DESA
(Studi Kasus di Desa Tlogorejo, Kecamatan Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro)
SKRIPSI
Oleh :
M. SAIFUDIN ZUHRI
13040704038
PENDAHULUAN
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun
dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh
pemerintahan tertentu.
1
bahwa seorang Kepala Desa tentunya memiliki kekuasaan yang besar di
1984: 191). Oleh karena itu, bagi masyarakat Kepala Desa bukanlah semata –
mata hanya sebagai pemimpin formal tertinggi saja, akan tetapi dianggap juga
tahun dan setinggi tingginya 60 tahun (Pasal 4). Selanjutnya masa jabatan Kepala
Desa adalah 8 (delapan) tahun, terhitung sejak tanggal pelantikannaya dan dapat
diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya (Pasal 7). Adapun
desa yang dipilih masyarakat secara langsung oleh penduduk desa yang
memenuhi persyaratan yang berlaku dengan masa jabatan Kepala Desa adalah 6
(enam) tahun dan Ketentuan tentang Tata cara Pemilihan Kepala Desa Kepala
2
keterangan laporan pertanggung jawaban dan menyampaikan informasi kepada
rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang diartikan sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi dalam konteks
demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Secara historis pemilihan kepala desa telah berjalan lama dan bersifat
langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil telah dipahami sebagai pengakuan
kepala desa di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa penjajahan. Bahkan
sudah diadakan pemilihan kepala desa secara langsung oleh rakyat, walaupun
yang dimaksud pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas saja seperti
3
kalangan elite desa maupun keturunan dari kepala desa yang sebelumnya. 2
Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, pemilihan kepala desa dilakukan secara
langsung oleh masyarakat dengan hanya diwakili oleh seorang kepala keluarga
susunan asli berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan
Dalam sistem pemerintahan desa telah dikenal sistem demokrasi yang terlihat
membahas permasalahan yang terdapat dalam desa. Bentuk lain dari cerminan
sistem demokrasi di desa dapat kita lihat dengan adanya proses pemilihan Kepala
Desa (Pilkades) secara langsung yang pada waktu itu diatur oleh Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014
4
Permendagri 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa ini ditunggu-
tunggu Pemerintah Daerah untuk dapat mengisi kekosongan posisi Kepala Desa
Permendagri tentang Pemilihan Kepala Desa ini akan menjadi dasar hukum
Sebab jika tidak ada kepala desa Definitif maka syarat-syarat untuk dapat
Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Kepala Desa, maka Pemilihan Kepala Desa di
waktu harus diselenggarakan dengan baik, tertib dan sesuai dengan tahapan yang
telah mengatur hal-hal yang harus dilakukan dan diperhatikan oleh para pihak
terdapat beberapa ketentuan pasal per pasal dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Bojonegoro Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kepala Desa, yang masih memerlukan
5
petunjuk pelaksanaan mengenai hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu,
Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kepala Desa ini,
serentak pada tanggal 30 November 2016 lalu, saya akan meneliti tentang
pemilihan kepala desa yang terjadi di Desa Tlogorejo yang merupakan salah satu
desa yang ikut melaksanakan pemilihan serentak pada waktu itu. Dari sini saya
akan mengambil jumlah data penduduk yang mempunyai hak pilih dari masing -
masing Dusun yang ada di Desa Tlogorejo yang terdiri dari 4 (empat) Dusun yaitu
Dsn. Bakalan, Dsn. Delik, Dsn. Tengger, dan Dsn. Karanggayam. Data tersebut
1.1 Tabel 1.1 Jumlah data penduduk yang mempunyai hak pilih di desa
Tlogorejo Bojonegoro.
Nama Dusun
Jumlah KK Jumlah Hak Pilih
Dsn. Bakalan
165 471
Dsn. Delik
136 392
Dsn. Tengger
202 557
Dsn. Karanggayam
147 442
6
Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah keluarga dan jumlah penduduk yang
mempunyai hak pilih dari empat Dusun yang ada di Desa Tlogorejo. Total
keseluruhan Jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Tlogorejo sebanyak 650
kepala keluarga, dari 650 kepala keluarga tersebut terdapat 1862 penduduk yang
mempunyai hak pilih dalam pemilihan Kepala Desa yang digelar di Desa
Tlogorejo dan mempunyai tiga calon Kepala Desa yang akan memimpin
pemerintahan Desa tersebut. Pemilihan Kepala Desa Tlogorejo yang digelar pada
tanggal 30 November 2016 lalu ada 3 (tiga) kandidat yang mencalonkan diri
menjadi Kepala Desa. Kandidat nomor satu atas nama Bapak Muslim sebagai
kandidat yang pertama, kandidat nomor 2 (dua) atas nama Bapak Masdolah dan
yang terakhir kandidat Nomor 3 (tiga) atas nama Bapak Sunardi. Dari masing
masing calon berasal dari Dusun yang berbeda, Bpk. Muslim dari Dusun Tengger,
Bpk. Masdolah dari Dusun Bakalan, dan Bpk. Sunardi dari Dusun Delik.
dapat dilihat pada Tabel 1.2 Berikut data jumlah perolehan suara dari masing –
1.2 Tabel 1.2 Jumlah perolehan suara dari masing – masing calon Kepala
Desa
7
3 Bpk. Sunardi 448
Pada tabel 1.2 yang tertera diatas telah di jelaskan data dari jumlah perolehan
suara dari masing – masing calon Kepala Desa, dan dapat dilihat untuk perolehan
suara terbanyak di menangkan oleh kandidat nomor 1 (satu) yaitu Bpk. Muslim
Dari jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih tersebut yang dijelaskan
pada tabel 1.1 ada beberapa penduduk yang tidak menggunakan hak pilihnya
karena berhalangan hadir dan penduduk yang menggunakan hak pilihnya tetapi
tidak menggunkan hak pilihnya dengan sebaik mungkin yang termasuk dalam
suara tidak sah. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.3 Berikut data penduduk
yang hadir dan data suara yang sah pada Pemilihan Kepala Desa Tlogorejo.
1.3 Tabel 1.3 Jumlah data penduduk yang hadir dan melakukan pencoblosan
dengan benar
Pada tabel 1.3 menjelaskan jumlah peserta yang hadir dan jumlah suara yang sah
pada pemilihan Kepala Desa Tlogorejo, dari total keseluruhan penduduk yang
hadir untuk melakukan pencoblosan sebanyak 1811 penduduk, dan jumlah suara
8
yang di lakukan oleh lembaga perwakilan rakyat masih banyak terjadi.
Mekanisme demokrasi, seperti pemilu ataupun pilkades masih jauh dari sempurna
uang (money politics), terjadi antara calon dan anggota masyarakat yang
mempunyai hak pilih. Pada pemilihan kepala desa inilah penduduk pemilih
melalui kepala keluarga sering menerima uang ataupun bantuan lain dari calon
Kepala Desa maupun tim sukses untuk memberikan suaranya dan adakalanya hal
tersebut terkadang disebut juga sebagai zakat. Politik uang tidak hanya terjadi
pada pemilihan umum ditingkat pusat maupun tingkat daerah saja tetapi juga
terjadi pada tingkat pemilihan kepala desa, seperti halnya yang terjadi pada
pemberian berupa uang, barang atau janji menyuap seseorang supaya orang
tersebut tidak menjalankan haknya untuk memilih salah seorang kandidat pada
hukuman pasal pidana. Sebab hal tersebut termasuk dalam pelanggaran money
larangan melakukan politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J.
9
Berbunyi: pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu.
Larangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada pasal 301 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2012, yang menyatakan setiap pelaksana kampanye pemilu yang
dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
langsung. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 89, dipidana penjara paling lama 2
Berdasarkan data yang saya dapat dari penduduk salah satu Dusun yang
ada di Desa Tlogorejo yaitu Dusun Bakalan yang mempunyai rumah menghadap
berupa uang ataupun sembako dari para calon kades pada waktu itu. Di dusun
Bakalan sendiri terdapat 73 rumah yang menghadap ke utara dan terdiri dari 71
KK dan terdapat 181 penduduk yang mempunyai hak pilih, dari 181 penduduk
yang mempunyai hak pilih tersebut sebanyak 169 penduduk yang mengaku
mendapatkan bantuan dari para calon kades, dan sisanya sebanyak 12 penduduk
tidak mengaku karena masih ada ikatan keluarga dari para calon kades.
juga terdapat praktik politik uang (money politics) dan memilih salah satu pihak
siapa bakal calon yang akan menang nantinya. Bagi masyarakat Desa Tlogorejo
Bojonegoro seolah sudah tidak tabu lagi soal money politics dan taruhan yang
10
pada dasarnya termasuk dalam ranah perjudian, dari sekedar taruhan recehan
hingga bernilai fantastis puluhan hingga ratusan juta rupiah. Pada dasarnya
perjudian dilarang keras oleh pemerintah dan telah diatur dalam KUHP pasal 303,
Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo.
Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April
1981. Pada perhelatan pilkades serentak waktu itu tak sekedar petaruh lokal yang
telah menangguk untung, sejumlah petaruh luar daerah juga ikut meramaikan
perjudian botohan kades tersebut. Menurut beberapa botoh (tim sukses) dari
kandidat nomor 1 (satu) dan 2 (dua) dan salah satu perangkat Desa Tlogorejo, soal
taruhan pilkades seperti itu sulit untuk dihindarkan, soalnya kebanyakan calon
kades sendiri juga melempar uang untuk taruhan lewat botoh (tim sukses) dari
calon kades dengan harapan menaikkan daya tawar, selain itu juga utuk
menaikkan citra dari kandidat calon kades tersebut. Paling tidak itu merupakan
salah satu strategi untuk menggoyang mental calon saingan, dan itu memang trik
yang digunakan untuk membangun kekuatan suara sebelum hari H. Dari sinilah
didalamnya juga terdapat money politik (politik uang) karena banyak para petaruh
yang nekat membeli suara dari masyarakat yang netral untuk memilih calon kades
yang dijagonya. Persaingan yang ketat diantara kedua kandidat calon kepala desa
ini memunculkan sensitifitas antar pendukung yang sangat tinggi dan berpotensi
besar menimbulkan konflik. Selain itu persaingan politik uang diantara kedua
Intinya semua itu dilakukan agar kandidat calon kepala desa mendapat
dukungan suara penuh dari pemilih dan dapat memenangkan kontestasi pemilihan
11
kepala desa. Di situlah taruhan pilkades dianggap penting bagi calon kades untuk
suara nanti. Meskipun sebenarnya sudah ada himbauan dari pemkab sebelumnya,
yang akan memberikan sanksi tegas kepada calon kades dan para pihak yang
melakukan perbuatan tersebut. Tetapi semua itu tidak dihiraukan oleh masyarakat
maupun calon kadesnya, bahkan sudah menganggap money politics dan taruhan
sudah menjadi adat yang melekat dari dulu sampai sekarang setiap ada pilihan
Kepala Desa, sehingga segala carapun dilakukan oleh kandidat calon untuk
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal tersebut,
sekaligus juga sebagai bentuk pemenuhan tugas akhir untuk pemenuhan gelar
sarjana strata satu (S1) dengan mengangkat judul skripsi tentang POLITIK UANG
12
1.2 Rumusan Masalah
di Kabupaten Bojonegoro?
oleh KPU dan pihak Pemkab Bojonegoro untuk mencegah adanya praktik
13
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
desa.
2. Manfaat Praktis
bagi pihak-pihak yang terkait dengan proses pemilihan kepala desa dan
14
1.5 Kerangka Berfikir
Bagan 1
Demokrasi
Pemilihan Kepala
Desa
Pendekatan Kepada
Pemilih Hanya Penggunaan Uang Sebagai
Masyarakat Hanya
Sebagai Obyek Modal Dasar untuk
Dilakukan Selama Masa Mendapatkan Dukungan
Money Politics
Kampanye dari Masyarakat
Kemenangan Kandidat
Demokrasi
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara Indonesia. Bentuk dari
15
pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan. Bentuk
lain dari cerminan sistem demokrasi di desa dapat kita lihat dengan adanya proses
pemilihan Kepala Desa (Pilkades) secara langsung yang diatur oleh Peraturan
sebagai obyek, pendekatan yang dilakukan oleh calon kades dengan masyarakat
sebagai modal dasar untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan semua itu
Secara umum dalam proses pemilihan Kepala Desa tidak lepas dari adanya
praktik money politics yang dilakukan oleh para calon Kepala Desa. Praktik
money politics dilakukan dengan berbagai cara yang pertama dilakukan langsung
oleh kandidat calon Kepala Desa itu sendiri yang terjun langsung dalam
masyarakat, yang kedua dilakukan oleh botoh (tim sukses) untuk mendekati
masyakat agar mau memilih kandidat calon yang didukung, dan menggunakan
cara taruhan yang didalamnya terdapat jual beli suara. Dalam kasus ini terdapat
bertentangan dengan UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang kedua dalam
proses pemilihan Kepala Desa terdapat perjudian dalam bentuk taruhan yang pada
dasarnya dilarang keras oleh pemerintah dan telah diatur dalam KUHP pasal 303,
Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo.
Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April
1981.
16
1.6 Metode Penelitian
penelitian dan penyusunan suatu karya ilmiah. Dengan kegiatan penelitian akan
terlihat jelas bagaimana suatu penelitian itu dilakukan.5 Dalam garis besarnya
uraian metode penelitian pada setiap usulan penelitian berisi hal-hal sebagai
berikut:
Penelitian empiris, yaitu suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk
melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
penelitian hukum sosiologis, dapat dikatakan pula bahwa penelitian hukum yang
diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau
badan pemerintah.
pendekatan studi kasus hukum yang tidak ada akan campur tangan dengan
pengadilan. Pendekatan ini dipilih karena penulisan skripsi ini adalah suatu
17
1.6.3 Lokasi Penelitian
menjadi hal yang biasa bahkan sudah menjadi budaya dalam pemilihan Kepala
1.6.4 Informan
“Peranan informan dalam mengambil data yang akan digali dari orang-orang
penjabarannya :
6 Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 172.
7 Loc. cit .
18
Tlogorejo Bapak Yusuf yang menjabat sebagai Sekertaris Desa
selama kurang lebih 17 tahun, dan Bapak Puji Harto selaku Kepala
2. Informan Utama
Informan utama yang dipilih peneliti dalam hal ini adalah salah satu
pihak yang ikut mencalonkan Kepala Desa pada tahun 2016 lalu,
botoh (tim sukses), para pihak yang ikut serta melakukan taruhan
menghadap ke utara.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain berupa :
19
wawancara terhadap pihak-pihak yang dianggap telah mengetahui,
dengan masalah yang dibahas, dalam hal ini Bapak Yusuf selaku
8Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D Cetakan Ke-19, Bandung: Alfabeta,
CV. Bandung, 2013, hlm. 224.
9 Ibid hlm. 231
20
Kepala Desa, karena para pihak tersebut yang menjadi salah satu
seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain.10 Penulis
diberikan oleh pihak yang terkait, dalam hal ini bapak Yusuf selaku
21
tersusunnya usulan penelitian. Tahap kedua, pengolahan data yang lebih
apabila data yang diperoleh sudah layak dianggap lengkap dan dapat
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
para ahli dengan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara serta
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Pilkades
Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad Van Indie Pada masa penjajahan
berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Kata desa sendiri berasal dari bahasa Jawa
yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah
leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta
23
memiliki batas yang jelas. Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak
zaman kolonial.
1. Zaman Belanda
mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku untuk
yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura pada tahun 1906.
(RR) yang dikeluarkan tahun 1854 yang merupakan bentuk pengakuan terhadap
adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa. Pada tahun 1854, Pemerintah kolonial
pengaturan tentang daerah dan Desa. Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) yang
menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama, bahwa Desa yang dalam
Kedua, bahwa kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan mengurus
dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur
Dalam ordonansi itu juga ditentukan keadaan dimana Kepala Desa dan
anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala
Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan
24
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal,
pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang ditunjuk dengan
ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi diatur wewenang dari Desa Bumiputera
untuk: (a) memungut pajak di bawah pengawasan tertentu; (b) di dalam batas-
diadakan oleh Desa. Ada 3 hak Desa yang bisa diperhatikan dalam Pasal 71
2. Zaman Jepang
dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa
19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo
(Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan
yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam
pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4
Selanjutnya menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada jaman penjajahan Jepang
25
Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi
terbawah. Pada pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan
Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. Pemerintah Desa pada jaman pendudukan
Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor,
Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama). Artinya, pada masa
Desa berjalan dan sesuai dengan IGO 1906 yang ditetapkan pada masa
oleh penguasa Jepang adalam Osamu Seirei No. 7 tahun 1944 diatas. Peraturan ini
hanya mengatur tentang pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo) yang menetapkan masa
baru dibuat contohnya UU No. 14 Tahun 1946 yang isinya mengatur tentang
syarat-syarat pemilihan Kepala Desa, yaitu yang berhak memilih Kepala Desa
adalah semua warga Negara penduduk Desa , laki-laki maupun perempuan yang
berumur 18 tahun atau sudah menikah di tambah dengan UU No. 1 tahu 1948
yang mengatur masa jabatan Kepala Desa yang tidak terbatas waktunya sehingga
26
UU yang ada pada masa pemerintahan Jepang tidak berlaku lagi. Peangaturan
Desa baru diganti dengan terbitnya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja.
1965 dalam hal memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum
(volkgemeenschappen) memiliki hak ada istiadat dan asal usul. Dalam pasal 1 UU
NO. 19 tahun 1965 Desa atau Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang
intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itulah secara tegas
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati
27
di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat
dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari
Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak
otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar
satuan administratif dalam tatanan pemerintah. Dari pengertian ini jelas bahwa
langsung di bawah camat menunjukkan bahwa hubungan antar desa dengan supra
desa bersifat hierarkis sampai ke tingkat Pusat. Hal ini dikarenakan posisi Camat
unsur Pemerintah Pusat yang ada di daerah. Karena pola hubungan yang bersifat
desa dibuat oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan sama secara nasional.
Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah
wewenang dari Pemerintah. Sehingga yang disebut Desa atau nama lainnya, yang
28
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
otonomi yang dimiliki desa adalah Otonomi Asli, yaitu otonomi yang berdasarkan
khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah sebenarnya prinsip-
prinsip "Kebhinekaan" itu ada dan berkembang secara nyata dalam masyarakat.
Sehingga secara riil hak-hak, asal-usul, dan istiadat dihormati sebagai modal
pembangunan desa.
desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan
Perwakilan Desa sebagai unsur Legislatif, yang tidak dikenal dalam UU No. 5
Tahun 1979. Dengan konsep pemerintahan desa yang seperti ini maka dalam
BPD.
dengan supra desa sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979. Perubahan tata
29
1. Terjadi reposisi camat dalam sistem pemerintahan di kabupaten/kota.
pemerintahan desa.
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Hal ini tidak diatur dalam UU No. 5
Tahun 1979.
No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak
Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk
dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa
mencakup:
30
a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan
2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Di dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas
dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a camat memiliki kewenangan untuk membina
ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan
31
Pasca reformasi 1998, demokrasi lokal menjadi perbincangan yang sangat
berkosentrasi pada dinamika politik lokal di tingkat propinsi, kabupaten dan kota
dan hanya sebagian kecil yang menembus ke desa. Padahal jauh sebelum ada
rakyat desa sudah lebih awal menggelar demokrasi election secara langsung oleh
rakyat dalam pemilihan kepala desa. Pilkades secara langsung tersebut sudah
secara tegas otonomi desa, tetapi pemilihan kepala desa (pilkades) secara
warna-warni demokrasi pada aras lokal. Banyak pakar yang menilai suksesi
pada level yang lebih luas. Secara teoritis, Pilkades adalah suatu bentuk yang
lebih pas untuk mewujudkan konsepsi demokrasi yang menurut Abraham Linclon
diartikan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari konsepsi ini akan
seperti yang diutarakan Sutor Eko, dkk, dalam buku Manifesto Pembaharuan
selama ini penuh dengan paradoks dan distorsi yang membuat pilkades tidak
12 Eko, Sutoro (ed), dkk. 2005. Manifesto Pembaharuan Desa. APMD Press: Yogyakarta
32
mencerminkan kedaluatan rakyat. Pertama, Pilkades sebenarnya bukanlah arena
kekuasaan di aras lokal. Siapa pun yang menjadi kepala desa dapat menentukan
upeti dari warga atas surat-surat yang ia keluarkan, hingga memperoleh status
sosial yang terhormat. Sebagian besar kandidat kades pada umumnya mencari
Munculnya pertikaian antar pendukung kandidat. Pihak kandidat yang kalah tidak
menjadi the good looser atau menempuh cara-cara hukum yang terhormat, tetapi
Konflik berskala lokal (desa) ini meruapakn bagian yang tidak ada kaitannya
demokrasi di kalangan warga desa. Ketiga, di masa Orde Baru, pilkades selalu
dalam tahap seleksi hingga melakukan intimidasi kepada rakyat pemilih. Setiap
kandidat yang dipilih memiliki jargon “bersih lingkungan” dan loyal sepenuhnya
kepada pemerintah dan Golkar. Kandiat yang kritis tidak bakan lolos seleksi
33
zaman reformasi, kontrol itu semakin hilang digantikan dengan local choice di
tingkat desa.
berbagai caranya menghamburkan uang mulai dari puluhan juta rupiah, ratusan
juta sampai lebih dari 1 miliar rupiah untuk membeli suara dan memenangkan
pertarungan. Angka nominal ini sangat berfariasi tergantung pada aset atau
kekayaan yang dimiliki desa. Politik uang itu dilakukan dengan cara “kontrak
Akibat dari aktivitas money politics ini nantinya adalah hilangnya akuntabilitas
desa pada posisi yang terbawah dalam hal kualitas, karena pemilihan kepala desa
bukan lagi arena untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tetapi menjadi wadah
menghancurkan kedaulatan rakyat, sehingga bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat, tetapi menjadi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk aparat (desa).
34
sebagai akses untuk memperoleh kemenangan tersebut 13 (Sumartini dalam Hastuti
dkk, 2012, hlm. 4). Sedangkan menurut Ismawan politik uang diartikan sebagai
atau bisa dikatakan sebagai jual beli suara pada proses politik demokratisasi atau
desa.
Sedangkan batasan pelaku politik uang menurut Ismawan adalah orang yang
memberi uang politik baik kandidat, pendukung atau tim sukses dan penerima
uang politik dalam bentuk apapun. Politik uang dilakukan dengan sadar oleh
5).Dalam pengertian diatas dapat dipahami bahwa politik uang adalah pemberian
Dalam Komunikasi politik aktor politik uang dalam pemilihan umum juga dibagi
menjadi tiga yaitu kandidat atau konstituen, pendukung atau tim sukses dan
pemilih15 (Wibowo, 2013, hlm. 186). Sedangkan tim sukses sendiri dibedakan
13 Hastuti dkk, Politik uang dalam pemilihan kepala desa Cangkringan dan desa Dawuhan
kecamatan Talang kabupaten Tegal. (Semarang: Universitas Diponegoro,2012),hlm 4
14 Ismawan, Indra. (1999). Money politik (pengaruh uang dalam pemilu).Yogyakarta
: Media Pressindo.
15 Wibowo, P.A (2013). Mahalnya demokrasi memudarnya ideologi. Jakarta:
Kompas Media Nusantara.
35
a. Tim sukses formal : Tim sukses yang professional dan bekerja secara
biasanya memiliki sumber daya baik massa dan sumber daya finansial.
b. Tim sukses nonformal : Tim sukses yang bekerja dilapangan dan biasanya
sumbangan tenaga. Tim sukses ini biasanya diambil dari unsur keluarga
Politik uang sendiri dilakukan oleh pelaku dengan berbagai cara demi
pemilih. Seperti yang disebutkan Hastuti dkk (2012) bahwa cara penyebaran
ditetapkan.
pemilihan.
36