Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja sering disebut dengan masa pubertas.Pubertas adalah perubahan cepat

pada kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal, terutama terjadi

selama masa remaja awal. Pada remaja putri yaitu biasanya terjadinya menstruasi yang

pertama. Sedangkan pada laki-laki ditandai dengan adanya mimpi basah. Adanya

perkembangan untuk mencapai kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik oleh

remaja, maka banyak persoalan yang dihadapi pada remaja tersebut dan berkaitan dengan

masalah gizi dan kesehatan. Masalah-masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi remaja

saling berkaitan satu sama lain. Salah satu masalah gizi yang biasa dialami pada fase

remaja adalah anemia.

Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya 18 sampai

25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal.

Mahasiswa merupakan kelompok yang rawan menderita anemia. Terutama pada

mahasiswa putri. Anemia atau sering disebut dengan istilah kurang darah merupakan suatu

kondisi dengan jumlah sel darah merah berkurang dan mengakibatkan oxygen-carrying

capacity tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. (Astutik dan

Dwi,2018)

Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai diseluruh dunia, disamping

sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di Negara berkembang. Kelainan

ini merupakan penyebab dari debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap

kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Walaupun prevelensinya demikian
tinggi, anemia (terutama anemia ringan) seringkali tidak mendapat perhatian dan tidak

diidentifikasi oleh para dokter di praktek klinik

Menurut Bakta (dalam Astutik dan Dwi, 2018 : 2) anemia yaitu suatu keadaan

apabila terjadinya penurunan kadar Hb di bawaha normal, kadar eritrosit dan hematrokit

(packedredcell). Definisi ini mungkin sedikit berbeda tergantung pada sumber dan referensi

laboratorium yang digunakan. Penyakit anemia dapat menimbulkan gangguan atau

hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam

darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat

menurunkan prestasi belajar, olahraga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi

akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.

Hemoglobin merupakan protein intra-seluler yang memberikan warna merah

padaeritrositdan berperan dalam membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh serta

membawa karbondioksida kembali ke paru-paru. Selain itu, hemoglobin juga berperan

dalam mempertahankan bentuk.Pemeriksaan hemoglobin, yang merupakan bagian dari

pemeriksaan darah rutin dapat dilakukan dengan nilai hemoglobin normal pada laki-laki

13-18 g/dL dan 12-16 g/dL pada perempuan. Anemia dapat terjadi apabila konsentrasi

hemoglobin dalam tubuh berada di bawah nilai normal. Sebagai masalah kesehatan global,

terutama dinegara-negara berkembang, anemia membutuhkan perhatian dan penanganan

yang tepat (Dahlia et al, 2018)

Berdasarkan data dari Kemenkes RI (2013) Anemia rawan terjadi pada perempuan

terutama pada remaja putri dan wanita usia subur. hal ini disebabkan oleh berbagai factor

antara lain karena masa remaja adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih

tinggi termasuk zat besi. Disamping itu remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya
sehingga membutuhkan zat besi lebih tinggi, sementara makanan yang dikonsumsi lebih

.
rendah dari pria, karena faktor takut gemuk Proporsi anemia di Indonesia tahun 2013

adalah 21,7% dan pada perempuan 23,9%. Selain itu, Menurut hasil dari riset kesehatan

dasar pada tahun 2018 diketahui bahwa terjadi peningkatan kejadian anemia di Indonesia

sebesar 48.9%, dengan prevalensi terbesar pada ibu hamil berusia 15-24 tahun sebanyak

84.6%.

Berdasarkan data dari WHO (2011) Remaja putri merupakan kelompok yang memiliki

risiko tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan

pada remaja putri kebutuhan absorpsi zat besi mengalami puncaknya di umur 14-15 tahun,

sedangkan pada remaja putra satu atau dua tahun berikutnya.

Beberapa faktor telah banyak dilakukan penelitian tentang penyebab kejadian dari

anemia. Asupan gizi besi yang kurang pada remaja dapat disebabkan pengetahuan remaja

yang kurang tentang pangan sumber zat besi dan peran zat besi bagi remaja. Melihat

kondisi yang ada maka peningkatan pengetahuan melalui pendidikan gizi dapat

memperbaiki perilaku remaja khususnya mahasiswa untuk mengonsumsi pangan sumber

zat besi sesuai dengan kebutuhan gizinya

Berdasarkan pengalaman sebagai mahasiswa FK UNBOS sering kali mahasiswa

tidak melakukan sarapan pagi, pada saat mengikuti proses pembelajaran mahasiswa terlihat

mengantuk dan bahkan beberapa kali terdapat mahasiswa yang mengalami penurunan

kesadaran. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran tentang ilmu kesehatan dan gizi

misalnya Anemia. Selain itu, mahasiswa kedokteran juga berisiko tinggi mengalami anemia

karena jadwal kuliah yang panjang, postingan klinis, stres dan pola makan yang tidak tepat

di asrama mereka. Penyebab terjadinya anemia, yaitu: asupan yang tidak kuat, hilangnya sel
darah merah yang disebabkan oleh trauma, infeksi, perdarahan kronis, menstruasi, dan

penurunan atau kelainan pembentukan sel.

Beberapa dampak anemia biasanya, kebugaran tubuh berkurang, semangat belajar

dan prestasi menurun, menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar, mengganggu

pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal, menurunkan kemampuan

fisik olahragawati dan mengakibatkan muka pucat . Faktor utama penyebab anemia adalah

asupan zat besi yang kurang. Sekitar dua per tiga zat besi dalam tubuh terdapat dalam sel

darah merah hemoglobin. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian anemia yaitu

gaya hidup yang merokok, minum-minuman keras, kebiasaan sarapan pagi, sosial

ekonomi dan dan demografi, pendidikan, jenis kelamin, umur dan wilayah.

Pada penelitian sebelumnya yaitu Dahlia et al (2018) remaja putri mengalami

anemia karena kekurangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi, kurangnya

zat besi dalam beberapa makanan yang di konsumsi, asupan gizi yang teratur dan tidak

teraturnya pola makan, aktifitas yang dilakukan dan pola makan remaja berubah dari yang

semula serba teratur menjadi kurang teratur misalnya terlambat makan dan makan sehari

dua kali. Kondisi ini berhubungan dengan pola makan remaja putri. Perekonomian

keluarga juga dapat mempengaruhi jenis asupan makan yang dikonsumsi remaja, hal ini

berkaitan dengan perekonomian keluarga dalam pemenuhan zat gizi yang baik dan

seimbang pada remaja putri. Penelitian terdahulu lainnya berasal dari Amaliah et al (2016),

dalam penelitiannya mereka mengatakan bahwa pola konsumsi juga (frekuensi, jenis,

jumlah) makanan memiliki hubungan dengan kejadian anemia pada mahasiswi. Oleh

karena itu, diperlukan suatu pencegahan agar berkurangnya mahasiswa yang terkena
Anemia. Sehingga kita perlu mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia

pada mahasiswa terutama pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Bosowa.

Mengingat banyaknya dampak yang terjadi karena anemia tersebut,maka usaha

pencegahan maupun perbaikan perlu dilakukan. Untuk melakukan upaya pencegahan dan

perbaikan yang optimum diperlukan informasi yang lengkap dan tepat tentang kadar

hemoglobin pada mahasiswa, serta faktor yang mempengaruhinya. Upaya pencegahan dan

penanggulangan anemia yang telah dilakukan selama ini ditujukan hanya pada ibu hamil,

serta remaja. sedangkan anemia bisa terjadi pada usia berapapun . Salah satu jenis anemia

yang dapat menyerang usia yang lebih tua yaitu anemia megaloblastik. Sedangkan anemia

yang menyerang sel eritrosit disebut dengan anemia hemolitik. Berdasarkan jenis dari

anemia diketahui bahwa penyakit anemia sangatlah perlu untuk di cegah dengan cara kita

harus paham dengan jenis-jenis penyakit anemia agar kita bisa mengetahui cara

pencegahan dari penyakit tersebut.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui tentang

“Faktor-faktor yang ada hubungannya dengan Anemia pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran UNIBOS”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalah tersebut dapat ditentukan rumusan masalahnya yaitu

1. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Bosowa?

2. Bagaimana cara pencegahan dari tiap jenis anemia yang ada pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Bosowa?

C. Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini yaitu,

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa

2. Untuk mengetahui cara pencegahan dari penyakit anemia pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Bosowa

D. Manfaat Penelitian

1. Peneliti

Peneliti dapat mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan Anemia Pada

mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas Bosowa

2. Peneliti Lain

Dapat menambah dan memberikan masukan positif untuk pengembang ilmu

kedokteran dan dapat dijadikan bahan untuk melaksanakan penelitian lanjutan

tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan Anemia


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Pengertian Anemia

Menurut Citrakesumari (2012) anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana

rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang batas

(referensi) yang disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan Hb,

meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang berlebihan.

Kassebaum et al (2014) dalam kutipan menyatakan bahwa anemia adalah kondisi

yang menunjukkan jumlah atau kualitas sel darah merah (pembawa oksigen) tidak

mencukupi pemenuhan kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis setiap orang

bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin, ketinggian lokasi tempat tinggal, kondisi

kesehatan, dan fase kehamilan (WHO, 2011). Prevalensi anemia secara global pada tahun

2010 adalah 32,9% yang menyebabkan 68,4 juta tahun hidup dengan disabilitas (Years

Lived in Dissability–YLD). Ini berarti anemia menyumbang 8,8% dari total disabilitas dari

semua kondisi pada tahun tersebut. Anak-anak di bawah usia lima tahun (Balita) dan

perempuan masih menanggung beban tertinggi akibat anemia.

Anemia didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017 sebagai

turunnya massa sel darah merah yang salah satunya dapat dinilai melalui dari kadar

hemoglobin (Hb) kurang dari nilai acuan pada kelompok demografi tertentu. Satu hal yang

penting dipahami tentang anemia adalah bahwa anemia bukanlah suatu penyakit, anemia

adalah kondisi patologis yang disebabkan oleh masalah kesehatan tertentu.


Menurut S.J Baker (1978) Anemia dapat didefinisikan sebagai penurunan

konsentrasi hemoglobin di bawah acuan nilai normal karena pasokan nutrisi haemopoietik

atau zat gizi yang dibutuhkan untuk produksi dan pematangan sel darah merah tidak

memadai. Bagi individu yang sehat yang mencerna dan menyerap jumlah nutrisi

haemopoietik yang cukup, konsentrasi hemoglobin akan berada pada tingkat optimal atau

tidak akan meningkat lebih lanjut akibat meningkatnya konsumsi nutrisi haemopoietik.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa anemia yaitu

Rendahnya suatu volume hemoglobin (Hb) atau sel darah merah didalam tubuh. Dimana

hemoglobin adalah metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah

merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, pada

mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin juga pengusung karbon dioksida kembali menuju

paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.

2. Jenis-jenis Anemia

1) Anemia Difisiensi Besi

Anemia difisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya

penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya

mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai dengan anemia

hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong.

Berbeda dengan ADB, pada anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk

eritropoesis berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia sideroblastik

penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena mitokondria yang menyebabkan

inkorporasi besi kedalam heme terganggu. Oleh karen itu ketiga jenis anemia ini

digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolism besi. (Im et al, 2006)
a) Pravelensi

Anemia difisensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling sering

dijumpai di klinik maupun di masyarakat. Jenis anemia ini sangat sering dijumpai di

Negara berkembang. Dari berbagai data yang dikumpulkan sampai saar ini, didapatkan

gambaran pravelensi anemia defisiensi besi seperti tertera pada tabel 1 berikut ini.

Afrika Amerika Latin Indonesia


Laki dewasa 6% 3% 16-50%
Wanita tak hamil 20% 17-21% 25-48%
Wanita hamil 60% 39-46% 46-92%
Tabel 1. Pravelensi Anemia Defisiensi Besi di Dunia

Belum ada data yang pasti mengenai pravalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo

dkk memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 25-84% pada perempuan yang tak

hamil. sedangkan perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan

pada ADB. Di india, amerika latin dan Filipina pravelensi ADB pada perempuan hamil

berkisar antara 35% sampai 99%.

b) Gejala Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Gejala ADB dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar yaitu gejala umum anemia,

gejala khas akibat defisiensi besi dan gejala penyakit dasar.

1) Gejala umum Anemia

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia

defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8g/dl. Gejala ini berupa

badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging. Pada

anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara

perlahan-perlahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan

dengana anemia lain yang peneurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat. Hal ini
disebabkan oleh mekanisme kompesasi tubuh yang dapat berjalan dengan baik. Anemia

bersifat simtomatik jika hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik

dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konyungtiva dan jaringan dibawah kuku.

2) Gejala khas Defisiensi Besi

Gejala khasnya yaitu :

1) koilonychias: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi

cekung sehingga mirip seperti sendok.

2) atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah

menghilang

3) stomatitis angularis (cheilosis) : adanya peradangan pada sudut mulut sehingga

tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan

4) disfagia ; nyeri menelan karena keruskan epitel hipofaring

5) atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

6) pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah liat es, lem

dan lain-lain.

3) Gejala Penyakit Dasar

Pada anemia defisiensi besi dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab

anemia defisiensi besi tersebut. Sebagai contoh, pada anemia akibat penyakit cacing

tambang dijumpai dispesia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna

kuning seperti jerami. Pada anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon

dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejalan lain tergantung dari

lokasi kanker tersebut.

c) Kelainan
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah :

1) Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit Menurun

Didapatkan anemi hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin

mulai dari ringan sampai berat. Mean corpuscular volume (MCV) dan Mean

corpuscular hemoglobin (MCH) menurun, MCV < 70 fi hanya didapatkan pada

anemia defisiensi besi dan thalassemia major. Mean corpusculat hemoglobin

concentration (MCHC) menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung

lama.

2) Konsentrasi besi serum menurun pada anemia defisiensi besi dan TIBC (total iron

binding capacity) meningkat.

TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan transferin terhadap besi, sedangkan saturasi

transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria

diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50μg/ dl total iron binding capacity

(TIBC) meningkat > 350 50μg/ dl dan saturasi transferin <15%.

3) Feritin Serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada

keadaan inflamasi dan keganasan tertentu

Feritim serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang

paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik diklinik mapun dilapangan karena

cukup reliable dan praktis, meskipun tidak telalu sensitive. Nilai feritin serum

normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum

diatas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.

4) Protoporin merupakan bahan antara pada pembentukan heme


Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka

protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Untuk defisiensi besi protoporfirin

bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada

anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah

d) Cara Pencegahan

Mengingat tingginya pravelensi anemia defisiensi besi dimasyarakat maka diperlukan

suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:

1). Pendidikan kesehatan :

- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan

lingkungan kerja dan pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit

cacing tambang

- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makan yang membantu

penyerapan besi

2). Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang

palings erring dijumpai didaerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang

dapat dilakukan dengan pengobatan masal antihelmentik dan perbaikan sanitasi

3). Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang

rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Profilaksis di Indonesia diberikan pada

perempuan hamil dan anak balita dengan memakai pil besi dan folat.

4). Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan

makan. Di Negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau

bubuk susu dengan besi.(Im dkk, 2006)

2). Anemia Megaloblastik


Anemia megaloblastik (makrositosis) merupakan kelainan sel darah merah dimana

dijumpai anemia dengan volume sel dara merah (SDM) lebih besar dari SDM

disfungsional (megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan sintesis

Deoxyribose nuclei acid (DNA) dan/atau sintesis Ribonucleic Acid (RNA) dalam

produksi sel darah merah. Ketika sintesis DNA dan/atau sintesis RNA terganggu,

siklus sel terhambat berlanjut dari tahap pertumbuhan (G2) ketahap Mitosis(M). hal ini

menyebabkan poliferasi dan diferensiasi terbatas pada sell-sel progenitor sehingga

diferensiasi sel terhambat yang akan menyebabkan morfologi sel menjadi makrositosis.

Anemia makrositik dapat dibagi menjadi anemia makrositik megaloblastik dan non-

megaloblastik. Pada anemia megaloblastik sering tampil dengan hipersegmentasi sel

netrofuk (6-10 lobus). Klasifikasi anemia makrositer :

a. Megaloblastik

a) Hipovitaminosis

- Defisiensi vitamin B9 (asam folat) yang akan menyebabkan gangguan biosintesi

basa purin dan pirimidin serta gangguan proses metilasi DNA, RNA dan protein.

- Defisiensi vitamin B12 (B12) yang akan menyebabkan gangguan protes metilasi

DNA, RNA dan Protein

b) Non Hipovitaminosis

akibat gangguan sintesis DNA, RNA atau Protein karena gangguan proses

metilasi yang mempengaruhi poliferasi dan diferensia pada precursor SDM

b. Non Megaloblastik

- Termasuk dalam kategori ini adalah gangguan yang berkaitan dengan

meningkatnya luas permukaan membrane sel akibat alkoholime atau drug


induced, peningkatan eritropoiesis akibat sekunder dari retikulositosis (retikulosit

lebih besar dari SDM tua) berkaitan dengan peningkatan kadar eritropoetin

(penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal, dataran tinggi dan lain-

lain).

- Tumor yang mensekresi eritropoeitin, tumor berasal dari system vascular

(hemagioma, hemangioblastoma, hipervascularisasi carcinoma hepato-cekular),

karsinoma sel ginjal, kasinoma adrenal

a) Pravelensi

Anemia ini bergantung tergahadap asam folat. Penelitian berbasis populasi telah

dilakukan di Nowergia, yang merupakan salah satu Negara degan pravelensi bibir

sumbing tertinggi di Eropa dan tidak memungkinkan dalam makannya dapat

diperkaya dengan asam folat. Berdasarkan penelitian dilakukan pada tanggal 31

januari 2007 mendapatkan bahwa suplementasi asam folat selama kehamilan dini

terbukti efektif dalam mengurangi resiko bibir sumbing pada bayi sekitar sepertiga,

emnurut hasil penelitian kasus-kontrol berbasis populasi nasional yang dilaporkan

oleh A.J, dkk (2007). Wanita hamil atau akan hamil dianjurkan mengonsumsi asam

folat untuk mencegah keguguran dan kelainan tabung netral yaitu cacat lahir dimana

pembentukan tulang belakang janin tidak menutup kembali (Spina bifida)

b) Gejala anemia megaloblastik

Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh anemianya maupun oleh kondisi penyebab

anemia tersebut. Gejala yang timbul antara lain:

1). Gejala umum anemia :


Gejala peningkatan tonus adrenergic atau dopaminergik akibat penurunan kapasitas

angkut oksigen :

a. lesu, lemah/lemas, cepat capek

b. pucat, terutama pada konjungtiva

c. Takikardi, murmur ejeksi sistolik, gallop keempat (presistolik)

d. Excertional dispneu, Takipneu

e. Konsentrasi menurun, pingsan

f. Telinga berdenging

g. Skotoma (endema papil)

2). Gejala khusus berkaitan dengan penyebab :

a. Akibat pendarahan :

1) Menorhogia, Polymenorhagia

2) Melena, hematoskezia

3) Epistaksi

4) Gusi berdarah

b. Akibat defisiensi asam folat, B12

1) Hipettofi ginggiba, papilla

c. Akibat defisiensi B12

1) Neuropati perifer (fenomena sarung tangan/ kaos kaki)

2) Gangguan kognitif

3) Gangguan memori

4) Gangguan tidur

5) Depresi
6) Mania

7) Psikosis

d. Akibat Hemolisis intravascular

1) Hemoglobinuria, Hemosiderinuria

e. Akibat Hemolisis ekstravsuklar

1) Urobilinogen uria, urobiliuria

f. Akibat Hemolisis ekstra dan/atau intravascular

1) Splenomegali dengan/ tanpa hepatomegali

c) Kelainan

Difesiensi asam folat dapat menimbulkan cacat lahir pada bayi. Sebagaimana

disebutkan, wanita hamil yang tidak mendapatkan cukup asam folat mempunyai

resiko lebih tinggi memiliki anak dengan cacat lahir. Bahkan sebelum wanita tahu ia

hamil. Ia harus mendapatkan 600 mcg asam folat per hari. Wanita yang berencana

untuk hamil dianjurkan untuk mendapatkan asam folat 400 mcg per hari, asam folat

juga dapat membantu mencegah keguguran. Kebanyakan cacat spina bifida terjadi

setelah pembuahan. Vitamin prenatal yang mengandung sejumlah asam folat

dibutuhkan untuk ibu hamil.

Status trombofilia dapat ditimbulkan karena hiperhomosisteins (HHcy) akibat

kegagalan re-metilasi homosistein menjadi metionin asam folat, dan difisiensi B12

sebagai koensim atau akibat dari defisiensi piridoksin (B6) yang mengubah

homosistein menjadi sistein, menyebabkan disfungsi endotel vaskularberakibat pada

aktivita koagulasi, aterotrombis.

d) Pencegahan
Suplemen asam folat 0,4 mg/hari dan vitamin B12 50mg/hari perlu diberikan

sejak awal kehamilan. Suplemen Fe 30-60 mg/hari diberikan sejak usia kehamilan

18-20 minggu.selain itu, harus mengonsumsi sumber makanan yang meengandung

asam folat antara lain : Sumber Nabati yaitu sayuran berdaun seperti bayam,

asparagus, lobak hijau, kacang-kacangan seperti kacang polong, kacang lenting, biji

bunga matahari. Sedangkan sumber hewani yaitu seperti kuning telur, Hati, ginjal.

Serta vitamin B12 yang bersumber hanya dari Hewani (Shufrie, 2006)

3) Anemia Hemolitik Imun

Anemia hemolitik imun adalah kondisi pada pasien dimana terdapat autoantibody

yang melekat pada eritrosit dan menyebabkan lisis dan umur eritrosit memendek.

Meskipun umur eritrosit pada orang dewasa berkisar 120 hari namun disepakati bahwa

umur eritrosit memendek adalah kurang dari 100 hari. Jadi untuk timbulnya AIHA

diperlukan adanya antibody dan proses destruksi eritrosit. Anemia Hemolitik Imun dapat

diklasifikasi sebagai berikut.

a. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA) tipe hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibody bereaksi

secara optimal pada suhu 37C kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai

penyakit lait. Gejala anemianya terjadi perlahan-lahan, ikerik dan demam. Pada

beberapa kasus dijumpai perjalan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen dan

anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri.

b. Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin

Terjadi hemolisis diperantarai antibody dingin yaitu agglutinin dingin dan antibody

Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki agglutinin dingin


IgM monoclonal. Spesifitas agglutinin dingin adalah terhadap antigen I/i. Antigen

I/I bertugas sebagai reseptor mikplasma yang akan menyebabkan perubahan

presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibody. Agglutinin tipe dingin

akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.

Cara pencegahannya yaitu menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolosis,

prednisone dan splenektomi tidak banyak membantu, chlorambucil 2-4mg/hari

dapat diberikan, dan plasmafarensis untuk mengurangi antibody IgM secara teoritis

bisa mengurangi hemolisis, namun secara berkala praktik hal ini sukar dilakukan.

c. Anemia Hemolitik Aloimun Karena Transfusi

Hemolisisi aloimun paling bebrat adalah reaksi tranfusi akut yang disebabkan

karena ketiksesuaian ABO eritrosit (Sebagai contoh tranfusi PRC golongan A pada

penderita golongan darah O yang memiliki antibody IgM anti –A pada serum ) yang

akan memicu aktivasi komplemen dan terjadi hemolisis intravascular yang akan

menimbulkan DIC dan Infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak

napas, demam, nyeri pinging, menggigil, muntah, mual dan syok. Reaksi transfuse

tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfuse, biasanya disebabkan karena adanya

antibody dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar

dengan sel-sel antigenic, antibody tersebut meningkat pesat kadarnya dan

menyebabkan hemolisis ekstravaskuler.

d. Paroxysnal Cold Hemoglobinuria

Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai. Hemolisis terjadi secara

massif dan berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering

ditemukan karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrik


autoandibodi Donath-Lansteiber dan protein kompelen berikatan pada sel darah

merah. Pada suhu kembali 37 C terjadilah lisis karena propagasi pada protein-

protein kompelen yang lain. gejala dari penyakit ini yaitu disertai menggigil panas,

mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam sering disertai

urtikaria. Cara pencegahannya yaitu dengan menghindari faktor pencetus.

Glukokortikoid dan splenektomi tidak ada manfaatnya.

e. Anemia hemolitik imun diinduksi obat

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu :

hapten/penyerapan obat yang melibatkan antibody tergantung obat, pembentukan

kompelks ternary (mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi

autoantibody yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu serta

oksidasi hemoglobin. Cara pencegahannya dengan menghentikan pemakian obat

yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan tranfusi darah

dapat diberikan pada kondisi berat. (Taroeno-Haria dan Pardjono,2014)

4) Anemia Hemolitik Non Imun

Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena faktor defek

molekuler, abnormalitas struktur membrane, faktor lingkungan yang bukan

autoantibody seperti hiperplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati

atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrisot tanpa mengikutsertakan

mekanisme imunologi seperti malaria, bebesiosis dan klostridium.

Hemolisis yang lebih sering terjadi adalah hemolisis ekstrabaskular. Pada

hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh system retikuloendtellal

karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membrane tidak dapat melintasi
system retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

(Rinaldi, 2014)

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Anemia

Faktor utama penyebab anemia adalah kekurangan zat besi yang menjadi salah satu

unsur penting dalam memproduksi hemoglobin. Kekurangan zat ini, bisa karena penderita

memang kurang mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti sayuran hijau,

ikan, hati, telur, dan daging, serta mengkonsumsi makanan yang mengandung zat

penghambat absorpsi zat besi dalam tubuh dalam waktu bersamaan. (Cirakesumasari,2012)

Faktor-faktior yang berkaitan dengan kekurangan zat besi menurut (Citrakesumasari ,

2012) antara lain:

1) Diet

a) Rendahnya kadar besi dalam diet

b) Rendah bioavalabiliti besi dalam makanan (karena tingginya zat pengambat dan

rendahnya zat pelancar zat besi)

c) Tidak memadainya jumlah zat besi dengan peningkatan kebutuhan selama fase

kehidupan tertentu (masa bayi, remaja dan kehamilan)

d) Kekurangan zat gizi yang terkaita dengan metabolisme besi

2) Siklus Kehidupan

a) Kehamilan yang berulang

b) Perdarahan terkait dengan penggunaaan IUDs untuk pengendalian kelahiran.

c) Perdarahan yang berlebihan saat menstruasi

d) Peningkatan kebutuhan berkaitan dengan kehamilan dan dan pertumbuhan yang

cepat pada anak usia dini dan remaja (pubertas)


e) Kekurangan zat besi pada bayi berhubungan dengan kekurangan zat besi pada masa

kehamilan

3) Penyakit

a) Cacing tambang, schistosomiasis, trihuris,menyebabkan kehilangan darah yang

kronis

b) Patologis kehilangan darah seperti wasir, ulkus peptikum, dan penyakit

gastrointestinal dan maligna)

c) Adanya gangguan pada proses penyerapan dan pemanfaatan zat besi, sindrom

malabsorption, diare yang kronis, dan factor genetik.

4) Akibat dari rendahnya status sosial ekonomi

a) pengetahuan

b) Kerawanan pangan

c) Tidak memadai dan kurang aksesnya kepelayanan kesehatan

d) Rendahnya sanitilasi lingkungan dan kebersihan perorangan

5) Genetic penyebab anemia

a) Penyakit sel sabit

b) Thalassemia

Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia yaitu :

1. Pengetahuan

Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali

kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut didalamtubuh.

Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untukmenggabungkan

informasi gizi dengan perilaku makan agar strukturpengetahuan yang baik tentang gizi
dan kesehatan dapat dikembangkan.Tingkat pengetahuan gizi seseorang dalam pemilihan

makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yangbersangkutan

(Irawati, 1992).

Kelompok remaja masih berada pada proses belajar sehingga lebih mudah menyerap

pengetahuan sebagai bekal di masa datang (Saraswati, 1997). Penelitian Dadin (2006)

dalam Yasmin (2012)menguatkan teori diatas,bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara pengetahuan dengan kejadian pada remaja putri, yang mana remaja putri dengan

pengetahuan gizi rendah memiliki resiko 2,86 kali menderita anemia dibandingkan

dengan remaja putri yang pengetahuan gizinya baik.

2. Status gizi

Status gizi merupakan cerminan kecukupan konsumsi zat gizi masa-

masasebelumnya yang berarti bahwa status gizi saat ini merupakan hasil

kumulasikonsumsi makanan sebelumnya. Salah satu pengukuran antropometri untuk

mengetahui keadaan gizi adalah dengan mengukur beratbadan (BB) dan tinggi badan

(TB) dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu hasil pembagian BB dalam

kg dengan kuadrat TB dalam satuanm2(BB/TB2). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan

alat yang sederhanauntuk memantau status gizi khususnya yang berkaitan dengan

kekurangan dankelebihan berat badan (Supariasa dkk, 2002).

Menurut Thompson (2007) dalam Arumsari (2008), status gizi mempunyai

korelasi positif dengan konsentrasi Hemoglobin, artinya semakin buruk status gizi

seseorang maka semakin rendah kadar Hbnya. Berdasarkanpenelitian Permaesih (2005),

ditemukan hubungan yang bermakna antara IMTanemia, yang mana remaja putridengan
IMT tergolong kurus memiliki resiko1,4 kali menderita anemia dibandingkan remaja putri

dengan IMT normal.

3. Kehilangan darah

Salah satu penyebab anemia gizi adalah kehilangan darah secara kronis. Pada wanita,

terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika darah yang keluar selama haid

sangat banyak maka akan terjadi anemia defisiensi besi (Arisman, 2004). Usia pertama

kali haid, siklushaid serta lama hari haid berpengaruh terhadap banyaknya darah yang

hilangselama haid.

4. Asupan Gizi

a). Zat Besi

Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi dalammakanan

berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan zat besiadalah makanan yang

berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati danayam). Makanan nabati (seperti sayuran

hijau tua) walaupun kaya akan zatbesi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan

baik oleh usus (DepkesRI, 1998:14). Rendahnya asupan zat besi ke dalam tubuh yang

berasal darikonsumsi zat besi dari makanan sehari-hari merupakan salah satu

penyebabterjadinya anemia (Mary E. Beck, 2000:197).Asupan zat besi kedalam tubuh

remaja putri dipengaruhi: Konsumsi zatbesi dalam makanan terdapat 2 macam zat besi

yaitu besiheme(40%) dan besi non hem. Besi non hem merupakan sumber utama zat besi

dalam makanan.Terdapat dalam semua jenis sayuran misalnya sayuran hijau,kacang-

kacangan, kentang, dan serelia serta beberapa jenis buah-buahan.Sedangkan

besihemhampir semua terdapat dalam makanan hewani antaralain daging, ikan, ayam,

hati, dan organ-organ lain(Almatsier, 2001)Zat besi yang terdapat dalam bahan makanan
dapat berasaldari hewanmaupun tumbuhan.Macam bahan makanan yang mengandung zat

besi dapatdilihat pada tabel 2.5.Hati dan daging adalah bahan makanan yang

palingbanyak mengandung zat besi.Daribahan makanan jenis tumbuh-tumbuhanmaka

kacang-kacangan seperti kedelai, kacang pajang, buncis serta sayuranhijau daun

mengandung banyak zat besi.Sumber zat besi paling utama danpaling baik adalah pada

makanan hewani, seperti daging,ayam, ikan danmakanan hasil olahan darah.

Berdasarkan penelitian Arifin (2013) yang menunjukkan bahwa asupan

Femempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian anemia pada muridsekolah

dasar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (p=0,000).

b). Vitamin C

Zat gizi yang telah dikenal luas sangat berperan dalam meningkatkan absorpsi zar

besi adalah Vitamin C. Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi non hem sampai

empat kali lipat, yaitu dengan merubah besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga

mudah diabsorpsi.Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar

dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan.Vitamin C pada umumnya hanya

terdapat pada pangan nabati,yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk,

nenas, rambutan,papaya, gandaria, dan tomat (Almatsier, 2001).

Beberapa penelitian membuktikan pengaruh konsumsi vitamin C terhadap

kejadian anemia, yaitu pada tahun 2001, Safyanti menemukan remaja putri yang

konsumsi Vitamin C kurang dari 100 % AKG memiliki resiko 3,5 kali lebih tinggi

mengalami anemia dibandingkan dengan remaja putri yang mengkonsumsi vitamin C >

100 % AKG.
Satyaningsih (2007) dan Kwatrin (2007) juga menemukan hal yang sama, yaitu

resiko mengalami anemia lebih tinggi 4 kali pada remaja putri yang konsumsi Vitamin C

kurangdari AKG.

c). Energi

Energi merupakan zat gizi utama, jika asupan energi tidak terpenuhi sesuai

kebutuhan maka kebutuhan akan zat gizi lainnya seperti protein, vitamin, mineral juga

sulit terpenuhi. Pada umumnya jika kecukupan energi dan protein sudah terpenuhi dan

dikonsumsi dari beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya biasanya

jugaakan terpenuhi.

Kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi lainnya dan

begitu pula dengan penyerapan dan metabolismezat gizi saling terkait antara satu zat gizi

dengan zat gizi lainnya. Rendahnya asupan energidan protein dapat menimbulkan

masalah kurang energi dan protein(KEP). KEP dapat menurunkan daya tahan tubuh

terhadap infeksi. Menurut Wirakusumah (1999) kekurangan konsumsi energi

dapatmenyebabkan anemia, hal ini terjadi karena pemecahan protein tidak lagiditujukan

untuk pembentukan sel darah merah dengan sendirinya menjadi kurang. Pemecahan

protein untuk energi dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam tubuh.

Pengaruh asupan energi terhadap kejadian anemia dibuktikan dalam beberapa

penelitian, yang mana remaja putri dengan asupan energi < 100 % AKG memiliki resiko

mengalami anemia 3,13 (Lestari, 1996), 3,2 (Safyanti,2002), 6,962 (Kwatrin, 2007),

5,066 (Satyaningsih, 2007) kali lebih tinggidibandingkan remaja putri yang konsumsi

energinya cukup.

d). Protein
Protein dalam darah mempunyai mekanisme yang spesifik sebagai carrier bagi

transportasi zat besi pada sel mukosa. Protein itu disebutt ransferring yang disintesa di

dalam hati dan transferin akan membawa zat besi dalam darah untuk digunakan pada

sintesa hemoglobin. Dengan berkurangnya asupan protein dalam makanan, sintesa

transferring akan terganggu sehingga kadar dalam darah akan turun.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang asupan proteinnya

kurang dari AKG memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan dengan

remaja putri yang asupannya cukup atau memenuhi AKG. Safyanti(2002) mendapatkan

hasil bahwa remaja putri yang asupan proteinnya kurang dari AKG memiliki resiko lebih

5,3 kali terkena anemia dibandingkan dengan remaja putri yang asupannya cukup, begitu

juga dengan penelitian (Dadin 2006 dalam Yasmin 2012) mendapatkan hubungan

bermakna antara asupan protein dengan kejadian anemia dengan OR 5,06.

B. Kajian Relevan

Dalam tinjauan pustaka ini peneliti akan mendeskripsikan beberapa penelitian yang

dilakukan terdahulu relevansinya dengan judul penelitian ini. Adapun karya-karya penelitian

tersebut adalah.

1) Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Akma Listiana (2016) yang berjudul Analisis

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengankejadian Anemia Gizi Besi Pada Remaja Putri Di

Smkn 1terbanggibesar Lampung Tengah. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di SMKN

1Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2012 meliputi pendapatan

keluarga,pendidikan ibu, kebiasaan minum teh, indeks massa tubuh, pengetahuan, sikap,

kejadian infeksi,keadaan menstruasi, asupan suplemen zat besi.


2) Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Yuwono dkk (2019) dengan judul Gambaran

Kejadian Anemia Dan Menstruasi Pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana Angkatan 2017. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran kejadian

anemia dan menstruasi pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan

2017. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif potong lintang dengan

sampel berjumlah 95 orang. Hasil penelitian didapatkan prevalensi kejadian anemia sebesar

30,53%. Sebanyak 62 orang (65,3%) memiliki siklus menstruasi normal, 22 orang (23,3%)

memiliki siklus menstruasi polimenore, dan 11 orang (11,6%) memiliki siklus menstruasi

oligomenore.

Berdasarkan kajian relevan diatas, dapat dilihat bahwa kedua penelitian tersebut memiliki

persamaan yaitu pada variabel x dimana variabel x-nya adalah mengetahui faktor kejadian

Anemia. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel y dimana pada penelitian yang

pertama objek yang dilihat yaitu pada remaja putrid sedangkan pada penelitian yang kedua

objek yang akan diteliti pada mahasiswi yang mentruasi. Hal ini hampir sama dengan

penelitian yang akan peneliti buat dimana peneliti akan menentukan Faktor-faktor yang

berhubungan dengan Anemia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran. Dengan objek yang

akan menjadi fokusnya adalah berbeda.

B. Kerangka Teori

Status Karakteristik Pola


Gizi Responden Komsumsi

Semakin buruk status Perempuan Lebih banyak Kurangnya mengonsumsi


gizi seseorang maka menderita Anemia makanan sehingga asupan
semakin rendah kadar daripada Laki-laki gizi juga berkurang
Hbnya

IMT tergolong kurus Perempuan setiap Asupan Gizi yang


memiliki resiko 1,4 bulan mengalami kurang cenderung
dibandingkan dengan
IMT normal

Anemia

Faktor Faktor
Internal Eksternal

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. KERANGKA KONSEPTUAL
Variabel Independen Variabel Dependen
Status Gizi

Karakteristik Anemia
Responden

Pola Konsumsi

B. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu :

1. Ada hubungan antara jenis kelamin terhadap faktor penyebab anemia pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa

2. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang anemia terhadap faktor penyebab

anemia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa

3. Ada hubungan antara status ekonomi terhadap faktor penyebab anemia pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa

4. Ada hubungan antara nilai gizi terhadap faktor penyebab anemia pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa

C. Definisi Operasional

Definisi operasionalnya adalah sebagai berikut:


a. Pengetahuan tentang gizi adalah segala sesuatu yang diketahui tentang gizi meliputi
definisi, manfaat tentang gizi dan akibat dari kekurangan gizi pada remaja.
(Wirakusuma,E. 1998) Kuesioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa
tentang gizi terdiri dari beberapa pertanyaan. Skala yang digunakan adalah ordinal.
Pengetahuan ditanyakan dengan menggunakan item, untuk jawaban yang benar sesuai
kunci jawaban diberinilai (1) dan untuk jawaban yang salah tidak sesuai dengan kunci
jawaban diberinilai (0) . Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi tinggi, sedang,
rendah (Arikunto, 2002)

Nilai jumlah yang benar


Presemtase = x 100 %
Jumlah soal

Kategori tingkat pengetahuan mahasiswa tentang gizi: Parameternya :


 Tinggi, jikaskor jawabannya mencapai 76% - 100%
 Sedang, jika skor jawabannya mencapai 56% - 75%
 Rendah, Kurang dari sama dengan 55% (Arikunto, 2006)

b. Perilaku tentang gizi menunjukkan tindakan nyata responden dalam mengupayakan


asupan nutrisi yang baik (seimbang) pada masa pertumbuhan. (Wirakusuma,E. 1998)
Skala yang digunakan adalah ordinal. Perilaku pengetahuan dinyatakan dengan
menggunakan item, dengan skor 1 s.d. 4. Skala pengukuran yang digunakan adalah
ordinal, dengankategorijawaban :
1) Tidakpernah
2) Kadang – kadang
3) Sering
4) Selalu

Nilai Total
Perhitungan Skor Perilaku = x 100 %
Jumlah Skor Maksimal
Kategori yang digunakan :
1) menu seimbang lebih besar sama dengan median dikatakan baik
2) menu tidak seimbang kurang dari median dikatakan buruk
c. Perhitungan IMT yang terdiri dari perhitungan (1) berat badan yang merupakan suatu
indeks pengukuran yang menggunakan antropometri yang digunakan untuk mengetahui
keadaan gizi. Diukur dengan menggunakan timbangan gram digital. Dan (2) tinggi badan
yang merupakan suatu indeks pengukuran yang menggunakan antropometri yang
digunakan untuk mengetahui keadaan gizi. Diukur dengan menggunakan stature meter.
Parameternya menggunakan hasil pengukuran dibandingkan dengan standar normal
tinggi badan. Skala yang digunakan adalah interval. Hasil pengukuran antropometri
kemudian dihitung dengan rumus :

Berat Badan
IMT =
Tinggi Badan

Kemudian dari perhitungan IMT didapatkan hasil status gizi yang dikategorikan menjadi
kurus (IMT < 18.5), normal (IMT 18.5-24.9), risiko untuk gemuk (IMT 25.0-26.9), dan
gemuk (IMT > 26.9).

d. Anemia pada Mahasiswa adalah suatu keadaan yang menunjukkan Kadar Hemoglobin
(Hb) darah pada remaja putrid kurang dari 12 gr/dL. Penentuan diagnosis anemia gizi
dapat ditegakkan dengan menilai kadar hemoglobin dalam darah dibandingkan dengan
nilai normal Hb berdasarkan standar Hb untuk remaja putri. Uji kadar Hb dalam darah
yang digunakan adalah dengan menggunakan hemoCue (Haemometer digital) dengan
pengukuran langsung pada Mahasiswa. Skala yang digunakana dalah ordinal.
Diklasifikasikan menjadi anemia ringan, sedang, berat, dan sangat berat (WHO, 2011).
Klasifikasi Anemia BerdasarkanBatasan Hemoglobin
Klasifikasi Anemia Batas Hb (gr/dl)
Normal 12 -14
Ringan 11- 11,9
Sedang 8 – 10,9
Berat 5 – 7,9
Sangatberat <5
BAB IV

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yaitu suatu

penelitian untuk mempelajari dinamik korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek.

2. Lokasi dan waktu

Penelitian ini akan dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa di Jl. Urip

Sumoharjo, Karampuang, Kec. Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Sedangkan penelitian ini dilaksanakan mulai dari semester 3 pembuatan proposal hingga

seminar hasil

3. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu :

a. Kuisioner/angket

Angket dalam penelitian ini disusun bedasarkan indikator faktor-faktor yang

berkaitan dengan anemia pada mahasiswa universitas bosowa

b. Wawancara

Wawancara merupakan Tanya jawab secara terbuka berkaitan dengan informs

terkait faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada mahasiswa universitas

bosowa

4. Populasi dan sampel


a. Populasi

Populasi adalah sekumpulan subjek berupa individu organisasi industry atau

perspektif yang lain (Lexy, J Moleong, 2002). Populasi pada penelitian ini yaitu

seluruh mahasiswa kedokteran Universitas Bosowa angkatan 2019 yang berjumlah

96 orang.

b. Sampel

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu

hingga dianggap mewakili populasi. Pada penelitian ini sampelnya adalah sebagian

mahasiswa kedokteran Universitas Bosowa yang sudah ditentukan menggunakan

teknik random sampling. Dengan persamaan rumus sebagai berikut:

N
n= 2
1+ N (∝)

Ket : n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

∝ = koefisien

5. Kritea sampel

a) Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang

dapat di ambil sebagai sampel. (Notoatmodjo S. 2010). Peneliti telah menentukan

kriteria untuk sampel yang akan diteliti meliputi mahasiswa aktif kedokteran

universitas bosowa angkatan 2019.

b) Kriteria eksklusi

Kriteria ekslusi adalah kriteria dengan ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat

diambil sampel (Notoatmodjo S. 2010). Peneliti telah menentukan kriteria yang tidak
memenuhi sebagai sampel penelitian meliputi : mahasiswa diluar program studi

kedokteran universitas bosowa

6. Besar sampel

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 77 mahasiswa kedokteran

Universitas Bosowa diambil dari 96 mahasiswa kedokteran univernasitas bosowa

menggunakan tehnik random sampling.

7. Cara pengambilan sampel

Pada penelitian ini menggunakan teknik random sampling dalam penentuan sampel.

Dimana teknik random digunakan untuk pengambilan sampel dengan adanya

keterwakilan dari beberapa sampel.

8. Alur Penelitian
Menyusun
Izin Kuisioner Melakukan
yang akan uji validitas
Peneliti ditanyakan Pengambilan
dan reabilitasdata
Memenu
an kepada sesuai dengan
kuisioner
hi responden variabel yang diteliti
Kriteria yaitu ( jenis kelamin,
Inklusi status gizi dan
Pengelola
asupan gizi
Datadan
Hasil
Pembahasa
Penyajian
n
Hasil
9. Rencana analisis data
Penelitian
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis bivariat. Analisis bivariat

adalah adalah uji korelasi, tujuan dari analisis bivariat ini adalah untuk menentukan

hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang dilakukan dengan Chi Square

dengan nilai kemaknaan p value = 0,05 jika p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak, H1

diterima, sehingga ada hubungan antara variabel bebas dan terikat. Jika p value > 0,05

maka Ho diterima H1 ditolak sehingga tidak ada hubungan antara variabel bebas dan

terikat. Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji square dengan

tabel 2x2 dan tidak ada nilai E <5, uji yang dipakai adalah “Continuity Correction”

10. Aspek etika penelitian

Etika Penelitian yang harus di perhatikan pada penelitian ini yaitu :

1. Menghormati Privasi dan Kerahasiaan Subjek Penelitian (respect for privacy and

confidentiality) Penelitidalam melakukan pengambilan data tidak mencantumkan

identitas subyek, tetapi menggunakan nomor rekam medik dan inisial subyek sebagai
keterangan (anonimity). Peneliti menjaga privasi dan kerahasiaan data rekam medis yang

diambil dengan tidak membicarakan data yang diambil kepada orang lain dan hanya data

tertentu yang dilaporkan (confedentiality).

2. Keadilan dan Inklusivitas/Keterbukaan (respect for justice and inclusiveness)Setiap

subjek penelitian memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama untuk diacak dan

diambil sebagai sampel penelitian tanpa membedakan gender, agama, etnis, dan

sebagainya.

3. Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian yang Ditimbulkan (balancing harms and

benefits)

Penelitian ini dapat memberi manfaat yaitu dapat mengetahui faktor risiko anemia pada

mahasiswa kedokteran sehingga mahasiswa kedokteran akan lebih berwaspada dan terus

melakukan pencegahan agar tidak terpapar faktor risiko anemia. Peneliti meminimalisasi

dampak yang merugikan bagi subyek yaitu dengan menggunakan data sekunder dan

tidak melakukan pengecekan kadar Hb langsung sehingga aman untuk dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai