Anda di halaman 1dari 27

KAIDAH MENGENAI METODE TAFSIR

Makalah:

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah

Qawaid Tafsir

Oleh:

Rohani E93216148

Nurul Badriyah E93216144

Mas Ahmad Muhammad E03216026

Pengampu:

Musyarrofah, MHI

NIP:

197106141998032002

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan,


tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan
seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufic, serta hidayah-Nya yang tiada
terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah singkat dengan
judul “Kaidah Mengenai Metode Tafsir”.

Dalam penyusunannya penulis memperoleh banyak bantuan dari


berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih untuk semua
pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini yang telah membantu kami,
selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah
ini. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi semua pembaca.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari


kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi.

Surabaya, 25 Oktober 2018

Penyusun

Kelompok 5
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang.............................................................................................1

b. Rumusan Masalah........................................................................................2

c. Tujuan Penulisan..........................................................................................2

BAB II KAIDAH MENGENAI METODE TAFSIR

a. Klasifikasi Metode Tafsir al-Qur‟an............................................................3

1. Tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an.........................................................3

2. Tafsir al-Qur‟an dengan Sunnah............................................................5


3. Tafsir al-Qur‟an dengan Pendapat Sahabat............................................6
4. Tafsir al-Qur‟an dengan Pendapat Tabiin............................................11
b. Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Metode Penafsiran al-Qur‟an......15
c. Penerapan Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Metode Penafsiran al-
Qur‟an........................................................................................................17

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan............................................................................................... .22

b. Saran ..........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Thariqah al-Tafsir adalah pendekatan-pendekatan (al-manahij) yang


dilakukan dan metode-metode (al-thuruq) yang ditempuh untuk sampai kepada
makna al-Qur‟an. Pendekatan dan metode itu mencakup menafsirkan al-Qur‟an
dengan al-Qur‟an, dengan Sunnah, dengan pendapat sahabat, atau dengan
pendapat tabiin, menafsirkan dengan bahasa Arab atau dengan rasio atau dengan
cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam metode-metode tersebut.1

Tafsir itu berdasarkan penukilan yang pasti atau berdasarkan pemikiran


yang benar. Batasan tersebut dimaksudkan sebagai batasan umum, salah bila
diterapkan kepada seluruh aspeknya. Syekh Islam Ibn Taimiyah berkata,
“Pengetahuan itu adakalanya berupa penukilan (naql) dari orang yang benar dan
suci atau berdasar dalil yang jelas. Selain dari itu berarti ngawur dan ditolak atau
terhenti (mauquf) tak dapat disikapi atau diikuti”. Kaidah ini merupakan prinsip
dasar yang sangat penting dalam penafsiran al-Qur‟an.2

Tafsir yang dapat diterima (al-mu’tabar) secara prinsip. “Pelaporan yang


pasti” meliputi pelaporan (penukilan) dari lima sumber: Al-Qur‟an, Sunnah,
pendapat sahabat, pendapat tabi‟in dan bahasa. Merujuk pada sumber-sumber
tersebut harus berdasarkan urutannya. Perlu diperhatikan bahwa sesuatu yang
dijadikan tafsir itu harus sampai kepada kita melalui cara (penukilan) itu. Hal itu
tidak berarti bahwa ijtihad tidak berperan didalamnya. Ijtihad justru masuk kepada
seluruh sumber itu.3 Dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai kaidah-
kaidah metode tafsir, diantaranya: menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an,
menafsirkan al-Qur‟an dengan Sunnah, menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat
sahabat, menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat tabiin, itu yang akan kami bahas
1
Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir, (Jakarta: Penerbit QAF, 2017), 91.
2
Ibid, 93.
3
Ibid
dalam makalah sederhana ini. Untuk penjelasan mengenai menafsirkan al-Qur‟an
dengan bahasa akan dijelaskan oleh kelompok setelah kami.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Klasifikasi Metode Tafsir Qur‟an?
2. Apa saja Kaidah yang Berkaitan dengan Metoda Tafsir?
3. Bagaimana Penerapan Kaidah Tafsir dalam Menafsirkan al-Qur‟an?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Klasifikasi Metode Tafsir Qur‟an
2. Untuk Mengetahui Kaidah yang Berkaitan dengan Metoda Tafsir
3. Untuk Mengetahui Penerapan Kaidah Tafsir dalam Menafsirkan al-Qur‟an
BAB II

KAIDAH MENGENAI METODE TAFSIR

A. Klasifikasi Metode Tafsir al-Qur’an

Klasifikasi metode tafsir al-Qur‟an merujuk kepada kitab kaidah tafsir


karya Prof Quraish, bahwa selama ini para ulama membagi penafsiran al-Qur‟an
pada tiga cara atau metode yang populer: Tafsir bi al Ma’tsur, Tafsir bi ar Ra’yi,
Tafsir Isyari.4

Tafsir bi al Ma’tsur, adalah metode penafsiran dengan cara mengambil


pada al-Qur‟an, hadist Nabi, kutipan Sahabat, serta Tabi‟in.5 merujuk kepada
kitab terjemah Mabahis fi Ulumil Qur’an karya Manna‟ Khalil al Qattan bahwa
sumber dari penafsiran bi al Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan
Qur‟an dengan sunnah, dengan perkataan sahabat dan dengan perkataan tokoh-
tokoh besar tabi‟in,6 yang masing masing sumbernya akan diperinci dibawah ini:

1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an

Inilah pendapat terkuat mengenai al-Qur‟an dari segi etimologi:7

Kata ‫ قرأن‬itu berhamzah (mahmuzah) dan derivatif (musytaqqah) dari ‫قرأ‬


maknanya “menghimpun” (al-jam) dan “menyatukan” (al-dhamm). Sedangkan
secara terminologi, al-Qur‟an adalah firman Allah swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. melalui Jibril as yang merupakan mukjizat, sependek
apapun surahnya. Firman Allah ada yang jelas bagi manusia dan ada yang tidak
jelas. Untuk itu, al-Qur‟an memerlukan tafsir.

4
M. Quraish Shihab, Kaida Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an, ( Tangerang: Lentera Hati, 2013), 349.
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang,
1980), 227.
6
Manna‟ Khalil al Qattan, Studi Ilmu Ilmu Quran, Terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2013), 483.
7
Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir ..., 95.
Tafsir secara etimologi adalah “menyingkapkan” (al-kasyf) dan
“menerangkan” (al-bayan), dengan demikian menafsir mengandung dua kegiatan.
(1) menyingkapkan makna teks yang tersembunyi sehingga jelas bagi yang
menyingkapkan. (2) menerangkan makna yang sudah jelas maksudnya bagi
penyingkap itu kepada khalayak. Sedangkan secara terminologi tafsir adalah:8

.‫علم يبحث فيو عن أحوال القرآن العزيز من حيث داللتو على مراد اهلل تعاىل بقدر الطاقة البشرية‬

“Ilmu yang dibahas didalamnya persoalan-persoalan al-Qur‟an yang Mulia dari


segi penunjukannya terhadap maksud Allah swt sesuai kemampuan manusia”.

“Ilmu mengenai persoalan-persoalan al-Qur‟an”, berarti bahwa tafsir hanya


mempelajari segala sesuatu tentang al-Qur‟an, sehingga tidak termasuk ke
dalamnya hadis, fiqih dan lain sebagainya.9

Tafsir terbaik adalah tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, berikutnya tafir al-
Qur‟an dengan Sunnah dan seterusnya. Namun keterbaikannya itu perlu dikaitkan
dengan siapa yang melakukannya. Tafsir terbaik al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
adalah tafsir yang dilakukan Nabi saw, kemudian ijmak sahabat dan selanjutnya
sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya. Selain ketiga bentuk itu,
kesahihannya tidak terjamin karena itu adalah ijtihad yang mufasirnya sendiri
yang bisa benar dan bisa salah. Bisa saja prinsip yang dilaluinya benar tetapi
penerapannya salah, dengan demikian jelas bahwa ijtihad memiliki peluang ke
dalam kategori tafsir seperti itu.10

Bentuk-bentuk tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an:11

1. Menjelaskan yang global/ringkas (mujmal)


2. Membatasi yang mutlak (muthlaq)
3. Mengkhususkan yang umum (al-‘am)
4. Menjelaskan dengan yang tersurat (al-manthuq) atau dengan yang
tersirat (al-mafhum)

8
Ibid, 95.
9
Ibid, 95-96.
10
Ibid, 96.
11
Ibid, 96-97.
5. Menafsirkan kata dengan kata
6. Menafsirkan makna dengan makna
7. Menafsirkan gaya bahasa Qur‟ani dalam satu ayat dengan ayat lain
8. Menyebut sesuatu pada lebih dari satu tempat, pada satu tempat
disebutkan secara singkat dan di tempat lain secara lebih rinci
(menerangkan yang singkat dengan yang terperrinci)
9. Memperhatikan qira’at-qira’at sahih dan membawa yang satu kepada
lainnya untuk menjelaskan makna (menyatukan qiraat-qiraat shahih)
10. Menyatukan teks-teks al-Qur‟an yang terlihat sepintas bertentangan

2. Menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah

Sunnah dari segi bahasa adalah cara atau jalan yang ditempuh baik atau
tidak baik, sedangkan dari segi istilah sunnah ialah ucapan, perbuatan dan
persetujuan Nabi saw”. Sunnah diperlukan dalam menafsirkan al-Qur‟an karena
fungsi Nabi saw sebagai penjelas dan penerang al-Qur‟an sebagaimana dinyatakan
Allah dalam QS. al-Nahl: 44:

‫وأنزلنا اليك الذكر لتبني للناس ما نزل اليهم‬

“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur‟an agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
Tafsir al-Qur‟an dengan Sunnah meliputi dua persoalan:

1. Metode tafsir Nabi saw itu meliputi:


a. Tafsir ayat dengan ayat
b. Menegaskan tafsir ayat atau kata:
1) Menyebutkan tafsir kemudian menyebutkan ayat yang ditafsirkan
2) Menyebutkan ayat kemudian menyebutkan tafsirnya
c. Menjelaskan apa yang tidak jelas maknanya bagi para sahabat
d. Ucapan Nabi saw yang dipahami merupakan tafsir ayat, sedangkan
ayat itu sendiri tidak berkaitan dengan hadist tersebut
e. Nabi saw bertanya kepada sahabat tentang makna ayat kemudian
beliau menerangkannya
f. Nabi saw menyelesaikan perbedaan pendapat antara sahabat
mengenai makna ayat
g. Membacakan ayat untuk menegaskan pesannya
h. Mengambil ayat al-Qur‟an kemudian melaksanakan perintahnya.
2. Fungsi sunnah dalam menafsirkan al-Qur‟an meliputi:
1) Mengkhususkan yang umum
2) Memberi batasan yang muthlaq
3) Mendefinisikan yang tidak jelas
4) Menjelaskan yang global
5) Menjelaskan kosakata
6) Menguraikan kisah
7) Menjelaskan yang dibatalkan

3. Menafsirkan al-Qu’ran dengan pendapat Sahabat

Selain ditafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dan al-Qur‟an dengan hadis,


al-Qur‟an juga ditafsirkan dengan pendapat sahabat. Tafsir dari sahabat ini tidak
boleh diabaikan karena sahabat ini adalah penutur bahasa, yang menyaksikan
turunnya ayat dan situasi kondisinya, mengenal situasi masyarakat yang
menerimanya, di samping motif para sahabat yang suci, pemahaman mereka yang
baik, dan pendalaman ilmu mereka sangat baik.12

1. Sumber-sumber tafsir sahabat.


a. Al-Qur‟an al-Karim

Contohnya yakni pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari


sumber Sa‟id bahwasanya seseorang menyatakan kepada Ibn „Abbas bahwa dia
melihat adanya ayat-ayat yang bertentangan maksudnya dalam al-Qur‟an, antara
lain yakni al-Mu‟minun (23): 101 dengan al-Shaffat (37): 27, al-Nisa (4): 42
dengan al-An‟am (6):23, al-Nazi‟at (79): 27-30 dengan Fushshilat (41):9-11, yang
kemudian Ibn „Abbas menjawabnya dengan yang tercantum dalam al-Mu‟minun
(23): 101 bahwa pada tiupan sangkakala pertama, seseorang tidak bisa saling
menolong, sedangkan al-Shaffat (37): 27 adalah menceritakan bahwa peniupan

12
Ibid, 145.
sangkakala kedua seseorang itu saling meminta pertolongan kepada seseorang
yang lain.13

b. Sunnah Rasulullah
1) Penafsiran dengan sunnah qauliyah (ucapan) yang dibagi menjadi dua:
ditegaskan penisbahannya kepada Nabi Saw. Contohnya hadis yang
diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, „Aku menyediakan bagi
hamba-hamba-Ku yang sesuatu yang baik yang belum pernah terlihat
mata, terdengar telinga, dan terbesit di dalam hati seseorang.‟ Abu
Hurairah berkata, „bacalah bila kalian mau, al-Sajdah (32): 17, (jadi,
yang mengambil hadis itu sebagai tafsir ayat itu adalah Abu Hurairah,
seorang sahabat). tidak ditegaskan penisbatannya kepada Rasulullah,
tetapi terangkat kepada beliau. Contohnya hadis panjang yang
diriwayatkan Ibn „Abbas tentang kedatangan Nabi Ibrahim dan Ismail
beserta ibunya ke Mekkah dan kisah pembangunan Ka‟bah sebagai
tafsir Surah Ibrahim (14): 37 dan al-Baqarah (2): 127.14
2) Penafsiran dengan sunnah fi‟liyah (perbuatan) yang dibagi menjadi
1)
dua: ditegaskan penisbahannya kepada Nabi Saw. Seperti hadis
riwayat Ibn „Umar bahwa Nabi shalat sunnah di atas untanya sekali
waktu ketika beliau dari Mekkah ke Madinah, kemudian Ibn „Umar
membaca surah al-Baqarah (2): 115. 2)tidak ditegaskan penisbahannya
kepada Nabi. Contohnya hadis riwayat al-Bukhari dari Nafi‟ bahwa
Ibn „Umar ketika ditanya tentang shalat khauf, maka beliau menjawab
bahaw imam memulai sholat satu rokaat dengan sekelompok jamaah,
kemudian berganti dengan kelompok kedua, berikut adalah tafsir surah
al-Nisa (4): 101-103.15

13
Ibid
14
Ibid , 145-146.
15
Ibid, 146.
c. Bahasa Arab

Contohnya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari „Ikrimah mengenai tafsir


surah al-Naba (78): 34 bahwa maksud dari “berturut-turut”, berdasarkan apa yang
didengar dari ayahnya adalah “kami minum beberapa gelas berturut-turut.”16

d. Ahl al-Kitab

Ada dua bentuk penafsiran, ditegaskan bahwa sumbernya dari ahl al-kitab.
contohnya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari „Abdullah ibn „Amar ibn „Ash
mengenai tafsir surah al-Ahzab (33): 45. Dalam taurat disebutkan, “wahai Nabi,
kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan,
pembela orang-orang biasa, engkau hamba-Ku dan rasul-Ku. Aku namai engkau
al-Mutawakkil “yang bertawakkal”, tidak kasar dan keras hati, tidak bingung di
pasar-pasar, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi memaafkan dan
merelakan dan Allah tidak mengambilnya sampai ia berhasil mendirikan agama
yang sebelumnya tidak lurus menjadi lurus sehingga mereka mengikrarkan
kalimat „La ilaha illa Allah‟. Lalu ia membuka mata yang buta, telinga yang tuli,
dan hati yang tertutup.” tidak disebutkan sumbernya dari ahl al-kitab, contohnya
pada surah al-Maidah (5): 26. Ibn Jarir (10:193) meriwayatkan dari ibn „Abbas
bahwa ketika Allah menyapa Nabi Musa dengan ucapan “fa`innaha muharramatan
„alaihim arba‟ina sanatan”, ibn „Abbas berkata, “mereka masuk Tih, siapa yang
masuk Tih itu telah melewati dua puluh lima tahun mati di Tih tersebut, mereka
tertahan di Tih tersebut selama empat puluh tahun, lalu Yusya‟ dengan orang-
orang yang tersisa menghadapi orang-orang zalim kota itu, kemudian Yusya‟
menguasainya.”17

e. Pemahaman dan ijtihad


Contohnya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari Ubaid ibn Amir bahwa
Umar bin Khattab bertanya kepada sahabat-sahabatnya mengenai maksud surah
al-Baqarah (2): 266, mereka menjawab “Allah yanglebih tahu” Umar marah dan
berkata, “katakan! Tahu atau tidak tahu!” ibn „Abbas menjawab; “dalam hati saya
ada sesuatu mengenai hal itu.” “katakan! Jangan kau rendahkan dirimu!”

16
Ibid, 147.
17
Ibid
“sayamencontohkannya dengan amal.” “amal apa?” “ya, dengan amal” umar
menjawab “amal orang kaya yang taat kepada Allah lalu dikirimkan kepadanya
setan, lalu orang itu melakukan dosa yang menenggelamkan amalnya itu.”18
f. Mengambil tafsir sahabat lain

Contohnya hadis riwayat muslim dari Ya‟la ibn Umayyah bertanya kepada
Umar ra tentang maksud surah al-Nisa (4): 101, padahal setelah itu negeri itu
sudah aman (apakah boleh juga mengqasar). Umar menjawab, “saya juga tidak
paham sepertimu, lalu saya bertanya kepada Rasulullah. Beliau menjawab “itu
adalah sedekah yang Alla sedekahkan, karena itu terimalah sedekah-Nya.”19

g. Menafsirkan ayat berdasarkan situasi kondisi ketika ayat itu turun

Contohnya hadis riwayat muslim dari Aisyah mengenai tafsir surah al-
Ahzab (33): 10, aisyah menyatakan bahwa itu adalah peristiwa perang Khandaq.20

2. Fungsi Tafsir Sahabat:


1. Menjelaskan dikhususkannya yanG umum

Contohnya hadis riwayat al-Syaikhan dari Alqamah ibn Waqash tettang


maksud surah Ali Imran (3): 188 bahwaorang yang merasa sengang dengan
pemberiannya akan masuk neraka, Khalifah Marwan bn Hakam terpaksa
mengutus sekretaris pribadinya kepada Ibn Abbas untuk menanyakan masalah itu.
Ibn Abbas menjelaskan bahwa ayat itu berkaitan dengan ayat sebelumnya.
Maksudnya: sebagian ahlul kitab ada yang gembira memberitahukan kepada Nabi
sesuatu yang tidak benar ketika beliau menanyakannya. Sebagian ahli kitab yang
membohongi nabi itulah, yang gembira telah membenarkan sesuatu padahal
sesuatu yang dsampaikan itu tidak benar.21

2. Menjelaskan dibatasinya yang mutlak

Contohnya hadis riwayat ibn jarir dari ibn Abbas mengenai denda
pelanggaran sumpah berdasarkan surah al-Maidah (5): 89, yaitu salah satu

18
Ibid, 149.
19
Ibid
20
Ibid
21
Ibid, 150.
berdasar urutan: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian, atau
memerdekakan budak. Bila tidak dapat dilakukan, maka dendanya adalah puasa
tiga hari. Berpuasa tiga hari adalah mutlaq, penambahan “berturut-turut” adalah
pembatasan Ibn Abbas

3. Menjelaskan yang samar

Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Abbas


bertanya kepada Umar ibn Khattab tentang dua perempuan yang demo kepada
Nabi. Sebelum selesai bertanya umar sudah menjawab bahwa kedua perempuan
itu adalah Aisyah dan Khafsah.

4. Menjelaskan yang global

Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ubay ibn Kaab
tentang azab yang dimaksud dalam surah al-Sajdah (32): 21 itu adalah musibah
dunia, romawi, penderitaan, dan asap

5. Menjelaskan yang dibatalkan (Naskh)

Contohnya hadis riwayat al-Syaikhan dari Salamah ibn al-Akwa bahwa


setelah surah al-Baqarah (2): 184 turun, ada orang yang berpuasa dan ada yang
tidak berpuasa membayar fidyah. Kemudian ayat setelahnya turun untuk
membatalkannya.

6. Menjelaskan sebab turun ayat

3. Kedudukan Penafsiran Sahabat

Kedudukan tafsir shahabat dalam pandangan ulama adalah sebagai berikut:22

Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak mengatakan bahwa tafsir


oleh shahabat yang menyaksikan turunnya wahyu hukumnya marfu‟. Karena
mereka meriwayatkannya dari nabi. Asy-Syaikhani menguatkan pendapat Al-
Hakim tersebut bahwa tafsir shahabat yang menyaksikan turunnya wahyu
haditnya musnad. Menurut Ibnu Sholah, Nawawi, dan yang lainnya, tafsir

22
Ibid , 151-155.
shahabat itu Ithlaq. Karena jika dikembalikan ke asbabun nuzulnya tidak ada
celah untuk ra‟yi.

Tafsir shahabat yang tidak mengambil keterangan dari Nabi hukumnya


mauquf. Ulama berbeda pendapat tentang hadits mauquf ini. Sebagian
mengatakan hadits mauquf tidak boleh diambil, sebagian lain mengatakan boleh
dengan alasan bahwa shahabat mengambil hadits tersebut karena mendengar dari
nabi. Terlebih jika yang membawakan hadits tersebut empat shahabat yang ahli
tafsir. Tafsir yang ini menjadi marfu‟ hukman. Termasuk tafsir ma‟tsur. Termasuk
tafsir mu‟tamad (dapat dijadikan pegangan)

Para ulama sepakat bahwa tafsir shahabat dapat diterima. Karena mereka
pernah berkumpul dan bertemu dengan Rasulullah, mendapatkan keterangan dari
sumber pertama, menyaksikan turunnya wahyu, dan mengetahui asbabun nuzul,
selain penguasaan mereka terhadap bahasa dan budaya Arab.

4. Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in

Tafsir dengan pendapat tabiin perlu diperhatikan karena beberapa sebab,


1) 2)
antara lain: mereka mengambil kebanyakan tafsir dari sahabat, mereka
termasuk generaasi awal yang masih dipandang ideal, 3)pengetahuan bahasa arab
mereka lebih baik daripada generasi setelahnya.23

a. Sumber-Sumber Tafsir Tabiin:24


1. Al-Qur‟an

Ibn Zaid menafsirkan surah al-Thalaq (65): 10 bahwa al-Qur‟an adalah ruh
Allah. Hal itu sesuai maknanya dengan surah al-Syura (42): 52

2. Sunnah Nabi saw.

Contohnya adalah hadis riwayat Tirmidzi dari Qatadah mengenai


penafsirana surah Maryam (19): 57, qatadah menerima informasi dari Anas bn
Malik bahwa Nabi pernah menyatakan bahwa beliau ketika mi‟raj melihat Nabi

23
Ibid , 156.
24
Ibid , 156-159.
Idris di langit keempat. Hal itu berarti bahwa yang dinyatakan memperoleh tempat
yang tinggi adalah Nabi Idris itu.

3. Pendapat sahabat

Contohnya hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Ishaq al-
Syaibani tentang tafsir surah al-Najm (53): 9 bahwa ia pernah bertanya kepada
Zirr ibn Hubaisy yang menyatakan bahwa ia pernah menerima informasi dari ibn
Mas‟ud bahwa Nabi saw. Bersabda bahwa beliau perah melihat jibril dengan 600
sayap. Begitulah dekatnya beliau kepada Jibril.

4. Tafsir dari tabiin lain

Contohnya sama dengan pendapat sahabat, yakni al-Sayibani, yang adalah


seorang tabiin, bertanya kepada Zirr yang juga seorang tabiin.

5. Bahasa

Mujahid menafsirkan surah al-Jatsiyah (45): 29 dengan menulis

6. Ahl al-kitab
a. Menyebut sumber seperti hadis riwayat ibn Ishaq dari beberapa
kalangan ahli kitab dalam menafsirkan surah al-Maidah (5): 23, bahwa
bani israil diperintahkan oleh dua pimpinan mereka untuk menyerbu
kota, tetapi mereka mendapat informasi bahwa penduduk yang
mendiami kota itu begitu kuat. Mendengar hal itu, Nabi Musa dan
Harun bersujud berdoa kepada Allah.
b. Tidak menyebut sumber seperti mujahid yang menafsirkan surah al-
Maidah (5): 12 bahwa Nabi Musa memilih seorang pemimpin dari
setiap suku mereka (12) untuk menghadapi orang-orang perkasa yang
mendiami negeri mereka.
7. Ijtihad tabiin lain

Contohnya hadis riwayat al-Bukhari dalam menafsirkan surah ali


Imran (3): 7 bahwa makna muhkamat (yang pasti maknanya) adalah “haram
dan halal”.
8. Penetahuan tentang peristiwa yang terjadi pada waktu ayat itu turun.

Contohnya hadis riwayat al-Bukhari dari Said ibn al-Musayyab dalam


menafsirkan surah al-Maidah (5): 103 tentang menginformasikan bahwa
bahirah di situ adalah unta betina yang akan dipersembahkan kepada berhala
karena itu tidak boleh diperah susunya; saibah adalah unta betina yang akan
dipersebahkan kepada berhala karena itu tidak boleh ditunggangi; washilah
adalah unta betina yang masih perawan kemudian melahirkan seekor betina
dan berikutnya berikutnya betina lagi tanpa diselingi jantan; ham adalah unta
jantan yang telah menjadi pejantan bagi beberapa kali kelahiran.

b. Fungsi Tafsir Tabi’in:25


1. Menjelaskan kosakata
2. Menjelaskan pengkhususan yang umum
3. Menjelaskan yang ringkas
4. Menjelaskan pembatasan yang mutlaq
5. Menjelaskan pembatalan
6. Menjelaskan yang samar26

c. Kedudukan Tafsir Tabi’in

Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir al- ma‟tsur dari tabi„in bila
tidak ada riwayat yang senada yang berasal dari Rasulullah atau sahabat, apakah
tafsir tersebut diambil atau tidak. Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir
tabi„in tidak diambil karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak
menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya, sehingga mereka
mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehendaki al-
Qur‟an, di samping itu kualitas pribadi mereka tidak ada jaminan dalam al-Qur‟an
maupun hadis, yang tentunya hal ini berbeda dengan para sahabat. Sebagian
mufasir berpendapat bahwa pendapat tabi„in di bidang tafsir diakui dan diambil,
karena umumnya mereka menerima pendapat tersebut dari sahabat, dan status
sahabat adalah „adl. Terjadinya perbedaan pendapat diatas lalu bagaimana

25
Ibid , 159-161.
26
Ibid, 146-164.
kedudukan pendapat tabi‟in, bisakah sebagai hujah. Maka dalam hal penulis
katakan bahwa pendapat tabi‟in tetab termasuk tafsir bil ma‟tsur, dan bisa
dijadikan hujah, karena tafsir ini memiliki metode dan corak (tradisional; riwayat
dan kebahasaan) yang sama atau hampir sama dengan dengan tafsir sahabat, tafsir
dengan sunnah, tafsir al-Quran dengan al-Qur‟an. Kita ketahui juga mengenai
pendapat Ibn Taimiyah mengenai bisakah pendapat tabiin sebagai hujah. Menurut
Ibn Taimiyah beliau mengutip riwayat bahwa Shu‟bah b. Hajjaj berkata,
“Pendapat tabi„in tidak bisa di jadikan hujjah. Pendapat mereka tidak bisa
dijadikan hujjah kalau di kalangan mereka sendiri terjadi perbedaan antara mereka
dalam suatu persoalan. Namun bila mereka sepakat mengenai sesuatu, maka tidak
diragukan lagi kehujjahannya. Dalam pendapat Ibn Taimiah, megisayarakan
kepada kita bahwa penting meninjau kembali pendapat-pendapat yang diriwatkan
tabi‟in tersebut kalau ingin dijadikan hujah. Dalam hal ini penulis menegaskan
bahwa tidak perlu menolak secara mentah-mentah pendapatnya dari tabi‟in
mengenai al-Quran.27

Lagi pula mayoritas mufasir berpendapat bahwa tafsir al-tabi‟in dapat


diterima karena mereka umumnya telah berguru kepada para sahabat dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Mujahid, contohnya, ia mengatakan bahwa dia telah
memaparkan dan membaca mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali mulai
dari awal mushaf hingga akhir. Menurutnya, Ibn Abbas menghentikan setiap
selesai satu ayat, dan Mujâhid menanyakan kandungan ayat tersebut. Qatâdah
juga mengatakan bahwa tak ada satu ayat pun yang dia pelajari kecuali ayat
tersebut telah didengar maknanya dari para sahabat. Oleh karena itu mayoritas
mufasir mengambil tafsir al-tabi‟in untuk dijadikan rujukan dalam tafsir-tafsir
mereka. Maka yang menjadi Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran,
Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut
ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Namun Rasulullah SAW.
menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada
para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir
sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi‟in. Usai masa tabi‟in,

27
Ibid , 162-163.
muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-
syarat mufassir.28

B. Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Metode Penafsiran al-Qur’an

1. ‫التفسري اما بنقل ثابت او رايشش صائبشش وماشش سواءىا فباطل‬


(Tafsir itu dengan penukilan yang pasti atau dengan pemikiran yang benar.
Selain itu salah.)
Kaidah tersebut dimaksudkan sebagai aturan umum agar digunakan untuk
mengatur sikap yang harus diambil oleh mufassir dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Sehingga, penafsiran yg dapat diterima adalah penafsiran yang pasti, meliputi
penukilan dari lima sumber: al-Qur‟an sunnah pendapat sahabat, pendapat tabi‟in.
Merujuk kepada sumber-sumber tersebut harus berdasarkan urutannya itu.29

2. Bila tafsir dari Nabi saw. Jelas ada, pendapat apapun setelah itu tidak
diperlukan.

Kaidah diatas dapat diungkapkan dengan urusan lain:

ِ ِ ِِ
‫أي بَياَن‬
ِّ ‫على‬ ٌ ‫بَياَ ُن الش َّْرِع ألَلْفاَظو َوتَ ْفس ِْريه ََلاَ ُم َقد‬
َ ‫َّم‬

“Penjelasan dan tafsir dari pensyariat didahulukan dari penjelasan dan tafsir
siapapun”
Kaidah tersebut bermaksud untuk menjelaskan kepada mufassir bahwa
apabila suatu ayat telah ditafsiri oleh Nabi maka tafsir dari siapapun tidak
diperlukan lagi. Kaidah ini berfungsi untuk memberi batasan kepada para
mufassir untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa yang mereka
pahami dan maknai sendiri dan bertentangan dengan penjelasan Allah dan
Rasulnya.30

3. ُ‫الش ِرعيَّ ِة فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن فاَلءُْرفِيَّةُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُكن فاَ للغَ ِويَّة‬
َّ ‫أَلْ َفا ُظ الْشَّارِع ََْم ُم ْولَةٌ َعلَى الْ َم َع ِاِن‬

28
Ibid , 163-164.
29
Ibid, 96.
30
Ibid, 136.
(Kata-kata syari‟ dibawa kepada makna syariat, bila tidak bisa, kemakna
budaya, bila tidak bisa, ke makna bahasa)
Yang dimaksud dengan makna syariat adalah apabila terdapat ayat yang
menggunakan kata-kata tertentu kemudian terdapat batasan maka kata itu
mengandung kata tertentu sesuai yang dimaksud pensyariat. Kata-kata tersebut
misalnya shalat, shiyam, hajj dan semacamnya.31

4. ِّ ‫لى َغ ِْريِه ِيف التَّ ْف ِس ِْري ِو إِ ْن كاَ َن ظاَ ِى ُر‬


‫السياَ ِق الَ يَ ُدل َعلَْي ِو‬ ٌ ‫الصحاَِ ِِّب ُم َقد‬
َ ‫َّم َع‬ َّ ‫قَ ْو ُل‬
(Pendapat sahabat didahulukan dari tafsir lainnya sekalipun lahiriah ungkapan
ayat tidak menunjuk pendapat itu)
Kaidah tersebut mengandung makna apabila ditemukan suatu ayat yang
terdapat perbedaan dalam penafsirannya, maka yang harus dijadikan hujjah adalah
penafsiran dari sahabat, karena sahabat lebih tau tentang makna alquran daripada
generasi generasi sesudahnya. Hal itu karena para sahabat menyaksikan secara
langsung bagaiamana ayat itu turun. kaidah ini berlaku apabila ayat tersebut
belum ditafsirkan oleh Nabi.32

5. ْ ْ ‫ث قَ ْول ثاَلِث َِيُْر‬ ِ ِ ْ َ‫ف ِيف تَ ْف ِس ِْري اآل يَِة على قَول‬
ُ ‫ني ََلْ ََيُْز ل َم ْن بَ ْع َد ُى ْم إِ ْح َدا‬ ْ َ ُ َ‫السل‬
َّ ‫ف‬ ْ َ‫إِذا‬
َ َ‫اختَ ل‬
‫َع ْن قَ ْوَلِِم‬

(Bila salaf berbeda pendapat mengenai tafsir ayat, siapapun setelah mereka
tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang berbeda)
Apabila ditemukan penafsiran yang berbeda pada masa tabiin maka untuk
di masa selanjutnya tidak diperbolehkan memunculkan pendapat baru mengenai
penafsiran ayat tersebut. Akan tetapi mereka harus melakukan pentarjihan
terhadap perbedaan pendapat yang terjadi pada masa tabiin tersebut.33

‫علي ِو‬ ِ ِ ِ ِ َ‫السل‬


6. ْ َ‫ف ل ْل ُق ْران ُح َّجةٌ ُُْيتَ َك ُم إِلَْيو ال‬ َّ ‫فَ ْه ُم‬
(Pemahaman salaf mengenai al-Qur‟an jadi hujjah yang dipedomani bukan
yang memedomani.)

31
Ibid, 138.
32
Ibid, 154.
33
Ibid, 165.
Apabila di dapatkan dua pendapat penafsiran berbeda, yang pertama
pendapat ulama tabiut tabiin dan yang kedua pendapat para ulama salaf, maka
tafsir-tafsir itu perlu di ukur dengn tafsir salaf itu. Karenakarena salaf itu adalah
orang-orang yang lebih tahu setelah nabi saw mengenai kitab Allah dan bahasa
yang diturunkannya kitab itu dengannya.34

C. Penerapan Kaidah-Kaidah yang Berkaitan dengan Metode Penafsiran al-


Qur’an

1. kaidah pertama : ‫فباطل‬ ‫التفسري اما بنقل ثابت او رايشش صائبشش وماشش سواءىا‬
Contoh :
  
    
    
   
      
 

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu


binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-
Nya”.

Pada ayat diatas terdapat potongn ayat al-Qur‟an yang artinya “Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.” Namun ayat
selanjutnya tidak menjelaskan hewan apa saja yang diharamkan. Dalam hal ini
kaidah pertama berfungsi untuk menafsirkan alquran dengan sumber yang jelas
sehingga para mufassir menafsirkan dengan merujuk kepada alquran terlebih
dahulu. Sehingga dihasilkan penafsiran bahwa yang dikehendaki pensyari‟at
dalam QS. Al-Maidah ayat 1 adalah terdapat pada QS. Al-Maidah ayat 3.35
  
   
   
34
Ibid, 168.
35
Ibid, 98.
 
 
    
    
   
    
    
   
   
   
     
    
    

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)


yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan
anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini, orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa, karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

2. kaidah kedua : Bila tafsir dari Nabi saw. Jelas ada, pendapat apapun setelah itu
tidak diperlukan.
Contoh :
   
   
   

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Rasul SAW menafsirkan kata zhulum ‫ ظلم‬/ penganiayaan pada QS. Al-
An‟am 82 ini adalah kemusyrikan. Sejalan dengan firman Allah pada QS.
Luqman ayat 13.36
    
     
    

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi


pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.”

Maka setelah keterangan Rasul yang seperti tak diperlukan penafsiran lagi.

3. kaidah ketiga : ‫الش ِرعيَّ ِة فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن فاَلءُْرفِيَّةُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُكن‬
َّ ‫أَلْ َفا ُظ الْشَّارِع ََْم ُم ْولَةٌ َعلَى الْ َم َع ِاِن‬

ُ‫فاَ للغَ ِويَّة‬


Contoh : Kemungkinan pemaknaan kata antara makna urfiyah dan makna
lughawiyah :37
Misalnya QS. Ali Imran ayat 55
    
  
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan
menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku “

Makna tawaffa (mewafatkan) dari segi bahasa adalah akhadzasy syay’


kamilan ( mengambil sesuatu secara sempurna. Sehingga mewafatkan Nabi Isa
pada ayat itu secara bahasa berarti dimaknai dengan mengambil keseluruhan jasad
dan rohnya. Artinya tubuhnya juga mati. Namun fakta budaya (haqiqah al-urfy)
menyatakan bahwa Nabi Isa hanya diambil rohnya bukan jasadnya. Dalam hal
yang demikian ini maka pemaknaan ayat lebih didhulukan kepada makna budaya.
Sehingga makna tawaffa (mewafatkan) adalah “tidur”. Sebagaimana yang
diketahui Nabi bahwa Isa belum wafat.
36
M. Quraish Shihab, Kaida Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an..., 350.
37
Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir..., 141.
4. kaidah keempat : ِّ ‫لى َغ ِْريِه ِيف التَّ ْف ِس ِْري ِو إِ ْن كاَ َن ظاَ ِى ُر‬
‫السياَ ِق الَ يَ ُدل‬ ٌ ‫الصحاَِ ِِّب ُم َقد‬
َ ‫َّم َع‬ َّ ‫قَ ْو ُل‬

‫َعلَْي ِو‬
Contoh : 38
   
   
“Dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan
(yang tersebut dalam) Al Quran lalu Dia beriman”

Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud saksi
pada QS. Al-Ahqaf ayat 10. Sebagian berpendapat bahwa saksi yang dikehendaki
pada ayat tersebut adalah Nabi Musa. Pendapat tersebut diungkapkan oleh Masruq
(tabi‟in) Sedangkan sebagian pendapat lain menyatakan bahwa “yang serupa
dengan (yang tersebut dalam) al-Qur’an” adalah Abdullah Ibn Salam.
Kemudian, Ibn Jarir menginformasikan dari sumber Sa‟d Ibn Abi
Waqqash yang menyatakan “saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda kepada seseorang bahwa ia termasuk penghuni surga kecuali kepada
Abdullah ibn Salam”, lalu ia membaca QS. Al-Ahqaf ayat 20 itu.
Apabila terjadi perbedaan pendapat seperti halnya diatas maka yang
dijadikan hujjah adalah pendapat yang kedua karena Sa‟d Ibn Abi Waqqash
adalah seorang sahabat sedangkan Masruq adalah tabi‟in.

5. Kaidah kelima : ‫ني ََلْ ََيُْز لِ َم ْن بَ ْع َد ُى ْم إِ ْح َدا‬


ِ ْ َ‫ف ِيف تَ ْف ِس ِْري اآل يَِة على قَول‬
ْ َ ُ َ‫السل‬
َّ ‫ف‬ ْ َ‫إِذا‬
َ َ‫اختَ ل‬
‫ث قَ ْول ثاَلِث َِيُْر ْ ْ َع ْن قَ ْوَلِِم‬
ُ
Contoh :
    
 
“Suatu tentara yang besar yang berada disana dari golongan- golongan yang
berserikat, pasti akan dikalahkan”

Para ulama‟ tafsir berbeda pendapat mengenai lafadz 


dan rujukan dari lafadz  ada pendapat yang menyatakan bahwa yang

38
Ibid, 154.
dimaksud dengan  adalah langit dan  adalah suatu
tentara besar, namun ada pula yang berpendapat bahwa yang dikehendaki oleh
ayat tersebut adalah orang-orang kafir yang menentang Nabi Muhammad, dan
beliau akan menghancurkan mereka, dan kemudian terjadi pada perang badar dan
penaklukkan kota Makkah.
Mengenai QS, Shad ayat 11 itu, bila ada yang menafsirkan ayat tersebut
sesuai dengan pendapat yang pertama dan menganggap itu saja yang benar maka
itu tidak diperbolehkan, karena sama saja menganggap ulama‟ yang lainnya salah.
Dan apabila ada pendapat yang menafsirkan ayat tersebut tanpa memperhatikan
pendapat ulama‟ salaf terlebih dahulu, maka pendapat yang demikian itu tidak
diperlukan.39

‫علي ِو‬ ِ ِ ِ ِ َ‫السل‬


6. Kaidah keenam : ْ َ‫ف ل ْل ُق ْران ُح َّجةٌ ُُْيتَ َك ُم إِلَْيو ال‬ َّ ‫فَ ْه ُم‬
Contoh :
     
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu”

Ibn Jarir berkata, setlah menyampaikan riwayat-riwayat ulama‟ salaf


mengenai makna  “menginginkan” . kemudia ada beberapa pendapt yang

membantah pendapat salaf dan mengemukakan makna tersebut sesuai dengan


rasio mereka sehingga terlahir beberepa pendapat seperti: 1). Ia ingin memukul
wanita itu, 2). Keinginan itu hanya betikan hati yang tidak dipandang salah.
Ringkasnya, tafsir yang berasal dari ulama‟ salaf tidak diukur dengan
tafsir sesudah mereka, dan tidak pula dengan kaidah-kaidah bahasa, ataupun
kaidah ushul fiqhnya.40

39
Ibid, 166.
40
Ibid, 168.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Klasifikasi metode tafsir Qur‟an, diantaranya ialah:
1. Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
2. Menafsirkan al-Qur‟an dengan Sunnah
3. Menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat sahabat
4. Menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat tabi‟in

1. ‫التفسري اما بنقل ثابت او رايشش صائبشش وماشش سواءىا فباطل‬


(Tafsir itu dengan penukilan yang pasti atau dengan pemikiran yang benar.
Selain itu salah.)

2. Bila tafsir dari Nabi saw. Jelas ada, pendapat apapun setelah itu tidak
diperlukan.

Kaidah diatas dapat diungkapkan dengan urusan lain:

ِ ِ ِِ
‫أي بَياَن‬
ِّ ‫على‬ ٌ ‫بَياَ ُن الش َّْرِع ألَلْفاَظو َوتَ ْفس ِْريه ََلاَ ُم َقد‬
َ ‫َّم‬

“Penjelasan dan tafsir dari pensyariat didahulukan dari penjelasan dan tafsir
siapapun”

3. ُ‫الش ِرعيَّ ِة فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن فاَلءُْرفِيَّةُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُكن فاَ للغَ ِويَّة‬
َّ ‫أَلْ َفا ُظ الْشَّارِع ََْم ُم ْولَةٌ َعلَى الْ َم َع ِاِن‬
(Kata-kata syari‟ dibawa kepada makna syariat, bila tidak bisa, kemakna
budaya, bila tidak bisa, ke makna bahasa)

ِّ ‫لى َغ ِْريِه ِيف التَّ ْف ِس ِْري ِو إِ ْن كاَ َن ظاَ ِى ُر‬


4. ‫السياَ ِق الَ يَ ُدل َعلَْي ِو‬ ٌ ‫الصحاَِ ِِّب ُم َقد‬
َ ‫َّم َع‬ َّ ‫قَ ْو ُل‬
(Pendapat sahabat didahulukan dari tafsir lainnya sekalipun lahiriah ungkapan
ayat tidak menunjuk pendapat itu)
5. ْ ْ ‫ث قَ ْول ثاَلِث َِيُْر‬ ِ ِ ْ َ‫ف ِيف تَ ْف ِس ِْري اآل يَِة على قَول‬
ُ ‫ني ََلْ ََيُْز ل َم ْن بَ ْع َد ُى ْم إِ ْح َدا‬ ْ َ ُ َ‫السل‬
َّ ‫ف‬ ْ َ‫إِذا‬
َ َ‫اختَ ل‬
‫َع ْن قَ ْوَلِِم‬

(Bila salaf berbeda pendapat mengenai tafsir ayat, siapapun setelah mereka
tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang berbeda)

‫علي ِو‬ ِ ِ ِ ِ َ‫السل‬


6. ْ َ‫ف ل ْل ُق ْران ُح َّجةٌ ُُْيتَ َك ُم إِلَْيو ال‬ َّ ‫فَ ْه ُم‬
(Pemahaman salaf mengenai al-Qur‟an jadi hujjah yang dipedomani bukan
yang memedomani)

Berikut salah satu contoh penerapan kaidah tafsir dalam menafsirkan al-

‫علي ِو‬ ِ ِ ِ ِ َ‫السل‬


Qur‟an dengan kaidah keenam: ْ َ‫ف ل ْل ُق ْران ُح َّجةٌ ُُْيتَ َك ُم إِلَْيو ال‬ َّ ‫فَ ْه ُم‬
Contoh :
     
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan
Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu”

Ibn Jarir berkata, setlah menyampaikan riwayat-riwayat ulama‟ salaf


mengenai makna  “menginginkan” . kemudia ada beberapa pendapt yang

membantah pendapat salaf dan mengemukakan makna tersebut sesuai dengan


rasio mereka sehingga terlahir beberepa pendapat seperti: 1). Ia ingin memukul
wanita itu, 2). Keinginan itu hanya betikan hati yang tidak dipandang salah.

B. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan


makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Salman. Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: Penerbit QAF, 2017.


Shihab, M. Quraish. Kaida Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati,
2013.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1980.
al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu Ilmu Quran, Terj. Mudzakir AS, Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013.

Anda mungkin juga menyukai