah berdiri di bawah
sebatang pohon ek besar. Mereka melambai memanggilku turun.

Aku tertatih-tatih ke lemari pakaian dan mengenakan kaus biru laut.


Lalu aku merangkak menyeberangi ranjangku dan membuka daun
jendela.

Aku menjulurkan tangan ke pohon, menyambar sebatang dahan


besar dengan dua tangan, dan menyeret kakiku di belakang. Aku
sudah sering melakukannya sebelum ini, tapi belum pernah dengan
lutut terluka. Rasa sakit menyengat dari kakiku. Hampir-hampir
peganganku terlepas dan aku jatuh ke sesemakan di bawah.

Tanpa mengacuhkan sakitnya, aku berayun dari dahan ke batang


pohon dan meluncur ke tanah.

“Hei—pakaian yang bagus!” kataku kepada Dwayne.

“Apa?” protesnya. Ia menatap kemeja Hawaii ungu dan hijau yang


dikenakannya. “Maksudmu ini? Ada apa dengan kemeja ini?”

57 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Well,” jawabku, “aku lebih menyukainya daripada kemeja biru
bergambar flamingo birumu.”

“Itu bukan kemeja Hawaii,” tambah Barry. “Itu kemeja putih. Ada
yang memuntahi pakaiannya.” Barry dan aku tertawa.

“Kita mau ke mana?” tanyaku.

“The Corner,” jawab Barry. “Ke mana lagi?”

The Corner merupakan tempat berkumpul yang populer di


Shadyside, jauhnya sekitar satu blok dari sekolah. Kami semua sering
berkumpul di The Corner. Dan kalau aku tidak tahu mau mengajak
seorang gadis ke mana, kami biasanya menuju ke sana.

Kami berdiri dalam antrean untuk memesan, lalu menyelinap ke


tempat duduk di bagian belakang restoran. Kami bisa melihat siapa
saja yang masuk. Kalau ada kenalan kami yang muncul—terutama
gadis-gadis—kami pasti melihat mereka.

“Nah, Marty,” kata Barry dengan mulut penuh piza, “apa yang terjadi
kemarin di Sidang Murid? Maksudku, kau lepas kendali.”

Aku membeku. “Apa maksudmu?” “Kau tahu. Melihat kucing itu.”


Aku tidak menjawab.

“Kucing, Marty. Kucing itu. Halo? Katamu kau melihat kucing yang
sudah mati itu di bawah panggung penonton,” Barry mengingatkan.

Tapi aku tidak perlu diingatkan. Kutatap Dwayne, tapi ia tidak mau
membalas pandanganku.

58 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Aku memang melihat kucing itu,” kataku bersikeras. “Aku tahu apa
yang kulihat. Kucing itu ada di sana dan menatapku.”

Barry dan Dwayne tampak tertegun.

“Mirip cara kalian menatapku sekarang,” tambahku sinis. “Whoa!”


seru Barry. “Tunggu sebentar. Kau benar-benar percaya sudah
melihat kucing yang sama, yang kita lihat jatuh dari panggung
penonton dan mati? Kucing yang sama yang aku dan Dwayne buang
di tong sampah?”

“Benar,” jawabku.

Aku tahu ini kedengarannya sinting. Tapi kedua orang ini teman
terbaikku. Kalau aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada
mereka, pada siapa lagi aku bisa bercerita?

“Aow, yang benar saja!” kata Barry. “Kau pasti bergurau!”

“Aku melihat kucing itu,” kataku mengulangi. “Mungkin kucing itu


belum mati seperti dugaan kita semula. Atau mungkin ada lebih dari
satu kucing yang tinggal di gimnasium.”

Keduanya menatapku. Dan tidak mengatakan apa-apa.

Dari The Corner, kami bergegas menuju rumahku. Kalau ibuku


memeriksa kamarku sesudah pukul sebelas dan tidak menemukanku
di situ, aku akan mendapat masalah besar. Lututku rasanya baik-baik
saja. Tapi tidak mungkin aku bisa memanjat pohon untuk masuk
kembali ke kamarku. Aku harus menggunakan pintu depan. Hanya
saja kuharap orangtuaku sudah tidur.

59 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Satu blok sebelum kami tiba di jalanku, aku berbelok ke kiri. “Kau
mau ke mana?” tanya Dwayne. “Tidak bisa menemukan rumahmu
sendiri dalam gelap?”

“Kita memotong lewat halaman belakang,” kataku menjelaskan.


“Lebih cepat begitu.”

Aku menuju rumah keluarga Millens. Halaman belakang rumah


mereka dipisahkan oleh sepetak hutan dengan halaman belakang
rumahku. Kami bertiga menyusuri jalur masuk rumah keluarga
Millens dengan diam-diam. Rumah mereka gelap. Malam seakan-
akan menelan kami.

“Menakutkan,” bisik Dwayne.

Aku mendengar bunyi jangkrik. Angin mengembus dedaunan di atas


kepala kami. Kami berjalan menyusuri samping rumah. Kusadari
bahwa pintu samping rumah tersebut terbuka di belakang pintu kaca
antibadainya.

Sewaktu melewati pintu tersebut, kulihat ada sesosok bayangan


dalam kegelapan di balik kaca. Ada yang mengawasi kami.

“Hei, guys...,” bisikku.

Sesuatu menghantam bagian dalam pintu badai. Kami menjerit


terkejut. Aku bersiap untuk lari saat seekor anjing yang tengah
memamerkan taringnya kembali menubruk pintu.

“Whoa!” jerit Dwayne. “Aku terlalu muda untuk mendapat serangan


jantung.”

60 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kami bergegas menyeberangi halaman belakang. Dan tiba di sebuah
jalan setapak sempit yang membentang menembus hutan,
menghubungkan halaman rumahku dengan halaman rumah mereka.

“Lewat sini,” kataku pada teman-temanku, dan kami menyelinap


masuk ke dalam hutan.

Beberapa meter jauhnya di jalan setapak, aku bisa melihat rumahku


di sela-sela pepohonan. Lampu di lantai bawah menyala, tapi kamar
tidurku masih gelap. Kuharap orangtuaku tidak tahu aku keluar
rumah.

Kudengar desisan keras di atas kepalaku. “Hei!” teriak Dwayne.

Kudengar jeritan seekor hewan. Dari sebatang dahan pohon di atas


kami. Lalu terdengar suara berdebum.

Ada yang mendarat dengan keras di atas kepala Barry.

“Tolong!” teriaknya.

61 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
13
“SINGKIRKAN makhluk ini!” jerit Barry. “Singkirkan!”

Seekor kucing!

Barry mati-matian berusaha melemparkan hewan tersebut dari atas


kepalanya. Tapi kucing itu bertahan di sana dengan cakarnya.

Dwayne meraih sebatang dahan pohon yang besar dan


mengayunkannya ke belakang bahunya.

“Hentikan!” jeritku. “Kau akan memukul Barry.”

Dwayne membuang dahannya.

Aku menerjang ke Barry. Menyambar kucing tersebut dengan dua


tangan. Dan mencabutnya dari atas kepala temanku. Kubuang
kucing yang menjerit-jerit tersebut ke tanah. Dwayne menendang
hewan tersebut ke dalam hutan. Kudengar kucing itu terbanting
menerobos dahan-dahan dan sesemakan, melolong-lolong sepanjang
jalan.

“Oh, wow,” kata Barry sambil mengerang. “Oh, wow.”

“Barry, biar kulihat wajahmu,” kataku. Kupicingkan mataku


menembus kegelapan. Pipi Barry tercakar. Tapi tidak terlalu dalam.
“Kau tidak apa-apa,” kataku padanya. “Tapi sebaiknya kauperiksakan
luka-lukamu.”

“Ada apa, Marty?” tanyanya. “Apa tadi itu kucing yang sama?”

62 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Tidak mungkin, man,” sela Dwayne. “Kucing yang itu sudah mati,
ingat?”

Aku memang ingat. Tapi sekalipun hutannya gelap, aku sempat


melihat kucing yang menyerang Barry dengan cukup baik. Aku
cukup yakin sudah melihat sebuah intan hitam di kening hewan
tersebut.

“Marty?” tanya Barry.

“Bukan,” jawabku mantap. “Kucing itu sudah mati, Barry. Kucing itu
sudah mati.”

®LoveReads

Keesokan malamnya, hari Sabtu, aku memulai layanan sosialku di


Tempat Penampungan Hewan Shadyside. Sebuah bangunan persegi
berlantai satu. Tempat penampungan tersebut menawarkan bantuan
bagi segala jenis hewan. Tapi sebagian besar pelanggan mereka
merupakan kucing dan anjing gelandangan.

Manajernya, Carolyn Peters, tampaknya sangat ramah. Kutanyakan


apa tugasku. Ia memberitahukan bahwa aku harus menyapu lantai,
memberi makan hewan-hewan, dan menelepon ke rumahnya kalau
ada yang tampak sakit.

Mudah sekali.

Rata-rata di malam hari mereka memintaku ada di tempat


penampungan pukul tujuh, sewaktu Carolyn pulang ke rumah.
63 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Antara pukul sembilan dan sebelas, seorang penjaga malam datang,
dan aku bebas untuk pulang ke rumah.

Pada malam pertama tersebut, aku mulai dengan menyapu. Sesaat


kemudian, aku masuk ke kawasan kandang. Setelah menyandarkan
sapuku ke dinding, aku berjongkok untuk mengamati hewan-hewan.

Di sebelah kiri, anjing-anjing tengah terlelap di dua deretan panjang


kandang yang ditumpuk dua buah. Di sebelah kanan, kucing-kucing
berkeliaran di dalam susunan kandang yang sama. Beberapa dari
kandang-kandang tersebut berisi lebih dari satu ekor hewan.

Seekor kucing liar kelabu bermata kuning menatapku dari sebuah


kandang di bagian bawah. Tahu-tahu hewan tersebut mendesis dan
melengkungkan punggungnya.

“Yeah? Sama untukmu, buddy,” gumamku.

Aku memikirkan kejadian yang menimpa Barry semalam, dan


menggigil. Aku tidak ingin berada di dekat kucing, kecuali kalau
terpaksa sekali. Pada pukul sembilan aku memberi mereka makan.
Sesudah itu aku akan duduk di kantor kecil dan belajar.

Dengan begitu, aku tidak perlu menghabiskan waktu terlalu banyak


dengan kucing, dan alergiku tidak akan timbul.

Kuambil sapu dan berbalik untuk keluar dari ruang kandang. Tapi
sebuah debuman tajam menyebabkan aku berputar balik. “Siapa itu?”
tanyaku. “Ada orang di belakang?”

Tidak ada jawaban.

64 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kulihat sebuah lampu kecil berkilas melintasi kamar yang gelap.

Lalu hewan-hewan berubah ribut. Anjing-anjing mulai menyalak dan


melolong. Kucing-kucing mulai mendesis dan menjerit-jerit.

Kututup telingaku dengan tangan, mencoba menghalangi suara


mengerikan tersebut.

“Hentikan!” jeritku. “Hentikan!”

Hewan-hewan tersebut menghantamkan diri mereka ke kandang


masing-masing. Desisan dan jeritannya semakin keras.

Semakin keras.

“Hentikan!” jeritku. “Hentikan! Ada apa ini?”

65 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
14
“HENTIKAN! Hentikan!” jeritku.

Kutekankan tanganku ke telinga dengan lebih kuat. Tapi tetap saja


kudengar jeritan-jeritan mereka.

Kucing-kucing mencakari kandang. Menjerit-jerit. Mendesis- desis.


Mulut mereka tertarik ke belakang, membentuk seringai buas. Mata
mereka kemilau dan liar. Anjing-anjing menengadah dan melolong.

“Please!” pintaku, jantungku berdebar-debar.

Sambil tetap memegangi telingaku, aku berbalik dan berlari keluar


ruangan. Kubanting pintu kantor hingga tertutup di belakangku.
Tapi tetap saja suara-suara tersebut terdengar.

Aku menerjang ke meja. Menyambar telepon dengan tangan


gemetar. Dan menekan nomor telepon rumah Carolyn.

“Kemarilah cepat!” kataku dengan suara tercekik. “Please.

Cepat! Ada yang tidak beres! Ada yang sangat tidak beres!”

“Tapi, Marty...,” katanya memprotes. “Aku baru saja tiba. Ada apa?”

“Datanglah,” pintaku. “Cepat.”

Kutunggu di kantor hingga ia tiba. Jeritan- jeritan dan salakan-


salakan tidak mereda. Aku bisa mendengar anjing-anjing
mengempaskan diri ke kandang. Dan di atas semuanya, desisan
melengking kucing-kucing.

66 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Sekitar sepuluh menit kemudian, kulihat sorotan lampu depan mobil
di jendela kantor. Mobil Carolyn bergulir memasuki tempat parkir.

Sambil tetap memegangi telinga, aku lari ke pintu depan. Kutarik


selotnya dan kubuka pintunya. Desisan dan jeritan itu berhenti.
“Hah?” Aku tersentak.

Sekarang suasana sunyi.

Carolyn melangkah ke pintu depan. Matanya menyapu kandang-


kandang dengan gelisah. “Marty—ada apa?” tanyanya.

®LoveReads

Sewaktu makan siang hari Senin, kuceritakan kejadian tersebut pada


Barry dan Dwayne.

Barry menggeleng. Dwayne bersiul panjang. “Aneh,” gumamnya.

“Apa manajer tempat penampungan itu mempercayaimu?” tanya


Barry.

Aku angkat bahu. “Entahlah. Dia hanya menatapku.” Aku mendesah


dan mengesampingkan roti isiku. “Aku tidak tahu, apa lagi yang
harus kupercayai.”

“Hei, bergembiralah,” desak Dwayne. “Bisa saja kejadiannya jauh


lebih buruk, Marty.”

“Lebih buruk?” jawabku.

67 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Lebih buruk bagaimana?” Ia memikirkannya. “Entahlah,” katanya
akhirnya. Kami semua tertawa. Tapi tawaku tawa terpaksa.

Dalam perjalanan keluar, aku tengah memikirkan kucing dan


anjing—dan menabrak seseorang. “Oh, maaf,” gumamku.

Ternyata Kit Morrissey.

“Hai, Marty,” katanya, dan melontarkan senyum lebar ke arahku.


“Bagaimana kabarmu?”

Selama beberapa detik aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Kit


pindah ke Shadyside dalam liburan bulan Desember. Ia dengan cepat
menjadi salah satu gadis paling populer di sekolah. Rambutnya yang
cokelat chestnut tergerai ke bahunya, membingkai wajahnya dengan
sempurna. Matanya hijau zamrud, dihiasi bintik-bintik keemasan.

“Eh,” kataku tergagap, “kau tidak masuk dua hari ini ya?” “Aku sakit.
Flu atau semacam itulah,” kata Kit. “Sekarang sudah lebih baik.”

“Tampangmu juga baik,” kataku menggoda. “Kau sendiri tidak jelek,


Harper,” jawabnya.

“Eh, kau mau es krim atau apa di The Corner sepulang sekolah?”
tanyaku.

Bola matanya menyipit. “Apa kau tidak berlatih?”

“Lututku terluka minggu lalu,” kataku menjelaskan. “Aku tidak bisa


berlatih. Kalau aku tidak menyaksikan latihan satu kali, Coach tidak
akan marah.”

68 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kit memiringkan kepalanya sambil berpikir, lalu mengangguk.

®LoveReads

Aku menemui Kit di tangga samping sekolah, dan kami berjalan ke


The Corner. Kami bercakap-cakap selama hampir dua jam. Ia benar-
benar menyenangkan. Aku terpesona olehnya, habis-habisan.

Sewaktu kami meninggalkan The Corner, sesuatu menyebabkan aku


kembali melirik ke dalam. Dan aku langsung membeku.

Di bagian belakang, Riki tengah duduk seorang diri. Ia melotot ke


arahku. Aku tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana. Aku juga
tidak terlalu peduli. Lupakan, pikirku. Lupakan dia.

Aku berbalik dan membiarkan pintu menutup agak keras di


belakangku.

Kit tinggal di Canyon Road. Kami berjalan dengan santai menyusuri


jalan yang dipagari pepohonan, bercakap-cakap dengan nyaman,
seakan-akan kami memang sudah berteman selama ini.

Mobil-mobil melintas lewat. Beberapa orang membunyikan klakson


ke arah kami, tapi aku bahkan tidak berpaling untuk melihat siapa
yang berusaha menarik perhatian kami.

Aku merasa sangat bahagia. Ada sesuatu yang hebat tengah


berlangsung antara Kit dan aku. Kami berbelok memasuki jalur
masuk ke rumahnya. Ia tinggal di sebuah rumah bata lama yang
dinding depannya ditumbuhi ivy.
69 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Kau mau mampir sebentar?” tanya Kit. “Atau kau harus pulang
untuk makan malam?”

“Masih agak lama,” jawabku gembira.

Kit membuka pintu dan melangkah masuk. “Apa yang kautunggu?”

Aku mengikutinya masuk ke dalam. Ia menutup pintu di belakangku.


Aku melirik ke sekeliling ruang depan. Ada tangga yang menuju
lantai dua. Sebuah lorong panjang menuju dapur. Di sebelah kiri
terdapat ambang pintu melengkung menuju ruang duduk.

“Rumahmu bagus,” kataku mengomentari.

Lalu aku melompat sewaktu seekor kucing hitam berlari menuruni


tangga ke arah kami. Kudengar erangan kucing di sebelah kiriku.

Seekor kucing belang melesat dari ruang duduk. Dua ekor anak
kucing putih dengan bulu-bulu kaku berderap di lorong dari dapur.

Beberapa meter di depan, seekor kucing kelabu tengah duduk


memelototi diriku.

Aku membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.

Tapi sebelum aku sempat bicara, kucing-kucing tersebut


melengkungkan punggung dan membuka mulut, memperdengarkan
desisan melengking menakutkan.

70 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
15
“SINGKIRKAN mereka!” lolongku.

Kit tertawa. “Marty—tenang. Mereka cuma lapar.”

Bisa kurasakan wajahku berubah memerah. Kedua kakiku gemetar.


Kuharap Kit tidak melihat betapa ketakutannya diriku.

“Eh... sesudah kejadian dengan kucing di sekolah, kurasa aku agak


kacau,” kataku mengakui.

“Aku dengar kejadiannya,” kata Kit. Ia harus berteriak, karena


kucing-kucingnya masih terus mendesis-desis. “Itu kecelakaan—
benar?”

“Yeah,” jawabku dengan perasaan tidak nyaman.

Kit melemparkan ranselnya ke lantai. “Kau belum mau pergi, bukan?


Mungkin kucing-kucing ini akan tenang begitu mereka sudah
mengenalmu.”

Ia tidak ingin aku pergi. Sulit dipercaya! Kit benar-benar menyukai


diriku. Kalau saja kami tidak sedang dikelilingi kucing-kucing yang
mendesis-desis menjengkelkan itu.

“Kau memelihara berapa ekor kucing?” tanyaku.

Ia meringis. “Beberapa.”

Pandanganku menyapu ke sekeliling ruangan. Kucing-kucing ada di


mana-mana.

71 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Aku... aku benar-benar harus pergi,” kataku tergagap. “Kalau aku
tidak berhasil mendapatkan nilai bagus dalam ulangan
matematika....”

Kit tampak kecewa.

Aku merasa tidak enak. Tapi kucing-kucing itu—mereka benar-


benar membuatku merinding. Dan aku begitu alergi terhadap
mereka. Aku sudah mulai merasakan hidungku tersumbat dan
wajahku mulai membengkak.

“Mungkin lain kali,” kataku sambil bergerak ke pintu. “Akan


kutelepon atau apa. Oke?”

Kucing yang hitam menyapukan tubuhnya ke kakiku. Hewan


tersebut melengkungkan punggungnya dengan kaku sewaktu
melewati diriku.

Seekor kucing putih gemuk dengan ekor sangat panjang menjerit


marah dari tangga.

“Kurasa... kurasa sebaiknya mereka kuberi makan dulu,” kata Kit


sambil menggeleng. “Aneh sekali, Marty. Aku tidak mengerti.
Mereka tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.”

“Aku... aku memang memiliki hubungan khusus dengan kucing,”


kataku bergurau.

Lalu aku lari keluar dari sana secepat mungkin.

®LoveReads

72 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Kau yakin ini gagasan bagus?” bisik Barry. “Kita bisa mendapat
kesulitan besar.”

“Yang benar saja,” sergah Dwayne. “Ini akan dicatat dalam sejarah
sebagai lelucon paling hebat yang pernah dilakukan di SMA
Shadyside.”

“Marty?” tanya Barry, menunggu pendapatku.

“Kita harus melakukannya,” jawabku. “Gayle layak mendapatkannya,


man. Dia masih belum mau melupakan masalahnya. Setiap kali
bertemu, dia bersikap seakan-akan kita tidak pernah ada. Tulisannya
di koran tentang pengadilan Sidang Murid-ku adalah kesalahannya
yang terakhir.”

Kami seharusnya berada di ruang loker, bersiap-siap berlatih. Tapi


gagasan yang tiba-tiba melintas dalam benak Dwayne perlu segera
dilaksanakan. Klub Hak-hak Hewan selalu rapat di ruang kelas di
lantai pertama sepulang sekolah, setiap hari Selasa.

“Saatnya memberi Gayle pelajaran,” bisikku. Barry masih tampak


khawatir.

“Ayolah, Barry,” desak Dwayne. “Marty yang tertimpa abu panas


seorang diri karena kejadian dengan kucing itu. Kita harus
membalasnya, bukan?”

Barry mengangguk. “Baik.”

Aku berdiri di balik pintu tertutup ruang kelas tempat Klub Hak-hak
Hewan tengah berkumpul. Bisa kudengar suara Gayle berceloteh di

73 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
dalam. Pada suatu saat, kudengar ia menyebut-nyebut namaku.
Keraguan apa pun yang kurasakan akan tindakan kami seketika
menghilang.

Kulihat arlojiku. Pukul tiga lewat tujuh menit. Barry dan Dwayne
akan berada di jendela yang terbuka sekarang ini. Sebentar lagi,
pikirku.

Lalu jeritan-jeritan mulai terdengar.

Kudengar jeritan melengking dan teriakan-teriakan terkejut.


“Singkirkan mereka dari sini!” jerit seorang gadis. “Singkirkan
dariku!”

“Tikus!” teriak seorang cowok. “Ratusan ekor!”

Yang benar saja, pikirku. Seringai merekah di wajahku.

Barry, Dwayne, dan aku telah mencuri selusin tikus putih dari
laboratorium biologi dan menyimpan mereka dalam kotak. Pada
pukul tiga lewat tujuh menit, Dwayne melemparkan mereka melalui
jendela ruang kelas tempat Klub Hak-hak Hewan sedang rapat.

Pintu terempas membuka dan para anggota klub berhamburan


keluar ke lorong. Kulihat dua ekor tikus berlari melewatiku,
menyusuri lorong. Aku pindah ke ambang pintu yang telah terbuka.
Gayle dan dua orang gadis lainnya tengah mengejar-ngejar tikus.

“Keluarkan mereka!” jerit Gayle.

Pada saat itu ia melihatku. “Kau yang melakukan ini?”

74 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Tentu saja tidak,” jawabku. Tapi sulit untuk menahan tawa.

Kudengar tawa dari luar jendela. Dwayne dan Barry.

Gayle melirik tajam ke arah mereka. Keduanya merunduk. Tapi


Gayle lari ke jendela.

“Aku lihat kalian!” teriaknya.

“Aku lihat kalian, orang tolol! Kalian dalam masalah besar!”

“Dan kau juga!” salaknya padaku.

“Aku?” tanyaku dengan nada tidak berdosa. “Apa yang sudah


kulakukan?”

“Aku akan membalasmu, Marty,” kata Gayle. “Ini belum selesai.


Tidak dalam waktu dekat.”

“Memang,” jawabku. “Memang.”

®LoveReads

Kuceritakan kejadian tersebut pada Kit di The Corner malam


harinya. Ia tertawa hingga keluar air mata.

“Kau jahat,” katanya memarahi. “Tapi lucu juga.”

Kejadian memalukan di rumahnya dengan kucing-kucingnya


kemarin telah menjadi sejarah. Ia berjanji untuk membantuku belajar
matematika, dan kuajak ia ke bioskop hari Sabtu malam.

Ia menjawab ya.
75 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Lalu ia menciumku! Karena kami sedang duduk di The Corner,
ciumannya hanya sekilas. Selama sedetik aku memikirkan Jessica,
yang telah melambai padaku di lorong pagi itu. Lalu seluruh
pemikiran tentang Jessica menghilang. Hanya Kit Morrissey gadis
yang bisa kupikirkan.

Kemudian, sewaktu kutemani ia berjalan kaki pulang, ia tidak


mengajakku masuk ke dalam. Mungkin ia tidak ingin mengulangi
kejadian kemarin malam.

Well, aku juga tidak ingin.

Sambil menggumam sendiri, aku berbalik meninggalkan Canyon


Drive dan menuju rumahku sendiri. Sewaktu tiba di Fear Street,
awan telah menutupi matahari. Udara berubah sejuk.

Tiga blok dari rumah, aku mendengar meongan pertama.

Aku menghirup napas dan melirik ke belakangku. Seekor kucing


hitam tengah berderap di tengah jalan. Aku berbalik dan
mempercepat langkah. Rumahku hanya dua setengah blok jauhnya.

Kudengar desisan di sebelah kiriku. Pandanganku melesat ke sana.


Seekor kucing gelandangan kurus melesat menyeberangi halaman
rumput di depanku. Aku semakin mempercepat langkahku. Kucing
hitam di belakangku mendesis. Aku mulai berlari-lari kecil.

Sebuah Lexus keemasan yang mengilat diparkir di tikungan blok


berikutnya. Aku melesat menyeberangi jalan dan berderap melewati
mobil tersebut.

76 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Saat melirik ke belakang, kulihat sepasang kucing Siam melompat
turun dari sebatang pohon ek. Mereka mendarat di atap

Lexus. Melompat turun ke aspal. Dan bergabung dengan kucing


hitam, kucing gelandangan, dan seekor kucing belang.

Aku menyadari bahwa mereka sedang mengikutiku. Mereka


mengejarku!

Kucing-kucing tersebut berlari. Aku melesat sepanjang jalan dan


melintasi persimpangan.

Aku bisa melihat rumahku di depan.

Kakiku terayun-ayun. Keringat menetes dari dahiku. Jantungku


berdebar-debar kencang.

Kuberanikan diri untuk melirik ke belakang bahuku.

Sekarang ada paling sedikit sepuluh ekor kucing. Sepuluh ekor


kucing yang mengeong-eong, berlari kencang.

Mendekat.

Sepuluh ekor kucing mengejarku, dengan mata kemilau, cakar


menghantam aspal tanpa suara...

Tanpa suara... bagai hantu.

77 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
16
APA aku bisa mengalahkan mereka? Harus kucoba.

Mereka hanya kucing, kataku pada diri sendiri. Atau bukan?

Sejak kapan kucing bepergian dalam rombongan? Dan sejak kapan


kucing mengejar-ngejar orang?

Lututku berdenyut-denyut saat berlari. Sisi tubuhku terasa sakit.

Aku melirik ke belakang—dan melihat paling sedikit selusin kucing.


Mata mereka menyala bagai api. Cakar-cakar menghantami trotoar.
Ekor mereka kaku dan tegak lurus.

“Ohhhh.” Aku mengerang pelan.

Aku terengah-engah menghela napas. Jalur masuk rumahku tinggal


beberapa meter lagi jauhnya.

“Hei!” jeritku saat merasakan sebuah cakar menancap ke bagian


belakang kakiku.

Aku berbalik dan melihat dua ekor kucing melompat ke


punggungku. Aku membungkuk dan mereka melayang melewati
kepalaku. Sambil tetap merunduk, dengan kaki berdenyut-denyut,
aku berlari menyusuri jalur masuk. Aku menerobos sepanjang
rumpun mawar yang berjajar di halaman. Dan menerjang ke serambi
depan.

Kusambar tombol pintu. Memutarnya. Macet. “Ohhh.”

78 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Terkunci. Tentu saja, pintunya terkunci.

Kujejalkan tanganku ke saku celana jeans. Mencari-cari kunci. Apa


aku bisa masuk ke dalam sebelum kucing-kucing itu menyerang?

Kucabut kuncinya—dan menjatuhkannya. Kunci tersebut berdentang


di serambi dan berhenti di tepi keset selamat datang. “Tidak!” jeritku.
Dan membungkuk untuk mengambilnya.

Aku berbalik untuk melihat apakah kucing-kucing tersebut hendak


menyerang.

Kucing-kucing... Tidak ada kucing.

“Hah?” Aku menelan ludah dengan susah payah. Kucing-kucing


tersebut telah lenyap. Menghilang.

“Ba... bagaimana mungkin?” Aku merasa seperti tercekik. Tapi


sebenarnya aku tidak peduli bagaimana mereka bisa menghilang
secepat itu. Atau kenapa mereka muncul.

Aku hanya ingin masuk ke dalam. Di dalam, di mana aku aman.

®LoveReads

Kuduga aku akan mendapat masalah karena kejadian dengan tikus-


tikus tersebut. Tapi tidak ada yang mengatakan apa-apa mengenai
kejadian itu.

Gayle berpapasan denganku di lorong dan bahkan tidak bersedia


memandang ke arahku.

79 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Jessica juga bersikap dingin. Ia pasti sudah mendengar tentang
hubunganku dengan Kit. Mungkin dari Riki. Tapi tidak banyak yang
bisa kulakukan untuk mengatasinya. Kuharap Jessica tidak terlalu
sakit hati. Ia tampaknya manis. Aku sangat menyukainya—tapi Kit
sangat memesona.

Dalam satu pelajaran di sore hari, Riki mencibir ke arahku. Lalu ia


mengangkat tangannya dan menirukan gerakan mencakar di udara.

Kemudian aku berlatih dengan regu basketku untuk pertama kali


sejak seminggu. Barry, Dwayne, dan aku kembali mencatat nilai
seperti biasa, seakan-akan aku tidak pernah tidak berlatih.

®LoveReads

Kit dan aku belajar matematika di rumahku hingga pukul sembilan


malam hari itu. Sebelum ia pulang, kami kembali berciuman. Lagi
dan lagi.

Satu-satunya saat aku merasa tidak khawatir akan apa yang sudah
menimpa diriku adalah sewaktu menghabiskan waktu bersama Kit. Ia
menyebabkan segalanya terasa baik-baik saja.

®LoveReads

Telepon berdering. Mataku tersentak membuka. Kulirik jam di


samping ranjang: 01:37 pagi. Siapa yang menelepon sepagi ini?

80 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kuangkat tangkai telepon. “Halo?” kataku dengan suara masih
mengantuk. Sunyi.

“Haloooo?” kataku dengan nada jengkel.

“Meong.”

“Riki, hentikan,” sergahku.

“Meeooong.”

“Riki?” tanyaku. Sunyi.

“Hei—siapa ini?” jeritku marah.

Terdengar desisan melengking seekor kucing. Kututup teleponnya.

Suara desisan tersebut terngiang di telingaku. Aku harus menarik


selimut hingga menutupi kepala agar tidak menggigil.

81 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
17
MATA pelajaran bahasa Inggris berlangsung tepat sesudah makan
siang di hari Jumat. Itu artinya selama setengah pelajaran aku harus
berjuang agar tetap terjaga, mengantuk karena baru saja makan.

Aku duduk di bagian belakang kelas dan menatap ke awan- awan


gelap dan hujan lebat di luar, dan berharap ada dua potong tusuk
gigi untuk mengganjal kelopak mataku.

Sewaktu bel berbunyi, kuambil buku-bukuku dan berjalan sambil


tetap mengantuk ke lorong.

Laboratorium biologi berada di sisi seberang gedung sekolah, dan


dua lantai di bawah kelas Inggris. Aku bergegas melangkah
sepanjang lorong dan mencoba mengingat di mana kusimpan
pekerjaan rumah biologiku.

Kudorong pintu tangga bersama beberapa lusin anak lainnya, dan


menuruni tangga.

“Hei, Marty,” kata seseorang. “Semoga beruntung nanti malam.”

Di tikungan tangga di antara lantai, murid-murid berlalu lalang


melewati dua orang yang tengah bertengkar. Dwayne dan Riki.

Bukannya memanggil mereka, aku menutup mulut dan terus saja


berjalan.

“Apa maksudmu, Dwayne?” kudengar Riki menyentak.

82 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Kata yang mana yang tidak kaumengerti, Riki?” jawab Dwayne
kasar. “Kau membuat Marty tidak tenang. Sudah saatnya
menghentikan semua omong kosong tentang kucing itu. Hentikan
tingkahmu! Mengerti? Marty harus memusatkan perhatian untuk
pertandingan basket.”

“Oh, aku mengerti sepenuhnya,” kata Riki sambil mencibir saat aku
melewati mereka. “Kau sekarang mengancamku, bukan? Apa yang
akan kaulakukan kalau aku terus mengganggu Marty?”

“Memberitahu seluruh sekolah bahwa kami kalah karena dirimu,”


kata Dwayne.

Aku bergegas meninggalkan mereka. Sepanjang pelajaran biologi,


aku terus memikirkan pertengkaran mereka. Kuputuskan untuk
berbicara dengan Dwayne. Untuk memberitahunya agar tidak
mencampuri urusanku.

Tidak peduli seberapa baik Dwayne sebagai teman, aku tidak ingin ia
membela diriku.

®LoveReads

Riki tidak datang menyaksikan pertandingan. Aku merasa senang.

Tapi sewaktu reguku berlari-lari memasuki lapangan, kulihat Gayle


duduk di panggung penonton.

“Apa yang dilakukannya di sini?” gumamku pada Barry, yang berlari


di sebelahku.
83 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Mungkin untuk memelototi kita,” Barry menggerutu sambil
menggeleng.

Dalam pertandingan ini Dwayne, Barry, dan aku bermain bersama


lebih baik daripada sebelumnya. Seluruh anggota regu sisanya juga
bermain dengan lebih bersemangat daripada biasanya, dan kami
menghancurkan Truesdale Mustangs dengan 67 banding 42.

Kurasa aku belum pernah merasa lebih bahagia atau lebih bergairah
lagi. Kemenangan tersebut memberi kami kesempatan untuk ikut
dalam turnamen negara bagian.

Kurasa kami tidak mungkin kalah. Tidak dengan komposisi yang


sekarang. Yang tidak kuketahui adalah komposisi tersebut bakal
berubah.

84 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
18
KAMI menyelenggarakan pesta besar-besaran di ruang loker. Lalu
semua orang pulang ke rumah masing-masing, penuh semangat dan
siap berlatih hari Senin besok.

Dalam perjalanan pulang, aku merasa begitu bergairah hingga


hampir-hampir tidak bisa melihat dengan benar.

Aku penasaran, apakah keikutsertaan regu basket kami dalam


turnamen akan membantuku memenangkan beasiswa tersebut. Lebih
baik begitu, pikirku. Beasiswa itu sangat berarti bagiku.

Tentu saja, nilai juga penting. Nilai!

Buku-bukuku ada di ransel, yang entah tersimpan dalam ruang loker


atau tergeletak di gimnasium.

“Sial!” Aku merengut.

Lalu kuputar mobil kembali di tengah-tengah Division Street dan


melaju ke sekolah. Sewaktu memasuki tempat parkir murid, semua
lampu telah dipadamkan. Kurasa bahkan petugas kebersihan pun
sudah pulang.

Sorotan lampu depan mobilku menyapu bagian belakang sekolah.


Sesuatu kemilau tertimpa cahaya.

Pintu belakang gimnasium tampak menggantikan dinding bata.


Rambut merah Gayle melambai-lambai di belakangnya saat ia
melesat menyeberangi tempat parkir.

85 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kuawasi ia menghilang ke dalam kegelapan.

“Hah?” gumamku. “Apa yang dilakukannya di sini?” Aku hampir-


hampir tidak bisa melihat wajahnya. Tapi tampaknya ia tengah
panik. Aku penasaran, apakah ia sedang memburu seseorang.

Aku melangkah turun dari mobil dan mencari-carinya. Tapi suasana


terlalu gelap untuk melihat lebih jauh dari tempat parkir.

Aku berlari-lari kecil ke pintu yang tadi dibiarkan terbuka oleh


Gayle. Bagus, pikirku. Tanpa ada bagian perawatan untuk membuka
pintu, aku pasti tidak akan bisa masuk ke dalam.

Aku melangkah memasuki lorong gelap. Sebuah lampu kuning


menyala di tengah-tengah antara pintu keluar dan pintu masuk
ganda gimnasium.

Sepatu sneaker-ku mencicit di lantai ubin. Suaranya menggema di


aula yang kosong.

Angin mengembus pintu hingga menutup di belakangku—dan aku


melompat karenanya. “Whoa. Tenang,” kataku sendiri keras-keras.
Aku melangkah memasuki gimnasium yang gelap dan meraba- raba
menuju ke kanan. Telapak tanganku menyusuri dinding hingga,
akhirnya, menemukan saklar lampu. Kujentikkan saklar tersebut.

Cahaya membanjiri gimnasium. Kulihat ranselku di salah satu sudut


panggung penonton sisi jalan. Aku mendesah lega dan berlari-lari
kecil ke sana. Sewaktu membungkuk untuk mengambilnya, kulihat
ada sesuatu di bawah panggung penonton. Sepatu?

86 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Tidak. Aku memicingkan mata lebih keras. Ada sesuatu yang
menempel pada sepatu tersebut. Kaki?

“Ohhhh.” Aku mengerang pelan tanpa tertahan. Ranselku terjatuh


dari tangan.

Kudekati sosok tersebut, dan berlutut agar bisa melihat ke bawah


panggung penonton.

Tanganku meraba ke sesuatu yang basah. Dan likat.

Kucabut tanganku. Darah. Masih hangat. Tubuhku menggigil tanpa


tertahan. Tanpa berpikir, kusapukan tangan ke celana jeans.

Dan ternganga menatap tubuh yang tergeletak di bawah panggung


penonton.

Tercincang habis. Wajahnya, kulitnya, tercakar habis-habisan.


Kemejanya robek-robek. Tertutup darah. Berlumuran darah.

Tapi aku masih bisa melihat bahwa kemeja tersebut kemeja Hawaii.
“Dwayne!”

Dwayne, tergeletak tewas dan tercincang. Terendam darahnya


sendiri. Tercincang habis.

“Tidaaaaaak,” lolongku.

Dan mengatasi lolonganku, dari panggung penonton seberang,


kudengar seekor kucing mengeong.

87 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
19
“KENAPA kau tidak memberitahu polisi bahwa Gayle ada di sana?”
tanya Barry dengan marah sesudah polisi meninggalkan rumahku.

“Bukan dia pelakunya,” kataku bersikeras.

Polisi mula-mula menanyaiku di sekolah, lalu mengunjungi rumahku


malam itu juga. Ibuku sudah menghubungi ibu Barry dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Barry muncul sewaktu polisi
masih di rumah, dan mereka juga menanyai dirinya.

Tadinya aku takut polisi menduga akulah yang telah membunuh


Dwayne—karena ada darahnya di pakaianku. Tapi tampaknya
mereka tidak menuduhku begitu.

Setelah polisi pergi, Barry dan aku tidak berbicara selama beberapa
menit.

Aku bahkan tidak mampu memandangnya.

Tidak ada lagi Three Stooges. Tidak ada lagi Tiga Pendekar. Tidak
ada lagi kemeja Hawaii. Tidak ada lagi lelucon konyol.

Dwayne sudah tidak ada lagi.

“Dari mana kau tahu bukan Gayle pelakunya?” kata Barry mendebat.
“Dia orang terakhir yang ada di sana, bukan?”

Aku duduk di sofa ruang duduk, menepuk-nepuk kepala Teddy.

Barry mondar-mandir di karpet.

88 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Gayle bukan pembunuh,” kataku. “Kau tahu dia tidak mungkin
membunuh siapa pun.”

“Apa kau tidak pernah menyaksikan berita, man!” teriak Barry. “Itu
yang selalu dikatakan teman-teman dan keluarga pembunuh! 'Oh, dia
tampaknya gadis yang baik!' Salah!”

“Kau tidak melihat mayat Dwayne,” kataku pelan. Tenang. “Kau


tidak melihat apa yang menimpa dirinya. Gayle tidak mungkin
melakukannya. Kau mengerti?”

Barry menunduk menatap kakinya. “Man, aku... maafkan aku,”


katanya tergagap. “Aku tidak memikirkan bagaimana perasaanmu,
menemukan Dwayne seperti itu.” Ia mengangkat kepalanya. “Jadi,
siapa yang membunuh Dwayne kalau bukan Gayle?” tanyanya.

Aku angkat bahu. Tidak mungkin aku memberitahunya tentang


kucing yang kudengar tepat sesudah menemukan mayat Dwayne.
Tentang segala sesuatu yang sudah menimpa diriku sejak kucing di
gimnasium tersebut mati.

Barry tahu ada yang tidak beres. Tapi kalau ia kuberitahu bahwa
mungkin seekor kucing yang telah membunuh Dwayne, ia pasti akan
menyebutku sinting.

®LoveReads

“Oh, Marty, mengerikan,” kata Kit sambil mengerang. “Maafkan aku.


Ada yang bisa kubantu?”

89 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Tidak ada yang bisa dilakukan siapa pun,” jawabku, suaraku
terdengar serak.

“Hubungi aku kalau kau memang perlu,” kata Kit. “Telepon saja
kalau kau sudah siap—sekalipun hanya untuk bercakap-cakap, oke?”

“Oke. Trims. Trims, Kit.”

Aku sudah memberitahukan berita buruknya pada Kit. Sekarang


masih ada satu tugas lagi yang harus kulakukan.

Aku harus menemui Gayle.

Kutekan bel pintunya. Lampu-lampu di dalam rumah menyala, tapi


tidak ada seorang pun yang membukakan pintu.

Aku meninggalkan serambi dan hendak berlalu. Lalu kudengar derak


kunci diputar dan pintu depan berderit membuka.

“Siapa itu?” kata seseorang dengan suara serak.

“Marty,” jawabku, sambil melangkah ke bawah lampu serambi.

“Oh, Marty!” Gayle terisak. Ia membuka pintu lebar-lebar. Air mata


membasahi wajahnya. Sedikit riasan yang dikenakannya
meninggalkan jejak hitam di kedua pipinya.

“Gayle, aku...,” kataku mulai berbicara. Tapi Gayle tidak


mendengarkan. Ia memelukku erat-erat.

“Marty, maafkan aku karena tindakan-tindakan buruk yang


kulakukan padamu,” katanya.

90 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Dia tewas,” gumamnya. “Sulit dipercaya dia sudah tewas. Aku selalu
menyukai Dwayne. Di tahun pertama, dia satu-satunya cowok yang
menyadari keberadaanku. Dia membuatku tertawa begitu sering.
Rasanya aku tidak akan pernah tertawa lagi!”

Kupeluk Gayle. Tadi pagi ia merupakan musuh bebuyutanku. Tapi


sekarang aku memeluknya erat-erat.

“Tidak apa,” bisikku. “Tidak apa.”

Ia menarik diri dan menghapus air matanya. “Aku benar-benar tolol,”


gumamnya. “Teman terbaikmu meninggal dan aku justru menangis
padamu. Maafkan aku, Marty.”

“Kita bisa menangis bersama-sama,” kata seseorang lain. Riki


melangkah ke lorong, sambil menghapus air mata dari wajahnya.

Aku mengangguk pada Riki. “Kau tidak apa-apa?”

“Kurasa begitu.”

“Gayle, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” kataku pada


Gayle.

“Apa pun,” katanya berjanji.

“Aku melihatmu lari keluar dari gimnasium,” kataku padanya. “Tepat


sebelum aku menemukan mayat Dwayne. Apa yang kaulakukan di
sana?”

91 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
20
“YA. Aku memang ada di sana. Dan sekarang aku merasa kematian
Dwayne sebagian merupakan kesalahanku,” kata Gayle dengan suara
tercekik.

“Apa maksudmu?” tanyaku.

“Aku berkeliaran di sekolah sesudah pertandingan selesai. Pelatih


gimnastik mengatakan aku bisa menggunakan ruang angkat berat.
Lalu kusadari sudah terlalu malam. Aku harus menjaga bayi. Jadi,
aku berganti pakaian di ruang loker dan lari keluar dari gimnasium.
Kalau saja tidak terburu-buru, aku mungkin sempat melihat orang
sinting yang membunuh Dwayne,” katanya menjelaskan.

Ia terisak. “Tapi aku sedang tergesa-gesa... oh, Marty, akan


kulakukan apa saja untuk membantu.”

“Trims, Gayle,” jawabku. “Aku tidak yakin ada yang bisa dilakukan
siapa pun. Tapi paling tidak kau sudah menjawab pertanyaanku. Aku
tidak akan pernah meragukan dirimu lagi. Aku berjanji.”

®LoveReads

Dwayne dimakamkan pada hari Senin pagi. Kami yang menghadiri


pemakaman tersebut terlambat datang ke sekolah. Kepala Sekolah
memaklumi. Aku hampir-hampir tidak bisa memperhatikan pelajaran
sama sekali sepanjang siang. Sorenya, sewaktu hendak berlatih

92 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
basket, aku terus membayangkan Dwayne dalam peti matinya.
Kudorong pintu ruang loker hingga terbuka. Seluruh anggota regu
yang lainnya ada di sana.

Mata Coach Griffin tampak merah, seakan-akan habis menangis. Ia


mengulurkan ikat lengan hitam pada kami semua.

“Kalian tidak harus mengenakannya,” katanya. “Tapi aku akan


mengenakannya setiap kali latihan, dan setiap kali pertandingan
turnamen, untuk mengenang Dwayne.”

Semua anggota regu basket mengenakan ikat lengan masing-masing.

Tapi aku hanya menatap kain elastis hitam tersebut. “Marty?” tanya
Coach Griffin.

“Aku tidak tahu apakah bisa bermain tanpa dia, Coach,” kataku
berbisik.

Coach Griffin tidak mengatakan apa-apa selama semenit. Kukira ia


akan mendesakku, mengatakan bahwa perasaan kehilanganku akan
berlalu. Bagaimanapun, Shadyside belum pernah memenangkan
turnamen negara bagian, dan Coach Griffin mungkin sangat
menginginkan trofi tersebut.

“Kalau kau merasa tidak enak untuk bertanding, Marty, kami semua
mengerti,” katanya akhirnya.

“Aku tidak,” gumam Barry.

“Maaf?” tanyaku.

93 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Barry duduk di bangku di seberang ruangan, punggungnya
menempel pada sederetan logam kelabu loker. “Aku tidak bisa
mengerti,” ulangnya sambil melotot ke arahku.

Barry dan aku tidak banyak bicara setelah malam kematian Dwayne.
Kurasa kami berdua begitu patah semangat, hingga bertemu pun
rasanya terlalu menyakitkan.

“Bagaimana mungkin kau bisa berpikir untuk tidak ikut bertanding?”


tuntut Barry. “Dwayne juga temanku, Marty. Kita Tiga Pendekar,
ingat? Bukan dua.”

“Aku tahu,” kataku mengakui.

“Aku tidak peduli apakah kita akan menang atau kalah,” kata Barry.
“Tapi Dwayne pasti ingin kita bertanding.”

Aku menatap sepatu sneaker-ku selama beberapa detik. Lalu


kuangkat kepalaku untuk membalas tatapan Barry. “Bertanding saja
tidak cukup,” kataku padanya sambil mengenakan ikat lengan
tersebut. “Kita akan memenangkan turnamen, demi Dwayne.”

“Demi Dwayne!” seluruh anggota regu menyambut. Kami belum


pernah berlatih sekeras itu.

®LoveReads

Selama latihan, Riki duduk tinggi di atas panggung penonton,


bersama Gayle dan beberapa gadis lainnya. Barry dan aku melambai
pada mereka, dan mereka balas melambai. Lebih banyak anak yang
94 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
menyaksikan latihan ini dibandingkan biasanya. Kurasa hal itu
karena semangat untuk mengikuti turnamen negara bagian.

“Kau mau belajar bersama malam ini?” tanya Barry padaku di ruang
loker, setelah latihan.

“Aku harus bekerja pukul enam sampai sembilan di tempat


penampungan hewan. Mungkin aku mampir sesudahnya,” kataku.

“Bagus.” Ia mengangguk. “Oh, hei... aku bisa menumpang sampai di


rumah?”

“Bisa,” kataku menyetujui. “Tapi cepatlah, oke?”

Aku harus bergegas pulang dan menyantap makan malam


secepatnya kalau ingin tiba tepat pada waktunya di tempat
penampungan hewan. Beberapa kali bekerja lagi dan hukumanku
akan selesai. Aku tidak sabar menunggunya.

Aku bergegas mandi dan mengenakan pakaianku.

“Barry, cepatlah!” panggilku ke arah ruang mandi.

“Sebentar lagi!” katanya berjanji.

“Kau pulang, Marty?” tanya Kevin Hackett sambil menyandang


ransel di bahunya.

“Yeah,” jawabku. Lalu berteriak pada Barry “Kutunggu di pintu


belakang!”

“Oke!”

95 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Kevin dan aku menerobos pintu keluar belakang.

Kami bercakap-cakap selama dua menit, terutama tentang pelajaran.


Kami sekelas dalam pelajaran sejarah, tapi tampaknya Kevin juga
tidak lebih siap dibandingkan denganku.

Mobil beberapa orang guru masih diparkir di tempat parkir sekolah.


Kusadari bahwa banyak di antara mereka yang bekerja hingga larut.

Pintu samping gimnasium dalam keadaan terbuka. Pintu tempat


Gayle berlari keluar pada malam Dwayne terbunuh.

Saat memikirkan gadis tersebut, Gayle kembali muncul dari pintu


itu. Ia melirik arlojinya dengan gelisah dan mengetuk-ngetukkan
kakinya. Ia tidak melihatku, dan aku tidak ingin mendekatinya.

“Ada apa dengan Barry?” kataku mengeluh.

“Itu ayahku,” kata Kevin. “Aku harus pergi.” Ia bergegas menjauh.

Saat Kevin dan ayahnya melaju pergi, mereka melewati sebuah mobil
polisi yang datang. Mobil tersebut menyelinap masuk ke tempat
parkir dan mesinnya mati. Petugas di belakang kemudi tidak turun.
Sebaliknya, ia duduk mengawasi tempat parkir. Polisi mengawasi
sekolah setelah latihan dan di malam hari. Jelas sekali, mereka
menduga si pembunuh akan kembali.

Aku menggigiti bibirku dengan gugup. Dan melirik arlojiku.


“Ayolah, Barry,” gumamku.

Kutarik pintu belakang hingga terbuka dan berderap masuk kembali


ke ruang loker.
96 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Ayo pergi!” panggilku. “Kau membuatku terlambat!” Aku tidak
melihat Barry.

“Barry, keluar!” teriakku. Kujejalkan kepalaku ke dalam ruang mandi.


Tidak ada orang di sana.

Ia juga tidak ada di ruang loker. “Oh, man,” bisikku sambil


menggeleng.

“Barry?”

Tidak ada jawaban.

Kubuka pintu ke gimnasium. “Barry?” panggilku. Seseorang telah


memadamkan lampu. Suaraku bergema dalam kegelapan.

Dengan memicingkan mata sekuat tenaga, aku melihat sebuah sosok


yang meringkuk tak bergerak di lapangan.

Oh, tidak... jangan lagi! teriak benakku.

“Tidaaaaak!”

97 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
21
JANTUNGKU berdetak kencang. Aku menatap sosok yang tidak
bergerak di lantai kayu tersebut.

Kukedipkan mataku satu kali. Dua kali. Pandanganku menyesuaikan


diri dengan keremangan.

Dengan tangan gemetar aku mencari-cari saklar lampu dan


menghidupkannya.

Ransel hijau Barry tergelak di lantai, di tengah-tengah gimnasium.

Bukan Barry. Bukan Barry. Ransel Barry.

Aku bergegas menyeberangi gimnasium untuk mengambil ransel


tersebut. Sewaktu membungkuk, kudengar suara-suara dari balik
pintu gimnasium. Aku bergegas menuju pintu ganda yang terbuka
sedikit.

“Barry?” panggilku sambil mendorong salah satu daunnya hingga


terbuka.

Di lorong, Barry berdiri sambil memeluk Riki. Mereka tengah


berciuman. Tapi mereka bergegas memisahkan diri sewaktu melihat
kehadiranku.

“Oh! Hei, Marty,” kata Barry tergagap.

Riki tersenyum. “Hai, Marty.”

“Hei, guys,” jawabku.

98 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Jadi, Barry dan Riki berpacaran. Bagus juga menurutku. Barry
memerlukan pacar. Dan aku sudah memperjelas bahwa aku tidak
tertarik pada Riki.

Aku meringis ke arah Riki. “Sekarang aku tahu kenapa Gayle


berkeliaran di luar, menatap arlojinya.”

“Uupss!” Riki tertawa kecil. “Kuharap dia tidak marah. Aku... eh... ada
urusan.” Ia tersenyum pada Barry.

“Dengar Barry, aku harus pergi sekarang. Jelas aku sudah terlambat
untuk bekerja,” kataku menjelaskan. “Maaf kalau aku tidak bisa
menunggu.”

“Tidak apa,” jawabnya. “Bukan masalah. Mungkin Gayle mau


kutumpangi.”

Kuserahkan ransel Barry kepada pemiliknya.

“Sampai nanti?” tanya Barry.

“Kuusahakan,” kataku berjanji.

®LoveReads

“Kau terlambat, Marty,” bosku memarahi.

“Maaf, Carolyn. Aku tidak punya alasan bagus,” kataku mengakui.

“Kali ini kumaafkan. Bagaimana kabarmu?” tanyanya, ekspresinya


melunak. Pandangannya mempelajari diriku.

99 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
“Sedang kuatasi,” kataku padanya. “Terkadang sulit bagiku untuk
percaya bahwa Dwayne sudah meninggal. Tak bisa kubayangkan
bagaimana rasanya tidak bisa bertemu lagi dengannya.” Carolyn
menyentuh bahuku. “Berat. Senang kau bisa mengatasinya.”

Ia mendesah. “Kuharap aku bisa tinggal dan bercakap-cakap, Marty.


Tapi aku harus pergi. Tapi, terlebih dulu, kau harus bertemu dengan
penghuni baru kita, Brutus.”

“Brutus?”

Ia mengajakku ke ruang kandang.

“Aku mencari-cari kandang ini di gudang seharian tadi,” Carolyn


menjelaskan.

Aku menatap Brutus. Kandangnya, jauh lebih besar daripada


kandang-kandang lainnya, berada di ujung barisan.

“Wow!” kataku sambil mendekati hewan besar tersebut. “Aku tidak


tahu kau juga menampung serigala jadi-jadian!”

Carolyn tidak tertawa mendengar gurauanku.

“Jangan terlalu dekat, Marty,” katanya memperingatkan. “Brutus


berbahaya. Dokter hewan akan kemari besok pagi untuk
membuatnya tidur.”

Kutatap anjing kampung raksasa tersebut. Hewan itu beratnya pasti


seratus kilo! Anjing itu tidak menyalak atau menggeram padaku.
Tapi aku tetap menjauh.

100 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Sewaktu aku masih kecil, ayahku pernah menjelaskan bahwa anjing-
anjing yang pendiam terkadang lebih berbahaya, karena kau tidak
tahu apa yang akan dilakukannya.

Setelah Carolyn pergi, semua anjing dan kucing kuberi makan.


Brutus bergerak-gerak tidak nyaman sewaktu kuberikan piring
makanannya di dalam kandang. Ia menunduk dan menatapku dengan
sepasang mata kuning.

Beberapa ekor kucing mondar-mandir dalam kandang mereka


dengan gugup. Tapi ruang kandang yang besar tersebut sunyi.

Kuambil sapu dari lemari persediaan dan mulai menyapu. Aku berada
di tengah-tengah ruangan—di lorong antara anjing dan kucing—
sewaktu mendengar sesuatu. Suara menggeser lembut. Langkah
kaki.

Aku menyandar ke sapu dan mendengarkan. Mulutku tiba-tiba


terasa kering. Kedua kakiku gemetar. Terdengar langkah kaki lain.
Kucengkeram tangkai sapu begitu keras, hingga tanganku terasa
sakit.

“Siapa... siapa di situ?” kataku dengan suara tercekik. Tidak ada


jawaban.

“Hei... siapa di sana?” teriakku.

Kudengar langkah kaki lain. Dari dinding seberang. Lalu kudengar


dentangan. Dentangan logam. Seekor anjing menyalak. Anjing
lainnya mengikuti. Lalu seluruh anjing yang ada menyalak.

101 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Kuangkat sapuku, seakan-akan hendak menggunakannya sebagai
senjata. Aku maju selangkah ke arah asal suara.

Kucing-kucing mulai mengeong.

Di atas segala keributan tersebut kudengar dentangan logam lain


lagi. Pintu sebuah kandang menghantam dinding kandang. Kucing-
kucing mendesis dan mengeong. Anjing-anjing menyalak.

“Hei!” teriakku.

Seekor kucing melangkah ke lorong.

“Hah?” Aku tersentak terkejut.

Seekor kucing lain melangkah keluar di samping kucing pertama.

Kudengar pintu kandang lain dibuka.

Dua ekor kucing lagi melompat ke lorong. Mereka melengkungkan


punggung. Gigi-gigi mereka berkilau dalam cahaya saat mereka
mendesis ke arahku.

Aku mundur selangkah. “Ada apa ini?” jeritku.

Kenapa ada yang membuka pintu-pintu kandang? Siapa yang ada di


dalam sana?

“Please...” aku hendak bicara.

Pintu kandang lain berdentang membuka. Lebih banyak kucing lagi


yang memenuhi lorong.

Anjing-anjing menyalak dan melolong.

102 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Seekor kucing kuning menerjangku. Hewan tersebut mengangkat
cakar depannya dan mencakar udara.

“Tidaaaak!” Aku menyurut mundur. Kudengar dentangan keras lagi.


Lebih dekat. Tapi aku tidak melihat seorang pun.

Kucing-kucing bertambah dekat, sambil mencakar-cakar udara.


Mendesis-desis. Ekor mereka berdiri tegak. Punggung melengkung.

“Siapa di sini? Siapa yang melakukan ini?” jeritku.

Kucing-kucing tersebut sekarang bergerak lebih cepat. Mata mereka


kemilau. Pandangan mereka mengancam. Pandangan dingin.

Aku mundur. Satu langkah. Lalu langkah berikutnya.

Desisan dan meongan kucing-kucing semakin memekakkan telinga.


Tapi aku tidak bisa memperhatikannya.

Kucing-kucing tersebut membentuk lingkaran. Mengepung diriku.

Mereka melengkung pada kaki belakang mereka. Selusin ekor kucing


yang mendesis-desis. Mereka menampilkan gigi-gigi mereka.
Mengangkat cakar mereka.

Dan melompat menyerang.

103 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


22
“TIDAAAAAAK!”

Lolongan serak terlontar dari kerongkonganku. Kuangkat sapu di


antara kedua tanganku.

Dua ekor kucing menerkam dadaku sambil menjerit. Kuayunkan


tangkai sapu ke arah mereka—melemparkan mereka hingga terbang
melewati kandang-kandang.

“Marty—apa yang kau LAKUKAN?” Seseorang berteriak mengatasi


salakan dan jeritan hewan- hewan.

Aku terhuyung-huyung mundur hingga mengenai dinding. Kucing-


kucing tersebut menyurut mundur. Mereka sekarang diam.
Menatapku dengan mata mereka yang kemilau.

Anjing-anjing berhenti menyalak.

Dengan perasaan gamang, aku berjuang untuk meredakan napas.


Keringat mengucur di dahiku. Seluruh tubuhku gemetar.

Carolyn melangkah ke lorong, pandangannya liar karena shock.


“Marty—kenapa?”

Sapu di tanganku terjatuh.

Carolyn meraih seekor kucing hitam dan dengan lembut


meletakkannya kembali ke dalam kandang. Kucing-kucing tersebut
sekarang mendengkur lembut.

104 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“A... ada orang yang kemari tadi!” kataku dengan napas tersentak,
menelan ludah dengan susah payah. “Ada yang melepaskan kucing-
kucingnya.”

Carolyn berpaling dan mencari-cari di dalam ruangan. “Siapa yang


kemari?” Ia kembali memandangku, wajahnya tampak khawatir.
“Marty, pintunya dikunci. Tidak ada yang bisa masuk kemari.”

“Tidak. Sungguh...,” kataku bersikeras, jantungku masih berdebar-


debar kencang.

Carolyn mengumpulkan kucing-kucing yang lain dan


mengembalikan mereka ke kandang. Aku tidak bergerak dari
dinding. Kedua kakiku masih gemetar terlalu hebat untuk bisa
berjalan.

“Mereka... menyerangku!” kataku pada Carolyn. “Ada yang membuka


kandang dan...”

“Marty, pergilah ke kantor,” kata Carolyn tegas. Ia memberi isyarat


dengan tangannya. “Please. Pergilah ke sana dan duduk.”

Dengan patuh aku meninggalkan ruang kandang dan berjalan ke


kantor. Dalam perjalanan, aku mengambil air minum dari pancuran.

Kalau saja aku bisa berhenti gemetaran!

Carolyn masuk ke kantor beberapa menit kemudian. Ia menggigiti


bibir bawahnya dan memandangku serius sambil duduk di belakang
mejanya.

“Carolyn...,” aku hendak bicara.


105 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Tapi ia mengangkat tangan, menyuruhku diam. “Marty, aku tahu
kau baru saja mengalami shock,” katanya lembut. “Tapi kau harus
menyadari—kaulah yang sudah membuka kandang-kandang itu. Kau
yang melepaskan kucing-kucingnya.”

“Tidak...,” kataku bersikeras. “Dengarkan aku...”

Ia menggeleng. “Tidak ada orang lain lagi di sini, Marty. Kau


sendirian bersama hewan-hewan itu. Sendirian. Aku kembali karena
tas tanganku tertinggal. Dan melihat kau di sana. Kandang-
kandangnya terbuka. Kucing-kucingnya ada di mana-mana di lantai.”

“Tapi... mereka menyerangku!” jeritku.

Ia kembali menggeleng. Ia mengangkat satu jari ke bibirnya. “Aku


melihat kau yang menyerang mereka,” katanya. “Aku melihat kau
mengayunkan sapu. Kucing-kucing itu hanya mengawasimu.”

“Tidak!” jeritku. “Kau harus percaya padaku!”

“Aku percaya kau sedang tertekan. Dan sangat jengkel. Dan


mungkin tengah shock,” jawab Carolyn. “Aku akan mengantarmu
pulang, Marty. Dan kuminta kau berbicara dengan orangtuamu.
Mungkin menemui dokter. Dan berusaha memulihkan
ketenanganmu lagi.” Ia bangkit berdiri dan berjalan mengitari meja
ke kursiku. “Aku khawatir denganmu. Sungguh.”

Aku juga khawatir dengan diriku sendiri.

Apa mungkin Carolyn benar? Apa benar aku menderita shock? Apa
aku yang sudah melepaskan kucing-kucing itu dari kandang?

106 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Tidak. Tidak mungkin, kataku sendiri. Tapi bagaimana aku bisa
yakin?

“Aku... aku bisa pulang sendiri,” kataku padanya. Aku bangkit berdiri
dengan gemetar. “Aku sungguh menyesal,” gumamku. “Aku... aku
masih harus bekerja di sini lima jam lagi. Kau mau...”

“Aku mau kau kembali kalau kau merasa sudah siap,” katanya.

“Yakin kau tidak mau kuantar pulang?”

“Tidak. Trims. Mobilku ada di luar.”

Ia tetap memegangi bahuku, sementara aku mendului berjalan ke


pintu. Lalu ia berdiri di ambang pintu, mengawasiku sementara aku
memundurkan mobil dan kemudian melaju pergi.

“Wow,” kataku keras-keras, sambil berbelok menuju Fear Street.


“Wow. Wow.”

Aku masih gemetar. Aku tidak ingin pulang. Aku tidak ingin
memberitahu Mom dan Dad akan apa yang sudah terjadi. Tapi aku
harus berbicara dengan seseorang. Jadi, aku menuju rumah Barry.

Rumah tersebut gelap gulita sewaktu aku memasuki jalur masuk.


Aneh, pikirku. Ia tahu aku akan mampir sepulang kerja nanti.

Ia pasti ada di belakang, pikirku.

Aku turun dari mobil—dan terjatuh karena sepeda roda tiga milik
adik lelakinya. “Aowww!” Aku jatuh ke aspal. Kulit tanganku
terkelupas.

107 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Malam yang buruk,” gumamku. Aku beranjak bangkit,
membersihkan diri, dan berjalan ke pintu depan.

“Hei...” Yang membuatku terkejut, pintunya terbuka beberapa inci.

Ada yang sudah ceroboh, pikirku.

Kudorong pintunya hingga membuka sedikit lebih lebar dan


mengintip ke dalam ruang duduk. Gelap total.

“Ada yang di rumah?” panggilku. “Hei, Barry—kau di rumah?”

Tidak ada jawaban.

Aku masuk selangkah ke dalam ruangan. “Barry? Kau di sini? Ini


aku.”

Sunyi.

“Hei—kau membiarkan pintumu terbuka!” teriakku.

Masih tetap tidak ada jawaban. Jadi, kuputuskan untuk menuju


bagian belakang rumah.

Aku maju beberapa langkah ke lorong—dan terjatuh karena sesuatu


yang lembut dan berat di lantai ruang duduk.

108 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


23
“OH, tidak!”

Jeritan lirih terlontar dari kerongkonganku. Aku jatuh berlutut.


“Barry? Barry?”

Sambil menjerit serak, aku mengulurkan tangan—dan menyalakan


lampu meja. Dan menatap apa yang tadi telah membuatku terjatuh.
Sebuah karpet tergulung.

Aku mendesah panjang. “Marty, kau sudah lepas kendali,” kataku


sendiri. “Kau benar-benar lepas kendali.”

“Hei—ada orang di sana?” Kudengar Barry memanggil dari bagian


belakang rumah.

Aku terlompat. Kudengar suara bisik-bisik. Lalu tawa kecil seorang


gadis.

“Ini aku,” kataku. Setelah melangkahi karpet, aku bergegas ke ruang


dalam.

Dan menemukan Barry dan Riki duduk berdekatan—sangat dekat—


di sofa kulit.

Noda lipstik merah tua mengotori pipi Barry. Rambut Riki


berantakan di sekitar wajahnya. Lengan Barry memeluk bahu Riki.

“Hei—hai!” sapa Barry sambil meringis. “Ada apa, Marty? Kami...


eh...”

109 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Riki menyelinap menjauhinya. Ia mendorong rambutnya ke belakang
dengan dua tangan.

“Pintunya terbuka,” kataku sambil menunjuk dengan kikuk. “Aku


tidak bermaksud...”

“Kukira kau bekerja di tempat penampungan malam ini,” kata Riki


sambil meluruskan sweater-nya. “Kata Barry, kau baru datang larut
malam nanti.”

“Aku... aku harus pergi lebih awal,” kataku tergagap. “Ada kejadian
aneh di sana. Dan Carolyn merasa sebaiknya aku pulang dan...”

“Siapa itu Carolyn?” tanya Riki.

“Dia bosku di sana,” kataku menjelaskan. “Ada yang mengeluarkan


kucing-kucing dari dalam kandang. Dan...”

“Maaf?” sela Barry.

“Kucing-kucingnya lepas semua,” kataku, mengulangi dengan nada


mendesak. “Dan mereka menyerangku. Mereka mendesakku sampai
tersudut ke dinding. Dan kalau Carolyn tidak lupa membawa pulang
tas tangannya...”

Suaraku menghilang. Kulihat cara mereka menatapku. Mereka tidak


mempercayaiku. Kenapa tidak? Kata-kataku memang terasa tidak
masuk akal. Seluruh cerita itu terdengar tidak masuk akal.

Mereka tidak mempercayaiku—dan tidak ingin mendengar kisah


gila-gilaan tentang kandang-kandang yang membuka sendiri dan

110 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


kucing-kucing yang menyerang manusia. Mereka ingin berdua saja
agar bisa berpacaran. Bisa kulihat semuanya di wajah mereka.

Barry mendesah. “Mungkin nanti saja aku meneleponmu?” katanya.


Ia terus memberi isyarat dengan matanya.

“Yeah. Oke.” Aku bisa menangkap maksudnya.

“Kau tidak apa-apa, Marty?” tanya Riki. “Kau tampak agak... kacau.”

“Tidak. Aku baik-baik saja,” gumamku. “Sampai nanti, guys.”

Aku berbalik dan bergegas meninggalkan ruangan. Aku lari


menyeberangi ruang duduk yang gelap, hampir-hampir jatuh karena
karpet tergulung itu lagi.

“Whoa!” jeritku. Aku melompatinya, dan menghambur keluar dari


rumah.

Dan menabrak seorang pria besar berambut ubanan yang menyusuri


jalur masuk.

Kami berdua menjerit terkejut.

“Siapa kau?” tanya pria itu. Ia memicingkan mata memandangku.


Mempelajariku.

“Teman Barry,” jawabku tanpa bernapas.

Ia mengangguk, tetap memandangiku. “Aku tetangganya,” katanya,


memberi isyarat ke rumah di seberang. “Kulihat pintu depannya
terbuka. Aku kemari sekadar memastikan tidak ada kejadian apa-
apa.”

111 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Yeah. Tidak ada apa-apa,” kataku padanya. “Kurasa Barry hanya
lupa menutupnya sewaktu masuk tadi.”

Tetangga itu mengamatiku dengan lebih teliti lagi. Lalu ia


mendengus dan berbalik kembali ke rumahnya. “Malam yang bagus,”
gumamnya sambil berlalu.

“Tidak juga,” jawabku lembut.

Bukan malam yang bagus sama sekali, kataku memutuskan sendiri.


Malahan malam ini merupakan salah satu malam paling menakutkan
seumur hidupku.

Aku tidak tahu bahwa ketakutan itu baru saja dimulai.

112 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


24
KEESOKAN harinya ibuku mengetuk pintu kamar tidurku pukul
tujuh lebih sedikit. Hujan deras menghantam jendelaku dan awan-
awan gelap menghalangi matahari.

Aku ingin menutupi kepala dengan bantal dan melanjutkan tidur.


Tapi sudah dua kali aku terlelap. Satu kali lagi dan aku pasti akan
terlambat ke sekolah.

“Marty? Kau sudah bangun?” panggil Mom dari lorong.

“Yeah!” kataku sambil mengerang. “Sudah. Aku turun sebentar lagi.”

“Boleh aku masuk?” tanyanya.

“Silakan,” jawabku.

Sewaktu Mom membuka pintu, bisa kulihat bahwa ia baru saja


menangis. Kedua matanya merah dan bengkak. Ia mengusap
rambutnya dan berkata, “Kenakan pakaianmu dan cepatlah turun,
Marty.”

“Ada apa, Mom?” tanyaku. “Apa yang terjadi?”

“Marty,” bisik Mom, menghapus air mata dari pipinya. “Marty, ada
polisi di bawah yang ingin bicara denganmu.”

Jantungku serasa tenggelam. Polisi.

Kukenakan celana jeans dan kaus. Lalu kuikuti ibuku turun ke


bawah.

113 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Kenapa ibuku menangis? Pertanyaan tersebut menghantuiku saat
melangkah masuk ke ruang duduk. Kedua polisi berseragam tersebut
berdiri berdekatan, berbisik-bisik.

“Opsir Martinez, Opsir Lambert, ini putraku, Marty,” kata Mom


pada mereka.

“Hai,” gumamku.

“Marty, duduklah,” kata Opsir Martinez. Aku merasa terganggu


karena ia mempersilakan aku duduk di rumahku sendiri.

Aku duduk dan menunggu. Polisi tidak mengatakan apa-apa selama


beberapa detik.

“Apa ini karena kejadian semalam?” tanyaku, muak karena


menunggu.

“Ada apa semalam?” tanya Opsir Lambert, memicingkan matanya.

“Di tempat penampungan hewan,” kataku menjelaskan. “Ada yang


membuka kandang-kandangnya dan...”

Kedua polisi tersebut bertukar pandang, lalu memandang ibuku.


Akhirnya mereka kembali mengalihkan perhatian kepadaku.

“Tidak. Ini bukan karena kejadian di tempat penampungan,” kata


Opsir Lambert.

“Marty, apa kau pergi ke tempat lain sesudah meninggalkan tempat


penampungan hewan semalam?” tanya Martinez.

114 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Tentu saja.” Aku angkat bahu. “Aku ke rumah temanku, Barry.
Kami seharusnya belajar bersama. Tapi pacarnya juga ada di sana,
jadi aku pergi.”

“Pacarnya?” tanya Lambert. “Maksudmu Riki Crawford?”

“Yeah,” kataku menyetujui. “Look, apa ada kejadian di tempat


penampungan sesudah aku pergi? Apa Carolyn baik-baik saja?”

“Dia baik-baik saja, Marty,” kata Opsir Martinez, berusaha


meyakinkan diriku.

Lalu jantungku hampir-hampir berhenti berdetak.

“Oh, tidak,” bisikku. “Tolong jangan katakan ada sesuatu yang


menimpa Barry. Please...”

Kedua polisi tersebut menunduk. Lambert menggigit bibirnya


sebelum berbicara.

“Maafkan aku, Marty,” katanya lembut. “Ada yang membunuh


temanmu Barry semalam. Dia dicakar habis-habisan.”

115 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


25
“DWAYNE dan Barry,” bisikku. “Dwayne dan Barry. Mustahil.”

“Oh, Marty, benar-benar mengerikan,” kata Mom sambil terisak. Ia


menggeleng, dagunya gemetar. “Aku turut berduka.” Ia memelukku.

Aku duduk di kursi dan memandang kosong. Aku tidak bisa


membalas pelukan Mom. Aku bahkan tidak menangis.

“Marty? Kau baik-baik saja?” tanya Opsir Martinez. “Kami bisa pergi
dulu dan kembali lagi nanti.” Pertanyaan polisi tersebut
menyentakkan diriku kembali ke kesadaran.

“Tidak. Tidak, aku baik-baik saja, kurasa,” gumamku. “Apa yang


ingin kalian ketahui?”

Ibuku berjalan ke depan sofa dan duduk di sampingku. Kedua polisi


tersebut masih tetap berdiri, dan itu menyebabkan aku gugup.
Seakan-akan mereka burung pemakan bangkai, menatap diriku.

“Mungkin kau ingin memanggil pengacara?” tanya Opsir Martinez.


“Kami harus memberimu pilihan itu.”

Aku menggeleng. “Akan kujawab pertanyaan kalian. Aku ingin


membantu.”

“Pukul berapa kau meninggalkan rumah Barry semalam, Marty?”


tanya Lambert.

“Entahlah.” Aku angkat bahu.

116 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Beberapa menit sebelum pukul sepuluh, kurasa. Riki mungkin lebih
ingat. Dia masih ada di sana bersama Barry sewaktu aku pergi.”

“Ada tetangga yang melihatmu lari keluar dari dalam rumah,” kata
Lambert, tatapannya menusuk mataku. “Kata tetangga itu kau
tampak liar, sangat bersemangat.”

“Tunggu sebentar!” jeritku. “Kalian tidak mengira aku yang


membunuh Barry, bukan? Kalian pasti sudah sinting!”

Kedua opsir tersebut mengangkat alis mereka.

Lalu Martinez angkat bahu. “Cobalah mengerti dari sudut pandang


kami, Marty,” katanya. “Kami mengetahui semua kejadian yang
melibatkan dirimu selama beberapa minggu terakhir ini.”

“Hah?” jeritku. “Kejadian?”

Ia mengangguk. “Mula-mula, ada pembunuhan kucing di gimnasium


sekolah. Lalu kau bertingkah laku aneh di sesi Sidang Murid. Kau
memberitahu semua orang bahwa kau melihat kucing yang sudah
mati, padahal tidak ada apa-apa sama sekali. Lalu kaulah yang
menemukan mayat Dwayne Clark.”

Aku merasa mual. Aku tidak bisa mendebat semua yang


dikatakannya.

“Akhirnya, semalam di tempat penampungan hewan,” kata polisi


tersebut, melanjutkan, “kata manajernya dia menemukan semua
kucing terlepas. Dan kau sedang memukuli mereka dengan sapu.”

117 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Ini keterlaluan!” sembur ibuku. “Dwayne dan Barry teman- teman
terbaik putraku!”

“Aku bukan pembunuh!” jeritku. “Oke. Oke. Aku membunuh kucing


itu. Tapi itu kecelakaan. Aku tidak akan pernah menyakiti siapa pun.
Terutama teman-teman terbaikku.”

Martinez memberi isyarat dengan dua tangan agar aku tenang.

“Maaf,” gumamku. “Aku... aku begitu bingung. Aku tidak tahu harus
mengatakan apa. Kalian tidak benar-benar menganggapku sudah
membunuh Barry, bukan?”

“Tidak,” jawab Martinez. “Tapi kami harus melacak setiap petunjuk.


Kata Riki Crawford, kau meninggalkan rumah lebih dulu daripada
dirinya. Dia keluar pukul sebelas, dan menelepon Barry begitu tiba di
rumah. Barry masih baik-baik saja pukul setengah dua belas.”

“Dengan begitu, kau punya alibi,” kata partnernya. “Dan juga Riki,”
tambah Martinez.

Kedua polisi tersebut berbalik hendak pergi. Lalu Martinez


menyambar lengan Lambert, dan mereka berbalik kembali
memandangku.

“Satu pertanyaan lagi,” kata Opsir Martinez. “Kau mengatakan pintu


rumah keluarga Allens terbuka sewaktu kau tiba?”

“Ya,” jawabku.

“Temanmu Riki ingat kau mengatakan sesuatu tentang pintunya


yang terbuka,” lanjut Martinez. “Tapi dia bersumpah bahwa sewaktu
118 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
dia dan Barry duduk di ruang dalam, pintu depannya tertutup dan
terkunci.”

“Apa maksud Anda?” tanyaku, merasa sangat kebingungan.

“Maksud Anda pembunuhnya mungkin sudah ada di dalam rumah


sewaktu Marty tiba di sana?” tanya ibuku.

Kedua polisi tersebut mengangguk. Aku mengawasi mereka berjalan


ke pintu. Aku tidak mengantar mereka. Aku hampir-hampir tidak
bisa menggerakkan satu otot pun.

®LoveReads

Tentu saja pelajaran ditunda. Miss Bevan, wakil kepala sekolah,


menelepon Mom dan mengatakan kalau telah memanggil
pembimbing khusus untuk berbicara dengan murid-murid mengenai
kedua pembunuhan tersebut.

Kata Mom, aku harus menemui dan berbicara dengan mereka. Tapi
aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.

Apa yang harus dikatakan?

Aku tetap di kamarku sepanjang pagi, merasa mati. Aku tidak bisa
berpikir. Tidak bisa menangis. Aku tidak bisa melakukan apa-apa
sama sekali.

Tidak lama selewat tengah hari, aku turun ke bawah dan membuat
roti isi. Kugigit sepotong dan tidak mampu menghabiskan sisanya.

119 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Aku duduk di dapur, menatap roti tersebut sesaat. Lalu kuangkat
telepon dan menghubungi Kit.

“Marty, bagaimana kabarmu?” tanyanya.

“Aku... entahlah. Kurasa aku shock atau semacamnya. Aku tidak bisa
berpikir dengan benar.”

“Aku juga,” jawab Kit. “Sulit dipercaya.”

Kami berdua terdiam sejenak. Aku bisa mendengar suara napasnya.

“Di berita dikatakan Barry dicakari hingga tewas,” kata Kit akhirnya.
“Kedengarannya... kedengarannya sungguh sulit dipercaya, Marty.”
Suaranya pecah.

“Yeah.” Aku mendesah. “Sulit dipercaya.”

“Keduanya—anak-anak yang kita kenal—dicakari hingga tewas. Apa


pembunuhnya sudah sinting? Dia seperti hewan buas!”

Aku tidak menjawab. Tiba-tiba aku sangat ingin menutup telepon.


Aku tidak bisa membicarakannya. Kenapa aku menelepon Kit?

“Riki ada di sana bersama Barry semalam?” tanya Kit.

“Kudengar dia...”

“Yeah. Riki sedang bersamanya,” kataku menyela. “Tapi katanya dia


pergi pukul sebelas dan menelepon Barry tidak lama sesudah itu.”

“Dia pasti kacau sekali,” kata Kit. “Mungkin sebaiknya kutelepon


dia.”

120 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Baik sekali,” jawabku.

“Kita semua harus bersikap baik satu sama lain,” kata Kit. “Mungkin
dengan begitu kita bisa melewati kejadian ini.”

“Mungkin,” jawabku, merasa tenggorokanku mengencang. “Aku...


sulit bagiku untuk percaya bahwa semuanya dimulai dari kucing
bodoh itu.”

“Kau tidak sungguh-sungguh percaya...,” Kit hendak bicara. Tapi aku


tidak bisa bercakap-cakap lagi. Aku bisa merasakan diriku mulai
hancur berantakan. “Nanti saja, Kit,” kataku dengan suara tercekik.

Kututup telepon sebelum ia sempat mengatakan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang kulakukan sepanjang sore harinya. Aku
tidak benar-benar ingat.

®LoveReads

Keesokan harinya, sekolah menyelenggarakan pertemuan khusus


untuk mengenang Dwayne dan Barry.

Acara tersebut sangat menyedihkan. Hampir semua orang menangis.

Para pembimbing menawarkan untuk mengadakan pertemuan


dengan murid-murid yang ingin dibantu.

Sesudah itu Coach Griffin menyelenggarakan rapat regu. Acara


tersebut merupakan rapat paling sunyi yang pernah kami
selenggarakan.

121 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Bagaimana perasaan kalian?” tanya Coach Griffin. “Masih ingin
bertanding dalam turnamen? Atau sebaiknya kita lewatkan saja?
Sejujurnya saja. Akan kupenuhi semua keinginan kalian.” Semuanya
berpaling memandangku.

Semua orang tahu Dwayne dan Barry merupakan teman-teman


terbaikku.

“Kita... kita tidak bisa menang tanpa mereka,” gumamku. “Kurasa


sebaiknya kita tidak ikut bertanding.”

Beberapa orang mengangguk. Tapi yang lainnya memprotes. Kevin


berbicara. “Marty, sesudah kematian Dwayne, kau yang mengatakan
kita seharusnya bertanding demi dirinya. Sekarang kurasa kita harus
bermain sebaik-baiknya—dan bertanding demi Dwayne dan Barry.”

Kami membicarakan hal itu lebih jauh. Lalu kami memutuskan untuk
terus mengikuti pertandingan.

Kubayangkan kedua temanku membawa bola melintasi lapangan,


saling menggoda, melemparkan bola dengan anggun.

Aku harus keluar dari gimnasium tersebut. Menjauh dari semua


orang.

Aku menghambur keluar, memasuki lorong, dan berlari-lari kecil ke


lokerku.

Dua orang gadis tengah bersandar ke dinding. Keduanya berbicara


bersamaan. Gayle dan Riki. Mereka berhenti bicara sewaktu melihat
kehadiranku.

122 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Riki bergegas mendekat dan memelukku. “Bagaimana?” bisiknya.

Aku angkat bahu. “Kau tahu.”

Mereka bertukar pandang. Mereka berdua tampak sangat tegang.

“Ada apa?” gumamku. “Kalian berhenti bicara sewaktu aku muncul.”

“Kami... eh... membicarakan dirimu,” jawab Riki, pandangannya


terarah pada Gayle.

“Marty, kami agak khawatir,” kata Gayle. “Maksudku, tentang


dirimu.”

“Aku?” Kupicingkan mataku menatap mereka. “Bisa kuatasi,” kataku.


“Kurasa.”

“Tidak. Bukan itu yang kami maksudkan,” sela Riki. “Maksud kami...
Dwayne... Barry... kalian semua Tiga Pendekar, bukan?”

Aku mengangguk.

“Dan ada yang membunuh mereka. Dan sekarang masih tersisa satu
orang. Kau.”

Aku akhirnya memahami maksud mereka. Aku begitu terbenam


dalam pemikiran tentang kedua almarhum temanku, sehingga hal
tersebut tak pernah terlintas dalam pikiranku. “Maksudmu?”

Pandangan Gayle menusuk mataku. “Apa menurutmu kau giliran


berikutnya?” tanyanya.

123 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


26
SEWAKTU aku muncul di tempat penampungan hewan beberapa
malam kemudian, Carolyn menyambutku dengan sikap terkejut.
“Marty—bagaimana kabarmu?” tanyanya, pandangannya
mengamatiku dengan teliti.

“Oke, kurasa,” kataku padanya. “Sulit. Tapi kucoba untuk


mengatasinya.”

“Kau tidak perlu kemari malam ini,” katanya. “Kalau kau ingin
menunggu beberapa minggu lagi...”

“Tidak. Aku harus tetap sibuk,” kataku. “Agar pikiranku tidak


melayang ke mana-mana.”

Ia mengajakku ke ruang kandang. “Aku sudah memberi makan


mereka semua,” katanya. “Aku tidak mengira kau akan kemari. Jadi,
kurasa kau bisa menyapu dan membersihkan saja.”

Sebuah salakan keras menyebabkan aku berputar. “Hei!” jeritku.


“Anjing jahat itu—Brutus. Kukira dia sudah ditidurkan.”

“Ada yang menyelamatkannya pada detik terakhir,” jawab Carolyn.


“Kita mungkin menemukan pemilik untuk Brutus. Orang yang
sedang mencari anjing yang benar-benar menakutkan untuk menjaga
tokonya.”

“Brutus mendapat pekerjaan,” gumamku. Anjing tersebut


menggeram ke arahku.

124 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Kurasa itu gagasan buruk,” kata Carolyn. “Sifat Brutus benar- benar
jelek. Tapi...”

Telepon berdering. Carolyn bergegas ke kantor untuk menerimanya.

Aku berjalan menyusuri lorong di sela-sela kandang, menuju lemari


peralatan. “Kuharap kalian bersikap baik malam ini,” kataku pada
kucing-kucing.

Beberapa menit kemudian, Carolyn mengucapkan selamat malam.


Kudengar pintu depan ditutup di belakangnya. Lalu kudengar
mobilnya melaju meninggalkan tempat parkir.

Aku menyandar ke sapu, mendorongnya sepanjang lorong pertama.


Kembali di tempat penampungan ini menyebabkan aku merinding.
Tapi aku masih harus melayani di sini beberapa jam lagi.

Dan aku sangat ingin tetap sibuk. Mati-matian agar benakku tetap
sibuk.

Kalau saja suasana di sini tenang malam ini, pikirku.

Tapi keinginanku tidak terpenuhi.

125 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


27
AKU tengah menyapu lorong terakhir sewaktu kucing-kucing mulai
mendesis.

Mula-mula hanya beberapa ekor. Di sisi seberang ruang kandang.


Tapi suara tersebut dengan cepat menyapu seluruh ruangan, seperti
angin yang kuat dan marah.

“Hentikan!” teriakku. “Hentikan sekarang juga!”

Aku tahu tindakan tersebut bodoh. Berteriak-teriak pada kucing.


Dan tampaknya justru menyebabkan mereka semakin bersemangat.

Kulepaskan sapu dan kututupi telinga dengan tangan. Kucing-


kucing mengeong dan mendesis-desis. Keributan yang memekakkan
telinga tersebut menyebabkan anjing-anjing mulai menyalak.

“Ada orang di sini?” panggilku.

Apa ada orang yang sudah menyebabkan hewan-hewan ini berubah


sinting?

“Ada orang di sini?” teriakku sekuat tenaga. Tidak ada jawaban.

Anjing-anjing menubruk sisi kandang masing-masing, seakan- akan


hendak keluar. Kucing-kucing melengkungkan punggung mereka
dan mendesis.

Aku harus pergi dari sini, pikirku.

Tidak ada alasan untuk tetap berada di sini.

126 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Aku berbalik menuju kantor—dan tersentak terkejut.

“Kit!” seruku.

Kit melangkah keluar dari balik deretan kandang kucing. Ia


mengenakan kaus kelabu longgar dan celana hitam ketat.
Rambutnya tergerai di sekitar wajahnya.

“Kit...,” teriakku untuk mengatasi jeritan dan desisan hewan- hewan.


“Apa yang kaulakukan di sini? Aku senang bertemu denganmu!”

Yang membuatku terkejut, ekspresinya berubah keras dan dingin.

“Sekarang giliranmu, Marty,” katanya.

127 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


28
“HAH?” Aku maju selangkah mendekatinya. “Kit—apa katamu tadi?
Di sini ribut sekali.”

Ia mengangkat satu tangannya.

Desisan dan salakan seketika berhenti. “Hei—ajaib!” seruku. “Apa


yang terjadi di sini?”

“Sekarang giliranmu, Marty,” ulangnya; ia menatapku dengan


pandangan sedingin es.

“Giliranku? Aku tidak mengerti.”

“Kau membunuhku,” katanya dengan pelan, datar. “Kau


membunuhku, lalu kedua temanmu tertawa-tawa.”

Aku maju mendekatinya, benakku berputar. “Kit, kau baik-baik saja?”


tanyaku. “Kata-katamu tidak masuk akal.”

Ekspresinya berubah semakin dingin. Ia menarik bibirnya dan


menggumamkan desisan menakutkan. “Akulah kucing itu, Marty,”
bisiknya. “Aku kucing gelandangan itu. Kucing dari gimnasium.
Kucing yang kaubunuh bersama teman-temanmu.”

“Whoa!” seruku. “Tenang. Tenang dulu.”

Kuletakkan tanganku di bahunya. Tapi ia mendesis lagi bagai hewan


dan menyentakkan bahunya dari tanganku. Wajahnya memancarkan
kebencian. Mata hijaunya menyambar marah.

128 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Tenang,” kataku. “Akan kupanggilkan dokter. Kau akan sembuh.
Kau hanya tegang, Kit. Karena semua kejadian mengerikan selama
minggu kemarin. Kau jadi mengatakan yang tidak-tidak. Tapi... akan
kucarikan bantuan.”

“Akulah kucing itu, Marty,” ulangnya. “Kau sudah bertemu dengan


keluargaku—ingat? Kucing-kucing lain dalam rumahku? Mereka itu
saudara dan saudariku.”

“Tapi, Kit...,” aku hendak bicara.

Ia mengangkat tangan dan mencakar udara.

“Aku pengubah-bentuk,” lanjutnya. “Aku salah satu pengubah-


bentuk terakhir di bumi. Aku berubah-ubah antara seorang gadis dan
seekor kucing. Mudah sekali bagiku.”

Ia maju selangkah. “Kenapa kau membunuhku, Marty? Kenapa kau


melakukannya? Kenapa kau dan teman-temanmu selalu bersemangat
untuk mengusirku?”

“Kit, please...” pintaku. “Kau bukan kucing. Kau hanya sangat


kebingungan sekarang ini. Tapi kau akan sembuh. Aku janji.”

“Kau tahu kenapa aku berkeliaran di gimnasium?” tanyanya. “Kau


tahu kenapa aku tinggal di bawah panggung penonton? Agar bisa
dekat denganmu!”

“Hah?” Aku tersentak.

“Aku diam di sana untuk menyaksikan dirimu,” katanya bersikeras.


“Aku begitu tergila-gila padamu.”
129 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com
Ia mencibir. “Itu cinta sejati, Marty. Dan bagaimana caramu
membalas? Kau menjatuhkan diriku dari atas panggung penonton.
Kau mencoba membunuhku. Kau tidak tahu bahwa aku punya
sembilan nyawa.”

Aku menatapnya tajam. Mulutku ternganga.

Aku tidak mempercayai kata-katanya sedikit pun.

Tidak sepatah kata pun.

Semuanya sinting. Kit yang malang sudah gila.

“Akan kucarikan bantuan,” kataku padanya.

“Tidak, tidak akan,” katanya. “Kau akan mati, Marty. Aku akan
merindukanmu. Sungguh. Tapi aku sudah terlalu lama bermain-main
denganmu. Sudah saatnya mengakhirinya.”

“Dengarkan aku...,” kucoba menjelaskan.

Tapi aku berhenti sewaktu melihat ia mulai berubah.

Bulu-bulu kelabu dengan cepat tersembul di seluruh wajahnya. Ciri-


cirinya melebur menjadi satu, sementara kumis kucing menjulur
keluar dari bawah hidungnya.

Ia menyelinap keluar dari pakaiannya, tertutup oleh bulu-bulu kelabu


sekarang. Menyusut... menyusut...

Dan akhirnya berdiri pada keempat kakinya. Tangan dan kakinya


berubah menjadi cakar. Sebuah ekor menjulang kaku di belakangnya.
Bibirnya tertarik ke belakang dan mendesis bagai kucing.

130 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


“Tidaaaaaaak!” Aku melolong ngeri sekaligus tak percaya. Aku
tengah menatap kucing itu. Kucing kelabu dengan bercak hitam
berbentuk berlian di dahinya.

Aku tengah menatap Kit. Menatap kucing yang sudah mati itu.
Menatap kucing yang sudah kubunuh.

“Tidak—please!” pintaku.

Aku terhuyung-huyung mundur. Tapi tidak cukup cepat.

Ia melompat tinggi, mengangkat kedua cakarnya yang tajam. Sakit


yang luar biasa menyambar seluruh wajahku.

Kulihat darah merah manyala—darahku!—menciprati lantai.


“Ohhhhh.” Sakitnya menyebar ke seluruh tubuhku.

Ia menarik cakarnya. Kulihat sepotong kulitku di sana.

Sambil memegangi wajahku yang berlumuran darah, aku jatuh


berlutut. Dan melihatnya mengangkat cakar untuk mengirisku lagi.

131 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


29
“AOWWWWW!”

Aku menjerit saat cakar kucing tersebut mengiris kemejaku,


merobek kulitku.

Kit menjerit. Matanya menari-nari gembira. Ia kembali menerkam.

Aku merunduk menghindar. Ia mendarat dengan keras di


sampingku, di lantai ruang kandang. Rasa sakit menyambar di
seluruh tubuhku, menyebabkan aku terlipat. Darahku membasahi
lantai.

Saat mengangkat kepala, kulihat ia bangkit berdiri. Bersiap


menyerang lagi.

Aku mengerang. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri.

Aku menyadari ia akan membunuhku. Ia akan mencincangku habis-


habisan. Ia melontarkan kepalanya ke belakang sambil menjerit
melengking. Dan menerjangku lagi.

Aku berbalik—dan cakarnya merobek sisi tubuhku. Segalanya


berubah merah. Semerah darahku. Aku tercekik. Terengah-engah
menghirup napas. Aku merasa diriku semakin lemah. Memudar...
memudar menjadi merah.

“Tidaaak!” kataku sambil mengerang. Kudorong diriku maju.


Menyambar kandang-kandang anjing sebagai pegangan.
Mengangkat diriku menjauhinya.

132 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Sebuah geraman tajam menyebabkan aku berhenti. Sekalipun
kesakitan, sekalipun pandanganku berkunang-kunang, aku
melihatnya. Brutus.

Anjing besar tersebut menggeram ke arahku.

Kudengar Kit menjerit. Aku berbalik dan melihatnya berlari ke


arahku dengan keempat kakinya. Pandangannya liar. Bulu-bulunya
berdiri tegak bagai tersengat listrik.

“Brutus,” kataku sambil mengerang.

Aku berusaha membuka selot kandang. Tanganku gemetar hebat,


hingga sulit bagiku untuk melakukannya. Akhirnya aku bisa menarik
pintu kandang hingga terbuka. Anjing besar tersebut keluar kandang
tepat pada saat Kit menyerang.

Aku jatuh ke lantai. Rasa sakit menyapu seluruh tubuhku. Menarikku


ke bawah... ke bawah. Tapi kuangkat kepalaku tepat pada waktunya
untuk melihat anjing besar tersebut menjepitkan rahangnya ke
kucing itu. Kit menjerit dan mencakar.

Kudengar derakan memuakkan sewaktu Brutus mematahkan leher


Kit dengan gigi-giginya. Kit merintih panjang. Tubuhnya merosot
tanpa nyawa di rahang anjing tersebut.

Dan aku merosot ke lantai. Mengawasi tirai merahnya berubah


menjadi hitam.

133 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


30
DOKTER UGD tersebut menggeleng. Ia telah menjahit luka-
lukaku dan memeriksa diriku.

“Aku masih tidak bisa mempercayainya,” gumamnya. “Kucing yang


melakukan semua ini padamu?”

Aku mengangguk muram. “Yeah. Seekor kucing. Aku tidak tahu


mengapa hewan itu menyerangku. Tapi aku tidak akan kembali ke
tempat penampungan hewan itu lagi. Itu sudah pasti.”

“Kurasa itu tindakan yang cerdas,” dokter tersebut menyetujui.


“Kurasa kau tidak cocok bergaul dengan hewan.”

Benar-benar pernyataan yang meremehkan! pikirku. Sewaktu


meninggalkan rumah sakit dengan orangtuaku, aku berharap bisa
menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada mereka.

Tapi tidak mungkin mereka akan mempercayai ceritaku. Orangtuaku


tidak akan mempercayai adanya pengubah-bentuk.

Aku tidak kenal seorang pun yang mempercayai adanya pengubah-


bentuk.

Kecuali diriku, tentu saja.

Riki menelepon beberapa jam sesudah aku tiba di rumah. Tubuhku


terasa begitu sakit, hingga hampir-hampir tidak bisa menahan
telepon di telingaku. Tapi kami bercakap-cakap cukup
menyenangkan.

134 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Kuputuskan bahwa Riki ternyata boleh juga. Malahan ia hebat juga.

Kuputuskan untuk meminta maaf atas perlakuanku padanya sebelum


ini. Mungkin ia dan aku bisa mencoba lagi—sekarang, sesudah
kengerian itu berlalu.

Pertandingan turnamen basket yang pertama akan berlangsung hari


Jumat malam yang akan datang. Tubuhku masih terasa sakit, dan sisi
tubuhku berdenyut-denyut setiap kali menangkap bola. Tapi aku
begitu gembira karena kembali ke lapangan, begitu gembira karena
menjalani kehidupan normal, sehingga tidak kuacuhkan rasa sakit itu
dan aku berusaha sebaik-baiknya.

Pertandingan akan berakhir dua menit lagi, dan kami masih kalah
dua angka.

Kevin dan Joe Gimmell saling melemparkan bola sambil bergemuruh


melintasi lapangan. Aku berderap di dekat garis tembak, mencoba
mendapat kesempatan.

Aku berpura-pura ke kiri. Joe bisa melihat bahwa posisiku terbuka.

“Lemparkan! Lemparkan!” teriakku.

Ia berhenti men-dribble bola dan mengangkatnya, seakan-akan


hendak melemparkan bola tiga angka sendiri.

Lalu ia melontarkan bola kepadaku. Aku meraihnya.

Dan melihat cahaya hijau di bawah panggung penonton. Dua cahaya


hijau.

135 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com


Dua mata hijau. Mata seekor kucing.

Seekor kucing dengan bercak hitam berbentuk berlian di dahinya.

Bola memantul pada dadaku.

Penonton mengerang.

Aku tidak peduli.

Aku menatap kucing itu. Hewan tersebut mengacungkan cakar yang


berlumuran darah.

Dan aku mulai menjerit.

-END-

136 | CAT – Ratu-buku.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai