Anda di halaman 1dari 90

KEBIJAKAN PENJAMINAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF ASAS-ASAS


UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

SKRIPSI

Oleh :

DOOHAN PRAMONO PUTRA


NPM : 17300100

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
KEBIJAKAN PENJAMINAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF ASAS-ASAS
UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

SKRIPSI

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH


GELAR SARJANA HUKUM PADA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUSMA SURABAYA

OLEH :

DOOHAN PRAMONO PUTRA


NPM. 17300100

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
FAKULTAS HUKUM
2021

i
KEBIJAKAN PENJAMINAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF ASAS-ASAS
UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

SKRIPSI
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH
GELAR SARJANA HUKUM PADA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUSMA SURABAYA

OLEH :

DOOHAN PRAMONO PUTRA


NPM. 17300100

Surabaya, 29 Juli 2021

MENGESAHKAN,

DEKAN, PEMBIMBING,

Dr. UMI ENGGARSASI, S.H., M.Hum SETO CAHYONO, S.H., M.Hum.

ii
KEBIJAKAN PENJAMINAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF ASAS-ASAS
UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

DIPERSIAPKAN DAN DISUSUN

OLEH :

DOOHAN PRAMONO PUTRA


NPM. 17300100

TELAH DIPERTAHANKAN
DI DEPAN DEWAN PENGUJI PADA TANGGAL 2021
DAN DINYATAKAN TELAH MEMENUHI PERSYARATAN

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

1. (KETUA) 1.

2. (ANGGOTA) 2.

3. (ANGGOTA) 3.

iii
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kekehadirat Allah S.W.T. karena

atas segala limpahan rahmat, anugerah dan hidayah-NYA, Penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Penjaminan Usaha Mikro Kecil

Dan Menengah Di Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Asas-Asas Umum

Pemerintahan Yang Baik” dapat Penulis selesaikan dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terwujud dan melalui kesempatan yang baik

ini penulis mengucapkan terima kasih banyak, dan saya ingin menyampaikan

terima kasih untuk segala dorongan, bantuan dan semangat, serta inspirasi kepada:

1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta, Ayah Sumono dan Ibu Kati, serta

Kakak Penulis Sony Irawan. yang telah memberi dorongan baik moral, materil,

dan doa yang tiada habisnya.

2. Bapak Prof. Dr. H. Widodo Ario Kentjono, dr. SP.THT-KL (K), FICS selaku

Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk menjadi bagian dari Civitas Akademik.

3. Ibu Dr. Umi Enggarsasi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah menyediakan berbagai

fasilitas sebagai penunjang pembelajaran selama saya mengikuti perkuliahan.

4. Bapak Seto Cahyono, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing yang dengan

sangat sabar dalam membimbing, menuntun, dan memberikan banyak arahan

kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

iv
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

yang telah memberi berkal ilmu hukum dan membimbing dengan baik selama

saya mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya.

6. Kepala Tata Usaha beserta jajarannya di Fakultas Hukum Universitas Wijaya

Kusuma Surabaya, atas bantuannya dan pelayanannya selama mengikuti

perkuliahan.

Saya juga ingin menyampaikan terima kasih untuk segala bantuan, motivasi dan

semangat yaitu kepada:

1. Sahabat-sahabat seperjuangan saya yang telah memberi semangat kepada saya,

di saat saya merasakan hambatan di dalam mengerjakan skripsi ini. Yaitu

Arum Kusumawati, Rahmat Fadilah, Krisna Tri, Afif Kamil, dan Nizam

Utsman.

2. Terima kasih untuk para Senior dan Alumni Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah banyak sekali

membantu, memberi saran dan motivasi, serta selalu mendukung saya untuk

menyelesaikan skripsi ini.

3. Serta terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan

memberikan semangat kepada saya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu,

dukungan doa dan semangat yang sangat berarti bagi saya, penulis berharap

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi lingkungan

Universitas dan terkhusus bagi penulis pribadi.

v
Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi lingkungan kampus dan

terkhusus bagi Penulis pribadi.

Surabaya, 29 Juli 2021


Hormat kami,

DOOHAN PRAMONO PUTRA

vi
SURAT PERNYATAAN ORISIONALITAS

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Doohan Pramono Putra

NPM : 17300100

Alamat : Jl. Kandangan Dharma I No. 10, Kota Surabaya.

No. Telp : 081332870746

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : KEBIJAKAN PENJAMINAN

USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH DI MASA PANDEMI COVID-19

DALAM PERSPEKTIF ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

adalah murni gagasan saya yang belum pernah saya publikasikan di media, baik

majalah maupun jurnal ilmiah dan bukan tiruan (plagiat) dari karya orang lain.

Apabila ternyata nantinya skripsi tersebut ditemukan adanya unsur

plagiarisme maupun autoplagiarisme, saya siap menerima sanksi akademik yang

akan dijatuhkan oleh Fakultas.

Demikian pernyataan ini saya buat sebagai bentuk pertanggungjawaban

etika akademik yang harus dijunjung tinggi di lingkungan perguruan tinggi.

Surabaya, 29 Juli 2021


Yang Menyatakan,

Doohan Pramono Putra


NPM : 17300100

vii
ABSTRAK
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (untuk selanjutnya disebut Covid-19)
di Indonesia membawa dampak tidak hanya di sektor kesehatan akan tetapi hal ini
juga telah membawa perubahan pegerakan struktur ekonomi masyarakat. Dalam
menanggapi masalah tersebut, setiap kebijakan dan tindakan yang diambil dalam
hal apapun (termasuk penanganan covid-19) haruslah berlandaskan hukum
sebagai legalitas dalam bertindak, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah mengambil langkah
konkrit dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (untuk selanjutnya
disebut Perppu No 1 Tahun 2020).
Berdasarkan Peraturan tersebut di atas, Pemerintah menerbitkan Kebijakan
Pemulihan Ekonomi Nasional (untuk selanjutnya disebut PEN) sebagaimana
diatur di dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2020. Tujuan dari dibentuknya
kebijakan atau program PEN ini adalah untuk melindungi, mempertahankan dan
meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor
keuangan dalam menjalankan usahanya sebagaimana diatur di dalam Pasal 11
ayat (2) UU No. 2 Tahun 2020. Di dalam program PEN terdapat 4 program, salah
satunya yang akan dibahas adalah Program Penjaminan oleh Pemerintah terhadap
UMKM. Penelitian ini bertujuan pertama untuk menganalisis bentuk-bentuk
kebijakan ekonomi Pemerintah Indonesia di masa Pandemi terkhusus kebijakan
Pemulihan Ekonomi Nasional terhadap UMKM. Kedua, untuk menganalisis akan
penerapan kebijakan ekonomi dalam hal pemberian jaminan dari Pemerintah
terhadap UMKM dalam perspektif Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Metode Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan metode
penelitian pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyatakan bahwa Dalam
menanggapi pandemi Covid-19 Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan
Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (untuk selanjutnya disebut PEN)
sebagaimana diatur di dalam Perppu No. 1 Tahun 2020. Di dalam kebijakan PEN
terdapat 4 (empat) metode atau cara yang akan digunakan oleh Pemerintah
sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 PP No. 23 Tahun 2020, yaitu Penanaman
Modal Negara, Penempatan Dana, Investasi Pemerintah, dan/atau Penjaminan
Pemerintah terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Koperasi, dan Usaha
Besar. Bahwa Pada PEN khususnya program penjaminan oleh Pemerintah ini,
para pelaku usaha dalam mengajukan pinjaman modal kerja atau melakukan
restrukturisasi kredit dengan mekanisme sebagaimana diatur di dalam PMK No.
71 Tahun 2020.para Pelaku usaha UMKM dalam hal ini dibebani dengan adanya
Imbal jasa penjaminan dan hak regres, pembebanan tersebut tentu melanggar asas-
asas yang ada di dalam AAUPB.

Kata Kunci : darurat, kebijakan, mekanisme, penjaminan.

viii
ABSTRACT

The 2019 Coronavirus Disease (hereinafter referred to as Covid-19)


pandemic in Indonesia has an impact not only on the health sector but this has
also brought about changes in the movement of the community's economic
structure. In responding to this problem, every policy and action taken in any case
(including the handling of covid-19) must be based on law as legality in acting, as
regulated in Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia. The government takes concrete steps by issuing Government
Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2020 concerning State Financial Policy
and Financial System Stability for Handling the 2019 Corona Virus Disease
(Covid-19) Pandemic and/or In Facing Threats That Endanger the National
Economy and/or Financial System Stability ( hereinafter referred to as Perppu No.
1 of 2020).
Based on the regulation above, the Government issues a National
Economic Recovery Policy (hereinafter referred to as PEN) as regulated in
Article 11 paragraph (1) of Law no. 2 of 2020. The purpose of the establishment
of this PEN policy or program is to protect, maintain and improve the economic
capacity of business actors from the real sector and the financial sector in
carrying out their business as regulated in Article 11 paragraph (2) of Law no. 2
of 2020. In the PEN program there are 4 programs, one of which will be
discussed is the Guarantee Program by the Government for MSMEs. This study
aims first to analyze the forms of the Indonesian Government's economic policies
during the Pandemic, especially the National Economic Recovery policy for
MSMEs. Second, to analyze the implementation of economic policies in terms of
providing guarantees from the Government to MSMEs in the perspective of the
General Principles of Good Governance.
The research method used in this thesis uses a statute approach and a
conceptual approach.
Based on the results of this study, the researcher stated that in response to
the Covid-19 pandemic, the Government of Indonesia issued a National Economic
Recovery Policy (hereinafter referred to as PEN) as regulated in Perppu No. 1 of
2020. In the PEN policy there are 4 (four) methods or methods that will be used
by the Government as regulated in Article 4 of PP No. 23 of 2020, namely State
Investment, Fund Placement, Government Investment, and/or Government
Guarantee for Micro, Small and Medium Enterprises, Cooperatives, and Large
Enterprises. Whereas in PEN, especially the guarantee program by the
Government, business actors in applying for working capital loans or conducting
credit restructuring with the mechanism as regulated in PMK No. 71 of 2020.
MSME business actors in this case are burdened with the existence of guarantee
fees and regress rights, these charges certainly violate the principles contained in
the AAUPB.

Keywords: emergency, policy, mechanism, guarantee.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………. i

LEMBAR PENGESAHAN …………………………. ii

LEMBAR PERSERTUJUAN DEWAN


….……………………… iii
PENGUJI

KATA PENGANTAR …………………………. iv

PERNYATAAN ORISIONALITAS …………………………. vii

ABSTRAK …………………………. viii

ABSTRAK (BAHASA INGGRIS) …………………………. ix

DAFTAR ISI …………………………. x

BAB I PENDAHULUAN …………………………. 1

A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah …………………………. 1

B. Tujuan Penulisan …………………………. 6

C. Manfaat Penulisan …………………………. 7

D. Kerangka Konseptual …………………………. 7

E. Meteode Penelitian …………………………. 18

F. Sistematika Pertanggungjawaban …………………………. 22

BAB II BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN EKONOMI

PEMERINTAH INDONESIA DI MASA PANDEMI


………... 24
TERKHUSUS KEBIJAKAN PEMULIHAN

EKONOMI NASIONAL TERHADAP UMKM

A. Tanggung Jawab Pemerintah Indonesia Dalam Menangani


………... 24
Pandemi Covid-19

x
B. Penetapan Status Darurat Kesehatan Pandemi Covid-19 di
………... 35
Indonesia

C. Kebijakan Ekonomi Pemerintah Indonesia di Masa Pandemi


………... 39
Terhadap Perlindungan Kelangsungan UMKM

BAB III MEKANISME PENERAPAN KEBIJAKAN

PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL DALAM

HAL PEMBERIAN JAMINAN DARI


………... 41
PEMERINTAH TERHADAP UMKM DALAM

PERSPEKTIF ASAS-ASAS UMUM

PEMERINTAHAN YANG BAIK

A. Kedudukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang baik


………... 41
Dalam Sistem Hukum Indonesia

B. Mekanisme Penerapan Program Penjaminan Oleh


………... 55
Pemerintah Terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

C. Kebijakan Program Penjaminan oleh Pemerintah Dalam


………... 63
Perspektif Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

BAB IV PENUTUP ………... 70

A. Kesimpulan ………... 70

B. Saran ………... 71

DAFTAR BACAAN

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (untuk selanjutnya disebut Covid-19)

di Indonesia membawa dampak tidak hanya di sektor kesehatan akan tetapi hal ini

juga telah membawa perubahan pegerakan struktur ekonomi masyarakat.1

Kedudukan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1

ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam arti semua

kebijakan dan tindakan yang diambil dalam hal apapun (termasuk penanganan

covid-19) haruslah berlandaskan hukum sebagai legalitas dalam bertindak.2

Berbagai langkah dan tindakan telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mulai

dari adanya penerapan Social distancing, Physical distancing sampai dengan

pembatasan sosial berskala besar (untuk selanjutnya disebut PSBB) sebagaimana

diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan

Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus

Disease 2019 (untuk selanjutnya disebut PP No. 21 Tahun 2020).

Bahwa pada intinya PP No. 21 Tahun 2020 menerangkan bahwa, “Covid-

19 beresiko terhadap kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan

kedaruratan kesehatan masyarakat.” Hal ini mengakibatkan berubahnya

pergerakan struktur ekonomi masyarakat. Di samping itu, Pemerintah mengambil

1
Syafrida, Ralang Hartati, 2020, “Bersama Melawan Virus Covid 19 di Indonesia”, Jurnal
Sosial dan Budaya Syar-i, Vol. 7 No. 6, Jakarta, h. 500.
2
Supriyadi, 2020, “Kebijakan Penanganan Covid-19 Dari Perspektif Hukum Profetik”,
Suloh Jurnal Program Studi Magister Hukum, Edisi Khusus, Vol. Oktober 2020, h. 92.

1
2

langkah konkrit dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan

Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease

2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang

Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan

(untuk selanjutnya disebut Perppu No 1 Tahun 2020), dan telah ditetapkan sebagai

Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang

Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Keuangan Untuk Penanganan

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka

Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau

Stabilitas Sistem Keuangan (untuk selanjutnya disebut UU No. 2 Tahun 2020).

Berdasarkan Peraturan tersebut di atas, Pemerintah menerbitkan Kebijakan

Pemulihan Ekonomi Nasional (untuk selanjutnya disebut PEN) sebagaimana

diatur di dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2020 yang menyebutkan bahwa,

“Dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (4) dan guna melakukan penyelamatan ekonomi nasional,

Pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional.” Tujuan dari

dibentuknya kebijakan atau program PEN ini adalah untuk melindungi,

mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari

sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya sebagaimana diatur

di dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2020.


3

Pelaksanaan dari program atau kebijakan PEN Pemerintah ini

dilaksanakan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020

Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka

Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona

Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang

Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan

Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (untuk selanjutnya disebut PP No. 23

Tahun 2020) sebagaimana beberapa Pasalnya telah diubah dengan diterbitkannya

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan

Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara

Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau

Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau

Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (untuk

selanjutnya disebut PP No. 43 Tahun 2020).

Definisi mengenai PEN diatur di dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun

2020, yang menyebutkan bahwa;

“Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program


PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional
yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan
oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID19) dan/atau menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan
serta penyelamatan ekonomi nasional.”
4

Bahwa dalam melaksanakan program atau kebijakan PEN tersebut di atas,

terdapat 4 (empat) jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah sebagaimana

diatur di dalam Pasal 4 PP No. 23 Tahun 2020, yaitu :

a. Penanaman Modal Negara;

b. Penempatan Dana;

c. Investasi Pemerintah; dan/atau

d. Penjaminan.

Pelaksanaan terhadap kegiatan tersebut di atas masing-masing diatur oleh

peraturan perundang-undangan, yakni Penanaman Modal Negara dan Investasi

Pemerintah. Namun, terhadap pelaksanaan kegiatan Penempatan Dana dan

Penjaminan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk

pelaksanaan kegiatan Penempatan Dana Pemerintah telah diatur di dalam

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 Tentang Penempatan

Dana Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (untuk

selanjutnya disebut PMK No. 104 Tahun 2020) dan untuk pelaksanaan kegiatan

Penjaminan Pemerintah telah diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

71/PMK.08/2020 Tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan

Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program

Pemulihan Ekonomi Nasional (untuk selanjutnya disebut PMK No. 71 Tahun

2020). Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan juga telah menerbitkan peraturan

sehubungan dengan restrukturisasi kredit atau pembiayaan sebagaimana telah

diatur di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020

Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical


5

Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (untuk selanjutnya disebut

POJK No. 11 Tahun 2020).

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas yaitu, PMK No. 104

Tahun 2020, PMK No. 71 Tahun 2020, dan POJK No. 11 Tahun 2020 Pemerintah

berusaha menerapkan dan melaksanakan program atau kebijakan PEN dengan

mengandalkan bank sebagai pelaksana tugas secara tidak langsung di lapangan.

Bank diberi tugas yang cukup berat untuk menyalurkan dana APBN dari

Pemerintah dengan melaksanakan beberapa program atau kebijakan yang

diantaranya adalah melaksanakan program penempatan dana Pemerintah,

penjaminan dana dari Pemerintah, dan Stimulus perekonomian dari Otoritas Jasa

Keuangan (untuk selanjutnya disebut OJK). Yang pada dasarnya program atau

kebijakan tersebut di atas menginstruksikan bank guna melaksanakan penempatan

modal untuk melaksanakan kredit, restrukturisasi kredit dan penjaminan dana dari

Pemerintah untuk pinjaman modal kerja yang diberikan kepada perusahaan-

perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah (untuk selanjutnya disebut UMKM),

usaha besar, serta koperasi.

Program penjaminan dari Pemerintah menjadi suatu persoalan, di mana

Pemerintah secara tidak langsung menginstruksikan bank yang memberikan

pinjaman modal kerja kepada UMKM, usaha besar, dan koperasi yang kegiatan

usahanya terancam akibat dampak dari Pandemi Covid-19 dan dijamin oleh

Pemerintah melalui PT. Jaminan Kredit Indonesia (untuk selanjutnya disebut PT.

Jamkrindo) dan PT. Asuransi Kredit Indonesia (untuk selanjutnya disebut PT.

Askrindo), di samping beberapa program sebagaimana telah disebutkan di atas.


6

Hal ini tentu saja dapat membahayakan kualitas kesehatan bank itu sendiri,

penilaian terhadap tingkat kesehatan bank salah satunya menggunakan pendekatan

risiko yang diantaranya adalah risiko kredit sebagaimana diatur di dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4 /POJK.03/2016 Tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum (untuk selanjutnya disebut POJK No. 4 Tahun

2016).

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan

permasalahannya sebagai berikut :

1. Apa saja bentuk-bentuk kebijakan ekonomi Pemerintah Indonesia di

masa Pandemi terkhusus kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional

terhadap UMKM?

2. Bagaimana mekanisme penerapan kebijakan pemulihan ekonomi

nasional dalam hal pemberian jaminan dari Pemerintah terhadap

UMKM dalam perspektif Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik?

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di

atas, maka dapat ditentukan tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisa bentuk-bentuk kebijakan ekonomi Pemerintah

Indonesia di masa Pandemi terkhusus kebijakan Pemulihan Ekonomi

Nasional.
7

2. Untuk menganalisa akan penerapan kebijakan ekonomi dalam hal

pemberian jaminan dari Pemerintah terhadap UMKM, Koperasi, dan

Usaha besar.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi

pendalaman kajian pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan

khusus pada bentuk serta mekanisme penerapan kebijakan PEN oleh

Pemerintah khususnya kebijakan pemberian jaminan dari Pemerintah

terhadap UMKM, Koperasi, dan usaha besar.

b. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi

Pemerintah khususnya Presiden selaku Kepala Pemerintah dan Menteri

Keuangan Republik Indonesia yang memiliki kewenangan dalam

membentuk peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-

kebijakan ekonomi, dalam menerapkan kebijakan PEN tersebut yang

didasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

D. Kerangka Konseptual

1. Konsep Kebijakan Diskresi

Diskresi merupakan konsep yuridis (legal concept) tentang kekuasaaan

Pemerintah.yang sah di mana,badan.atau pejabat.Pemerintah yang

menjalankannya berhak untuk memperoleh.perlindungan..hukum.3 Pada

hakikatnya, diskresi menampakkan satu kecenderungan..berupa

3
Krishna Djaya Darumurti, 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum, Genta Publishing,
Yogyakarta, h. 23.
8

pengecualian...dari keharusan..bertindak sesuai aturan umum (general rule)

dari peraturan..perundang-undangan dengan

menggunakan…pendekatan…rule-based atau rule..following.4 Indroharto

berpendapat bahwa..wewenang..diskresi sebagai wewenang..fakutaltif, yang

wewenang yang tidak mewajibkan badan atau pejabat tata usaha negara

menerapkan wewenangnya, tetapi memberikan pilihan sekalipun hanya dalam

hal-hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.5

S. Prajudi Atmosudirjo berpendapat bahwa diskresi, discretion (Inggris),

discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak

atau...mengambil…keputusan..dari…para pejabat..administrasi…negara..yang

berwenang..dan..wajib.menurut.pendapat.sendiri.6 Philipus M.hadjon mengutip

pendapat N.M.Spelt dan Ten Berge, membagi..kewenangan..bebas..dalam..dua

kategori…yaitu…kebebasan..kebijaksanaan..(beleidsvrijheid)…dan..kebebasan

penilaian.(beoordelingsverijheid).yang.selanjutnya.disimpulkan.bahwa.ada.dua

jenis..kekuasaan..bebas.yaitu: pertama.kewenangan.untuk.memutuskan.mandiri,

Kedua..Kewenangan.interpretasi..terhadap.norma-norma.tersamar.(vergenorm).

Pemahaman mengenai diskresi di Indonesia dapat diketahui dengan

melihat pada definisi diskresi yang diatur di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-

Undang Nomor. 30 Tahun 2014 Tahun Tentang Administrasi Pemerintah

(untuk selanjutnya disebut UU Nomor. 30 Tahun 2014), yang dijelaskan

sebagai berikut:

Ibid., h. 24.
4

Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha


5

Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, h. 99-101.


6
S. Prajudi Atmosudirjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.
82.
9

“Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau


dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret
yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundangundangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi Pemerintahan.”

Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat diketahui bahwa diskresi digunakan

oleh Pemerintah sebagai alat/instrumen hukum untuk keberlangsungan jalannya

roda Pemerintahan. Hal ini dapat dipahami dengan melihat tujuan dari

penggunaan diskresi tersebut, sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 ayat (2)

UU Nomor. 30 Tahun 2014, yang mengatur bahwa :

“Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:”


a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum.

Pemerintah dalam menggunakan diskresi tidak dapat dilakukan atau

dipakai dengan sewenang-wenang, dikarenakan terdapat batasan-batasan dalam

penggunaan diskresi tersebut. Di mana batasan-batasan penggunaan diskresi ini

diatur di dalam Pasal 23 UU Nomor. 30 Tahun 2014 yang mengatur mengenai

ruang lingkup diskresi dan Pasal 24 UU Nomor. 30 Tahun 2014 yang mengatur

mengenai syarat-syarat penggunaan diskresi oleh Pemerintah, yang disebutkan

sebagai berikut :

“Pasal 23 UU Nomor. 30 Tahun 2014, Diskresi Pejabat Pemerintahan


meliputi:”
a. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang undangan yang memberikan suatu pilihan
Keputusan dan/atau Tindakan;
b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak mengatur;
c. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan
perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan
10

d. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi


pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
“Pasal 24 UU Nomor. 30 Tahun 2014, Pejabat Pemerintahan yang
menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:”
a. Sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (2);
b. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Sesuai dengan AUPB;
d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. Tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. Dilakukan dengan iktikad baik.

2. Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik di Indonesia

Pergeseran…konsepsi…nachwachersstaat…(negara..penjaga..malam)…ke

konsepsi..welfare…state…membawa..pergeseran..pada..peranan..dan..aktivitas

pemerintah. Hal ini memposisikan Pemerintah.sebagai.pihak.yang.bertanggung

jawab..terhadap..kesejahteraan..umum..warga..negara..dan..untuk..mewujudkan

kesejahteraan..ini..Pemerintah..diberi kewenangan untuk..campur.tangan.dalam

segala..lapangan..kehidupan..masyarakat, yang dalam..campur..tangan.ini.tidak

saja..berdasarkan.pada.peraturan.perundang-undangan, tetapi.berdasarkan.pada

inisiatif..sendiri..melalui freies.ermessen, ternyata..menumbulkan.kekhawatiran

di..kalangan..warga..negara.7 Karena freies..ermessen muncul..dengan peluang

terjadinya..benturan..kepentingan..antara..pemerintah.dengan.rakyat.baik.dalam

bentuk..onrechtmatigoverheidsdaad, detournement..de.pouvoir, maupun dalam

bentuk..willekeur, yang..merupakan..bentuk-bentuk…penyimpangan..tindakan

pemerintahan..yang.mengakibatkan.terampasnya.hak-hak asasi.warga.negara.8

Istilah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (untuk selanjutnya

disebut AAUPB) pertama kali dikemukakan oleh Komisi De Monchy pada

7
Ridwan HR, Op.Cit, h. 222 - 223.
8
Philipus M. Hadjon, dkk, 2015, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajahmada
University, Yogyakarta, h. 270.
11

tahun 1950 atas hasil laporan penelitiannya tentang verhoogde

rechtsbercherming dalam bentuk “algemene beginselen van behoorlijk

berstuur”.9 AAUPB saat ini dipahami sebagai.asas-asas.umum yang dijadikan

sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraaan pemerintahan..yang.baik,

yang dengan..cara demikiaan penyelenggaraan..Pemerintahan itu.menjadi.baik,

sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan,

tindakan.penyalahgunaan.wewenang, dan.tindakan.sewenang-wenang.

Di Negara Indonesia AAUPB ini muncul dan dimuat di dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disebutkan beberapa

asas umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut :

1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan

keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara.

3. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak

diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

9
Ridwan HR, Loc.Cit.
12

memerhatikan perlindungan asas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia

negara.

5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan

antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara.

6. Asas Profesionalitas, yaitua asas yang mengutamakan keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Penafsiran Hukum

Penafsiran menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo dimuat dalam

buku yang ditulis oleh Harrys Pratama Teguh berjudul hukum dan peradilan

konstitusi Indonesia, merupakan salah satu metode penemuan hukum yang

memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang

lingkup kaidah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu yang

terjadi pada suatu kasus hukum.10 Penafsiran menurut Satjipto Rahardjo

merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka

mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan.11

10
Harrys Pratama Teguh, 2019, Hukum &Peradilan Konstitusi Indonesia – Sebuah Kajian
Teori dan Praktek Hukum Acara Konstitusi, Pustaka Referensi, Yogyakarta, h. 33.
11
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93-94.
13

Penafsiran menurut Harrys Pratama Teguh sebagai salah satu metode

penemuan..hukum..(rechtsvinding) yang..terdapat dalam..peraturannya..namun

tidak jelas.dalam..untuk dapat diterapkan..dalam...peristiwanya.12 Dalam

melakukan suatu penafsiran, terdapat empat metode penafsiran yang dominan

atau secara umum dilakukan oleh hakim dalam menafsirkan suatu undang-

undang yang mencakup : penafsiran gramatikal, penafsiran sejarah, penafsiran

sistematis, dan penafsiran teleologis/sosiologis.13 Namun, Harrys Pratama

Teguh menyebutkan dan menguraikan adanya beberapa metode interpretasi

yang digunakan sebagai metode penemuan hukum yaitu :

1. Metode..Interpretasi..Gramatikal, merupakan penafsiran yang

menekankan pada interpretasi..bahasa.yang.digunakan//dalam aturan

hukum..yang bertolak dari makna menurut pemakaian.bahasa.sehari-

hari.atau.makna.teknis-yuridis yang.sudah.dilazimkan.

2. Metode Interpretasi Sistematik, adalah metode penafsiran suatu

aturan..hukum..dalam..konteks..sistem..yang..ada..dalam..hukum itu

sendiri (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) itu

sendiri, artinya.,.suatu…aturan…hukum ditafsirkan dengan

memperhatiikan kesesuaian dengan naskah-naskah.hukum.lain.

3. Metode Penafsiran..Sosiologis, merupakan suatu metode penafsiran

yang mendasarkan pada penafsiran..yang..bersifat..sosiologis (what

does social.context of the/event to be.legally.judged), konteks sosial

12
Harrys Pratama Teguh, Loc.Cit.
13
I Dewa Gede Atmadja, 2015, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum, Setara Press,
Malang, h. 72.
14

ketika..suatu..naskah..dirumuskan..dapat dijadikan..perhatian untuk

menafsirkan.naskah.

4. Metode Interpretasi Holistik, teori penafsiran.holistik..mengaitkan

penafsiran.suatu naskah..hukum..dengan konteks..keseluruhan jiwa

dari.naskah.hukum.tersebut.

5. Metode Penafsiran Teleologis, metode penafsiran teleologis

memusatkan perhatian pada persoalan, apa..tujuan..yang..hendak

dicapai oleh..norma..hukum..yang.ditentukan.dalam.teks (what does

the articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada

penguraian.atau.formulasi.kaidah-kaidah..hukum.menurut.tujuan dan

jangkuannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum

terkadung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan

atau asas tersebut memengaruhi interpertasi.

6. Metode Interpretasi Filosofis, penafsiran filosofis memusatkan

perhatian pada segi what is the underlying philosophical thought

yang terkandung dalam perumusan teks hukum yang ditafsirkan.

Penafsiran ini menitikberatkan pada aspek filosofis yang terkandung

dalam norma hukum yang ditafsirkan.

7. Metode Interpretasi Restriktif, Menurut metode interpretasi terbatas

atau restriktif, kegiatan interpretasi dilakukan dengan membatasi

interpretasi berdasarkan kata-kata yang maknanya dapat dipahami.

8. Metode Interpretasi Sosio-Historis, metode ini menyangkut

penafsiran sosio-historis yang berkenaan dengan persoalan what


15

does the social context behind the formulation of the text, Berbeda

dengan interpretasi historis, interpretasi sosio-historis ini

menciptakan norma-norma yang dimaknai agar berbagai konteks

perkembangan masyarakat diperhatikan dengan seksama.

9. Metode Interpretasi Komparatif, Penafsiran semacam itu dapat

berupa kegiatan membandingkan dan menganalisis berbagai sistem

hukum untuk memahami hukum itu sendiri, atau untuk menemukan

prinsip yang berlaku umum dalam perbandingan tersebut.

10. Metode Interpretasi Leterlijk, penafsiran leterlijk atau harafiah

menitikberatkan pada arti atau makna dari kata (what does the word

mean) yang disebutkan dalam aturan hukum.

11. Metode Interpretasi Ekstensif, merupakan Suatu metode penafsiran

yang tidak didasarkan pada kata-kata, kalimat, atau bahasa seperti

yang dijelaskan dalam aturan hukum. Hasil interpretasi ini melebihi

hasil interpretasi sastra, gramatikal, atau terbatas. Sehingga,

Penafsiran semacam itu tidak terbatas pada makna teknis dan

gramatikal dari kata-kata yang terkandung dalam pengembangan

norma hukum yang relevan.

12. Metode Interpretasi Otentik, merupakan Penafsiran tersebut sesuai

dengan penafsiran yang diberikan oleh pembuat undang-undang

dalam undang-undang itu sendiri.


16

13. Metode Interpretasi Sejarah Undang-Undang, Penafsiran ini

berfokus pada latar belakang sejarah penulisan naskah dan

kontroversi yang muncul ketika naskah hendak ditulis.

14. Metode Interpretasi Sejarah, metode penafsiran sejarah ini

mencakup dua pengertian, yaitu penafsiran sejarah perumusan

undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas; dan penafsiran

sejarah hukum itu sendiri, yaitu penafsiran yang bertujuan untuk

mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan

masa lampau.

15. Metode Interpretasi Antisipatif (Futuristik), Penafsiran ini

dilakukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan

yang telah disepakati bersama tetapi belum disahkan secara

resmi/formil.

16. Metode Interpretasi Interdisipliner, Banyak disiplin ilmu

menggunakan logika interpretasi dengan bantuan banyak disiplin

hukum itu sendiri atau beberapa metode analisis yang

direkomendasikan.

17. Metode Interpretasi Multidisipliner, menggunakan dukungan dalam

bidang keilmuan lain selain hukum.

18. Metode Interpretasi Kreatif, penafsiran ini dimaksudkan untuk

mengungkapkan maksud penyusun atau maksud-maksud dalam

tulisan.
17

19. Metode Interpretasi Artistik, kegiatan penafsiran dengan cara

menemukan maksud penulis dengan memahami ungkapan

kesadaran mental.

20. Metode Interpretasi Konstruktif, penafsiran ini dapat dilakukan

dengan tiga tahap: pertama, Tahap pra-interpretasi di mana aturan

dan batasan digunakan untuk menyediakan konten sementara

mengenai praktik yang diperkenalkan. Kedua, adalah Tahapan

interpretasi diri di mana penafsir membenarkan unsur-unsur utama

yang timbul dari praktik. Ketiga, Setelah fase interpreting,

interpreter menyesuaikan posturnya untuk latihan nyata atau

menyelesaikannya.

21. Metode Interpretasi Konversasional, Interpretasi ini digunakan

untuk menampilkan makna dalam menjelaskan motivasi dan

maksud dari makna yang dirasakan pembicara, dan untuk

menyimpulkan ungkapan maksud pembicara.

22. Metode Interpretasi Prudensial, Suatu metode penafsiran yang

dilakukan dengan menyeimbangkan biaya dan manfaat yang

diperoleh dari penerapan suatu aturan atau hukum tertentu.

23. Metode Interpretasi Doktrinal, merupakan metode penafsiran yang

dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang melalui

sistem preseden atau melalui praktik peradilan.


18

24. Metode Interpretasi Evolutif-Dinamis, Tafsir yang melepaskan

maksud asli pembuat undang-undang (the original intent) dari

keharusan untuk dijadikan referensi.

25. Metode Interpretasi Tematis-Sistematis, metode ini memusatkan

perhatian pada persoalan what be the substantive theme of the

articles formulated, or how to understand the substantive theme of

the articles systematically according to the grouping of the

formulation. Yang artinya, Apa substansi tema artikel/tulisan yang

dibentuk, bagaimana memahami secara sistematis substansi tema

artikel/tulisan menurut pengelompokan pembentukannya.

26. Metode Interpretasi Struktural, Ini adalah metode analisis yang

dilakukan dengan menghubungkan konstitusi yang mengatur

struktur administrasi negara dan aturan hukum.

27. Metode Interpretasi Etikal, Suatu metode analisis yang memperoleh

dan melaksanakan Konstitusi serta prinsip-prinsip moral dan etika

yang terkandung dalam Konstitusi, yang terdiri dari jenis pemikiran

konstitusional yang menggunakan pendekatan filosofis, antusias

atau moral.

28. Metode Interpretasi Futuristis, merupakan metode penemuan

hukum yang bersifat antisipasi. Dengan demikian, interpretasi ini

lebih bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang

dicitakan).
19

29. Metode Interpretasi Fungsional, Penafsiran ini berupaya

memahami makna sebenarnya dari ketentuan tersebut dengan

menggunakan berbagai sumber lain yang diyakini dapat

memberikan kejelasan yang lebih memuaskan.14

Menurut I Dewa Gede Atmadja pengertian penafsiran diartikan sebagai

upaya untuk memberikan arti yang dipandang tepat terhadap pasal-pasal dari

konstitusi.15 I Dewa Gede Atmadja juga menyebutkan adanya 5 sumber untuk

melakukan suatu penafsiran, yaitu : penafsiran berdasarkan teks dan struktur;

penafsiran berdasarkan putusan hakim terdahulu; penafsiran berdasarkan

konsekuensi sosial, politik dan ekonomi suatu penafsiran alternatif; penafsiran

berdasarkan hukum alam.

E. Metode Penelitian

1. Tipologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang berarti penelitian ini

meneliti berbagi peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar

ketentuan hukum untuk menganalisis tentang Bentuk-Bentuk Dan Penerapan

Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional Indonesia Terkhusus Kebijakan

Penjaminan Oleh Pemenrintah Indonesia Terhadap Umkm, Koperasi Dan

Usaha Besar Di Masa Pandemi Dalam Perspektif Asas-Asas Umum

Pemerintahan Yang Baik.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan per-Undang-Undangan dengan Teori Hermeneutika untuk

14
Harrys Pratama Teguh, Op.Cit., h. 46-59.
15
I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit., h. 71.
20

mengembangkan metodologi penafsiran hukum (statute approach) dan

Pendekatan Konseptual (conseptual approach). Hal ini dilakukan dengan

memeriksa semua peraturan hukum yang terkait dengan masalah hukum yang

dihadapi. Sebagai contoh, pendekatan legislatif seperti itu ditempuh dengan

mempelajari koherensi/kesesuaian antara UUD dengan undang-undang, atau

undang-undang lainnya.16 Pendekatan ini digunakan karena dalam pembahasan

dalam skripsi ini akan mengacu pada Undang-Undang.

2. Bahan Hukum

Bahan hukum yang di pergunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain

dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum primer adalah Dokumen berupa hal-hal yang mengatur yang

dibahas dalam penyelidikan ini dan peraturan perundang-undangan yang

relevan. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah adaalah bahan hukum yang

digunakan untuk memperjelas bahan hukum primer.

2.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan

resmi. Karena itu mengikat permasalaan yang akan dikaji berupa peraturan

perundang-undangan diantaranya:

1. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan

16
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 26.
21

Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Desease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi

Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau

Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 6485)

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem

Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019

(Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang

Membahayakan Perekonomian Nasional Dan / Atau Stabilitas Sistem

Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 6516)

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan

Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung

Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang


22

Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem

Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 131, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6514);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan

Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung

Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus

Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang

Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem

Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 286, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6542);

7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 71

/Pmk.08/2020 Tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui

Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2020 Nomor 660).

2.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjeleasan mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari literatur-

literatur, bahan kuliah yang berkaitan dengan penelitian ini.

2.3. Bahan Hukum Tersier


23

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti website, surat kabar, dan lain-lain.

3.Metode Pengumpulan Bahan

Ada beberapa metode pengambilan data yang dilakukan dalam makalah ini,

antara lain sumber-sumber hukum utama yang dikumpulkan, diinterpretasikan,

dan dikategorisasikan secara lebih sistematis, serta dianalisis untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang ada.. Bahan hukum sekunder digunakan sebagai

penunjang bahan hukum primer. Dari pengumpulan bahan-bahan hukum

tersebut lalu di lakukan pengelolaan serta analisa, dan disajikan secara

argumentatif.

4.Analisa Bahan Hukum

Analisa yang di pergunakan penulis adalah analisa deduktif, analisa ini di

landasi dari norma-norma, asas-asas hukum serta nilai-nilai yang sudah diakui,

lalu diinterprestasikan dalam suatu sistem hukum tersediri untuk dikaitkan

dengan permasalaahan yang ada dalam penelitian ini.

F.Sistematika Pertanggungjawaban

Sesuai dengan jumlah permasalahan dalam skripsi ini, maka skripsi ini

akan berisi 4 BAB dengan uraian sebagai berikut:

Bab I awal penulisan, berisi pendahuluan. Dalam bab ini akan di jelaskan

mengenai hal-hal yang mendasar yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas dalam skripsi ini, antara lain: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, metode pendekatan, bahan hukum,


24

pengumpulan bahan hukum, analisa bahan hukum, kerangka konseptual, dan

diakiri dengan pertanggungjawaban sistematika.

Bab II merupakan uraian dan analisis terhadap permasalahan pertama, di

dalam bab ini akan membahas mengenai bentuk-bentuk kebijakan ekonomi

Pemerintah Indonesia di masa Pandemi terkhusus kebijakan Pemulihan Ekonomi

Nasional.

Bab III merupakan uraian terhadap permasalahan pertama, di dalam bab

ini akan membahas mengenai mekanisme penerapan kebijakan ekonomi dalam hal

pemberian jaminan dari Pemerintah terhadap UMKM, Koperasi, dan Usaha besar

dalam perspektif Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Bab IV adalah penutup, di dalam Bab ini berisikan kesimpulan dari

penelitian ini, serta saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
BAB II

BENTUK-BENTUK KEBIJAKAN EKONOMI PEMERINTAH

INDONESIA DI MASA PANDEMI TERKHUSUS KEBIJAKAN

PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL TERHADAP UMKM

A. Tanggung Jawab Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Pandemi

Covid-19

Berlangsungnya pandemi COVID-19 membawa dampak yang cukup luar

biasa di masyarakat. Pasalnya situasi pandemi yang belum berakhir sampai saat

ini telah banyak membawa dampak di sektor kesehatan, perekonomian bahkan

sosial pada masyarakat Indonesia.17 Pandemi Covid-19 mulai terdeteksi menyebar

ke Indonesia dan diumumkan secara langsung dan terbuka oleh Presiden Joko

Widodo pada tanggal 2 Maret 2020, setelah ada 2 (dua) orang Warga Negara

Indonesia tertular penyakit tersebut.18 Dalam menanggapi permasalahan tersebut

Pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa peraturan dengan menerbitkan PP No.

21 Tahun 2020, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang

Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan

Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (untuk selanjutnya disebut

Permenkes No. 9 Tahun 2020), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona

17
Dana Riksa Buana, 2020, “Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia Dalam Menghadapi
Pandemi Virus Corona (Covid-19) Dan Kiat Menjaga Kesejahteraan Jiwa,” Jurnal SALAM, Vol. 7,
no. 3, h. 4.
18
Ihsanuddin, 2020, “BREAKING NEWS: Jokowi Umumkan Dua Orang di Indonesia
Positif Corona”, dikutip dari situs Kompas.com, Jakarta, (dikutip pada tanggal 1 Mei 2021) dikutip
dari web : https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/11265921/breaking-news-jokowi-
umumkan-dua-orang-di-indonesia-positif-corona?page=all.

24
25

Virus Disease 2019 (COVID-19) (untuk selanjutnya disebut dengan

Keppres No. 11 Tahun 2020), dan juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -

Undang No. 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas

Sistem untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Mmembahayakan

Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang telah

ditetapkan sebagai Undang-Undang UU No. 2 Tahun 2020.

Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah pengumuman terbuka yang

dilakukan oleh Presiden tersebut dapat dikatakan sebagai suatu instrumen yuridis

Pemerintah atau peraturan maupun keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden

tersebut juga dapat dikatakan sebagai instrumen yuridis Pemerintah. Untuk

menganalisa 2 (dua) pertanyaan tersebut di atas, perlu dipahami terlebih dahulu

mengenai apa yang dimaksud dengan instrumen yuridis Pemerintah dan tindakan

hukum Pemerintah. Beberapa peraturan sebagaimana telah disebutkan di atas

merupakan bentuk instrumen yuridis Pemerintah dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya guna menghadapi dan mencegah penyebaran Pandemi Covid-19

di Indonesia. Pada sub bab ini, pembahasan selanjutnya dibatasi pada instrumen

yuridis yang menjadi dasar peran Pemerintah di dalam masyarakat yang

didasarkan pada perspektif Hukum Administrasi Negara, namun terbatas pada

tindakan Pemerintah, dan peraturan perundang-undangan, dan peraturan kebijakan.

Beberapa peraturan di atas tersebut merupakan instrumen yuridis

pemerintah dalam melaksanakan tugasnya guna pencegahan penyebaran Covid-19

di Indonesia. Mengapa peraturan-peraturan tersebut di atas dikatakan sebagai


26

instrumen yuridis Pemerintah Indonesia, hal ini dikarenakan peraturan-peraturan

tersebut di atas digunakan sebagai sarana untuk menjalankan kegiatan mengatur

dan menjalankan urusan Pemerintahan dan kemasyarakatan. Instrumen

Pemerintah merupakan sarana atau alat yang digunakan oleh Pemerintah atau

administrasi negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya.19 Instrumen Pemerintah

terbagi ke dalam 2 (dua) jenis yaitu, instrumen publiek domain (kepunyaan publik)

dan instrumen yuridis. Instrumen kepunyaan publik merupakan sarana yang

digunakan oleh Pemerintah dalam melakukan berbagai tindakan hukum dengan

menggunakan sarana transportasi dan komunikasi, dan lain-lain, sedangkan

instrumen yuridis merupakan sarana yang digunakan oleh Pemerintah dalam

menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan Pemerintahan dan

kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan dan

sebagainya.20

Lutfi Effendi berpendapat bahwa Pemerintah menggunakan instrumen

yuridis sebagai sarana dalam mengendalikan masyarakat dengan maksud yang

bermacam-macam sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, instrumen yuridis

ini memiliki sifat yang aplikatif yang dapat diterapkan secara langsung pada

masyarakat.21 Beberapa jenis instrumen atau sarana yuridis yang dapat digunakan

oleh Pemerintah untuk melaksanakan tugasnya, yaitu, Peraturan Perundang-

Undangan (algemeen verbindende voorschriften) dan keputusan-keputusan tata

usaha negara yang memuat pengaturan bersifat umum (besiuiten van algemene

19
Ridwan HR., 2016, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.125
20
Ibid.
21
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang,
h. 47.
27

strekking); Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rules);

Rencana (het plan); Penggunaan sarana-sarana hukum keperdataan (gebruik van

privaatrecht / civil instruments).

Instrumen hukum peraturan perundang-undangan merupakan sarana yang

sangat penting bagi Pemerintah, oleh karena peraturan perundang-undangan ini

menjadi dasar hukum / legalitas Pemerintah dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya. Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general

norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah

mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).22 Mengenai istilah perundang-

undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) memiliki 2 (dua) pengertian,

yaitu; pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses

membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah; kedua, perundang-undangan merupakan segala peraturan negara, yang

merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun

di tingkat daerah.23 Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai

berikut :24

1.Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan


kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2.Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu,
ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu
saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengkoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul
yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

22
SF Marbun dan Mahfud MD, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, h. 94
23
Maria Farida, 2014, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta, h. 3.
24
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 83-84.
28

Definisi mengenai peraturan perundang-undangan dijabarkan di dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, dijelaskan bahwa, “peraturan perundang-undangan adalah semua

peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan

Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di

tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga mengikat umum.” Di dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas

Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan juga menjelaskan mengenai definisi peraturan perundang-

undangan, dijelaskan bahwa, “Peraturan perundangan-undangan adalah peraturan

tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk

atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan uraian mengenai instrumen hukum peraturan perundang-

undangan ini dapat dipahami bahwa, peraturan perundang-undangan ini

merupakan alat atau sarana hukum yang dapat memberikan wewenang kepada

Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menjalankan tugas yang

bersifat administrasi. Hal ini sejalan sebagaimana yang dimaksud oleh A.D.

Belinfante, bahwa undang-undang memberikan wewenang kepada organ

pemerintahan untuk membuat peraturan hukum yang bersifat administrasi dalam


29

rangka hubungan hukum dengan warga negara.25

Instrumen hukum Pemerintah jenis peraturan kebijakan26 atau peraturan

kebijaksanaan27 merupakan sarana atau produk yang biasa digunakan oleh

Pemerintah dalam melaksanakan tugas Pemerintahannya sehari-hari. Penggunaan

peraturan kebijakan ini tidak dapat dilepaskan dari freies ermessen sebagaimana

dikatakan oleh Ridwan HR dan Philipus Hadjon. Philipus Hadjon berpendapat

bahwa,28

Produk semacam peraturan kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan


penggunaan freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara
yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai
bentuk “jurdische regels”, seperti halnya peraturan, pedoman,
pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu.

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai peraturan kebijakan atau

kebijaksanaan ini maka terlebih dahulu membahas mengenai freies ermessen.

Secara bahasa freies ermessen berasal dari kata frei dan ermessen, frei

memiliki arti bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka, sedangkan ermessen

memiliki arti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan.29

Marcus Lukman berpendapat bahwa freies ermessen atau discretionary power

diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat

atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus

terikat sepenuhnya pada undang-undang.30 Lutfi Effendi berpendapat bahwa,

25
A.D, Belinfante di dalam buku Ridwan HR, Op.Cit. h. 137.
26
Ibid., h. 169.
27
Philipus Hadjon, Op.Cit., h. 147.
28
Ibid.
29
Ridwan HR, Loc.Cit.
30
Marcus Lukman, 1996, “Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan
dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan
Materi Hukum Tertulis Nasional”, Desertasi, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,
h. 205.
30

freies ermessen merupakan tindakan yang ditempuh oleh badan atau pejabat tata

usaha negara untuk mengatasi suatu permasalahan atas dasar kebijaksanaan yang

bertujuan demi kemaslahatan.31 Tujuan dari adanya freies ermessen ini

dikemukakan oleh Ridwan HR, sebagai suatu bentuk alternatif untuk mengisi

kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van

bertuur).32

Penggunaan freies ermessen atau diskresi oleh badan atau Pejabat

Pemerintah ini terdapat beberapa kelebihannya, yaitu;33

1.Kebijakan pemerintah yang bersifat darurat (ermegency) terkait hajat


hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh
Pemerintah meskipun masih dapat dibantah (debatable) secara yuridis
atau bahkan terjadi kekosongan pengaturan hukum sama sekali.
2.Badan atau Pejabat Pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum,
dalam arti tidak ada kekosongan pengaturan hukum bagi setiap kebijakan
publik (public policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum
atau masyarakat luas.
3. Sifat dan roda Pemerintahan menjadi makin luwes, sehingga sektor
pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat menjadi tidak statis seiring dengan dinamika
masyarakat dan perkembangan zaman.

Namun, dalam penerapan diskresi ini perlu adanya suatu pembatasan atau kontrol,

apabila dalam penggunaan diskresi ini tidak adanya suatu pembatasan atau kontrol

maka akan terjadi tirani.34 Muchsan berpendapat bahwa terdapat beberapa

pembatasan penggunaan freies ermessen adalah sebagai berikut;35

1.Penggunaan freies ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem


hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).

31
Lutfi Effendi, Op.Cit., h. 69.
32
Ridwan HR, Op.Cit., h. 171.
33
Krishna Djaya Darumurti, 2016, Diskresi : Kajian Teori Hukum Dengan Postscript dan
Apendiks, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 102.
34
Ibid.
35
Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 28.
31

2.Penggunaan freies ermessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.

Krishna Djaya juga berpendapat bahwa pembatasan atau kontrol terhadap freies

ermessen yaitu dengan keberadaan asas/kaidah pertanggungjawaban sangat vital

bagi hukum, yaitu supaya asas/kaidah perilaku hukum bermakna sebagai ‘hukum’

dalam fungsinya sebagai sarana kontrol.36

Pemerintah dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi negara

banyak mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam berbagai bentuk seperti

garis-garis kebijakan (beleidslijnen), kebijakan (het beleid), peraturan-peraturan

(voorschriften), pedoman-pedoman (richtlijnen), petunjuk-petunjuk (regelingen),

surat edaran (circulaires), resolusi-resolusi (resoluties), instruksi-instruksi

(aanschrijvingen), nota kebijakan (beleidsnota’s), peraturan-peraturan menteri

(reglemen (ministriele)), keputusan-keputusan (beschikkingen) dan pengumuman-

pengumuman (en bekenmakingen).37 Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa,

peraturan kebijkana pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha

negara yang bertujuan “naar buiten gebracht”, yaitu menampakkan keluar suatu

kebijakan tertulis.38 Indroharto berpendapat bahwa secara praktis kewenangan

diskresioner administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijakan,

mengandung dua aspek pokok; Pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang

lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Kedua,

kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan

36
Krishna, Ibid., h. 104.
37
J.H. Van Kreveld, 1983, Beleidsregel in het Recht, dalam buku Ridwan HR, Op.Cit., h.
174.
38
Philipus M. Hadjon, Op.Cit., h. 152.
32

wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan.39

Peraturan kebijakan ini memiliki ciri-ciri tersendiri untuk membedakan

dengan peraturan perundang-undangan. Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri

peraturan kebijakan sebagai berikut;40

1.Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.


2.Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan.
3.Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena
memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat
keputusan peraturan kebijakan tersebut.
4.Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan
kewenangan administrasi yang bersangkutan membuat peraturan
perundang-undangan.
5.Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diserahkan pada
doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan,
yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain,
bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.

Namun, A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa terdapat beberapa persamaan

dan perbedaaan yang signifikan antara peraturan perundang-undangan dan

peraturan kebijakan.

Persamaan antara peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan


dapat dipahami apabila melihat pada aturannya yang berlaku umum dan
kewenangan pengaturannya yang bersifat umum/publik. Sedangkan, untuk
perbedaannya sangat terlihat jelas pada materi muatannya, materi muatan
peraturan kebijakan mengandung kewenangan membentuk keputusan-
keputusan dalam arti beschikking, kewenangan bertindak dalam bidang
hukum privat, dan kewenangan membuat rencana-rencana yang memang
ada pada lembaga Pemerintahan. Pada materi muatan peraturan perundang-
undangan mengandung materi yang mengatur tata kehidupan masyarakat
yang jauh lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk
berbuat atau tidak berbuat, yang apabila perlu disertai dengan sanksi pidana

39
Indroharto, 1992, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata,
Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang Peradilan Tata Usaha
Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 44.
40
Bagir Manan, 1994, “Peraturan Kebijaksanaan, makalah, Jakarta, h. 16-17.
33

dan sanksi pemaksa.41

Berdasarkan uraian di atas mengenai instrumen hukum peraturan

kebijakan dapat dipahami bahwa, peraturan kebijakan memberikan kemudahan

bagi Pemerintah untuk dapat menjalankan tugas-tugas administrasi Pemerintahan.

Dengan catatan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat darurat

yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, sehingga kekosongan hukum

dapat dihindari. Namun, apabila dalam penerapan peraturan kebijakan terdapat

unsur penyalahgunaan wewenang, maka peraturan kebijakan akan diuji dari aspek

doelmatigheid dengan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik

(untuk selanjutnya disebut AAUPB).42 Pembahasan mengenai permasalahan yang

bersifat darurat atau adanya suatu keadaan memaksa akan dibahas pada sub bab

berikutnya.

Membahas mengenai pengumuman terbuka yang dilakukan oleh Presiden

di atas, dapat dipahami bahwa pengumuman terbuka oleh Presiden tidak

dikategorikan sebagai suatu instrumen hukum melainkan tindakan hukum

Pemerintah, tindakan Pemerintah inilah yang nantinya dapat melahirkan atau

memerlukan suatu instrumen hukum dalam pelaksanaannya. Perlu dipahami

bahwa tindakan Pemerintah di dalam perspektif Hukum Administrasi Negara

terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tindakan Pemerintah yang bukan tindakan hukum

atau biasa disebut dengan tindakan nyata (feitelijkhandelingen) dan tindakan

hukum Pemerintah (rechthandeling). Lutfi Effendi berpendapat mengenai

41
A. Hamid S. Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan
Peraturan Kebijaksanaan, Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 20
September 1993, h. 12-15.
42
Ridwan HR, Op.Cit., h. 185.
34

tindakan hukum Pemerintah yang bukan hukum, bahwa tindakan Pemerintah yang

bukan perbuatan hukum adalah tindakan Pemerintah terhadap masyarakat yang

tidak mempunyai akibat hukum.43 Dan untuk perbuatan hukum Pemerintah

R.J.H.M. Huisman berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan tersebut

menimbulkan akibat hukum tertentu atau tindakan hukum adalah tindakan yang

dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.44 Lalu, tindakan yang

dilakukan oleh Presiden tersebut di atas, digolongkan sebagai tindakan nyata atau

tindakan hukum. Untuk memahami hal tersebut perlu dianalisis dengan

memahami unsur-unsur tindakan hukum Pemerintah. Mengenai tindakan hukum

Pemerintah, Muchsan berpendapat bahwa terdapat beberapa unsur-unsur suatu

tindakan Pemerintah dapat dikatakan sebagai tindakan hukum Pemerintahan,

yaitu :45

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya


sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan Pemerintah
(bestuursorganen) dengan prakasa dan tanggung jawab sendiri.
2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
Pemerintahan.
3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan
akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara.
4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, tindakan yang dilakukan

oleh Presiden tersebut di atas merupakan tindakan nyata Pemerintah, oleh karena

tidak adanya akibat hukum yang ditimbulkan serta tidak bersifat mengatur

(regeling), memutuskan atau menetapkan (beschikking), dan bukan merupakan

43
Lutfi Effendi, Op.Cit., h. 38.
44
R.J.H.M. Huisman, ___, Algemeen Bestuursrecht, Een Inleiding, Kobra, Amsterdam, h.
13. dalam buku Ridwan HR. Op.Cit., h. 110.
45
Muchsan, Op.Cit., h. 18-19.
35

perbuatan materiil (Materiele Daad).

B. Penetapan Status Darurat Kesehatan Pandemi Covid-19 di Indonesia

Dampak yang ditimbulkan oleh penyebaran Covid-19 tidak dapat

dipungkiri oleh karena telah berada pada kondisi yang sangat memperihatinkan,

berdasarkan data terbaru dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (untuk

selanjutnya disebut Satgas Covid-19), bahwa genap 8 (delapan) bulan pandemi

Covid-19 ini tercatat 415.402 orang positif Covid-19.46 Situasi ini menjadi tidak

terkontrol, sehingga Presiden mengeluarkan penetapan yang menetapkan status

darurat kesehatan di Indonesia sebagaimana diatur di dalam Keppres No. 11

Tahun 2020. Ditetapkannya Keppres No. 11 Tahun 2020 oleh Presiden didasarkan

pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

(untuk selanjutnya disebut UU No. 6 Tahun 2018). Munculnya Keppres tersebut

di atas sebagai suatu landasan hukum bagi Pemerintah dalam menangani dan

mencegah penyebaran Covid-19, serta menandakan bahwa Negara Indonesia

sedang berada dalam situasi yang tidak normal atau biasa disebut dengan situasi

darurat.

Hal ini memunculkan beberapa pertanyaan, Pertama, apa yang melandasi

ditetapkannya status darurat kesehatan di Indonesia; Kedua, apa yang

membedakan negara sedang dalam situasi normal dengan negara sedang dalam

keadaan tidak normal/darurat; dan Ketiga, apa yang membedakan status darurat

dengan kegentingan yang memaksa. Patut dipahami bahwa ketika Presiden

46
Hasan B, 2020, “Genap 8 Bulan Pandemi Covid-19 di Tanah Air, Total Kasus Positif
415.402 Orang”, Sumber Kompas.com, Senin, 02 November 2020 Jam 21:43 WIB, (dikutip pada
tanggal 2 Mei 2021) dikutip pada web : https://www.goriau.com/berita/baca/genap-8-bulan-
pandemi-covid19-di-tanah-air-total-kasus-positif-415402-orang.html
36

menetapkan bahwa Indonesia sedang berada dalam situasi darurat kesehatan,

dalam waktu yang singkat Pemerintah menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020

yang telah ditetapkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020.

Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut di atas mengenai darurat

kesehatan masyarakat, dapat dipahami bahwa kata “darurat” dapat dipahami

sebagai suatu keadaan luar biasa. Namun, terdapat 2 (dua) istilah mengenai

keadaan luar biasa ini yang dipakai di dalam UUD 1945 yaitu, keadaan bahaya

dan hal ihwal kegentingan yang memaksa.47 Di dalam Pasal 12 UUD RI 1945

menyebutkan bahwa, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan

akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang.” Sedangkan, pada

Pasal 22 ayat (1) UUD RI 1945 menyebutkan bahwa, “Dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah

sebagai pengganti Undang-Undang.”

Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa, “Dalam pengertiannya yang praktis,

keduanya menunjuk kepada persoalan yang sama, yaitu keadaan yang bersifat

tidak normal atau state of exception.”48 Jimly juga mengutip pendapat Kim Lane

Scheppele mengenai keadaan the state of exception, di mana state of exception ini

diartikan sebagai;49

Suatu keadaan di mana suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup-mati


yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak
mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara
yang bersangkutan. Keadaan pengecualian itu menggunakan justifikasi
hanya menyangkut hal-hal yang bersifat ekstrem, apabila negara
menghadapi ancaman yang sedemikian rupa seriusnya sehingga untuk

47
Jimly Asshidiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 58.
48
Ibid.
49
Ibid., h. 58-59.
37

menyelamatkan diri dari ancaman tersebut, negara terpaksa harus


melanggar prinsip-prinsip yang dianutnya sendiri.

Maka dapat dipahami bahwa keadaan darurat, keadaan bahaya maupun hal ikhwal

kegentingan yang memaksa dapat dikatakan sebagai suatu keadaan luar biasa atau

di luar keadaan normal, di mana norma-norma hukum dan lembaga-lembaga

penyelenggaraan kekuasaan negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya

menurut ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam keadaan

normal.

Memang telah disebutkan di atas bahwa istilah keadaan bahaya dan hal

ikhwal kegentingan yang memaksa sama-sama disebut sebagai suatu keadaan luar

biasa dan memiliki makna praktis yang sama, namun perlu adanya suatu

pembedaan dalam pelaksanaannya. Penetapan suatu peraturan Pemerintah

pengganti Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945

tidak harus didahului oleh suatu deklarasi keadaan darurat, sementara itu, untuk

pelaksanaan ketentuan pada Pasal 12 UUD 1945 mempersyaratkan dilakukannya

deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka pemberlakuan keadaan bahaya.

Membahas mengenai keadaan darurat di Indonesia, dapat dipahami bahwa

keadaan darurat dibedakan menurut 3 (tiga) kategori tingkatan bahayanya

sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun

1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya (untuk selanjutnya disebut Perppu No.23

Tahun 1957), serta telah ditetapkan menjadi Undang-Undang menjadi Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Penetapan Peraturan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang


38

Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan

Bahaya (untuk selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun 1959), yang didasarkan pada

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua Undang-

Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang

(untuk selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1961), yaitu, keadaan darurat sipil,

keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang.

Selanjutnya, untuk menentukan serta menetapkan suatu keadaan darurat di

Indonesia maka perlu memperhatikan syarat-syarat yang menentukan keadaan

Negara yang sedang berada dalam keadaan darurat. Syarat-syarat tersebut diatur

di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1959 yang menjabarkan bahwa,

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau

sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya

dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau

keadaan perang, apabila:

1.Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian


wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan
tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2.Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan
wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan
khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat
membahayakan hidup Negara.

Berdasarkan uraian mengenai keadaan darurat di atas dapat dipahami

bahwa suatu penetapan status keadaan darurat ditandai dengan adanya suatu

deklarasi atau proklamasi mengenai pemberlakuan keadaan darurat, sehingga


39

norma-norma serta penyelenggaraan kekuasaan yang berlaku pada saat keadaan

normal dapat dikesampingkan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang.

C. Kebijakan Ekonomi Pemerintah Indonesia di Masa Pandemi Terhadap

Perlindungan Kelangsungan UMKM

Guncangan akibat penyebaran penyakit Covid-19 ini tidak hanya

berdampak pada sektor kesehatan, namun juga berdampak pada sektor ekonomi

yang mendalam baik di seluruh dunia termasuk Indonesia. Sebagaimana telah

diuraikan pada sub bab A di atas disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia

merespon wabah Covid-19 dengan mengeluarkan Kebijakan Pemulihan Ekonomi

Nasional (PEN) melalui Perppu No. 1 Tahun 2020. Melalui kebijakan ini

Pemerintah dapat bertahan menghadapi goncangan ekonomi di tengah Pandemi

Covid-19 serta memulihkan kondisi perekonomian Indonesia. Tujuan dari

kebijakan PEN ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 ayat (2) Perppu No. 1

Tahun 2020 disebutkan, “untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan

kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan

dalam menjalankan usahanya.”

Dalam pelaksanaan kebijakan PEN tersebut di atas, terdapat 4 (empat) metode

atau cara yang akan digunakan oleh Pemerintah, salah satu diantaranya program

penjaminan Pemerintah melalui badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Penjelasan mengenai penjaminan Pemerintah dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 3

disebutkan bahwa; “penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah

oleh Menteri melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin
40

atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam

rangka pelaksanaan penjaminan program PEN.” Berdasarkan uraian tersebut di

atas dapat dipahami bahwa Pemerintah menjaminkan uang untuk disalurkan

kepada Bank sebagai penerima Jaminan yang nantinya diteruskan kepada

masyarakat dalam bentuk pinjaman, masyarakat yang dimaksud dalam hal ini

adalah pelaku usaha baik UMKM, Koperasi, maupun usaha besar selaku terjamin.

Pada Bab selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai mekanisme penjaminan

pemerintah tersebut di atas.


BAB III

MEKANISME PENERAPAN KEBIJAKAN PEMULIHAN EKONOMI


NASIONAL DALAM HAL PEMBERIAN JAMINAN DARI PEMERINTAH
TERHADAP UMKM DALAM PERSPEKTIF ASAS-ASAS UMUM
PEMERINTAHAN YANG BAIK

A. Kedudukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Sistem


Hukum Indonesia
Asas-asas umum Pemerintahan yang baik mulai diterapkan di Indonesia

sejak Negara Indonesia menganut konsep Pemerintahan welfare state, di mana

konsep ini menempatkan Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab

terhadap kesejahteraan umum warga negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan,

Pemerintah diberi wewenang untuk campur tangan secara langsung melalui

inisiatif sendiri tanpa didasarkan pada peraturan perundang-undangan, melalui

freies ermessen.102 Sebelum menganalisis Asas-asas umum Pemerintahan yang

baik (untuk selanjutnya disebut AAUPB) beserta kedudukannya di dalam sistem

hukum Indonesia, maka akan dibahas terlebih dahulu mengenai hakikat dari

AAUPB itu sendiri.

Lutfi Effendi menyatakan bahwa, AAUPB merupakan pedoman-pedoman

yang bersifat umum yang mempunyai nilai hukum atau minimal nilai penentu

(ikut menentukan) dalam suatu perbuatan Pemerintahan.103 Pada dasarnya

AAUPB berkaitan erat dengan alasan untuk mengajukan keberatan ataupun dapat

pula sebagai alasan dalam mengajukan gugatan, apabila suatu perbuatan

Pemerintah tersebut dirasa merugikan masyarakat. Sejarah munculnya AAUPB di

102
Ridwan HR, Op.Cit., h. 231.
103
Lutfi Effendi, Op.Cit. h. 81.

41
42

awali pada tahun 1946 di mana Pemerintahan Belanda membentuk komisi

yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneliti beberapa

alternatif tentang verhoogde rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan

hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang menyimpang. Pada

tahun 1950 komisi de Monchy melaporkan hasil penelitiannya tentang verhoogde

rechtsbescherming dalam bentuk “algemene beginselen van behoorlijk bestuur”

atau AAUPB. Namun, hasil penelitian komisi ini tidak seluruhnya disetujui oleh

Pemerintah atau terdapat beberapa hal yang menyebabkan perbedaan pendapat

antara komisi de Monchy dengan Pemerintah, yang menyebabkan komisi ini

dibubarkan Pemerintah. Pemerintah Belanda kemudian membentuk komisi van de

Greeten, yang memiliki tugas yang sama dengan de Monchy. Namun, komisi ini

mengalami nasib yang sama dengan komisi de Monchy, yaitu dibubarkan oleh

Pemerintah Belanda, tanpa membuahkan hasil penelitian.

Berdasarkan uraian di atas terdapat 2 (dua) tanggapan atas tindakan

pembubaran 2 (dua) komisi tersebut di atas oleh Pemerintah Belanda, yaitu,

Pertama, Pemerintah Belanda pada waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya

mewujudkan peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan

administrasi negara; Kedua, terdapat kekhawatiran yang berlebihan di kalangan

pejabat dan para pegawai pemerintahan di Belanda terhadap AAUPB yang akan

digunakan sebagai dasar untuk menilai atau menguji kebijakan Pemerintah.52

Namun, pada tahun 1954 ditetapkanlah Wet Arbo (administratieve rechtspraak

bedrijfsorganisatie) yang merujuk pada 2 (dua) hasil temuan komisi tersebut di

52
Cekli Setya Pratiwi, dkk, 2018, Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Jakarta, h. 31-32.
43

atas, yaitu Undang-Undang yang mengatur Pengadilan Tata Usaha Negara ketika

itu.53 Setelah AAUPB mulai diatur sebagai salah satu dasar pengujian dalam ‘Wet

Arbo’ tersebut, konstruksi serupa mulai diterapkan pada berbagai undang-undang

lainnya yang juga dimaksudkan untuk melindungi hak-hak warga.54

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa hakikat AAUPB adalah

pedoman atau alat untuk menguji dan menilai suatu kebijakan atau perbuatan

Pemerintah ini telah sesuai dengan kewenangan dan prosedur atau tidak, serta

sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat terhadap perbuatan atau kebijakan

Pemerintah yang dirasa merugikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Lutfi Effendi

mengenai hakikat AAUPB yang menyatakan bahwa55;

“Hakikat AAUPB dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar dalam


menilai atau menguji penyelesai/Hakim apakah perbuatan Pemerintahan
tersebut telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
tertulis, yakni menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi, serta
kesesuaian menyangkut pedoman-pedoman yang tidak tertulis yakni
berupa AAUPB tersebut.”

Menurut doktrin hukum, prinsip AAUPB dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu

prinsip-prinsip yang bersifat prosedural dan bersifat substansial.56 Prinsip yang

bersifat prosedural berhubungan dengan proses pengambilan kebijakan, misalnya

kewajiban penyelenggara pemerintahan untuk bertindak imparsial atau tidak

memihak (obligation of impartiality) dalam membuat kebijakan, pengakuan hak

untuk membela diri, dan kewajiban pembuat kebijakan untuk memberikan alasan-

alasan, untuk prinsip yang bersifat substansial berkaitan dengan materi atau isi

dari kebijakan tersebut. Bahwa materi atau isi dari kebijakan yang dibuat

53
Ibid., h. 32.
54
Ibid.
55
Lutfi Effendi, Op.Cit., h. 82.
56
Cekli Setya Pratiwi, dkk, Op.Cit., h. 30.
44

hendaknya memperhatikan prinsip persamaan (principle of equality), prinsip

kepastian hukum (legal certainty), pelarangan penyalahgunaan wewenang

(prohibition of machtsafwending), kewajiban untuk berhati-hati (duty of care),

dan prinsip berdasarkan alasan (principle of reasonableness).57

Pemahaman mengenai AAUPB di Indonesia dapat diketahui dengan

melihat pada Pasal 1 angka 17 UU Nomor. 30 Tahun 2014, yang mengatur

mengenai definisi AAUPB, disebutkan bahwa;

“Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat


AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan
Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan
dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.”

Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat dipahami bahwa AAUPB

merupakan prinsip yang digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah dalam

menjalankan tugas dan fungsinya. Terdapat beberapa macam prinsip AAUPB

sebagaimana yang telah dirumuskan oleh beberapa Ahli Hukum Administrasi

Negara di Indonesia, berikut macam-macam AAUPB berdasarkan penjelasannya;

a. Asas kepastian hukum (principle of legal security)

Asas kepastian hukum ini memberikan hak kepada yang

berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendakinya.

Asas kepastian hukum ini memiliki 2 (dua) aspek, yaitu aspek yang bersifat

hukum material dan aspek yang bersifat formal. Aspek yang bersifat

material ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang

berdasarkan suatu keputusan Pemerintah, meskipun keputusan itu salah.58

Dengan kata lain, demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah
57
Ibid.
58
Ridwan H.R., Op.Cit., h. 245.
45

diterbitkan atau dikeluarkan oleh Pemerintah tidak untuk dicabut kembali,

sampai adanya pembuktian dalam proses Peradilan yang dapat mencabut

keputusan tersebut.

Aspek yang bersifat formal ini ditujukan pada keputusan yang

memberatkan dan ketentuan yang terkait pada keputusan-keputusan yang

menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas.59 Dengan kata

lain, norma-norma yang ada di dalam suatu keputusan yang memberatkan

atau keputusan yang menguntungkan harus dapat dijabarkan dan dijelaskan

secara eksplisit, dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan dapat dipahami

dengan jelas.

b.Asas keseimbangan (principle of proportionality)

Asas keseimbangan ini mengehendaki adanya kriteria yang jelas

mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang

dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap

kasus yang ada seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan

kepastian hukum.60

c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality)

Asas kesamaan dalam mengambil keputusan menghendaki agar suatu

Badan Pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak

bertentangan) terhadap kasus-kasus yang faktanya sama. Namun, pada

prakteknya sangatlah mustahil terdapat suatu kesamaan mutlak teradap dua

59
Ibid., h. 246.
60
Ibid.
46

atau lebih kasus, oleh karena itu, Philipus Hadjon berpendapat bahwa, asas

ini memaksa Pemerintah untuk menjalankan kebijakan.61

d.Asas bertindak cermat (principle of carefulness)

Asas bertindak cermat menghendaki agar Pemerintah atau administrasi

dapat bertindak cermat dalam melaksanakan berbagai aktivitas

penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan

kerugian bagi warga negara.62 Asas ini juga mensyaratkan agar Badan

Pemerintahan sebelum mengambil keputusan, meneliti semua fakta yang

berkaitan dalam pertimbangannya.

Dapat dipahami bahwa, asas ini secara tidak langsung

menginstruksikan agar Badan Pemerintah tidak boleh dengan mudah

menyimpangi nasihat atau masukan yang diberikan oleh Ahli-Ahli dalam

bidang tertentu. Safri Nugraha berpendapat bahwa, asas kecermatan

(carefulness) sesungguhnya mengandaikan suatu sikap bagi para

pengambil keputusan untuk senantiasa selalu bertindak hatihati, yaitu

dengan cara mempertimbangkan secara komprehensif mengenai segenap

aspek dari materi keputusan, agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga

masyarakat.63

e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)

Asas motivasi untuk setiap keputusan menghendaki agar setiap

keputusan Pemerintah harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup

61
Philipus M. Hadjon, dkk, Op.Cit., h. 271.
62
Ridwan H.R., Op.Cit., h. 248.
63
Safri Nugraha, 2007, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum Pemerintahan
yang Baik, BPHN, Jakarta, Desember 2007, h. 11-12.
47

sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan

atau motivasi itu tercantum di dalam keputusan.64 S.F Marbun berpendapat

bahwa, setiap keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara yang

dikeluarkan harus didasari alasan dan alasannya harus jelas, terang, benar,

objektif, dan adil.65

Philipus Hadjon berpendapat bahwa asas pemberian alasan ini dapat

dibedakan dalam 3 (tiga) subvarian sebagai berikut :66

1. Syarat bahwa suatu keputusan harus diberi alasan


Apabila terdapat suatu keputusan yang merugikan satu orang atau
lebih yang berkepentingan, Pemerintah yang baik mensyaratkan
bahwa pemberian alasan sedapat mungkin segera diberitahukan
bersama-sama dengan keputusan.
2. Keputusan harus memiliki dasar fakta yang teguh
Fakta yang menjadi titik tolak dari suatu keputusan harus benar,
Apabila ternyata fakta-fakta yang ada berbeda dari apa yang
dikemukakan atau diterima oleh Pemerintah, maka dasar fakta dari
alasan-alasan tidak ada (cacat dalam kecermatan).
3. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung
Pada umumnya kecacatan dalam keputusan diakibatkan pada cacat
dalam pemberian alasan, dengan demikian pemberian alasan di
dalam suatu keputusan harus masuk akal, secara keseluruhan harus
sesuai dan memiliki kekuatan yang meyakinkan.

f. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of

competence)

Asas tidak mencampuradukkan kewenangan menghendaki agar setiap

Pejabat Pemerintah dapat menggunakan kewenangannya dengan baik, yang

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau

berdasarkan pada asas legalitas. Faried Ali berpendapat bahwa, “Asas ini

64
Ridwan H.R., Op.Cit., h. 250.
65
S.F. Marbun, 2015, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, edisi revisi, FH UII Press, Yogyakarta, h. 377.
66
Philipus M. Hadjon, Op.Cit., h. 275-277.
48

memberikan petunjuk agar Pejabat Pemerintah maupun Badan Aparatur

Pemerintahan tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan wewenangnya

atau menjadi wewenang Pejabat lain/Badan lain.”67

Ridwan HR menyebutkan bahwa kewenangan Pemerintah secara

umum mencakup tigal hal, yaitu; kewenangan dari segi material

(bevoegheid ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah (bevoegheid

ratione loci), dan kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ratione

temporis).68 Aspek-aspek wewenang ini tidak dapat dilaksanakan

melampaui atas apa yang sudah ditentukan dalam peraturan yang berlaku,

dengan kata lain, asas tidak mencampuradukkan kewenangan ini

menghendaki agar Pejabat tata usaha negara tidak menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam

peraturan yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 17 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat 3 (tiga) unsur larangan

penyalahgunaan wewenang, yaitu;

a. Larangan melampaui wewenang;


b. Larangan mencampuradukkan weweang; dan/atau
c. Larangan bertindak sewenang-wenang.

Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan

kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga)

wujud, yaitu:69

67
Faried Ali, 2012, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, Refika Aditama,
Bandung, h. 132.
68
Ridwan HR., Op.Cit., h. 252.
69
Cekli Setya Pratiwi, dkk, Op.Cit., h. 102.
49

a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan


yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu,
tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Jazim Hamidi berpendapat bahwa asas menyalahgunakan wewenang

diartikan sebagai penggunaan wewenang yang tidak sesuai dengan

wewenang yang diberikan Undang-Undang atau melampaui wewenang-

wewenang itu untuk tujuan lain, atau sesuai tujuan, tetapi dengan prosedur

yang salah, atau tidak untuk kepentingan yang dilandasi motif pribadi

(artinya harus sesuai dengan kepentingan umum).70

g. Asas permainan yang layak (principle of fair play)

Asas permainan yang layak menghendaki agar warga negara diberi

kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan

serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan

argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi.71

Asas ini berkaitan biasa disebut dengan asas keterbukaan, di mana

masyarakat memiliki hak untuk memperoleh atau mendapatkan informasi

dimaksudkan sebagai bagian dari pengikutsertaan secara aktif (partisipasi)

masyarakat dalam memperbaiki dan mengurus negara.72 Dengan kata lain,

70
Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL)
di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.5.
71
Ridwan HR., Op.Cit., h. 255.
72
Cekli Setya Pratiwi, dkk, Op.Cit., h. 92.
50

Pemerintah dituntut untuk bersikap jujur dan terbuka terhadap segala aspek

yang berkaitan dengan hak-hak warga negara.

Ateng Syafrudin menjelaskan bahwa asas permainan yang layak atau

asas keterbukaan memiliki fungsi-fungsi penting, sebagai berikut: pertama,

fungsi partisipasi, keterbukaan sebagai alat bagi warga untuk ikut serta

dalam proses Pemerintahan secara mandiri;73 kedua, fungsi

pertanggungjawaban umum dan pengawasan keterbukaan, pada satu sisi

sebagai alat bagi penguasa untuk memberi pertanggungjawaban di muka

umum, pada sisi lain sebagai alat bagi warga untuk mengawasi penguasa;

ketiga, fungsi kepastian hukum, keputusan-keputusan penguasa tertentu

yang menyangkut kedudukan hukum para warga demi kepentingan

kepastian hukum harus dapat diketahui, jadi harus terbuka; keempat, fungsi

hak dasar, keterbukaan dapat mengajukan penggunaan hak-hak dasar

seperti hak pilih, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan hak untuk

berkumpul dan berbicara.

h.Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of

arbitrariness)

Asas keadilan dan kewajaran menghendaki agar setiap tindakan Badan

atau Pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan

kewajaran. Asas keadilan ini menuntut tindakan secara proporsional, sesuai,

seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. Menurut Jazim Hamidi,

indikator yang termuat di dalam asas keadilan adalah sesuai dengan hukum

73
Ateng Syafrudin, 1994, Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi
Pengabdian Kepala Daerah, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 50.
51

dan sesuai dengan porsinya, ada 10 (sepuluh) prinsip keadilan, yaitu,

tanggung jawab, adaptif terhadap pendapat para ahli, berlaku baik kepada

bawahan, rendah hati dan penyantun, tidak mementingkan diri sendiri,

loyalitas tinggi, hidup sederhana, arif, cinta rakyat, tulus dan ikhlas.74 Nilai

keadilan merupakan pertimbangan yang nilainya bersifat subyektif.

Untuk asas kewajaran menghendaki agar setiap aktivitas Pemerintah

atau administrasi negara memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah

masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun

nilai-nilai yang lainnya. Dengan kata lain, Pemerintah dalam melaksanakan

tindakannya tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai yang hidup di dalam

masyarakat.

i. Asas kepercayaan dan menangggapi pengharapan yang wajar (principle

of meeting raised expectation)

Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar

menghendaki agar setiap tindakan Pemerintah harus menimbulkan

harapan-harapan bagi warga negara. Dengan kata lain, keputusan atau

kebijakan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah tidak dapat ditarik

kembali meskipun keputusan atau kebijakan tersebut merugikan

Pemerintah. Indroharto berdapat bahwa, asas ini muncul karena 2 (dua)

sebab, yaitu;75

pertama, harapan-harapan yang dapat terjadi dengan perundang-


undangan, perundang-undangan semu, dengan garis tetap keputusan-
keputusan yang sampai detik itu tetap secara konsisten dilakukan

74
Jazim Hamidi, Op.Cit., h. 6.
75
Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku II, Pustaka Sinar Haparan, Jakarta, h. 161-162.
52

penguasa; kedua, syarat disposisi atas dasar kepercayaan yang


ditimbulkan itu seseorang telah berbuat sesuatu yang kalau
kepercayaan itu tidak ditimbulkan pada dirinya, ia tidak akan berbuat
demikian.

j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of

undoing the concequences of an annuled decision)

Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal menghendaki

apabila Pemerintah menerbitkan suatu keputusan yang keliru, maka

keputusan tersebut harus dianggap batal.

k.Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of

protecting the personal may of life)

Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi

menghendaki agar Pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi

setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi warga

negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjunjung

tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara.76 Hal ini dapat

dipahami bahwa, cara pandang hidup seseorang merupakan hak asasi yang

harus dihormati dan dilindungi, akan tetapi dalam penggunaannya tidak

boleh bertentangan dengan norma dan sistem keyakinan orang lain yang

diakui dan dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain,

pandangan hidup seseorang tersebut tidak dapat digunakan apabila

pandangan tersebut bertentangan dengan norma-norma suatu bangsa.

l. Asas kebijaksanaan (sapientia)

76
Ridwan HR., Op.Cit., h. 261.
53

Asas kebijaksanaan menghendaki agar Pemerintah dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaanya diberi kebebasan dan keleluasaan

untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan

perundang-undangan formal.77 Hal ini dikarenakan tak jarang peraturan

perundang-undangan formal atau hukum tertulis itu membawa cacat

bawaaan yang berupa tidak fleksibel, sehingga tidak dapat mengikuti

perkembangan masyarakat yang bergerak dengan cepat dan dinamis.

Kuntjoro Purbopranoto berpendapat bahwa asas kebijaksanaan ini

sejalan dengan hikmah kebijaksanaan yang terdapat 3 (tiga) unsur

implikasinya, yaitu;78

“pertama, pengetahuan yang tandas dan analisis situasi yang dihadapi;


kedua, rancangan penyelesaian atas dasasr staatsidee ataupun
recthsidee yang disetujui bersama, yaitu Pancasila; ketiga,
mewujudkan rancangan penyelesaian untuk mengatasi situasi dengan
tindakan perbuatan dan penjelasan yang tepat, yang dituntut oleh
situasi yang dihadapi.”

m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)

Asas penyelenggaraan kepentingan umum menghendaki agar

Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan

kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek

kehidupan orang banyak.79 Pada dasarnya, asas penyelenggaraan

kepentingan umum itu menghendaki agar dalam setiap keputusan yang

merupakan perwujudan dari penyelenggaraan tugas pokok pejabat/instansi,

77
Ibid., h. 262.
78
Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Bandung, h. 35.
79
Ridwan HR., Op.Cit., h. 263.
54

selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan

golongan.80

Penyelenggaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal sebagai

berikut :

1. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai kepentingan


negara.
2. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama dari
warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara sendiri.
3. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat
dilakukan oleh para warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan
negara.
4. Memelihara kepentingan dari warga negara perseorangan yang tidak
seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri, dalam
bentuk bantuan negara.
5. Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, asas ini sangat penting bagi

Aparatur Pemerintah sebagai pelayan masyarakat, yaitu dengan

mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara memahami dan

menampung harapan dan keinginan masyarakat secara cermat.

Pada awalnya keduduka

n AAUPB di dalam sistem hukum di Indonesia belum diakui secara yuridis

formal, oleh karenanya AAUPB belum memiliki kekuatan hukum formal.

Perkembangan AAUPB di Indonesia dari prinsip yang tidak tertulis bergeser

menjadi norma hukum tertulis berlangsung cukup lambat. Sejak diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

(untuk selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1986), AAUPB tidak diatur secara

eksplisit. Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tidak secara eksplisit menyebut

80
Safri Nugraha, Op.Cit., h. 13.
55

AAUPB sebagai dasar pengajuan gugatan terhadap keputusan Pejabat tata usaha

negara.

Pada tahun 1986, Indonesia menerbitkan dan mengesahkan UU No. 5

Tahun 1986, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang No. 9 tahun 2004

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya disebut UU No. 9 Tahun 2004).

Pada tahun 2004, AAUPB dicantumkan di dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9

tahun 2004 sebagai dasar gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.

Selanjutnya, pada tahun 2014 perkembangan terhadap pengaturan AAUPB

menemukan momentum yang semakin kuat, di mana AAUPB menjadi

mainstreaming issue dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (untuk selanjutnya disebut RUU

No. 30 Tahun 2014) di dalam rapat pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat (untuk

selanjutnya disebut DPR). 81

Setelah diundangkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (untuk selanjutnya disebut UU No. 30

Tahun 2014), AAUPB diatur secara eksplisit di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No.

30 Tahun 2014 yang memuat memuat 8 (delapan) asas AAUPB, yaitu: asas

kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan,

asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepentingan

umum, dan asas pelayanan yang baik. Sedangkan pada Pasal 10 Ayat (2) UU No.

30 Tahun 2014 disebutkan bahwa, asas-asas lain di luar 8 (delapan) asas

81
Cekli Setya Pratiwi, dkk, Op.Cit., h. 36.
56

sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 dapat

diakui sebagai AAUPB, sepanjang diterapkan oleh Hakim dalam memutus

perkara dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

B. Mekanisme Penerapan Program Penjaminan Pemerintah Terhadap

UMKM

Jaminan merupakan hal yang penting dalam membuat dan melaksanakan

perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang, serta guna melindungi

kepentingan para pihak, dalam hal ini khususnya kreditur sebagai pihak yang

meminjamkan uang. Jaminan secara umum diatur di dalam Pasal 1131 KUH

Perdata yang menyebutkan bahwa, “segala hak kebendaan debitur baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan

ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya.”

Jaminan dipahami sebagai suatu perikatan antara kreditur dengan debitur,

dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang

menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila dalam waktu yang

ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur.82 Djuhaendah Hasan

mengatakan bahwasanya fungsi jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum

dalam pelunasan hutang di dalam perjanjian kredit atau dalam hutang piutang atau

kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian, kepastian realisasi suatu

prestasi dalam suatu perjanjian, kepastian hukum ini adalah dengan mengikat

perjanjian jaminan melalui lembaga-lembaga jaminan.83

82
Gatot Supramono, 1995, PerBankan dan Masalah Kredit:Suatu Tinjauan Yuridis,
Djambatan, Jakarta, h. 75.
83
Djuhaenda Hasan, 1998, Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, Proyek Elips
dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 68.
57

Di tengah keterpurukan ekonomi Indonesia akibat adanya pandemi Covid-

19 ini, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Pemulihan Ekonomi

Nasional (untuk selanjutnya disebut PEN), di mana di dalam kebijakan tersebut

Pemerintah Indonesia memberikan penjaminan kepada pelaku usaha maupun

kepada Badan Usaha Milik Negara (untuk selanjutnya disebut BUMN). Hal ini

sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan

Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara

Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau

Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau

Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (untuk

selanjutnya disebut PP No. 23 Tahun 2020), yang diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi

Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk

Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau

Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau

Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (untuk

selanjutnya disebut PP No. Tahun 2020).

Berdasarkan peraturan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat 2 (dua) jenis

program penjaminan oleh Pemerintah, yaitu penjaminan langsung oleh

Pemerintah dan penjaminan melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk oleh

Pemerintah sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 ayat (2) PP No. 23 Tahun 2020.
58

Penjaminan langsung oleh Pemerintah hanya diberikan kepada BUMN dan

pelaksanaannya Pemerintah dapat menunjuk dan menugaskan Lembaga

Pembiayaan Ekspor Indonesia dan/atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia

(Persero) sebagai pelaksana tugas, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 17

PP No. 43 Tahun 2020.

Mengenai penjaminan oleh Pemerintah melalui badan usaha penjaminan

yang ditunjuk, diberikan kepada pelaku usaha dalam bentuk penjaminan atas

kredit modal kerja yang diberikan oleh atau melalui perbankan. Badan usaha

penjaminan yang ditunjuk dan ditugaskan oleh Pemerintah adalah PT. Jaminan

Kredit Indonesia (untuk selanjutnya disebut PT. Jamkrindo), PT. Asuransi Kredit

Indonesia (untuk selanjutnya disebut PT. Askrindo), Lembaga Pembiayaan

Ekspor Indonesia, dan/atau PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)

sebagai pelaksana tugas, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 PP No. 43

Tahun 2020. Namun, dalam pelaksanaan program penjaminan oleh Pemerintah

terhadap pelaku usaha UMKM, Pemerintah menunjuk dan menugaskan PT.

Jamkrindo dan PT. Askrindo, sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) PMK

No. 71 Tahun 2020. Apabila pelaku usaha UMKM memerlukan fasilitas pinjaman

dengan skema syariah, maka PT. Jamkrindo dan/atau PT. Askrindo dapat bekerja

sama dengan PT. Penjaminan Jamkrindo Syariah dan/atau PT. Jaminan

Pembiayaan Askrindo Syariah, sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (2) PMK

No. 71 Tahun 2020.

Penerima jaminan pada program penjaminan Pemerintah dalam hal ini

adalah Bank. Bank yang dimaksud untuk menerima jaminan paling sedikit wajib
59

memenuhi kriteria sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 PMK No. 71 Tahun 2020,

antara lain :

a. Merupakan Bank Umum


b. Memiliki reputasi yang baik; dan
c. merupakan Bank kategori sehat dengan peringkat komposit 1 atau
peringkat komposit 2 berdasarkan penilaian tingkat kesehatan Bank oleh
OJK.

Di samping itu, syarat Bank agar dapat menjadi penerima jaminan juga diatur di

dalam lampiran PMK No. 71 Tahun 2020, di mana Bank harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut;

a. Penerima Jaminan menanggung minimal 20% dari risiko pinjaman

modal kerja;

b.Pembayaran bunga kredit/imbalan/margin pembiayaan dari Pelaku Usaha

kepada Penerima Jaminan dapat dibayarkan di akhir periode Pinjaman;

dan

c. Penerima Jaminan sanggup menyediakan sistem informasi yang

memadai untuk melaksanakan program penjaminan Pemerintah.

Masing-masing Bank akan menerima plafon pinjaman sesuai dengan nilai

penjaminan yang dapat diberikan oleh PT. Jamkrindo atau PT. Askrindo yang

akan dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara PT. Jamkrindo atau PT.

Askrindo sebagai Penjamin dengan Bank sebagai Penerima Jaminan. Perjanjian

kerja sama antara PT. Jamkrindo atau PT. Askrindo dengan Bank dilakukan untuk

menentukan;

a. Jenis dokumen yang harus diserahkan oleh Pelaku usaha dan pihak

Penerima jaminan;
60

b.Metode pertukaran data yang dilakukan antara PT. Jamkrindo dan/atau

PT. Askrindo dengan pihak Penerima jaminan; dan

c. Batas penerapan skema penjaminan otomatis bersyarat (Conditional

Automatic Coverage/CAC) dan penjaminan bersyarat (case by case

coverage).

Bank sebagai Penerima jaminan ditugaskan untuk memberikan fasilitas

pinjaman atau kredit modal kerja kepada para pelaku usaha yang di dalam

Peraturan Menteri Keuangan ini disebut sebagai Terjamin, hal ini dapat dipahami

apabila melihat pada definisi Terjamin sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka

8 PMK No. 71 Tahun 2020. Program penjaminan Pemerintah ini tidak hanya

mencakup pada pemberian fasilitas pinjaman atau kredit modal kerja kepada para

pelaku usaha, namun juga mencakup kewajiban finansial para pelaku usaha.

Kewajiban finansial yang dimaksud sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (2)

PMK No. 71 Tahun 2020 yang meliputi tunggakan pokok pinjaman dan/atau

bunga/imbalan sehubungan dengan pinjaman modal kerja sebagaimana disepakati

dalam perjanjian Pinjaman. Sedangkan, yang dimaksud dengan pinjaman

sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (3) PMK No. 71 Tahun 2020 diberikan

untuk pinjaman modal kerja baru atau tambahan modal kerja dalam rangka

restrukturisasi.

Para pelaku usaha dalam hal ini dikhususkan adalah unit usaha mikro, kecil,

dan menengah (untuk selanjutnya disebut UMKM) harus memenuhi seluruh

syarat sebagaimana diatur di dalam lampiran PMK No. 71 Tahun 2020 agar dapat

memperoleh pinjaman modal kerja yang dijamin oleh Pemerintah tersebut. Syarat
61

yang harus dipenuhi oleh UMKM agar dapat menjadi peserta penjaminan program

PEN, yaitu sebagai berikut :

a. Memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);

b.Pelaku usaha dapat berbentuk usaha perseorangan, koperasi, ataupun

badan usaha;

c. Plafon pinjaman maksimal Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

dan hanya diberikan oleh satu Penerima jaminan;

d.Pinjaman yang dijamin adalah pinjaman yang sertifikat penjaminannya

diterbitkan paling lambat tanggal 30 November 2021;

e. Tenor pinjaman maksimal 3 (tiga) tahun;

f. Pelaku usaha tidak termasuk dalam daftar hitam Nasional; dan

g. Pelaku usaha memiliki performing loan lancar (kolektabilitas 1 atau

kolektabilitas 2) dihitung setiap tanggal 29 Februari 2020.

Setelah para Pelaku usaha telah memenuhi persyaratan sebagai Terjamin, maka

para Pelaku usaha dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Bank, dengan

tata cara sebagai berikut:

a. Pelaku Usaha yang memenuhi syarat sebagai Terjamin mengajukan

permohonan kredit modal kerja/pembiayaan modal kerja kepada pihak

Penerima Jaminan.

b.Atas permohonan tersebut, Penerima Jaminan melakukan analisa syarat

dan ketentuan sesuai dengan standar operasi yang berlaku di masing-

masing Penerima Jaminan.


62

c. Dalam hal syarat dan ketentuan telah terpenuhi, PT Jamkrindo dan/ atau

PT Askrindo menerbitkan sertifikat penjaminan kepada Penerima

Jaminan.

d.Pemberian jaminan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku di PT

Jamkrindo dan/atau PT Askrindo dengan memperhatikan perjanjian kerja

sama dengan Penerima jaminan.

e. Terhadap Pinjaman yang telah terbit, PT Jamkrindo dan/ atau PT.

Askrindo mengajukan tagihan pembayaran IJP kepada Pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa Pemerintah menugaskan

PT. Jamkrindo dan PT. Askrindo untuk melaksanakan program penjaminan

Pemerintah. Tugas yang dimaksud selain untuk mengadakan kerja sama dengan

pihak Bank, PT. Jamkrindo dan PT. Askrindo ditugaskan untuk melakukan

pembukuan yang sesuai dengan standard akuntansi dan menyampaikan laporan

triwulan atas pelaksanaan penugasan kepada Menteri ditembuskan kepada

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko dan Direktur Jenderal

Perbendaharaan, hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 19 dan Pasal 20 PMK

No. 71 Tahun 2020. Dalam pelaksanaan program penjaminan Pemerintah tersebut,

Pemerintah melakukan pengawasan, pemantauan dan evaluasi terhadap

pelaksanaan program tersebut di atas yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal

Kementerian Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Namun, pada tahun 2021 Pemerintah menerbitkan Peraturan..Pemerintah

Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan

Koperasi.dan Usaha.Mikro, Kecil, dan Menengah (untuk selanjutnya disebut PP


63

No. 7 Tahun 2021) di mana di dalam Pasal 53 mengatur tentang perlindungan

dengan mengupayakan.pemulihan bagi UMKM pada saaat terjadi kondisi..darurat

tertentu, yang di dalamnya diatur sebagai berikut;

Pasal 53 ayat (1) Dalam hal terjadi kondisi darurat tertentu, Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah mengupayakan pemulihan Usaha mikro dan

Usaha Kecil meliputi:

a.Restrukturisasi.kredit;

b.Rekonstruksi.usaha;

c.Bantuan.permodalan; dan/atau

d.Bantuan.bentuk lain.

Ayat (2) Pemulihan...usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diprioritaskan..kepada Usaha.Mikro dan Usaha.Kecil yang terdampak

untuk pemulihan perekonomian masyarrakat.

Berdasarkan uraian Pasal di atas dapat dipahami bahwa Pemerintah

mencoba untuk memberikan perlindungan bagi UMKM apabila negara sedang

berada dalam kondisi darurat, namun mekanisme mengenai perlindungan ini tidak

diatur secara eksplisit atau secara khusus dan tidak mengacu pada Perppu..No. 1

Tahun 2020. Sehingga, menurut Penulis Pasal 53 tersebut di atas masih terdapat

permasalahan kekosongan..hukum dan inkonsistensi norma. Hal ini dikarenakan

sampai detik ini Indonesia masih berada dalam situasi darurat kesehatan

masyarakat akibat adanya pandemi Covid-19, dan hal ini memunculkan

pertanyaan mengenai urgensi diaturnya Pasal 53 tersebut di atas dan mengapa

tidak mengacu pada aturan yang mengatur mengenai pemulihan ekonomi nasional.
64

C. Kebijakan Program Penjaminan Oleh Pemerintah Dalam Perspektif Asas-

Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Pandemi Covid-l9 secara nyata telah mengguncang aktivitas perekonomian

sebagian besar negara di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Selama terjadinya

pandemi Covid-19, kegiatan dunia usaha mengalami gangguan yang signifikan

baik dalam proses produksi, distribusi, dan kegiatan operasional lainnya yang

pada akhirnya mengganggu kinerja perekonomian. Dalam menanggapi

permasalahan di atas, Pemerintah menerbitkan dan mengeluarkan suatu kebijakan.

Kebijakan dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan program PEN.Program

PEN merupakan bentuk kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam upaya

untuk menjaga dan mencegah aktivitas usaha dari pemburukan lebih lanjut,

mengurangi semakin banyaknya pemutusan hubungan kerja dengan memberikan

subsidi bunga kredit bagi debitur UMKM yang terdampak, mempercepat

pemulihan ekonomi nasional, serta untuk mendukung kebijakan keuangan negara,

sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 Perppu No. 1 Tahun 2020, yang

pelaksanaannya diatur di dalam PP No. 23 Tahun 2020 diubah dengan PP No. 43

Tahun 2020 dan PMK No. 71 Tahun 2020.

Kebijakan PEN ini diatur di dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 23 Tahun 2020,

yang mengatur bahwa;

“Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program


PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional
yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan
oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus
Disease 2019 (COVID19) dan/atau menghadapi ancaman yang
membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan
serta penyelamatan ekonomi nasional.”
65

Berdasarkan uraian mengenai kebijakan PEN di atas, diketahui bahwa di dalam

definisi mengenai program PEN, program PEN ini dibentuk dengan tujuan untuk

“menghadapi ancaman yang membahayakan perkonomian nasional dan/atau

stabilitas sistem keuangan, Oleh sebab itu, Penulis berpendapat dengan adanya

wabah penyakit menular ini, bahwa kebijakan PEN tersebut merupakan kebijakan

darurat yang diterbitkan oleh Pemerintah, dalam rangka penyelamatan ekonomi

nasional.

Beberapa peraturan tersebut di atas merupakan instrumen yuridis yang

digunakan oleh Pemerintah dalam penyelenggaraan Pemerintahan di tengah

Pandemi Covid-19 untuk menyelamatkan perekonomian serta aktivitas usaha

dalam hal ini dikhususkan pada pelaku usaha UMKM. Mengapa beberapa

peraturan di atas dapat dikatakan sebagai instrumen yuridis, oleh karena di dalam

kepustakaan Hukum Administrasi Negara terdapat istilah langkah mundur

pembuatan Undang-Undang. Sikap mundur ini diambil dalam upaya

mengaplikasikan norma Hukum Administrasi Negara yang bersifat umum-abstrak

terhadap peristiwa konkret dan individual.84

Indroharto berpendapat bahwa manfaat dari sikap mundur pembuat

Undang-Undang seperti ini adalah sebagai penentuan dan penetapan norma-norma

hukum oleh Badan atau Jabatan tata usaha negara akan dapat dilakukan

diferensiasi menurut keadaan khusus dan konkret dalam masyarakat.85 Salah satu

penyebab dari adanya langkah mundur ini adalah diperlukannya pengaturan lebih

lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang

84
Ridwan HR., Op.Cit., h. 136.
85
Indroharto, Op.Cit., h. 154.
66

mendetail, seperti Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan

Perundang - undangan lain nya. Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah

AAUPB dapat digunakan sebagai pedoman untuk menilai suatu peraturan

perundang-undangan, dalam hal ini yang dimaksud adalah Peraturan Menteri.

Perlu dipahami bahwa Pemerintah memiliki kewenangan legislasi, kewenangan

tersebut terbagi menjadi 2 (dua) sifat yaitu kewenangan legislasi yang bersifat

mandiri dan yang tidak mandiri (kolegial).

Kewenangan legislasi yang bersifat tidak mandiri, merupakan kewenangan

untuk membuat suatu peraturan dibuat bersama-sama pihak lain yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat (untuk selanjutnya disebut DPR) atau Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (untuk selanjutnya disebut DPRD), berwujud Undang-Undang

atau peraturan daerah. Kewenangan legislasi yang bersifat mandiri, merupakan

kewenangan untuk membuat peraturan tanpa melibatkan pihak lain, dalam hal ini

tanpa keterlibatan DPR/DPRD, berwujud keputusan-keputusan (besluiten van

algemeen strekking), yang merupakan atau tergolong sebagai peraturan

perundang-undangan. Philipus Hadjon berpendapat bahwa; 86

Bentuk keputusan tata usaha negara demikian tidak merupakan bagian dari
perbuatan keputusan dalam arti beschikkingdaad van de administratie,
tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan
(regelend daad van de administratie). Seperti halnya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya, keputusan tata usaha negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum dapat pula dijadikan salah satu dasar
hukum bagi dikeluarkannya suatu keputusan (dalam arti beschikking).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa, suatu peraturan

perundang-undang dalam hal ini dikhususkan Peraturan Menteri dapat dinilai dan

diuji dengan menggunakan AAUPB. Hal ini dikarenakan dengan adanya


86
Philipus M. Hadjon, Op.Cit., h. 151-152.
67

kewenangan legislasi bagi Pemerintah, maka perbuatan Pemerintah tersebut

berdasarkan kewenangannya dapat dikategorikan sebagai perbuatan tata usaha

negara di bidang pembuatan peraturan.

Patut dipahami bahwa beberapa peraturan tersebut di atas, diterbitkan dan

disahkan dalam waktu yang cukup singkat, hal ini dikarenakan pandemi Covid-19

telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar,

sehingga berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana telah diuraikan pada Bab II, bahwa Presiden menerbitkan Keppres

No. 11 Tahun 2020 Tentamg Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

(untuk selanjutnya disebut Keppres No. 11 Tahun 2020), di mana dengan

diterbitkannya Keputusan Presiden ditambah dengan adanya Undang - Undang

Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular (untuk selanjutnya

disebut UU No. 4 Tahun 1984) dan Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2018

Tentang Karngtina Kesehatan (untuk selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 2018)

ini menandakan bahwa Negara Indonesia sedang berada dalam situasi yang tidak

normal atau biasa disebut dengan situasi darurat dan membutuhkan hukum darurat.

Namun, menjadi pertanyaan dari mana munculnya istilah keadaan darurat ini di

dalam Keppres No. 11 Tahun 2020, padahal di dalam konstitusi Indonesia tidak

terdapat istilah keadaan darurat. Di dalam konstitusi Indonesia hanya mengenal 2

(dua) istilah keadaan yang diatur di dalam Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD RI

1945, yaitu, keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Istilah keadaan darurat ini muncul pertama kali sebagaimana diatur di

dalam Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat
68

Tahun 1949 (untuk selanjutnya disebut UUD-RIS) yang mengatur bahwa;

“Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-

undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan Pemerintah Federal yang

karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.” Istilah

darurat ini juga digunakan di dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun

1950 (untuk selanjutnya disebut UUDS 1950), sebagaimana diatur di dalam Pasal

96 ayat (1) yang mengatur bahwa, “Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung

jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal

penyelenggaraan Pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak

perlu diatur dengan segera.” Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa, istilah keadaan

bahaya memiliki pengertian yang sama dengan keadaan darurat.87

Membahas mengenai PMK No. 71 Tahun 2020 yang diterbitkan sebagai

peraturan pelaksana atas Perppu No. 1 Tahun 2020, mengatur mengenai

pelaksanaan program PEN khususnya program penjaminan oleh Pemerintah

terhadap UMKM. Selanjutnya beberapa Pasal di dalam PMK No. 71 Tahun 2020

akan di analisis yang didasarkan pada perspektif AAUPB. Norma-norma hukum

yang ada di dalam PMK No. 71 Tahun 2020, terdapat beberapa norma atau

ketentuan yang justru dapat merugikan para pelaku usaha khususnya UMKM dan

Pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat tata usaha negara di

bidang pembuatan peraturan tidak memenuhi prinsip-prinsip yang ada di dalam

AAUPB.

87
Jimly Asshidiqie, Op.Cit., h. 206.
69

Pada PEN khususnya program penjaminan oleh Pemerintah ini, para

pelaku usaha dalam mengajukan pinjaman modal kerja atau melakukan

restrukturisasi kredit ini dibebani dengan adanya Imbal jasa penjaminan dan hak

regres. Definisi mengenai imbal jasa penjaminan ini diatur di dalam Pasal 1 angka

13 PMK No. 71 Tahun 2020 yang mengatur bahwa, “imbal jasa penjaminan

adalah sejumlah uang yang diterima oleh penjaminan dari terjamin dalam rangka

kegiatan penjaminan.” Sedangkan definisi mengenai hak regres diatur di dalam

Pasal 1 angka 17 PMK No. 71 Tahun 2020 yang mengatur bahwa, “regres adalah

hak Penjamin untuk menagih Terjamin atas apa yang telah dibayarkan oleh

Penjamin kepada Penerima Jaminan.” Pembebanan terhadap pelaku usaha

UMKM ini tentu melanggar asas-asas yang ada di dalam AAUPB, asas yang

dimaksud dalam hal ini adalah asas kemanfaatan dan asas kepentingan pelayanan

yang baik.

Ketidaksesuaian dengan asas kemanfaatan ini, memunculkan beban pada

kepentingan generasi yang akan datang, oleh karena adanya suku bunga maupun

yang berbentuk IJP yang dapat membebani Terjamin. Kemudian pelaku usaha

sebagai Terjamin, juga dibebani dengan pajak bagi pelaku usaha, hal ini akan

berdampak pada tumbuhnya ekonomi sementara (semu), oleh karena Penjamin

memiliki hak regres. Selain itu, adanya ketidaksesuaian dengan asas kepentingan

pelayanan yang baik, yaitu dengan dilekatinya Penjamin dengan hak regres, akan

berdampak pada pelayanan terhadap Terjamin, apabila Terjamin melakukan suatu

perbuatan cidera janji (wanprestasi) atau perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini

keberadaan hak regres dirasa kurang tepat, oleh karena kebijakan Pemerintah
70

dalam Pogram PEN ini memiliki tujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan

meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha UMKM dalam

menjalankan aktivitas usahanya. Patut dipahami juga bahwasannya, program PEN

khususnya program penjaminan oleh Pemerintah ini rawan akan penyalahgunaan

kewenangan, oleh karena mekanisme yang dibuat cukup rumit dan

pelaksanaannya mengacu pada BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah, sehingga

program penjaminan ini tidak sesuai dengan asas tidak mencampuradukkan

kewenangan atau asas tidak menyalahgunakan kewenangan.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada BAB II dan BAB III di atas, dapat ditarik

kesimpulannya bahwa :

1. Dalam menanggapi pandemi Covid-19 Pemerintah Indonesia dengan

mengeluarkan Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (untuk

selanjutnya disebut PEN) sebagaimana diatur di dalam Perppu No. 1

Tahun 2020. Melalui kebijakan ini Pemerintah dapat bertahan

menghadapi goncangan ekonomi di tengah Pandemi Covid-19 serta

memulihkan kondisi perekonomian Indonesia. Di dalam kebijakan

PEN terdapat 4 (empat) metode atau cara yang akan digunakan oleh

Pemerintah sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 PP No. 23 Tahun

2020, yaitu Penanaman Modal Negara, Penempatan Dana, Investasi

Pemerintah, dan/atau Penjaminan Pemerintah terhadap Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah, Koperasi, dan Usaha Besar.

2. Pada PEN khususnya program penjaminan oleh Pemerintah ini, para

pelaku usaha dalam mengajukan pinjaman modal kerja atau

melakukan restrukturisasi kredit dengan mekanisme sebagai berikut:

Pelaku Usaha yang memenuhi syarat sebagai Terjamin mengajukan

permohonan kredit modal kerja/pembiayaan modal kerja kepada pihak

Penerima Jaminan; Atas permohonan tersebut, Penerima Jaminan

melakukan analisa syarat dan ketentuan sesuai dengan standar operasi

71
72

3. yang berlaku di masing-masing Penerima Jaminan; Dalam hal syarat

dan ketentuan telah terpenuhi, PT Jamkrindo dan/ atau PT Askrindo

menerbitkan sertifikat penjaminan kepada Penerima Jaminan;

Pemberian jaminan dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku di PT

Jamkrindo dan/atau PT Askrindo dengan memperhatikan perjanjian

kerja sama dengan Penerima jaminan; Terhadap Pinjaman yang telah

terbit, PT Jamkrindo dan/ atau PT. Askrindo mengajukan tagihan

pembayaran IJP kepada Pemerintah.

Namun, para Pelaku usaha UMKM dalam hal ini dibebani dengan

adanya Imbal jasa penjaminan dan hak regres. Pembebanan terhadap

pelaku usaha UMKM ini tentu melanggar asas-asas yang ada di dalam

AAUPB, asas yang dimaksud dalam hal ini adalah asas kemanfaatan,

asas kepentingan pelayanan yang baik, dan asas tidak

mencampuradukkan kewenangan atau asas tidak menyalahgunakan

kewenangan.

B. Saran

1. Kepada para Mahasiswa yang mengambil fokus keilmuan hukum,

program Pemulihan Ekonomi Nasional yang dibuat oleh Pemerintah

maupun skripsi yang Peneliti buat ini, masih perlu untuk diteliti dan

dikembangkan lagi untuk kepentingan perkembangan keilmuan.

2. Kepada Pemerintah dalam membuat aturan pelaksana untuk

pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, perlu

memperhatikan dan membuat mekanisme yang sesederhana mungkin.


73

Agar kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya penyalahgunaan

kewenangan dapat diminimalisir.


DAFTAR BACAAN

A. Peraturan Perundang-Undangan

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1


Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O2O
Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan
Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19)
Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan / Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6516)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang


Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3851)

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Program


Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan
Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease
2019 (Covid- 19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6514)

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas


Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan
Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung
Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Desease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 286, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6542)

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 71 /Pmk.08/2020


Tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha
Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program
Pemulihan Ekonomi Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 660)

B. Buku

A. Hamid S. Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-


Undangan dan Peraturan Kebijaksanaan, Pidato Purna Bakti, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Ateng Syafrudin, 1994, Asas-Asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi


Pengabdian Kepala Daerah, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Cekli Setya Pratiwi, dkk, 2018, Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum


Pemerintahan Yang Baik, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan, Jakarta.

Djuhaenda Hasan, 1998, Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, Proyek


Elips dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Faried Ali, 2012, Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dan Otonom, Refika
Aditama, Bandung.

Gatot Supramono, 1995, PerBankan dan Masalah Kredit : Suatu Tinjauan


Yuridis, Djambatan, Jakarta.

Harrys Pratama Teguh, 2019, Hukum & Peradilan Konstitusi Indonesia –


Sebuah Kajian Teori dan Praktek Hukum Acara Konstitusi, Pustaka
Referensi, Yogyakarta.

I Dewa Gede Atmadja, 2015, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum,
Setara Press, Malang.

Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta.

Indroharto, 1992, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum


Perdata, Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum
Bidang Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Indonesia, Jakarta.
Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Haparan, Jakarta.

Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak


(AAUPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Jimly Asshidiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT. RajaGrafindo


Persada, Jakarta.

Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan


dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung.

Krishna Djaya Darumurti, 2016, Diskresi : Kajian Teori Hukum Dengan


Postscript dan Apendiks, Genta Publishing, Yogyakarta.

Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing,


Malang.

Maria Farida, 2014, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi


Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan


Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.

Philipus M. Hadjon, dkk, 2015, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,


Gajahmada University, Yogyakarta.

Ridwan H.R., 2016, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

SF Marbun dan Mahfud MD, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,


Liberty, Yogyakarta.

S.F. Marbun, 2015, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif


di Indonesia, edisi revisi, FH UII Press, Yogyakarta.

S. Prajudi Atmosudirjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,


Jakarta.

Safri Nugraha, 2007, Laporan Akhir Tim Kompendium Bidang Hukum


Pemerintahan yang Baik, BPHN, Jakarta.
C. Publikasi Ilmiah

1. Majalah/Jurnal

Bagir Manan, 1994, “Peraturan Kebijaksanaan”, makalah, Jakarta.

Dana Riksa Buana, 2020, “Analisis Perilaku Masyarakat Indonesia Dalam


Menghadapi Pandemi Virus Corona (Covid-19) Dan Kiat Menjaga
Kesejahteraan Jiwa,” Jurnal SALAM, Vol. 7, no. 3.

Supriyadi, 2020, “Kebijakan Penanganan Covid-19 Dari Perspektif Hukum


Profetik”, Suloh Jurnal Program Studi Magister Hukum, Edisi Khusus,
Vol. Oktober 2020.

Syafrida, Ralang Hartati, 2020, “Bersama Melawan Virus Covid 19 di


Indonesia”, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, Vol. 7 No. 6, Jakarta.

2. Tesis/Skripsi

I. Marcus Lukman, 1996, “Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang


Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta
Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional”,
Desertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung.

3. Website

Hasan B, 2020, “Genap 8 Bulan Pandemi Covid-19 di Tanah Air, Total Kasus
Positif 415.402 Orang”, Sumber Kompas.com, Senin, 02 November 2020
Jam 21:43 WIB, (dikutip pada tanggal 2 Mei 2021) dikutip pada web :
https://www.goriau.com/berita/baca/genap-8-bulan-pandemi-covid19-di-
tanah-air-total-kasus-positif-415402-orang.html

Ihsanuddin, 2020, “BREAKING NEWS: Jokowi Umumkan Dua Orang di


Indonesia Positif Corona”, dikutip dari situs Kompas.com, Jakarta,
(dikutip pada tanggal 1 Mei 2021) dikutip dari web :
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/11265921/breaking-news-
jokowi-umumkan-dua-orang-di-indonesia-positif-corona?page=all.

Anda mungkin juga menyukai