Anda di halaman 1dari 2

MENUJU ILMU-ILMU SOSIAL

TRANSORMATIF

Pada forum Peminat Muda Ilmu-Ilmu Sosial II di Malang, tanggal 27 Nopember 1986, telah kita
simak bersama bahwa ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Indonesia ini erat kaitannya dengan
Indologie, yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu orientasi lainnya, yang melihat budaya Timur sebagai
budaya yang eksotis, esoteris, bahkan erotis. Dari cabang disiplin ini kemudian lahir berbagai kerangka
disiplin untuk menormalisasikan budaya yang masih dianggap terbelakang dan kurang cocok dengan pola
berpikir dan masyarakat moderen dalam hal ini pola berpikir tradisional dianggap sebagai tidak nalar.

Proses "pencerdasan" ini selama masa pemerintahan kolonial jatuh sebangun dengan Politik Etis,
yang juga jatuh sebangun dengan bangkitnya kelas pegawai negeri (priyayi pinggiran yang mengisi posisi
pangreh praja yang secara tradisional dipegang oleh kaum Raden Mas ke atas, yang kian hari kian
tergusur dengan dilancarkannya rasionalisasi dalam kelas profesional pribumi yang terdidik secara Barat,
yang siap untuk mengisi tekno-struktur, tanggap melayani kepentingan masyarakat kota, dan semakin
terasing serta tercerabut dari akar sosialnya.

Persinggungan putra-putra pribumi dengan ilmu-ilmu sosial serta realitas sosial di Barat (manca-
negara) yang pada awal abad XX sedang dilanda gelombang pasang liberalisme dan sosialisme justru
menggelorakan semangat nasionalisme dan menumbuhkan kesadaran politik baru. Kemenangan pasukan
Jepang atas Rusia, dan lahirnya sebuah negara Republik di Asia Timur (Revolusi dwi dasa atau revolution
double ten pada tanggal 10 Oktober 1911 di bawah pimpinan Sun Yat Sen dengan San Min Chu I/Tri
Sila), juga ikut mewarnai situasi historis pada permulaan abad XX ini. Perbenturan kepentingan antar
kelompok dan kelas yang ada saat itu melahirkan gerakan kultural (Boedi Oetomo, Taman Siswa, dll),
disamping gerakan politik (Sarekat Dagang Islam, Indische Partij, dll). Namun gerakan yang berorientasi
massa dan pembangunan kekuasaan baru mendapat angin pada akhir masa pendudukan Tentara Jepang,
yang pada saat itu terpakasa melakukan mobilisasi massa untuk mengamankan wilayah pendududkan
mereka, antara lain mobilisasi tenaga kerja (romusha), mobilisasi wanita (fujinkai), mobilisasi sumber
daya, dan mobiisasi pemuda untuk keperluan pertahanan sipil (PETA, Heiho, dll), mobilisasi politik
(Jawa Hokokai, dll). Iklim mobilisasi ini pada gilirannya merupakan persiapan sosial yang sangat penting
dalam mempertahankan kemerdekaan selama perjuangan fisik, tanpa keikutsertaan seluruh lapisan
masyarakat, maka perjuangan kemerdekaan akan jatuh pada perjuangan diplomasi elite politik yang
kebarat-baratan yang sangat percaya pada mekanisme parlement (ala petisi Soetardjo).

Setelah kedaulatan Republik berhasil ditegakkan dan diakui oleh dunia, ilmuwan sosial yang
peranannya sangat terbatas selama revolusi fisik, terperangkap dalam proses ideologisasi dalam rangka
penciptaan mitos akan bangsa besar, ilmu-ilmu sosial sekali lagi menjadi hamba politik kaum berkuasa.
Para ilmuwan sosial terperangkap dalam pergumulan sosial yang semu, bangunan ilmu yang dibentuk
berangkat dari diskursus sosial dari manca negara yang ingin diterapkan di persada Nusantara, sebagai
ilmu terapan, yang sarat dengan ideologi dari kelompoknya.

Ketika Order Baru lahir, ilmuwan sosial yang tampil ke permukaan dihinggapi trauma ilmu
sosial menjadi hamba politik, mereka sebagai gantinya bercita-cita untuk mengembangkan ilmu sosial
yang bebas nilai, untuk mencapai cita-citanya ini mereka masuk ke dalam menara gading, ranah
pendidikan seolah-olah adalah daerah yang bebas politik. Di balik pernyataan-pernyataan yang akademis,
yang diungkapkan secara teknis, ditambah dengan akrobat data-data karbitan dengan menyunat lebih
dahulu data-data pahit, serta didukung dengan penelitian kuantitatif, para ilmuwan sosial telah
mendukung kaum teknokrat dan birokrat dalam pengambilan keputusan dan penyusunan berbagai
kebijakan sosial.. Di balik sikap yang apolitis dan bebas nilai ini, sebenarnya mereka telah menempatkan
politik sebagai panglima, mereka ikut bertanggung-jawab atas dampak sosial dari pembangunan yang
terjadi selama ini. Mereka sebenarnya adalah aktor intelektualis dari proses sosial yang terjadi selama ini.
Karena sebagian penelitian yang mereka emban adalah penelititan pesanan yang berfungsi sebagai alat
legitimasi dari program-program yang sedan dan akan dijalankan. Sikap keilmuan semacam ini selama
periode ini, telah ditumbuhkan sejak mereka masih di bangku sekolah, mereka telah dicetak untuk
menjadi atau mengabdi sistem teknokrasi. Proses ini menemukan bentuknya yang mapak ketika
NKK/BKK dilancarkan, disusul dengan diberlakukannya sisten satuan kredit semester. Pra siswa dan
mahasiswa yang ingin sukses dalam proses pendidikan, mau tidak mau harus menyalurkan seluruh daya
hidup mereka dalam jalur pendididkan, jalur pengembangan profesi, inisiatif sudah dibungkam, sikap
kritis sudah dikebiri, maka tumbuhlah budaya eufemisme. Proses ini jatuh sebangun dengan patronase
yang ada dalam masyarakat yang masih feodalistik ini.

Jika pada masa Orde Lama ilmuwan sosial terperangkap dalam diskursus sosial yang semu
karena mereka terjebak dalam proses ideologisasi ilmu sosial serta menjadi alat dari berbagai k,ekuatan
politik yang ada, maka pada masa Order Baru para ilmuwan sosial jatuh dalam perangkap menara gading
dalam rangka menumbuhkan ilmu sosial yang bebas nilai, yang pada gilirannya menjadi alat legitimasi
teknokrasi yang monolitik. Secara kasar kita dapat mengidentifikasi bahwa ilmuwan sosial pada periode
ini terhimpun dalam empat kubu: (I) teknokrasi-birokrasi (ilmuwan sosial Bappenas, dll); (ii) kubu
perguruan tinggi (yang terjebak dalam budaya penelitian pesanan ketika ingin mengembangkan ilmu
sosial yang bebas nilai); (iii) kubu swasta (ilmuwan sosial yang terserap dalam sistem ekonomi yang
kapitalisti, yang mampu membiayai gaya hidup kota mereka) yang bekerja pada perusahaan-perusahaan
raksasa baik PMDN maupun PMA; (iv) kubu yang terakhir adalah kubu independen, yang merupakan
kubu ilmuwan yang terakhir yang mengembangkan kepedulian akan proses sosial yang sedang melanda
rakyat banyak, mereka ini tersebar dalam berbagai gerakan LSM, dan gerakan independen lainnya,
umumnya mereka dihinggapi keyakinan akan kemampuan melakukan ekspresi spritual di tengah
kepengapan dan kesesakan sosial yang ada.

Yang menjadi pertanyaan sejauh mana ilmuwan sosial yang tergabung dalam gerakan LSM dan
gerakan independen lainnya sungguh-sungguh mampu melakukan diskursus sosial yang sejati? Padahal
sementara itu kita melihat bahwa gerakan LSM sangat rapuh, karena peranannya sangat bergantung pada
bantuan donor dari manca-negara dan sejauh peluang yang diberikan oleh pemerintah. Sementara itu kita
juga menyaksikan bahwa ilmuwan sosial yang tergabung dalam gerakan LSM dihinggapi penyakit makro.
Tokoh-tokoh LSM tingkat nasional terperangkap dalam yargon-yargon makro, yang lepas dari kedalaman
elaborasi mikronya, maka pernyataan itu kedengarannya tajam dan menghujam, tetapi disambung dengan
pernyataan-pernyataan yang tidak operasional, sedemikian makro pernyataan mereka sehingga menjadi
kabur. Di sisi lain kita lihat rekan-rekan yang bergumul di tingkat mikro terjebak dalam kerajinan sosial
tanpa memiliki wawasan makro, sehingga banyak momentum hilang. Mereka pada umumnya kaya akan
nuansa, kaya akan akses kejaringan akar rumput, namun peristiwa di tingkat regional, nasional, dan
internasional luput dari wawasan mereka, akibatnya mereka juga kehilangan momentum.

Mengenali kekisruhan yang melanda dunia intelektual kita, melihat bahwa komitmen moral dan
kepedulian sosial saja tidak menjadi terjadinya diskursus ilmu sosial yang sejati, yang tumbuh dari
persada nusantara pada penghujung abad ke XX, yang mampu menjawab keprihatinan sosial dan gejala
sosial yang sedang berkembang, bukan hanya sekedar memamah dalil-dalil sosial yang baku, yang
muncul dari diskursus sosial di manca negara, disis lain tidak terperangkap dalam kesempitan wawasan
lokal.

Satu-satunya peluang yang tersisa bagi pengembangan diskursus ilmu sosia yang sejati, tinggal
pada ilmuwan independen yang memiliki kepedulian pada emansipasi dan transformasi sosial, dan
diskursus sosial semacam ini pasti tidak akan terjadi ketika sang ilmuwan melamun memikirkan masa
depan bangsa yang lebih cerah. Diskursus semacam ini hanya akan terjadi jika sang ilmuwan
berkomunikasi secara terus-menerus dengan realitas sosial yang sedang terjadi. Pertemuan semacam ini
mungkin terjadi jika sang ilmuwan yang memiliki kepedulian sosial ini bercengkerama dengan aktivis
yang aktif bergerak di lapangan. Dalam pertemuan dan pertukaran pengalaman semacam ini,
sangilmuwan diperkaya dengan realitas sosial yang ditangkap oleh aktivis, dan aktivis diperkaya dengan
wawasan dan kerangka teoritik sehingga mereka tak perlu terperangkap dalam romantisme lokal.
Pertemuan otentik semacam ini diharapkan dapat mengulirkan keprihatinan sosial bersama menjadi
diskurusus ilmu sosial transformatif.

(Roy Tjiong)

Anda mungkin juga menyukai