Anda di halaman 1dari 37

MONEY POLITICS DALAM PROSES PEMILIHAN KEPALA

DESA
(Studi Kasus di Desa Tlogorejo, Kecamatan Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro)
SKRIPSI

Oleh :
M. SAIFUDIN ZUHRI
13040704038

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa adalah kesatuan masyarakat yang memiliki batas-batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,

berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam

sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Repulik Indonesia (Pasal l angka 5

Peraturan Pemerintah RI No.72 tahun 2005 tentang Desa). Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi

yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun

pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan

urusan pemerintah tertentu. Dengan demikian urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan

hak asal-usul Desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa, tugas pembantuan

dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh

peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa untuk melaksanakan

pemerintahan tertentu.

Kepala Desa adalah pemimpin formal masyarakat desa. Theodore M.

Smith menyatakan bahwa Kepala Desa adalah semacam”raja kecil” di daerahnya

(Koentjaraningrat, 1984a: 198). Denagan adanya sebutan raja timbullah kesan

1
bahwa seorang Kepala Desa tentunya memiliki kekuasaan yang besar di

wilayahnya. Ia memegang kekuasaan yang menentukan dan harus memikul

tanggung jawabsepenuhnya terhadap pemerintahan desa (Koertohadikoesoemo,

1984: 191). Oleh karena itu, bagi masyarakat Kepala Desa bukanlah semata –

mata hanya sebagai pemimpin formal tertinggi saja, akan tetapi dianggap juga

sebagai “bapak” bagi seluruh penduduk desa.

Dahulu masa jabatan Kepala Desa di Jawa berlangsung seumur hidup,

akan tetapi sejak di berlakukannya Undang – undang Nomor 5 Tahun 1979

tentang pemerintahan Desa, usia Kepala Desa dibatasi serendah – rendahnya 25

tahun dan setinggi tingginya 60 tahun (Pasal 4). Selanjutnya masa jabatan Kepala

Desa adalah 8 (delapan) tahun, terhitung sejak tanggal pelantikannaya dan dapat

diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya (Pasal 7). Adapun

mengenai pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Desa diatur

dalam bagian ketiga, paragraf satu, Pasal 4 sampai Pasal 9.1

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengatur tentang Desa,

Kepala Desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah kecil yaitu

desa yang dipilih masyarakat secara langsung oleh penduduk desa yang

memenuhi persyaratan yang berlaku dengan masa jabatan Kepala Desa adalah 6

(enam) tahun dan Ketentuan tentang Tata cara Pemilihan Kepala Desa Kepala

Desa pada dasarnya bertanggungjawab pada rakyat desa dan prosedur

pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati/walikota melalui Camat.

Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kepala Desa wajib memberikan


1 Prof. Dr. Sartono Kartodirjo dan Dr. Hans J. Daeng, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa,
(Yogyakarta: Media Presindo, 2000) h. 1-2

2
keterangan laporan pertanggung jawaban dan menyampaikan informasi kepada

rakyat tentang pokok-pokok pertanggungjawabannya. Masyarakat tetap diberi

peluang untuk menanyakan lebih lanjut tentang pertanggungjawabannya.

Lembaga Kemasyarakatan di Desa dibentuk untuk membantu pemerintah desa

dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat.

Demokrasi merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap

rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang diartikan sebagai

pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi dalam konteks

pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan

keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai

demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem

dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki

kewenangan untuk mengurus rumah tanggga desa.

Secara historis pemilihan kepala desa telah berjalan lama dan bersifat

langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil telah dipahami sebagai pengakuan

terhadap keanekaragaman sikap politik partisipasi masyarakat dalam

demokratisasi di tingkat desa. Menengok pada aspek kesejarahan pemilihan

kepala desa di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa penjajahan. Bahkan

sejak masaVOC (Vireenigde Ostindische Compagnie) di Jawa pada waktu itu

sudah diadakan pemilihan kepala desa secara langsung oleh rakyat, walaupun

yang dimaksud pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas saja seperti

3
kalangan elite desa maupun keturunan dari kepala desa yang sebelumnya. 2

Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, pemilihan kepala desa dilakukan secara

langsung oleh masyarakat dengan hanya diwakili oleh seorang kepala keluarga

dari sebuah keluarga saja.3

Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 72 Tahun 2005, desa adalah suatu

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, mempunyai

susunan asli berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sistem pemerintahan desa telah dikenal sistem demokrasi yang terlihat

dengan adanya musyawarah yang dilakukan untuk mencapai mufakat dalam

membahas permasalahan yang terdapat dalam desa. Bentuk lain dari cerminan

sistem demokrasi di desa dapat kita lihat dengan adanya proses pemilihan Kepala

Desa (Pilkades) secara langsung yang pada waktu itu diatur oleh Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014

tentang Pemilihan Kepala Desa diterbitkan untuk melaksanakan Ketentuan pasal

46 Peraturan Pemerintah Republik Indoneisa Nomor 43 Tathun 2014 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang

menyebutkan perlunya menetapkan Permendagri tentang Pemilihan Kepala Desa.

2 Maschab, Mashuri, Politik pemerintahan desa di Indonesia,Yogyakarta:


Polgov Universitas Gajahmada, 2013, hlm 28
3 Ibid hlm. 75

4
Permendagri 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa ini ditunggu-

tunggu Pemerintah Daerah untuk dapat mengisi kekosongan posisi Kepala Desa

sekaligus dalam rangka implementasi Undang-Undang Desa. Dengan terbitnya

Permendagri tentang Pemilihan Kepala Desa ini akan menjadi dasar hukum

pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk dapat melakukan Pemilihan Kepala

Desa diaderahnya secara berbarengan ataupun bergelombang mulai di tahun 2015.

Sebab jika tidak ada kepala desa Definitif maka syarat-syarat untuk dapat

menginmlementasikan UU Desa di tahun 2015 menjadi agak kurang lengkap dan

menjadi dasar alasan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk tidak dapat

melakukan implementasi UU Desa di tahun 2015. Selain peraturan tersebut di

Kabupaten Bojonegoro juga terdapat Peraturan Bupati Bojonegoro No. 29 Tahun

2016 Tentang Pelaksanaaan Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro No. 13

Tahun 2015 Tentang Kepala Desa.

Bahwa dengan berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro

Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Kepala Desa, maka Pemilihan Kepala Desa di

Kabupaten Bojonegoro, baik yang dilaksanakan secara serentak maupun antar

waktu harus diselenggarakan dengan baik, tertib dan sesuai dengan tahapan yang

telah ditetapkan. Secara umum, Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud di atas

telah mengatur hal-hal yang harus dilakukan dan diperhatikan oleh para pihak

yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa, baik di tingkat

Pemerintah Daerah, Kecamatan dan Pemerintahan Desa. Namun begitu, masih

terdapat beberapa ketentuan pasal per pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten

Bojonegoro Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kepala Desa, yang masih memerlukan

5
petunjuk pelaksanaan mengenai hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu,

pembentukan Peraturan Bupati Bojonegoro Tentang Pelaksanaan Peraturan

Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kepala Desa ini,

diperlukan dalam rangka memberikan pedoman yang lebih implementatif terkait

ketentuan beberapa pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor

13 Tahun 2015 tentang Kepala Desa sebagaimana dimaksud.

Pada pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Bojonegoro yang digelar

serentak pada tanggal 30 November 2016 lalu, saya akan meneliti tentang

pemilihan kepala desa yang terjadi di Desa Tlogorejo yang merupakan salah satu

desa yang ikut melaksanakan pemilihan serentak pada waktu itu. Dari sini saya

akan mengambil jumlah data penduduk yang mempunyai hak pilih dari masing -

masing Dusun yang ada di Desa Tlogorejo yang terdiri dari 4 (empat) Dusun yaitu

Dsn. Bakalan, Dsn. Delik, Dsn. Tengger, dan Dsn. Karanggayam. Data tersebut

dapat dilihat pada tabel 1.1

1.1 Tabel 1.1 Jumlah data penduduk yang mempunyai hak pilih di desa

Tlogorejo Bojonegoro.

Nama Dusun
Jumlah KK Jumlah Hak Pilih

Dsn. Bakalan
165 471

Dsn. Delik
136 392

Dsn. Tengger
202 557

Dsn. Karanggayam
147 442

6
Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah keluarga dan jumlah penduduk yang

mempunyai hak pilih dari empat Dusun yang ada di Desa Tlogorejo. Total

keseluruhan Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Tlogorejo sebanyak 650

kepala keluarga, dari 650 kepala keluarga tersebut terdapat 1862 penduduk yang

mempunyai hak pilih dalam pemilihan Kepala Desa yang digelar di Desa

Tlogorejo dan mempunyai tiga calon Kepala Desa yang akan memimpin

pemerintahan Desa tersebut. Pemilihan Kepala Desa Tlogorejo yang digelar pada

tanggal 30 November 2016 lalu ada 3 (tiga) kandidat yang mencalonkan diri

menjadi Kepala Desa. Kandidat nomor satu atas nama Bapak Muslim sebagai

kandidat yang pertama, kandidat nomor 2 (dua) atas nama Bapak Masdolah dan

yang terakhir kandidat Nomor 3 (tiga) atas nama Bapak Sunardi. Dari masing

masing calon berasal dari Dusun yang berbeda, Bpk. Muslim dari Dusun Tengger,

Bpk. Masdolah dari Dusun Bakalan, dan Bpk. Sunardi dari Dusun Delik.

Selanjutnya, untuk perolehan jumlah suara dari masing – masing calon

dapat dilihat pada Tabel 1.2 Berikut data jumlah perolehan suara dari masing –

masing calon Kepala Desa.

1.2 Tabel 1.2 Jumlah perolehan suara dari masing – masing calon Kepala

Desa

No Nama Calon Kepala Desa Jumlah Perolehan Suara


.

1 Bpk. Muslim 656

2 Bpk. Masdolah 639

7
3 Bpk. Sunardi 448

Pada tabel 1.2 yang tertera diatas telah di jelaskan data dari jumlah perolehan

suara dari masing – masing calon Kepala Desa, dan dapat dilihat untuk perolehan

suara terbanyak di menangkan oleh kandidat nomor 1 (satu) yaitu Bpk. Muslim

dengan jumlah 656 suara.

Dari jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih tersebut yang dijelaskan

pada tabel 1.1 ada beberapa penduduk yang tidak menggunakan hak pilihnya

karena berhalangan hadir dan penduduk yang menggunakan hak pilihnya tetapi

tidak menggunkan hak pilihnya dengan sebaik mungkin yang termasuk dalam

suara tidak sah. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.3 Berikut data penduduk

yang hadir dan data suara yang sah pada Pemilihan Kepala Desa Tlogorejo.

1.3 Tabel 1.3 Jumlah data penduduk yang hadir dan melakukan pencoblosan

dengan benar

Peserta yang hadir 1811


Peserta yang tidak hadir 51
Suara yang sah 1743
Suara yang tidak sah 68

Pada tabel 1.3 menjelaskan jumlah peserta yang hadir dan jumlah suara yang sah

pada pemilihan Kepala Desa Tlogorejo, dari total keseluruhan penduduk yang

hadir untuk melakukan pencoblosan sebanyak 1811 penduduk, dan jumlah suara

yang sah sebanyak 1743 suara.

Dalam masa transisi menuju demokrasi seperti yang terjadi di Indonesia

saat ini salah satunya di Kabupaten Bojonegoro, penyalahgunanaan wewenang

8
yang di lakukan oleh lembaga perwakilan rakyat masih banyak terjadi.

Mekanisme demokrasi, seperti pemilu ataupun pilkades masih jauh dari sempurna

dan belum menjamin terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Dalam pelaksaanaan pilkades sering terindikasi kuat terjadinya praktik politik

uang (money politics), terjadi antara calon dan anggota masyarakat yang

mempunyai hak pilih. Pada pemilihan kepala desa inilah penduduk pemilih

melalui kepala keluarga sering menerima uang ataupun bantuan lain dari calon

Kepala Desa maupun tim sukses untuk memberikan suaranya dan adakalanya hal

tersebut terkadang disebut juga sebagai zakat. Politik uang tidak hanya terjadi

pada pemilihan umum ditingkat pusat maupun tingkat daerah saja tetapi juga

terjadi pada tingkat pemilihan kepala desa, seperti halnya yang terjadi pada

Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Bojonegoro yang di gelar serentak pada

tanggal 30 November 2016, kususnya di Desa Tlogorejo yang merupakan salah

satu desa yang ikut melaksanakan pemilihan Kepala Desa serentak.

Secara umum politik uang (money politics) merupakan suatu bentuk

pemberian berupa uang, barang atau janji menyuap seseorang supaya orang

tersebut tidak menjalankan haknya untuk memilih salah seorang kandidat pada

saat pemilihan umum. Politik Uang (money politics) sebenarnya bertentangan

dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012. Calon Kepala Desa yang

membagi-bagikan uang kepada masyarakat dalam berkampanye, bisa dikenakan

hukuman pasal pidana. Sebab hal tersebut termasuk dalam pelanggaran money

politics, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012. mengatur

larangan melakukan politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J.

9
Berbunyi: pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan

atau memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu.

Larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada pasal 301 Undang-Undang

Nomor 8 tahun 2012, yang menyatakan setiap pelaksana kampanye pemilu yang

dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai

imbalan kepada peserta kampanye pemilu, secara langsung maupun tidak

langsung. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 89, dipidana penjara paling lama 2

tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.4

Berdasarkan data yang saya dapat dari penduduk salah satu Dusun yang

ada di Desa Tlogorejo yaitu Dusun Bakalan yang mempunyai rumah menghadap

ke utara, hampir 100% mereka mengaku mendapatkan atau menerima bantuan

berupa uang ataupun sembako dari para calon kades pada waktu itu. Di dusun

Bakalan sendiri terdapat 73 rumah yang menghadap ke utara dan terdiri dari 71

KK dan terdapat 181 penduduk yang mempunyai hak pilih, dari 181 penduduk

yang mempunyai hak pilih tersebut sebanyak 169 penduduk yang mengaku

mendapatkan bantuan dari para calon kades, dan sisanya sebanyak 12 penduduk

tidak mengaku karena masih ada ikatan keluarga dari para calon kades.

Selain politik uang (money politics) disinilah juga banyak masyarakat

yang menggunakan kesempatan untuk ajang taruhan perjudian yang didalamnya

juga terdapat praktik politik uang (money politics) dan memilih salah satu pihak

siapa bakal calon yang akan menang nantinya. Bagi masyarakat Desa Tlogorejo

Bojonegoro seolah sudah tidak tabu lagi soal money politics dan taruhan yang

4 Darmawan, D. (2012, November). Pemilihan umum dan demokrasi. Jakarta


Selatan. Diakses pada tanggal 11 Juli 2017 dari suarapublik.co.id/index/index.php?politik-uang.)

10
pada dasarnya termasuk dalam ranah perjudian, dari sekedar taruhan recehan

hingga bernilai fantastis puluhan hingga ratusan juta rupiah. Pada dasarnya

perjudian dilarang keras oleh pemerintah dan telah diatur dalam KUHP pasal 303,

Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo.

Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April

1981. Pada perhelatan pilkades serentak waktu itu tak sekedar petaruh lokal yang

telah menangguk untung, sejumlah petaruh luar daerah juga ikut meramaikan

perjudian botohan kades tersebut. Menurut beberapa botoh (tim sukses) dari

kandidat nomor 1 (satu) dan 2 (dua) dan salah satu perangkat Desa Tlogorejo, soal

taruhan pilkades seperti itu sulit untuk dihindarkan, soalnya kebanyakan calon

kades sendiri juga melempar uang untuk taruhan lewat botoh (tim sukses) dari

calon kades dengan harapan menaikkan daya tawar, selain itu juga utuk

menaikkan citra dari kandidat calon kades tersebut. Paling tidak itu merupakan

salah satu strategi untuk menggoyang mental calon saingan, dan itu memang trik

yang digunakan untuk membangun kekuatan suara sebelum hari H. Dari sinilah

didalamnya juga terdapat money politik (politik uang) karena banyak para petaruh

yang nekat membeli suara dari masyarakat yang netral untuk memilih calon kades

yang dijagonya. Persaingan yang ketat diantara kedua kandidat calon kepala desa

ini memunculkan sensitifitas antar pendukung yang sangat tinggi dan berpotensi

besar menimbulkan konflik. Selain itu persaingan politik uang diantara kedua

kubu calon kades juga tidak bisa dihindarkan.

Intinya semua itu dilakukan agar kandidat calon kepala desa mendapat

dukungan suara penuh dari pemilih dan dapat memenangkan kontestasi pemilihan

11
kepala desa. Di situlah taruhan pilkades dianggap penting bagi calon kades untuk

menjalankan misinya untuk mendapatkan suara terbanyak pada penghitungan

suara nanti. Meskipun sebenarnya sudah ada himbauan dari pemkab sebelumnya,

yang akan memberikan sanksi tegas kepada calon kades dan para pihak yang

melakukan perbuatan tersebut. Tetapi semua itu tidak dihiraukan oleh masyarakat

maupun calon kadesnya, bahkan sudah menganggap money politics dan taruhan

sudah menjadi adat yang melekat dari dulu sampai sekarang setiap ada pilihan

Kepala Desa, sehingga segala carapun dilakukan oleh kandidat calon untuk

melancarkan misinya agar tidak tercium oleh pihak pemkab.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal tersebut,

sekaligus juga sebagai bentuk pemenuhan tugas akhir untuk pemenuhan gelar

sarjana strata satu (S1) dengan mengangkat judul skripsi tentang POLITIK UANG

(MONEY POLITICS) DALAM PROSES PEMILIHAN KEPALA DESA.

12
1.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut diatas maka peneliti merumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik money politics dalam pemilihan Kepala Desa serentak

di Kabupaten Bojonegoro?

2. Bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh KPU dan pihak

Pemkab Bojonegoro untuk mencegah adanya praktik money politics

dalam proses pemilihan Kepala Desa di daerah Bojonegoro?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini berdasarkan

permasalahan sebagaimana dirumuskan di atas adalah :

1. Mengetahui dan menganalisa praktik money politics dalam pemilihan

Kepala Desa serentak di Kabupaten Bojonegoro.

2. Untuk mengetehui dan menganalisa penegakan hukum yang dilakukan

oleh KPU dan pihak Pemkab Bojonegoro untuk mencegah adanya praktik

money politics dalam proses pemilihan Kepala Desa di daerah Bojonegoro

13
1.4 Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini berdasarkan

permasalahan sebagaimana dirumuskan di atas adalah :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan keilmuan dalam bidang hukum dan politik dalam

pemerintahan khususnya yang berkaitan dengan strategi pemilihan kepala

desa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi keluarga dan masyarakat

Secara peraktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan refrensi

bagi pihak-pihak yang terkait dengan proses pemilihan kepala desa dan

menyusun strategi pemerintah.

14
1.5 Kerangka Berfikir

Bagan 1

Demokrasi

Pemilihan Kepala
Desa

Pendekatan Kepada
Pemilih Hanya Penggunaan Uang Sebagai
Masyarakat Hanya
Sebagai Obyek Modal Dasar untuk
Dilakukan Selama Masa Mendapatkan Dukungan
Money Politics
Kampanye dari Masyarakat

Dilakukan Oleh Dilakukan Oleh Botoh Dilakukan Oleh Para


Kepala Desa ( Tim Sukses ) Petaruh

Hasil Penerapan Money Politics

Kemenangan Kandidat

Demokrasi

merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan yang ada di Indonesia

sebagai upaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)

atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara Indonesia. Bentuk dari

demokrasi disini adalah Pemilu, pemilu dilaksanakan untuk membentuk

15
pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan. Bentuk

lain dari cerminan sistem demokrasi di desa dapat kita lihat dengan adanya proses

pemilihan Kepala Desa (Pilkades) secara langsung yang diatur oleh Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam

proses pemilihan Kepala Desa masyarakat beranggapan bahwa masyarakat hanya

sebagai obyek, pendekatan yang dilakukan oleh calon kades dengan masyarakat

hanya dilaksanakan selama masa kampanye, penggunaan uang calon kades

sebagai modal dasar untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan semua itu

rata – rata dilakukan oleh kandidat calon Kepala Desa.

Secara umum dalam proses pemilihan Kepala Desa tidak lepas dari adanya

praktik money politics yang dilakukan oleh para calon Kepala Desa. Praktik

money politics dilakukan dengan berbagai cara yang pertama dilakukan langsung

oleh kandidat calon Kepala Desa itu sendiri yang terjun langsung dalam

masyarakat, yang kedua dilakukan oleh botoh (tim sukses) untuk mendekati

masyakat agar mau memilih kandidat calon yang didukung, dan menggunakan

cara taruhan yang didalamnya terdapat jual beli suara. Dalam kasus ini terdapat

banyak pelanggaran Hukum, yang pertama dalam praktik money politics

bertentangan dengan UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang kedua dalam

proses pemilihan Kepala Desa terdapat perjudian dalam bentuk taruhan yang pada

dasarnya dilarang keras oleh pemerintah dan telah diatur dalam KUHP pasal 303,

Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo.

Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April

1981.

16
1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan

penelitian dan penyusunan suatu karya ilmiah. Dengan kegiatan penelitian akan

terlihat jelas bagaimana suatu penelitian itu dilakukan.5 Dalam garis besarnya

uraian metode penelitian pada setiap usulan penelitian berisi hal-hal sebagai

berikut:

1.6.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris.

Penelitian empiris, yaitu suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk

melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di

lingkungan masyarakat. Penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di

masyarakat, maka metode penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai

penelitian hukum sosiologis, dapat dikatakan pula bahwa penelitian hukum yang

diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau

badan pemerintah.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Penulis akan menggunakan pendekatan Non-judicial Case Study, yaitu

pendekatan studi kasus hukum yang tidak ada akan campur tangan dengan

pengadilan. Pendekatan ini dipilih karena penulisan skripsi ini adalah suatu

penulisan yang didasari fakta empiris.


5 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta,2014, hlm.106

17
1.6.3 Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Desa Tlogorejo, Kec.

Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Peneliti memilih lokasi ini

karena di Bojonegoro tingkat kesadaran hukum tentang praktik money politic

sangatlah rendah. Bagi masyarakat Bojonegoro praktik money politic sudah

menjadi hal yang biasa bahkan sudah menjadi budaya dalam pemilihan Kepala

Desa maupun Pemilihan Umum lainnya.

1.6.4 Informan

Bagong Suyatna memiliki pendapat mengenai informan, bahwa

“Peranan informan dalam mengambil data yang akan digali dari orang-orang

tertentu yang dinilai menguasai persoalan yang hendak diteliti, mempunyai

keahlian dan berwawasan cukup”6. Selanjutnya masih menurut Bagong Suyanto

Informan penelitian meliputi beberapa macam, yaitu Informan Kunci (Key

Informan), Informan Utama dan Informan tambahan7. Berikut adalah

penjabarannya :

1. Informan Kunci (Key Informan)

Mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok

yang diperlukan dalam penelitian. Dalam Penelitian yang peneliti

jadikan sebagai informan kunci adalah salah satu perangkat Desa

6 Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 172.
7 Loc. cit .

18
Tlogorejo Bapak Yusuf yang menjabat sebagai Sekertaris Desa

selama kurang lebih 17 tahun, dan Bapak Puji Harto selaku Kepala

Dusun Bakalan dan Dusun Delik, karena menurut peneliti beliau

yang memiliki wewenang dan mengerti tentang karakteristik

masyarakat Desa Tlogorejo. Kemudian yang kedua adalah KPU

Bojonegoro ataupun pihak Pemkab dan Aparat Kepolisian Resort

Kabupaten Bojonegoro, karena menurut peneliti mereka yang

memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam hal penegakan

hukum bagi masyarakat Kabupaten Bojonegoro pada saat proses

pemilihan Kepala Desa.

2. Informan Utama

Mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.

Informan utama yang dipilih peneliti dalam hal ini adalah salah satu

pihak yang ikut mencalonkan Kepala Desa pada tahun 2016 lalu,

botoh (tim sukses), para pihak yang ikut serta melakukan taruhan

Pilkades, dan Masyarakat Dsn. Bakalan yang mempunyai rumah

menghadap ke utara.

1.1.1.6.5 Jenis Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain berupa :

1. Data Primer, yakni data yang diperoleh langsung di lokasi

penelitian yaitu, di Desa Tlogorejo, Kecamatan Kepohbaru,

Kabupaten Bojonegoro. Sumber data primer ini adalah hasil dari

19
wawancara terhadap pihak-pihak yang dianggap telah mengetahui,

menerima atau yang melakukan tindakan praktik politik uang

(money politic) dalam Pemilihan Kepala Desa.

2. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh dari studi kepustakaan

yaitu dengan menghimpun data-data dan peraturan perundang-

undangan, buku-buku karya ilmiah, dan pendapat para ahli.

1.1.1.6.6 Teknik Pengumpulan Data

Sugiyono berpendapat teknik pengumpulan data merupakan

langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama

dari penelitian adalah mendapatkan data.8 Selanjutnya untuk

mengumpulkan data yang diperlukan, maka digunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Teknik Wawancara, Esterberg dalam Sugiyono berpendapat

wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat

dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. 9 Penulis

mengadakan tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait langsung

dengan masalah yang dibahas, dalam hal ini Bapak Yusuf selaku

sekertaris Desa Tlogorejo, dan Bapak Puji Harto selaku Kepala

Dusun Bakalan dan dusun Delik karena beliau yang memiliki

wewenang dan mengerti terhadap masalah yang di ambil peneliti,

selanjutnya adalah salah satu pihak yang pernah ikut mencalonkan

8Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D Cetakan Ke-19, Bandung: Alfabeta,
CV. Bandung, 2013, hlm. 224.
9 Ibid hlm. 231

20
Kepala Desa, karena para pihak tersebut yang menjadi salah satu

pelaku utama terhadap praktik politik uang (money politic), botoh

(tim sukses) dari kandidat calon Kepala Desa, warga masyarakat

Dsn. Bakalan yang mempunyai rumah menghadap ke utara dan para

pihak yang ikut serta dalam taruhan pilkades.

2. Studi Dokumentasi, Sugiyono berpendapat dokumen merupakan

catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk

tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seorang.

Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah

kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.

Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup,

sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya

seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain.10 Penulis

mengambil data dengan mempelajari keterangan dan cerita

diberikan oleh pihak yang terkait, dalam hal ini bapak Yusuf selaku

sekertaris Desa Tlogorejo, Bapak Puji Harto selaku Kepala Dusun

Bakalan dan Dusun Delik, salah satu pihak yang pernah

mencalonkan Kepala Desa, botoh (tim sukses), warga masyarakat

Dsn. Bakalan yang mempunyai rumah menghadap ke utara, dan para

pihak yang pernah ikut dalam taruhan pilkades.

1.1.1.6.7 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap

pertama pengolahan data dimulai dari penelitian pendahuluan hingga


10 Ibid hlm. 240.

21
tersusunnya usulan penelitian. Tahap kedua, pengolahan data yang lebih

mendalam dilakukan dengan cara mengolah hasil kegiatan wawancara

dan pengumpulan berbagai informasi lapangan di lokasi penelitian.

Tahap ketiga, setelah itu dilakukan pemeriksaan keabsahan data hasil

wawancara dengan sejumlah narasumber yang dijadikan informan

penelitian serta membandingkan data tersebut dengan berbagai

informasi yang terkait. Tahap ini, pengolahan data dianggap optimal

apabila data yang diperoleh sudah layak dianggap lengkap dan dapat

merepresentasikan masalah yang dijadikan obyek penelitian.

1.1.1.6.8 Teknik Analisis Data

Bogadan dalam Sugiyono berpendapat analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat

mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang

lain.11 Dalam penulisan ini, digunakan sistem analisis data secara

kuantitatif dengan cara menggabungkan data sekunder yang diperoleh

dari studi kepustakaan yaitu dengan menghimpun data-data dan

peraturan perundang-undangan, buku-buku karya ilmiah, dan pendapat

para ahli dengan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara serta

dokumen-dokumen yang didapat langsung dari lokasi penelitian,

kemudian dianalisis secara kuantitatif.

11 Ibid hlm. 244.

22
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Pilkades

“Desa” di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warmer

Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad Van Indie Pada masa penjajahan

Kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang

berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Kata desa sendiri berasal dari bahasa Jawa

yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah

leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta

23
memiliki batas yang jelas. Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak

zaman kolonial.

1. Zaman Belanda

Pada zaman penjajahan Belanda terdapat peraturan perundang-undangan

mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku untuk

Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten

yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura pada tahun 1906.

Aturan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 71 REGERINGS REGLEMENT

(RR) yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan terhadap

adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa. Pada tahun 1854, Pemerintah kolonial

Belanda mengeluarkan “Regeeringsreglement” yang merupakan cikal-bakal

pengaturan tentang daerah dan Desa. Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) yang

menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama, bahwa Desa yang dalam

peraturan itu disebut “inlandsche gemeenten” atas pengesahan kepala daerah

(residen), berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah Desanya sendiri.

Kedua, bahwa kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur

Jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya.

Dalam ordonansi itu juga ditentukan keadaan dimana Kepala Desa dan

anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala

Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan

24
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal,

pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang ditunjuk dengan

ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera

untuk: (a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu; (b) di dalam batas-

batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang

diadakan oleh Desa. Ada 3 hak Desa yang bisa diperhatikan dalam Pasal 71

tersebut, antara lain :

1. Desa berhak memilih sendiri Kepala Desa

2. Desa berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

3. Desa yang terletak di kota (kota praja) di hapus

2. Zaman Jepang

Pada zaman pemerintahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur

dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa

19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo

(Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan

yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam

pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4

tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190).

Selanjutnya menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada jaman penjajahan Jepang

25
Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi

terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan

Desa dibawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat.

Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan

milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa

difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki

Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah Desa pada jaman pendudukan

Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor,

Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama). Artinya, pada masa

pendudukan Jepang di Indonesia, pengaturan Desa tidak terlalu banyak. Sehingga,

Desa berjalan dan sesuai dengan IGO 1906 yang ditetapkan pada masa

pemerintahan Belanda. Satu-satunya peraturan mengenai desa yang dikeluarkan

oleh penguasa Jepang adalam Osamu Seirei No. 7 tahun 1944 diatas. Peraturan ini

hanya mengatur tentang pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo) yang menetapkan masa

jabatan Kepala Desa menjadi empat (4) tahun.

3. Pasca Indonesia merdeka Sampai Sekarang

Pengaturan tentang Desa bertahan cukup lama meski adanya UU yang

baru dibuat contohnya UU No. 14 Tahun 1946 yang isinya mengatur tentang

syarat-syarat pemilihan Kepala Desa, yaitu yang berhak memilih Kepala Desa

adalah semua warga Negara penduduk Desa , laki-laki maupun perempuan yang

berumur 18 tahun atau sudah menikah di tambah dengan UU No. 1 tahu 1948

yang mengatur masa jabatan Kepala Desa yang tidak terbatas waktunya sehingga

26
UU yang ada pada masa pemerintahan Jepang tidak berlaku lagi. Peangaturan

Desa baru diganti dengan terbitnya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja.

Terdapat kesamaan antara pengaturan Inlandshe Gemeente Ordonantie dan

Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten dengan UU No. 19 Tahun

1965 dalam hal memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum

(volkgemeenschappen) memiliki hak ada istiadat dan asal usul. Dalam pasal 1 UU

NO. 19 tahun 1965 Desa atau Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang

tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri,

memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Dengan demikian

berdasarkan peraturan perundang-undangan ini nama, jenis, dan bentuk desa

sifatnya tidak seragam.

Pada masa pemerintahan Orde Baru UU, kembali peraturan perundang-

undangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan terbitnya

UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berbeda dengan pengaturan

berdasarkan IGO dan UU No. 16 Tahun 1965, menurut UU 5 Tahun 1979,

pengaturan yang tidak menyeragamkan pemerintahan desa kadang-kadang

merupakan hambatan untuk melaksanakan pembinaan dan pengendalian yang

intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itulah secara tegas

dinyatakan di dalam UU ini bahwa kebijakan mengenai desa diarahkan pada

penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional.

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati

sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung

27
di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam

ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah

tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat

dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari

hak adat istiadat dan hak asal usul.

Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak

otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar

satuan administratif dalam tatanan pemerintah. Dari pengertian ini jelas bahwa

secara struktural dengan ditempatkannya desa sebagai organisasi pemerintahan

langsung di bawah camat menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra

desa bersifat hierarkis sampai ke tingkat Pusat. Hal ini dikarenakan posisi Camat

sebagai kepala wilayah yang menjalankan asas dekonsentrasi atau merupakan

unsur Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat

hierarkis maka seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

desa dibuat oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan sama secara nasional.

Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai

desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah. UU ini secara nyata mengakui otonomi desa.

Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah

berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan

wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang

selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

28
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem

Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Dengan demikian,

otonomi yang dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan

asal-usul dan adat-istiadat setempat. Sehingga dalam kenyataannya pasti akan

timbul berbagai keanekaragaman, baik dari segi nama, susunan pemerintahan,

maupun bentuk-bentukan geografisnya. Tegasnya, terdapat keadaan-keadaan

khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-

prinsip "Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat.

Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal

pembangunan desa.

Dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam

aspek pemerintahan desa. Menurut ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 di

desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan

Pemerintahan Desa. Pemerintah Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan

Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, yang tidak dikenal dalam UU No. 5

Tahun 1979. Dengan konsep pemerintahan desa yang seperti ini maka dalam

pelaksanaan tugasnya Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui

BPD.

Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 juga merubah tata hubungan desa

dengan supra desa sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Perubahan tata

hubungan tersebut terdapat dalam beberapa hal sebagai berikut:

29
1. Terjadi reposisi camat dalam sistem pemerintahan di kabupaten/kota.

Apabila sebelumnya camat merupakan kepala wilayah, di dalam UU No.

22 Tahun 1999 posisi camat merupakan perangkat daerah. Pengaturan di

dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan pengaturan secara tegas

kewenangan camat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan

pemerintahan desa.

2. Dengan pertanggungjawaban kepala desa kepada BPD maka kepala desa

tidak lagi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Bupati Kepala

Daerah Tingkat II sebagaimana diatur dengan UU No. 5 Tahun 1979.

3. Desa dapat melaksanakan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Hal ini tidak diatur dalam UU No. 5

Tahun 1979.

Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan

terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan

mengenai desa di dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP

No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak

ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa.

Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul

dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan

berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 7 PP

No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa

mencakup:

30
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan

diserahkan kepada desa.

Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik

pemerintahan desa maupun dengan hubungannya dengan supra desa. Menurut UU

No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk

memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada

Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada

BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa

kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam UU No. 32 Tahun

2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil

(PNS). Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas

dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan

dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a camat memiliki kewenangan untuk membina

penyelenggaraan pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan membina pada

ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan

terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa yang baik.

B. Praktik Pemilihan Kepala Desa

31
Pasca reformasi 1998, demokrasi lokal menjadi perbincangan yang sangat

menarik di Indonesia, baik itu di kalangan akademisi, pemerintah atau pun

praktisi sosial. Studi tentang demokrasi lokal tersebut sebagian besar

berkosentrasi pada dinamika politik lokal di tingkat propinsi, kabupaten dan kota

dan hanya sebagian kecil yang menembus ke desa. Padahal jauh sebelum ada

pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) secara langsung oleh rakyat,

rakyat desa sudah lebih awal menggelar demokrasi election secara langsung oleh

rakyat dalam pemilihan kepala desa. Pilkades secara langsung tersebut sudah

diterapkan sejak Rafles berkuasa di Nusantara. Meski Orde Baru mematikan

secara tegas otonomi desa, tetapi pemilihan kepala desa (pilkades) secara

langsung tetap tumbuh di desa.12

Pilkades langsung yang diselenggarakan selama ini telah menambah

warna-warni demokrasi pada aras lokal. Banyak pakar yang menilai suksesi

kepemimpinan di tingkat desa menjadi indikator suksesi dalam kepemimpinan

pada level yang lebih luas. Secara teoritis, Pilkades adalah suatu bentuk yang

lebih pas untuk mewujudkan konsepsi demokrasi yang menurut Abraham Linclon

diartikan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari konsepsi ini akan

memunculkan kedaulatan rakyat dimana rakyat memiliki hak penuh untuk

memilih pemimpinnya sesuai dengan keinginannya.

Ada empat catatan kritis terkait penyelenggaraan Pilkdaes selama ini

seperti yang diutarakan Sutor Eko, dkk, dalam buku Manifesto Pembaharuan

Desa. Dalam buku tersebut dijelaskan, pengalaman pilkades di banyak desa

selama ini penuh dengan paradoks dan distorsi yang membuat pilkades tidak
12 Eko, Sutoro (ed), dkk. 2005. Manifesto Pembaharuan Desa. APMD Press: Yogyakarta

32
mencerminkan kedaluatan rakyat. Pertama, Pilkades sebenarnya bukanlah arena

demokrasi melainkan arena pertarungan kekuasaan di aras desa. Mengutip Husken

(2001), pilkades merupakan bagian penting di dalam penyelesaian hubungan

kekuasaan di aras lokal. Siapa pun yang menjadi kepala desa dapat menentukan

penggunaan tanah bengkok dan menuai segala jenis keuntungan dari

kedudukannya, menerima sebagian dari pajak yang dikumpulkan, memeperoleh

upeti dari warga atas surat-surat yang ia keluarkan, hingga memperoleh status

sosial yang terhormat. Sebagian besar kandidat kades pada umumnya mencari

kekuasaan dan kekayaan itu, bukan memperjuangkan kedaulatan rakyat.

Kedua, pilkades syarat dengan konflik lokal yang bersifat horisontal.

Munculnya pertikaian antar pendukung kandidat. Pihak kandidat yang kalah tidak

menjadi the good looser atau menempuh cara-cara hukum yang terhormat, tetapi

melakukan tindakan kekerasan kepada para pemenang dan para pendukungnya.

Konflik berskala lokal (desa) ini meruapakn bagian yang tidak ada kaitannya

dengan demokrasi, sekaligus merupakan pertanda masih lemahnya kultur

demokrasi di kalangan warga desa. Ketiga, di masa Orde Baru, pilkades selalu

dkontrol secara ketat oleh pemerintah supradesa melalui Kantor Sospol,

Kecamatan, Kodim, Koramil dan Sekretariat Daerah. Kontrol tersebut dilakukan

dalam tahap seleksi hingga melakukan intimidasi kepada rakyat pemilih. Setiap

kandidat yang dipilih memiliki jargon “bersih lingkungan” dan loyal sepenuhnya

kepada pemerintah dan Golkar. Kandiat yang kritis tidak bakan lolos seleksi

meski dikehendaki oleh rakyat, sehingga seringkali terjadi ketegangan antara

seleksi pemerintah yang bersifat sewenang-wenang dengan kehendak rakyat. Di

33
zaman reformasi, kontrol itu semakin hilang digantikan dengan local choice di

tingkat desa.

Keempat, pilkades selalu syarat dengan permainan politik uang (money

politics) dan bahkan semakin menonjol di era reformasi.setiap kandidat dengan

berbagai caranya menghamburkan uang mulai dari puluhan juta rupiah, ratusan

juta sampai lebih dari 1 miliar rupiah untuk membeli suara dan memenangkan

pertarungan. Angka nominal ini sangat berfariasi tergantung pada aset atau

kekayaan yang dimiliki desa. Politik uang itu dilakukan dengan cara “kontrak

politik” dengan kelompok masyarakat, misalnya komunitas RT, RT secara

kolektif menyampaikan daftar permintaan kepada kandidat calon kepala desa.

Akibat dari aktivitas money politics ini nantinya adalah hilangnya akuntabilitas

dan transparansi dalam pengelolaan kebijakan dan anggaran desa. Berbagai

catatan kritis tersebut merupakan hal yang menempatkan realitas demokrasi di

desa pada posisi yang terbawah dalam hal kualitas, karena pemilihan kepala desa

bukan lagi arena untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tetapi menjadi wadah

pesengkongkolan kelompok orang untuk meraih kekuasaan dengan

menghancurkan kedaulatan rakyat, sehingga bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat

dan untuk rakyat, tetapi menjadi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk aparat (desa).

C. Aturan Tata Cara Pemilihan Kepala Desa

D. Konsep Money politics dan Pemilihan Umum

Secara umum politik uang diartikan sebagai seni untuk memperoleh

kemenangan dalam memperebutkan kekuasaan. Sedangkan uang politik hanyam

34
sebagai akses untuk memperoleh kemenangan tersebut 13 (Sumartini dalam Hastuti

dkk, 2012, hlm. 4). Sedangkan menurut Ismawan politik uang diartikan sebagai

upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentum

atau bisa dikatakan sebagai jual beli suara pada proses politik demokratisasi atau

pemilihan umum seperti pemilihan tingkat nasional maupun pemilihan tingkat

desa.

Dalam perjalannanya bahwa politik uang ini meruapakan tindakan

membagibagikan uang, barang dan jasa sudah mengalami pembiasan makna.

Sedangkan batasan pelaku politik uang menurut Ismawan adalah orang yang

memberi uang politik baik kandidat, pendukung atau tim sukses dan penerima

uang politik dalam bentuk apapun. Politik uang dilakukan dengan sadar oleh

pihak-pihak yang melakukan praktik politik uang.14(Ismawan, 1999, hlm.

5).Dalam pengertian diatas dapat dipahami bahwa politik uang adalah pemberian

beruapa apapun untuk mempengaruhi keputusan pilihan seseorang atas pemimpin

di dalam kontestasi pemilihan umum dalam rangka memperoleh kekuasaan.

Dalam Komunikasi politik aktor politik uang dalam pemilihan umum juga dibagi

menjadi tiga yaitu kandidat atau konstituen, pendukung atau tim sukses dan

pemilih15 (Wibowo, 2013, hlm. 186). Sedangkan tim sukses sendiri dibedakan

menjadi dua yaitu :

13 Hastuti dkk, Politik uang dalam pemilihan kepala desa Cangkringan dan desa Dawuhan
kecamatan Talang kabupaten Tegal. (Semarang: Universitas Diponegoro,2012),hlm 4
14 Ismawan, Indra. (1999). Money politik (pengaruh uang dalam pemilu).Yogyakarta
: Media Pressindo.
15 Wibowo, P.A (2013). Mahalnya demokrasi memudarnya ideologi. Jakarta:
Kompas Media Nusantara.

35
a. Tim sukses formal : Tim sukses yang professional dan bekerja secara

terstruktur dalam mendukung kandidat yang diusungnya. Tim sukses ini

biasanya memiliki sumber daya baik massa dan sumber daya finansial.

b. Tim sukses nonformal : Tim sukses yang bekerja dilapangan dan biasanya

cenderung tidak mempunyai sumber daya keuangan tetapi lebih pada

sumbangan tenaga. Tim sukses ini biasanya diambil dari unsur keluarga

kandidat atau masyarakat yang memiliki kedekatan dengan kandidat.

Politik uang sendiri dilakukan oleh pelaku dengan berbagai cara demi

tersampaikannya tujuan politik kandidat dalam memperoleh dukungan dari calon

pemilih. Seperti yang disebutkan Hastuti dkk (2012) bahwa cara penyebaran

politik uang umumnya dilakukan dengan menggunakan dua bentuk yaitu :

a. Kampanye : Merupakan suatu proses yang dirancang dan direncanakan

secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan dalam rentang

waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak yang telah

ditetapkan.

b. Serangan fajar : Merupakan cara yang dilakukan oleh calon kandidat

maupun tim sukses saat menjelang pencoblosan dengan usaha mendatangi

rumah-rumah calon pemilih agar memilih kandidat tertentu dalam

pemilihan.

36

Anda mungkin juga menyukai