Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA INHALASI

NAMA MAHASISWA :
NUR RAHMAT RAMADIANI
NIM. I4051201005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANUNGPURA
PONTIANAK
2021
A. Definisi

Trauma inhalasi atau cedera inhalasi merupakan kerusakan pada saluran


pernafasan yang disebabkan karena menghirup gas berbahaya, uap dan komponen
partikel yang terdapat dalam asap pembakaran. Hal ini bermanifestasi sebagai cedera
termal, cedera kimia dan toksisitas sistemik, ataupun kombinasi dari semuanya (Gill
& Rebecca. 2015).
Trauma inhalasi dapat menunjukkan cedera termal supraglottik, iritasi kimia pada
saluran pernapasan, toksisitas sistemik karena agen seperti karbon monoksida (CO)
dan sianida. Respons inflamasi yang dihasilkan dapat menyebabkan volume resusitasi
cairan yang lebih tinggi, disfungsi pulmonal progresif, penggunaan ventilator yang
berkepanjangan, peningkatan risiko pneumonia, dan sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS) (Walker, et all., 2015).
Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih kompleks. Trauma inhalasi
yang parah merupakan proses mekanis yang ditandai dengan edema paru, edema
bronkial, dan sekresi yang dapat menutup jalan napas sehingga menyebabkan
atelektasis dan pneumonia (Dries & Frederick, 2013).
Trauma inhalasi merupakan komplikasi yang terjadi pada luka bakar dengan
persentase sekitar 10 sampai 20 % pasien dan secara signifikan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas (Walker, et all., 2015).

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Gas CO adalah penyebab utama dari kejadian trauma inhalasi. Karbon monoksida
(CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses
pembakaran yang tidak sempurna dari material yang berbahan dasar karbon seperti
kayu, batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat organik lainnya. Setiap korban
kebakaran api harus dicurigai adanya intoksikasi gas CO. Sekitar 50% kematian
akibat luka bakar berhubungan dengan trauma inhalasi dan hipoksia dini menjadi
penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma inhalasi. Intoksikasi gas CO
merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan diperkirakan lebih dari
80% penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi (Louise & Kristine
dalam Soekamto, 2013).
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu
kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia.
Hipoksia jaringan terjadi karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme. Proses
pembakaran menyerap banyak oksigen, dimana di dalam ruangan sempit seseorang
akan menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang rendah sekitar 10-13%.
Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FIO2) akan menyebabkan hipoksia (Peter
dalam Soekamto, 2013).

C. Manifestasi
Tanda dan gejala trauma inhalasi, Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
1. Luka bakar wajah
2. Edema dari orofaring
3. Suara serak
4. Stridor
5. Lesi mukosa atas saluran napas
6. Sputum karbon
7. Gejala pada saluran napas bagian bawah seperti takipnea, dyspnea, batuk, suara
napas menurun, wheezing, rhonki, retraksi
8. Sianosis
9. Asfiksia

D. Patofisiologi dan pathway


Trauma Inhalasi terjadi karena pernafasan menghirup asap atau zat kimia dari
hasil pembakaran yang menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Bahkan pada ruang yang tertutup, trauma inhalasi dapat menyebabkan
disfungsi pulmonary dalam waktu yang lama.
Trauma Inhalasi dapat menyebankan keracunan sistemik pada tubuh. Lokasi dan
keparahan trauma tergantung dari beberapa faktor, termasuk sumber api, ukuran dan
diameter partikel yang ada dalam asap, lamanya kebakaran, dan kandungan gas-
gasnya. Adanya kandungan racun yang masuk dalam tubuh secara langsung
disebabkan oleh unsur-unsur yang memiliki berat rendah dalam asap karena
kandungan pHnya, kemampuan untuk membentuk radikal bebas, dan kemampuan
mereka untuk mencapai jalan napas bawah dan alveoli.
Munculnya trauma inhalasi pada jalan napas atas karena adanya pertugaran gas
dengan temperatur yang panas yang melewati oro- dan nasopharing. Trauma ini
dengan cepat menimbulkan eritema, ulserasi, dan edema. Dengan adanya luka bakar
dan trauma inhalasi, pengaturan cairan yang agresif diperlukan untuk menangani syok
luka bakar dan menangani pembentukan edema di awal. Selanjutnya, adanya luka
bakar di wajah dan leher dapat menyebabkan distorsi anatomi atau kompresi eksternal
pada jalan napas atas, dan komplikasi pada jalan napas. Hal ini juga dapat
menyebabkan inflamasi akut, kerusakan fungsi silia yang akan mengganggu
pembersihan proses jalan napas, meningkatkan resiko terinfeksi bakteridalam
beberapa minggu. Lebih lanjut, peningkatan produksi sekret dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, atelektasis, merusak pertukaran gas [ CITATION Ron17 \l 1057 ].

Pathway

TRAUMA INHALASI

KONSENTRASI CO MENINGKAT
DALAM RUANGAN

TRAUMA PADA JALAN


TD MENURUN KARENA KADAR CO DIHIRUP BERLEBIH DALAM
NAFAS ATAS KARENA
OKSIGEN BERKURANG TUBUH SEHINGGA O2 MENIPIS
TEMPERATUR PANAS DAN
PH ASAM

HEMOGLOBIN BERIKATAN
DENGAN CO SEHINGGA TERDENGAR WHEEZING
BANYAK TERBENTUK
SENINGGA TERBENTUK IKATAN
KARBOHEMOGLOBIN

KADAR OKSIGEN DALAM


DARAH DAN JARINGAN
MENURUN

TERJADI SYNCOPE

KOMPENSASI TUBUH
TAKIKARDI DAN TAKIPNEA
E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Paramita dkk (2013), pemeriksaan diagnostic pada trauma inhalasi meliputi:
1. Foto Thoraks
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambaran yang dapat muncul sesudahnya
termasuk atelektasis, edema paru, dan ARDS.
2. Laringoskopi dan Bronkoskopi Fieroptik
Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostic maupun terapeutik. Pada
bronkoskopi biasanya didapatkan gambaran jelaga, eritema, sputum dengan arang,
petekia, daerah pink sampai abu-abu karena nekrosis, ulserasi, sekresi,
mukupurulen. Bronkoskopi serial berguna untuk menghilangkan debris dan sel-sel
nekrotik pada kasus-kasus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak
cukup memadai.
3. Laboratorium
a) Pulse Oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi oksigen hemoglobin yang meningkat
palsu akibat ikatan CO terhadap hemoglobin sehingga kadar
kerbonsihemoglobin seringkali diartikan sebagai oksihemaglon
b) Analisa Gas Darah
Untuk mengukut kadar karboksihemoglobin, kesimbangan asam basa dan
kadar sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya
terjadi peningkatan kadar laktat plasma
c) Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasil dari resusitasi cairan
dalam jumlah besar
d) Darah Lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sesaat setelah
trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan volume
intravaskuler. Anemia berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau
ketidakseimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihat
adanya infeksi
F. Pencegahan
Mencegah keracunan karbon monoksida
1. Periksa semua saluran rumah yang bukaanya menghadap ke luar rumah (pemanas
air dsb) setiap tahun untuk memastikan saluran pengeluaran tidak tersumbat.
2. Periksa sistem AC mobil saudara untuk memeriksa kebocoran yang mungkin
terjadi
3. Periksa pemanas air, pastikan bukaanya sempurna dan saluran tidak bocor.
4. Jangan nyalakan mobil di dalam garasi yang tertutup rapat (Hadiyani, 2012)

G. Komplikasi
1. Terhadap respirasi dapat berakibat Hipoksia jaringan dan seluler yang bersifat
ringan sampai berat,
2. Komplikasi terhadap kardiovaskular dapat berupa iskemia miokard, edema
pulmonal, aritmia dan sindrom miokardial. Efek kardiovaskuler ini dapat
disebabkan karena menurunnya cardiac output yang disebabkan oleh hipoksia
jaringan, ikatan CO dengan myoglobin dan menyebabkan kurangnya pelepasan
oksigen ke sel,
3. Komplikasi terhadap sistem saraf berupa nistagmus, ataksia dan pada intoksikasi
akut yang berat dapat ditemukan edema serebri hingga Hidrosefalus akut
Komplikasi pada fungsi ginjal yaitu Rhabdomyolisis dan gagal ginjal akut, dan
4. Rhabdomyolisis dapat terjadi pada otot (Soekamto,2008)

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan tidak efektif b.d. faktor lingkungan, menghirup asap (karbon)
2. Pola napas tidak efektif b.d. hiperventilasi

I. PERENCANAAN
Diagnosa Tujuan Intervensi
Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
Observasi:
napas tidak tindakan keperawatan 1 x
 Monitor pola napas
efektif 24 jam oksigenasi  Monitor bunyi napas
tambahan
dan/atau eliminasi
 Monitor sputum
karbondioksida pada (jumlah,warna,aroma)
Terapeutik
membran alveolus-kapiler
normal, dengan kriteria  Pertahankan kepatenan jalan
napas
hasil:
 Posisikan semi fowler atau
- Produksi sputum fowler
 Lakukan fisioterapi dada,
berubah dari sedang
jika perlu
(3) menjadi cukup  Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
menurun (4)
 Berikan oksigen, jika perlu
- Batuk efektif berubah Edukasi
 Anjurkan asupan cairan
dari sedang (3)
2000ml/hari, jika tidak
menjadi cukup kontraindikasi
Kolaborasi
menurun (4)
 Kolaborasi pemberian
- Mengi berubah dari bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
sedang (3) menjadi
cukup menurun (4) Pemantauan Respirasi
Observasi:
- Sianosis berubah dari
 Monitor pola nafas
sedang (3) menjadi  Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya napas
cukup menurun (4)
 Monitor saturasi oksigen,
- Gelisah berubah dari monitor nilai AGD
 Monitor adanya sumbatan
sedang (3) menjadi
jalan nafas
cukup menurun (4)  Monitor produksi sputum
Terapeutik
- Pola nafas berubah
 Atur Interval pemantauan
dari cukup memburuk respirasi sesuai kondisi ps
Edukasi
(2) menjadi sedang (3)
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
keperawatan 3x24 jam Observasi:
efektif
 Monitor pola nafas, monitor
inspirasi dan atau ekspirasi saturasi oksigen
yang tidak memberikan  Monitor frekuensi, irama,
ventilasi adekuat membaik
kedalaman dan upaya napas
 Monitor adanya sumbatan
dengan kriteria hasil : jalan nafas
- Dipsnea berubah dari Terapeutik
 Atur Interval pemantauan
cukup menurun (2) respirasi sesuai kondisi pasien
menjadi sedang (3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
- Penggunaan otot bantu prosedur pemantauan
berubah dari cukup  Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
menurun (2) menjadi
Terapi Oksigen
sedang (3) Observasi:
 Monitor kecepatan aliran
- Frekuensi nafas
oksigen
berubah dari cukup  Monitor posisi alat terapi
oksigen
memburung (2)
 Monitor tanda-tanda
menjadi sedang (3) hipoventilasi
 Monitor integritas mukosa
- Kedalaman nafas
hidung akibat pemasangan
berubah dari cukup oksigen
Terapeutik:
memburung (2)
 Bersihkan sekret pada
menjadi sedang (3) mulut, hidung dan trakea,
jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan
napas
 Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
 Ajarkan keluarga cara
menggunakan O2 di rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis
oksigen

Daftar Pustaka
Dries, David J & Frederick W Endorf.” Inhalation Injury: Epidemiology, Pathology,
Treatment Strategies”. Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2013; 21: 31.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653783

Gill, Preea & Rebecca V Martin. “Smoke Inhalation Injury”. BJA Education, 15 (3): 143–
148 (2015). doi: 10.1093/bjaceaccp/mku017

Hadiyani, Murti. 2012. Keracunan Karbon Monoksida. Jakarta: Badan POM, RI diunduh
melalui http://www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/racunkarmon.pdf pada hari
selasa , 19 september 2017 pukul 08.35

Lalani, Amina. 2011. Kegawatdaruratan Pediatri. Jakarta: EGC.

Oman, Kathleen S, Jane Koziol-McLain & Linda J. Scheetz. 2012. Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Paramita, D dkk. 2013. “Luka Bakar Disertai Truma Inhalasi”. Jambi: Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universita Negeri Jambi.

Ronald P Micak, P. M. (2017, 9 24). Inhalation Injury from Heat, Smoke, or Chemical
Irritants. Wolters Kluwer, pp. 1-5

Soekamto, Tomie Hermawan Dan David Perdanakusuma. 2008. “Intoksikasi Karbon


Monoksida”. Surabaya: Universitas Airlangga.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta
: PPNI

Walker, Patrick F, et al. “Diagnosis And Management Of Inhalation Injury: An Updated


Review”. Crit Care. 2015; 19: 351.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4624587

Anda mungkin juga menyukai