Anda di halaman 1dari 10

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

“BAB XIII”

Nama Kelompok:
Mufaridah Aprilia (185870007)
Mutiara Arafa Camil (185870028)
Erwanda Febri Yohana (185870029)
Adela Wahyu Fitriani (185870040)

PENDIDIKAN VOKASIONAL KESEJAHTERAAN KELUARGA


TATA RIAS
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur hanya tercurahkan kepada Allah SWT Karena atas limpahan
dan karunia-Nya. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW. Manusia istimewa yang seluruh perilakunya layak untuk diteladani. Sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas saya.
Banyak kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam membuat makalah ini. Tapi,
dengan semangat dan kegigihan serta arahan bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik.
Penulis menyimpulkan bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis menerima saran dan kritikan, guna kesempurnaan makalah ini dan bermanfaat bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.

Surabaya, 29 Maret 2021


A. Pengertian Postmodernisme
Postmodernisme adalah serangkaian paradigma mengenai kritik terhadap
karakteristik masyarakat modern dan terhadap kegagalan yang dilakukan dalam semua
janji-janjinya, sehingga postmodernisme terdapat kecenderungan yang digambaran
sebagai segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas atau berbalik dengan
modernitas yang terjadi.

B. Pengertian Postmodernisme Menurut Para Ahli


Adapun definisi postmodernisme menurut para ahli, diantaranya:

1. Kvale (2006), Pengertian postmodernisme adalah pengistilahan yang jauh


berbeda dalam posmodern, hal ini dikarenakan postmodernisme memiliki
karektristik yang luas, kontroversial, dan ambigu. Akan tetapi yang pasti Kvale
berpendapat bahwa postmodernisme tersusun dari istilah postmodernitas dan
posmodernism.
2. Anthony Giddens, Definisi postmodernisme menurut Anthony Giddens yang
bersumber di dalam bukunya ’The Consequences of Modernity’ adalah
munculnya gerakan mengenai agenda sosial dan agenda politik dengan
kosentrasi pada lingkungan, hingga akhirnya istilah ini menjadi
penggantidaripada sistem kapitalisme dengan sosialisme yang berkembang
pada saat ini.
3. Lyotard, Arti postmodernisme adalah munculnya rasa ketidakpercayaan
terhadap permasalahan yang besar di dalam melegitimasikan perkembangan
ilmu pengetahuan.
4. Josh McDowell dan Bob Hostetler, Postmodernisme adalah persefrektif
terhadap dunia yang dicirikhasi dengan munculnya suatu keyakinan mengenai
kebenaran yang diciptakan bukan kembenaran yang berasal dari sifat
kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
5. Marvin Harris, Makna postmodernisme adalah peregrakan menculnya
keintelektualan yang berbalik dengan istilah modernisme. Postmodernisme
memberi titik fokus dalam pemahaman unsur budaya dan juga penelitian
yangdianggap lebih istimewa.
6. Eagleton, Definisi postmodernisme adalah pengambilan mengenai ide dari
modernisme dengan mempertajam terhadap kritik dan jarak, karena
postmodernisme dibentuk dengan tujuan untuk memberikan pemecahan atas
penyebab masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, termasuk di dalamnya
adalah masalah kebudayaan.
7. Habermas, Pengertian postmodernisme adalah terjadinya keberadaan terhadap
kebudayaan elit yang justru dihancurkan pada masa masa modernisme.

C. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme


Postmodern merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
implikasi sosial budaya serta seni kontemporer yang berkembang pada akhir abad 20
dan awal abad 21. Perkembangan ini ditandai dengan globalisasi dan era
konsumerisme. Postmodernisme juga digunakan untuk menandai periode seni, desain
dan arsitektur yang dimulai pada tahun 1950-an sebagai respon terhadap gaya desain
modernisme. Postmodernisme merupakan kritik terhadap modernisme dengan
penolakan gaya hidup mapan generasi tua, sikap kritis yang mendukung paham atau
isu-isu dunia ketiga, mengakomodir sikap individu akibat tren budaya massa dan
melahirkan beberapa subbudaya diluar budaya utama.
Globalisasi sebagai fenomena kekinian yang membawa berbagai perubahan
social dan pemahaman baru terhadap terciptanya pola-pola interaksi social, terutama
karena topangan kemajuan teknologi komputerisasi dan internet. Manuel Castells
(sosiolog, barcelona) melihat dimensi-dimensi utama dari perubahan sosial tersebut
yang secara bersamaan menyatu dalam interaksi sosial di masyarakat dan merupakan
struktur sosial yang baru, sebagai faktor yang mendasari lahirnya "masyarakat baru"
(new society). Kemudian Castells menjabarkan tiga dimensi sosial yang melandasi
terbentuknya masyarakat baru tersebut, yang dinamakannya masyarakat jejaring.
Pertama, adalah paradigma teknologi baru yang didasari oleh penyebaran teknologi
informasi. Dengan mengikuti Claude Fischer (1992), ia memahami teknologi sebagai
budaya material ibarat proses sosial yang inheren dalam masyarakat, bukan sebagai
faktor eksternal yang mempengaruhi masyarakat. Dimensi kedua adalah globalisasi
yang dipahami sebagai peningkatan kapasitas teknologi, organisasi, serta kelembagaan
dari komponen inti sistem tertentu (semisal, ekonomi) sehingga bisa bekerja pada satu
waktu yang bersamaan dan menjangkau skala luas mencakup seluruh jagat raya. Dan
dimensi ketiga adalah wujud manifestasi budaya yang dominan pada sebuah hypertext,
yaitu interaksi lewat perantara media elektronik, yang menjadi acuan dalam pengolahan
simbolis dari semua sumber dan pesan.
Jika dahulu teks standar menjadi acuan utama pada penyampaian pesan, maka
hypertext bermakna juga multi-teks yaitu meliputi gambar, suara (audio-visual).

D. Perkembangan Postmodernisme
Setelah Lyotard, pada abad ke 20 akhir, postmodern menjadi istilah yang
populer digunakan di kalangan para pemikir kontemporer. Jean Baudrillard punya
istilah masyarakat postmodern yang merujuk pada masyarakat yang dideterminasi oleh
tanda-tanda. Masyarakat berperilaku berdasarkan tanda-tanda tertentu yang banyak
diproduksi oleh sistem kapitalisme (lanjut).
Tanda-tanda itu pada titik ekstrim menjadi simulacra, yakni tanda yang tidak
memiliki rujukan kecuali dirinya sendiri, ia mendahului realitas, lahir sebelum realitas
dan menjadi realitas baru.
Postmodernisme kemudian sangat populer di Amerika. Kita tahu bahwa
Amerika menganut sistem ekonomi kapitalisme dan kebudayaan liberalisme.
Masyarakat Amerika dianggap sebagai contoh masyarakat paling kontemporer. Maka
dari itu postmodernisme banyak berkembang di kalangan para teoritisi Amerika antara
lain Brian McHale, Linda Hutcheon dan Frederic Jameson. Brian Mc Hale secara
eksplisit menggunakan istilah fiksi postmodern. Postmodernisme merupakan sebuah
konstruksi wacana yang membentuk objek tertentu. Postmodernisme merupakan
penerus, ataupun reaksi terhadap, karya sastra modernisme awal abad 20.
Postmodernisme tidak sesederhana sebuah bentuk diskursif setelah atau kelanjutan dari
modernisme, tetapiia adalah konsekuensi historis dari modernisme yang bisa dilihat
perbedaan konstruksi diskursif diantara keduanya. Perbedaan sederhananya yakni
dominan karya sastra modern adalah epistemologis: bagaimana manusia
menginterpretasi dunia, sebagaimana manusia merupakan bagian di dalamnya.
Sedangkan dominan postmodern adalah ontologis: mempertanyakan perihal eksistensi
(di balik) dunia, apa itu dunia?, bagaimana ia terbentuk?, apa batas-batas yang
mebedakan antara dunia-dunia tersebut?
Tokoh lain, Linda Hutcheon, membahas postmodern dengan lebih kompleks.
Postmodernisme adalah sebuah praktik budaya yang bisa dipahami melalui bentuk seni
dan pemikiran kontemporer yang secara fundamental kontradiktif, secara tegas historis
dan tentunya bersifat politis. Ia banyak membahas perihal gaya seni dan pemikiran yang
muncul di era kapitalisme lanjut, antara lain arsitektur, karya sastra, seni lukis, seni
pahat, film, video, tari, TV, musik, filsafat, teori estetika, psikoanalisa, linguistik atau
historiografi/narasi sejarah. Model konsep tentang postmodern dalam karya tersebut
bersifat teoretis dan praktis, yang menggunakan parodi untuk merekontekstualisasi dan
menghubungkan kembali estetika dalam dan dengan masyarakat, sejarah dan politik.
Hubungan tersebut membentuk dua karakteristik yakni ironi – efek nostalgia,
rekontekstualisasi bentuk masa lalu akan membuat pernyataan ideologis – dan parodi –
hubungan paradoks dengan objeknya, dalam hal ini masa lalu historis dan estetis.
Pemikiran Hutcheon tentang postmodern ini ujungnya akan mengarah pada model-
model gaya, sebagai praktik budaya, atau bisa dikatakan estetika dari karya seni
maupun pemikiran yang muncul dalam era kontemporer. Pembahasan Hutcheon tak
jauh beda dengan apa yang diajukan Frederic Jameson. Jameson mengaitkan
postmodernisme dengan kebudayaan kapitalisme lanjut, seperti seni dan budaya masa,
yang memiliki kecenderungan estetika tertentu.

E. Nilai-nilai Yang tertekan pada Postmodernisme


Adapun nilai-nilai yang ditekankan yaitu:
1. Postmodernisme dalam bidang kebudayaan
Posmodernisme Indonesia di masa orba di antaranya memiliki
kecenderungan untuk memimpikan adanya sistem nilai-nilai universal atau
bentuk komunitas sebagai alternatif visi masyarakat yang lebih khas yang
melatarbelakangi dasar-dasar ideologis negara Indonesia. Sejumlah pekerja
budaya secara langsung menantang baik modernisme maupun pengertian
negara dan bangsa sebagai kerangka yang sesuai untuk mengukur dan
mengkategorisasikan kegiatan budaya, atau untuk menjelaskan susunan
identitas individual kontemporer. Posmodernsme Indonesia di produksi dalam
iklim umum oposisi yang semakin meningkat terhadap orba. Pemerintah orba
telah mencoba melakukan Pembangunan dan erkembangan ekonomi bangsa.
(Littlejohn dan fost, 2008). Debat Indonesia mengenai postmodernisme sejak
akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an menurut Heryanto (Bodden 2008)
ada kaitannya dengan meningkatnya kesejahteraan dan keyakinan sosial kelas
menengah Indonesia, dan bertepatan dengan pentingnya diskusi- diskusi
mengenai keterbukaan, hak-hak asasi manusia demokratisasi. Tulisan Heryanto
tahun 1994 dalam majalah budaya yang baru, Kalam di nyatakan
bahwa pembangunan Indonesia sejenis dengan modernisme yang mempercayai
kemajuan linear, kebenaran ilmiah mutlak, kemajuan rekayasa sosial dan
pembentukan sistem ilmu pengetahuan dan produksi.

2. Budaya Seni.
Postmodernisme Berpijakan Seni Lokal dalam Wujud Konkret Berdasar
konsep postmodernisme yang telah dimengerti, yang pada intinya bahwa
postmodernisme dalam bidang seni adalah tumbangnya batas antara "budaya
tinggi" dan budaya pop. Mengacu pada konsep postmodernisme dalam bidang
seni itu, dapat diambil contoh kenyataan kehidup-an seni rakyat model sekarang
yang diduga sebagai wujud konkret seni postmodern. Wujudnya hanya
mengambil fisik muka yang bukan isi atau kedalaman seni rakyat itu dipadukan
dengan hal-hal yang berbau modern, kontemporer, dan kekinian sebagai selera
pasar. Dalam kepentingan kepopulerannya, disebarluaskanlah melalui media
massa, baik elektronik maupun cetak. Contoh ini tentu hanya sebagai rabaan
kasar, mungkin itu yang dikatakan salah satu aliran seni

3. Budaya Arsitektur.
Postmodernisme dalam arsitektur menolak bangunan-bangunan dan
arsitektur di ciptakan menjadi baru sesuai dengan prinsip-prinsip rasional dan
ilmiah. Dalam arsitektur postmodern, tonggaknya adalah bangunan- bangunan
yang sangat banyak ornamen, di rancang sungguh-sungguh, dikontekstualkan
dan diberi warna cerah, sebuah penekanan pada fiksionalitas dan sifat main-
main, serta penggabungan gaya yang di ambil dari berbagai periode sejarah
yang berbeda Arsitektur postmodern mengerjakan dan mengubah gaya
bangunan menjadi perayaan gaya dan permukaan, memanfaatkan arsitektur
untuk membuat lelucon tentang ruang yang di bangun ( misalnya Grandfather
Clock karya Philip Johnson di New York dan Piazza Italia karya Charles Moore
di New Orleans). Arsitektur postmodern juga mengerjakan dan mengubah gaya
bangunan di sesuaikan dengan konteks tempat bangunan itu berada dan
memadukan dengan gaya klasik ( misalnya, gaya Romawi atau Yunani Kuno)
dengan gaya lokal ( tanda-tanda dan ikon-ikon budaya populer).
4. Budaya Hukum.
Postmodernisme dalam ruang pemikiran intelektualitas manusia
disadari telah membuat warna baru yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak saja
karena kehadirannya cukup menggetarkan dunia akademik, tetapi juga
postmodernisme telah membawa pesan-pesan kritis untuk melakukan
pembacaan ulang atas berbagai tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya.
Masyarakat dikagetkan dengan munculnya gejala postmodernisme yang cukup
untuk menghancurkan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, bahkan
aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas.
Bagi kaum postmodernisme, manusia tidak akan mengetahui realitas yang
objektif dan benar, tetapi yang diketahui manusia hanyalah bagian dari realitas.
Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang
setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima secara apa adanya.
Terminologi inilah yang kemudian dikenal dengan metode dekonstruksi yang
dalam banyak hal diusung oleh Derrida4 Gerakan postmodernisme ini pada
dasarnya muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan
modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan
berkeadilan social.

5. Budaya dan Agama.


Postmodern pada awal kemunculannya bukan menandakan suatu
puncak budaya yang baru (seperti pada Pannwitz) sesudah dekadensi periode
modern, melainkan sebaliknya yaitu suatu diagnosa mengenai kekendoran
kultural sesudah ketinggian periode modern.
Postmodernisme menolak klaim kebenaran (claim of truth) dalam ilmu
pengetahuan dan agama. Kebenaran tidak dapat dimonopoli oleh seseorang atau
kelompok tertentu. Kebenaran sejati hanya milik Tuhan. Manusia dalam posisi
mencari dan berproses mendekati kebenaran tersebut. Keyakinan (belief) dalam
perspektif postmodernisme bukanlah sesuatu yang telah jadi (memiliki bentuk),
melainkan sesuatu yang berproses menjadi dan lebih menekankan pada peran-
peran dan fungsi-fungsi.
6. Budaya Politik.
Postmodernisme dalam ilmu politik mengacu pada penggunaan gagasan
postmodern dalam ilmu politik. Postmodernis percaya bahwa banyak situasi
yang dianggap politis tidak dapat dibahas secara memadai dalam pendekatan
realis tradisional dan liberal terhadap ilmu politik. Para postmodernis mengutip
contoh-contoh seperti situasi di Universitas Benediktin "pemuda usia wajib
yang identitasnya diklaim dalam narasi nasional 'keamanan nasional' dan narasi
universalisasi 'hak-hak pria'," dari "wanita yang rahimnya diklaim oleh narasi
kontroversial yang tak terselesaikan tentang 'gereja', 'paternitas', 'ekonomi', dan
'pemerintahan liberal'. Dalam kasus ini, postmodernis berpendapat bahwa tidak
ada kategori tetap, kumpulan nilai yang stabil, atau makna akal sehat yang harus
dipahami dalam eksplorasi ilmiah mereka.
Ilmuwan politik postmodern, seperti Richard Ashley , mengklaim
bahwa di situs-situs marjinal ini tidak mungkin untuk membangun narasi yang
koheren , atau cerita, tentang apa yang sebenarnya terjadi tanpa memasukkan
narasi yang membantah dan bertentangan, dan masih memiliki cerita "nyata"
dari perspektif dari "subjek yang berdaulat," yang dapat mendikte nilai-nilai
yang berkaitan dengan "makna" dari situasi tersebut. Nyatanya, di sini
dimungkinkan untuk mendekonstruksi gagasan tentang makna. Ashley
mencoba mengungkap ambiguitas teks, terutama teks Barat, bagaimana teks itu
sendiri dapat dilihat sebagai "situs konflik" dalam budaya atau pandangan dunia
tertentu.. Dengan tentang mereka dengan cara ini, pembacaan dekonstruktif
mencoba untuk bukti mengungkap bias kuno budaya, konflik, kebohongan,
tirani, dan struktur kekuasaan, seperti ketegangan dan ambiguitas antara
perdamaian dan perang, tuan dan subjek , laki-laki dan perempuan , yang
berfungsi sebagai contoh lebih lanjut dari oposisi biner Derrida di mana elemen
pertama diistimewakan, atau dipertimbangkan sebelum dan lebih otentik, dalam
hubungannya dengan yang kedua. Contoh ilmuwan politik postmodern
termasuk penulis pasca-kolonial seperti Frantz Fanon , penulis feminis seperti
Cynthia Enloe , danahli teori postpositif seperti Ashley dan James Der Derian .
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/11909-
Article%20Text%20(Without%20Author%20Name)-24985-1-10-20190825.pdf
Hardiman, F. B. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan
Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisiu
http://inlislite.dispusip.jakarta.go.id/dispusip/opac/detail-opac?id=48268
https://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism_in_political_science
Srinati, D. 2009. Popular Culture. Terjemahan oleh Abdul Muchid. Yogyakarta: AR- Ruz
Medi
Richard K. Ashley dan RBJ Walker, "Pengantar: Berbicara Bahasa Pengasingan: Pemikiran
Pembangkang dalam Studi Internasional" dalam International Studies Quarterly ,
Vol. 34, No. 3 (Sep., 1990), hlm.259-268

Anda mungkin juga menyukai