Kaidah Mengenai Metode Tafsir
Kaidah Mengenai Metode Tafsir
Makalah:
Qawaid Tafsir
Oleh:
Rohani E93216148
Pengampu:
Musyarrofah, MHI
NIP:
197106141998032002
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR
Penyusun
Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.............................................................................................1
b. Rumusan Masalah........................................................................................2
c. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
a. Kesimpulan............................................................................................... .22
b. Saran ..........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Klasifikasi Metode Tafsir Qur‟an?
2. Apa saja Kaidah yang Berkaitan dengan Metoda Tafsir?
3. Bagaimana Penerapan Kaidah Tafsir dalam Menafsirkan al-Qur‟an?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Klasifikasi Metode Tafsir Qur‟an
2. Untuk Mengetahui Kaidah yang Berkaitan dengan Metoda Tafsir
3. Untuk Mengetahui Penerapan Kaidah Tafsir dalam Menafsirkan al-Qur‟an
BAB II
4
M. Quraish Shihab, Kaida Tafsir : Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami al-Qur’an, ( Tangerang: Lentera Hati, 2013), 349.
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang,
1980), 227.
6
Manna‟ Khalil al Qattan, Studi Ilmu Ilmu Quran, Terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2013), 483.
7
Salman Harun, Kaidah-kaidah Tafsir ..., 95.
Tafsir secara etimologi adalah “menyingkapkan” (al-kasyf) dan
“menerangkan” (al-bayan), dengan demikian menafsir mengandung dua kegiatan.
(1) menyingkapkan makna teks yang tersembunyi sehingga jelas bagi yang
menyingkapkan. (2) menerangkan makna yang sudah jelas maksudnya bagi
penyingkap itu kepada khalayak. Sedangkan secara terminologi tafsir adalah:8
.علم يبحث فيو عن أحوال القرآن العزيز من حيث داللتو على مراد اهلل تعاىل بقدر الطاقة البشرية
Tafsir terbaik adalah tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, berikutnya tafir al-
Qur‟an dengan Sunnah dan seterusnya. Namun keterbaikannya itu perlu dikaitkan
dengan siapa yang melakukannya. Tafsir terbaik al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
adalah tafsir yang dilakukan Nabi saw, kemudian ijmak sahabat dan selanjutnya
sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya. Selain ketiga bentuk itu,
kesahihannya tidak terjamin karena itu adalah ijtihad yang mufasirnya sendiri
yang bisa benar dan bisa salah. Bisa saja prinsip yang dilaluinya benar tetapi
penerapannya salah, dengan demikian jelas bahwa ijtihad memiliki peluang ke
dalam kategori tafsir seperti itu.10
8
Ibid, 95.
9
Ibid, 95-96.
10
Ibid, 96.
11
Ibid, 96-97.
5. Menafsirkan kata dengan kata
6. Menafsirkan makna dengan makna
7. Menafsirkan gaya bahasa Qur‟ani dalam satu ayat dengan ayat lain
8. Menyebut sesuatu pada lebih dari satu tempat, pada satu tempat
disebutkan secara singkat dan di tempat lain secara lebih rinci
(menerangkan yang singkat dengan yang terperrinci)
9. Memperhatikan qira’at-qira’at sahih dan membawa yang satu kepada
lainnya untuk menjelaskan makna (menyatukan qiraat-qiraat shahih)
10. Menyatukan teks-teks al-Qur‟an yang terlihat sepintas bertentangan
Sunnah dari segi bahasa adalah cara atau jalan yang ditempuh baik atau
tidak baik, sedangkan dari segi istilah sunnah ialah ucapan, perbuatan dan
persetujuan Nabi saw”. Sunnah diperlukan dalam menafsirkan al-Qur‟an karena
fungsi Nabi saw sebagai penjelas dan penerang al-Qur‟an sebagaimana dinyatakan
Allah dalam QS. al-Nahl: 44:
“Dan kami turunkan kepadamu al-Qur‟an agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
Tafsir al-Qur‟an dengan Sunnah meliputi dua persoalan:
12
Ibid, 145.
sangkakala kedua seseorang itu saling meminta pertolongan kepada seseorang
yang lain.13
b. Sunnah Rasulullah
1) Penafsiran dengan sunnah qauliyah (ucapan) yang dibagi menjadi dua:
ditegaskan penisbahannya kepada Nabi Saw. Contohnya hadis yang
diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, „Aku menyediakan bagi
hamba-hamba-Ku yang sesuatu yang baik yang belum pernah terlihat
mata, terdengar telinga, dan terbesit di dalam hati seseorang.‟ Abu
Hurairah berkata, „bacalah bila kalian mau, al-Sajdah (32): 17, (jadi,
yang mengambil hadis itu sebagai tafsir ayat itu adalah Abu Hurairah,
seorang sahabat). tidak ditegaskan penisbatannya kepada Rasulullah,
tetapi terangkat kepada beliau. Contohnya hadis panjang yang
diriwayatkan Ibn „Abbas tentang kedatangan Nabi Ibrahim dan Ismail
beserta ibunya ke Mekkah dan kisah pembangunan Ka‟bah sebagai
tafsir Surah Ibrahim (14): 37 dan al-Baqarah (2): 127.14
2) Penafsiran dengan sunnah fi‟liyah (perbuatan) yang dibagi menjadi
1)
dua: ditegaskan penisbahannya kepada Nabi Saw. Seperti hadis
riwayat Ibn „Umar bahwa Nabi shalat sunnah di atas untanya sekali
waktu ketika beliau dari Mekkah ke Madinah, kemudian Ibn „Umar
membaca surah al-Baqarah (2): 115. 2)tidak ditegaskan penisbahannya
kepada Nabi. Contohnya hadis riwayat al-Bukhari dari Nafi‟ bahwa
Ibn „Umar ketika ditanya tentang shalat khauf, maka beliau menjawab
bahaw imam memulai sholat satu rokaat dengan sekelompok jamaah,
kemudian berganti dengan kelompok kedua, berikut adalah tafsir surah
al-Nisa (4): 101-103.15
13
Ibid
14
Ibid , 145-146.
15
Ibid, 146.
c. Bahasa Arab
d. Ahl al-Kitab
Ada dua bentuk penafsiran, ditegaskan bahwa sumbernya dari ahl al-kitab.
contohnya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari „Abdullah ibn „Amar ibn „Ash
mengenai tafsir surah al-Ahzab (33): 45. Dalam taurat disebutkan, “wahai Nabi,
kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan,
pembela orang-orang biasa, engkau hamba-Ku dan rasul-Ku. Aku namai engkau
al-Mutawakkil “yang bertawakkal”, tidak kasar dan keras hati, tidak bingung di
pasar-pasar, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi memaafkan dan
merelakan dan Allah tidak mengambilnya sampai ia berhasil mendirikan agama
yang sebelumnya tidak lurus menjadi lurus sehingga mereka mengikrarkan
kalimat „La ilaha illa Allah‟. Lalu ia membuka mata yang buta, telinga yang tuli,
dan hati yang tertutup.” tidak disebutkan sumbernya dari ahl al-kitab, contohnya
pada surah al-Maidah (5): 26. Ibn Jarir (10:193) meriwayatkan dari ibn „Abbas
bahwa ketika Allah menyapa Nabi Musa dengan ucapan “fa`innaha muharramatan
„alaihim arba‟ina sanatan”, ibn „Abbas berkata, “mereka masuk Tih, siapa yang
masuk Tih itu telah melewati dua puluh lima tahun mati di Tih tersebut, mereka
tertahan di Tih tersebut selama empat puluh tahun, lalu Yusya‟ dengan orang-
orang yang tersisa menghadapi orang-orang zalim kota itu, kemudian Yusya‟
menguasainya.”17
16
Ibid, 147.
17
Ibid
“sayamencontohkannya dengan amal.” “amal apa?” “ya, dengan amal” umar
menjawab “amal orang kaya yang taat kepada Allah lalu dikirimkan kepadanya
setan, lalu orang itu melakukan dosa yang menenggelamkan amalnya itu.”18
f. Mengambil tafsir sahabat lain
Contohnya hadis riwayat muslim dari Ya‟la ibn Umayyah bertanya kepada
Umar ra tentang maksud surah al-Nisa (4): 101, padahal setelah itu negeri itu
sudah aman (apakah boleh juga mengqasar). Umar menjawab, “saya juga tidak
paham sepertimu, lalu saya bertanya kepada Rasulullah. Beliau menjawab “itu
adalah sedekah yang Alla sedekahkan, karena itu terimalah sedekah-Nya.”19
Contohnya hadis riwayat muslim dari Aisyah mengenai tafsir surah al-
Ahzab (33): 10, aisyah menyatakan bahwa itu adalah peristiwa perang Khandaq.20
Contohnya hadis riwayat ibn jarir dari ibn Abbas mengenai denda
pelanggaran sumpah berdasarkan surah al-Maidah (5): 89, yaitu salah satu
18
Ibid, 149.
19
Ibid
20
Ibid
21
Ibid, 150.
berdasar urutan: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian, atau
memerdekakan budak. Bila tidak dapat dilakukan, maka dendanya adalah puasa
tiga hari. Berpuasa tiga hari adalah mutlaq, penambahan “berturut-turut” adalah
pembatasan Ibn Abbas
Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ubay ibn Kaab
tentang azab yang dimaksud dalam surah al-Sajdah (32): 21 itu adalah musibah
dunia, romawi, penderitaan, dan asap
22
Ibid , 151-155.
shahabat itu Ithlaq. Karena jika dikembalikan ke asbabun nuzulnya tidak ada
celah untuk ra‟yi.
Para ulama sepakat bahwa tafsir shahabat dapat diterima. Karena mereka
pernah berkumpul dan bertemu dengan Rasulullah, mendapatkan keterangan dari
sumber pertama, menyaksikan turunnya wahyu, dan mengetahui asbabun nuzul,
selain penguasaan mereka terhadap bahasa dan budaya Arab.
Ibn Zaid menafsirkan surah al-Thalaq (65): 10 bahwa al-Qur‟an adalah ruh
Allah. Hal itu sesuai maknanya dengan surah al-Syura (42): 52
23
Ibid , 156.
24
Ibid , 156-159.
Idris di langit keempat. Hal itu berarti bahwa yang dinyatakan memperoleh tempat
yang tinggi adalah Nabi Idris itu.
3. Pendapat sahabat
Contohnya hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Ishaq al-
Syaibani tentang tafsir surah al-Najm (53): 9 bahwa ia pernah bertanya kepada
Zirr ibn Hubaisy yang menyatakan bahwa ia pernah menerima informasi dari ibn
Mas‟ud bahwa Nabi saw. Bersabda bahwa beliau perah melihat jibril dengan 600
sayap. Begitulah dekatnya beliau kepada Jibril.
5. Bahasa
6. Ahl al-kitab
a. Menyebut sumber seperti hadis riwayat ibn Ishaq dari beberapa
kalangan ahli kitab dalam menafsirkan surah al-Maidah (5): 23, bahwa
bani israil diperintahkan oleh dua pimpinan mereka untuk menyerbu
kota, tetapi mereka mendapat informasi bahwa penduduk yang
mendiami kota itu begitu kuat. Mendengar hal itu, Nabi Musa dan
Harun bersujud berdoa kepada Allah.
b. Tidak menyebut sumber seperti mujahid yang menafsirkan surah al-
Maidah (5): 12 bahwa Nabi Musa memilih seorang pemimpin dari
setiap suku mereka (12) untuk menghadapi orang-orang perkasa yang
mendiami negeri mereka.
7. Ijtihad tabiin lain
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir al- ma‟tsur dari tabi„in bila
tidak ada riwayat yang senada yang berasal dari Rasulullah atau sahabat, apakah
tafsir tersebut diambil atau tidak. Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir
tabi„in tidak diambil karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak
menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya, sehingga mereka
mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehendaki al-
Qur‟an, di samping itu kualitas pribadi mereka tidak ada jaminan dalam al-Qur‟an
maupun hadis, yang tentunya hal ini berbeda dengan para sahabat. Sebagian
mufasir berpendapat bahwa pendapat tabi„in di bidang tafsir diakui dan diambil,
karena umumnya mereka menerima pendapat tersebut dari sahabat, dan status
sahabat adalah „adl. Terjadinya perbedaan pendapat diatas lalu bagaimana
25
Ibid , 159-161.
26
Ibid, 146-164.
kedudukan pendapat tabi‟in, bisakah sebagai hujah. Maka dalam hal penulis
katakan bahwa pendapat tabi‟in tetab termasuk tafsir bil ma‟tsur, dan bisa
dijadikan hujah, karena tafsir ini memiliki metode dan corak (tradisional; riwayat
dan kebahasaan) yang sama atau hampir sama dengan dengan tafsir sahabat, tafsir
dengan sunnah, tafsir al-Quran dengan al-Qur‟an. Kita ketahui juga mengenai
pendapat Ibn Taimiyah mengenai bisakah pendapat tabiin sebagai hujah. Menurut
Ibn Taimiyah beliau mengutip riwayat bahwa Shu‟bah b. Hajjaj berkata,
“Pendapat tabi„in tidak bisa di jadikan hujjah. Pendapat mereka tidak bisa
dijadikan hujjah kalau di kalangan mereka sendiri terjadi perbedaan antara mereka
dalam suatu persoalan. Namun bila mereka sepakat mengenai sesuatu, maka tidak
diragukan lagi kehujjahannya. Dalam pendapat Ibn Taimiah, megisayarakan
kepada kita bahwa penting meninjau kembali pendapat-pendapat yang diriwatkan
tabi‟in tersebut kalau ingin dijadikan hujah. Dalam hal ini penulis menegaskan
bahwa tidak perlu menolak secara mentah-mentah pendapatnya dari tabi‟in
mengenai al-Quran.27
27
Ibid , 162-163.
muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-
syarat mufassir.28
2. Bila tafsir dari Nabi saw. Jelas ada, pendapat apapun setelah itu tidak
diperlukan.
ِ ِ ِِ
أي بَياَن
ِّ على ٌ بَياَ ُن الش َّْرِع ألَلْفاَظو َوتَ ْفس ِْريه ََلاَ ُم َقد
َ َّم
“Penjelasan dan tafsir dari pensyariat didahulukan dari penjelasan dan tafsir
siapapun”
Kaidah tersebut bermaksud untuk menjelaskan kepada mufassir bahwa
apabila suatu ayat telah ditafsiri oleh Nabi maka tafsir dari siapapun tidak
diperlukan lagi. Kaidah ini berfungsi untuk memberi batasan kepada para
mufassir untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa yang mereka
pahami dan maknai sendiri dan bertentangan dengan penjelasan Allah dan
Rasulnya.30
3. ُالش ِرعيَّ ِة فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن فاَلءُْرفِيَّةُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُكن فاَ للغَ ِويَّة
َّ أَلْ َفا ُظ الْشَّارِع ََْم ُم ْولَةٌ َعلَى الْ َم َع ِاِن
28
Ibid , 163-164.
29
Ibid, 96.
30
Ibid, 136.
(Kata-kata syari‟ dibawa kepada makna syariat, bila tidak bisa, kemakna
budaya, bila tidak bisa, ke makna bahasa)
Yang dimaksud dengan makna syariat adalah apabila terdapat ayat yang
menggunakan kata-kata tertentu kemudian terdapat batasan maka kata itu
mengandung kata tertentu sesuai yang dimaksud pensyariat. Kata-kata tersebut
misalnya shalat, shiyam, hajj dan semacamnya.31
5. ْ ْ ث قَ ْول ثاَلِث َِيُْر ِ ِ ْ َف ِيف تَ ْف ِس ِْري اآل يَِة على قَول
ُ ني ََلْ ََيُْز ل َم ْن بَ ْع َد ُى ْم إِ ْح َدا ْ َ ُ َالسل
َّ ف ْ َإِذا
َ َاختَ ل
َع ْن قَ ْوَلِِم
(Bila salaf berbeda pendapat mengenai tafsir ayat, siapapun setelah mereka
tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang berbeda)
Apabila ditemukan penafsiran yang berbeda pada masa tabiin maka untuk
di masa selanjutnya tidak diperbolehkan memunculkan pendapat baru mengenai
penafsiran ayat tersebut. Akan tetapi mereka harus melakukan pentarjihan
terhadap perbedaan pendapat yang terjadi pada masa tabiin tersebut.33
31
Ibid, 138.
32
Ibid, 154.
33
Ibid, 165.
Apabila di dapatkan dua pendapat penafsiran berbeda, yang pertama
pendapat ulama tabiut tabiin dan yang kedua pendapat para ulama salaf, maka
tafsir-tafsir itu perlu di ukur dengn tafsir salaf itu. Karenakarena salaf itu adalah
orang-orang yang lebih tahu setelah nabi saw mengenai kitab Allah dan bahasa
yang diturunkannya kitab itu dengannya.34
1. kaidah pertama : فباطل التفسري اما بنقل ثابت او رايشش صائبشش وماشش سواءىا
Contoh :
Pada ayat diatas terdapat potongn ayat al-Qur‟an yang artinya “Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.” Namun ayat
selanjutnya tidak menjelaskan hewan apa saja yang diharamkan. Dalam hal ini
kaidah pertama berfungsi untuk menafsirkan alquran dengan sumber yang jelas
sehingga para mufassir menafsirkan dengan merujuk kepada alquran terlebih
dahulu. Sehingga dihasilkan penafsiran bahwa yang dikehendaki pensyari‟at
dalam QS. Al-Maidah ayat 1 adalah terdapat pada QS. Al-Maidah ayat 3.35
34
Ibid, 168.
35
Ibid, 98.
2. kaidah kedua : Bila tafsir dari Nabi saw. Jelas ada, pendapat apapun setelah itu
tidak diperlukan.
Contoh :
Maka setelah keterangan Rasul yang seperti tak diperlukan penafsiran lagi.
3. kaidah ketiga : الش ِرعيَّ ِة فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن فاَلءُْرفِيَّةُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُكن
َّ أَلْ َفا ُظ الْشَّارِع ََْم ُم ْولَةٌ َعلَى الْ َم َع ِاِن
َعلَْي ِو
Contoh : 38
“Dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan
(yang tersebut dalam) Al Quran lalu Dia beriman”
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud saksi
pada QS. Al-Ahqaf ayat 10. Sebagian berpendapat bahwa saksi yang dikehendaki
pada ayat tersebut adalah Nabi Musa. Pendapat tersebut diungkapkan oleh Masruq
(tabi‟in) Sedangkan sebagian pendapat lain menyatakan bahwa “yang serupa
dengan (yang tersebut dalam) al-Qur’an” adalah Abdullah Ibn Salam.
Kemudian, Ibn Jarir menginformasikan dari sumber Sa‟d Ibn Abi
Waqqash yang menyatakan “saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda kepada seseorang bahwa ia termasuk penghuni surga kecuali kepada
Abdullah ibn Salam”, lalu ia membaca QS. Al-Ahqaf ayat 20 itu.
Apabila terjadi perbedaan pendapat seperti halnya diatas maka yang
dijadikan hujjah adalah pendapat yang kedua karena Sa‟d Ibn Abi Waqqash
adalah seorang sahabat sedangkan Masruq adalah tabi‟in.
38
Ibid, 154.
dimaksud dengan adalah langit dan adalah suatu
tentara besar, namun ada pula yang berpendapat bahwa yang dikehendaki oleh
ayat tersebut adalah orang-orang kafir yang menentang Nabi Muhammad, dan
beliau akan menghancurkan mereka, dan kemudian terjadi pada perang badar dan
penaklukkan kota Makkah.
Mengenai QS, Shad ayat 11 itu, bila ada yang menafsirkan ayat tersebut
sesuai dengan pendapat yang pertama dan menganggap itu saja yang benar maka
itu tidak diperbolehkan, karena sama saja menganggap ulama‟ yang lainnya salah.
Dan apabila ada pendapat yang menafsirkan ayat tersebut tanpa memperhatikan
pendapat ulama‟ salaf terlebih dahulu, maka pendapat yang demikian itu tidak
diperlukan.39
39
Ibid, 166.
40
Ibid, 168.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Klasifikasi metode tafsir Qur‟an, diantaranya ialah:
1. Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
2. Menafsirkan al-Qur‟an dengan Sunnah
3. Menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat sahabat
4. Menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat tabi‟in
2. Bila tafsir dari Nabi saw. Jelas ada, pendapat apapun setelah itu tidak
diperlukan.
ِ ِ ِِ
أي بَياَن
ِّ على ٌ بَياَ ُن الش َّْرِع ألَلْفاَظو َوتَ ْفس ِْريه ََلاَ ُم َقد
َ َّم
“Penjelasan dan tafsir dari pensyariat didahulukan dari penjelasan dan tafsir
siapapun”
3. ُالش ِرعيَّ ِة فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن فاَلءُْرفِيَّةُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُكن فاَ للغَ ِويَّة
َّ أَلْ َفا ُظ الْشَّارِع ََْم ُم ْولَةٌ َعلَى الْ َم َع ِاِن
(Kata-kata syari‟ dibawa kepada makna syariat, bila tidak bisa, kemakna
budaya, bila tidak bisa, ke makna bahasa)
(Bila salaf berbeda pendapat mengenai tafsir ayat, siapapun setelah mereka
tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang berbeda)
Berikut salah satu contoh penerapan kaidah tafsir dalam menafsirkan al-
B. Saran