PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat
yang merupakan pandangan hidup ikut menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.Oleh
karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan
sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan
sebelumnya. Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan
menurut Al-Syaibany (Sadulloh, 2003: 37) adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah
falsafah dalam pendidikan.
Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan
menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi
dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.
Sehingga kita dapat katakan bahwa filsafat pendidikan itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari
dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat
filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat
filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus
dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga
menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian,
muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir,
berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Ajaran
filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli filsafatpendidikan tentang
sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah terdapat perbedaan di dalam
penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula,
walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh factor-faktor
lain seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran
manusia di suatu tempat. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut para ahli menyusunnya dalam
suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah
kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat pendidikan. MenurutEdward J.Power (Sadulloh,
2003: 98) aliran filsafat pendidikan terbagi menjadi Aliranidealisme, realisme, humanisme
religius-rasional, pragmatisme, eksistensialisme, merupakan pandangan dalam filsafat
pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan. Dalam makalah ini hanya
membahas mengenai aliran idealisme, aliran realisme, aliran materialisme dan aliran
pragmatisme.
Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan sebenarnya sudah berada dalam jiwa (mind)
kita, tetapi membutuhkan usaha untuk dibawa pada tingkat kesadaran kita melalui suatu proses
yang disebut intropoeksi. Jadi mengetahui adalah berfikir kembali tentang idea-idea terpendam
yang ada di dalam jiwa kita. (Sadulloh, 2003: 27) Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah
bahwa manusia menganggap ruh atau sukma lebih beharga dan lebih tinggi dibandingkan materi
bagi kehidupan manusia. Ruh merupakan hakikat yang sebenarnya, sementara benda atau materi
disebut sebagai penjelmaan dari ruh atau sukma (Akhmad, 2008: 1) Konsep aliran idealisme
berimplikasi terhadap konsep pendidikannya (Fajar, 2010: 1) yaitu:
Peranan Guru dan Siswa. Para filsuf Idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para
guru. Guru harus unggul (excellent) agar menjadi teladan bagi para siswanya, baik secara moral
maupun intelektual. Guru harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan
serta kemampuan-kemampuan para siswa; dan harus mendemonstrasikan keunggulan moral
dalam keyakinan dan tingkah lakunya. Guru harus juga melatih berpikir kreatif dalam
mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa untuk menemukan, menganalisis, memadukan,
mensintesa, dan menciptakan aplikasiaplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat.
Tokoh realisme adalah Aristoteles (384 – 332 SM). Pada dasarnya aliran ini
berpandangan bahwa hakekat realitas adalah fisik dan roh, jadi realitas adalah dualistik. Ada 3
golongan dalam realisme, yaitu realisme humanistik, realisme sosial, dan realisme yang bersifat
ilmiah. Realisme humanistik menghendaki pemberian pengetahuan yang luas, ketajaman
pengalaman, berfikir dan melatih ingatan. Realisme sosial berusaha mempersiapkan individu
untuk hidup bermasyarakat. Realisme yang bersifat ilmiah atau realisme ilmu menekankan pada
penyelidikan tentang alam. Francis Bacon (1561–1626) seorang tokoh realisme ilmu
berpandangan bahwa alam harus dikuasai oleh manusia. Pandangannya tentang manusia
ditentukan oleh kemampuan menggunakan pikirannya. (Sadulloh: 2003: 36)
Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran
ada sebagai suatu yang nyata dan penting untuk kita kenal dengan mempergunakan intelegensi.
Objek indra adalah real, yaitu benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda
itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Menurut
realisme hakikat kebenaran itu barada pada kenyataan alam ini, bukan pada ide atau jiwa.
Aliran realisme juga memiliki implikasi terhadap dunia pendidikan (Fajar, 2010: 1)sebagai
berikut:
Pendidikan yang didasari oleh realisme bertujuan agar peserta didik menjadi manusia bijaksana
secara intelektual yang dapat memiliki hubungan serasi dengan lingkungan fisik maupun
sosial. Implikasi pandangan realisme adalah sebagai berikut:
2. Kedudukan peserta didik ialah memperoleh intruksi dan harus menguasai pengetahuan.
Disiplin mental dan moral diperlukan dalam setiap jenjang pendidikan.
3. Peran guru adalah menguasai materi, memiliki keterampilan dalam pedagogi untuk
mencapai tujuan pendidikan.
5. Metode yang dilaksanakan didasari oleh keyakinan bahwa senua pembelajaran tergantung
pada pengalaman. Oleh karenanya pengalaman langsung dan bervariasi perlu dilaksanakan oleh
peserta didik. Metode penyampaian harus logis dan didukung oleh pengetahuan psikologis.
D. KONSEP MATERIALISME
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan
spiritual, atau supranatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan
materialism klasik, yang disebut juga “atomisme”.
Demokritos beserta pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian
kecil yang tidak dapat dbagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian
dari yang terkecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya. Menurut Randal dalam Sadulloh
(2003: 49) bahwa karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada
suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami
perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:
1. Semua sains seperti biologi, kimia, fisika, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya
ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat, jadi semua
sains merupakan cabang dari sans mekanika.
2. Apa yang dikatakan “jiwa” dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah
merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf, atau organ-organ jasmani
yang lainnya.
3. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan
kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyang.
Materialisme maupun positivisme pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara
eksplisit. Bahkan menurut Henderson (Agus, 2013: 1), Materialisme belum pernah menjadi
penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (Anjar,2011: 1)
filsafat positivisme sebagai cabang dari materialism lebih cenderung menganalisis hubungan
faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual. Memilih aliran
positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains pendidikan.
Pendidikan dalam hal ini proses belajar merupakan proses kondisionaisasi lingkungan. Hal ini
mengandung implikasi bahwa proses pendidikan (proses belajar) menekankan pentingnya
keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains serta perilaku
sosial sebagai hasil belajar (Fadliyanur, 2008: 1)
Manusia yang baik efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah.
2. Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab
hidup social dan pribadi yang kompleks
3. Kurikulum
Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal) dan organisasi selalu
berhubungan dengan sasaran perilaku.
4. Metode
5. Kedudukan Siswa
Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang.
Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut belajar.
6. Peranan Guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat
mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.
E. KONSEP PRAGMATISME
Pandangan ini dapat dianggap sebagai kreasi filsafat yang berasal dari amerika. Pragmatisme
dipengaruhi oleh pandangan empirisme, utilitarianisme dan positivisme. Para ahli yang
mendukung timbulnya pragmatisme di Amerika adalah Charles Sanders Piere (1839–1914) yang
mengembangkan kriteria pragmatisme yakni tidak menemukan kebenaran tetapi menemukan
arti/kegunaan. William James (Sadulloh, 2003: 53) memperkenalkan bahwa pengetahuan yang
bermanfaat adalah yang didasari oleh eksperimen (instrumentalisme). John Dewey (Sadulloh,
2003: 54) mengarahkan pragmatisme sebagai filsafat sistematis Amerika dengan
menyebarluaskan filsafat pada masyarakat amerika yang terdidik. Menurut Dewey misi filsafat
adalah Kritis, konstruktif dan rekonstruktif.
Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu
bekerja. Menurut James (Edwar, 2012: 1) kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide.
Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak.
Adapun implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Sadulloh: 2003: 56) adalah sebagai berikut:
2. Kurikulum dirancang dengan menggunakan pengalaman yang telah diuji namun dapat
diubah kalau diperlukan. Adapun minat dan kebutuhan peserta didik diperhitungkan dalam
penyusunan kurikulum.
3. Fungsi guru adalah mengarahkan pengalaman belajar perserta didik tanpa terlalu
mencampuri minat dan kebutuhannya.
Sedangkan implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Edwar, 2012: 1) adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan
2. Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a
self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan
masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman
yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut
akan berubah”
3. Metode Pendidikan
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap
apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya.
Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat
merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
KESIMPULAN
SUMBER:
Fajar, Kusuma. 2010. Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme dan
Implikasinya dalam Pendidikan Luar
Sekolah.http://fajarkusuma.student.umm.ac.id/2010/02/05/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-
idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah%C2%0plsataukses.
(diakases 13 Oktober 2015).