A. KASUS
Sampel urine pasien laki-laki berusia 30 tahun diperiksa ada/tidaknya
kandungan narkotika tanggal 1-6-2016 di Laboratorium Sentral RSUP dr. M.
Djamil Padang.
Hasil Pemeriksaan:
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. AMFETAMIN
Penyalahgunaan obat adalah masalah utama kesehatan global, merupakan
masalah kesehatan yang serius, menjadi masalah bagi pemakai, keluarga dan
masyarakat seperti hilangnya produktivitas, gangguan keamanan, kejahatan dan
pelanggaran hukum, meningkatnya biaya kesehatan, dan sejumlah konsekuensi
sosial negatif lainnya. Permasalahan narkoba semakin berkembang dengan
meningkatnya peredaran ATS (Amfetamin tipe stimulan) seperti shabu dan
ekstasi tahun 1990. Penggunaan narkotika pada tahun 2013 diperkirakan 246 juta
orang, sekitar satu dari sepuluh orang yang menggunakannya mengalami
gangguan akibat penggunaan obat. Penelitian medis memperlihatkan adanya
gangguan biologis dan perilaku terhadap penyalahgunaan dan kertergantungan
1
obat (Badan Narkotika Nasional dan Departemen Kesehatan, 2008; UNODC,
2014).
Data Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN)
menyatakan bahwa jumlah pecandu narkotika yang mendapatkan pelayanan
terapi dan rehabilitasi di seluruh Indonesia tahun 2012 adalah 14.510 orang,
dengan jumlah terbanyak pada kelompok usia 26-40 tahun yaitu sebanyak 9.972
orang. Jenis narkotika yang paling banyak digunakan oleh pecandu yang
mendapatkan pelayanan terapi dan rehabilitasi adalah shabu (4.697 orang),
selanjutnya secara berurutan adalah jenis ganja (4.175 orang), heroin (3.455
orang), ekstasi (1.536 orang) dan opiat (736 orang) (Badan Narkotika Nasional
dan Departemen Kesehatan, 2008; Manela, 2015).
Pemahaman terhadap neurobiologi kecanduan dan farmakologi
penyalahgunaan obat telah mengalami kemajuan yang besar, namun masyarakat
masih melakukan penyalahgunaan narkotika dan kecanduan. Drug testing telah
terbukti menjadi salah satu cara untuk mengidentifikasi orang-orang yang telah
melakukan penyalahgunaan obat. Drug testing dengan penanganan yang sesuai
dan sanksi bagi hasil tes positif, telah mencegah penggunaan narkotika
(Kadehjian, 2005).
1.1 Definisi
Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya (NAPZA) adalah
bahan/zat yang dapat memengaruhi kondisi kejiwaan/psikologi seseorang serta
dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Pengguna narkotika
menurut UU no 35 tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis atau semi sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Zat ini dapat
menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis, salah satu zat
psikoaktif yang menyebabkan ketergantungan yaitu amfetamin atau lebih dikenal
dengan sebutan shabu-shabu (Permenkes No.55, 2015; Manela, 2015).
Amfetamin adalah stimulan sistem saraf pusat (SSP) yang dapat
meningkatkan aktivitas farmakologis neurotransmiter endogen, seperti
2
norepinefrin dan dopamin, biasanya digunakan sebagai terapi untuk narkolepsi
dan defisit gangguan hiperaktif. Amfetamin memiliki potensi yang tinggi untuk
disalahgunakan dan penggunanya berisiko besar mengalami toleransi dan
kecanduan oleh karena efek stimulannya (Roche, 2012).
3
tersebut, namun juga negara maju. Negara maju sudah lebih dahulu serius dalam
penanganan penyalahgunaan narkotika sedangkan Indonesia sendiri baru serius
menangani narkotika pada 19 September 1999 mengganti Keputusan Presiden
No. 116 tahun 1966 dengan dibentuknya BKNN (Badan Koordinasi Narkotika
Nasional). Drug testing telah terbukti menjadi salah satu cara untuk
mengidentifikasi orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan obat. Urine
merupakan spesimen yang paling banyak digunakan untuk drug testing pada
penyalahgunaan obat (Badan Narkotika Nasional dan Departemen Kesehatan,
2008; Kadehjian, 2005).
Dua pemeriksaan berbeda tersedia untuk drug testing pada urine.
Pemeriksaan dengan immunoassay cepat, sangat sensitif, dan relatif mahal, tetapi
mungkin kurang spesifik. Gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS)
adalah tes yang lebih mahal dan memakan waktu, namun merupakan standar emas
untuk mengonfirmasi hasil positif pada immunoassay (Vincent et al., 2006).
Pemeriksaan pendahuluan (skrining) merupakan pemeriksaan
laboratorium sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada/tidaknya dan jenis
obat yang menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Pemeriksaan
pendahuluan dapat dilakukan dengan card/strip test dengan menggunakan
spesimen urine. Adanya metabolit menunjukkan bahwa zat/obat tersebut telah
dikonsumsi dan termetabolisme dalam tubuh. Pemeriksaan skrining positif berarti
suatu obat/metabolitnya terdapat dalam urine sebanyak/lebih banyak dari batas
deteksi seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel Batas Deteksi Pemeriksaan Skrining menurut UK Laboratory Guidelines for
Legally Defensible Workplace Drug Testing dan SAMSHA (Substance
Abuse and Mental Health Service Administration)
Jenis/ Golongan Zat Batas Detekssi (ng/mL)
Kanabis 50
Kokain 300
Opiat 300
Metadon 300
Amfetamin 1000
Benzodiazepin 200
Methaqualone 300
Propoksifen 300
Barbiturat 200
Fensiklidin 25
(Badan Narkotika Nasional dan Departemen Kesehatan, 2008)
4
Secara umum pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan yang
cepat, sensitif, tidak mahal dengan tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat
diterima, walaupun kurang spesifik dan dapat menyebabkan hasil positif palsu
karena terjadinya reaksi silang dengan substansi lain dengan struktur kimia
yang mirip. Metode yang sering digunakan pada pemeriksaan skrining adalah
immunoassay dengan prinsip pemeriksaan reaksi antigen dan antibodi secara
kompetisi. Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif
pada pemeriksaan skrining. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan metode
yang sangat spesifik untuk menghindari terjadinya hasil positif palsu. Metode
konfirmasi yang sering digunakan adalah Gas chromatography-mass
spectrometry (GC-MS) (Indrati, 2015).
5
g. Ruangan untuk pengambilan sampel terutama urine harus diperiksa apakah
terdapat zat/barang yang dapat mengurangi validitas hasil pemeriksaan. Hasil
yang tidak tepat juga dimungkinkan bila ada penambahan zat-zat tertentu pada
sampel misalnya dengan menambahkan cuka, asam askorbat, jus lemon/jeruk
nipis, deterjen/sabun, garam dapur, tetes mata/hidung, pemanis (sakarin),
pemutih pakaian; atau juga dengan cara minum banyak, penggunaan diuretik,
penambahan air pada sampel atau mengganti dengan sampel lain (Badan
Narkotika Nasional dan Departemen Kesehatan, 2008).
6
Gambar 2. Pemeriksaan Drug Testing dengan Metode Immunoassay
(Roche, 2012).
2.1.6 Interferensi
Hasil positif palsu pemeriksaan urine dengan immunoassay jarang terjadi,
paling sering disebabkan oleh obat antiinflamasi nonsteroid, fluoroquinolon, vicks
inhaler, pseudoefedrin, dan ranitidin. Hasil positif palsu memerlukan konfirmasi
dengan tes yang lebih spesifik, dengan Gas chromatography-mass spectrometry.
(Indrati, 2015; Kurniawan et al., 2015).
7
senyawa analit. Gas chromatography-mass spectrometry memberikan hasil
pemeriksaan yang lebih akurat dalam mengidentifikasi senyawa yang dilengkapi
dengan struktur molekulnya (Pavia et al., 2006).
Gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS) merupakan suatu
instrumen gabungan dari alat Gas chromatography (GC) dan Mass spectrometry
(MS) yang digunakan untuk memisahkan suatu senyawa menjadi komponen-
komponen penyusunnya menggunakan fase gerak berupa gas. Pemisahan senyawa
dengan GC-MS didasarkan pada volatilitas zat yang dianalisis. Berdasarkan fase
diam yang digunakan, gas chromatography dibedakan menjadi Gas solid
chromatography (GSC) fase diamnya berupa zat padat dan Gas liquid
chromatography (GLC) fase diamnya berupa zat cair. Prinsip GC-MS yaitu
sampel yang dibawa fase gerak (gas pembawa) akan cenderung menempel pada
fase diam dan bergerak lebih lama dari komponen lainnya, sehingga masing-
masing komponen akan keluar dari fase diam pada saat yang berbeda. Mass
spectrometry sebagai alat lanjutannya dapat digunakan untuk mengetahui rumus
molekulnya (Clement and Taguchi, 1991; Stashenko and Martinez, 2014).
8
Gambar 3. Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS)
9
oleh karena volume spesimen yang sedikit, selain itu jumlah analit yang rendah
dan serta adanya kontaminasi dari rongga mulut juga menjadi keterbatasan
pemeriksaan dengan menggunakan cairan oral. Deteksi untuk penyalahgunaan
obat dalam cairan mulut lebih pendek daripada deteksi obat dalam urine. Obat
terdapat dalam cairan oral dalam waktu yang signifikan setelah digunakan.
amfetamin dapat dideteksi dalam cairan oral selama 20 sampai 50 jam setelah
pemakaian (Dasgupta, 2010).
3. Rambut
Sejumlah penelitian menunjukkan, obat dapat dideteksi pada rambut
dalam periode waktu yang lama, tidak seperti spesimen biologis konvensional
lainnya, waktu deteksi pengujian penyalahgunaan obat diukur dalam hitungan
beberapa hari, pada rambut waktunya lebih lama, sampai 90 hari atau lebih setelah
penggunaan obat terakhir. Protokol pengujian rambut, yang diambil bagian
rambut yang mewakili, sekitar 3 bulan pertumbuhan dan pengumpulan spesimen
rambut tidak dapat dimanipulasi karena diawasi (Kadehjian, 2005, Dasgupta,
2010).
Obat yang terdapat dalam kapiler yang mendarahi folikel rambut masuk
ke batang rambut yang tumbuh dan menetap, selain itu bisa melalui keringat dan
sebum. Analisis rambut dilakukan dengan cara memotong segmen rambut pada
kulit kepala, umumnya pada rambut yang tumbuh sekitar tiga bulan. Spesimen
rambut dipotong dan dicuci untuk menghilangkan potensi kontaminasi eksternal,
kemudian dihaluskan. Larutan yang dihaluskan dapat diuji dengan immunoassay
dan GC-MS. Pemeriksaan spesimen rambut merupakan pemeriksaan alternatif
untuk kepentingan federal, dengan beberapa standar dan laboratorium yang
ditetapkan. Masalah pada pemeriksaan rambut adalah adanya kemungkinan
kontaminasi lingkungan dan bias hasil karena pengecatan, masih kontroversi
(Kadehjian, 2005).
4. Mekonium
Penyalahgunaan obat selama kehamilan merupakan masalah serius yang
berdampak signifikan terhadap kesehatan dan perkembangan neonatus.
Penyalahgunaan obat saat prenatal, pada neonatus dapat menyebabkan berat
badan lahir rendah, lahir prematur dan cacat. Obat yang ditemukan dalam
10
mekonium menunjukkan penyalahgunaan obat oleh ibu dan paparan terhadap
janin (Dasgupta , 2010).
Mekonium adalah buang air besar bayi pertamakali, berwarna hijau gelap
sampai hitam dan tidak berbau karena bakteri tidak ada di mekonium. Pembuatan
mekonium dimulai pada usia kehamilan 12 minggu. Sebagian besar obat yang
disalahgunakan oleh ibu dapat melewati plasenta secara difusi pasif
terkonsentrasi di mekonium (Dasgupta, 2010).
Pemeriksaan spesimen mekonium bersifat noninvasif dan relatif
sederhana. Analisis obat berguna untuk menilai paparan janin terhadap
penyalahgunaan obat selama kehamilan. Mekonium dikumpulkan dengan
mengikis isi popok yang kotor, dan 0,5 gram mekonium merupakan persyaratan
minimum untuk pemeriksaan penyalahgunaan obat. Konsentrasi metabolit
tertinggi pada mekonium dua hari pertama kelahiran. Ekstraksi obat dari
mekonium dapat diperoleh dengan menggunakan pelarut organik, ekstrak dapat
dikeringkan dan dilarutkan dengan bufer yang sesuai dan dianalisa dengan
immunoassay yang sesuai. Pemeriksaan dengan GC-MS dapat juga digunakan
untuk konfirmasi obat dalam mekonium (Dasgupta, 2010).
11
pemeriksaan narkotika dan psikotropika antara lain adalah Unit Pelaksana Teknis
Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional, Pusat Laboratorium
Forensik dan 7 Laboratorium Forensik Cabang, 4 Balai Besar Laboratorium
Kesehatan, Rumah Sakit Ketergantungan Obat, 22 Balai Laboratorium Kesehatan
dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, Pusat Pengujian Obat
dan Makanan Nasional-Badan Pengawas Obat dan Makanan, 19 Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan, serta 7 Balai Pengawas Obat dan Makanan.
Rujukan dilakukan jika (Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 923/Menkes/SK/X/2009 tentang petunjuk teknis laboratorium
pemeriksa narkotika dan psikotropika projustitia):
(1) Hasil pengujian skrining yang dilakukan oleh laboratorium penguji dinyatakan
positif mengandung narkotika dan atau psikotropika tetapi belum mempunyai
kapabilitas untuk melakukan konfirmasi.
(2) Hasil uji positif atau negatif, tetapi masih meragukan, karena adanya faktor-
faktor atau unsur-unsur tertentu.
(3) Laboratorium penguji memiliki prasarana yang dapat memberikan kepastian
struktur senyawa uji yang dilakukan, tetapi sedang rusak atau tidak berfungsi
dengan baik.
(4) Bila diperlukan dilakukan uji kolaborasi dari beberapa laboratorium untuk
menunjang hasil uji sebelumnya untuk keputusan terakhir.
12
Gambar 4. Alur Rujukkan Pengujian (PERMENKES no. 923, 2009)
C. ANALISIS KASUS
Sampel urine pasien laki-laki, usia 30 tahun untuk diperiksa ada/tidaknya
kandungan narkotika tanggal 1-6-2016 di laboratorium sentral RSUP dr. M.
Djamil Padang dengan hasil pemeriksaan positif untuk pemeriksaan amfetamin.
Pasien menolak hasil pemeriksaan setelah tiga hari dengan alasan pasien tidak
menggunakan narkotika dan sedang mengonsumsi obat batuk.
13
Pemeriksaan urine pada pasien menggunakan rapid test dengan
menggunakan metode immunoassay. Immunoassay merupakan pemeriksaan yang
paling sering digunakan untuk drug testing dengan sampel urine, karena mudah
dilakukan, jumlah sampel banyak dan memiliki konsentrasi obat yang tinggi,
namun harus diawasi karena mudah dimanipulasi (Kadehjian, 2005).
Pemeriksaan dengan immunoassay cepat, sangat sensitif, dan relatif
mahal tetapi kurang spesifik. Hasil positif palsu pemeriksaan urine dengan
immunoassay jarang terjadi, paling sering disebabkan oleh obat antiinflamasi
nonsteroid, fluoroquinolon, vicks inhaler, pseudoefedrin, dan ranitidin. Hasil
positif palsu memerlukan konfirmasi dengan tes yang lebih spesifik, dengan Gas
chromatography-mass spectrometry (GC-MS). Gas chromatography-mass
spectrometry (GC-MS) adalah tes yang lebih mahal dan memakan waktu, namun
merupakan standar emas untuk mengonfirmasi hasil positif pada immunoassay
(Vincent et al., 2006; Indrati, 2015; Kurniawan et al., 2015).
Hasil pemeriksaan yang positif pada pasien ini menandakan bahwa
zat/obat tersebut telah dikonsumsi dan termetabolisme dalam tubuh. Pemeriksaan
pendahuluan (skrining) merupakan pemeriksaan laboratorium sebagai upaya
penyaring untuk mengetahui ada/tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek
toksis atau efek gangguan kesehatan. Pemeriksaan skrining positif berarti suatu
obat/metabolitnya terdapat dalam urine sebanyak/lebih banyak dari batas deteksi
(Badan Naroktika Nasional dan Departemen Kesehatan, 2008), sehingga
dilakukan pemeriksaan konfirmasi untuk mengidentifikasi jenis obat secara
spesifik dan tidak dapat bereaksi silang dengan substansi lain (Indrati, 2015).
Pemeriksaan konfirmasi pada pasien ini tidak dapat dilakukan oleh karena
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
923/Menkes/SK/X/2009 tentang petunjuk teknis laboratorium pemeriksa
narkotika dan psikotropika projustitia, tidak ada mekanisme rujukan dari rumah
sakit pemerintah ke tingkat lebih lanjut untuk pemeriksaan konfirmasi, oleh
karena itu tidak ada tindak lanjut terhadap hasil pemeriksaan skrining positif pada
pasien, apakah memang terjadi penyalahgunaan obat amfetamin oleh pasien.
Pemeriksaan dengan spesimen lainnya dapat dilakukan mengingat pasien
menolak hasil pemeriksaan setelah tiga hari, dimana dalam urine amfetamin hanya
14
dapat ditemukan 24-72 jam setelah pemakaian obat yang jarang, sehingga
diperlukan sampel yang dapat digunakan untuk mendeteksi amfetamin dalam
rentang waktu yang lebih lama, spesimen rambut dapat digunakan apabila
diperlukan karena pada spesimen rambut dapat dideteksi pemakaian
penyalahgunaan obat sampai 3 bulan atau lebih.
Selain itu pemeriksaan metamfetamin dapat dianjurkan untuk pemeriksaan
skrining pasien karena metamfetamin lebih banyak dikeluarkan dalam urine.
Metamfetamin dikeluarkan dalam bentuk bebas 44%, dan metabolit mayornya
yaitu amfetamin 6%-20% dan 4-hidroksimetamfetamin 10%, sedangkan
amfetamin dikeluarkan dalam bentuk bebas di urine 20%-30%, sisanya dalam
bentuk asam hipurat, asam benzoat dan metabolit terhidroksilasi lainnya. Target
analisis pemeriksaan adalah zat amfetamin atau metamfetamin dalam bentuk
bebas.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
Roche, 2012,“ Detection of Drug Abuse and Misuse Using Biological Sample”.
Drug of Abuse Testing, Switzerland.
Stashenko E, Martinez J.R, 2014. “Gas Chromatography-Mass Spectrometry,
Chapter 1, Intech.
UNODC, 2014. “Guidelines for Testing Drugs Under International Control in
Hair, Sweat and Oral Fluid”, Laboratory and Scientific Section,Vienna.
Vincent E.C, Zebelman A, Goodwin C, 2006. “What Common Substances Can
Cause False Positives on Urine Screens for Drugs of Abuse?”, Family
Physicians Inquires Network, Vol.55. No.10
17