Anda di halaman 1dari 24

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Utama


2.1.1 Kakao (Theobroma cacao L)
Tanaman Kakao yang dikomersialkan adalah spesies
Theobroma Cacao L, yang merupakan satu diantara 22 spesies dalam genus
Theobroma, meskipun ada juga T. Pentagona namun dinilai komersialnya
masih rendah. Selain spesies itu, hingga saat ini belum ada yang
dikomersialkan, misalnya Theobroma glandiflora yang pulp buahnya
beraroma harum hingga berpotensi digunakan sebagai bahan minuman
(Agung,2015).
Tanaman Kakao merupakan tanaman perkebunan prospek
menjanjikan. Tetapi jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur
hara terutama unsur hara mikro dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca,
faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor pemeliharaan lainnya tidak
diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah. Dari biji
tumbuhan ini dikenal olahan cokelat. Indonesia selalu menempati jajaran
atas dalam ekspor kakao dunia, tahun 2013 Indonesia berada di tiga besar di
bawah Pantai Gading dan Ghana. Negara tujuan utama ekspor kakao dari
indonesia adalah Malaysia, Singapura, Amerika, China dan Brasil
(Kurniawati,2018). Menurut Melati (2017) klasifikasi tanaman kakao yaitu:
Divisi : Spermatophyta
Anak Divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Anak Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
8

Jenis : Theobroma cacao


Pengembangan kakao di Indonesia sudah dilaksanakan cukup lama
baik oleh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan
besar swasta. Dalam upaya meningkatkan produksi kakao sekaligus
peningkatan pendapatan petani maupun masyarakat, pemerintah telah
mengembangkan berbagai pola pengembangan perkebunan yang dibiayai
dari APBN dan bantuan luar Negeri (BLN) antara lain melalui proyek-
proyek pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat
(PIR), Perkebunan Besar (PB) dan pola swadaya. Untuk pengembangan
agribisnis kakao kedepan, kegiatannya akan lebih banyak mengandalkan
inisiatif petani melalui pola swadaya (Hendy,2015).
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu jenis tanaman
perkebunan penting yang secara historis pertama kali dikenal di Indonesia
pada tahun 1560, namun baru menjadi komoditas penting sejak tahun 1951.
Kemudian pemerintah mulai menaruh perhatian dan mendukung industri
kakao pada tahun 1975, yaitu setelah PTP VI berhasil meningkatkan
produksi tanaman ini melalui penggunaan bibit unggul Upper Amazon
Interclonal Hybrid. Faktor iklim merupakan salah satu syarat utama
pembudidayaan tanaman kakao. Tanaman kakao tumbuh di daerah yang
berada pada 100°LU hingga 100°LS, namun dilihat dari penyebaran
pertanaman kakao terdapat pada daerah antara 70° LU hingga 180° LS.
Tampaknya penyebaran tanaman kakao erat kaitannya dengan penyebaran
curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Oleh karena
itu, Indonesia yang terletak diantara 50° LU dan 100° LS merupakan daerah
pengembangan yang cocok (Melati,2017).
Pohon kakao mencapai tingkat produksi yang matang sesudah enam
atau tujuh tahun, dan mulai berbuah sesudah 4-5 tahun. Ada banyak varietas
hibrida yang berbuah dan mencapai tingkat kematangan lebih cepat
dibandingkan dengan varietas tradisional. Pohon terus menerus berbuah
9

selama beberapa tahun, kadang-kadang sebanyak 50-60 tahun, tetapi pada


umumnya hasil buah turun sesudah umur kira-kira 20-25 tahun, atau lebih
awal lagi kalau pohon tidak dipelihara dengan baik atau mengalami penyakit
yang serius. Memang hasil sangat bergantung pada varietas yang
dibudidayakan, usia pohon dan manajemen serta faktor cuaca/ iklim dan
lingkungan (Hendy,2015).
Dalam keadaan yang normal, varietas tradisional yang dibudidayakan
tanpa pupuk dapat menghasilkan antara 150 sampai dengan 500 kg kakao
(biji kering = dry beans) per hektar, kuantitasnya sangat tergantung kepada
usia pohon, sedangkan beberapa varietas hybrida baru dapat menghasilkan
sampai jauh diatas 1000 kg pada tahap matang. Pernah dilaporkan bahwa
beberapa varietas menghasilkan lebih dari 2500 kg dengan kondisi yang
ideal. Sub-sub sistem agribisnis juga sangat erat hubungannya dengan
perkembangan usahatani kakao, hal ini dilihat dari bagaimana kemampuan
masing-masing sub sistem seperti sub sistem input produksi, budidaya,
pengolahan, pemasaran dan lembaga penunjang yang tepat untuk
pengembangan komoditi tersebut dengan memperhatikan faktor yang
tersedia (Hendy,2015).
Tanaman kakao diperkirakan akan mengalami puncak produksi pada
umur tanaman memasuki tahun ke-10 sampai tahun ke-15, kemudian akan
menurun pada tahun-tahun berikutnya. Hingga saat ini pengembangan jenis
cokelat Indonesia sebagian besar ditujukan pada jenis Bulk/Hibrida. Jenis ini
agak tahan lama dibandingkan jenis Fine/Flavour Cacao. Hal ini untuk
menunjang program pengembangan coklat di Indonesia (Hendy,2015).
Faktor iklim dan tanah merupakan salah satu kendala bagi
pertumbuhan tanaman. Lingkungan alami tanaman kakao merupakan hutan
tropis. Oleh karena itu, curah hujan, suhu, udara dan sinar matahari menjadi
bagian dari faktor iklim yang menentukan. Begitu pula dengan faktor fisik
dan kimia tanah juga erat kaitannya dengan kemampuan akar menyerap
10

hara. Dari segi tipe iklim, kakao sangat ideal ditanam pada daerah-daerah
tipenya iklim A (menurut Koppen atau B (menurut Scmidt dan Fergusson).
Di daerah-daerah yang tipenya iklim C (menurut Scmidt dan Fergusson)
kurang baik untuk penanaman kakao karena bulan keringnya yang panjang.
Dengan membandingkan curah hujan di atas dengan curah hujan tipe Asia,
Ekuator dan Jawa maka secara umum areal penanaman kakao di Indonesia
masih potensial untuk dikembangkan. Adanya pola penyebab curah hujan
yang tetap akan mengakibatkan pola panen yang tetap pula. Menurut hasil
penelitian, suhu maksimal untuk tanaman kakao sekitar 30° - 32° C,
sedangkan suhu minimum sekitar 18° - 21° C. Bila suhu terlalu tinggi
menyebabkan hilangnya dominasi apical
2.1.2 Morfologi Kakao

Tanaman kakao merupakan tanaman tahunan (perennial) berbentuk

pohon dengan tinggi dapat mencapai antara 4,5 sampai 7,0 meter pada umur

12 tahun (Karmawati et al, 2010). Tanaman kakao memiliki batang yang

berkayu dan berbentuk bulat (Tjitrosoepomo, 1992) dengan dua sifat

percabangan sehinggadisebut dengan dimorfisme. Cabang yang arah

pertumbuhannya ke atas disebut cabang ortotrop, sedangkan cabang yang

arah pertumbuhannya ke samping disebut cabang plagiotrop (Karmawati et

al., 2010).

Sistem perakaran tanaman kakao adalah akar tunggang dengan

panjang dapat mencapai 8 meter ke arah samping dan 15 meter ke arah

bawah (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Daun kakao bersifat

dimosfirme, yaitu daun pada cabang ortotrop memiliki tangkai daun yang
11

panjang (sekitar 7,5 - 10 cm), sedangkan daun pada cabang plagiotrop

memiliki tangkai daun yang pendek (sekitar 2,5 cm; Karmawati et al, 2010).

Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus), ujung daun

meruncing (acuminatus), dan pangkal daun runcing (acatus) (Backer &

Bakhuizen van den Brink, 1963). Tanaman kakao memiliki permukaan daun

licin dan mengkilap, sedangkan susunan tulang daun menyirip dan tulang

daun menonjol kepermukaan bawah helai daun (van Steenis et al., 2008;

Prawoto & Winarsih, 2010).

Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan dan tersusun atas 5

daun kelopak (sepala) dan 5 daun mahkota (petala) serta 10 tangkai sari

yang tersusun dalam 2 lingkaran. Masing-masing lingkaran tersusun atas 5

tangkai sari yang steril (staminodia) dan 5 tangkai sari yang fertil (stamen).

Bunga kakao memiliki 5 daun buah yang bersatu, Pohon kakao dewasa

dapat membentuk sekitar10.000 bunga namun hanya 30 – 60 bunga yang

tumbuh dan berkembang menjadi buah yang masak (van Steenis et al.,

2008; Prawoto & Winarsih, 2010).

Buah kakao terdiri atas kulit buah (pod), arilus (pulp), dan biji. Kulit

buah kakao terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan eksokarp, mesokarp, dan

endokarp (Limbongan, 2012). Biji tersusun dalam lima baris mengelilingi

poros buah dan memiliki jumlah yang beragam yaitu sekitar 20 – 50 butir

per buah (Karmawati et al., 2010). Warna buah kakao beraneka ragam,

namun pada dasarnya warna buah kakao ada dua macam yaitu buah muda
12

berwarna hijau putih dan bila sudah matang warna berubah menjadi kuning,

dan buah muda yang berwarna merah setelah buah matang warna berubah

menjadi oranye (Susanto, 1994).

2.1.3 Kultivar Kakao

Terdapat tiga kultivar utama kakao yang sering dibudidayakan oleh

petani yaitu criollo, forastero, dan trinitario (Susanto, 1994). Kultivar

criollo memiliki ciri kulit buah tipis dan mudah diiris dengan 10 alur yang

letaknya berselang-seling antara lima alur agak dalam dan lima alur dangkal.

Ujung buah umumnya berbentuk tumpul dan sedikit bengkok. Setiap buah

berisi 30 – 40 biji yang bentuknya agak bulat sampai bulat dengan

endosperm yang berwarna putih. Kakao criollo memiliki pertumbuhan yang

kurang kuat dengan kemampuan produksi yang relatif rendah (Susanto,

1994).

2.1.4 Permasalahan Kakao di Indonesia

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas

andalan perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Indonesia. Dalam hal penyedia lapangan pekerjaan, perkebunan kakao

berhasil menyerap tenaga kerja sampai sekitar 900 ribu kepala keluarga

pada tahun 2002 (Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, 2005). Kakao

juga penyumbang devisa terbesar ke tiga di sub sektor perkebunan setelah

kelapa sawit dan karet dengan nilai sebesar US $ 1,2 milyard pada tahun

2010 (FAO, 2014).


13

Dalam hal produksi, Indonesia menjadi negara terbesar kedua di


bawah Pantai Gading dalam hal produksi kakao. Pada tahun 2012, produksi
kakao Indonesia mencapai lebih dari 900 ribu ton sedangkan produksi kakao
Pantai Gading mencapai lebih dari 1,6 juta (FAO, 2014). Tingginya total
produksi kakao tersebut ditopang oleh luas area perkebunan kakao di
Indonesia. Pada tahun 2012, luas area perkebunan kakao di Indonesia
mencapai 1,73 juta ha sedangkan luas perkebunan kakao di Pantai Gading
mencapai 2,5 juta ha (FAO, 2014). Hal tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan perkebunan kakao terluas kedua di dunia dibawah
Pantai Gading.
Dalam hal produktivitas perkebunan kakao, Indonesia hanya mampu
menghasilkan biji kakao dengan jumlah yang rendah dari setiap hektar per
tahunnya. Tahun 2012, produktivitas kakao Indonesia untuk setiap hektar
lahan cukup rendah, hanya sekitar 540 kg sehingga menempatkan Indonesia
sebagai negara urutan ke tujuh belas di dunia. Angka tersebut hampir
seperlima produktivitas negara Guatemala dan Thailand yang mencapai
lebih dari 2,6 ton per hektar per tahunnya (FAO, 2014).
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia, diantaranya adalah faktor usia tanaman kakao yang
sudah tua. Rata-rata umur tanaman kakao di Indonesia lebih dari 25 tahun
sehingga mengakibatkan menurunnya produktivitas kakao sekitar 0,2 – 0,3
kg per pohon per tahun (Taufik et al.,2010). Dengan kondisi tanaman kakao
yang sudah tua tersebut maka harus segera dilakukan peremajaan dengan
tujuan meningkatkan produktivitas tanaman kakao (Taufik et al., 2010).
Faktor utama lainnya yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia adalah kualitas bibit yang kurang baik (Goenadi, 2005).
Oleh karena hal tersebut diperlukan upaya untuk memproduksi bibit kakao
dalam jumlah yang massal dengan kualitas yang unggul.
14

2.1.5 Pembibitan Tanaman Kakao


Pada saat ini kebanyakan para petani memperoleh bibit kakao secara
generatif atau melalui biji. Biji kakao yang dipanen dari tanaman kakao
yang unggul dibersihkan dan dikeringkan sampai kadar air sekitar 40%. Biji
yang kering selanjutnya dikecambahkan selama kurang lebih 12 hari. Benih
yang telah dikecambahkan kemudian ditanam di lahan dengan pemeliharaan
sekitar 4-5 bulan (Rahardjo, 2011).
Keuntungan perbanyakan kakao secara generatif adalah mudah dan
sederhana untuk dilakukan (Wahyudi et al., 2008) serta dapat dihasilkan
bibit dalam jumlah yang banyak dengan pertumbuhan yang seragam serta
memiliki perakaran yang kuat (Harmanto, 2001). Namun, bibit tanaman
hasil perbanyakan generatif memiliki sifat genetik yang bervariasi. Hal ini
disebabkan kakao merupakan tanaman yang melakukan penyerbukan silang
(cross pollination) dan bunga kakao bersifat protogini yang artinya putik
masak lebih awal daripada mengakibatkan menurunnya produktivitas kakao
sekitar 0,2 – 0,3 kg per pohon per tahun (Taufik et al.,2010). Dengan
kondisi tanaman kakao yang sudah tua tersebut maka harus segera dilakukan
peremajaan dengan tujuan meningkatkan produktivitas tanaman kakao
(Taufik et al., 2010). Faktor utama lainnya yang diduga menyebabkan
rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah kualitas bibit yang
kurang baik (Goenadi, 2005). Oleh karena hal tersebut diperlukan upaya
untuk memproduksi bibit kakao dalam jumlah yang massal dengan kualitas
yang unggul.
Keuntungan perbanyakan kakao secara generatif adalah mudah dan
sederhana untuk dilakukan (Wahyudi et al., 2008) serta dapat dihasilkan
bibit dalam jumlah yang banyak dengan pertumbuhan yang seragam serta
memiliki perakaran yang kuat (Harmanto, 2001). Namun, bibit tanaman
hasil perbanyakan generatif memiliki sifat genetik yang bervariasi. Hal ini
disebabkan kakao merupakan tanaman yang melakukan penyerbukan silang
15

(cross pollination) dan bunga kakao bersifat protogini yang artinya putik
masak lebih awal daripada pembibitan kakao melalui stek mampu
menghasilkan bibit dengan sifat genetis yang sama dengan induk tanaman
serta mampu menghasilkan buah yang lebih cepat dibandingkan dengan
teknik pembibitan generatif (Siregar et al., 2010). Namun, tingkat
keberhasilan pembibitan kakao menggunakan stek masih rendah (sekitar
27%; Abdoellah, 2008). Disamping itu teknik stek hanya mampu
menghasilkan bibit yang terbatas serta dapat merusak tanaman induk
(Rahardjo, 2010).
Perbanyakan vegetatif lainnya yang dapat digunakan dalam
menghasilkan bibit kakao adalah melalui okulasi. Okulasi merupakan
metode perbanyakan vegetatif dengan menempelkan mata tunas dari pohon
kakao yang berkualitas ke batang bawah bibit, kemudian mengikat dengan
plastik agar mata tunas tidak terlepas (Rahardjo, 2010). Bibit okulasi siap
tanam ke lahan setelah berumur 4 - 5 bulan. Teknik okulasi mempunyai
tingkat keberhasilan tinggi sekitar 90% (Rahardjo, 2010),
Teknik lain yang digunakan dalam pembibitan kakao secara vegetatif
adalah teknik sambung pucuk (Siregar et al., 2010). Sambung pucuk
dilakukan dengan cara memotong pucuk atau cabang dari pohon yang
memiliki kualitas bagus untuk disambungkan dengan bibit kakao yang
diperoleh dari generatif (Siregar et al., 2010). Bibit hasil sambung pucuk
akan siap dipindahkan ke lahan setelah berumur 7 bulan (Wahyudi et al.,
2008). Teknik sambung pucuk memiliki tingkat keberhasilan tinggi (sekitar
80 %; Limbongan, 2011), bibit yang dihasilkan seragam dan sama dengan
induknya, namun jumlah bibit yang dihasilkan terbatas dan dapat
mengakibatkan kerusakan pada tanaman induknya (Siregar et al., 2010).
Mengingat teknik pembibitan konvensional masih memiliki banyak kendala,
maka alternatif pembibitan kakao dibutuhkan untuk menghasilkan bibit
dalam jumlah yang banyak dengan sifat genetik yang seragam.
16

2.1.6 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao


Salah satu teknik pembibitan yang dapat digunakan untuk

menghasilkan bibit kakao dalam jumlah yang banyak dengan sifat genetika

yang seragam dan sama dengan induknya adalah melalui teknik kultur

jaringan tanaman. Kultur jaringan tanaman merupakan teknik perbanyakan

tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman dan ditumbuhkan pada

media tanam buatan yang aseptis (Hendaryono & Wijayani, 1994). Teknik

kultur jaringan mempunyai keunggulan yaitu dapat memperbanyak tanaman

dalam jumlah besar dengan waktu yang singkat serta menghasilkan bibit

yang seragam dengan induknya (Avivi et al., 2010). Namun teknik ini

memerlukan keahlian khusus, dan lingkungan yang aseptis sehingga harus

dilakukan di laboratorium, serta tidak semua tanaman dapat diperbanyak

menggunakan teknik kultur jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan untuk

perbanyakan bibit kakao seperti melalui kultur pucuk dan kultur tunas

aksiler (Zulkarnain, 2011). Namun, kultur pucuk kakao belum berhasil

diaplikasikan dalam jumlah massal serta memiliki beberapa kendala seperti

tumbuhan yang dihasilkan memiliki pertumbuhan yang lambat dan memiliki

akar serabut (Zulkarnain, 2011). Teknik kultur tunas aksiler juga belum

berhasil untuk diaplikasikan pada tanaman kakao (Figuera et al., 1991)

Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai dikembangkan untuk

menyediakan bibit kakao secara massal adalah teknik embriogenesis


17

somatik (Wahyudi et al., 2008). Embriogenesis somatik merupakan salah

satu metode perbanyakan tanaman secara klonal yang memungkinkan

sekumpulan sel untuk berpoliferasi, multiplikasi, membentuk embrio

somatik dan berdiferensiasi membentuk tanaman sempurna (Santos et al.,

2005). Embrio somatic dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu

mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas.

Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui

embriosomatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif

yang unipolar.

Bibit yang dihasilkan dari teknik embriogenesis somatik memiliki

keunggulan berupa sifat genetika yang seragam dan sama dengan induknya

(Park & Klimaszewska, 2003; Santos et al., 2005; Masseret et al., 2008).

Sistem perakaran yang dihasilkan dari teknik embriogenesis somatik juga

kuat seperti tanaman yang berasal dari biji (Paulin & Garzon, 2008). Namun

teknik embriogenesis somatik memiliki kelemahan, yaitu peluang terjadi

mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis

dari kalus embriogenik karena subkultur berulang, memerlukan penanganan

yang lebihintensif karena kultur lebih rapuh dan biaya yang dibutuhkan

relatif mahal karena tempat yang digunakan harus aseptis (Purnamaningsih,

2002). Disamping itu, kelemahan utama dari perbanyakan tanaman kakao

melalui teknik embriogenesis somatik adalah tingkat keberhasilan yang

sangat bervariasi mulai dari 1 sampai 100% tergantung genotip yang


18

digunakan (Li et al., 1998). Oleh karena itu, pengembangan teknik

embriogenesis somatik sangat dibutuhkan guna menghasilkan bibit kakao

berkualitas unggul.

Dalam pelaksanaannya, embriogenesis somatik dilakukan melalui

empat tahap, yaitu (1) induksi kalus, (2) induksi embrio somatik, (3)

perkecambahan, dan (4) aklimatisasi bibit yang dihasilkan dengan kondisi

lingkungan ex vitro (Gambar 2.7; Li et al., 1998). Pada tahap induksi kalus,

medium tanam ditambah dengan zat pengatur tumbuh golongan auksin

dengan konsentrasi yang tinggi agar terinduksi sekelompok sel membentuk

kalus (Purnamaningsih, 2002). Kalus terbentuk karena luka pada eksplan

sebagai respons terhadap hormon baik endogen maupun eksogen. Terdapat

dua macam kalus yang umum terbentuk pada tahapan ini, yaitu kalus

embrionik dan kalus non-embrionik (Winarsih et al., 2003). Kalus

embriogenik memiliki ciri berwarna kekuningan, berbentuk nodul, sel yang

berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan

mengandung butir pati, sedangkan kalus non-embriogenik memiliki ciri-ciri

sel berukuran besar, sitoplasma tidak padat, inti kecil, vakuola yang besar

dan tidak mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2002).

Tahap selanjutnya adalah tahap induksi embrio somatik. Pada tahap

ini, kalus embriogenik dipindahkan ke dalam medium induksi embrio yang

mengandung auksin dengan konsentrasi rendah (Purnamaningsih, 2002).

Pemindahan kalus dari medium dengan konsentrasi auksin tinggi ke medium


19

dengan penambahan auksin yang rendah akan menyebabkan sel-sel

mengalami morfogenesis membentuk kelompok sel menyerupai ernbrio

pada biji. Pada umumnya, embrio somatik mulai terbentuk setelah kalus

dipelihara di dalam medium induksi embrio selama 2 - 32 minggu (Winarsih

et al., 2003; Traore et al., 2003). Tahapan pembentukan embrio dimulai dari

fase globular, hati, torpedo dan kotiledon (Gambar2.7; Purnamaningsih,

2002).

Pada tahap perkecambahan, embrio yang yang terbentuk kemudian

dikecambahkan untuk menjadi tanaman lengkap dengan penambahan zat

pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang sangat rendah atau bahkan tidak

ditambah dengan zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002). Tahap akhir

dalam embriogenesis somatik adalah aklimatisasi, yaitu bibit tanaman yang

diperoleh dipindahkan dari lingkungan dengan kondisi in vitro ke

lingkungan ex vitro (Purnamaningsih, 2002).

Pada tanaman kakao, teknik embriogenesis somatik juga telah

dicobakan untuk digunakan dalam produksi bibit. Namun demikian, tingkat

keberhasilan teknik embriogenesis somatik masih relatif rendah sehingga

tanaman kakao digolongkan ke dalam tanaman yang sulit diperbanyak

secara in vitro (recalcitrant).

Banyak upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan

embriogenesis kakao seperti pemilihan eksplan yang bervariasi seperti

bagian bunga (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010),
20

embrio muda (Dinarti, 1991), maupun kotiledon (Chantrapradist &

Kamnoon, 1995; Omokolo et al., 1997). Di antara berbagai jenis eksplan

tersebut, eksplan bunga memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik 1-

100% (Li et al., 1998) dibandingkan dengan eksplan embrio buah muda

yaitu antara 0 - 73,3% (Dinarti, 1991) dan eksplan kotiledon yaitu 0%

(Chantrapradist & Kamnoon, 1995; Omokolo et al., 1997). Namun

demikian, faktor genetis secara nyata berpengaruh dalam pembentukan

embrio somatik kakao Alemanno et al. (1996) membuktikan hanya 5 klon

dari 25 klon kakao yang diuji mampu menghasilkan embrio somatik

sedangkan sisanya tidak berhasil diperbanyakan menggunakan teknik

embriogenesis somatik (Winarsih et al., 2003).

Upaya peningkatan keberhasilan induksi embrio somatik kakao juga


telah dilakukan dengan menggunakan beberapa medium dasar seperti
medium MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan medium DKW (Driver &
Kuniyuki, 1984). Hasil penelitian yang dilakukan Alemanno et al (1996)
menunjukkan bahwa medium MS hanya berhasil menginduksi embrio
somatik dengan tingkat keberhasilan kurang dari 11%, sedangkan medium
DKW memiliki tingkat keberhasilan yang bervariasi mulai dari 4 – 70%
tergantung genotip yang digunakan (Maximova et al., 2002).
2.1.7 Medium Tanam
Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kultur jaringan adalah
pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang tepat ke dalam
medium tanam (Yusnita, 2003). Medium yang digunakan dalam kultur in
vitro tumbuhan ada bermacam-macam. Beberapa medium dasar yang
banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah medium dasar MS
21

(Murashige & Skoog, 1962) yang banyak digunakan untuk kultur kalus dan

regenerasi hampir semua jenis kultur, medium dasar B5 (Gamborg, 1968)


yang banyak digunakan untuk kultur suspensi sel tanaman leguminosae,
medium dasar SH (Schenk & Hildebrant, 1972) yang banyak digunakan
untuk kultur kalus tanaman dikotil dan monokotil, medium dasar WPM
(Woody Plant Medium, 1981) yang banyak digunakan untuk kultur jaringan
tanaman berkayu, dan medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) yang
banyak digunakan untuk kultur embrio somatik pada tanaman kakao
(Hendaryono & Wijayanti, 1994). Pada umumnya, medium tanam terdiri
atas senyawa makronutrien, mikronutrien, gula, zat pengatur tumbuh dan
vitamin serta asam-asam amino.

2.1.8 Analisis Break Even Point (BEP)


Break Even Point (BEP) atau titik impas merupakan suatu titik yang
menunjukkan bahwa pendapatan total yang dihasilkan perusahaan sama
dengan jumlah biaya yang dikeluarkan, sehingga perusahaan tidak
memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian. Break Even Point (BEP)
dapat diartikan suatu keadaan dimana dalam operasi, perusahaan tidak
memperoleh laba dan tidak menderita rugi (penghasilan = total biaya)
(Retno & Mangesti, 2014).
Analisa Break Even Point (BEP) membutuhkan asumsi tertentu
sebagai dasarnya. Menurut Cintya (2014) asumsi-asumsi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Semua biaya dapat diklasifikasikan dan diukur secara realistis sebagai
biaya tetap dan biaya variabel.
2. Harga jual per unit tidak berubah baik untuk jumlah penjualan sedikit
maupun banyak atau dengan kata lain analisis Break Even Point tidak
mengakui potongan harga karena jumlah pembelian.
3. Hanya terdapat satu jenis produk, apabila perusahaan memproduksi
22

lebih dari satu jenis produk, maka harus dianggap satu jenis produk
dengan proporsi yang tetap dan konstan.
4. Kebijakan manajemen tentang operasi perusahaan tidak berubah secara
material dalam jangka waktu pendek.
5. Tingkat harga pada umumnya akan tetap stabil dalam jangka waktu
pendek.
6. Persediaan tetap konstan atau tidak ada persediaan.
7. Efisiensi dan produktifitas per karyawan tidak berubah.
a. Biaya
Menurut Verryca (2011) dalam arti luas biaya adalah pengorbanan
sumber ekonomi yang di ukur dalam satuan uang, yang tejadi atau yang
kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam arti
sempit diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk
memperoleh aktiva yang disebut dengan istilah harga pokok, atau dalam
pengertian lain biaya merupakan bagian dari harga pokok yang
dikorbankan di dalam suatu usaha untuk memperoleh penghasilan.
Menurut Nurdin (2010) biaya produksi adalah semua pengeluaran yang
dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi
guna memproduksi output. Macam-macam biaya berkaitan dengan
analisis BEP adalah sebagai berikut:
1. Biaya tetap (Fixed Cost) merupakan total Rupiah yang harus
dikeluarkan perusahaan, walaupun tidak berproduksi, biaya tetap
tidak dipengaruhi oleh setiap perubahan kuantitas output.
2. Biaya variabel (Variabel Cost) merupakan biaya yang bervariasi
sesuai dengan perubahan tingkat output termasuk biaya bahan
baku, gaji dan bahan bakar termasuk pula semua biaya yang tidak
tetap.
3. Biaya total (Total Cost) adalah sejumlah biaya yang dibutuhkan
untuk memproduksi dan atau memasarkan sejumlah barang atau jasa.
23

4. Total Cost (TC) atau ongkos total adalah penjumlahan kedua biaya
baik ongkos tetap total maupun ongkos variabel total.
TC = TFC + TVC
Klasifikasi biaya dikaitkan dengan volume produksi dibagi
menjadi tiga yaitu biaya tetap, biaya variabel, dan biaya semi variabel.
Biaya tetap (Fixed Cost) adalah biaya yang secara total tidak berubah
jumlahnya meskipun jumlah produksi berubah. Biaya variabel (Variabel
Cost) adalah biaya yang apabila dikaitkan dengan volume secara per unit
akan selalu tetap meskipun volume produksi berbah-ubah, akan tetapi
secara total biaya tersebut jumlahnya akan berubah sesuai dengan
proporsi perubahan aktivitas. Sementara biaya semi variable adalah
biaya yang memiliki unsur tetap dan variabel di dalamnya. Menurut
Marhaeni (2011) sifat biaya yang diasumsikan dalam analisis Break
Even Point adalah sebagai berikut:
1. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap adalah biaya yang tetap sama dalam jumlah seiring
dengan kenaikan atau penurunan keluaran kegiatan. Adapun biaya
tersebut meliputi:
a) Penyusutan Bangunan
b) Biaya Listrik dan Air
c) Biaya Pajak Lahan
d) Biaya Penyusutan Alat
Jenis pengeluaran tertentu harus digolongkan sebagai biaya
tetap hanya dalam rentang kegiatan yang terbatas. Rentang kegiatan
yang terbatas ini disebut dengan rentang yang relevan.
2. Biaya Variabel ( Variabel Cost / VC)
Biaya variabel adalah biaya yang meningkat dalam total seiring
dengan peningkatan keluaran kegiatan dan menurun dalam total
seiring dengan penurunan keluaran kegiatan. Biaya variabel itu
24

antara lain adalah sebagai berikut:


a) Biaya Bahan baku
b) Biaya Tenaga Kerja
Hubungan antara kegiatan produksi dan biaya variabel yang
ditimbulkannya biasanya dianggap seakan-akan bersifat linear. Total
biaya variabel dianggap meningkat dalam jumlah yang konstan
untuk peningkatansetiap unit kegiatan. Namun, hubungan yang
sebenarnya sangat jarang bersifat linear secara sempurna pada
seluruh rentang relevan yang mungkin. Misalnya, pada saat volume
kegiatan meningkat sampai ke tingkat tertentu, barangkali
manajemen akan menambah mesin produksi yang baru. Akibatnya,
biaya kegiatan per unit akan berbeda-beda pada berbagai tingkat
kegiatan. Meskipun demikian, dalam rentang relevan tertentu,
hubungan antara kegiatan dan biaya variabelnya kurang lebih
bersifat linear.
3. Biaya Total ( Total Cost/TC)
Biaya total merupakan penjumlahan dari semua jenis biaya
yang ada, yaitu penjumlahan semua biaya yang dikeluarkan, baik
Fixed Resources maupun Variabel Resources karena biaya variabel
merupakan unsur biaya total, maka biaya total memiliki sifat
sebagaimana yang juga dimiliki oleh biaya variabel, yakni bahwa
besarnya biaya total berubah-ubah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Break Even Point
a) Perubahan biaya variabel meningkatnya Variabel Cost per unit akan
meninggikan tingkat Break Even Point, sedangkan penurunan
Variabel Cost per unit akan mempunyai pengaruh yang sebaliknya.
b) Perubahan biaya tetap suatu perusahaan apabila meningkatkan Fixed
Operating Cost, maka tingkat Break Even Point akan meningkat
pula, demikian juga halnya bila Fixed Operating Cost diturunkan,
25

maka tingkat Break Even Point pun akan bergerak turun ke titik yang
lebih rendah.
c) Perubahan harga jual kenaikan harga jual per unit akan menurunkan
tingkat Break Even Point dan sebaliknya penurunan tingkat harga
jual per unit akan membawa pengaruh terhadap menurunnya Break
Even Point.
b. Penerimaan dan Pendapatan
Menurut Nurdin (2010) penerimaan (Revenue) adalah hasil uang
yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang
(Goods) dan jasa- jasa (Services) yang dihasilkannya. Terdapat tiga
konsep penting tentang Revenue yang perlu diperhatikan untuk analisis
perilaku produsen.
1. Total Revenue(TR), yaitu total penerimaan produsen dari hasil
penjualan outputnya. Jadi, TR = Pq x Q, dimana Pq = harga output
per unit, Q = jumlah output.
2. Average Revenue (AR), yaitu penerimaan produsen per unit
output yang dijual. Jadi, AR adalah harga jual output per unit.
3. Marginal Revenue (MR), kenaikan TR yang disebabkan oleh
tambahan penjualan satu unit output.
Penerimaan petani dipengaruhi oleh hasil produksi. Petani akan
menambah hasil produksi bila setiap tambahan produksi tersebut akan
menaikkan jumlah penerimaan yang akan diperoleh.
Penerimaan (Revenue) adalah penerimaan dari hasil penjualan
outputnya Budiono (2002), sedangkan menurut Soekartawi (2003)
penerimaan adalah banyaknya produksi total dikalikan harga atau
biaya produksi (banyak input dikalikan harga). Penerimaan adalah
seluruh pendapatan yang diperoleh dari usaha pembibitan kakao selama
satu periode diperhitungkan dari hasil penjualan (Rp) (Suratiyah, 2006).
Penerimaan hasil total penerimaan dapat diperoleh dengan mengalikan
26

jumlah satuan barang yang dijual dengan harga barang yang


bersangkutan. Dirumuskan dengan:
TR = Q x Pq
Keterangan:
TR = Total penerimaan (Rp)
Q = Jumlah produk (Tanaman)
Pq = Harga produk (Rp)

Pendapatan adalah hasil dari usaha pembibitan kakao, yaitu hasil


kotor (Bruto) dengan produksi yang dinilai dengan uang, kemudian
dikurangi dengan biaya produksi dan pemasaran sehingga diperoleh
pendapatan bersih usaha pembibitan kakao (Mubyarto, 2000).

Pendapatan di bidang pertanian adalah produksi yang akan


dinyatakan dalam bentuk uang setelah dikurangi dengan biaya selama
kegiatan usaha pembibitan kakao Mosher (2000). Produksi dinyatakan
dalam bentuk fisik (Output) yang dihasilkan melalui proses biologis dari
hewan ataupun tumbuhan. Konsep dasar pendapatan adalah proses arus,
yaitu penciptaan barang dan jasa oleh perusahaan selama jarak waktu
tertentu (Hendriksen, 2000).
Pendapatan petani dari pembibitan kakao dapat diperhitungkan
total penerimaan yang berasal dari nilai penjualan hasil dikurangi
dengan total nilai pengeluaran yang terdiri dari pengeluaran input,
misalnya bibit, pupuk pestisida. Pengeluaran untuk upah tenaga kerja
luar dan keluarga. Pengeluaran untuk pajak, iuran air, bunga kredit
(Prayitno dan Arsyad, 2002).
Adapun rumus penerimaan menurut Soekartawi (2002) adalah
sebagai berikut:

TR = Y.PY
27

Dimana :
TR = Penerimaan total (Rp)
Y = Produksi yang diperoleh (Tanaman)
PY = Harga per tanaman (Rp/Tanaman)
Menurut Suratiyah (2014) perhitungan Break Even Point (BEP)
dengan menggunakan rumus aljabar
a) Perhitungan Break Even Point atas dasar penerimaan
BEP (Q) = FC
1- VC S
BEP (Q) : Volume penjualan (Tanaman)
FC ( Fixed Cost) : Biaya tetap (Rp)
VC (Variable Cost) : Biaya variabel (Rp)
S (Sales) : Volume penjualan (Tanaman) x harga jual
(Rp)
b) Perhitungan Break Even Point atas dasar unit (Produksi)
BEP (Q) = FC
P - VC
di mana :
BEP (Q) : Jumlah tanaman dihasilkan dan dijual (Tanaman)
FC : Biaya tetap (Rp)
P : Harga jual per tanaman (Rp)
VC : Biaya variabel per tanaman (Rp)
c) Perhitungan Break Even Point atas dasar penjualan dalam rupiah
(Harga)
BEP (Q) = FC
Y
di mana :
BEP (Q) : Volume penjualan (hasil tanaman)
28

FC ( Fixed Cost) : Biaya Tetap (Rp)


Y : Produksi Total (hasil tanaman)

2.2 Kerangka Pikir


Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.

Usaha Tani Kakao

Proses produksi

Biaya Produksi PENERIMAAN


Produksi
- Biaya Tetap (Rp) Harga Produksi (Rp)
- Biaya Variabel (Rp)

ANALISIS Break Even Point (BEP)


BEP Penerimaan
BEP Produksi
BEP Harga

Gambar 2.1 Kerangka Pikir.

Kerangka pikir di atas dapat dijelaskan bahwa penerimaan dari kegiatan


usaha tani kakao tentunya dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi dan biaya
yang dikeluarkan serta harga produksi. Analisis Break Even Point atau titik
impas merupakan suatu titik yang menunjukkan bahwa pendapatan total yang
dihasilkan petani sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan, sehingga petani
tidak memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian. Break Even Point dapat
29

diartikan suatu keadaan dimana dalam operasi, perusahaan/petani tidak


memperoleh laba dan tidak menderita rugi.
2.3 Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, antara lain:
2.3.1 Hasil penelitian yang dilakukan Kasmiran pada tahun 2018 dengan judul
penelitian : “ Analisis pendapatan petani kakao di Desa Amola Kecamatan
Binuang Kabupaten Polewali Mandar” dengan metode analisis penerimaan
analisis pendapatan kelayakan dan titik impa. Hasil penelitian ini
menujukkan rata rata besarnya pendapatan yang diperoleh petani responden
di Desa Amola Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar produksi
sebesar Rp 42.906.666 yang diperoleh dari total penerimaan Rp
1.544.640.000 dikurangi dengan total biaya sebesar Rp 266.756.500 nilai
B/C ratio yang diperoleh sebesar 4,79 berarti usahatani kakao yang ada di
desa amola kecamatan binuang kabupaten polewali mandar menguntungkan
dan layak untuk dikembangkan. Dengan demikian usahatani kakao di Desa
Amola Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar perlu mendpatkan
perhatian dalam upaya peningkatan dan pengembangannya
2.3.2 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nensi Sri Arsita pada tahun 2017dengan
judul penelitian: “Analisis break even point usaha pembibitan kakao PT MARS
Tarengge Kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Utara” Menunjukkan bahwa
setelah mengetahui jumlah break even point didapatkan bahwa jumlah
penerimaan dari hasil produksi lebih tinggi dari biaya produksi yang
dikeluarkan. Namun ketika harga produksi berubah maka tentunya nilai
break even point juga akan berubah sehingga perlu adanya perhitungan
break even point secara berkala

2.4. Hipotesis
30

Berdasarkan kerangka pemikiran, hipotesis dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut : “Diduga ada pengaruh yang signifikan antara biaya benih, biaya
pupuk, biaya obat-obatan, biaya tenaga kerja dan luas lahan terhadap pendapatan
usahatani kakao di Desa Ratte Kecamatan Tutar Kabupaten Polewali Mandar

Anda mungkin juga menyukai