Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia yang masih tergolong kedalam NSB (Negara Sedang Berkembang),

pada awal proses pembangunannya lebih condong untuk memilih atau lebih

mengarah pada strategi pembangunan ekonomi tidak seimbang. Pemilihan strategi

tersebut bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan dalam proses pembangunan,

misalnya mendorong sektor industri menjadi sektor memimpin atau sektor

ekonomi unggulan (leading sektor) sehingga dapat mendorong pertumbuhan

sektor-sektor lain. Selain itu, dalam konteks spasial dengan terbatasnya

sumberdaya pembangunan, maka kebijakan pembangunan yang di ambil adalah

menentukan daerah-daerah tertentu sebagai pusat-pusat pertumbuhan (Ivakdalam,

2011)

Kebijakan penentuan lokasi pertumbuhan sering disebut dengan kebijakan

National Urban Development Strategic (NUDS). Kebijakan NUDS mempunyai

dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, namun disisi

yang lain memberikan dampak negatif yang harus dipikirkan penanggulangannya.

Secara spasial dampak negatif dapat dibagi pada dua wilayah yaitu terhadap

daerah pusat pertumbuhan dan terhadap bukan daerah pertumbuhan. Terhadap

daerah pertumbuhan, dampak yang dapat terjadi adalah pesatnya pertumbuhan

penduduk yang berimplikasi pada tidak dapat terpenuhinya kebutuhan pelayanan

umum (seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pemukiman) penduduk

perkotaan, lapangan pekerjaan dan selalu meningkatnya permintaan akan kualitas

hidup yang dirasakan seakan tidak pernah memadai. (Ivakdalam, 2011)


2

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,

pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber

penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat

daerah.Pelaksanaan otonomi daerah akan membawa suatu konsekuensi logis,

bahwa tiap daerah harus berkemampuan untuk memberdayakan dirinya sendiri,

baik dalam kepentingan ekonomi, pembinaan sosial kemasyarakatan, dan

pemenuhan kebutuhan untukmembangun daerahnya serta dapat melaksanakan

peningkatan pelayanan kepada masyarakat (Wati dan Fajar, 2017)

Pemekaran daerah dilakukan untuk membuka peluang – peluang bagi upaya

pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan intesitas pembangunan guna

mensejahterakan masyarakat (Desilvia, 2016). Juga ditunjukan untuk memacu

terbentuknya pusat – pusat pertumbuhan ekonomi baru yang akan membawa

dampak peningkatan pendapatan kesejahteraan masyarakat (Desilvia, 2016).

Kota yang terbentuk sejak tahun 2007 ini, dibagi menjadi 5 kecamatan yaitu

Simpang Kiri, Penanggalan, Rundeng, Sultan Daulat, dan Longkib. Sebagian

besar wilayah Subulussalam memiliki topografi dataran rendah yang jumlahnya

mencapai 65,94% dan sisanya merupakan perbukitan sebesar 34,06%. Wilayah

Kota Subulussalam berada pada ketinggian 84 m di atas permukaan air laut.

Pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran yang ingin dicapai Pemerintah Kota

Subussalam harus bisa meningkatkan pendapatan dan menurunkan tingkat

kemiskinan.

Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor

pajak daerah, reetribusi daerah,hasil perusahaan milik daerah, hasil perusahaan

milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain – lain

pendapatan asli daerah yang sah (Mardiasmo, 2002). Dalam Undang – Undang

Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat


3

dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumber pendapatan daerahnterdiri dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bagi Hasil Pajak dan bukan Pajak. Pendapatan

Asli Daerah sendiri terdiri dari : Pajak Daerah, Retrebusi Daerah, Hasil

pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain PAD yang sah

Pendapatan Daerah menurut Magowal (2013) Pendapatan daerah adalah

semua hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan

bersih. Pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan,

dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (Wati dan Fajar, 2017)

Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan Daerah Menurut Jenis Penerimaan Di Kota
Subulussalam,Tahun 2015-2017

Jenis Penerimaan Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017


(1) (2) (3) (4)
Pendapatan Asli Daerah 35905412863,37 42314514319,48 56519514115,17
(PAD)
A. Pajak Daerah 4235756538,83 4332002552,76 5674972218,00
B. Retrenusi Daerah 1608635927,00 1862694256,00 2603084216,00
C. Hasil Pengelolaan Kekayaan 389133931,00 620795994,48 744312268,97
Daerah Yang Dipisahkan
D. Zakat 3056434104,00 3435664274,00 2859914821,00
E. Lain – lain Pendapatan Asli 26615452362,54 32063357242,24 44637230591,20
Daerah Yang Sah
Dana Perimbangan / 454292012035,0 729031280365,8 690805955357,91
Pendapatan Transfer 0 0
Pendapatan Transfer *) *) 494792042493,00
Pemerintah Pusat
A. Bagi Hasil Pajak 10927628503,00 10235926035,00 11353954432,00
B. Bagi Hasil Bukan Pajak 4933592532,00 2241389962,00 3462997806,00
C. Dana Alokasi Umum (DAU) 292296821000,0 346538214000,0 343605010000,00
0 0
D. Dana Alokasi Khusus (DAK) 146133970000,0 189106734176,0 136370080255,0
0 0
Pendapatan Transfer *) *) 64724470000,00
Pemerintah Pusat Lainnya
Pendapatan Transfer *) *) 131289442864,91
Pemerintah Daerah Lainnya
Lain – lain Pendapatan 50010752031,00 50232071186,00 248729200,00
Daerah Yang Sah
Jumlah 656892262203,7 821577865871,2 747574198673,08

9 8
*)Data Tidak Tersedia
4

Sumber: BPS Kota Subulussalam 2018

Pendapatan yang diterima oleh Provinsi Aceh selama ini cukup besar,

yaitu 35,95 trilyun rupiah pada tahun 2014. Dana ini dijalankan oleh Pemerintah

Provinsi Aceh sebesar 13,81 trilyun rupiah dan sisanya sebesar 22,14 trilyun

rupiah tersebar ke semua kabupaten/kota. Sebanyak 32,49 trilyun rupiah

dibelanjakan untuk pelaksanaan pemerintahan, sehingga terjadi surplus anggaran

pada tahun tersebut sebesar 3,46 trilyun rupiah. Pada tahun 2014 tersebut, realisasi

belanja Pemerintah Provinsi Aceh adalah sebesar 12,05 trilyun rupiah, dan total

belanja pemerintah Kabupaten/kota mencapai 20,44 trilyun rupiah. (BPS Aceh,

2017)

Pada tahun 2015, dana yang diterima oleh Provinsi meningkat menjadi

39,99 trilyun rupiah yang 12,61 trilyun rupiah diantaranya dijalankan oleh

Pemerintah Provinsi Aceh dan 27,38 trilyun rupiah sisanya dilaksanakan oleh

kabupaten/kota. Sebesar 39,92 trilyun rupiah dibelanjakan untuk menjalankan

roda pemerintahan. Sehingga pada tahun 2015 terbentuk silva anggaran sebesar 70

milyar rupiah. Belanja pemerintah Provinsi Aceh pada tahun ini tercatat sebesar

12,32 trilyun rupiah, sedangkan belanja seluruh kabupaten kota pada tahun yang

sama senilai 27,60 trilyun rupiah. (BPS Aceh, 2017)

Selama tahun 2016, Provinsi Aceh berhasil mendapatkan dana sebesar

44,05 trilyun rupiah, untuk pemerintah Provinsi Aceh sebesar 12,65 trilyun rupiah

dan sisanya sebesar 31,39 trilyun rupiah untuk 23 kabupaten/kota. Sebanyak

42,45 trilyun rupiah diantaranya berhasil dibelanjakan, dimana Pemerintah

Provinsi Aceh berhasil merealisasikan anggaran belanjanya sebesar 12,19 trilyun

rupiah, dan 30,26 trilyun rupiah sisanya oleh Kabupaten/Kota. Artinya ada 1,6

trilyun rupiah pendapatan daerah yang belum terbelanjakan pada tahun ini. (BPS

Aceh, 2017)
5

Untuk tahun 2017, pendapatan daerah Aceh ditargetkan mencapai 45,62

trilyun rupiah, yang bersumber dari APBA sebesar 14,73 trilyun rupiah dan dari

APBD sebesar 30,88 trilyun rupiah. Dana tersebut rencananya akan dibelanjakan

sebesar 15,18 trilyun rupiah oleh Pemerintah Provinsi dan 30,92 trilyun rupiah

lagi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga total belanja yang dilakukan oleh

Pemerintahan Daerah Aceh senilai 46,09 trilyun rupiah, atau mengalami defisit

anggaran sebesar 470 milyar rupiah. (BPS Aceh, 2017)

Tabel 1.2
Realisasi Pendapatan dan Belanja Provinsi Aceh dan Kabupaten/Kota
Tahun 2013-2017 (Trilyun Rupiah)

Kabupaten 2014 2015 2016 2017


Pendapata Belanja Pendapat Belanja Pendapat Belanja Pendapat Belanj
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Provinsi 13,81 12,05 12,61 12,32 12,65 12,19 14,73 15,1
Simeulue 0,69 0,60 0,89 0,89 0,98 0,86 1,01 1,01
Aceh Singkil 0,67 0,60 0,91 0,91 0,97 0,97 0,90 0,90
Aceh Selatan 1,02 0,97 1,35 1,35 1,55 1,50 1,48 1,48
Aceh 0,92 0,87 1,26 1,26 1,48 1,45 1,43 1,43
Aceh Timur 1,37 1,26 1,64 1,64 1,86 1,75 1,95 1,95
Aceh Tengah 1,14 1,08 1,42 1,42 1,63 1,61 1,50 1,50
Aceh Barat 1,04 0,91 1,23 1,23 1,40 1,35 1,41 1,41
Aceh Besar 1,30 1,16 1,66 1,66 2,00 1,82 1,92 1,92
Pidie 1,39 1,24 1,88 1,88 2,25 2,14 2,22 2,22
Bireuen 1,35 1,28 1,74 1,74 1,96 1,94 2,05 2,05
Aceh Utara 1,76 1,70 2,10 2,10 2,48 2,44 2,72 2,72
Aceh Barat 0,79 0,69 1,01 1,01 1,17 1,10 1,05 1,05
Gayo Lues 0,74 0,71 0,99 0,99 1,14 1,07 0,98 0,98
Aceh Tamiang 1,01 0,91 1,21 1,21 1,38 1,34 1,28 1,28
Nagan Raya 0,93 0,90 1,06 1,06 1,16 1,14 1,34 1,34
Aceh Jaya 0,74 0,67 0,97 0,97 1,07 1,03 1,01 1,01
Bener Meriah 0,73 0,72 0,85 0,85 1,01 1,00 1,08 1,08
Pidie jaya 0,70 0,66 0,93 1,11 1,04 1,00 0,98 0,98
Banda Aceh 1,20 1,10 1,32 1,32 1,45 1,38 1,26 1,26
Sabang 0,60 0,52 0,62 0,62 0,66 0,61 0,67 0,67
Langsa 0,77 0,73 0,80 0,79 1,00 1,01 1,00 1,03
Lhokseumawe 0,78 0,74 0,85 0,89 0,93 0,89 0,90 0,91
Subulussalam 0,49 0,43 0,66 0,68 0,82 0,85 0,74 0,74
Kabupaten/K 22,14 20,44 27,38 27,60 31,39 30,26 30,88 30,9
Total se Aceh 35,95 32,49 39,99 39,92 44,05 42,45 45,62 46,0
*APBA/APBD
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2017
6

Bila dilihat per kabupaten/kota, anggaran pendapatan Pemerintah Provinsi

Aceh tahun 2017 sangat tinggi dibanding tingkat dua. Kabupaten Aceh Utara

mempunyai pendapatan daerah tertinggi, sebesar 2,72 trilyun rupiah, diikuti oleh

Kabupaten Pidie dan Bireuen. Sedangkan Kabupaten dengan pendapatan daerah

terendah adalah Aceh Singkil dengan target pendapatan sebesar 900 milyar,

diikuti oleh Kabupaten Gayo Lues dan Pidie Jaya. (BPS Aceh, 2017)

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2017

Gambaar 1.1
Anggaran Pendapatan Provinsi Aceh dan Kabupaten/Kota Dalam Provinsi
Aceh Tahun 2017 (Trilyun Rupiah)

Sedangkan untuk daerah pemerintahan berbentuk kota, anggaran

pendapatan tertinggi berada di Kota Langsa dengan target mencapai 1 trilyun

rupiah dan yang terendah adalah Kota Sabang dengan target pendapatan hanya

sebesar 670 milyar rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada belanja daerah,

dimana anggaran belanja tertinggi dilakukan oleh pemerintah kabupaten Aceh

Utara (2,72 trilyun rupiah) dan belanja terendah dilakasanakan oleh pemerintah

kabupaten Aceh Singkil (900 milyar rupiah). Sedangkan untuk kota, belanja
7

terbesar dilakukan oleh pemerintah Kota Langsa (1,03 trilyun rupiah) dan belanja

daerah terkecil berada di Kota Sabang (670 milyar rupiah). (BPS Aceh, 2017)

Berdasarkan data (BPS Aceh 2017) yang telah dirangkum diatas

Pemasukan PAD Kota Subulussalam terbilang minim, hanya 7,88 milyar rupiah

selama tahun 2013. Akan tetapi meningkat pesat sehingga ditargetkan akan

mencapai angka 69,70 milyar rupiah pada tahun 2017. Sedangkan PAD terbesar

didapatkan oleh Kota Banda Aceh dengan nilai mencapai 129 milyar rupiah pada

tahun 2013 dan terus meningkat setiap tahunnya hingga ditagertkan akan

mencapai 240 milyar rupiah pada tahun 2017. Namun melihat fenomena yang

terjadi, sepertinya alokasi belanja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi

pemenuhan kesejahteraan publik, sebab pengelolaan belanja daerah terutama

belanja modal masih belum terorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan

oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata.


8

Tabel 1.3
Produk Domestik Regional Bruto Kota Subulussalam Atas Dasar Harga
Konstan 2010 Menurut Lapangan Usaha (juta rupiah), 2013-2017
  Lapangan Usaha/Industry 2013 2014 2015 2016 2017
Pertanian, Kehutanan, dan
A Perikanan/Agriculture, 252,407.8 259,854.6 268,288.7 283,444.5 295,648.0
  Forestry and Fishing          
Pertanian, Peternakan,
  Perburuan dan Jasa 205,336.8 213,031.9 221,253.1 236,320.0 247,352.0
  Pertanian          
Kehutanan dan Penebangan
  Kayu 38,634.8 38,106.1 37,994.7 37,816.5 38,721.0
  Perikanan 8,436.1 8,716.5 9,040.9 9,307.9 9,575.0
Pertambangan dan
Penggalian/Mining and
B Quarrying 97,948.3 95,072.2 80,682.8 64,362.1 57,604.5
Industri
C Pengolahan/Manufacturing 129,894.0 139,231.4 148,127.3 159,266.7 167,138.6
Pengadaan Listrik dan
D Gas/Electricity and Gas 1,157.7 1,185.4 1,265.7 1,349.4 1,438.0
Pengadaan Air, Pengelolaan
E Sampah, Limbah dan Daur 157.1 165.9 181.9 199.1 218.9
Ulang/Water supply,
Sewerage, Waste
  Management          
 
and Remediation Activities          
F Konstruksi/Construction 129, 627.8 142,002.8 153,685.8 166,499.7 178,024.7
Perdagangan Besar dan
G Eceran; Reparasi Mobil dan 159, 245.6 167, 979.5 189,363.9 208,389.8 227,914.7
Sepeda Motor/Wholesale
  and Retail Trade; Repair of          
Motor Vehicles and
  Motorcycles          
Transportasi dan
Pergudangan/Transportation
H and 55,263.8 58,193.7 58,876.9 60,036.7 60,792.5
  Storage          
Penyediaan Akomodasi dan
I Makan 7,045.1 7,847.4 8,857.4 9,869.1 10,996.8
Minum/Accommodation
  and Food Service Activities          
Informasi dan
Komunikasi/Information
J and 34,969.5 37,270.5 37,859.1 38,353.8 39,608.5
  Communication          
Jasa Keuangan dan
Asuransi/Financial and
K Insurance 12,867.9 15,156.8 18,117.6 20,453.5 23,579.3
  Activities          
Real Estat/Real Estate
L Activities 34,352.3 36,404.9 37,401.4 38,699.6 41,097.9
Jasa Perusahaan/Business
M,N Activities 3,093.6 3,278.3 3,557.0 3,816.7 4,126.5
O Administrasi Pemerintahan, 66,772.5 70,941.3 73,773.7 79,504.6 84,235.5
9

Pertahanan dan Jaminan


Sosial Wajib/Public
Administration and
  Defence;          
  Compulsory Social Security          
P Jasa Pendidikan/Education 21,774.3 23,013.3 24,665.3 26,788.9 28,412.5
Jasa Kesehatan dan
Kegiatan Sosial/Human
Q Health and 21,280.2 22,792.1 23,162.7 23,742.1 24,998.6
  Social Work Activities          
R,S,T, Jasa lainnya/Other Services
U Activities 5,670.5 5,974.9 6,511.4 7,047.3 7,483.2
             
Produk Domestik Regional
Bruto/Gross Regional 1,033,527. 1,086,364. 1,191,823.
  Domestic 9 9 1,134,378.6 7 1,253,318.7
  Product          

Keefer dan Khemani (dalam Halim dan Abdullah, 2006:18) menyatakan

bahwa adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam

proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan

sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat.

Kebutuhan fiskal yang dimiliki oleh daerah juga berhubungan dengan

pembangunan sosial di masing-masing daerah. Pembangunan sosial merupakan

aspek yang penting setidaknya karena tiga alasan. Pertama, aspek sosial adalah

ukuran yang jelas sebagai hasil pembangunan ekonomi. Peningkatan dalam

indikator-indikator ekonomi tidak banyak artinya jika tidak ada peningkatan

indikator-indikator sosial. Kedua, ada keterkaitan (nexus) antara dua rangkaian

ini. Pendapatan yang tinggi menghasilkan kapasitas untuk tingkat kehidupan yang

lebih baik. Sebaliknya standar kesejahteraan yang lebih besar akan menghasilkan

produktivitas dan efisien yang lebih tinggi. Ketiga, kemajuan sosial berperan

dalam kohesi dan kerukunan masyarakat.

Padahal menurut Pasal 66 UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan

bahwa ,”Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang

undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan


10

memperhatikan keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat”.

UndangUndang tersebut mengisyaratkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda)

untuk mengelola keuangan daerah terutama belanja modal secara efektif, efesien

dan ekonomis dengan tujuan akhir untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.

Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan

diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Kebijakan terkait yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah efektif diberlakukan per Januari tahun 2001

(UU ini dalam perkembangannya diperbarui dengan dikeluarkannya UU No.32

tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004). Diberlakukannya undang-undang ini

memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan

kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah.

Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah terletak pada kemampuan

keuangan daerah untuk membiayai penyelengaraan pemerintahannya, sehingga

sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan salah satu barometer dalam pelaksanaan

otonomi daerah. Masalahnya proporsi penerimaan yang berasal dari PAD propinsi

jumlahnya kecil, sehingga terjadi ketidakseimbangan keuangan daerah (fiscal gap)

antara kemampuan daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan daerah (fiscal need).

Kondisi inilah yang menciptakan ketergantungan pemerintah propinsi

pada pemerintah pusat, sehingga otonomi daerah yang diharapkan dapat

menciptakan kemandirian daerah.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis membuat

penelitian dengan judul “ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DI ERA

OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS KOTA SUBUSSALAM) ”.


11

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan

dikaji dalam penelitian ini adalah;

1. Bagaimana pengaruh PAD terhadap kemandirian fiskal di kota

Subussalam di Era Otonomi Daerah?

2. Bagaimana pengaruh PDRB terhadap kemandirian fiskal di kota

Subussalam Era Otonomi Daerah?

3. Bagaimana pengaruh PAD dan PDRB terhadap kemandirian di kota

Subussalam Era Otonomi Daerah?

1.3. Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang tertera diatas maka penulis ingin

membatasi data yang akan di uji adalah sebatas PAD dan PDRB serta

Kemandirian Fiskal kota subulussalam periode tahun 2017 sampai 2012.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh hubungan PAD terhadap kemandirian fiskal di Kota

Subulussalam.

2. Menganalisis pengaruh hubungan PDRB terhadap kemandirian fiskal di Kota

Subulussalam.

3. Menganalisis pengaruh hubungan PAD dan PDRB terhadap kemandirian

fiskal di Kota Subulussalam.


12

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan-temuan yang berupa

informasi yang bermanfaat dan referensi untuk berbagai pihak diantaranya :

1. Bagi Pemeintah Daerah Provinsi Aceh, dan Pemerintah Kabupaten / Kota

pemekaran, melalui instansi terkait SKPD agar dapat menggunakan hasil

penelitian ini sebagai bahan analisis dan masukan, untuk

menyempurnakan kebijakan dan rencana strategis pelaksanaan

pembangunan ekonomi daerah secara lebih terarah dalam memfokuskan

pembangunan antar daerah

2. Bagi sektor riil, hasil penelitian ini merupakan informasi yang penting

dalam hal ini melihat peluang usaha untuk mengembangkan investasi

usaha.

3. Bagi akademisi hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

referensi atau perbandingan bagi penelitian berikutnya, khususnya dalam

penyempurnaan model analisis pola dan struktur pertumbuhan ekonomi

yang terkait dengan penyusunan rencana strategis daerah dalam

meningkatkan pembangunan daerah

Anda mungkin juga menyukai