Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan

tertentu (UU No. 20 Tahun 2003; PP Nomor 19 Tahun 2005). Tujuan pendidikan

yang ingin dicapai menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang

demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kurikulum sebagai implementasi dari

rencana pendidikan jangka panjang selalu mengalami perkembangan agar sesuai

dengan tuntutan zaman. Saat ini, kurikulum pendidikan Indonesia menerapkan

Kurikulum 2013. Mohammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

RI 2009-2014, menyatakan bahwa Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis

kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera

mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.

Dalam Permendikbud no 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses disebutkan

bahwa sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan,

dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah

1
2

kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang

berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai,

menghayati, dan mengamalkan. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas

mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.

Keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba,

menalar, menyaji, dan mencipta.

Dalam penerapannya, kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran

berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning), pembelajaran

berbasiskan masalah (problem based learning), dan Project Based Learning

dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach). Pembelajaran-

pembelajaran tersebut berasal dari teori konstruktivisme. Menurut Pali dalam

Iskandar (2015), bahwasanya bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah

kegiatan memindahkan pengetahuan dari pengajar ke pebelajar, melainkan suatu

penciptaan suasana yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri

pengetahuannya. Artinya, dengan menjadikan peserta didik sebagai pusat

pembelajaran dan pendidik sebagai fasilitator.

Saat peserta didik menjadi pusat pembelajaran, diharapkan peserta didik

lebih aktif dalam pembelajaran, menemukan permasalahan dan menggunakan

pengetahuannya untuk memecahkan permasalahan yang timbul di kehidupan

sehari-hari. Sedangkan pendidik menjadi penengah jika dalam proses

pembelajaran tersebut ditemukan permasalahan yang sama sekali tidak bisa

dipecahkan oleh peserta didik dan memberikan penguatan materi agar konsep dari

materi tersebut tidak bias di pikiran peserta didik. Sehingga, kompetensi sikap,

pengetahuan, dan keterampilan mampu berkembang secara seimbang.


3

Hal tersebut tentu berbeda dengan pembelajaran langsung dan

pembelajaran konvensional dimana pendidik menjadi pusat pembelajaran dan

peserta didik bertugas mendengar, mencatat, dan menghafal materi yang

disampaikan oleh pendidik. Pembelajaran konvensional biasanya menggunakan

metode ceramah sebagai andalan. Apalagi, pendidik cenderung otoriter saat

menggunakan metode ceramah. Hal ini cenderung membuat suasana menjadi

monoton, kaku, dan membosankan, sehingga peserta didik kurang aktif dan tidak

bersemangat bahkan mengalami phobia pada mata pelajaran tersebut. Hal tersebut

pula menyebabkan peserta didik kurang memahami konsep-konsep pada mata

pelajaran khususnya pada mata pelajaran matematika.

Kemampuan pemahaman konsep matematika biasanya dipengaruhi oleh

pengalaman belajar yang didapat peserta didik sebelumnya. Menurut Russefendi

dalam Setiani (2013), pada bagian yang paling sederhana banyak konsep yang

dipahami secara keliru sehingga matematika dianggap sebagai ilmu yang sulit.

Hal tersebut disebabkan oleh pembelajaran matematika peserta didik hanya

disuapi oleh materi-materi yang sudah ada dan hanya belajar dari contoh soal

yang ada. Akibat proses pembelajaran yang membosankan, konsep yang sulit, dan

faktor tekanan yang lain, peserta didik memiliki kecemasan yang luar biasa

terhadap mata pelajaran matematika. Kecemasan yang luar biasa akan

menimbulkan trauma yang akhirnya peserta didik mengalami phobia terhadap

matematika.

Phobia matematika banyak dialami oleh peserta didik yang memiliki

pengalaman buruk ketika mengikuti proses pembelajaran matematika. Misalkan

ketika pendidik memberikan tes yang dianggap terlalu sulit bagi peserta didik.
4

Pandangan pendidik ketika mengkonstruksi tes, seluruh butir soal telah mewakili

indikator yang ingin dicapai, hanya saja tingkat kesulitan soal ditingkatkan dengan

tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta didik untuk mengaitkan

konsep-konsep yang sudah diajarkan sebelumnya. Sedangkan peserta didik

menganggap bahwa soal yang sedang mereka kerjakan terlalu sulit terutama bagi

peserta didik yang memiliki pemahaman konsep matematika yang rendah. Bahkan

ketika hasil tes tersebut dibagikan, hanya peserta didik yang memiliki memahami

konsep matematika dengan baik mampu meraih skor yang baik pula. Sedangkan

bagi peserta didik yang memiliki pemahaman konsep matematika sedang dan

rendah meraih skor dibawah rata-rata yang telah ditetapkan.

Ketika hal itu terjadi, peserta didik yang memiliki pemahaman konsep

matematika sedang dan rendah meraih skor dibawah rata-rata dapat mengalami

fase traumatik. Bagi peserta didik yang mengalami fase traumatik pada pelajaran

matematika namun memiliki motivasi dan konsep diri yang tinggi, mereka akan

bisa melewati fase traumatik dan terhindar dari phobia matematika. Namun, bagi

peserta didik yang mengalami fase traumatik dan memiliki motivasi dan konsep

diri yang rendah, mereka akan tetap berada pada fase traumatik dan membuat

suatu “benteng pertahanan diri” agar sebisa mungkin menghindar dari pelajaran

matematika. Saat dalam fase traumatik, peserta didik akan malas mengikuti

peserta didik dan kehilangan motivasi ketika mengikuti pelajaran matematika. Hal

ini diperparah oleh pendidik yang tidak memberikan kesempatan kepada peserta

didik untuk bertanya dan pembelajaran tetap berpusat pada pendidik. Implikasi

dari hal tersebut adalah pemahaman peserta didik terhadap konsep matematika

tidak akan berkembang dan peserta didik akan semakin membenci pelajaran
5

matematika. Jika banyak pendidik mata pelajaran matematika yang bersikap

demikian, maka akan banyak peserta didik yang membenci mata pelajaran

matematika dan kecenderungan peserta didik mengalami phobia matematika akan

semakin banyak.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di SMA Negeri 2

Denpasar, diperoleh informasi dari guru mata pelajaran matematika bahwa model

pembelajaran yang digunakan, khususnya pada Kelas X MIPA masih

menggunakan model pembelajaran konvensional dimana metode ceramah dan

tanya jawab masih menjadi andalan. Hal itu terbukti ketika penulis mengikuti

proses belajar mengajar di seluruh kelas X MIPA SMA Negeri 2 Denpasar untuk

mata pelajaran matematika. Guru menyuruh peserta didik membaca materi selama

beberapa menit. Kemudian menunjuk seorang peserta didik untuk membaca dan

baru guru memberi penguatan terhadap materi yang diajarkan. Proses tersebut

terus diulang-ulang sehingga suasana yang tercipta cenderung kaku dan

pembelajaran terpusat pada guru. Ditambah guru cenderung otoriter dalam

mengontrol keadaan kelas. Dampak dari suasana yang kaku adalah peserta didik

menjadi jenuh dan bosan saat mendengarkan penjelasan materi. Peserta didik

menjadi malas mendengarkan dan bertanya kepada guru sehingga berpengaruh

pada kemampuan pemahaman konsep dan tentu menimbulkan trauma kepada

peserta didik. Akhirnya, peserta didik menjadi phobia terhadap mata pelajaran

matematika.

Untuk mengatasi hal tersebut, pendidik perlu merancang suatu model

pembelajaran yang memungkinkan peserta didik lebih aktif dan ingin mencari

pengetahuannya sendiri dan membuat suasana belajar tidak kaku. Salah satunya
6

dengan menerapkan model pembelajaran problem posing tipe within solution

posing yang merupakan model pembelajaran dimana peserta didik mengajukan

masalah dari soal yang sedang diselesaikan, kemudian diupayakan untuk dicari

pemecahannya baik secara individu maupun secara kelompok. Silver dan Cai

dalam Mahmudi (2008) menjelaskan dalam klasifikasi tiga aktivitas koginitif

dalam pembuatan soal, within solution posing adalah pembuatan atau formulasi

soal yang sedang diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai

penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan

soal demikian akan mendukung penyelesaian soal semula

Berdasarkan paparan tersebut, sangat menarik dilakukan kajian melalui

penelitian agar pemahaman konsep peserta didik meningkat dan phobia peserta

didik terhadap matematika menurun. Penelitian ini akan menerapkan model

pembelajaran problem posing tipe within solution posing. Model pembelajaran ini

diharapkan memberikan pemahaman pada peserta didik bahwa selain melalui

pembelajaran dengan masalah, peserta didik bisa memahami konsep melalui

pembelajaran pembuatan soal dan mengurangi trauma terhadap mata pelajaran

matematika. Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh

Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Within Solution Posing Terhadap

Kemampuan Pemahaman Konsep dan Phobia Matematika”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya

sebagai berikut:
7

1. Apakah ada pengaruh model pembelajaran problem posing tipe within

solution posing terhadap kemampuan pemahaman konsep matematika

peserta didik?

2. Apakah ada pengaruh model pembelajaran problem posing tipe within

solution posing terhadap phobia matematika peserta didik?

3. Apakah ada pengaruh model pembelajaran problem posing tipe within

solution posing terhadap kemampuan pemahaman konsep dan phobia

matematika peserta didik secara simultan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan

penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem posing tipe

within solution posing terhadap kemampuan pemahaman konsep

matematika peserta didik.

2. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem posing tipe

within solution posing terhadap phobia matematika peserta didik.

3. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem posing tipe

within solution posing terhadap kemampuan pemahaman konsep dan

phobia matematika peserta didik secara simultan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian tentunya memiliki sebuah tujuan yang akan dicapai yaitu sebuah

kebenaran yang dirasa berguna dan bermanfaat baik dalam teoretis maupun secara

praktis.
8

1. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi buah pikiran bagi guru

sebagai pelaksana proses pembelajaran sehingga strategi dan langkah

proses pembelajaran menjadi lebih efektif, efisien dan menyenangkan

khususnya dalam pembelajaran matematika.

2. Secara Praktis

a. Penelitian bagi peserta didik tentang pengaruh kemampuan

pemahaman konsep dan phobia matematika melalui model

pembelajaran problem posing tipe within solution posing, diharapkan

peserta didik dapat mengurangi phobia khususnya terhadap

matematika, sehingga kemampuan pemahaman konsep peserta didik

meningkat dan berimbas pada meningkatnya prestasi belajar peserta

didik dan mutu pendidikan juga ikut meningkat.

b. Bagi guru, penelitian ini dapat dijadikan sebuah alternatif

pembelajaran dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM).

c. Bagi pihak sekolah dapat memberikan fasilitas yang ada, agar guru-

guru dapat lebih kreatif dalam mengembangkan model pembelajaran

mata pelajaran matematika.

d. Sedangkan bagi peneliti dan lembaga IKIP PGRI Bali khususnya

Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

penelitian ini diharapkan menambah wawasan terkait dengan

penggunaan model pembelajaran matematika.

Anda mungkin juga menyukai