Anda di halaman 1dari 3

Kabar Akhlak Tasawuf di Indonesia: Perspektif Poskolonialisme

Dhisa Ayu Damayanti

Dewasa ini pengaruh globalisasi sudah tidak asing lagi dirasakan oleh hampir seluruh penghuni
dunia. Pengaruh tersebut tentu akan lebih terasa dampaknya oleh masyarakat Indonesia sebagai
negara ketiga bekas jajahan. Masa kolonialisme membuat bangsa Indonesia semakin terpuruk
ketika bicara tentang budaya dan tradisi. Pasalnya, perbenturan antara kedua budaya besar timur
dan barat menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Budaya barat mendominasi
pemikiran kaum milenial kekinian ini. Akibatnya, masyarakat beragama atau dalam hal ini bicara
tentang agama Islam dengan budaya timurnya semakin lama semakin pecah tak tahu arah.
Padahal, bangsa Indonesia lebih dulu menganut budaya timur dibanding budaya barat. Namun
kemudian poskolonialisme menjadikan Indonesia semakin krisis identitas. Selanjutnya terjadi
sekularisme atau pemisahan antara kehidupan beragama dan kehidupan duniawi yang
menjadikan bangsa Indonesia semakin bingung.

Agama semakin hari semakin dipinggirkan, padahal notabenenya Indonesia sejak merdeka
adalah negara beragama dan bertuhan seperti yang tercantum dalam pancasila. Sila kesatu
tentang Ketuhanan yang Maha Esa kekinian ini hanya jadi kata-kata kurang makna. Tentu hal
tersebut akan memicu kehancuran, terlebih ketika akhlak setiap manusia sudah tidak bisa diolah
dengan baik. Pembelajaran akhlak yang utama ini justru kurang didapati di sekolah sejak kecil,
sehingga kekinian para siswa maupun mahasiswa lebih cenderung mengimani budaya kurang
berakhlak. Maka dari itu, pembelajaran akhlak taswuf kiranya mesti diperluas hingga ke jenjang
pendidikan sejak dini. Akhlak tasawuf hanya dipelajari di kalangan santri pesantren, sementara
sekolah-sekolah modern justru lebih mengedepankan teori-teori barat tanpa memperkenalkan
teori timur yang seharusnya secara seimbang dipelajari. Akibatnya, persoalan moral dan akhlak
akan selalu jadi pekerjaan rumah yang belum selesai.

Berawal dari tujuan tasawuf yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghias diri dengan melakukan perbuatan terpuji,
akhlak tasawuf tentu akan diraih ketika timbul kesadaran masing-masing pribadi atau individu
untuk mengetahui pentingnya akhlak tasawuf. Untuk itu, terdapat tahapan yang dapat membantu
mencapainya, yakni; takhalli (mengosongkan diri dari akhlak buruk, membersihkan diri dari
akhlak tercela, dari maksiat lahir dan batin), tahali (mengisi diri dengan akhlak baik, mensucikan
diri dengan sifat terpuji lahir batin), dan tajali (terbukanya nur ilahi atau nur ghaib untuk hati).
Langkah-langkah tersebut dapat menjadi langkah awal untuk memuliakan diri berdasarkan
spiritual. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia sejatinya tidak pernah bisa lepas dari
spiritualitas yang akan mempengaruhi hidup dan kehidupan.

Pergeseran-pergeseran spiritualitas keislaman mulai terjadi pada era poskolonial, yakni dampak-
dampak yang terjadi akibat kolonialisme. Akulturasi budaya dan pesatnya teknologi menjadikan
spiritualitas keislaman di Indonesia terguncang, khususnya masalah akhlak. Pada hari ini, akhlak
buruk atau al-akhlak al-mazmumah seperti berbuat zalim, pemarah, pembohong, pendendam,
kikir, dan curang justru menjadi akhlak yang tersebar luas. Bahkan pelaku akhlak tersebut justru
memiliki kecenderungan bangga dan wajar saja. Sedangkan akhlak baik atau al-akhlak al-
karimah seperti adil, jujur, dermawan, pemaaf, amanah, ikhlas dan syukur jarang ditemui
kekinian ini. Tersebarnya hoaks secara mudah, pejabat yang tidak amanah, jujur, dan adil,
sampai pada mahasiswa maupun dosen yang sulit ikhlas dan syukur pun masih marak ditemukan.
Akibatnya, persoalan dan permasalahan bahkan pertengkarang kerap terjadi hingga taraf ekstrim
dan radikal. Padahal, semua itu hanya berakar dari pembelajaran akhlak tasawuf yang mestinya
dipelajari setiap individu untuk kemudian memperoleh kehidupan yang lebih bijaksana.

Poskolonialisme juga melahirkan banyak aliran yang mempengaruhi pembentukkan akhlak


seperti aliran nativisme, empirisme, kovergensi, bahkan aliran agama Islam itu sendiri. Aliran-
aliran tersebut menjadikan masyarakat semakin terombang-ambing. Meskipun begitu,
sebenarnya akhlak bisa dibentuk yakni melalui proses tertentu seperti terpaksa (tidak pantas),
terbiasa, kebutuhan, sampai pada kenyamanan (pantas). Namun tentu proses tersebut pun tidak
semudah diperkirakan, apalagi untuk skala negara bekas jajahan yang masih krisis identitas dan
budaya. Akhlak tasawuf juga sebenarnya memiliki faktor besar yang dapat diperoleh dari
lingkungan dan keluarga yang senantiasa mengajarkannya. Karena faktor-faktor tersebut dapat
membantu setiap manusia untuk belajar memilih berakhlak baik dibandingkan berakhlak buruk.

Pengetahuan dan definisi akan sesuatu pun seiring berjalannya waktu menjadi suatu hal yang
menimbulkan perbedaan standar seperti standar baik dan buruk. Misalnya menurut tradisi atau
pendapat adat istiadat, tentu akhlak yang baik adalah orang yang memegang prinsip adat dan
melaksanakannya. Sementara menurut aliran lain seperti hedonisme, akhlak baik adalah akhlak
yang mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Hal itu juga terjadi
selepas masa kolonialisme yang menjadikan semua orang berhak berpendapat berdasarkan
perspektifnya dan dengan mudah diakses oleh semua orang. Tanpa adanya ilmu lain yang
menunjang akhlak tasawuf ini akan justru memecah belah atau mengelompokkan orang-orang
dengan standar yang berbeda bahkan bertentangan. Maka dari itu, selain akhlak tasawuf ilmu-
ilmu keislaman lainnya seperti ilmu tauhid dan fiqih akan sangat berkaitan dan dibutuhkan.

Tantangan kehidupan masyarakat terkait akhlak pada masa poskolonialisme cenderung


melahirkan sifat-sifat materialistik dan hedonisme. Tantangan tersebut terlihat dalam gejala-
gejala yang muncul akibat pengaruh akulturasi seperti yang dipaparkan di atas. Progres melejit
menjadi kiblat masyarakat untuk terus mencapai kedudukan tinggi dan tidak pernah merasa puas
dan tanpa kontrol. Akibatnya, masyarakat tersebut akan menghalalkan segala cara untuk
meraihnya dan hilanglah kepedulian terhadap sesama, cenderung individualis, dan materialistis.
Akhlak baik semakin jauh dari masyarakat. Padahal tasawuf dalam kehidupan sosial memiliki
pengaruh yang cukup besar untuk mengatasi penyakit atau persoalan sosial yang terjadi.

Semua orang khusunya umat Islam seharusnya sudah tahu bahwa ajaran tasawuf akan senantiasa
membimbing seseorang dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan harapan menjadi manusia
yang bijaksana, arif, dan adil. Maka dari itu, kesadaran dan kepahaman mengenai bagaimana
membangun akhlak tasawuf mesti dilakukan sedini mungkin dan seluas mungkin. Meski
tantangan zaman menjadikannya semakin sulit untuk dirubah dan malah semakin rancu namun
setidaknya berawal dari diri sendiri akan lebih bijaksana. Karena ibarat mandi, meskipun kita
tahu setelahnya akan kotor lagi, itu bukanlah alasan untuk kita tidak mandi. Begitulah kabar
akhlak tasawuf di Indonesia hari ini melalui perspektif poskolonialisme.

Anda mungkin juga menyukai