Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut
terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Definisi asma menurut Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI pada tahun
2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada
pasien dan/atau keluarganya.2

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor genetik dan
faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi: hiperreaktivitas, atopi/alergi bronkus, faktor yang
memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, ras/etnik. Faktor lingkungan meliputi: alergen
didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur), alergen di luar ruangan
(alternaria, tepung sari), makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur), obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,
beta-blocker dll), bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll), ekspresi
emosi berlebih, asap rokok dari perokok aktif dan pasif, polusi udara di luar dan di dalam
ruangan, exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas
tertentu, dan perubahan cuaca.3,4

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2003,
prevalensi  serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak dan pada
dewasa > 18 tahun, 38 per 1000. Jumlah perempuan  yang mengalami serangan lebih banyak
daripada laki-laki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.

1
Sedangkan  berdasarkan laporan NCHS pada tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma
atau 1,6 per 100  ribu populasi.5
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika
Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta
anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak
di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi
Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1
juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164
kematian anak akibat asma pada tahun 1998.4

2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Berbagai
sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel
epitel. Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain, alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe
cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.4
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Degranulasi sel mast mengeluarkan
histamin dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi. Reaksi fase lambat pada asma timbul sekitar 6-9
jam setelah fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil,
netrofil, dan makrofag.4
Pada remodeling saluran pernapasan, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Berbagai sel terlibat dalam
proses remodeling seperti sel-sel inflamasi, matriks ekstraseluler, membran retikular basal,
fibrogenic growth factor, pembuluh darah, otot polos dan kelenjar mukus. Perubahan struktur
yang terjadi pada proses remodeling yaitu: hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas,
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular basal, pembuluh
darah meningkat, peningkatan fungsi matriks ekstraselular, perubahan struktur parenkim, dan
peningkatan fibrogenic growth factor. Dengan adanya airway remodeling, terjadi
peningkatan tanda dan gejala asma seperti hipereaktivitas jalan napas, distensibilitas dan
obstruksi jalan napas.4

2
Gambar 1. Patogenesis Asma

2.5 Patofisiologi Asma


2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang dipicu oleh
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi. Akibatnya terjadi hiperplasia kronik
dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Selain itu,
dapat pula terjadi hipersekresi mukus dan pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.6

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian
histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced

3
Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat
dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease
(COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti
histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.6
2.5.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini
disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot
polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat
bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos
dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.6
2.5.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran
nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma
kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.6

2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien.2,7
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya
umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak
yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi
paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan
dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:8
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

4
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

2.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas
dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih
lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah
berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.8
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik
di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan
sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan
peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda
atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.8
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik
saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding bronkus dan
konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya
gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat
serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih
menonjol.8

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis
gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat
dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan
penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada
pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai
normal.8
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada
pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan

5
histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive
dapat ditegakkan.8

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak 7,8


Parameter klinis Asma episodik Asma episodik Asma persisten
Kebutuhan obat, jarang sering (asma berat)
dan faal paru (asma ringan) (asma sedang)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang
tahun, tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis ≥400 ụg/hari
100-200 ụg
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan0 Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal ≥20% ≥30% ≥50%
paru
(bila ada serangan)

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma8

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat


Fungsi paru,
Laboratorium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis keras Tangis pendek Tidak mau
& lemah minum /
Kesulitan makan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat

6
hanya pada Sepanjang nyaring,
akhir ekspirasi Terdengar
ekspirasi ± inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya
Bantu respiratorik
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam,
Retraksi ditambah ditambah
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak
sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada


<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg
PEFR atau FEV1 (% Nilai Nilai terbaik)
Prabronkodilator dugaan/ 40-60% <40%
Pascabronkodilator >60% 60-80% <60%
>80% Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka
panjang.8 Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus
tujuan yang ingin dicapai adalah:7
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan
berolah raga,
2. sedikit mungkin angka absensi sekolah,
3. gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu),

7
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada
PEF,
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak
ada serangan,
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak,
Tujuan tatalaksana saat serangan:2
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat
pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila tujuan telah
tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan – pelan (step
down). Berikut ini adalah syarat step up dan step down:7,8
Syarat Step Up Syarat Step down
pengendalian lingkungan dan hal-hal yang Pengendalian lingkungan harus tetap baik
memberatkan asma sudah dilakukan
pemberian obat sudah tepat susunan dan Asma sudah terkendali selama 3 bulan
caranya berturut-turut
tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3
minggu bulannya sampai dengan dosis terkecil yang
masih dapat mengendalikan asmanya.
efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya
tidak ada dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat
diturunkan bersama dengan penambahan
LABA dan atau LTRA

2.7.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat

8
ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai
6 – 8 minggu.9

Obat – obat Pereda (Reliever)


1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12). Dengan pemberian short acting
β2 agonist, diharapkan terjadi relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol,
fenoterol, terbutalin.9
Dosis salbutamol:
 Oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit,
atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
 Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin:
 Oral: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai
dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi)
memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat: MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi.9

9
 Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap
15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
 Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan antikolinergik(12). Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus
dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan
dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV
inisial bergantung kepada usia : 1–6 bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 6–11 bulan: 1 mg/kgBB/Jam;
1–9 tahun: 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.9

2. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan
pada terapi asma jangka panjang pada anak.9

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial inhalasi β2
agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma tetap
terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler; (3)
serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid
sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek

10
maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone,
prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari
selama 3 – 5 kali sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB
setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis
dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.9

Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik yaitu:
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, kromolin, dan
long acting oral β2-agonist.1,10
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan
mulut.1,10
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane. Selain itu LTRA mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor dan dapat mencegah early asma reaction dan late asthma reaction. LTRA
dapat diberikan per oral, penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati. Preparat
LTRA yaitu montelukas dan zafirlukas. Preparat yang tersedia di Indonesia hanya zafirlukas.
Zafirlukas digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.1,10
3. Long acting β2 Agonist (LABA)

11
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV 1 pagi dan
sore, penggunaan steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.1,10
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi
teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Terapi dimulai pada
dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.1,10

2.7.2 Terapi Suportif


Bentuk terapi suportif yang dapat diberikan antara lain terapi oksigen dan terapi
cairan. Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui nasal kanul ataupun
masker. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse
oxymetry (nilai normal > 95%).9
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan
cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian
cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik
Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif
tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan maintenance.9

4.7.2. Cara Pemberian Obat7

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)

12
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik.
Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk
ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global


Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
2. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
3. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
4. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.
5. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
6. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI ; 2008. h.98-104.
7. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen Kasus
Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta : Yapnas
Suddharprana; 2007.h. 97-106.
8. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil K,
dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI; 2005.
9. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
10. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

14

Anda mungkin juga menyukai