Anda di halaman 1dari 14

PENGADAAN OBAT PUBLIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Manajemen Sistem


Pelayanan Dalam Bisnis Farmasi

Seravina Miranda Losong (178114133)


Kelas A

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2021
1. Pendahuluan

Kesehatan merupakan salah satu hak yang paling dasar


manusia di Indonesia yang diakui negara dan dituangkn dalam
konstitusi UUD 1945. Sebagai perwujudan dari perlindungan atas hak
dasar tersebut, Negara bertanggung jawab atas penyedian fasilitas
layanan kesehatan yang layak termasuk ketersediaan obat.

Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh konstitusi tersebut


dituangkan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan. Pada Pasal 36 UU disebutkan bahwa Pemerintah2
menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan
kesehatan terutama obat esensial. Ketersediaan perbekalan
kesehatan ini dilakukan melalui kegiatan pengadaan alat kesehatan
dan obat-obatan.

Pengadaan obat secara elektronik merupakan pengadaan


barang/jasa yang dilakukan dengan menggunakan teknologi informasu
dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan PERPU. Dengan
kemajuan teknologi informasi justru mempermudah dan mempercepat
proses pengadaan barang/jasa, karena penyedia barang/jasa tidak
harus datang ke Kantor Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan
(Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti proses
pelelangan, tetapi cukup melakukannya melalui online pada website
pelelangan elektronik (Kemenkes, 2014).

Pelaksanaan pengadaan obat secara elektronik memiliki tujuan


penting, diantaranya:
a) Meningkatkan transparansi atau keterbukaan dalam proses
pengadaan barang/jasa
b) Meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka
penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaran
pemerintah pemerintah yang baik
c) Meningkatkan efektifitas dan efiesiensi dalam pengelolaan
proses pengadaan barang/jasa.
(Kemenkes, 2014)

Namun, sebagai warga negara yang kritis tentu kita juga ingin
mengetahui bagaimana pengadaan obat yang hendak digunakan
masyarakat? Kasus terkait korupsi dalam pengadaan alat kesehatan
dan bidang kesehatan lainnya kerap terjadi. Bagaimana sampai kasus
tersebut terjadi walaupun negara kita sudah dilengkapi dengan
keamanan yang ketat? Pihak mana saja yang bertanggung jawab
terkait pengadaan obat public? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
berikut dipaparkan terkait pengadaan obat publik berdasarkan
beberapa sumber terpercaya.

2. Pengadaan obat publik

a. Pengertian Obat Publik


Obat publik adalah obat yang digunakan untuk pelayanan
kesehatan dasar. Contoh obat public adalah kloramfenikol,
antasida, dan kodein (Direktorat Bina Obat dan Perbekalan
Kesehatan, 2005).
b. Peran apoteker dalam pengadaan obat Publik
Peran apoteker menurut Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun
2009 adalah melakukan pengadaan, produksi, distribusi, dan
pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2009b). Apoteker memiliki peran dalam fungsi pengadaan yakni
mengelola pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk
menunjang pelayanan kefarmasian hingga ke Instalasi farmasi
ataupun puskesmas seluruh Indonesia. Tugas yang diemban ini
penting dipahami agar mengetahui alur pengadaan obat hingga
sampai ke masyarakat dalam keadaan bermutu baik dan aman.
c. Katalog Elektronik dalam Pengadaan Obat Publik

Menurut Permenkes RI No 63. Tahun 2014, Katalog


elektronik (E-Catalogue) adalah Sistem informasi elektronik yang
berisi daftar, jenis, spesifikasi teknis, dan harga barang tertentu
dari berbagai penyedia barang ataupun jasa pemerintah.

Pengaturan perencanaan dan pengadaan obat berdasarkan


Katalog Elektronik bertujuan untuk menjamin transparansi,
efektivitas dan efisiensi proses perencanaan dan pengadaan obat
melalui E-purchasing berdasarkan katalog elektronik yang
dilaksanakan oleh institusi pemerintah dan institusi swasta. Institusi
pemerintah yang dimaksudkan adalah:

a) Satuan kerja bidang kesehatan di pemerintah;


b) Dinas kesehatan pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota;
c) FKTP milik pemerintah dengan pola pengelolaan keuangan;
badan layanan umum
d) FKRTL milik pemerintah.

Sedangkan institusi swasta yang dimaksudkan adalah:

1) FKRTIL milik swasta yang bekerja sama dengan BPJS


Kesehatan;
2) FKTP milik swasta yang bekerja sama dengan BPJS
kesehatan; dan
3) Apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk
PRB.
(Kemenkes,2019)
d. Perencanaan Obat
Setiap institusi pemerintah dan institusi swasta wajib
menyampaikan RKO kepada Menteri. Terkait penyampaian RKO
dilaksanakan paling lambat bulan April pada tahun sebelumnya
dengan menggunakan E-Monev obat (Kemenkes, 2014).
e. Pengadaan Obat
Pengadaan obat oleh institusi pemerintah dan institusi swasta
dilakukan untuk program Jaminan Kesehatan dilakukan melalui E-
Purchasing berdasarkan katalog elektronik. Untuk FKTP milik
swasta dan apotek yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan
hanya bisa melakukan pengadaan obat PRB. Industri farmasi wajib
memenuhi pesanan obat dari institusi pemerintah dan institusi
swasta yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan (Kemenkes,
2019).
Berikut tahapan yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Unit
Layanan Pengadaan (Pokja ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan
Kerja berdasarkan perintah dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Satuan Kerja di bidang kesehatan baik pusat maupun Daerah an
FKTP atau FKTRL, diantaranya:
1. Rencana kebutuhan obat disampaikan Satuan Kerja di
bidang kesehatan baik pusat maupun daerah dan FKTP
atau FKRTL kepada PPK.
2. PPK akan melihat Katalog Elektronik obat dalam Portal
Pengadaan Nasional yang berisi nama provinsi, nama
obat, nama penyedia, kemasan, harga satuan terkecil,
distributor dan kontrak payung penyediaan obat.
3. PPK menetapkan Daftar Pengadaan Obat sesuai
kebutuhan dan ketersediaan anggaran yang terdiri atas:
 Daftar Pengadaan Obat berdasarkan Katalog
Elektronik (E-Catalogue) obat sebagaimana contoh
Formulir dibawah, yaitu daftar kebutuhan obat yang
tercantum dalam sistem Katalog Elektronik (E-
Catalogue) obat yang ditayangkan di Portal
Pengadaan Nasional.

Formulir 2 (Kemenkes, 2014)

 Daftar Pengadaan Obat di luar Katalog Elektronik


(E-Catalogue) obat sebagaimana contoh Formulir
dibawah, yaitu daftar kebutuhan obat yang tidak
terdapat dalam Katalog Elektronik (E-Catalogue)
obat.
Formulir 3. (Kemenkes, 2014)

Kedua Daftar Pengadaan Obat tersebut harus ditandatangani


oleh PPK.

4. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan Katalog Elektronik


obat sebagaimana contoh Formulir 2 yang sudah
ditandatangani selanjutnya diteruskan oleh PPK kepada
Pokja ULP/Pejabat Pengadaan untuk diadakan dengan
metode E– Purchasing
5. Daftar Pengadaan Obat di luar Katalog Elektronik (E-
Catalogue) obat sebagaimana contoh Formulir 3
selanjutnya diteruskan oleh PPK kepada Pokja
ULP/Pejabat Pengadaan untuk diadakan dengan metode
lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
Sedangkan pengadaan obat dengan prosedur E-Purchasing
tentunya berbeda. Pembelian obat secara eletronik berdasarkan
sistem Katalog Elektronik dilaksanakan oleh PPK dan Pokja ULP
atau Pejabat Pengadaan melalui aplikasi E-Purchasing pada
website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Untuk
dapat menggunakan aplikasi E-Purchasing, PPK dan Pokja ULP
atau Pejabat Pengadaan harus memiliki kode akses (user ID dan
password) dengan cara melakukan pendaftaran sebagai pengguna
kepada LPSE setempat.

Tahapan yang dilakukan dalam pengadaan obat melalui E-


Purchasing adalah sebagai berikut:

1. Pejabat pengadaan membuat paket pembelian obat


melalui aplikasi E-Purchasing berdasarkan Daftar
Pengadaan Obat seperti yang dipaparkan pada formulir
2 yang diserahkan oleh PPK. Paket pembelian obat
dikelompokkan berdasarkan penyedia.
2. Kemudian pejabat pengadaan mengirimkan permintaan
pembelian obat kepada penyedia obat/Industri Farmasi
yang termasuk dalam kelompok paket pengadaan
3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima
permintaan pembelian obat melalui E-Purchasing dari
Pokja ULP/Pejabat Pengadaan memberikan persetujuan
atas permintaan pembelian obat dan menunjuk
distributor/PBF. Apabila menyetujui, penyedia
obat/Industri Farmasi menyampaikan permintaan
pembelian kepada distributor/PBF untuk ditindaklanjuti.
Apabila menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus
menyampaikan alasan penolakan.
4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian
diteruskan oleh Pokja ULP/Pejabat Pengadaan kepada
PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal permintaan
pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia
obat/Industri Farmasi, maka ULP melakukan metode
pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual beli
terhadap obat yang telah disetujui dengan
distributor/PBF yang ditunjuk oleh penyedia obat/Industri
Farmasi.
6. Distributor/PBF kemudian melaksanakan penyediaan
obat sesuai dengan isi perjanjian/kontrak jual beli
7. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat
serta melengkapi riwayat pembayaran dengan cara
mengunggah (upload) pada aplikasi E-Purchasing.
8. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau
tidak dipenuhi oleh penyedia obat/Industri Farmasi
kepada Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) c.q Direktur
Pengembangan Sistem Katalog, tembusan kepada
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
c.q Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
paling lambat 5 (lima) hari kerja menggunakan
sebagaimana contoh berikut:
Formulir 4 (Kemenkes, 2014)

Berdasarkan Katalog Elektronik, pengadaan obat dapat


dilakukan secara manual dalam beberapa hal, diantaranya:
a. Adanya kendala operasional dalam aplikasi pengadaan obat
melalui E-purchasing berdasarkan katalog elektronik.
b. Institusi swasta yang telah menyampaikan RKO melalui E-
Monev obat belum mendapatkan akun E-purchasing.

Pengadaan obat secara manual dilakukan secara langsung


pada industry farmasi yang tercantum pada Katalog Elektronik.
Apabila terjadi kegagalan pengadaan obat dengan katalog
elektronik berpotensi menyebabkan kekosongan obat, maka
institusi pemerintah dan institusi swasta dapat mengadakan obat
dengan zat aktif yang sama sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Kegagalan yang dimaksudkan dapat disebabkan karena


industri farmasi tidak dapat memenuhi surat pesanan dari institusi
pemerintah dan institusi swasta. Kegagalan pengadaan obat yang
terjadi harus dibuktikan dengan pernyataan dari industry farmasi.

Berikut merupakan tahapan yang dilakukan dalam


pengadaan obat secara manual:

1. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian


obat berdasarkan Daftar Pengadaan Obat Berdasarkan
Katalog Elektronik (E-Catalogue) (Formulir 2) yang
diberikan oleh PPK. Paket pembelian obat dikelompokkan
berdasarkan penyedia yang tercantum pada Katalog
Elektronik (E-Catalogue).
2. Pokja ULP/Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan
permintaan pembelian obat kepada penyedia obat/Industri
Farmasi yang terdaftar pada Katalog Elektronik (E-
Catalogue).
3. Penyedia obat/Industri Farmasi yang telah menerima
permintaan pembelian obat dari Pokja ULP/Pejabat
Pengadaan memberikan persetujuan atas permintaan
pembelian obat dan menunjuk distributor/PBF. Apabila
menolak, penyedia obat/Industri Farmasi harus
menyampaikan alasan penolakan.
4. Persetujuan penyedia obat/Industri Farmasi kemudian
diteruskan oleh Pokja ULP/Pejabat Pengadaan kepada
PPK untuk ditindaklanjuti. Dalam hal permintaan
pembelian obat mengalami penolakan dari penyedia
obat/Industri Farmasi, maka ULP melakukan metode
pengadaan lainnya sesuai Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/kontrak jual-beli
terhadap obat yang telah disetujui dengan distributor yang
ditunjuk oleh penyedia obat/Industri Farmasi.
6. Distributor melaksanakan penyediaan obat sesuai dengan
isi perjanjian/kontrak jual-beli.
(Kemenkes, 2014)
f. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi perencanaan dan pengadaan obat
berdasarkan Katalog Elektronik dilakukan secara elektronik melalui
E-Monev Obat yang dimana pemantauan dilakukan terhadap RKO
yang disampaikan institusi pemerintah dan institusi swasta. Data-
data yang dimaksud adalah:
1) Realisasi pemenuhan pesanan obat;
2) Realisasi pendistribusian obat;
3) Realisasi penerimaan obat;
4) Realisasi pembayaran obat.
(Kemenkes, 2019).

Sedangkan data realisasi pemenuhan pesanan obat meliputi


jenis dan jumlah obat serta waktu persetujuan pemenuhan
pesanan obat dari industry farmasu yang tercantum dalam katalog
elektronik kepada institusi pemerintah dan institusi swasta.

Untuk data realisasi pendistribusian obat meliputi jenis dan


jumlah obat serta waktu pendistribusian obat dari industri farmasi
dan pedagang besar farmasi yang tercantum dalam katalog
elektronik kepada institusi pemerintah dan institusi swasta.
Data realisasi penerimaan obat meliputi jenis dan jumlah
obat serta waktu penerimaan obat di institusi pemerintah dan
institusi swasta. Sedangkan data realisasi pembayaran meliputi
jumlah yang dibayarkan dan waktu pembayaran oleh institusi
pemerintah dan institusi swasta.

(Kemenkes, 2019).

g. Pembinaan dan Pengawasan


Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri,
gubernur dan bupati/wali kota sesuai dengan tugas dan
kewenangan masing-masing. Bagi institusi baik pemerintah
maupun swasta yang tidak menyampaikan RKO akan dikenakan
sanksi berupa penghentian sementara transaksi E-purchasing
dengan menonaktifkan akun E-Purchasing. Pengaktifan kembali
akan dilakukan oleh institusi pemerintah dan swasta apabila sudah
disampaikan RKO tahun berjalan oleh pihak tersebut. Apabila kerja
sama antara institusi pemerintah dan swasta dengan BPJS
kesehatan berakhir makan akan dilakukan penutupan akun E-
purchasing (Kemenkes,2019).

3. Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan
Pelaksanaan pengadaan obat publik dapat dilakukan secara
manual maupun melalui website. Dengan kemajuan teknoloogi,
aktivitas pengadaan obat dipermudah dengan menggunakan
katalog elektronik. Namun, apabila pelaksanan secara online
terhambat maka bisa dilaksanakan dengan alternatif secara
manual.
b. Saran
Sebagai apoteker penting untuk mengetahui dan memahami alur
pengadaan obat hingga sampai ke masyarakat. Barang ataupun
jasa yang diadakan harus tetap memiliki mutu baik dan aman dari
tangan industry farmasi sampai ke tangan masyarakat. Dengan
memahami ketentuan dalam perarutan perundang-undangan
diharapkan dapat menjadi bekal untuk menunjang pelayanan
kefarmasian.

4. Daftar rujukan

Menteri Kesehatan RI, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor


63 Tahun 2014 Tentang Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog
Elektronik (E-Catalogue): Jakarta. PP 2-

Menteri Kesehatan RI, 2019. Peraturan Menteri Kesehatan RI NOMOR


5 Tahun 2019 Perencanaan Dan Pengadaan Obat Berdasarkan
Katalog Elektronik: Jakarta. PP 2-8

Anda mungkin juga menyukai