Anda di halaman 1dari 45

KEPERAWATAN KRITIS

ISU END OF LIFE DAN PSIKOSOSIAL ASPEK DARI KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pembimbing:
Ns. Andi Lis Arming Gandini, M.Kep

Disusun oleh:

Kelompok 5

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020
KEPERAWATAN KRITIS
ISU END OF LIFE DAN PSIKOSOSIAL ASPEK DARI KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pembimbing:
Ns. Andi Lis Arming Gandini, M.Kep

Disusun oleh: Kelompok 5


1. Shintya Rahayu
2. Sri Devi Mu’ammamah

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulisan makalah “Isu End Of Life Dan Psikososial Aspek Dari
Keperawatan Kritis” dapat kami selesaikan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar
Keperawatan Kritis. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang
berkaitan dengan judul makalah, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber dan hasil kegiatan yang telah dilakukan.
Dalam penulisan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada :
1. H. Supriadi B, S.Kp., M.Kep Selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Kalimantan Timur.
2. Umi Kalsum, S.Pd., M.Kes. selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Kalimantan Timur.
3. Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., selaku Ketua Prodi Ners Poltekkes
Kemenkes Kalimantan Timur.
4. Ns. Andi Lis Arming Gandini, M.Kep selaku koordinator mata ajar
keperawatan Kegawatadaruratan
5. Seluruh dosen, tenaga kependidikan dan pustakawan Poltekkes Kemenkes
Kaltim.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dan kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran
dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya.
Samarinda, 22 September 2020

Kelompok 5

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii


DAFTAR ISI iv
DAFTAR LAMPIRAN v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
D. Sistematika Penulisan 2
BAB II TELAAH PUSTAKA
A. Isu End Of Life 3
B. Psikososial Aspek dari Keperawatan Kritis 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 35
B. Saran 35
DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Lampiran 1 : Jurnal Internasional


Lampiran 2 : Jurnal Internasional

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua orang akan mengalami apa yang dikenal sebagai pengalaman
akhir-hidup (end of life) dan proses-kematian (dying). Hal ini dapat terjadi
pada pasien kritis dengan penyakit terminal atau yang tidak dapat
disembuhkan, baik dalam perawatan aktif maupun paliatif di rumah sakit,
maupun di dalam komunitas. Namun demikian, walaupun akan dialami oleh
semua orang, topik-topik mengenai perawatan pada akhir-hidup dan proses-
kematian ini belum banyak dipelajari sampai dengan saat ini, kemungkinan
besar karena kecenderungan sifat dasar manusia yang menganggap tabu
dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan kematian dan tidak adanya
harapan akan kehidupan, yang bertentangan dengan tujuan dari usaha medis
untuk menyembuhkan orang yang sakit. Namun demikian, akhir-hidup dan
proses-kematian adalah suatu fakta yang terjadi secara alamiah, dan dengan
meningkatnya usia harapan hidup dan bertambah nya komposisi penduduk
lansia di masa mendatang, maka topik-topik ini membutuhkan perhatian yang
lebih besar pada saat ini maupun di masa yang akan datang.
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas dari layanan perawatan
akhir-hidup (end of life), antara lain peran dan kerjasama antara
pasien,keluarga (serta pengambil keputusan), dan petugas kesehatan termasuk
dokter, perawat dan lainnya, yang bekerja di rumah sakit maupun panti
perawatan. Kebutuhan Psikososial dari pasien perawatan kritis bergantung
dari kondisi serta latar belakang dari pasien tersebut, termasuk kondisi
kesehatan fisik, mental, budaya, kepercayaan,keluarga dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Isu End of Life dan psikososial aspek dari keperawatan
kritis ?

1
2

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa/(i) mampu memahami isu End of Life dan psikososial
aspek dari keperawatan kritis.
2. Tujuan Khusus
Agar mahasiswa/(i) dapat mengetahui dan memahami tentang:
a. Pengertian End of Life
b. Prinsip-Prinsip End of Life
c. Teori The Peaceful End of Life
d. Perbedaan Mati klinis dan biologis
e. Isu End of Life
f. Psikososial aspek dari keperawatan kritis

D. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tinjauan teori yang terdiri dari isu End of Life dan
psikososial aspek dari keperawatan kritis
Bab III : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TELAAH PUSTAKA

A. Isu End Of Life


1. Pengertian End of Life
End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu
meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup
(Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan
kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir
kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life akan membantu
pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase
tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat
meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life merupakan
bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi
pasien yang mendekati akhir kehidupan.
End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan
sebaik-baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End
of life care adalah salah satu kegiatan membantu memberikan
dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat
disimpulkan bahwa End of life care merupaka salah satu tindakan
keperawatanyang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir
hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan
sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan
bermartabat.

2. Prinsip-Prinsip End Of Life


Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :
a. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan
kehidupan, namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas
perawatan adalah untuk memberikan kenyamanan dan martabat

3
4

kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain


dalam melakukannya.
b. Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki
hak untuk diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan
pengobatan mereka.Mereka memiliki hak untuk menerima atau
menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup.Pemberi
perawatan memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui
dan menghormati pilihan-pilihan sesuai dengan pedoman.
c. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan
hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk
memberikan pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti
bahwa tujuan utama perawatan untuk mengakomodasi
kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi
untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam
kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
d. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk
bekerja sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang
bisa dalam pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan
keinginan pasien.
e. Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima
perawatan, dan untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat
dibuat, maka proses pengambilan keputusan dan hasilnya harus
dijelaskan kepada para pasien dan akurat didokumentasikan.
f. Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-
diskriminatif dan harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang
relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai dan keinginan pasien.
5

g. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan


Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan
perawatan yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak
bermanfaat bagi pasien.Pasien memiliki hak untuk menerima
perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung
jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-
norma profesional dan standar hukum.
h. Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam
memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end
of life baik kepada pasien maupun kepada keluarga.

3. Teori The Peaceful End Of Life (EOL)


Teori Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria utama
dalam perawatan end of life pasien yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa
nyaman,  3) merasa berwibawa dan dihormati,  4) damai, 5) kedekatan
dengan anggota keluarga dan pihak penting lainnya.
1. Terbebas dari Nyeri
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang
utama diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful
End Of Life). Nyeri merupakan ketidaknyamanan sensori atau
pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual atau potensial
kerusakan jaringan (Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995;
Pain terms, 1979).
2. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara
inclusive oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari
ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan damai, dan apapaun yang
membuat hidup terasa menyenangkan ” (Ruland and Moore, 1998).
6

3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan


Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan
dinilai sebagai manusia” (Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini
memasukkan ide personal tentang nilai, sebagai ekspresi dari
prinsip etik  otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana
pada tahap ini individu diperlakukan sebagai orang yang menerima
hak otonomi, dan mengurangi hak otonomi orang sebagai awal
untuk proteksi (United states, 1978).
4. Merasakan Damai
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan
puas, (bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan
ketakutan” (Ruland & Moore, 1998). Tenang meliputi fisik,
psikologis, dan dimensi spiritual.
5.  Kedekatan untuk kepentingan lainnya
Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara
manusia dengan orang yang menerima pelayanan” (Ruland &
Moore, 1998). Ini melibatkan kedekatan fisik dan emosi yang
diekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan yang dekat
(intim).

4. Perbedaan Mati Klinis dan Biologis


Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi)
serta berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih
dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan kemudian dapat diikuti
dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013)
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada
saat mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis
berarti tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan : otak,
jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya
tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada
tiap organ terjadi secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)
7

Perbedaan Mati Klinis (Clinical Death) Mati Biologis (Biological Death)


Tanda Berhentinya detak jantung, Kematian yang terjadi akibat
denyut nadi dan pernafasan. degenerasi jaringan di otak dan
organ lainnya.
Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan Beberapa organ akan mati (tidak
ginjal akan tetap hidup saat dapat berfungsi kembali) setelah
terjadi mati klinis. mati biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat Organ dalam tubuh tidak dapat
tubuh digunakan sebagai transplantasi. digunakan untuk transplantasi.
Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat kembali
Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis dan
Pemeriksaan Neurologis
Suhu Tubuh Hipertermia (> 36oC) dan Hipotermia (< 36oC)
terkadang ditemui Hipotermia
Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi
2) Berhentinya denyut nadi pupil
3) Berhentinya pernafasan 2) Berhentinya semua reflek
spontan. 3) Berhentinya respirasi tanpa
bantuan
4) Berhentinya aktivitas
cardiaovaskuler
5) Gambaran gelombang otak
datar

5. Isu End Of Life


a. Konsep Do Not Resucitation
8

Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi


merupakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah
instruksi berupa informed concent yang telah disetujui oleh pasien
ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi
untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan
resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation
(CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang
tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien
dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah
(Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika seorang dengan penyakit
terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima
cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya
terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah membahas akibat dan
manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat keputusan dalam
keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR
(Do Not Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt
Resuscitate) yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak melakukan
resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba
usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien
dapat menghadapi kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR
(Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan
akan berhasil jika kita berusaha (Brewer, 2008).
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer
(2008) melibatkan tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat,
yaitu autonomy, beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip
tersebut merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis,
karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam
memberikan asuhan keperawatan, secara profesional perawat ingin
memberikan pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat
pendapat yang mengharuskan penghentian tindakan.
9

b. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya
dengan pasien atau seseorang yang berperan sebagai pengambil
keputusan dalam keluarga pasien. Semua hal yang didiskusikan harus
didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja yang mengikuti
diskusi, dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi
diskusi serta rincian perselisihan apapun dalam diskusi tersebut.
Dokter merupakan orang yang paling efektif dalam membimbing
diskusi dengan mengatasi kemungkinan manfaat langsung dari
resusitasi cardiopulmonary dalam konteks harapan keseluruhan dan
tujuan bagi pasien. Formulir DNR harus ditandatangani oleh pasien
atau oleh pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh
pasien jika pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada
petugas kesahatan. Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien dan
diakui secara hukum mewakili pasien seperti agen perawat kesehatan
yang ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan kesehatan,
konservator, atau pasangan / anggota keluarga lainnya. Dokter dan
pasien harus menandatangani formulir tersebut, menegaskan bahwa
pasien akan diakui secara hukum keputusan perawatan kesehatannya
ketika telah memberikan persetujuan instruksi DNR ( EMSA).
Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi
menentukan keputusan DNAR yaitu, dokter harus menentukan
penyakit/kondisi pasien, menyampaikan tujuan, memutuskan
prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari resusitasi (CPR),
memberikan rekomendasi berdasarkan penilaian medis tentang
manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus hadir dalam
diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga
dalam pengambilan keputusan ( Breault 2011).

c. Peran Perawat dan pelaksanaan DNR


10

Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu


dokter dalam memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan
kondisi pasien.Setelah rencana diagnosa DNR diambil maka sesegera
mungkin keluarga diberikan informasi mengenai kondisi pasien dan
rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian
informasi bersama- sama dengan dokter ( Amestiasih, 2015). Perawat
sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada
pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat
harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan
kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. End of life care yang
perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull
end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori
keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang
meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan kesempatan untuk dekat
dengan seseorang yang dapat merawatnya (Amestiasih, 2015).
Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai
keputusan pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak
sesuai dengan harapan perawat, karena perawat tidak dibenarkan
membuat keputusan untuk pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk
membuat keputusan (Kozier et al, 2010). Pemahaman tentang peran
perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat bertindak
sebagai penghubung dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya
kepada tim medis.
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan
berperan aktif terhadap perkembangan kebijakan DNAR di institusi
tempat mereka bekerja, dan diharapkan dapat berkerja sama dengan
dokter selaku penanggung jawab masalah DNAR. Perawat berperan
sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga tentang
keputusan yang mereka ambil dan memberikan informasi yang relevan
11

terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam memutuskan cara


mereka untuk menghadapi kematian.
d. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR
Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan
resusitasi pada penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang
dipandang sulit bagi dokter dan perawat, karena ketidakpastian
prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi
dipasang alat pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut
disebabkan karena kurangnya kejelasan dalam peran tenaga
profesional dalam melakukan tindakan atau bantuan pada saat kondisi
kritis, meskipun dukungan perawat terhadap keluarga pada proses
menjelang kematian adalah sangat penting (Adams, Bailey Jr,
Anderson, dan Docherty (2011).
Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari
sisi tindakan keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada
umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien berhenti
bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan
resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi
yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP yang dilakukan tidak
memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu, dan lebih membawa
kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun imateril,
maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam
Basbeth dan Sampurna, 2009).
Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam
keperawatan prinsip etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR
yaitu:
1) Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati secara
legal, tentunya hal tersebut memerlukan keterampilan dalam
berkomunikasi secara baik, perawat secara kognitif memiliki
komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk
membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya, melalui informed
12

consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan


menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun
umumnya pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir
kehidupannya. Pada prinsip etik otonomy, perawat memberikan
edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan
tidak menghakimi pasien/keluarga dengan menerima
saran/masukan, tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan
(AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
2) Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan
resusitasi mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang
menurut mereka terbaik berdasarkan keterangan-keterangan yang
diberikan perawat. Pada etik ini, perawat memberikan informasi
akurat mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan kerugiannya,
serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk efek
samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta
penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan
biaya cukup besar. Data-data dan informasi yang diberikan dapat
menjadi acuan pasien/keluarganya dalam menentukan keputusan
(Basbeth dan Sampurna, 2009).
3) Prinsip etik nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan
tindakan RJP tidak membahayakan/merugikan pasien/keluarganya.
Menurut Hilberman, Kutner J, Parsons dan Murphy (1997) dalam
Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien
mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang
diikuti dengan kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan
otak permanen (brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan
dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP
dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih
besar.Pada etik ini, perawat membantu dokter dalam
mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak
13

terutama pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil dan
prognosa yang buruk.
Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa
penelitian menyebutkan bahwa masih didapatkan komunikasi yang
kurang baik antara perawat dan pasien/keluarganya mengenai
pelaksanaan pemberian informasi proses akhir kehidupan, sehingga
keluarga tidak memiliki gambaran untuk menentukan/mengambil
keputusan, serta pengambilan keputusan pada proses menjelang
kematian masih didominasi oleh perawat, sebaiknya perawat
berperan dalam memberikan dukungan, bimbingan, tetapi tidak
menentukan pilihan terhadap pasien/keluarganya tentang
keputusan yang akan dibuat.
e. Dilema Etik
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun
masih menjadi dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit,
disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian
bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU
dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt
Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang
tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami
kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir
penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-
tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya
memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang
kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau
penundaan bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan
tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien
merasa nyaman dan bebas nyeri (Depkes, 2011).
14

Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada


perawat dikarenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat
terhadap label DNR dan kondisi dilema itu sendiri. Timbulnya dilema
psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber
informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak dapat
terhindar dari perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat
perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi
mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian
tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain
muncul perasaan iba dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua
hal tersebut dapat menjadikan perawat merasa dilemma (Amestiasih,
2015). Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh perawat karena
DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan DNR
yang ada dan tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki
perawat. Perasaan empati yang muncul juga dapat menjadi dampak
dari tingginya intensitas pertemuan antara perawat dengan pasien
(Elpern, et al. 2005)

B. Psikososial Aspek dari Keperawatan Kritis


1. Konsep Stress Pada Pasien ICU
a. Pengertian Stress
Menurut WHO Stress berasal dari bahasa latin “stingere” yang
berarti keras (stictus), yang pada akhirnya istilah itu berkembang terus
menjadi Stress . Stress adalah reaksi atau respon tubuh terhadap
tekanan mental atau beban kehidupan.
Dalam buku Manajemen Stress, Patimah (2016) mengutip
pendapat Rice mendefinisiskan stress dalam tiga pengertian yang
berbeda, yaitu:
1. Stress mengarah pada tiap kejadian atau stimulus lingkungan yang
menyebabkan seseorang merasa tertekan. Dalam hal ini, stress
15

berasal dari eksternal seorang individu. Kondisi yang dapat


menimbulkan stress disebut stressor.
2. Stress mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini stress
merupakan bagian internal dari mental, termasuk didalamnya
adalah emosi, pertahan diri, interpretasi, dan proses copping yang
terdapat dalam diri seseorang.
3. Stress mengarah pada reaksi physical dalam mengatasi ataupun
menghilangkan gangguan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stress
merupakan setiap tekanan atau ketegangan yang dirasakan
membahayakan kesejahteraan fisik maupun psikologi seseorang.
Stress digolongankan menjadi dua berdasarkan persepsi individu
terhadap stress yang dialami eustress (stress positif) dan distress
(stress negatif). Eustress merupakan respon terhadap stress yang
bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun) yang
dapat menyebabkan tubuh untuk mempunyai kemampuaan untuk
beradaptasi dan meningkatkan produktifitas seseorang. Sedangkan
distress merupakan hasil dari respon terhadap stress yang bersifat tidak
sehat, negative, dan destruktif (bersifat merusak) yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi sakit. (Syle,2013).
b. Sumber-Sumber Stress
Stressor adalah suatu kejadian, keadaan, ataupun pikiran
seseorang yang mengganggu keseimbangan/penyebab timbulnya
stress. Stressor bisa berasal dari luar (kerugian, jatuh sakit, kematian,
dan sebagainya) maupun dari dalam individu itu sendiri.
(Maramis,2012).

Berdasarkan penyebabnya stressor dapat dibagi menjadi tiga


kategori yaitu fisik, psikologis, dan sosial.Stressor fisik adalah stressor
yang berasal dari luar individu seperti suara, polusi, suhu udara,
radiasi, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa.
16

Sedangkan stressor psikologis adalah sumber stress yang berasal dari


tekanan dari dalam diri individu yang bersifat negative seperti frustasi,
kecemasan, rasa bersalah, khawatir berlebihan, marah, benci, sedih,
cemburu, rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri.
Sedangkan stressor social adalah stressor yang bersifat traumatic yang
tak dapat dihindari seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan, pension, perceraian, masalah keuangan, dll.(Nasution,
2011).

c. Reaksi Terhadap Stress


Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan stress,
reaksi setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon ini merupakan
reaksi yang tidak disadari, sedangkan sebagian lagi disadari oleh
individu untuk segera melakukan coping. Maramis (2012) mengutip
dari pernyataan Lazarus (1984) membagi reaksi-reaksi ini kedalam 4
kategori yaitu:
1. Reaksi Kognitif
Reaksi kognitif terhadap stress meliputi hasil proses
appraisal seperti adanya keyakinan mengenai bahaya atau
ancaman yang terkandung dalam suatu kejadian atau keyakinan
mengenai penyebabnya. Respon kognitif juga memasukkan respon
stress tidak sadar seperti membuat jarak, ketidakmampuan
konsentrasi, gangguan performance dalam pekerjaan-pekerjaan
kognitif, dan pikiran-pikiran yang mengganggu, berulang dan
abnormal. Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup
pemikiran obsesif dan adanya ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi.
2. Reaksi fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk
menangani stress tersebut.Hati mengeluarkan lebih banyak glukosa
untuk melumasi otot serta hormon-hormon dikeluarkan untuk
17

menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi


gula.Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan tuntutan
energi dari aktifitas fisik.Denyut jantung, tekanan darah, dan
pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat yang
sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi,
saliva dan lendir akan mengering dan sebagai gantinya
meningkatnya jumlah udara yang dihirup. Respon psikologis
tersebut merupakan hasil dari bekerjanya beberapa sistem tubuh
untuk menghadapi stress.
3. Reaksi Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang
dikaitkan dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya
adalah hal yang menentukan bagaimana respon emosi seseorang
(Lazarus, 1982). Lazarus & Folkman (1984) mengungkapkan
bahwa dominansi emosi negatif seperti cemas, depresi, dan marah
merupakan indikasi bahwa individu yang bersangkutan menilai
situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan stress dan dirasakan
melukai atau merugikan (harm/loss), atau memberikan ancaman
bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai atau merugikan
keberadaan individu tersebut.
4. Reaksi tingkah laku
Reaksi tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya
suatu perilaku baru sebagai upaya individu untuk mengurangi atau
menghilangkan kondisi stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku
yang muncul seperti merokok, mengurangi atau makan berlebih,
berolahraga berlebihan, mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan
terlarang, dan sebagainya.Reaksi tingkah laku ini muncul
tergantung pada stressor yang dihadapi, perilaku melawan stressor
secara langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri dari
ancaman (flight) merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
18

d. Stress Pada Pasien Yang Di Rawat Di ICU


Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien yang sakit gawat
bahkan dalam keadaan terminal yang sepenuhnya tergantung pada
orang yang merawatnya dan memerlukan perawatan secara
intensif.Pasien ICU yaitu pasien yang kondisinya kritis sehingga
memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi, berkelanjutan, dan memerlukan pemantauan secara terus
menerus (Hanafie, 2012).
Pasien ICU tidak hanya memerlukan perawatan dari segi fisik
tetapi memerlukan perawatan secara holistik.Menjalani perawatan di
ruang ICU dapat menimbulkan stressor bagi pasien dan
keluarga.Stressor yang dialami pasien dapat berupa stressor fisik,
lingkungan serta psikologis. Faktor- faktor yang berkontribusi terhadap
kejadian stress pada pasien hospitalisasi di ICU diantaranya
pengalaman dirawat sebelumnya, nyeri, kecemasan, lingkungan asing
dan ketakutan.
Tekanan psikologis akibat tingkat stress yang sangat tinggi
pada pasien yang dirawat di ICU dapat disebabkan karena pasien
secara simultan terkena ancaman bagi kehidupan, prosedur medis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasikan dan hilangnya kontrol
personal dapat memicu terjadinya ICU Delirium
Stres menghasilkan respon fisiologis dan biokimia yang unik
pada setiap orang tergantung intensitas dan durasi stres. Respon
psikofisiologi akibat stress dapat mengaktivasi hipotalamus, hipofisis,
adrenal dan sistem saraf simpatik yang ditandai oleh peningkatan
denyut jantung, tekanan darah, dan output jantung. Respon stres dapat
meningkatkan beban kerja pada system kardiovaskuler yang
kemungkinan dapat mengancam kehidupan.(Bally, 2010).
Pasien-pasien dalam unit perawatan kritis, bagaimanapun tidak
mempunyai pengetahuan untuk memilih lingkungan mereka atau
19

stimulus lainnya.Pada unit perawatan kritis, terlalu banyak stimulus


yang tidak diinginkan, seperti bising yang berlebihan dan terus
menerus, cahaya terang dan hiperaktivitas dapat bertindak sebagai
penyimpang dan pengganggu seperti halnya sedikit stimulus, seperti
kegelapan, kesunyian dan tidak aktif. Dalam mengendalikan stimulus
lingkungan pada unit keperawatan kritis,  perawat harus menyadari
kedua jenis dan jumlah input sensori, jika stimulus sensori diturunkan
terlau drastis, pasien mengalami kehilangan sensori dapat meyebabkan
pertahanan psikologis normal mengalami disorganisasi yang berat. Jika
stimulus sensori terjadi dalam kuantitas yang berlebihan, fenomena
kelebihan sensori menciptakan respon yang tidak diinginkan sama
dengan respon pada lingkungan, termasuk kekacauan mental dan
menarik diri.
Lingkungan rumah sakit seringkali menurunkan stimulus
sensori normal pasien, sementara di ruang ICU memberi mereka
stimulus sensori asing yang tidak ditemui di lingkungan rumah. Situasi
ini merupakan suatu kombinasi dari penurunan sensori dan kelebihan
sensori, disebut sebagai fenomena rumah sakit . Bunyi unit perawatan
kritis meliputi suara-suara asing dalam jumlah  besar, gerakan pagar
tempat tidur, alarm, monitor jantung, sistem pemanggil yang
memanggil nama asing, alat penghisap lendir, bunyi telefon sepanjang
hari, suara berbisik-bisik, tertawa, mengomel. Hal ini ditambah lampu
yang terus menyala, pemandangan dari alat-alat asing, rasa takut dan
nyeri.Suara abnormal dan tanda-tanda yang diuraikan tadi menambah
stres pada pasien di ruang perawatan kritis. Karenanya lingkungan
pasien harus dikendalikan sebaik mungkin sehingga lingkungan 
penyebab stres dapat diturunkan sehingga tidak menyebabkan stress
pada pasien.
20

2. Konsep Kecemasan Pada Pasien ICU


a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-
samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu
respon (penyebab yang tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu). Perasaan takut dan tidak menentu sebagai sinyal yang
menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya akan datang dan
memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi ancaman.(Ah.
Yusuf, 2015)
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai
ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari
ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa
aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak
menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai
perubahan fisiologis dan psikologis. (Kholil Lur Rochman, 2010).

Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada


masing-masing orang. Gejala-gejala yang bersifat fisik diantaranya
adalah : jari tangan dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat
dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak,
dada sesak.Gejala yang bersifat mental adalah : ketakutan merasa akan
ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram,
ingin lari dari kenyataan. Kecemasan juga memiliki karakteristik
berupa munculnya perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan
yang tidak jelas dantidak menyenangkan. (Kholil Lur Rochman, 2010).

b. Rentang Respon Tingkat Kecemasan


Kecemasan memiliki beberapa rentang respon sebagaimana
yang dikutip dari Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Ah.Yusuf dan Hanik
Endang,2015), membagi rentang respon kecemasan kedalam empat
tingkatan, yaitu :
21

a) Ansietas Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-
hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya.Ansietas menumbuhkan motivasi
belajar serta menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
b) Ansietas Sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan perhatian
pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif tetapi dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah.
c) Ansietas Berat
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Adanya
kecenderungan untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan
spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku
ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu area lain.
d) Tingkat Panik

Dari ansietas berhubungan dengan ketakutan dan merasa


diteror, serta tidak mampu melakukan apapun walaupun dengan
pengarahan.Panik meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan
kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi
menyimpang, serta kehilangan pemikiran rasional.

c. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


Menurut Ah. Yusuf (2015) yang mengutip pernyataan dari
Stuart dan Laraia (1998), terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan ansietas, diantaranya sebagai berikut :
1) Faktor Biologis
Otak mengandung resptor khusus untuk benzodiazepine.
Reseptor ini membantu mengatur ansietas.Penghabat GABA juga
22

berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan


ansietas sebagaimana halnya dengan endorfin.Ansietas mungkin
desertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan
kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
2) Faktor Psikologis
a. Pandangan Psikoanalitik, memandang ansietas adalah konflik
emosional yang terjadi antara dua element kepribadian id dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan implus primitif,
sedang mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan
oleh norma-norma budaya sesorang. Ego atau aku berfungsi
menengahi tuntutan dari dua element yang bertentangan dan
fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Pandangan Interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan
spesifik. Orang yang mengalami harga diri rendah terutama
mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.
c. Pandangan Perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu
segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap
sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam
untuk menghindari kepedihan. Individu yang terbiasa dengan
kehidupan dini dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan
lebih sering menunjukan ansietas dalam kehidupan selanjutnya.
3) Sosial Budaya
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam
keluarga.Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas yakni
antara gangguan ansietas dan depresi.Faktor ekonomi dan latar
belakang pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya ansietas.
23

Adapun faktor presipitasi pada terjadinya kecemasan dapat


dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

2) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan


identitas, harga diri, dan fungsi social yang terintegritas seseorang.

d. Dampak Kecemasan
Yustinus Semiun (2012) membagi beberapa dampak dari
kecemasan kedalam beberapa simtom, antara lain :
1) Simtom Suasana Hati
Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan
adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber
tertentu yang tidak diketahui. Orang yang mengalami kecemasan
tidak bisa tidur, dan dengan demikian dapat menyebabkan sifat
mudah marah.
2) Simtom Kognitif
Kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan
pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang
mungkin terjadi. Individu tersebut tidak memperhatikan masalah-
masalah real yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau
belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa
cemas.
3) Simtom Motor
Orang-orang yang mengalami kecemasan sering merasa tidak
tenang, gugup, kegiatan motor menjadi tanpa arti dan tujuan,
misalnya jari-jari kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat kaget terhadap
suara yang terjadi secara tiba-tiba. Simtom motor merupakan
gambaran rangsangan kognitif yang tinggi pada individu dan
24

merupakan usaha untuk melindungi dirinya dari apa saja yang


dirasanya mengancam.

Kecemasan akan dirasakan oleh semua orang, terutama jika ada


tekanan perasaan ataupun tekanan jiwa.

e. Mekanisme Koping
Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis
mekanisme koping yaitu :
1) Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistik
tuntutan situasi stress, misalnya perilaku menyerang untuk
mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
Menarik diri untuk memindahkan dari sumber stress. Kompromi
untuk mengganti tujuan atau mengorbankan kebutuhan personal.

2) Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan


dan sedang, tetapi berlangsung tidak sadar, melibatkan penipuan
diri, distorsi realitas, dan bersifat maladaptif.

f. Kecemasan Pada Pasien Yang Di Rawat Di ICU


Pasien – pasien yang dirawat diruangan ICU adalah pasien –
pasien yang sedang mengalami keadaan kritis.Keadaaan kritis
merupakan suatu keadaan penyakit kritis yang mana pasien sangat
beresiko untuk meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien mengalami
masalah psikososial yang cukup serius dan karenanya perlu perhatian
dan penanganan yang serius pula dari perawat dan tenaga kesehatan
lain yang merawatanya. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien kritis ini, perawat harus menunjukkan sikap professional dan
tulus dengan pendekatan yang baik serta berkomunikasi yang efektif
kepada pasien.
Stimulus yang berlebihan dilingkungan menyebabkan masalah
psikologis  pada pasien di unit perawatan kritis. Jumlah dan kualitas
25

kebisingan menjadi faktor penyembuhan pasien. Suara tawa yang


keras diantara  petugas kesehatan menyebabkan rasa marah pasien.
Egosentris normal pasien kritis menyebabkan mereka
menginterpretasikan semua percakapan dilingkungan dan tindakan
tertuju padanya. Karenanya semua pembicaraan dan tawa sebaiknya 
jangan terdengar oleh pasien dan dilakukan jauh dari pasien. Jika
stimulus lingkungan melebihi batas dimana manusia dapat beradaptasi,
sistem koping gagal mengatasinya. Jika hal ini terjadi, perilaku seperti
ansietas,  panik, bingung, delusi, ilusi atau halusinasi. Gejala-gejala
sehubungan dengan tingkat kebisingan tinggi seperti : peningkatan
kebutuhan obat penurun nyeri, tidak bisa tidur, meras takut, tak
berdayam merasa dilupakan, menarik diri, reaksi bahwa pembicaraan,
tawa, ditujukan pada pasien, kekacauan mental, delusi, ilusi,
halusinasi, tak ada proses informasi, tidak tepat memproses informasi,
proses seleksi informasi, keluar dari alur informasi 
Peningkatan stress fisik dan mental dapat menyebabkan
miokard infark dan kematian mendadak. Perubahan haemodinamik
sistem kardiovaskuler akibat kecemasan akan mengaktivasi saraf
sympatis sehingga meningkatkan produksi norepinephrine yang
menyebabkan peningkatan tahanan perifer. Kondisi ini dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan darah.Kecemasan juga dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan sympathovagal yang
mengakibatkan peningkatan cardiac output dengan indicator
peningkatan heart rate.Peningkatan tekanan darah sistolik, diastolik
serta denyut nadi dihubungkan dengan resiko penyakit kardiovaskuler
(Aaronson & Jeremy, 2008).
Tindakan invasif yang belum pernah dirasakan oleh pasien
merupakan suatu hal yang asing untuk dihadapi. Kecemasan yang
muncul penyebabnya adalah keadaan yang bisa terlihat atau nyata,
dimana tindakan pemasangan ventilator dan suction merupakan
26

tindakan khusus yang dilakukan hanya pada saat-saat tertentu dirumah


sakit.

3. Kebutuhan Spiritual Pasien Kritis


a. Kondisi Pasien ICU
Pasien ICU tidak hanya memerlukan perawatan dari segi fisik
tetapi memerlukan perawatan secara holistik. Kondisi pasien yang
dirawat di ICU (Hanafie, 2012) yaitu :
1. Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi
intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif
melalui infus secara terus menerus, seperti pasien dengan gagal
napas berat, pasien pasca bedah jantung terbuka, dan syok septik.
2. Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif sehingga
komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi seperti pasien
pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru,
dan ginjal.
3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi
komplikasi-komplikasi dari penyakitnya seperti pasien dengan
tumor ganas dengan komplikasi infeksi dan penyakit jantung.
Dari pemaparan di atas bahwa kondisi pasien ICU yang
mengalami masalah fisik seperti demikian akan mempengaruhi kondisi
psikis, sosial, dan spiritualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Hupcey (2014) bahwa pasien 45 pasien ICU yang dirawat selama
tiga hari di ICU mengalami distress spiritual. Distress spiritualitas
merupakan suatu keadaan ketika pasien mengalami gangguan dalam
kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan
dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan
spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan,
adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup,
mengungkapkan perhatian yang lebih pada kematian, menolak
27

kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri,


cemas dan marah, kemudian didukung dengan tanda-tanda fisik seperti
nafsu makan terganggu, kesulitan tidur dan tekanan darah meningkat
(Hidayat, 2011).
b. Kebutuhan Spiritual Pasien ICU
Kebutuhan spiritualitas adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau
pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya
dengan Tuhan. Menurut Hamid (2014) bahwa kebutuhan spiritual
yaitu kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai
dan berhubungan serta kebutuhan mendapatkan pengampunan.
Ketika penyakit menyerang seseorang, kekuatan spiritualitas
sangat berperan penting dalam proses penyembuhan. Selama sakit,
individu menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih
bergantung pada orang lain. Individu yang menderita suatu penyakit
mengalami distress spiritualitas. Distress spiritualitas menyebabkan
individu mencari tahu sesuatu yang terjadi pada dirinya yang
menyebabkan individu merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain.
Seseorang yang berada di ruang Intensive Care Unit umumnya merasa
ketakutan terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, kematian dan ancaman
terhadap integritas.Pasien mungkin mempunyai ketidakpastian tentang
makna kematian sehingga mereka menjadi rentan terhadap distress
spiritual.Terdapat juga klien yang mempunyai rasa spiritual tentang
ketenangan yang membuat mereka mampu untuk menghadapi
kematian tanpa rasa takut (Potter & Perry, 2010).
Pasien yang dirawat di ICU bukan hanya mengalami masalah
fisik, psikis dan sosial, tetapi mengalami masalah pada spiritualitas
sehingga pasien kehilangan hubungan dengan Tuhan dan hidup tidak
berarti. Perasaan-perasaan tersebut menyebabkan seseorang menjadi
28

stres dan depresi berat menurunkan kekebalan tubuh dan akan


memperberat kondisinya (Young & Koopsen, 2015).
Pada pasien yang dirawat di ruang ICU memiliki kebutuhan
spiritualitas berupa doa dari keluarga, teman, dan sahabat. Selain itu,
pasien membutuhkan kehadiran orang yang dicintai dan kehadiran
orang-orang yang merawat pasien. Kehadiran orang tersebut dapat
memberikan dukungan, merasakan apa yang dirasakan, selalu berada
disamping pasien, dan merawat pasien dengan tulus (Young &
Koopsen, 2015). Hal ini juga didukung oleh O’ Brien (2012) bahwa
kebutuhan spiritualitas pasien yang dirawat di ruang ICU yaitu
menginginkan adanya dukungan dari keluarga, ketenangan dari
gangguan suara di ruangan, berinteraksi dengan orang-orang yang
dibutuhkannya, dan dapat melaksanakan praktik keagamaan seperti
beribadah dan berdoa.
c. Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien ICU
Pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien yang dirawat di
ICU merupakan bagian penting yang harus ada dalam intervensi
keperawatan yang diberikan kepada pasien. Pemenuhan kebutuhan
spiritual pasien ICU dapat dilakukan oleh :
1. Perawat
Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Perawat membantu pasien mendapatkan kembali kesehatannya
melalui proses penyembuhan. Proses penyembuhan bukan hanya
sembuh dari penyakit tertentu. Asuhan keperawatan yang diberikan
tidak hanya berfokus pada perawatan fisik, tetapi perawatan secara
holistic.Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual
pasien merupakan bagian dari peran dan fungsi perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan. Untuk itu diperlukan metode
ilmiah untuk menyelesaikan masalah keperawatan, yang dilakukan
secara sistematis yaitu dengan pendekatan proses keperawatan
29

yang diawali dari pengkajian data, penetapan diagnosa,


perencanaan, implementasi, evaluasi (Hamid,2010).
Perawat merupakan orang yang selalu berinteraksi dengan
pasien selama 24 jam. Perawat sangat berperan dalam membantu
memenuhi kebutuhan spiritualitas pasien seperti mendatangkan
pemuka agama sesuai dengan agama yang diyakini pasien,
memberikan privacy untuk berdoa, memberi kesempatan pada
pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga atau teman)
(Young & Koopsen, 2015). Selain itu, perawat dapat memberikan
pemenuhan kebutuhan spiritualitas kepada pasien yaitu dengan
memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan
doa, memotivasi dan mengingatkan waktu ibadah sholat,
mengajarkan relaksasi dengan berzikir ketika sedang kesakitan,
berdiri di dekat klien, memberikan sentuhan selama perawatan
(Potter & Perry, 2012).
2. Keluarga
Keberhasilan pelayanan keperawatan bagi pasien tidak
dapat dilepaskan dari peran keluarga. Pengaruh keluarga dalam
keikutsertaannya menentukan kebijakan dan keputusan dalam
penggunaan layanan keperawatan membuat hubungan dengan
keluarga menjadi penting Keluarga mempunyai fungsi-fungsi
yang terdiri dari fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta
kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi,
fungsi ekonomi, dan fungsi pelestarian lingkungan (Mahfudli,
2015). Keluarga berperan dalam memberikan kasih sayang kepada
anggota keluarga, memberikan kenyamanan pada anggota keluarga
baik secara fisik maupun psikis, dan membina praktik keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari (Friedman, 1998).
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang
dirawat di ruang ICU dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga
sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu.
30

Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh


pengalaman dan pandangan hidup.Dari keluarga, individu belajar
tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri.Keluarga sangat
dibutuhkan oleh pasien dalam memberikan dukungan dan
keyakinan pada mereka.Menurut Davis (2007) menyatakan bahwa
keluarga beperan dalam perawatan pasien ICU khususnya
pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang
mempengaruhi penyembuhan pasien. Keluarga dapat memberikan
dukungan spiritual pada anggota keluarganya yang sakit dengan
bantuan doa, ritual agama, menghiburnya, merasakan penderitaan
yang dialami oleh anggota keluarga yang sakit. Keluarga dapat
memberikan dukungan spiritual tertentu yang tidak dapat diberikan
oleh orang lain (Young & Koopsen, 2015).

4. Komunikasi Pada Pasien Dan Keluarga Pasien ICU


a. Pengertian Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris
berasl dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico,
communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to
make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling
sering sebagai asal usul komunikasi, yang merupakan akar dari kata-
kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu
pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Jadi,
komunikasi dapat terjadi apabila adanya pemahaman yang sama antara
penyampai pesan dan penerima pesan.(Mulyana, 2010).
Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian
suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan
maupun tal langsung melalui media (Effendy, 2009).
31

Keperawatan sebagai suatu profesi menekankan kepada bentuk


pelayanan professional yang sesuai dengan standart dengan
memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga pelayanan yang
diberikan dapat diterima oleh masyarakat.Perawat yang profesional
adalah seorang perawat yang memiliki dan menerapkan teknologi
keperawatan dalam menjalankan praktek keperawatan.Ketrampilan
tehnikal dan ketrampilan interpersonal dan menggunakan etika profesi
baik dalam melaksanakan praktek profesi maupun dalam kehidupan
profesi.Untuk meningkatkan mutu dan citra suatu rumah sakit, seorang
perawat perlu adanya peningkatan komunikasi antar persona
khususnya dalam hubungan antar persona antara perawat dengan
keluarga pasien.Sehingga perawat harus mempunyai bekal
berkomunikasi dengan baik. (Mubarak,Chayatin 2009).
Komunikasi merupakan alat penghubung dalam
bersosial.Sehingga ilmu komunikasi sekarang sangat berkembang
pesat. Salah satu kajian ilmu komunikasi ialah komunikasi kesehatan,
yang dimana selalu dilakukan saat berhubungan dengan pasien,
keluarga dan tenaga kesehatan lainnya (Setianti,2007). Kemampuan
komunikasi dari perawat telah didapatkan pada saat pendidikan
keperawatan maupun suatu pelatihan - pelatihan dalam bidang
keperawatan, akan tetapi masih ada perawat yang komunikasinya
kurang begitu baik Hal ini memungkinkan karena perawat memang
mempunyai suatu hambatan dalam proses komunikasi dengan pasien,
keluarga. Mungkin bahasa yang dipergunakan atau yang disampaikan
kurang jelas atau bahasa yang dipergunakan tidak mudah untuk
dimengerti (Baryani Artha, 2008).
b. Komunikasi Dengan Pasien ICU
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan
dengan orang lain, ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, dan
ingin mengetahui apa yang terjadi selain itu manusia dituntut untuk
mampu memberikan tanggapan terhadap kejadian yang mempengaruhi
32

perilaku individu tetapi harus mampu menyesuaikan diri agar dapat


hidup dalam suasana harmonis. Rasa ingin tahu inilah yang memaksa
manusia untuk berkomunikasi (Nassir.dkk,2009).
Komunikasi yang kurang baik dari perawat akan berdampak
buruk bagi pasien maupun keluarga pasien diantaranya yaitu bisa
menimbulkan kesalahpahaman antara perawat dengan pasien maupun
keluarga pasien. Perawat harus bisa menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti oleh pasien dan keluarga pasien.(Canggara, 2004).
Menurut hasil penelitian Happ, Tuite, Dobbin, et. al. (2004)
bahwa saat pasien tidak berespon, komunikasi yang berlangsung antara
pasien dengan petugas kesehatan hanya terbatas pada informasi yang
singkat tentang perawatan fisik dengan menjawab ya atau tidak atau
juga hanya memberikan instruksi.Namun hal ini justru membuat
pasien merasa asing, tidak dipedulikan, dan akhirnya timbul berbagai
masalah psikologis seperti perasaan cemas, marah, serta perasaan
sedih.
Komunikasi adalah aspek yang sangat penting pada pasien
yang dirawat di ICU sehingga ketidakmampuan berkomunikasi yang
dialami pasien menyebabkan pengaruh yang banyak pada psikologis
dan emosional pasien tersebut. Salah satu kebutuhan utama manusia
adalah menjadi sehat secara rohaniah yaitu kebutuhan akan lingkungan
yang ramah, dan hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan
yang baik dengan orang lain melalui komunikasi.
Berdasarkan hasil penelitian Yustina & Suriani (2015) tentang
analisis kebutuhan komunikasi pada pasien yang di rawat di ICU RS
Hasan Sadikin Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
berkomunikasi antara perawat dengan pasien yang di rawat di ICU,
dibutuhkan sikap perawat yang selalu peduli terhadap pasien. Hal–hal
yang dibutuhkan pasien dari perawat berkaitan dengan komunikasi
antara lain; (1) mempunyai respon yang cepat dalam memenuhi
kebutuhan pasien, (2) menanyakan kebutuhan pasien, (3) mendengar
33

penuh perhatian, (4) bersikap empati, (5) menyediakan bel, (6)


menjelaskan informasi dan mengklarifikasi, (7) menanyakan perasaan
yang dialami oleh pasien, (8) menanyakan media yang diinginkan oleh
pasien saat berkomunikasi, (9) membutuhkan sentuhan dan tatapan
dari perawat saat berkomunikasi.
Penelitian ini mengidentifikasi kebutuhan pasien dengan
ventilasi mekanik yang dirawat di ICU, pada komponen saluran
komunikasi yaitu hampir semua saluran komunikasi dibutuhkan oleh
pasien dengan ventilasi mekanik, terutama melalui gambar (96,9%),
kemudian melalui kartu dan melalui gerakan tangan (93,8%). Pasien
dengan ventilasi mekanik mempunyai kebutuhan yang rendah pada
saluran komunikasi melalui gerakan mata (15,6%) dan alat bantu
dengar (6,3%).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebutuhan yang paling
dominan pada komponen saluran komunikasi adalah komunikasi
melalui gambar sebanyak 96,9%, dan pada komponen pesan
komunikasi adalah informasi tentang nyeri dan ketidaknyamanan
(100%), serta pada komponen komunikator adalah mengharapkan
perawat mempunyai respon yang cepat dalam memenuhi kebutuhan
pasien (96,9%). Sedangkan dari pertanyaan terbuka didapatkan
informasi tambahan yaitu pasien membutuhkan adanya telepon agar
keluarga dapat memberikan dukungan melalui komunikasi satu arah
(6,25%) dan waktu yang lebih banyak bagi keluarga untuk
mengunjungi mereka (6,25%).
c. Komunikasi Dengan Keluarga Pasien ICU
Pasien yang mengalami perawatan memerlukan dampingan,
bantuan, dan motivasi dari keluaraga sehingga keluaraga juga harus
mengetahui keadaan pasien setiap waktu.Keadaan tersebut dapat
menimbulkan krisis dalam keluarga, terutama jika sumber krisis
merupakan stimulus yang belum pernah dihadapi oleh keluarga
sebelumnya. Selain itu peraturan di ICU cenderung ketat, keluarga
34

tidak boleh menunggu pasien secara terus menerus sehingga hal ini
akan menimbulkan kecemasan bagi keluarga pasien yang dirawat di
ICU mengingat keluarga adalah suatu sistem terbuka dimana setiap ada
perubahan atau gangguan pada salah satu sistem dapat mengakibatkan
perubahan atau gangguan bagi seluruh system tersebut.
Hal itu diperlukan komunikasi perawat untuk menyampaikan
suatu keadaan pasien dengan bahasa yang dapat dipahami oleh
keluaraga.Supaya keluarga tetap tenang, dan tidak cemas ketika pasien
dirawat diunit perawatan kritis salah satunyadi ICU.Di rumah Sakit
yang sering terjadi, jika pasien masuk dalam unit perawatan kritis,
keluarga cemas, takut, dan bingung.Maka dari inilah komunikasi
perawat dengan keluarga harus baik.
Menurut Henneman and Cardin (2013) kebutuhan anggota
keluarga pasien kritis adalah (1) kebutuhan akan informasi,
(2)kebutuhan untuk kepastian dan dukungan serta (3)kebutuhan untuk
berada di dekat pasien. Jenis informasi yang keluarga butuhkan dari
perawat berhubungan dengan keadaan pasien secara umum.Keluarga
ingin mendapat informasi tentang tanda-tanda vital (stabil vs tidak
stabil), tingkat kenyamanan pasien, dan pola tidur.Keluarga tidak
mengharapkan perawat untuk memberikan informasi tentang
prognosis, diagnosis, atau rencana pengobatan.
Kebutuhan untuk kepastian dan dukungan dimana keluarga
perlu tahu bahwa salah satu orang yang mereka cintai sedang di rawat
dengan cara terbaik dan bahwa segala sesuatu yang dapat dilakukan
sedang dilakukan. Kebutuhan untuk meyakinkan dan memberi
dukungan tidak berarti bahwa keluarga butuh harapan palsu untuk
pemulihan yang tidak akan terjadi. Cara yang paling efektif untuk
memberikan jaminan dan dukungan yaitu dengan pelayanan lembut
dan kepedulian setiap staf di ruang ICU.
Kebutuhan untuk berada di dekat pasien yaitu berada di dekat
orang yang mereka cintai yang sedang sakit.Mereka tidak hanya ingin
35

memberikan dukungan dengan berada dekat dengan pasien, tetapi juga


kehadiran fisik memungkinkan mereka untuk menyaksikan bagaimana
anggota keluarga mereka sedang di rawat.Dengan memberikan waktu
kunjungan yang fleksibel tidak hanya memungkinkan pasien dan
keluarganya bersama namun juga memfasilitasi keluarga untuk
memberikan dukungan pada pasien.
Penelitian oleh Natalie(2010) pada keluarga dengan kasus End
Of Life di ICU menunjukkan bahwa keluarga membutuhkan
komunikasi yang lebih baik, komunikasi tersebut untuk meminimalkan
kecemasan dan depresi yang di alami keluarga. Keluarga
menginginkan lebih sering komunikasi dengan perawat dan dokter
untuk mendapatkan fasilitasi komunikasi tentang pasien.Penelitian
yang dilakukan oleh Rahmatilah (2013) menunjukkan bahwa
pemberian informasi mempengaruhi dengan tingkat kecemasan
keluarga pasien yang dirawat di ICU RSUD Dr. M.M Dunda Limboto.
Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau ketrampilan
perawat dalam membantu pasien beradaptasi terhadap stress,
mengatasi gangguan patologis dan belajar bagaimana berhubungan
dengan orang lain. Perawat yang terapeutik berarti melakukan interaksi
dengan pasien, interaksi tersebut memfasilitasi proses penyembuhan.
Komunikasi merupakan faktor yang paling penting yang digunakan
untuk menetapkan hubungan terapeutik antara perawat dan pasien serta
keluarga. Proses interaktif antara pasien dan keluarga dengan perawat
sangat membantu pasien dan keluarga mengatasi kecemasan (Liliweri,
2008).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien yang mendekati akhir kehidupan tidak hanya memerlukan
perawatan dari segi fisik tetapi memerlukan perawatan secara holistik yaitu
biologi, psikologi, social, dan juga spritual. Menjalani sisa kehidupan dapat
menimbulkan stressor bagi pasien dan keluarga. Stressor yang tidak ditangani
dengan baik dapat menyebabkan masalah bagi pasien maupun keluarga
pasien. Stress, kecemasan, dan juga distress spiritual merupakan hal yang
sering terjadi pada pasien yang dirawat di ICU.
Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai perawat dalam hal melakukan
intervensi keperawatan jangan hanya berfokus pada penyembuhan fisik saja,
tetapi harus juga memperhatikan kebutuhan psikososial dan spiritual dari
pasien maupun keluarga pasien, karena keadaan psikologi pasien dan keluarga
memiliki pengaruh dalam proses penyembuhan penyakit yang dialami oleh
pasien.
Dalam hal mengatasi masalah psikososial dan spiritual yang dialami
oleh pasien dan keluarga, kita sebagai seorang perawat yang paling banyak
waktu dengan pasien dan keluarga harus memiliki kemampuan komunikasi
yang baik yaitu dalam bentuk komunikasi terapeutik kepada pasien maupun
keluarga sehingga dengan kita sering melakukan komunikasi dan
memperhatikan kebutuhan pasien dan keluarga.

B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan referensi tentang
isu End of Life , bagaimana psikososial aspek pada keperawatan kritis.

36
37

2. Bagi Tenaga Kesehatan


Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk
memberikan perawatan yang maksimal dan meningkatkan lenyamanan
pasien.
3. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui tindakan pada End Of
Life sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson & Jeremy,.(2008). Advances in the Conceptualisation and


Measurement of Spirituality. American Psychologist, 58, p64–74, 2008.
Ah.Yusuf, Rizky Fitryasari,Hanik Endang. (2015). Buku Ajar keperawatan
kesehatan jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
Amestiasih, T. (2017). Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Do Not
Resuscitation (DNR) Dengan Sikap Merawat Pasien Di Icu Rsud
Panembahan Senopati Bantul. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta,
4(2), 138–141.
Bally, (2010). Efektifitas Terapi Kognitif terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan pada Penderita Asma di Surakarta. Tesis dipublikasikan.
Fakultas Psikologi-UGM. Jogjakarta
Baryani Artha, (2008). Pemahaman dan Penanganan Psikosomatik Gangguan
Ansietas dan Depresi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. In : Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Breault, J. (2011). DNR, DNAR, or AND? Is Language Important? The Ochsner
Journal, 302–306.
Effendy, (2009). Buku Kesehatan Mental Konsep,Cakupan dan Perkembangan.
Yogyakarta. Rinika Cipta.
Girdano, F.J.2005. oxygen, oxidative stress, hypozia, and heart failure, J. clin
Invest. 115:500-508
Hamid,(2010),“Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Keluarga tentang ICU
dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Terhadap Perawatan ICU di RSUD
Dr. Sayidiman Magetan” , Skripsi dipublikasikan, Ponorogo.
Hanafie, A. (2012). Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) dalam
memberikan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. Diambil dari
http://www.usu.ac.id/files/pidato/ppgb/2012/ppgb_2012_achsanuddin_hanaf
ie.pdf pada 6 Agustus 2019.
Henneman and Cardin (2013). Religion and medicine II: Religion, mental health,
and related behaviors. International Journal of Psychiatry in Medicine,
Pennsylvania.
Hidayat. (2011). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Hupcey. (2014). Nurse–patient communication: an exploration of patients’
experiences. Journal of Clinical Nursing, 13, 41–49.
JudithA.Adams, DonaldE.BaileyJr., RuthA.Anderson, A. D. (2011).
NursingRolesandStrategiesinEnd-of-LifeDecisionMakingin
AcuteCare:ASystematicReviewoftheLiterature. Nursing Research and
Practice, 15.
Maramis,(2012). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press.
Mubarak, W. I, dan Chayatin, N. (2009). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia:
Teori dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.
Mulyana, (2010). Gambaran Tingkat Kecemasan Keluarga pada Pasien yang
Dirawat di Ruang ICU dan HCU RSU Sumedang, Skripsi dipublikasian,
Unpad Bandung.
Patimah, Siti. (2016). Manajemen Stress Dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Bandung : ALFABETA
Potter & Perry. (2009). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik. Ed-4. Jakarta: EGC.
Rahmatilah (2013), Informasi Mempengaruhi Dengan Tingkat Kecemasan
Keluarga Pasien Yang Dirawat Di ICU RSUD Dr. M.M Dunda Limboto.
Skripsi. Diambil dari http://www.usu.ac.id/fil. pada tanggal 6 Agustus 2019.
Rice. (1992). care unit psychosis, the therapeutic nurse-patient relationship and
the influence of the intensive care setting: Analysis of interrelating factors.
Journal of Clinical Nursing, 8, 284.
Roesch, S.C., Schetter C.D., Woo, G & Hobel, C.J. (2004). Modelling the types
and timing of stress in pregnancy. 2004. Journal of anxiety, stress, and
coping.Taylor & Francis health sciences: USA.
Setianti, (2007). Strategi dan Tehnik Konseling Spiritual,
https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=15492, diakses 6 Agustus
2019.
Syle, (2013). Motivation and Leadership at Work Sixth Edition. Mc Graw-Hill
International: New York.
Tabrani Rab Prof.Dr.H.,(2007), Agenda Gawat Darurat Jilid 1. Bandung : P.T.
ALUMNI Bandung.
Yustina & Suriani (2015). Analisis Kebutuhan Komunikasi Pada Pasien Yang Di
Rawat Di ICU RS Hasan Sadikin Bandung. Tesis. Dipublikasikan Unpad
Bandung.
Yustinus Semiun. (2012). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,
ECG, Jakarta.
Young, C, Koopsen, C. (2015). Spiritual, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan:
BinaPerintis.

Anda mungkin juga menyukai