Anda di halaman 1dari 5

Ijtihad

c. Kedudukan Ijtihad

Istilah Ijtihad lahir setelah sumber dari selaga sumber hukum yaitu Rasulullah
wafat, karena dulunya semua permasalahan hukum yang berkaitan dengan amaliah
atau yang lainnya akan langsung dapat ditemukan jawabannya dari Rasulullah. Dari
sinilah perkembangan permasalahan permasalahan hukum semakin luas dan pesat dari
masa ke masa, dan mau tidak mau para ulama dan generasi-generasi berikutnya harus
menemukan jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang belum terdapat jawabanya
mengenai permasalahan permasalahan hukum tersebut. Adanya ijtihad semakin
dirasakan kepentingannya setelah meluasnya ilmu pengetahuan dengan cabang
cabangnya yang beraneka ragam, sehingga otomatis memunculkan masalah masalah
yang bervariasi juga. Maka untuk mendapatkan jawaban atas hukum yang belum belum
ada jawabannya dalam Al-Quran dan Sunnah maka sangat perlu adanya Ijtihad. Maka
dari itu penting sekali kedudukan Ijtihad dalam hukum islam

Ijtihad sendiri dalam kedudukannya terletak setelah Al-Quran dan Sunnah,


ketika suatu permasalahan yang ada tidak ditemukan jawabannnya, maka selanjutnya
Ijtihad adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan sebuah hukum yang juga tidak
terlepas azaznya dari Al Quran, sunnah dan syariat syariat islam yang telah ada.1 Ijtihad
Merupakan Langkah Penting dalam upaya mendapatkan kepastian hukum dari dalail
yang bersifat ijtihadi. Namun perlu diketahui juga, ijtihad tidaklah terbatas pada ruang
lingkup masalah masalah baru saja, melainkan memiliki beberapa kepantingan lain
yang berkaitan dengan khazanah hukum islam, yaitu dengan mengadakan peninjauan
kembali masalah masalah yang ada didalamnya berdasarkan kondisi yang terjadi pada
masa sekarang ini sesuai kebutuhan manusia untuk memilih mana pendapat yang
terkuat dan paling cocok, dengan merealisasikan tujuan tujuan syariat dan kemalahatan
manusia.2

Suatu upayang yang didasarkan padaa sebuah kaidah, yaitu “perubahan fatwa
itu disebabkan karena berubahnya zaman, tempat, dan manusaia.

d. Syariat Ijtihad

1
Dr. H.A. Jazuli. Ilmu Fiqih. Jakarta: Prenada Media Grup. 2005. H.71
2
Yusuf Al-Qardawi. Ijtihad Kontemporer, Kode etik dan berbagai penyimpanan. Surabaya: Risalah Gusti 2000.
H. 14
Ijtihad dalam pandangan yang lebih luas adalah mengarahkan segala
kemampuan dan usaha untuk mencapai esuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad
yang terdapat kaitanyyan dengan hukum adalah “mengarahkan segala kemampuan atau
kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai nilai
seperti dalam hal uluhiyah atau mengandung banyak sekali hukum hukum sayriat”,
Ijtihad adalah suatu jalan yang ditempuh ketika suatu permasalahan tidak dapat
ditemukan hukumnya dengan Al Quran dan Sunnah, adapun disyariatkannya ijtihad
juga telah terdapat dalam Al Quran dan Hadist secara makna,seperti dalam Al Quran
surah An Nisa Ayat 59 yang berbunyi:

‫ُول َوأُوْ لِي األَ ْم ِر ِمن ُك ْم فَإِن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء‬
َ ‫ُوا ال َّرس‬ ْ ‫ُوا هّللا َ َوأَ ِطيع‬
ْ ‫وا أَ ِطيع‬ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
- ً‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِويال‬ ِ ‫فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هّللا ِ َوال َّرسُو ِل إِن ُكنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهّلل ِ َو ْاليَوْ ِم‬
َ ِ‫اآلخ ِر َذل‬
٥٩-

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran)
dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An Nisa’ ayat 59)
sesungguhnya ijtihad yang telah kita dengung dengungkan dari awal dengan berbagai
batasan dan syarat syar’i merupaka suatu kebutuhan, bahkan bisa dikatakan sebagai
suatu keharusan. 3Jalan Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh seorang Mujtahid, baik oleh
Mujtahid mutlak atau yang lainnya, karena untuk menelaah bagaimana hukum dari
suatu yang menjadi persoalan perlu adanya kematangan ilmu yang dimiliki oleh
seseorang. Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya,
kecerdasasn akalnya, kehalusan raasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya,
dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukumyang dihasilkan adalah hukum yang
benar, baik, indah, dan bijaksana. Hal ini tentu bukan perkara mudah bagi orang biasa.4

Adapun dalil yang berupa Hadits, yaitu dalil yang menceritakan tentang muaz
bin jabal yang diutus nabi menjadi hakim di yaman. Dalam hadits ini terjadi dialog
antara nabi dengan muaz, nabi saw bertanya kepada muaz, “bagaimana engkau
memutuskan hukum ?”menjawab pertanyaan ini ia menjawab secara berurutan, “yaitu
3
Ibid. H.15
4
Dr. H.A. Jazuli. Ilmu Fiqih. Jakarta: Prenada Media Grup. 2005. H.73
Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan melakukan ijtihad” . nabi
kemudian membenarkan jawaban muaz ini dengan mengatakan: “segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan nabi Allah dengan apa yang di ridhai
Allah dan Nabi-NYA. “ (HR. Abu Daud).5

e. Metodologi Ijtihad
Para mujtahid telah memiliki metode atau cara berijtihad dalam usahanya untuk
menentukan maksud yang tersirat dari Al Qur’an dan As Sunnah. Menurut H.M Rasjidi
ada beberapa cara berijtihad yang telah banyak dikenal, diantaranya sebagai berikut:
1. Qiyas (Reasioning by Analogy)
2. Ijma’ (Konsensus)
3. Maslahah mursalah (Utility)
4. Istihsan (Preference)
5. Istishab
6. Adat kebiasaan yang baik (Urf)
Sedangkan A. Hanafi menambahkan keenam metode ijtihad tersebut dengan:
7. Syariat Ummat sebelum kita
8. Madzhab dan lain lain
Pada pokoknya batasan masing masing cara ber ijtihad tersebut pada beberapa
keputusan adalah sama saja.6
1). Qiyas
Banyak takrif qiyas yang dikemukakan para ulama, sesuai dengan
pengamatan dan tinjauannya masing masing. Kalau diperhatikan unsur
unsur qiyas diantaranya dalah: ashal, cabang, hukum asal, dan ilat hukum.
Salah satu definisi qiyas adalah mempersamakan hukum suatu kasus yang
tidak di nashkan dengan hukum kasus yang lain yang telah dinashkan
karena adanya persamaan hukum ilatnya.7
2). Ijma’
Ijma’ didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun,
secara ringkasnya dapatlah dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan
seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas
5
Agam N. https://duniakampus7.blogspot.com/2014/03/dalil-alquan-dan-al-hadist-tentang.html. Diakses
pada: 10/02/2020. Pukul 10:44 WIB.
6
M.Sobaruddin. Ijtihad dalam Islam. Surabaya: Al Ikhlas. 2008. H.28
7
Ibid. H.29
sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung
jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat),
dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama
telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak,
sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat. 8

3). Maslahah mursalah


Menurut bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah (kebaikan) dan
mursalah (terlepas atau bebas).Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah
mursalah``yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang terlepas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.9

Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan Masalahah


Mursalah sebagai berikut:
“Apa-apa (Masalahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam
bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang
memerhatikannya”10
4). Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan
(apapun yang baik dari sesuatu). Sedangkan Istihsan berarti “menganggap
sesuatu itu baik”. Atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut
istilah, para ulama berbeda memberikan pengertian. Menurut Ulama
Hanafiyah: “Beralih pandangan dari satu dalil qiyas kepada qiyas lain yang
lebih kuat atau mengecualikan qiyas dengan argumentasi yang lebih kuat”.
5). Istishab
Secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna:
menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam
Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:

ِ ‫ت أَ ْم ٍر فِي الثَّانِي لِثُب ُْوتِ ِه فِي األَ َّو ِل لِفُ ْق َد‬


‫ان َما يَصْ لُ ُح لِلتَّ ْغيِي ِْر‬ ُ ‫ثُب ُْو‬

8
Ibid. H.36
9
Dr. H.A. Jazuli. Ilmu Fiqih. Jakarta: Prenada Media Grup. 2005. H.86
10
Husnul Haq. https://islam.nu.or.id/post/read/86624/metode-istishab-dan-aplikasinya-dalam-hukum-islam.
Diakses Pada 10/02/20 20. Pukul 11:59 WIB
“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum
yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” 11
7. Al Urf
Al-‘urf menurut ulama ushul fiqih adalah:

‫عادة جمهور قوم قول أو فعل‬


Artinya: Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam peerkataan atau perbuatan.
Berdasarkan defenisi tersebut, Mustafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar fiqih
Islam di Universitas Amman Yordania) mengatakan bahwa al-‘urf
merupakan bagian dari adat karena adat lebih umum dari al-‘urf. Suatu
al-‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada
pribadi atau kelompok tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman.12

11
Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, h. 173
12
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih (Cet. II; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 137.

Anda mungkin juga menyukai