Anda di halaman 1dari 27

A. Mekanisme Persalinan.

Mekanisme persalinan merupakan pergerakan janin yang berturut-turut untuk


menyesuaikan diri dengan jalan lahir.
Sebab terjadinya mekanisme persalinan:
-Jalan kelahiran merupakan tabung yang melengkung ke depan.
-PAP dan PBP berlainan dalam ukuran melintang

1. Turunnya kepala (Engagement)


Sebetulnya janin mengalami penurunan terus-menerus dalam jalan lahir
sejak kehamilan trimester III, antara lain masuknya bagian terbesar kepala
janin ke dalam Pintu Atas Panggul (PAP) yang pada primigravida terjadi pada
usia kehamilan 36 minggu dan pada multigravida 38 minggu.
2. Fleksi
Pada permulaan persalinan kepala janin biasanya berada dalam sikap fleksi.
Dengan adanya his atau tahanan dari dasar panggul yang makin besar, maka
kepala janin akan makin turun dan semakin fleksi sehingga dagu janin
menekan dada dan belakang kepala (oksiput) menjadi bagian terbawah,
keadaan ini dinamakan fleksi maksimal.
3. Putaran paksi dalam
Makin turunnya kepala janin dalam jalan lahir, kepala janin akan berputar
sedemikian rupa sehingga diameter terpanjang rongga panggul atau diameter
antero posterior kepala janin akan bersesuaian dengan diameter terkecil
tranversal (oblik) Pintu Atas Panggul, dan selanjutnya dengan diameter
terkecil antero posterior Pintu Bawah Panggul.
Hal ini dimungkinkan karena pada kepala jainin terjadi gerakan spiral atau
seperti skrup sewaktu turun dalam jalan lahir. Bahu tidak berputar bersama-
sama dengan kepala, sehingga sumbu panjang bahu dengan sumbu panjang
kepala akan membentuk sudut 45 0. Keadaan demikian disebut putaran paksi
dalam dan ubun-ubun kecil berada di bawah symfisis.
4. Ekstensi
Setelah putaran paksi dalam selesai dan kepala sampai didasar panggul,
terjadilah ekstensi atau defleksi kepala. Hal ini disebabkan karena sumbu
jalan lahir pada Pintu Bawah Panggul mengarah ke depan dan ke atas,
sehingga kepala harus mengadakan ekstensi untuk melaluinya.
5. Putaran paksi luar
Setelah ekstensi kemudian diikuti dengan putaran paksi luar yang pada
hakikatnya kepala janin menyesuaikan kembali dengan sumbu panjang bahu,
sehingga sumbu panjang bahu dengan sumbu panjang kepala janin berada
dalam satu garis lurus.
6. Ekspulsi
Setelah putaran paksi luar, bahu depan sampai di bawah symfisis dan
menjadi hipomoklion untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian bahu
belakang menyusul dan selanjutnya seluruh tubuh bayi lahir searah dengan
paksi jalan lahir.

A. Tanda dan Gejala Persalinan Kala I – IV

Tanda-Tanda Persalinan
Tanda-tanda menjelang persalinan yaitu timbulnya kontraksi
palsu atau braxton hicks yang mempunyai ciri yaitu sifatnya ringan,
pendek, tidak menentu jumlahnya dalam 10 menit dan hilang saat
digunakan untuk istirahat (Sofian, 2012). His sesudah kehamilan 30
minggu makin terasa lebih kuat dan lebih sering, sesudah 36 minggu
aktivitas uterus lebih meningkat lagi hingga persalinan dimulai
(Winkjosastro, 2007). Tanda mulai persalinan yaitu timbulnya his
persalinan dengan ciri:
1) Kekuatan his makin sering terjadi dan teratur dengan jarak
kontraksi yang semakin pendek.
Terasa nyeri diabdomen dan menjalar ke pinggang.
3) Menimbulkan perubahan progresif pada serviks berupa perlunakan
dan pembukaan.
4) Dengan aktivitas his persalinan bertambah (Manuaba dkk., 2010).
5) Keluar lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena
robekan-robekan kecil pada serviks (Sofian, 2012).

1. Kala I
a. Timbulnya kontraksi uterus
Biasa juga disebut dengan his persalinan yaitu his pembukaan yang
mempunyai sifat sebagai berikut :
1) Nyeri melingkar dari punggung memancar ke perut bagian depan.
2) Pinggang terasa sakit dan menjalar kedepan
3) Sifatnya teratur, inerval makin lama makin pendek dan kekuatannya
makin besar
4) Mempunyai pengaruh pada pendataran dan atau pembukaan cervix.
5) Makin beraktifitas ibu akan menambah kekuatan kontraksi.
6) Kontraksi uterus yang mengakibatkan perubahan pada servix
(frekuensi minimal 2 kali dalam 10 menit). Kontraksi yang terjadi dapat
menyebabkan pendataran, penipisan dan pembukaan serviks.

b. Penipisan dan pembukaan servix


Penipisan dan pembukaan servix ditandai dengan adanya pengeluaran
lendir dan darah sebagai tanda pemula.
c. Bloody Show (lendir disertai darah dari jalan lahir)
d. Premature Rupture of Membrane Adalah keluarnya cairan banyak
dengan sekonyong-konyong dari jalan lahir.
2. Kala II
a. Ibu ingin meneran
b. Perineum menonjol
c. Vulva vagina dan sphincter anus membuka
d. Jumlah pengeluaran air ketuban meningkat
e. His lebih kuat dan lebih cepat 2-3 menit sekali.
f. Pembukaan lengkap (10 cm )
g. Pada Primigravida berlangsung rata-rata 1.5 jam dan multipara rata-rata
0.5 jam
h. Pemantauan
1) Tenaga atau usaha mengedan dan kontraksi uterus
2) Janin yaitu penurunan presentasi janin dan kembali normalnya detak
jantung bayi setelah kontraksi
3. Kala III
Persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban. Tanda-tanda pelepasan plasenta :
a. Perubahan ukuran dan bentuk uterus
b. Uterus menjadi bundar dan uterus terdorong ke atas karena plasenta
sudah terlepas dari Segmen Bawah Rahim
c. Tali pusat memanjang
d. Semburan darah tiba tiba
4. Kala VI
a. Perdarahan
b. Bekuan darah banyak
c. Lemas luar biasa
d. Kesulitan dalam menyusui
e. Nyeri panggul atau abdomen yang lebih dari kram uterus biasa

Kala 1- 4 Dalam Persalinan


Kala I
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus
dan pembukaan serviks, hingga mencapai pembukaan lengkap (10
cm. Kontraksi terjadi bersamaan dengan keluarnya darah, lendir, serta pecah
ketuban secara spontan. Cairan ketuban yang keluar sebelum pembukaan 5 cm
kerap dikatakan sebagai ketuban pecah dini.
Persalinan kala I dibagi menjadi dua fase, yaitu:
a) Fase laten, dimana pembukaan serviks berlangsung lambat
dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan dan
pembukaan secara bertahap sampai pembukaan 3 cm,
berlangsung selama 7-8 jam (Sofian, 2012). Yang perlu dicatat
di lembar observasi pada kala I fase laten, yaitu:
(1) DJJ diperiksa setiap 1 jam.
(2) Frekuensi dan lamanya kontraksi diperiksa setiap 1 jam.
(3) Nadi diperiksa setiap 30-60 menit.
(4) Suhu tubuh, tekanan darah diperiksa setiap 4 jam.
(5) Pembukaan serviks dan penurunan kepala diperiksa setiap 4
jam sekali (Saifuddin, 2009).

b) Fase aktif (pembukaan serviks 4-10 cm), berlangsung selama 6


jam dan dibagi dalam 3 subfase yaitu:
(1) Periode akselerasi: berlangsung selama 2 jam, pembukaan
menjadi 4 cm.
(2) Periode dilatasi maksimal: berlangsung selama 2 jam,
pembukaan berlangsung cepat menjadi 9 cm.
(3) Periode deselerasi: berlangsung lambat, dalam 2 jam
pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap (Sofian, 2012).

Kala II
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah
lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Proses ini
berlangsung 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada multipara
(Saifuddin, 2009).
a) Tanda dan gejala kala II:
(1) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit dengan
durasi 50-100 detik.
(2) Menjelang akhir kala I ketuban pecah, ditandai dengan
pengeluaran cairan secara mendadak (Manuaba dkk.,
2010).
(3) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya
kontraksi.
(4) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum
dan atau vagina. Perineum terlihat menonjol, vulva-vagina
dan sfingter ani terlihat membuka (Saifuddin, 2010).
b) Episiotomi
Episiotomi adalah tindakan untuk melebarkan jalan
lahir lunak dengan melakukan insisi pada daerah perineum.
Tujuan episiotomi adalah meluaskan jalan lahir sehingga
persalinan dapat berlangsung lebih cepat dan mengupayakan
agar tepi robekan perineum teratur untuk memudahkan
menjahitnya kembali. Ada 3 jenis irisan yaitu medialis,
mediolateralis, llateralis.

Kala III
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan
berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Seluruh
prosesnya biasanya berlangsung 5-30 menit setelah bayi lahir
(Saifuddin, 2010). Penataksanaan kala III dengan manajemen aktif
kala III persalinan yang dapat mempercepat kelahiran plasenta dan
dapat mencegah atau mengurangi perdarahan pasca persalinan.
Penatalaksanaan aktif kala III, meliputi: jepit dan potong talipusat
sedini mungkin, pemberian oksitosin dengan segera, melakukan
penegangan talipusat terkendali (PTT), masase fundus lahir
(Saifuddin, 2009).
Tahap ini disebut juga kala uri, yaitu saat plasenta ikut keluar dari dalam rahim.
Fase ini dimulai saat bayi lahir lengkap dan diakhiri keluarnya plasenta. Pada
tahap ini biasanya kontraksi bertambah kuat, namun frekuensi dan aktivitas
rahim terus menurun. Plasenta bisa lepas spontan atau tetap menempel dan
membutuhkan bantuan tambahan.

Kala IV
Kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir dua
jam setelah proses tersebut (Saifuddin, 2010). Tahap ini merupakan masa satu
jam usai persalinan yang bertujuan untuk mengobservasi persalinan. Pada tahap
ini plasenta telah berhasil dikeluarkan dan tidak boleh ada pendarahan dari
vagina atau organ. Luka-luka pada tubuh ibu harus dirawat dengan baik dan
tidak boleh ada gumpalan darah.

Asuhan dan
pemantauan pada kala IV:
1) Kesadaran ibu mencerminkan kebahagiaan karena tugasnya
untuk mengeluarkan bayi telah selesai.
2) Pemeriksaan yang dilakukan: tekanan darah, nadi, dan
pernafasan dan suhu; kontraksi rahim yang keras; perdarahan
yang mungkin terjadi dari plasenta rest, luka episiotomi,
perlukaan pada serviks; kandung kemih dikosongkan karena
dapat menggangu kontraksi rahim.
3) Bayi yang telah dibersihkan diletakkan disamping ibunya agar
dapat memulai pemberian asi.
4) Observasi dilakukan selama 2 jam dengan interval pemeriksaan
15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit pada satu jam
selanjutnya (Manuaba dkk., 2010).
B. Pengkajian Awal Ibu Bersalin (Data Subjektif & Objektif)
1. Identifikasi tanda bahaya persalinan
Tanda-tanda bahaya persalinan
a. Ibu tidak kuat mengejan
b. Bayi terlilit tali pusat
c. Bayi tidak segera lahir setelah 12 jam
d. Air ketuban berwarna keruh atau bau
e. Ibu mengalami asma atau gangguan pernapasan
f. Ibu mengalami kejang
g. Keluar darah sebelum melahirkan
h. Ari-ari tidak kunjung keluar setelah proses melahirkan
i. Ibu terlalu gelisah dan mengalami sakit yang parah
j. Ibu mengalami perdarahan yang luar biasa
k. Tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg dengan sedikitnya satu tanda lain
atau gejala preekslamsi
l. temperatur lebih dari 38o C, nadi lebih dari 100 x/menit dan DJJ kurang
dari 120 x/menit atau lebih dari 160 x/menit
m. kontraksi kurang dari 3 kali dalam 10 menit, berlangsung kurang dari 40
detik, lemah saat di palpasi
n. partograf melewati garis waspada pada fase aktif
o. cairan amniotic bercampur meconium, darah dan bau

2.Menilai kontraksi dan menghitung DJJ


Kontraksi Uterus Kekuatan yang mendorong janin dalam persalinan
adalah his, kontraksi otot otot perut, kontraksi diafragma, dan aksi dari
ligamen. Kontraksi his tidak dinilai dari perasaan nyeri si ibu, dan kontraksi
his dinilai dari frekuensi/10 menit dan lamanya kontraksi tersebut. Periksa
frekuensi dan lama kontraksi setiap jam selama fase laten dan setiap 30
menit selama fase aktif, nilai frekuensi dan lama kontraksi yang terjadi dalam
10 menit observasi, raba dan catat kontraksi dalam 10 menit dan lamanya
kontraksi dalam satuan detik. His diketahui kurang kuat bila terlalu lemah,
pendek, dan terlalu jarang.
a. Pengkajian his
1) Frekuensi: jumlah his dalam waktu tertentu
2) Durasi : lamanya kontraksi berlangsung dalam satu kontraksi
3) Intensitas: kekuatan kontraksi diukur dalam satuan mmhg dibedakan
menjadi; kuat, sedang dan lemah
4) Interval: masa relaksasi (diantara dua kontraksi)
5) Datangnya kontraksi: dibedakan menjadi; kadang-kadang, sering,
teratur.
Cara mengukur kontraksi
a. Selama 10 menit
b. Contoh hasil pengukuran: 3x/10’/40-50”/kuat dan teratur.

Menghitung DJJ yaitu selama 1 menit penuh, hal ini dikarenakan pada
setiap detik itu terdapat perbedaan denyut serta membandingkan dengan
rentang nornal selama 1 menit. DJJ normal 120-160/menit.

-DJJ normal: 120-160x per menit

3.Pemeriksaan dalam (diperiksa tiap 4 jam)


Vaginal toucher adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
memasukkan jari ke dalam liang sanggama untuk mngetahui apakah
penderita benar dalam keadaan inpartu, menentukan faktor janin dan
panggul, menentukan ramalan persalinan. Hal-hal yang perlu dinilai dalam
vaginal toucher adalah:
Kondisi Portio:
a. Posisi : sebelum persalinan serviks biasanya berada pada posisi sentral
atau posterior, keras belum menipis dengan ostium masih
menutup(belum matang) pada minggu-minggu terakhir kehamilan dan
awal persalinan struktur dan posisi serviks berubah akibat pematangan,
teraba tidak keras dan berada pada posisi anterior
b. Konsistensi : tidak teraba, tipis, tebal, lembut, kaku, kuncup : serviks
yang terasa lunak dapat meregang berkaitan dngn dilatasi yg baik pda
ostium uteri.
c. Pendataran : 0%, 25%, 50%, 75%, 100%. Pada primigravida penipisan
biasanya mendahului pembukaan sedangkan pada multigravida hal ini
terjadi secara simultan. Pada penipisan dikaji dengan mengukur panjang
serviks dan derajat penonjolan kedalam vagina. Serviks yang belum
menipis teraba panjang dan berbentuk tubuler dengan ostium tertutup
atau dilatasi sebagian. Bila telah terjadi penipisan serviks menipis dan
teraba lebih pendek krna segmen uterus bagian bawah mendorongnya
ke atas.
d. Pembukaan : masukan dua jari ke dalam vagina dorong jari ke serviks,
serviks ibu hamil terasa seperti bibir yang mengerit setelah memasukan
jari ke dalam saluran vaginal terus dorong sampai mencapai apa yang
terasa seperti bibir yang mengerut gunakan sentuhan leembut untuk
merasakan serviks. 1 jari 1cm, 2 jari 2 cm dan 4 jari 4cm. tersu gunakan
jari untuk merasakan lebar pembukaan. Jika satu jari memasuki tengah
serviks dengan mudah anda dapat menggunakan jari tambahan untuk
mengetahui lebar pembukaan
e. Ketuban, presentasi, penunjuk dan penurunan
Selain itu tindakan Vaginal Toucher (VT) tidak dapat dilakukan pada suatu
kondisi kapan saja melainkan dilakukan dilakukan berdasarkan indikasi.

4.Amniotomi
Tindakan untuk membuka selaput amnion dengan jalan membuat robekan
kecil yang kemudian akan melebar secara spontan akibat gaya berat cairan
dan adanya tekanan di dalam rongga amnion, dilakukan pada saat
pembukaan lengkap atau hampir lengkap. Komplikasi Yang Terjadi Akibat
Amniotomi :
a. Kompresi akibat tali pusat
b. Tali pusat menumbung (Prolaps Foeniculi)
c. Molase yang meningkat serta kemungkinan kompresi kepala yang tidak
merata
d. Tekanan yang meningkat pada kepala janin dapat mengakibatkan
oksigenasi janin berkurang
e. Meningkatnya risiko infeksi
  Istilah untuk menjelaskan penemuan cairan ketuban/selaput ketuban

Utuh (U), membran masih utuh, memberikan sedikit perlindungan kepada


bayi uterus, tetapi tidak memberikan informasi tentang kondisi
Jernih (J), membran pecah dan tidak ada anoksia
Mekonium (M),(feses pertama bayi) cairan ketuban bercampur
mekonium, menunjukkan adanya anoksia/anoksia kronis pada bayi
Darah (D), cairan ketuban bercampur dengan darah, bisa menunjukkan
pecahnya pembuluh darah plasenta, trauma pada serviks atau trauma
bayi
Kering (K), kantung ketuban bisa menunjukkan bahwa selaput ketuban
sudah lama pecah atau postmaturitas janin

C. Persiapan persalinan : surat persetujuan/ penolakan tindakan medis,


penolong, alat, obat-obatan, dan ruangan/tempat, surat keterangan
kelahiaran dan surat keterangan kematian.

1. Surat persetujuan/penolakan tindakan medis


Informed consent adalah persetujan/penolakan yang diberikan oleh pasien
atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Surat keterangan kematian dibuat
dengan tujuan agar untuk mencegah penyalahgunaan data orang yang sudah
meninggal dan untuk membuktikan secara pasti terhadap kematian
seseorang.
2. Penolong: Bisa dengan dokter, bidan, dan dukun sebagai penolong.
Penolong persalinan baik dokter maupun bidan sebaiknya ditentukan dari
jauh-jauh hari. Ada baiknya juga menciptakan kesinambungan antara tenaga
medis yang memantau kehamilan ibu dari awal sehingga dapat tau betul
perihal perkembangan ibu dan janin.

3. Alat dan Obat-obatan


4. Alat dan Obat-obatan
5. Tempat persalinan: Tempat melahirkan sebaiknya disesuaikan dengan jarak
tempuh dari rumah untuk memperkirakan waktu sampai ke rumah sakit atau
BPM, juga perhatikan kepadatan lalu lintas pada jam-jam tertentu sehingga
dapat mempersiapkan jalur alternatif untuk sampai ke rumah sakit atau BPM
tersebut, dan lebih baik jika memilih BPM atau rumah sakit yang jaraknya
dekat dari rumah agar lebih hemit biaya transportasinya
6. Surat keterangan kelahiran dan surat keterangan kematian
Surat keterangan lahir dari rumah sakit atau bidan tempat bayi dilahirkan
merupakan salah satu syarat untuk membuat akta kelahiran.
Surat keterangan lahir diperlukan untuk mendaftarkan kelahiran sesuai
hukum indonesia.
D. Posisi persalinan, teknik relaksasi dan teknik meneran
Posisi Persalinan

1. Berbaring (litotomi)
Kalangan medis akrab menyebutnya dengan posisi litotomi. Pada posisi ini,
Ibu dibiarkan telentang seraya menggantung kedua pahanya pada penopang
kursi khusus untuk bersalin. Keuntungan posisi ini, dokter bisa leluasa
membantu proses persalinan. Pasalnya jalan lahir menghadap langsung ke
dokter/bidan, sehingga dokter/bidan lebih mudah mengukur perkembangan
pembukaan. Lainnya, waktu persalinan pun bisa diprediksi secara lebih
akurat.
Selain itu, tindakan episiotomi bisa dilakukan lebih leluasa, sehingga
pengguntingannya bisa lebih bagus, terarah, serta sayatannya bisa
diminimalkan. Begitu juga dengan posisi kepala bayi yang relatif lebih
gampang dipegang dan diarahkan. Dengan demikian, bila ada perubahan
posisi kepala, bisa langsung diarahkan menjadi semestinya.
Kekurangan dari cara bersalin konvesional ini, letak pembuluh besar berada
di bawah posisi bayi dan tertekan oleh massa/berat badan bayi. Apalagi jika
letak ari-ari juga berada di bawah si bayi. Akibatnya, tekanan pada pembuluh
darah bisa meninggi dan menimbulkan perlambatan peredaran darah balik
Ibu. Pengiriman oksigen melalui darah yang mengalir dari Ibu ke janin melalui
plasenta pun jadi relatif berkurang.
Untuk mengantisipasi hal ini biasanya beberapa saat sebelum pembukaan
lengkap, dokter meminta pasien untuk berbaring ke kiri dan atau ke kanan.
Dengan demikian suplai oksigen dan peredaran darah balik Ibu tidak
terhambat.
2. Berbaring Miring
Cara ini memang tidak lazim dilakukan ibu-ibu di Indonesia. Jika memilih cara
ini Ibu harus berbaring miring ke kiri atau ke kanan. Salah satu kaki diangkat,
sedangkan kaki lainnya dalam keadaan lurus. Posisi ini akrab disebut posisi
lateral.
Keunggulan posisi ini, peredaran darah balik Ibu bisa mengalir lancar.
Pengiriman oksigen dalam darah dari Ibu ke janin melalui plasenta juga tidak
terganggu. Alhasil karena tidak terlalu menekan, proses pembukaan akan
berlangsung secara perlahan-lahan sehingga persalinan berlangsung lebih
nyaman. Posisi melahirkan ini juga sangat cocok bagi ibu yang merasa pegal-
pegal di punggung atau kelelahan karena mencoba posisi yang lain.
Sayangnya, posisi miring menyulitkan dokter untuk membantu proses
persalinan. Dalam arti, kepala bayi susah dimonitor, dipegang, maupun
diarahkan. Dokter pun akan mengalami kesulitan saat melakukan tindakan
episiotomi.
3. Jongkok
Walau tidak lazim pada orang Indonesia bagian barat, cara bersalin jongkok
sudah dikenal sebagai posisi bersalin yang alami bagi ibu di beberapa suku di
Papua dan daerah lainnya. Oleh karena memanfaatkan gravitasi tubuh, Ibu
tidak usah terlalu kuat mengejan. Sementara bayi pun lebih cepat keluar
lewat jalan lahir. Tak heran karena berbagai keunggulan tersebut, beberapa
tempat bersalin di Jakarta menerapkan posisi persalinan ini untuk membantu
pasiennya.
Kelemahannya, melahirkan dengan posisi jongkok amat berpeluang
membuat kepala bayi cedera. Soalnya, tubuh bayi yang berada di jalan lahir
bisa meluncur cepat ke bawah. Untuk menghindari cedera, biasanya Ibu
berjongkok di atas bantalan empuk yang berguna menahan kepala dan tubuh
bayi.
Untuk sebagian dokter, posisi ini dinilai kurang menguntungkan karena
menyulitkan pemantauan perkembangan pembukaan dan tindakan-tindakan
persalinan lainnya, semisal episiotomi.
4. Setengah Duduk
Posisi yang paling umum diterapkan di berbagai RS/RSB di segenap penjuru
tanah air. Pada posisi ini, pasien duduk dengan punggung bersandar bantal,
kaki ditekuk dan paha dibuka ke arah samping. Posisi ini cukup membuat Ibu
nyaman. Kelebihannya, sumbu jalan lahir yang perlu ditempuh janin untuk
bisa keluar jadi lebih pendek. Suplai oksigen dari ibu ke janin pun
berlangsung optimal.
Kendati begitu, posisi persalinan ini bisa memunculkan kelelahan dan
keluhan punggung pegal. Apalagi jika proses persalinan tersebut berlangsung
lama.
5. Posisi berlutut
6. Posisi berdiri

Keuntungan dan kerugian !

TEKNIK RELAKSASI

Teknik Relaksasi
Ada tiga teknik relaksasi, yaitu sebagai berikut :
1. Relaksasi Pasif
Dilakukan dengan memusatkan perhatian pada berbagai bagian tubuh
dan dengan melepaskan ketegangan pada setiap bagian tubuh sehingga
akan mencapai keadaan relaksasi yang mendalam baik pikiran maupun
tubuh. Teknik ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Cari posisi berbaring yang nyaman baik berbaring miring atau semi-
duduk, dengan kepala dan seluruh anggota gerak didukung oleh lantai
atau tempat tidur dan bantal
b. Tarik napas panjang
c. Pusatkan ke arah bawah ke ibu jari kaki. Rasakan betapa relaks.
d. Bayangkan pergelangan kaki menjadi kendur dan lemas.
e. Pada betis, biarkan otot-otot betis relaks, kendur dan lunak.
f. Pusatkan pada lutut. Lutut tertopang dan relaks, tidak menahan tungkai
kaki pada posisi apapun. Lutut akan terasa sangat nyaman dan kendur.
g. Biarkan otot-otot paha mengendur. Otot terasa lunak dan berat, dan
paha tertopang secara menyeluruh.
h. Untuk daerah bokong dan perineum, bayangkan rasanya lunak dan
nyaman. Biarkan diri relaks, memberi kesempatan bagi perineum untuk
relaks dan membuka jalan si bayi.
i. Pada punggung bagian bawah, bayangkan bahwa seseorang sedang
menggosok punggung anda. Otot-otot punggung bahwa relaks karena
sentuhan tersebut dan punggung bagian bahwa terasa nyaman.
j. Biarkan pikiran pada pindah ke perut. Kendurkan otot-otot perut. Biarkan
perut naik dan turun sewaktu menarik napas dan mengeluarkan napas.
k. Pada daerah dada, sewaktu menarik napas, dada mengembang dengan
mudah, membuat tempat untuk udara. Sewaktu mengeluarkan napas,
dada relaks untuk membantu mengalirkan udara ke luar. Bernapaslah
dengan nyaman dan perlahan, hampir seperti pernapasan waktu tidur.
Pernapasan ini akan membantu lebih relaks.
l. Untuk daerah bahu, bayangkan bahu dan punggung bagian atas sedang
dipijat. Relakskan dan lepaskan ketegangan.
m. Pusatkan pada lengan, sewaktu mengeluarkan napas, biarakan lengan
terletak lemas disamping tubuh.
n. Daerah bahu, semua otot pada leher umumnya lunak karena tidak
berfungsi menahan kepala ditempatnya. Kepala cukup berat dan
tertopang secara total sehingga leher relaks.
o. Pusatkan pada bibir dan rahang. Keduanya lemas dan relaks, tidak perlu
menahan mulut dalam keadaan terbuka atau menutup.
p. Pusatkan pada mata dan kelopak mata. Tidak menahan mata dalam
keadaan terbuka atau menutup. Mata bergerak sesuai dengan
keinginannya.
q. Pusatkan pada alis dan kulit kepala. Bayangkan relaksnya, kendurkan,
bentuk ekspresi yang tenang dan damai.
r. Memusatkan diri pada pencapaian positif untuk setiap kontraksi dan
melewati kontraksi tersebut.
2. Relaksasi Sentuhan
Pada persalinan relaksasi sentuhan akan merelakskan atau
mengendurkan otot-otot yang tegang dengan menggunakan sentuhan,
usapan, atau pijatan orang yang menemani saat persalinan sebagai isyarat
nonverbal untuk relaks. Relaksasi sentuhan akan sangat membantu bukan
saja karena tekanan sentuhan itu sendiri yang memberi kenyamanan tetapi
juga karena kontak fisik dengan seseorang yang peduli dan berusaha keras
membantu ibu meredakan nyeri. Beberapa jenis relaksasi sentuhan antara
lain:
a. Sentuhan diam: Pasangan menahan tangannya dengan kuat di tempat
sampai ibu merasakan relaks.
b. Tekanan Kuat: Pasangan memberi tekanan dengan ujung jari atau seluruh
telapak tangannya pada daerah yang tegang, lalu berangsur-angsur
melepas tekanan.
c. Mengusap: Pasangan mengusap dengan ringan dan kuat daerah yang
tegang.
d. Memijat: Pasangan menggosok atau menekan dengan kuat otot-otot yang
tegang, umumnya digunakan untuk daerah punggung dan leher.
3. Relaksasi Aktif
Digunakan untuk menghadapi persalinan yang menggunakan berbagai
posisi dan aktif secara fisik untuk mendapatkan perasaan relaks dan kondisi
mental pada keadaan aktif. Mempaktekan relaksasi dalam berbagai posisi
berdiri (tegak atau bersandar ke dinding atau pasangan), duduk, setengah
duduk, atau merangkak, berlutut dengan kepala dan bahu bersandar di kursi,
berjongkok, dan berbaring menyamping. Dengan berlatih pada berbagai
posisi akan mampu relaks dengan efektif selama persalinan. Dengan
membayangkan sensasi kontraksi persalinan kuat, dapat membuat setiap
sesi pelatihan mirip seperti persalinan yang sesungguhnya.

TEKNIK MENERAN
Secara fisiologis ibu akan merasakan dorongan untuk meneran bila
pembukaan sudah lengkap dan reflek ferguson telah terjadi. Ibu harus di dukung
untuk meneran dengan benar pada saat ia merasakan dorongan dan memang
ingin mengejan. Ibu mungkin merasa dapat meneran secara lebih efektif pada
posisi tertentu. Selain itu ibu harus didukung dan dibimbing untuk mengikuti
beberapa cara meneran untuk mencegah terjadinya laserasi jalan lahir.
Teknik meneran yang benar yaitu:
a. Anjurkan ibu untuk meneran sesuai dengan dorongan alamiahnya selama
kontraksi.
b. Beritahu untuk tidak menahan nafas pada saat meneran karwna dapat
mengakibatkan suplai oksigen berkurang.
c. Minta ibu untuk berhenti meneran dan beristirahat diantara kontraksi.
d. Jika ibu berbaring miring atau setengah duduk, ibu mungkin merasa lebih
mudah untuk meneran jika ia menarik lutut kearah dada dan menempelkan dagu
ke dada.
e. Minta ibu untuk tidak mengangkat bokong saat meneran.
f. Tidak diperbolehkan untuk mendorong fundus untuk membantu kelahiran bayi
karena dorongan pada fundus dapat meningkatkan distosia bahu dan ruptur
uteri.

E. Episiotomi
Episiotomi adalah insisi pada perineum untuk memperbesar mulut vagina yaitu
pengguntingan mulut rahim sebagai jalan lahir pada saat proses persalinan.

Indikasi Episiotomi

1. Gawat janin.
2. Penyulit persalinan pervaginam ( sunsang, distosia bahu, ekstraksi forcep dan
vakum, bayi besar, presentasi muka, dll ).
3. Pada persalinan prematur.
4. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan
persalinan.

Tujuan Episiotomi

1. Mempercepat persalinan dengan memperlebar  jalan lahir lunak.


2. Mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan jahitan.
3. Menghindari robekan perineum spontan.
4. Memperlebar jalan laahir pada persalinan pervaginam dengan tindakan.

Manfaat Episiotomi

1. Mencegah robekan perineum derajat tiga, terutama sekali dimana sebelumnya


ada laserasi yang luas didasar panggul. Insisi yang bersih dan dilakukan pada
posisi yang benar akan lebih cepat sembuh daripada luka yang tidak teratur.
2. Menjaga uretra dan klitoris dari trauma yang luas. Kemungkinan mengurangi
regangan otot penyangga kandung kemih atau rektum yang terlalu kuat dan
berkepanjangan, yang dikemudian hari akan menyebabkan inkonensia urin
daan prolaps vagina.
3. Mengurangi lama kala II yang mungkin penting terhadap kondisi ibu atau
keadaan janin ( fetal distress ).
4. Memperlebar vagina jika diperlukan menipulasi untuk melahirkan bayi,
contohnya pada presentasi bokong atau pada persalinan dengan tindakan.
5. Mengurangi resiko luka intrakranial pada baayi prematur.

Kerugian Episiotomi

1. Dapat menyebabkan nyeri pada masa nifas yang tidak perlu, sering
membutuhkan penggunaan analgesik.
2. Menyebabkan ketidaknyamanan dan nyeri kerena insisi episiotomi juga
penjahitan saat berbaring dan duduk di tempat tidur, bisa menyebabkan
imsomnia dan mengganggu kemmpuan ibu untuk berinteraksi dengan bayinya
pada minggu pertama dan mengganggu ibu untuk menyusui bayinya. Banyak
wanita juga mengalami nyeri pada saat duduk di kursi dan pada saat berjalan.
Nyeri bisa menyebabkan kesulitan pada saat BAK.
3. Nyeri atau ketidaknyaman dapat berlangsung lama sampai beberapa minggu
atau satu bulan postpartum.
4. Terjadi perdarahan, perdarahan hebat jarang terjadi.
5. Insisi dapat bertambah paanjang jika persalinan tidak terkontrol atau jika insisi
tidak adekuat/ tidak dilakukan dengan baik.
6. Selalu ada resiko infeksi, terutama bila berdekatan dengan anus.
7. Dipauruneria dan ketakutan untuk memulai hubungan seksual. Mungkin
berlanjut sampai beberapa bulan setelaah melahirkan.

Jenis-Jenis Episiotomi

1.      Episiotomi mediolateralis

Merupakan insisi perineum kearah bawah, tetapi menjauhi rektum, selain itu dapat
juga kearah kanan atau kiri tergantung tangan dominan yaang digunakan oleh
penolong. Episotomi mediolateralis memotong  sampai titik tendineus pusat
perineum, melewati bulbokavernosus dan otot-otot tranversus perinei supervisialis
dan profunda, kemudian kedalam otot pubokoksigeus ( levator ani ). Banyaknya
otot pubokosigeus yang dipotong tergantung pada panjang dan kedalaman insisi.
Pada epsiotomi medialateralis penolong diharapkan agar berhati-hati untuk
memulai potongan pada aspek lateral fourchete atau mengarahkan potongan
terlalu jauh ke sisi lateraal sebagai upaya menghindari kelenjar bartholin di sisi
tersebut.

Episiotomi mediolateral paling sering digunakan karena relatif lebih aman untuk
mencegah perluasan ruptur perineum ke arah derajat tiga dan empat. Pada
episiotomi ini kehilangan darah akan lebih banyak dan perbaikan lebih sulit, serta
lebih nyeri dibandingkan episiotomi median.

Pengguntingan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk


mencegah ruptur perineum tingkat tiga. Perdarahan luka lebih banyak karena
melibatkan daerah yang lebih banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum 
terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan dilakukan
sedekimikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.

2.      Episiotomi Medialis

Pengguntingan yang dimulai pada garis  tengah komisura posterior lurus


kebawah, tetapi tidak sampai mengebai serabut sfingter ani. Episiotomi medialis
merupakan insisi pada garis tengah perineum kearah rektum, yaitu ke arah titik
tendensius perineum, memisahkan dua sisi otot perineum bulbokavernosus. Otot
transversus perinei profunda juga dapat dipisahkan, bergantung pada kedalaman
insisi.

Episiotomi ini efekti, lebih mudah diperbaiki, dan biasanya nyeri timbul lebih
ringan. Terkadang juga dapat terjadi perluasan ruptur perineum derajat tiga dan
empat, namun penyembuhan primer dan perbaikan  ( jahitan ) yang baik akan
memulihkan tonus otot sfingter. Keuntungan dari episiotomi jenis ini adalah :

1. Perdarahan yang timbul dari luka lebih sedikit karena merupakan daerah
yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah.
2. Pengguntiangan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan
kemabali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan.

Kerugian dari episiotomi jenis ini adalah dapat terjadinya ruptur perineum tingkat
tiga inkomplet  ( laserasi muskulu sfinter ani ) atau komplet ( laserasi dinding
rektum ).

3.  Episiotomi Lateralis

Pengguntingan yang dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira jam tiga atau
sembilan menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan 
lagi karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat menyebar
kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna sehingga dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu bparut yang terjadi dapat
menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

4.      Insisi Schuchardt

Jenis ini merupakan variasi dari episotomi mediolateralis, tetapi


pengguntingannya melengkung kearah bawah lateral, melingkari rektum dan
sayatannya lebih lebar.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Melakukan Episotomi

1. Jelaskan pada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan serta


tujuannya.
2. Sebelum melakukan episiotomi, berikan anastesi  pada perineum terlebih
dahulu karena ini merupakan salah satu dari asuhan sayang ibu.
3. Jangan melakukan episotomi terlalu dini karena ini akan menyebabkan
perdarahan. Tunda sampai perineum menipis dan pucat, serta diameter
kepala bayi nampak di vulva 5-6 cm.
4. Arah guntingan adalah mediolateral untuk menghindari ruptur perineum
totalis.
5. Jangan menggunting perineum sedikit demi sedikit karena akan luka
tidak rata dan sulit untuk dijahit.
6. Perikasa selalu gunting yang digunakan, pastikan selalu dalam keadan
tajam dan steril.

Persiapan Dalam Melakukan Episotomi Adalah Sebagai Berikut :

1. Mempertimbangkan indikasi-indikasi untuk melakukan episotomi dan


pastikan bahwa episiotomi itu penting dilakukan untuk keselamatan dan
kenyamanan ibu dan bayi.
2. Pastikan semua bahan dan perlengkapan sudah tersedia dan dalam
keadaan desinfektan tingkat tinggi atau steril.
3. Gunakan teknik aseptik tiap saat. Gunakan sarung tangan DTT atau
steril.
4. Jelaskan pada ibu tindakan yang akan dilakukan , serta jelaskan secara
rasional alasan diperlukannya tindakan episiotomi dilakukan.

Dalam melaksanakan episotomi, berikan anestesi lokal secara dini agar obat
tersebut mempunyai tepat waktu untuk memberikan efek sebelum dilakukan
episotomi. Pada episiotomi diberikan anastesi karena tindakaan ini menimbulkan
rasa sakit dan memberikan ansatesi lokal merupakaan asuhan sayang ibu.

Memberikan Anestesi Lokal

1. Jelaskan kepada ibu apa yang dilakukan dan bantu ibu untuk merasa
rileks.
2. Masukkan 10 ml larutan lidokain 1%  kedalam tabung suntik steril ukuran
10 ml         ( tabung suntik yang lebih besar juga dapat digunakan jika
diperlukan ). Jika lidokain 1% tidak tersedia, larutka sebagian lidokain
2%  dengan 1 bagian cairan garam fisiologis atau air distilasi steril,
sebagai contoh larutkan 5 ml larutan lidokain dalam 5 ml garam fisiologis
atau air steril.
3. Pastikan tabung suntik memiliki jarum ukuran 22 dan panjang 4 cm
( jarum yang lebih panjang boleh digunakan apabila diperlukan ).
4. Letakan dua jari kedalam vaagina diantara kepala bayi dan perineum.
5. Masukkan jarum ditengah fourchete dan arahkan jarum sepanjang
tempat yang akan dilakukan episiotomi.
6. Aspirasi ( tarik batang penghisap ) untuk memastikan bahwa jarum tidak
berada dalam pembuluh darah. Jika darah masuk kedalam tabung
suntik, jangan suntikkan lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi
jarum dan tusukkan kembali.

Alasan ; ibu dapat mengalami kejang dan menimbulkan kematian jika lidokain
disuntikkan ke pembuluh darah.

1. Tarik jarum perlahan-lahan sambil menyuntikkan lidokain maksimun 10


ml lidokain.
2. Tarik jarum bila sudah kembali ketitik asal jarum suntik ditusukkan. Kulit
melembung sehingga anastesi bisa terlihat dan dipalpasi pada perineum
di sepanjang garis yang akan dilakukan episotomi.

Prosedur Pelaksanaan Episotomi

1. Tunda tindakan episotomi hingga perineum menipis dan pucat, serta 3-4
cm kepala bayi sudah terlihat pada saat kontraksi. Alasan : melakukan
episiotomi akan menyebabkan perdarahan jangan melakukan secara
dini.
2.  Masukkan dua jari kedalam vagina diantara kepala bayi dan perineum.
Kedua jari agak diregangkan dan berikan tekanan lembut kearah luar
pada perineum.

Alasan : hal ini akan melindungi kepala bayi dari gunting dan meratakan perineum
sehingga membuatnya lebih mudah di episotomi.

1. Gunakan gunting tajam disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Tempatkan


gunting ditengah fourchette posterior dan gunting mengarah kesudut
yang diinginkan, untuk melakukan episotomi mediolateralis ( jika
penolong bukan kidal, episiotomi mediolaterla yang dilakukakan disisi kiri
lebih mudah dijahit ). Pastikan untuk melakukan palpasi/ mengidentifikasi
sfingter ani eksternal dan mengarahkan gunting cukup jaauh kearah
samping untuk menghindari sfingter.
2. Gunting perineum sekitar 3-4 cm dengan arah mediolateral
menggunakan satu atau dua arah gunting yang mantap. Hindari
menggunting sedikit demi sedikit karena akan menimbulkan tepi luka
yang tidak rata sehingga akan menyulikan penjahitan atau penyembuhan
yang lebih lama.
3. Gunakan gunting untuk memotong sekitar 2-3 cm kedalam vagina.
4. Jika kepala belum juga lahir, lakukan tekanan pada luka episotomi
dengan dilapisi kain atau kasaa disinfeksi tingkat tinggi atau steril
diantara kontraksi untuk membantu mengurangi perdarahan.
5. Kendalikan kelahiran kepala, bahu dan badan bayi untuk mencegah
perluasan episotomi.
6. Setelah bayi dan plasenta lahir, periksa dengan hati-hati apakah
episotomi, perineum, dan vagina mengalami perluasan dan laserasi,
lakukan penjahitan jika terjadi perluasan episotomi atau laserasi
tambahan.

Klasifikasi Laserasi

1. Derajat Satu
a. Mukosa vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum

2.      Derajat Dua

a. Mukosa vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum
d. Otot perineum.

3.      Derajat Tiga

a. Mukosa vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum
d. Otot perineum.
e. Otot sfinter ani

4.      Derajat Empat

a. Mukosa vagina
b. Komisura posterior
c. Kulit perineum
d. Otot perineum.
e. Otot sfinter ani
f. Dindig depan rektum

Derajat 1-2 boleh bidan yang melakukan

Derajat 3-4 tidak boleh dilakukan, harus dokter

Derajat 3 dan 4 : laserasi mencapai jaringan epitel anus, robekan menembus dari
epitel vagina hingga epitel anus

Pencegahan Laserasi

Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala janin
dilahirkan, kejadian ini akan meningkat jika bayi atau janin yang dilaahirkan terlalu
cepat dan tidak terkendali.  Adanya kerjasama yang baik antara pasien dan
penolong saat kepala sedang crowning ( kepala nampak 5-6 cm di vulva ) sangat
berperan dalam pencegahan laserasi. Dalam tahap ini pasien dan penolong
bekerjasama dalam mengendalikan kecepatan dan pengaturan diameter kepala
saat melewati introitus vagina melalui pengaturan irama, kekuatan dan durasi
meneran.

Anda mungkin juga menyukai