MODUL 1
PENYEIMBANGAN LINI PERAKITAN
(ASSEMBLY LINE BALANCING)
I. Tujuan
1. Praktikan dapat merencanakan lintasan produksi yang efisien.
2. Praktikan mampu menganalisis keseimbangan lintasan produksi.
3. Praktikan dapat menentukan perhitungan waktu siklus, tingkat efisiensi dan efektivitas
dalam pengerjaan produk dalam suatu lintasan produksi.
Output:
1. Hasil desain lini perakitan yang seimbang, meliputi: jumlah stasiun kerja beserta elemen
kerjanya.
2. Grafik beban kerja setiap stasiun kerja.
V. Landasan Teori
A. Definisi Penyeimbangan Lini Perakitan (Assembly Line Balancing)
Line Balancing adalah penyeimbangan penugasan elemen-elemen tugas dari suatu assembly
line ke work stations untuk meminimumkan banyaknya work station dan meminimumkan total
harga idle time pada semua stasiun untuk tingkat output tertentu (Gaspersz, 2004). Dalam
penyeimbangan tugas ini, kebutuhan waktu per unit produk yang dispesifikasikan untuk setiap
tugas dan hubungan sekuensial harus dipertimbangkan.
Penyeimbangan lini perakitan merupakan salah satu proses perancangan suatu lini
perakitan yang seimbang dengan cara mengelompokkan sejumlah pekerja atau mesin untuk
melakukan beberapa tugas (elemen kerja) yang sifatnya sekuensial dalam merakit suatu produk
seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan demikian, arus produksi pada lini perakitan terkait
menjadi lancar dan memiliki utilitas fasilitas, tenaga kerja dan peralatan yang tinggi.
mendapatkan rasio delay / idle (menganggur) yang serendah mungkin dan dicapai suatu
efisiensi kerja yang tinggi di tiap stasiun kerja.
Terdapat dua masalah pokok dalam lini produksi, yaitu: penyeimbangan stasiun kerja
dan penyeimbangan lini perakitan agar dapat beroperasi secara kontinyu. Secara teknis, usaha
untuk memecahkan dua masalah pokok di atas adalah dengan mendistribusikan elemen kerja
ke setiap stasiun kerja dengan acuan waktu siklus/Cycle Time (CT). Apabila hal ini tercapai
secara sempurna, maka lini perakitan akan menjadi seimbang untuk setiap beban stasiun
kerjanya (yaitu selama CT) dan beroperasi secara kontinyu dengan laju sebesar CT.
Pengaturan (penempatan) pekerjaan pada SK di lintas perakitan tergantung pada:
1. Ukuran part yang dirakit
2. Presedence requirement
3. Luas lantai yang tersedia
4. Elemen kerja
5. Sifat pekerjaan yang dilakukan
1 b
atau
1 2 3
b. Zooning Constraint
Pengalokasian dari elemen-elemen kerja pada stasiun kerja juga dibatasi oleh zoning
constraint yang menghalangi atau mengharuskan pengelompokkan elemen kerja
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI 2
PRODI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
Dimana:
STi : waktu stasiun kerja ke-1
K : jumlah stasiun kerja
CT : waktu siklus
Dimana:
Timax : waktu stasiun kerja maksimum
Ti : waktu stasiun kerja ke – i
K : jumlah total stasiun kerja
BD merupakan rasio antar waktu idle dalam lini perakitan dengan waktu yang tersedia.
Penurunan balance delay (BD) suatu lini perakitan mengindikasikan bahwa lini perakitan
yang terbentuk memiliki keseimbangan yang lebih baik.
(𝐾×𝐶𝑇)− ∑𝑛
𝑖=1 𝑇𝑖
𝐵𝐷 = × 100% (1.4)
𝐾×𝐶𝑇
Dimana,
K : jumlah stasiun kerja
CT : waktu siklus
Ti : waktu elemen kerja
BD : balance delay (%)
𝑰𝑻 = 𝒏. 𝑾𝒔 − ∑𝒏𝒊=𝟏 𝑻𝒊 (1.5)
Dimana,
n : jumlah stasiun kerja
Ws : waktu stasiun kerja terbesar
Ti : waktu elemen kerja
Pendekatan ini melibatkan elemen-elemen yang memiliki tingkat keterkaitan yang sama
ke dalam sejumlah kolom / daerah. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut :
a. Buat precedence diagram dari persoalan yang dihadapi.
Setelah itu tentukan nilai line efficiency, balance delay, & smoothest index.
3 4 2 6
2 3 7 8
5 5 1 7
1 6 9 12
3 6 4 4
4 5 10 11
I II III IV V VI VII
Langkah 2 :
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI 2
PRODI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
Elemen Kerja Ti
1 5
2 3
3 4
4 3
5 6
6 5
7 2
8 6
9 1
10 4
11 4
12 7
N
• T
i =1
i = 50
7 ≤ CT ≤ 24
• Dalam kasus ini dipilih CT = 10. Pada Tabel 1.2 dihitung jumlah predecessor
untuk tiap-tiap elemen kerja. Jumlah stasiun kerja minimal adalah:
∑𝑛𝑖=1 𝑇𝑖 50
K= = =5
𝐶𝑇 10
Langkah 3:
• Tabel 1.2 menunjukkan jumlah elemen predecessors untuk setiap elemen kerja.
Tabel 1. 2 Susunan Predecessor Studi Kasus
Work Elemen i Number of Predecessors Ti
1 - 5
2 1 3
3 1,2 4
4 1 3
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI 2
PRODI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
• Tabel 1.3. berikut merupakan hasil penugasan elemen kerja ke stasiun kerja sesuai
Gambar 1.4.
Tabel 1. 3 Stasiun Kerja Sesuai Studi Kasus
Column Elemen i Ti Column Sum Cumulative Sum
I 1 5 5 5
II 2 3 6 11
4 3
III 3 4 10 21
5 6
IV 6 5 5 26
V 7 2 7 33
9 1
10 4
VI 8 6 10 43
11 4
VII 12 7 7 50
Selanjutnya dilakukan penugasan elemen kerja kembali dengan CT baru yang masih
dalam range 7 ≤ CT ≤ 24 sampai didapatkan nilai performansi yang lebih baik. Pada
studi kasus dikaukan percobaan dengan solusi 1 yaitu CT = 10, sesuai dengan grafik pada
gambar 5, pada solusi hasil sti (jumlah kumulatif waktu tiap stasiun kerja) lebih seimbang
(mendekati garis lurus) daripada hasil sti pada studi kasus.
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI 2
PRODI TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
Menit 8
6
4
2
0
Stasiun Kerja 1 2 3 4 5 6 7
Sti Sebelum 5 6 10 5 7 10 7
Sti setelah 8 9 9 7 10 7
III. Referensi
Bedworth, D., 1982, Integrated Production Control System, John Willey and Sons Inc., New
York.
Gaspersz, V. (2004). Production Planning and Inventory Control, Cetakan Keempat. Jakarta:
Gramedia.
Riggs., J.L., 1987, Production Systems: Planning, Analysis, and Control, 4th Edition, John
Wiley & Sons, Canada.
Sule, D.R., 2007, Production Planning and Industrial Scheduling, 2nd Edition, CRC Press
Taylor & Francais Group, United States of America.