Anda di halaman 1dari 56

BAB I

1.1. Latar Belakang

Penyakit demam berdarah Dengue (DBD) mewabah pada berbagai

negara seperti Afrika, Amerika, Mediteriania Timur, Pasifik, Asia Tenggara dan

negara lainnya, dimana wilayah yang paling serius adalah Amerika, Asia

Tenggara dan Pasifik Barat. Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia

menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya 2.

Penyakit DBD adalah penyakit yang banyak terjadi di negara tropis dan

merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat termasuk di Indonesia

dimana jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin

luas1.

Demam berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan

ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus dengue, salah

satu spesiesnya Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang

sering menimbulkan kejadian luar biasa. Penyakit ini ditandai dengan empat

manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, fenomena hemorragic, sering

dengan hepatomegali dan pada kasus berat disertai tanda-tanda kegagalan

sirkulasi. Pada penderita DBD dapat mengalami syok hipovolemik akibat

kebocoran plasma3.

Kriteria diagnosis DBD yang digunakan WHO adalah standar yang

digunakan baik klinis maupun laboratoris dalam menegakkan diagnosis dan

klasifikasinya. Diagnosis DBD dapat ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan


1
laboratorium terdiri dari; demam tinggi yang mendadak tanpa sebab yang jelas

berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan, pembesaran

hati, syok ditandai nadi cepat dan lemah. Kriteria laboratorium antara lain adalah

trombositopenia (≤100.000/mL) dan hemokonsentrasi dilihat dari peningkat

hematokrit ≥20% dari nilai dasar atau menurut standar umur dan jenis kelamin.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan dua kriteria klinis pertama ditambah

trombositopenia dan hemokosentrasi dengan peningkatan ≥20%, dijumpai

hepatomegali sebelum terjadinya perembesan plasma6.

Terdapat empat tahap derajat penyakit DBD, yaitu derajat I dengan tanpa

tanda demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II

yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain;

derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah

serta penurunan tekanan nadi (≤ 20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai

≤ 80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasien

tampak gelisah; serta derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound

shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. Seperti

yang telah diketahui bahwa pengelompokan derajat DBD bermanfaat untuk

menilai tingkat keparahan derajat DBD dan memprediksi prognosisnya3.

Berdasarkan penelitian Towidjojo dkk; di RSU Anutapura Palu total

sampel 94 orang yang diperoleh dari data rekam medis di RSUD Anutapura Palu

terdapat adanya hubungan yang bermakna antara kadar trombosit dan hematokrit

dengan derajat keparahan DBD walaupun kekuatan hubungan lemah-sedang4.

2
Namun berbeda dengan hasil penelitian Widyanti di Rumah Sakit Sanglah

Penelitian ini dilakukan pada 100 rekam medis pasien dengan diagnosis demam

berdarah dengue di rumah sakit Sanglah tahun 2013-2014. Sampel dipilih dari

646 pasien yang dirawat sejak Juli 2013 sampai Mei 2014 terdapat hematokrit

dan trombosit tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan derajat

keparahan DBD5.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan literature

review yang lebih mendalam tentang hubungan hematokrit dan trombosit dengan

kejadian DBD.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan antara trombosit dan hemotokrit dengan derajat

keparahan demam berdarah Dengue?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara trombosit dan hematokrit

dengan derajat keparahan demam berdarah Dengue.

3
1.3.2. Tujuan Khusus

i. Untuk mengetahui hubungan antara hematokrit dengan derajat

keparahan demam berdarah Dengue.

ii. Untuk mengetahui hubungan antara trombosit dengan derajat

keparahan demam berdarah Dengue.

4
1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1.4.1. Bagi Institusi

Hasil penelitian dimanfaatkan oleh pihak institusi/pendidikan

sebagai referensi yang akan digunakan oleh mahasiswa/i yang

berkepentingan terutama bidang kesehatan.

1.4.2. Bagi Peneliti

- Hasil penelitian diharapkan untuk menambah pengetahuan

mengenai hubungan antara trombositopenia dan

hemokonsentrasi dengan kejadian demam berdarah dengue.

- Hasil penelitian ini diharapkan untuk menambah pengetahuan

mengenai trombositopenia dan hemokonsentrasi dengan

kejadian demam berdarah dengue terhadap

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue

2.1.1. Definisi

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti7 . Demam berdarah dimulai dengan demam mendadak, dengan sakit

kepala berat, sakit dibelakang bola mata, nyeri sendi dan otot (myalgia dan

arthralgia, sakit pinggang yang parah menyebabkan DHF juga dijuluki

sebagai penyakit demam tulang pecah break-bone fever) dan gatal-gatal.

Ciri-ciri peradangan demam dengue adalah bercak merah terang, dan

biasanya muncul ditungkai bawah-pada beberapa pasien, itu menyebar

hampir ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kulit klasik adalah seluruh tubuh

terdapat ruam kulit kemerahan. Kemungkinan adanya gastritis dengan

kombinasi sakit perut, mual, muntah, atau diare. Pasien juga bisa

mendapatkan peradangan jantung, peradangan otak (pada anak-anak) dan

juga dalam kasus luar biasa dapat terjadi kardiomiopati 8. Penyakit ini dapat

meyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada

anak, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah7.

DBD dapat ditandai dengan gejala klinis lainnya berlangsung selama

enam sampai tujuh hari dengan demam kembali ke akhir demam (dikenal

6
sebagai pola biphasic). Secara klinis, jumlah sel darah pembeku

(trombosit) \akan turun sampai demam hilang diikuti dengan kehilangan

cairan plasma darah dari pembuluh darah ke dalam jaringan ikat atau ruang

ketiga (third space loss diantara selaput paru-paru, ruang peritoneum dan

sebagainya), karena kapiler darah menjadi rapuh (capillary fragility) pada

tahap ini pasien terkena shock dan risiko perdarahan8.

2.1.2. Epidemiologi

Setiap tahun, di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300-100juta penderita

DD dan 500.0000 penderita DBD dengan 22.000 kematian terutama pada

anak-anak. Sekitar 40% penduduk dunia atau sekitar 2,5 -3 miliar orang

berasal dari 112 negara di kawasan tropis dan subtropis hidup dalam risiko

tertular infeksi Dengue. Negara Eropa dan daerah Antartika adalah daerah

bebas dari penyakit yang mematikan ini. Dengue menyebar ke negara-negara

tropis, subtropis dan di Asia Tenggara sekelilingnya. Penularan

hiperendemis berlangsung di Vietnam, Thailand, Indonesia, Pakistan, India,

Malaysia dan Filipina9.

DBD dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1968 dengan

jumlah penderita 58 orang dan angka kematian 41,3%, sedangkan pada tahun

1988 jumlah penderita mencapai lebih dari 47 ribu orang dengan angka

kematian sebesar 3,2% atau 1.527 orang. Program penanggulangan DBD

dilakukan mulai tahun 1989, insiden DBD menurun dari 27,1% per 100.000

penduduk. Program pada tahun 1988 turun menjadi 6,1% per 100.000

27
8

penduduk pada tahun 1989. Setelah itu antara tahun 1989- 1996 terjadi

fluktuasi insidens DBD di Indonesia10.

IR (Insiden Rate) penyakit DBD dari tahun 1968 hingga saat ini

cenderung meningkat. Kemudian dari tahun 2011 ke 2012 menurun drastis,

dan meningkatkan kembali dari tahun 2012 (37,11 per 100.000 penduduk)

ke 2013 (41, 25 per 100.000 penduduk). Pada tahun 2013 tercaat penderita

DBD di 34 Provinsi di Indonesia sebanyak 871 penderita)11.

Terjadinya penurunan kasus pada tahun 2011 sampai 2012 dikarenakan

oleh keberhasilan program puskesmas yaitu kegiatan foging masal yang

dilakukan secara rutin. Setelah terjadi penurunan kasus Demam Berdarah

Dengue kegiatan fogging sudah tidak dilanjutkan lagi. Sehingga pada tahun

2013 kembali terjadi peningkat kembali. Karena kegiatan fogging dilakukan

biasanya setelah terjadinya insiden demam berdarah dengue serta terkait

masalah perdanaan kegiatan fogging masal11.

Gambar 2.1. IR DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 1968-201326.


9

2.1.3. Etiologi

Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (didaerah

perkotaan) dan Aedes albopictus (daerah pedesaan). Nyamuk yang menjadi

vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat mengigit

manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya).

Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari

nyamuk ke telur-telurnya1.

Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama

dalam kelenjar ai liurnya, dan jika nyamuk menggigit orang lain maka virus

Dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Virus ini akan

berkembang selama 4-6 hari dalam tubuh manusia dan orang tersebut akan

mengalami sakit demam berdarah Dengue. Virus Dengue memperbanyak

diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B,

yaitu arthopod-borne virus atau virus disebarkan oleh artropoda. Virus ini

termasuk genus Flavivirus dari Fammili Flaviviridae1.

Gambar 2.2. Struktur Virus Dengue9.


10

2.1.4. Patofisiologi

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan

membedakan DHF dari dengue klasik ialah meningginya permeabilitas

dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi,

trombositopeni, dan diatesis hemoragik12.

Perubahan-perubahan molekuler yang timbul akibat infeksi virus

Dengue sudah banyak diketahui dari berbagi penelitian biomolekuler.

Namun, patogenesis infeksi dengue hingga kini masih belum diketahui

secara pasti. Terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan mengapa dengue

berat (serve Dengue) dapat terjadi. Teori yang diterima luas untuk

menjelaskan patogenesis DBD dan DSS yaitu Antibody Dependent

Enchancement. Menurut teori ini, pasien yang mengalami infeksi pertama

kemungkinan besar akan berkembang menjadi DBD/DSS. Hal ini

disebabkan karena adanya antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya

akan membentuk kompleks antigen antibodi, namun tidak dinetralisasi,

sehingga virus bebas bereplikasi di dalam makrofag. Selanjutnya akan

mengaktivasikan komplemen yang menyebabkan peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari intravaskuler ke

ekstravaskuler. Kompleks antigen antibodi juga menyebabkan agregasi

trombosit dan aktivasi sistem koagulasi13.


11

Infeksi Virus Dengue

Demam Hepatomegali Trombositopeni


Anoreksia Manifestasi Permeabilitas
muntah perdarahan Vaskular naik

Kebocoran Plasma:
Dehidrasi - Hemokosentrasi
- Hipoproteinemia
- Efusi pleura
- asites

Hipovolemi

DIC Syok

Perdarahan saluran Anoksia Asidosis


cerna

Meninggal

Gambar 2.3. Skema Patofisiologi7.


12

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologus

infection yang menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi

ulang virus Dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan

reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan kosentrasi kompleks imun

yang tinggi14.

Gambar 2.4. Skema Teori Secondary Heterologous Infection (16).

Terdapat dua perubahan patofisiologi utama yang terjadi pada DBD

maupun DSS. Perubahan pertama adalah peningkatkan permeabilitas vaskuler

yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen vaskular. Keadaan

ini mengakibatkan kebocoran plasma (plasma Leakage), seperti

dimanifestasikan oleh peningkat hematokrit (hemokosentrasi) efusi serosa,

atau hipoproteinemia. Apabila kehilangan plasma sangat membahayakan


13

maka dapat terjadi gangguan perfusi jaringan, tekanan nadi rendah, hipotensi,

dan tanda-tanda syok lain, hingga berujung pada kematian15.

Perubahan kedua adalah gangguan pada homeostasis yang mencakup

perubahan vaskuler, trombositopenia sedang sampai nyata dengan

hemokosentrasi secara bersamaan adalah temuan klinis khusus DBD. Defek

trombosis terjadi baik kualitatif dan kuantitatif, yaitu beberapa trombosit yang

bersirkulasi selama fase akut DBD mungkin fatigue (kelelahan) karena tidak

mampu berfungksi normal. Oleh karena itu meskipun penderita dengan

jumlah trombosit lebih besar daripada 100.00 per mm3 mungkin masih

mengalami masa perdarahan yang panjang15.

2.1.5. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dari ringan hingga berat.

Gejala yang timbul antara lain16:

1. Demam pelana kuda (saddleback fever) yang muncul tiba-tiba 2-7 hari,

2. Mual, muntah,

3. Ruam kulit,

4. Nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang,

5. Gangguan pada mata;

6. Tanda bahaya: nyeri perut, muntah persisten, dan peningkatan nilai

hematokrit bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit.


14

2.1.6. Klasifikasi

Klasifikasi menurut WHO (2015) untuk tingkat keparahan demam

berdarah dibagi menjadi 3, yaitu17:

1. Demam Dengue (DD)

Demam akut yang berlangsung 2-7 hari dengan dua tanda gejala berikut:

a. Nyeri kepala,

b. Nyeri retro-orbital,

c. Mialgia,

d. Ruam (petekie);

e. Artralgia.

2. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Kasus dengan kriteria klinis DD ditambah:

a. Bukti manifestasi perdarahan atau tes Tourniquet positif,

b. Trombositopenia (≤100.000/ml3);

c. Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokosentrasi

(peningkatan hematokrit ≥20% diatas rata-rata untuk usia atau

penurunan hematokrit ≥20% dari awal setelah terapi penggantian

cairan).
15

3. Dengue Syok Syndrome (DSS)

Semua kriteria DBD Disertai bukti kegagalan sirkulasi dengan

manifestasi:

a. Nadi cepat dan lemah,

b. Tekanan nadi menurun (≤20% mmHg) atau hipotensi;

c. Kulit dingin.

2.1.7. Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan anamnese, gambaran klinis

disertai pemerikaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium18.

2.1.1. Anamnesis

Biasanya pada anamnesis saat masuk rumah sakit didapatkan

keluhan utamanya adalah demam tinggi yang mendadak yang

berlangsung selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Demam

bersifat naik turun, disertai sakit kepala, nyeri retroorbital,

mialgia/atralgia, gusi berdarah mimisan, muntah darah

(hematemesis) dan melena19.

2.1.2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu >37,5 ℃, uji Tourniquet

positif, serta ditemukan petekie dan hepatomegali19.


16

2.1.3. Pemeriksaan penunjang.

Diagnosis DBD sukar untuk dapat ditegakkan hanya atas dasar

beberapa gejala klinis saja, maka dari itu peranan dari pemeriksaan

laboratorium dalam menegakkan diagnosa sangat penting, seperti:

a. Trombositopenia (≤100.000/ml3).

b. Hemakosentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥20% dari

nilai dasar/ menurut standart umur dan jenis kelamin.

c. Tes antigen NS1 berdasarkan ELISA.

Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama

sampai hari kedelapan. Sensitivitas antigen NS1 bersekitar 63%,

93,4%, dengan spesifitas 100%.

d. Pemeriksaan serologi.

Didasarkan pada deteksi antibody IgM spesifik Dengue, dimana

IgM terdeteksi mulai hari ke 5 dari penyakit, menghilang setelah

60-90 hari, sedangkan antibody IgG mulai terdeteksi pada hari ke

14. Pada infeksi sekunder IgG terdeteksi mulai hari ke 2.

e. Isolasi virus Dengue.

Isolasi virus sebagian besar strain virus Dengue dari spesimen

klinis dapat dilakukan pada sebagian kasus, asalkan sampel

diambil dalam 5 hari pertama penyakit dan diproses tanpa

penundaan. Isolasi virus memakan waktu 7-10 hari, oleh karena

itu mungkin tidak akan sangat berguna untuk memulai

pengelolaan pasien dengan DD atau DBD17.


17

Diagnosis DBD menurut Edi Wasidi (2012) dapat ditegakkan apabila

memenuhi kriteria: 2 kriteria klinis pertama + trombisitopenia dan

hemokosentrasi. Pada DBD harus dinilai derajat penyakit karena membutuhkan

penaalaksanaan yang berbeda.

Tabel. 2.1. Derajat Penyakit DBD

Derajat Penyakit Kriteria


DBD Derajat I Demam disertai gejala tidak khas, dan satu-satunya

manifestasi perdarahan ialah uji torniquet positif.


DBD Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau

perdarahan lain.
DBD Derajat III Terdapat kegagalan sirkulasi (nadi cepat dan lembut,

tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi,

sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan

anak tampak gelisah.


DBD Derajat IV Syok berat (profound shock); nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak dapt diukur.

2.1.8. Penatalaksaan
18

Pendekatan terhadap pengelolaan klinis DBD dapat bervariasi tergantung

pada tingkat keparahan penyakit. Pasien yang demam sederhana tanpa tanda

bahaya atau komplikasi dapat ditangani dengan pendekatan simptomatik.

2.1.8.1 Non Farmakologi

1. Tirah baring (pada trombositopenia yang berat).

2. Pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan

tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna

3. Minum air putih minimal 8 gelas/hari20.

2.1.8.2 Farmakologi

Penatalaksanaan kasus DD

Antipiretik dapat digunakan untuk menurunkan suhu tubuh.

Seperti ibuprofen, harus dihindari karena dapat menyebabkan gastritis,

muntah, asidosis dan perdarahan hebat. Parasetamol lebih baik

digunakan berdasarkan dosis dibawah ini:

1. 1-2 tahun: 60-120 mg/dosis

2. 3-6 tahun: 120 mg/dosis

3. 7-12 tahun: 240 mg/dosis

4. Dewasa : 500 mg/dosis

Catatan: Pada anak-anak dosis parasetamol dapat diulang pada

interval 6 jam tergantung pada deam dan sakit badan.

Penatalaksanaan kasus DBD


19

Pada hari ke 3,4, dan 5 panas dianjur rawat inap karena penderita

ini mempunyai risiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian

syok tersebut, penderita ini disarankan diinfus cairan kristaloid dengan

tetesan berdasarkan tatanan 7,5,3. Pada fase panas penderita dianjurkan

banyak minum oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila

terjadi trombositopenia, maka diberi obat vitamin B12 atau tranfusi

platelet untuk menaikkan jumlah trombosit. Apabila hematokrit

meningkat lebih dari 20% dari harga normal merupakan indikator adanya

kebocoran plasma dan sebaiknya penderita dirawat diruang observasi di

pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam. Penderita DBD yang

gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut, dan

produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat dirumah

sakit untuk memperoleh cairan pengganti segera17.

Penatalaksanaan kasus DSS

Dengan Shock Syndrome termasuk kasus kegawatan yang perlu

dirawat diruang ICU yang membutuhkan penanganan secara cepat dan

perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat. Penggantian secara

cepat plasma yang hilang digunakan larutan garam isotonic (ringer laktat,

5% dekstrose dalam larutan ringer laktat atau 5% dekstrose dalam larutan

ringer asetat dan larutan normal garram faali) dengan jumlah 10-

20ml/kg/1jam. Pada kasus yang sangat berat dapat diberikan bolus

10ml/Kg (1atau 2 kali). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit

yang tinggi, larutan koloid dapat diberikan dengan jumlah 10-20ml/Kg17.


20

2.1.9. Trombosit

Trombosit (platelet) adalah elemen terkecil darah. Sel ini tidak

berinti, berbentuk bulat atau oval, gepeng, memberikan struktur mirip

piringan dengan diameter 1 – 4 mikrometer dan volume 7 – 8 fl.

Trombosit dapat dibagi menjadi 3 daerah (zona) yaitu zona daerah tepi

yang berperan dalam adhesi dan agregasi, zona “sol gel” yang

menunjang struktur dan mekanisme interaksi trombosit dan zona

organel yang berperan dalam pengeluaran isi trombosit. Aktivitas

trombosit penting pada proses awal pembekuan darah (hemostasis) yang

akan berakhir dengan pembentukan sumbat trombosit (platelet plug).

Trombosit akan mengalami proses adhesi, aktivasi dan agregasi. Masa

hidup trombosit sekitar 7,5 hari. Normalnya, dua pertiga total trombosit

berada di sirkulasi darah, sementara seper tiga lainnya berada di organ

limpa. Pada orang dewasa, trombosit berasal dari sumsum tulang merah

dibentuk dari fragmentasi sitoplasma megakariosit matang. Produksi

trombosit diatur oleh hormon trombopoitin yang diproduksi oleh hepar

dan ginjal21.

Peran trombosit dalam hemostasis sebagai salah satu komponen

dari system peredaran darah. Pemeliharaan pembuluh darah normal

melibatkan nutrisi melalui endotel oleh beberapa konstituen trombosit.

Untuk berlangsungnya 20 hemostatis, trombosit tidak hanya ada dalam

jumlah normal, tetapi juga harus berfungsi dengan baik. Adhesi dan
21

agregasi trombosit di lokasi pembuluh darah yang rusak memungkinkan

untuk terjadinya pelepasan molekul yang terlibat dalam hemostasis dan

penyembuhan luka dan memungkinkan permukaan membran untuk

membentuk enzim koagulasi yang mengarah ke pembentukan fibrin.

Pada pengamatan mengenai penurunan jumlah trombosit didapatkan

bahwa jumlah trombosit pada pasien mulai menurun pada awal fase

demam. Pada awal fase demam jumlah trombosit menurun masih dalam

batas normal. Jumlah trombosit terus menurun hingga mengalami

trombositopenia mulai hari ke 4 demam dan mencapai titik terendah

pada hari ke 6 demam. Jumlah trombosit kemudian akan mulai

meningkat pada hari ke 7 dan mencapai normal kembali mulai hari ke 9

atau hari ke 10 22.

2.1.10. Hematokrit

Hematokrit pada dasarnya mencerminkan presentase eritrosit

dalam volume darah total. Nilai hematokrit biasanya meningkat pada hari

ketiga dari munculnya penyakit dan semakin meningkat sesuai dengan

proses perjalanan infeksi dengue. Peningkatan hematokrit menandakan

terjadinya kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular. Akibat kebocoran

plasma volume darah menjadi berkurang sehingga dapat menyebabkan

syok hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Peningkatan nilai hematokrit

dapat diobservasi secara bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit.


22

Peningkatan nilai hematokrit >20% menjadi dasar objektif terjadinya

kebocoran23.

Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) ≥20% menggambarkan

hemokonsentrasi selalu dijumpai pada demam berdarah dengue,

merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga

dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya

penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit24.

2.1.11. Hubungan Kadar Trombosit dengan Derajat Keparahan DBD

Trombosit adalah salah satu komponen darah yang berfungsi untuk

menghentikan perdarahan. Pada infeksi virus Dengue, gangguan yang

ditumbulkan virus ini antara lain terjadinya percampuran antibodi dengan

berbagai senyawa dalam darah, yang kemudian akan terbentuk

anaphylatoxin yaitu semacam protein yang merusak dinding pembuluh

darah sehingga menimbulkan kebocoran plasma (hemokonsentrasi)

menyebabkan penderita DBD mengalami perdarahan interna atau

perdarahan dalam tubuh dan biasanya terjadi di saluran cerna. Dan apabila

jumlah trombosit pada penderita DBD mengalami penurunan

(trombositopenia) maka mengindikasikan penderita memasuki fase kritis

yang terkait dengan derajat keparahan DBD. Hemokonsentasi atau

peningkatan hematokrit menunjukkan atau mengambarkan adanya

perembesan plasma ke ruang ekstravaskuler sehingga nilai hematokrit

menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Jika penderita


23

tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami

kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan

bisa mengalami renjatan bahkan kematian27.

Berdasarkan penelitan Elindra, 2014 di RS Al Islam Bandung dengan

sampel 576 rekam medik pasien dengan diagnosis DBD yang di rawat

inap di Rumah Sakit Al Islam Bandung Periode 1 Januari 2014 sampai

dengan 31 Desember 2014, penelitian ini hanya dapat dilakukan terhadap

129 rekam medik pasien bahwa Tidak terdapat hubungan kadar trombosit

dengan derajat penyakit DBD pada pasien dewasa28. Namun berbeda

dengan Peneliti Towidjojo, dkk, 2014 di RSU Anutapura Palu dengan

sampel 94 orang yang diperoleh dari data rekam medis di RSU Anutaparu

Palu bahwa hubungan bermakna antara kadar trombosit dengan derajat

keparahan DBD31.

2.1.12. Hubungan Hematokrit dengan Derajat Keparahan DBD

Masuknya virus demam berdarah didalam tubuh manusia akan

terjadi reaksi yang kemudian virus akan bereplikasi dan akan melepaskan

zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah. Proses tersebut menyebabkan

permeabilitas dinding kapiler meningkat yang salah satunya ditunjukkan

dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal tersebutakan

mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain trombosit dan eritrosit29.

Pada kasus demam berdarah peningkatan nilai hematokrit

menggambarkan keadaan hemokonsentrasi yang merupakan indikasi yang

peka terjadinya perembesan plasma, pada umumnya penurunan trombosit


24

mendahului peningkatan hematokrit. Yang dimana Nilai hematokrit adalah

konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit dalam 100 mL darah

lengkap. Pada kasus demam berdarah dengue volume plasma berkurang

oleh karena terjadinya eksudasi plasma akibat meningkatnya permeabilitas

pembuluh darah sehingga volume eritrosit relatif meningkat. Meningkatnya

nilai hematokrit dan penurunan trombosit pada demam berdarah dengue

merupakan indikator yang peka terjadinya DSS (Dengue Syok Sindrom)30.

Berdasarkan hasil penelitain Widyanti, 2016 di Rumah Sakit

Sanglah Penelitian ini dilakukan pada 100 rekam medis pasien dengan

diagnosis demam berdarah dengue di rumah sakit Sanglah tahun 2013-

2014. Sampel dipilih dari 646 pasien yang dirawat sejak Juli 2013 sampai

Mei 2014 bahwa hematokrit tidak memiliki hubungan yang bermakna

dengan derajat keparahan DBD32. Namun berbeda dengan penelitian

Elindra, 2014 di RS Al Islam Bandung dengan sampel 576 rekam medik

pasien dengan diagnosis DBD yang di rawat inap di Rumah Sakit Al Islam

Bandung Periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014,

penelitian ini hanya dapat dilakukan terhadap 129 rekam medik pasien

bahwa terdapat hubungan kuat kadar hematokrit dengan derajat penyakit

DBD pada pasien dewasa28.


25

2.2. Kerangka Teori

Infeksi Heterolog Sekunder Dengue

Viremia

Replikasi Virus

Kompleks Virus /
NS1-Antibodi

- Trombositopenia
- Peningkatan Permeabilitas Vaskuler

Pemeriksaan Darah
Lengkap: Hb,Hematokrit
Trombosit , Leukosit

Demam Berdarah Dengue

DBD Derajat I DBD Derajat II DBD Derajat III DBD Derajat IV

Gambar 2.5. Kerangka Teori25,18.


26

2.3. Kerangka Konsep

Variabel Dependen Variabel Indepeden

- Kadar Trombosit
Derajat Keparahan Demam Berdarah
- Hemotokrit Dengue
27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian menggunakan metode studi kepustakaan atau literature review

dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah

bahan penulisan.

3.2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung. Akan tetapi data

tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti

terdahulu. Sumber data sekunder yang dimaksud berupa buku dan laporan ilmiah primer

atau asli yang terdapat didalam artikel atau jurnal kedokteran nasional dan internasional

yang sudah dipublikasikan dalam jurnal online.


3.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian kepustakaan adalah menemukan berbagai teori, hukum, dalil,

prinsip atau gagasan yang digunakan untuk menganalisis dan memecahkan pertanyaan

penelitian yang dirumuskan. Adapun sifat dari penelitian ini adalah analisis deskriptif,

yakni penguraian secara teratur data yang telah diperoleh kemudian diberikan

pemahaman dan penjelasan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.

Topik yang digunakan oleh peneliti adalah hubungan antara trombosit dan

hematokrit terhadap derajat keparahan demam berdarah dengue dengan kriteria

inklusinya adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai kasus demam berdarah dengue

dengan pemeriksaan laboratorium terdapat hasil kadar trombosit dan kadar hemotokrit.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan

mencari atau menggali data dari literature yang terkait dengan apa yang dimaksudkan

dalam rumusan masalah. Data-data yang telah didapatkan dari berbagai literatur

dikumpulkan sebagai suatu kesatuan dokumen yang digunakan untuk menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan.

Data peneliti di dapat dari jurnal penelitian kedokteran yang sudah

dipublikasikan dalam jurnal online baik nasional maupun internasional dengan Schoolar

atau jurnal lainnya dengan kata kunci : Hematokrit, Trombosit, Derajat Keparahan

Demam Berdarah Dengue. Proses pengumpulan data dilakukan dengan beberapa

penyaringan berdasarkan kriteria inklusi dan variabel pada penelitian.

28
29

3.4.1. Alur Penelitian

Studi Literatur

Sumber data : data sekunder dari jurnal kedokteran


internasional maupun nasional yang sudah dipublikasikan
dalam jurnal online ( Schoolar dan Pubmed )

Fokus Penelitian : Faktor – faktor yang


berhubungan dengan ISK pada Kehamilan

Analisa Data : PICO dan


tabel GRID

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar 3.1. Alur Penelitian


30

Tabel 3.1 Kriteria inklusi pada litelature ini yaitu :

Kriteria Inklusi : Pasien yang didiagnosa Demam Berdarah Dengue


Jangka waktu Tanggal publikasi ± 5 tahun terakhir

mulai dari tahun 2013 sampai tahun

2018
Bahasa Bahasa Inggris dan Bahasa

Indonesia
Subjek Pasien
Jenis artikel Artikel original tidak dalam bentuk

publikasi tidak asli seperti surat ke

editor,

Tidak dalam bentuk abstrak saja

maupun buku artikel dalam bentuk

full teks
Tema isi artikel Hubungan antara kadar trombosit

dan hemotrokit terhadapat derajat

keparahan demam berdarah dengue

3.5. Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode PICO dan tabel

sintesis GRID.

3.5.1 GRID
31

Tabel 3.3. GRID31,33,32,34,35.28

Nama / Tujuan Design Participant Alat Ukur Hasil

Tahun
Towidjojo Ada hubungan yang Cross- Penelitian 94 Data Hubungan kadar
sectional
dkk., 2014 bermakna antara orang yang sekunder trombosit dengan

kadar trombosit dan diperoleh dari dari rekam derajat DBD secara

hematokrit terhadap rekam medis di medis statistik bermakna

derajat DBD RSU Anutapura pasien (p<0,05). derajat

walaupun kekuatan Palu DBD hubungan yang diuj

hubungan lemah- dengan Spearman

sedang didapatkan hubunga

terbalik berderajat

sedang (r= -0,529).

Hubungan kadar

hematokrit dengan

derajat DBD secara

statistik bermakna

(p<0,05). Derajat

hubungan yang diuj

dengan Spearman

didapatkan hubunga

secara berderajat

lemak (r= 0,345).


Livina Untuk mengetahui retrospektif Penderita dewasa Rekam Hasil signifikan
32

dkk., 2013 hubungan dengan yang menderita medis ( p=0,000 ; r= -0,18

trombositopenia studi cross- demam dengue penderita Uji nonparametrik

Dan hematokrit sectional dan demam DD dan Spearman terhadap

dengan manifestasi berdarah dengue DBD trombosit dan

perdarahan pada yang dirawat di manifestasi perdara

penderita demam RSU Bethesda mendapat hasil yang

dengue Tomohon tidak signifikan

(p=0,714).

Uji nonparametrik

Spearman terhadap

hematokrit dan

manifestasi perdara

mendapatkan hasil

yang tidak signifika

(p=0,153)
Syurmarta Untuk melihat Retrospektif Semua pasien Rekam Hasil penelitian

dkk., 2014 hubungan hasil DBD dewasa yang Medis ditemukan rerata um

pemeriksaan telah didiagnosis 25.49±10.09 tahun.

trombosit, oleh dokter Laki-laki 46 orang

hematokrit, dan penyakit dalam di (54.8%) lebih banya

hemoglobin dengan bagian Ilmu dari wanita 38 oran

derajat klinik DBD Penyakit Dalam (45.2%)

berdasarkan RSUP M. Djamil

Kriteria WHO Padang


33

Widyanti., Untuk menemukan cross- Pasien dengan rekam Bahwa hematokrit

2016 validitas hubungan sectional diagnosis demam medik (r=0,173; p> 0,05) d

antara trombosit berdarah dengue trombosit (r=-0,117

dan hematokrit di RS Sanglah p>0,05) tidak memi

dengan derajat tahun 2013-2014. hubungan yang

keparahan DBD Sampel dipilih bermakna dengan

646 pasien yang derajat keparahan

dirawat DBD
Ayunani., Untuk mengetahui Cross- Semua pasien Rekam Didapatkan hubung

2017 hubungan tingkat sectional yang didiagnosa medis yang bermakna dan

keparahan demam oleh dokter korelasi yang lemah

berdarah dengan menderita demam antara derajat

hemoglobin, berdarah dan 85 keparahan dengan

hematokrit, dan orang berdasarkan kadar hemoglobin

trombosit di rekam medis (p=0,006; r=0,297)

Puskesmas Rawat dan kadar hematokr

Inap Way Kandis (p=0,035; r=0,229).

Bandar Lampung Hubungan derajat

keparahan dengan

jumlah trombosit

bermakna

(p=0,000;r=-0,732)

dan mempunyai

korelasi yang kuat


34

dengan arah negatif


Elindra Untuk mengetahui Cross- 576 rekam medik Rekam hasil uji statistik

dkk., 2014 hubungan kadar Sectional pasien yang dapat medis menggunakan chi

trombosit dan dilakukan square dengan uji

hematokrit dengan terhadap 129 asosiasi koefisiensi

derajat penyakit rekam medis kontingensi didapat

DBD pada pasien diagnosis DBD di tidak terdapat

dewasa rawat inap di hubungan yang

Rumah Sakit Al bermakna kadar

Islam Bandung trombosit dengan

Periode 1 Januari derajat DBD pada

2014 -31 pasien dewasa (p=

Desember 2014, 0.342). Terdapat

hubungan yang kua

yang bermakna kad

hematokrit dengan

derajat penyakit DB

pada pasien dewasa

(p= 0.000, C= 0.541

3.6. Prosedur Penelitian

Terdapat lima prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Compare : Mencari kesamaan dari artikel-artikel penelitian yang didapatkan


35

2. Contrast : Mencari ketidaksamaan dari artikel-artikel penelitian yang di

dapatkan

3. Criticize : Mengkritisi atau memberikan pandangan terhadap artikel-artikel

penelitian yang didapatkan

4. Synthesize : Menganalisis perbandingan antara beberapa artikel

5. Summarize : Melakukan ringkasan dari beberapa artikel yang di analisis


36

BAB IV

HASIL

4.1. Hubungan Kadar Trombosit dengan Derajat Keparahan DBD

Tabel 4.1 Hubungan Kadar Trombosit dengan Derajat Keparahan

DBD31,33,32,34,35,28.

Penulis Judul Jurnal Metode Sampel Hasil


(Tahun)
Towidjojo Hubungan kadar Cross- 94 orang Adanya terdapat hubungan.
dkk,. 2014 Trombosit dan sectional (p<0,05). berderajat sedang (r=
Hematokrit dengan -0,529).
Derajat Keparahan
DBD pada Pasien
Dewasa
Livina Hubungan Retrospektif 18 orang Tidak terdapat hubungan.
dkk,. 2013 Trombisitopenia dan dengan studi Hasil signifikan ( p=0,000 ; r= -0,183).
Hemotokrit dengan Cross- Uji nonparametrik Spearman
Manifestasi sectional (p=0,714).
Perdarahan pada
penderita DD dan
DBD
Syurmata Hubungan Jumlah Retrospektif 84 orang Adanya terdapat hubungan.
dkk,. 2014 Trombosit, Semakin rendah trombosit semakin
Hematokrit dan berat derajat kliniknya (p<0.05, r=-
Hemoglobin dengan 0.336).
Derajat Klinik DBD
pada Pasien Dewasa
di RSUP. M. Djamil
Padang
37

Widyanti,. Hubungan Jumlah Cross- 100 orang Tidak terdapat hubungan.


2016 Hematokrit dan sectional Nilai trombosit dibawah normal dan
Trombosit dengan trombosit (r=-0,117; p>0,05)
Tingkat keparahan
Pasien DBD di
Rumah Sakit
Sanglah Tahun
2013-2014

Ayunani Hubungan Tingkat Cross- 85 orang Adanya terdapat hubungan.


dkk,. 2017 Keparahan Demam sectional Jumlah trombosit pada derajat I
Berdarah dengan (130.000), derajat II (84.480).
Kadar Hemoglobin, (p=0,000; r=-0,732)
Hematokrit, dan
Trombosit di
Puskesmas Rawat
Inap Way Kandis
Bandar Lampung
Elindra Hubungan Kadar Cross- 129 orang Tidak terdapat hubungan.
dkk,. 2014 Trombosit dan sectional Hasil penelitian didapat proporsi kadar
Hematokrit dengan trombosit 55.8% (≤ 100.000/mm3),
Derajat Penyakit 35.7% (100.000-150.000/mm3) dan
DBD pada Pasien 8.5% (≥ 150.000/mm3). Kadar
Dewasa trombosit (p=0,342)
38

4.2. Hubungan Hematokrit dengan Derajat Keparahan DBD

Tabel 4.2 Hubungan Hematokrit dengan Derajat Keparahan DBD31,33,32,34,35,28.

Penulis Judul Jurnal Metode Sampel Hasil


(Tahun)
Towidjojo Hubungan kadar Cross- 94 orang Adanya hubungan bermakna.
dkk,. Trombosit dan sectional (p<0,05) berderajat lemah (r= 0,345).
2014 Hematokrit dengan
Derajat Keparahan
DBD pada Pasien
Dewasa
Livina Hubungan Retrospektif 18 orang Tidak terdapat hubungan.
dkk,. Trombisitopenia dan dengan studi Hasil signifikan ( p=0,000 ; r= -0,183).
2013 Hemotokrit dengan Cross- Uji nonparametrik Spearman
Manifestasi sectional (p=0,153).
Perdarahan pada
penderita DD dan
DBD
Syurmata Hubungan Jumlah Retrospektif 84 orang Tidak terdapat hubungan.
dkk,. Trombosit, (p<0.05, r=-0.059).
2014 Hematokrit dan
Hemoglobin dengan
Derajat Klinik DBD
pada Pasien Dewasa
di RSUP. M. Djamil
Padang
Widyanti, Hubungan Jumlah Cross- 100 orang Tidak terdapat hubungan.
. 2016 Hematokrit dan sectional (r=-0,173; p>0,05)
Trombosit dengan
Tingkat keparahan
Pasien DBD di
Rumah Sakit
Sanglah Tahun
2013-2014
39

Ayunani Hubungan Tingkat Cross- 85 orang Adanya terdapat hubungan.


dkk,. Keparahan Demam sectional Jumlah Hematokrit pada derajat I
2017 Berdarah dengan (44,78), derajat II (47,64). (p=0,035;
Kadar Hemoglobin, r=-0,229)
Hematokrit, dan
Trombosit di
Puskesmas Rawat
Inap Way Kandis
Bandar Lampung

Elindra Hubungan Kadar Cross- 129 orang Adanya terdapat hubungan.


dkk,. Trombosit dan sectional Proporsi kadar hematokrit 3,9% tinggi,
2014 Hematokrit dengan 83,7% normal, 12,4% rendah. Kadar
Derajat Penyakit hematokrit (p=0,000), C=0,541)
DBD pada Pasien
Dewasa
40

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Kadar Trombosit dengan Derajat Keparahan DBD

Penelitian yang dilakukan oleh Towidjojo (2014) dilakukan dengan analisis

data sekunder dari rekam medis pasien DBD tahun 2011-2012 di RSU Anutapura

Palu. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling perhitungan

besar sampel memakai rumus slovin didapatkan 94 sampel. Total yang didapat 94

sampel didapatkan rerata umur 20 tahun dengan umur terendah 20 tahun dan

tertinggi 40 tahun. Berdasarkan penelitian tidak dijumpai DBD derajat IV; 77,7%

sampel masuk dalam DBD derajat I dan secara umum prevalensi DBD dijumpai

pada kelompok umur 20-22 tahun berjumlah 46 orang (48,9%). Kadar trombosit

tertinggi didapatkan pada DBD derajat I sebesar 95.917 ± 35.912 dengan rentang

27.000-196.000/mm3, sedangkan paling rendah pada derajat III sebesar 14.273 ±

20.525 dengan rentang 10.000-58.000/mm3. Pada pasien DBD derajat I, II, III

didapatkan rata-rata (mean) nilai trombosit 95.917/mm3, 33.567/mm3, dan

14.273/mm3.Hasil analisis stastitik hubungan kadar trombosit dengan derajat DBD

secara statistik bermakna (p<0,05). Nilai korelasi Spearman (r) didapatkan sebesar

-0,529 dengan korelasi derajat sedang (0,400-0,599). Hal ini menunjukkan bahwa

semakin berat derajat DBD makan akan semakin rendah kadar trombosit walaupun

korelasi ini dalam derajat sedang31.


41

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Syumarta, dkk (2014) jenis

penelitian adalah survei analitik dengan desain penelitian retrospektif, yang

bertujuan untuk memberikan gambaran hasil pemeriksaan jumlah trombosit dengan

derajat klinik DBD berdasarkan kriteria WHO. Sampel penelitian diambil dari data

rekam medis pasien demam berdarah dengue di RSUP M. Djamil Padang. Jumlah

sampel yang diperoleh adalah sebanyak 84 orang, dimana 50 orang berada pada

derajat I, 28 orang berada derajat II dan 6 orang berada derajat III dan tidak

ditemukan derajat IV. Peneliti meneliti yang banyak menderita DBD adalah usia

dibawah 20 tahun dengan rerata usia penderita DBD adalah 25.49±10.09 ribu/mm 3.

Didapatkan rerata jumlah trombosit pada derajat I adalah 62.64±3.63 ribu/mm 3.

Pada derajat II adalah 31.14±2.25 ribu/mm3. Pada derajat III adalah 36.17±2.29

ribu/mm3. Hasil analisis hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD

bermakna dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai p < 0,05 yang berarti

terdapat hubungan bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD.

Dengan koefisien r = -0,0336 yang berarti kekuatan hubungan lemah dengan arah

hubungan negatif34.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Ayunani, dkk (2017) penelitian ini

bersifat analitik dengan desain Cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah

semua pasien yang didiagnosa oleh dokter menderita demam berdarah di

Puskesmas Rawat Inap Way Kandis Bandar Lampung dengan menggunakan rekam

medis. Hasil penelitian analisis univariat, sampel yang memenuhi kriteria sebanyak

85 pasien bahwa penderita demam berdarah pada derajat I (70,59% 60 pasien) lebih

banyak dari pada derajat II (29,41% 25 pasien) dan tidak ditemukan penderita
42

demam berdarah derajat III dan IV. Pada pasien derajat I masih didapatkan kadar

yang normal untuk jumlah trombosit (22%) dan jumlah trombosit sebagian besar

rendah (78%). Pada pasien demam berdarah derajat II sebanyak 100% untuk semua

pasien yang ada pada derajat II. Pada hasil penelitian analisis bivariat jumlah

trombosit derajat I secara berturut-turut mempunyai nilai mean (130.000), median

(129.000) dan range (100.00-150.000), dan pada derajat II didapatkan nilai mean

(84.480), median (88.000) dan range (64.000- 100.000). Didapatkan hubungan

yang bermakna antara derajat keparahan pasien demam berdarah dengan jumlah

trombosit karena nilai p = 0,000 (nilai p < 0,05). Nilai korelasi Spearman sebesar

-0,732, nilai korelasi ini menunjukkan hubungan yang kuat, walaupun arahnya

negatif. Arah negatif menunjukkan semakin besar derajat demam berdarah, maka

semakin rendah jumlah trombositnya35.

Penelitian di atas berbeda dengan penelitian Livina, dkk (2013) penelitian ini

bersifat retrospektif observasional analitik dengan pendekatan Cross-sectional.

Jumlah sampelnya 77 orang terdiri dari 59 orang (76,6%) penderita DD dan 18

orang (23,4%) penderita DBD. Terdapat 42 orang (54,5%) penderita berjenis

kelamin laki-laki dan 35 orang (45,5%) penderita berjenis perempuan. Kelompok

usia 14-20 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yaitu 30 orang (39,0%).

Berdasarkan hubungan antara trombosit dengan manifestasi perdarahan

mengunakan uji nonparametrik Spearman, diperoleh r=0,042 dengan p = 0,714.

hasil ini dinyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara trombosit dengan

manifestasi perdarahan pada pasien DD dan DBD (p = 0,714>α=0,05)33.


43

Penelitian diatas sejalan dengan penelitian Widyanti (2016) jenis rancangan

penelitian yang digunakan adalah studi Cross-sectional. Penelitian ini dilakukan

pada 100 rekam medis pasien dengan diagnosis demam berdarah dengue. Sampel

dipilih dari 646 pasien yang dirawat sejak Juli 2013-Mei 2014. Karakteristik sampel

yang diambil terdiri dari 63 orang (63%) laki-laki dan 37 orang (37%) perempuan.

Hasil trombosit minimal 10,7 x103 sel/mm3 dan nilai trombosit tertinggi 133 x 103

dengan rata-rata sebesar 67,726 x 103 sel/mm3. Pada 50 sampel dengan derajat I

ditemukan nilai trombosit terendah adalah 19,6 x 10 3 sel/mm3 dan tertinggi 115 x

103 sel/mm3. Pada 48 sampel dengan derajat II ditemukan nilai trombosit terendah

adalah 11 x 103 sel/mm3 dan tertinggi 133 x 103 sel/mm3. Sedangkan pada demam

berdarah dengue derajat III ditemukan trombosit terendah adalah 10,7 x 10 3

sel/mm3 dan tertinggi 76 x 103 sel/mm3. Dengan Uji Kolmogorov-Smirnov yang

dilakukan, variabel trombosit memiliki sebaran data normal (p>0,05). Diperoleh

korelasi koefisien (r) senilai -0,117 menunjukkan hubungan antara derajat

keparahan DBD dan trombosit adalah hubungan negatif namun sama halnya dengan

hasil uji dengan hematokrit. Dengan demikian analisis regresi linier untuk menguji

arah kekuatan hubungan tersebut tidak bermakna dilakukan32.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Elindra, dkk (2014) penelitian ini

menggunakan rancangan Cross- sectional. Data dikumpulkan dari catatan rekam

medis pasien DBD di RS Al-Islam Bandung. Sampel 576 rekam medik dengan

diagnosa DBD yang dirawat inap di RS Al-Islam Bandung Periode 1 Januari 2014 -

31 Desember 2014, penelitian ini hanya dapat dilakukan terhadap 129 rekam medik

pasien. Dari 129 orang yang diteliti, 72 orang (55,8%) diantaranya memiliki kadar
44

trombosit kurang dari 100.000/mm3, 46 orang (35,7%) diantaranya memiliki kadar

trombosit antara 100.000 - 150.000/mm3 dan 11 orang (8,5%) diantaranya memiliki

kadar trombosit lebih dari 150.000/mm3. pada penelitian ini kadar trombosit

terbanyak pada pasien DBD yang dirawat inap yaitu kurang dari 100.000/mm 3.

Terlihat bahwa 120 orang yang memiliki penyakit DBD derajat I, 64 orang

diantaranya memiliki kadar trombosit kurang dari 100.00/mm 3, 45 orang

diantaranya memiliki kadar trombosit antara 100.00-150.000/mm3 dan 11 orang

diantaranya memiliki kadar trombosit lebih dari 150.000/mm3. Dari 7 orang yang

memiliki penyakit DBD derajat II, 6 orang diantaranya memiliki kadar trombosit

kurang dari 100.000/mm3 dan 1 orang diantaranya memiliki kadar trombosit antara

100.000-150.000/mm3. Dari 2 orang yang memiliki penyakit DBD derajat III,

semuanya memiliki kadar trombosit kurang 100.000/mm3. Didapatkan tidak ada

hubungan bermakna antara kadar trombosit dengan derajat DBD, hasil uji statistik

ditunjukkan bahwa nilai p= 0,34228.

Berdasarkan penelitan Towidjojo, dkk, Syumarta dkk, dan Ayunani, dkk

hubungan signifikan antara trombosit dan derajat keparahan DBD yang memiliki

hasil yang sama, tetapi cara pengambilan sampel peneliti tersebut berbeda-beda.

Hasilnya tersebut semakin tinggi derajat keparahan DBD pada perhitungan di

penelitian trombositnya semakin rendah jumlah trombosit. Dan pengambilan

sempelnya adalah pengambilan secara acak sederhana yang dimana pengambilan

secara acak tidak melihat yang mana paling banyak dan paling sedikit diambil,

retrospektif dimana pengambilannya mengambil dalam 5 tahun terakhir atau 5

tahun kedepan dan secara cross-sectional dimana pengambilan tersebut yang


45

sebenarnya harus memakai besar sampel tetapi penelitian pada Ayunani tidak ada

besar sampel.

Berbeda dengan penelitian Livina, dkk, Widyanti, dkk, dan Elindra, dkk tidak

ada hubungan signifikan antara trombosit dan derajat keparahan DBD karena

jumlah sampelnya sedikit dan dimana tiga peneliti tersebut memakai pengambilan

sampel cross-sectional. Pengambilan sampel tersebut mempunyai kekurangannya

tidak ada besar sampelnya.

5.2. Hubungan Hematokrit dengan Derajat Keparahan DBD

Penelitian yang dilakukan oleh Towidjojo (2014) dilakukan dengan analisis

data sekunder dari rekam medis pasien DBD tahun 2011-2012 di RSU Anutapura

Palu. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling perhitungan

besar sampel memakai rumus Slovin didapatkan 94 sampel. Total yang didapat 94

sampel didapatkan rerata umur 20 tahun dengan umur terendah 20 tahun dan

tertinggi 40 tahun. Berdasarkan penelitian tidak dijumpai DBD derajat IV; 77,7%

sampel masuk dalam DBD derajat I dan secara umum prevalensi DBD dijumpai

pada kelompok umur 20-22 tahun berjumlah 46 orang (48,9%). Didapatkan hasil

bahwa kadar hematokrit yang paling tinggi pada pasien DBD derajat III sebesar 49

± 4,67 dengan rentang 43,4 -55,8% sedangkan kadar hematokrit terendah pada

pasien derajat I sebesar 41 ± 4,74 dengan rentang 27,5 - 55,8%. Pada pasien DBD

derajat I, II, III didapatkan rerata (mean) nilai hematokrit masing-masing 41%,

45%, dan 49%. dari hasil analisis statistik hubungan antara kadar kadar hematokrit
46

dengan derajat DBD yang diperoleh, didapatkan adanya korelasi antara kadar

hematokrit dan derajat DBD yang bermakna secara statistik (p<0,05). Nilai korelasi

Spearman (r) didapatkan sebesar 0,0345, dengan korelasi derajat lemah (0,200-

0,399). Hal ini menunjukkan bahwa semakin berat derajat DBD semakin tinggi

kadar trombosit walaupun korelasi ini dalam derajat lemah31.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Ayunani, dkk (2017) penelitian ini

bersifat analitik dengan desain Cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah

semua pasien yang didiagnosa oleh dokter menderita demam berdarah di

Puskesmas Rawat Inap Way Kandis Bandar Lampung dengan menggunakan rekam

medis. Hasil penelitian analisis univariat, sampel yang memenuhi kriteria sebanyak

85 pasien bahwa penderita demam berdarah pada derajat I (70,59% 60 pasien) lebih

banyak dari pada derajat II (29,41% 25 pasien) dan tidak ditemukan penderita

demam berdarah derajat III dan IV. Pada pasien demam berdarah derajat I masih

didapatkan kadar yang normal untuk hematokrit (50%). Kadar hematokrit rendah

didapatkan (10%). Hanya hematokrit yang didapatkan kadar tinggi (40%). Pada

pasien demam berdarah derajat II mengalami peningkatan kadar hematokrit

sebanyak 72%, 20% pasien mempunyai kadar hematokrit yang normal, dan hanya

8% yang rendah. Hasil penelitian analisis bivariat kadar hematokrit pada pasien

demam berdarah derajat I secara berturut-turut mempunyai nilai mean (44,78),

median (43,0) dan range (35-55), dan pada derajat II didapatkan nilai mean (47,64),

median (50,0) dan range (34-53). Didapatkan hubungan yang bermakna antara

derajat keparahan pasien demam berdarah dengan kadar hematokrit karena nilai p =

0,035 (nilai p < 0,05), dengan arah positif tetapi hubungannya lemah karena nilai r
47

= 0,229. Arah positif menunjukkan semakin besar derajat demam berdarah, maka

semakin besar/tinggi kadar hematokritnya35.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Elindra, dkk (2014) penelitian ini

menggunakan rancangan Cross- sectional. Data dikumpulkan dari catatan rekam

medis pasien DBD di RS Al-Islam Bandung. Sampel 576 rekam medik dengan

diagnosa DBD yang dirawat inap di RS Al-Islam Bandung Periode 1 Januari 2014 -

31 Desember 2014, penelitian ini hanya dapat dilakukan terhadap 129 rekam

medik. Dari 129 orang yang diteliti, 5 orang (3,9%) diantaranya memliki kadar

hematokrit yang tinggi, 108 orang (83,7%) diantaranya memiliki kadar hematokrit

yang normal dan 16 orang (12,4%) diantaranya memiliki kadar hematokrit yang

rendah. Pada penelitian ini kadar hematokrit terbanyak pada DBD yang rawat inap

yaitu dengan kadar normal. Bahwa terlihat dari 120 orang yang memiliki penyakit

DBD derajat I, 2 orang diantaranya memiliki kadar hematokrit tinggi, 103 orang

diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan kategori normal dan 15 orang

diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan kategori rendah. Dari 7 orang yang

memiliki penyakit DBD derajat II, 1 orang diantaranya memiliki kadar hematokrit

dengan kategori tinggi, 5 orang diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan

kategori normal dan 1 orang diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan

kategori rendah. Dari 2 orang yang memiliki penyakit DBD derajat III, semuanya

memiliki kadar hematokrit dengan kategori tinggi. Hasil analisis statistik pada

kadar hematokrit dengan derajat DBD, didapatkan bahwa nilai p (0,00) < 0,05 dan

keeratan hubungan yang kuat dengan nilai C = 0,541. Maka dengan hasil tersebut
48

dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat kadar dengan derajat penyakit

DBD28.

Penelitian di atas berbeda dengan penelitian Livina, dkk (2013) penelitian ini

bersifat retrospektif observasional analitik dengan pendekatan Cross-sectional.

Jumlah sampelnya 77 orang terdiri dari 59 orang (76,6%) penderita DD dan 18

orang (23,4%) penderita DBD. Terdapat 42 orang (54,5%) penderita berjenis

kelamin laki-laki dan 35 orang (45,5%) penderita berjenis perempuan. Kelompok

usia 14-20 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yaitu 30 orang (39,0%).

Berdasarkan hubungan antara hematokrit dengan manifestasi perdarahan

menggunakan analisis koefisien korelasi Spearman, diperoleh r = -0,164 dengan p

= 0,153. hasil ini menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara hematokrit

dengan manifestasi perdarahan pada pasien DD dan DBD (p = 0,153 >α = 0,05).

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Syumarta, dkk (2014) jenis

penelitian adalah survei analitik dengan desain penelitian retrospektif, yang

bertujuan untuk memberikan gambaran hasil pemeriksaan jumlah hematokrit

dengan derajat klinik DBD berdasarkan kriteria WHO. Sampel penelitian diambil

dari data rekam medis psien demam berdarah dengue di RSUP M. Djamil Padang.

Jumlah sampel yang diperoleh adalah sebanyak 84 orang, dimana 50 orang berada

pada derajat I, 28 orang berada derajat II dan 6 orang berada derajat III dan tidak

ditemukan derajat IV. Peneliti meneliti yang banyak menderita DBD adalah usia

dibawah 20 tahun dengan rerata usia penderita DBD adalah 25.49±10.09 ribu/mm 3.

Rerata jumlah hematokrit pada derajat I adalah 44.22 ± 5.59%. Rerata jumlah

hematokrit pada derajat II adalah 46.90 ± 5.50%. Rerata jumlah hematokrit pada
49

derajat III adalah 38.47 ± 7.48%. Hasil analisis dengan uji korelasi Kendall’s tau

didapatkan nilai r = 0.059 yang berarti kekuatan hubungan sangat lemah dengan

arah hubungan positif dan nilai p > 0.05 yang berarti tidak terdapat hubungan

bermakna antara nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD33.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Widyanti (2016) jenis rancangan

penelitian yang digunakan adalah studi Cross-sectional. Penelitian ini dilakukan

pada 100 rekam medis pasien dengan diagnosis demam berdarah dengue. Sampel

dipilih dari 646 pasien yang dirawat sejak juli 2013-Mei 2014. karakteristik sampel

yang diambil terdiri dari 63 orang (63%) laki-laki dan 37 orang (37%) perempuan.

Nilai hematokrit didasarkan atas karakteristik jenis kelamin dan diperoleh hasil 50

dari 63 laki-laki (79,4%) dengan hematokrit normal, 8 dari 63 laki- laki (12,7%)

dengan hematokrit tinggi, 5 dari 63 laki-laki (7,9%) dengan hematokrit rendah, 21

dari 37 perempuan (56,8%) hematokrit normal, 14 dari 37 perempuan (37,8%)

dengan hematokrit tinggi, dan 2 dari 37 perempuan (5,4%) dengan hematokrit

rendah. Berdasarkan derajat keparahan DBD dengan hematokrit maka diperoleh

distribusi kasus DBD yakni pasien dengan derajat I yang memiliki hematokrit

normal sebanyak 40 dari 50 orang (80%), hematokrit rendah 3 dari orang (6%), dan

hematokrit tinggi sebanyak 7 dari 50 orang (14%). Dari pasien tergolong derajat II

ditemukan 30 dari 48 orang (62,5%) memiliki hematokrit normal, 4 dari 48 orang

(8,3%) dengan hematokrit rendah, dan 14 dari 48 orang (29,2%) dengan hematokrit

tinggi. Pasien derajat III ditemukan 1 dari 2 orang dengan HCT normal (50%) dan 1

orang sisanya dengan HCT tinggi (50%). Dengan uji Kolmogorov- smirnov yang

dilakukan, variabel trombosit dan hematokrit memiliki sebaran data normal (p>
50

0,05). Sehingga selanjutnya analisis korelasi dua variabel ini dilakukan dengan

memakai analisis korelasi Pearson. Dari analisis korelasi Pearson didapatkan

korelasi koefisien (r) antara derajat keparahan demam berdarah dengue dengan

hematokrit adalah sebesar 0,173 dengan p>0,05. Nilai ini menunjukkan hubungan

antara derajat keparahan DBD dan hematokrit adalah hubungan positif namun tidak

signifikan32.

Berdasarkan penelitan Towidjojo, dkk, Ayunani dkk, dan Elindra, dkk

hubungan signifikan antara hematokrit dan derajat keparahan DBD yang memiliki

hasil yang sama, tetapi cara pengambilan sampel peneliti tersebut berbeda-beda.

Hasilnya walaupun lemah hubungan tersebut tetapi adanya peningkatan nilai

hematokrit menggambarkan hemokosentrasi yang selalu dijumpai pada pasien

DBD, yang merupakan indikator yang peka akan terjadinya kebocoran plasma,

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit berkala. Dan pengambilan

sempelnya adalah pengambilan retrospektif dimana pengambilannya mengambil

dalam 5 tahun terakhir atau 5 tahun kedepan dan secara cross-sectional dimana

pengambilan tersebut yang sebenarnya harus memakai besar sampel.

Berbeda dengan penelitian Livina dkk, Syumarta, dkk, dan Widyanti dkk tidak

signifikan hubungan antara hematokrit dengan keparahan derajat DBD disebabkan

nilai korelasi ketiga peneliti tersebut lemah dengan penghitungan statistiknya

mengarah lebih besar.


51

5.3. Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan dengan metode Literature Rieview memiliki

keterbatasan yang tidak adanya ketentuan khusus dalam pemilihan jurnal

serta jurnal dipilih secara subyektif.

2. Peneliti hanya mampu menyajikan berdasarkan jurnal yang didapat, peneliti

tidak dapat menyediakan data primer diakibatkan adanya pandemi Covid-

19.
52

BAB VI

KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dari jurnal-jurnal yang setelah di telaah terlebih dahulu

bahwa tidak dapat disimpulkan hubungan antara trombosit dan hematokrit

dengan derajat keparahan DBD karena berdasarkan jurnal yang mengatakan

ada hubungan dengan tidak ada hubungan sama besar.

6.2. Saran

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya, penelitian topik yang sama dengan

menggunakan jumlah sampel lebih besar dan metode penelitian lain.


53

Daftar Pustaka

1. Widoyono, MPH. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,

dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2011;h-71, 72-73.

2. Agustama. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. Profil Dinas

Kesehatan Provinsi Sumatra Utara 2017;1.

3. Suhendro. Demam berdarah Dengue. In: Sudoyo, Ayu W, et. Al. Buku Ajar

Ilmu Penyakit dalam edisi-4 JAkarta: Balai Penerbit FKUI P.187

4. Towidjojo, Vera Diana. Nensy Tandungan. Hubungan Kadar Trombosit dan

Hematokrit dengan Derajat Keparahan Demam Berdarah Dengue Pada

Pasien Dewasa. Medika Tadulako Jurnal ilmiah Kedokteran, Vol.1 no.2

5. Widyanti, Ni Nyoman Ayu. Hubungan Jumlah Hematokrit dan Trombosit

dengan Tingkat Keparahan Pasien Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit

Sanglah tahun 2013-2014. E-Jurnal Medika Vol.5 no 8 Agustus 2016

6. World Health Organizatio. Dengue for Diagnosis, Treatment Prevention, and

Control. Geneva: World Health Organization; 2009. p 1-146.

7. Hadinegoro, Sri Rejeki. H, Hindra Irawan Satari. Demam Berdarah Dengue

Naskah Lengkap. Pelatih Bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalasana Kasus DBD. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2004. Hal : 15.

8. Joegijantoro, Rudy. Penyakit Infeksi. Malang: Intimedia.2019. hal: 120-121.

9. Soedarto. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Sagung Seto. 2012 hal 61-86.

10. Soedarto. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Sagung Seto. 2015 h 89-90.
54

11. Depkes RI (2015). Demam Berdarah biasannya mulai meningkat di Januari.

http://www.depkes.go.id/articel/view/15011700003/demamberdarahbiasanya

-mulai-meningkat -di-januari.html – Diakses Oktober 2016.

12. Soedarmo Sumarmo SP. Demam Berdarah (Dengue) Anak. Jakarta:

Universitas Indonesia.2009. h:26.

13. Lim H, Lindarto D, Zein U. Prinsip Farmakologi Endokrin Infeksi. Edisi ke

1. Jakarta: PT. SOFMEDIA. 2014. h: 179-194.

14. Suhendro. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A W,

Simadribata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku Ajar. 2014

15. Irianto, Koes. Patofosiologi Medis. Bandung: Alfabeta.2013. p: 168.

16. Chris, frans, Sonia, Eka. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jilid II. Jakarta:

Media Aesculapius. 2014, h: 717

17. WHO (2015). National Guidelines for Clinical Management of Dengue

Fever. India, p. 11,115-16,18-19

18. WHO (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention and Control od

Dengue Hemorrhagic Fever. India, p.12.

19. Kementrian Kesehatan RI (2014). Paduan Praktik Klinis Klinis Bagi Dokter

di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

http://www.depkes.go.id/download.php%3Ffile%Ddownload/Paduan

Praktik/Klinis/Bagi/Dokter/di/Fasilitas/Pelayanan/Kesehatan/Primer.pdf-

Diakses November 2016.

20. Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 2. Jakarta: EGC.

2007, h: 122-128
55

21. Hoffbrand A.V., Moss P.A.H. 2015. Kapita Selekta Hematologi Edisi VI.

Jakarta: EGC

22. Sutirta-Yasa I.W.P., Putra G.A.E.T., Rahmawati A. 2012. Trombositopenia

Pada Demam Berdarah Dengue. Medicina. 43(2): 114–121.

23. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, S.

S. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Interna Publishing.

24. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2010, Penemuan dan

Tatalaksana Penderita Demam Berdarah Dengu, Jakarta: Dirjen P L.

25. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, S.

S. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Interna Publishing.

26. Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2013). Informasi Umum DBD tahun 2013

Http://www.pppl.depkes.go.id/-asset/-

download/INFORMASI_UMUM_DBD_2013.pdf Diakses November 2017.

27. Hendrawanto. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. 3 rd ed. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 2009.

28. Elindra. Felina, Sadiah Achmad, Maya Tejasari. Hubungan Kadar Trombosit

dan Hematokrit dengan Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue pada

Pasien Dewasa. Prosiding Pendidikan Dokter

29. Widoyono, MPH. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,

dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007

30. World Health Organization. The World Medicine Situation 2011 3ed.

Rational Use of Medicine. Geneva, 2011.


56

31. Towidjojo. Vera Diana, Nensy Tandungan. 2014. Hubungan Kadar

Trombosit dan Hematokrit dengan Derajat Keparahan Demam Berdarah

Dengue Pada Pasien Dewasa. Jurnal Ilmiah Kedokteran; Medika Tadulako

vol 1. No 2.

32. Widyanti. Ni Nyoman Ayu.2016. Hubungan Jumlah Hematokrit dan

Trombosit dengan Tingkat Keparahan Pasien Demam Berdarah Dengue di

Rumah Sakit Sanglah Tahun 2013-2014. E- Jurnal Medika; FK Unand Vol

5. No 8.

33. Livina. Andrea, Linda W. A. Rotty, A. Lucia Panda. 2013. Hubungan

Trombositopenia dan Hematokrit dengan Manifestasi Perdarahan pada

Penderita Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. SMF Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unsrat.

34. Syurmata. Yobi, Akmal M, Hanif, Erlina Rustam. 2014. Hubungan Jumlah

Trombosit, Hematokrit dan Hemoglobin dengan Derajat Klinik Demam

Berdarah Dengue pada Pasien Dewasa di RSUP M.Djamil Padang. Jurnal

FK Unand.

35. Ayunani. Anisa, MAria Tuntun. 2017. Hubungan Tingkat Keparahan

Demam Berdarah dengan Kadar Hemoglobin, Hematokrit, dan Trombosit di

Puskesmas Rawat Inap Way Kandis Bandar Lampung. Jurnal Analis

Kesehatan Politeknik Kesehatan Tanjungkarang. Vol. 6 .No. 2.

Anda mungkin juga menyukai