Anda di halaman 1dari 3

Salah satu contoh bentuk kerjasama ASEAN dibidang mobilitas sosial adalah

misal, pada tahun 2015, ribuan pengungsi etnis Rohingyabermigrasi atau melakukan
mobilitas sosial ke negara-negara tetangga diwilayah ASEAN, yaitu Malaysia,
Thailand, dan Indonesia dengan menggunakan perahu. Pengungsi ini dikenal sebagai
manusia perahu.

Krisis Imigran etnis Rohingya yang terjadi di Asia Tenggara merupakan isu serius
yang telah lama menjadi perhatian internasional. Penyebaran kedatangan etnis
Rohingyadikawasan Asia Tenggara ini, pada akhirnya berdampak pada stabilitas
keamanan regional serta kedaulatan negara-negara ASEAN, kerena etnis Rohingya
masuk ke perairan negara yang ditujunya secara ilegal dan tidak memiliki dokumen
resmi, sehingga dapat dikualifikasi sebagai imigran ilegal. Indonesia merupakan salah
satu bagian ASEAN yang terkena dampak permasalahan Myanmar.

Setelah terjadinya pergerakan manusia tidak teraturan di Laut Andaman pada


Mei 2015, ASEAN mengadakan kerjasama PutraJaya tentang Irregular Movement of
Persons di Asia Tenggara pada 20 Mei 2015 ini merupakan pertemuan pertama yang
diadakan oleh Menlu Indonesia, Malaysia dan Thailand. Pertemuan ini menghasilkan
pernyataan bersama komitmen Pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk
mengimplemntasikan melalui penyediaan asistensi kemanusiaan dan shelter sementara
selama satu tahun. Dalam jangka waktu satu tahun, ketiga negara menghimbau
komunitas internasional untuk berkontribusi dalam upaya repatriasi dan resettlement
penempatan baru tetap untuk pengungsi. Sebagai tindak lanjut pertemuan, Indonesia
telah memimpin pembahasan draf MoU antara Indonesia, Malaysia, IOM dan UNHCR
serta suatu work plan kerjasama penanganan imigran etnis Rohingya berdasarkan tujuh
pilar, yaitu SAR, shelter (penampungan sementara), dukungan logistik, repatriasi,
resettlement (penempatan baru tetap untuk pengungsi), kerja sama internasional dan
kejahatan lintas batas.

Dalam kebijakan ini, Indonesia telah menunjukan komitmen untuk melindungi para
migran melalui pengadaan shelter dan mengikuti prinsip non-refoulment(Asas non-
refoulement adalah asas larangan suatu negara untuk menolak atau mengusir pengungsi
ke negara asalnya atau ke suatu wilayah dimana pengungsi tersebut akan berhadapan
dengan hal-hal yang dapat mengancam serta membahayakan kehidupan maupun
kebebasannya) untuk tidak mengembalikan pengungsian ke negara asalnya sesuai
prinsip yang ada dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right).
Dalam hal ini Indonesia bukan merupakan negara pihak konvensi pengungsi 1951, akan
tetapi kebijakan yang dihasilkan dari Pertemuan Putrajaya ini menunjukan komitmen
Indonesia atas nilai-nilai kemanusiaan terhadap imigran etnis Rohingya yang datang ke
wilayah utara Pulau Sumatra.

Dalam kasus pengungsi etnis Rohingya, Indonesia dan para anggota ASEAN
lainnya memiliki andil dalam menyelamatkan dan memberikan tempat tinggal
sementara bagi para pengungsi ini. Dalam mengatasi hal tersebut para Anggota ASEAN
bekerjasama mengatasi hal ini dengan cara memberikan daerah pengungsian sementara
untuk penduduk tersebut dan para anggota ASEAN juga bekerjasama untuk
menghimbau negara-negara anggotanya untuk menerima sementara para manusia
perahu itu atas pertimbangan kemanusiaan.

Upaya Indonesia dalam penanganan krisis imigran etnis Rohingya tahun 2015 yaitu
melalui Diplomasi Bilateral yang bertujuan untuk menjaga kepentingan nasional yang
berlandaskan aspek kemanusiaan, sehingga dapat meminimalisir tindak diskriminasi
pemerintah Myanmar yang dilakukan pada etnis Rohingya. Sebagai negara yang terkena
dampak dari arus migrasi etnis Rohingya, Indonesia menyediakan asistensi
kemanusiaan dan shelter (tempat penampungan) sementara selama satu tahun. Dalam
jangka waktu satu tahun, Indonesia menghimbau komunitas internasional untuk
berkontribusi dalam upaya repatriasi(Repatriasi adalah kembalinya suatu warga negara
dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal
kewarganegaraannya).

Anda mungkin juga menyukai