Anda di halaman 1dari 9

ANALISA POLITIK DI BALIK SERTIVIKASI ULAMA

Materi HS yang disampaikan oleh Fery Nugroho

Latar Belakang

Kementerian Agama (Kemenag) berencana meluncurkan Program Penceramah Bersertifikat


mulai akhir September 2020 (Republika, 7/9). Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam,
Kamaruddin Amin, menyebut target peserta program ini adalah 8.200 penceramah untuk
tahun ini. Terdiri dari 8.000 penceramah di 34 provinsi dan 200 penceramah di pusat.

Menag Fachrul Razi menyatakan Program Penceramah Bersertifikat dimaksudkan untuk


mencegah penyebaran paham radikalisme (Cnnindonesia.com, 3/9). Pada kesempatan yang
berbeda, Waketum MUI, KH Muhyiddin Junaidi, menyampaikan bahwa MUI menolak tegas
rencana Kemenag tentang sertifikasi para dai/penceramah ini (Republika, 7/9).

KH Muhyiddin memandang kebijakan sertifikasi ulama itu kontraproduktif. Ia khawatir,


kebijakan tersebut berpeluang dimanfaatkan demi kepentingan Pemerintah guna meredam
ulama yang tak sejalan. Program ini berpeluang menimbulkan keterbelahan di tengah
masyarakat. Bisa berujung konflik. Bisa memicu stigmatisasi negatif kepada penceramah
yang tak bersertifikat.

Program Penceramah Bersertifikat ini pun berpotensi membatasi gerak dakwah. Beberapa
masjid atau kegiatan bisa saja diintervensi agar hanya menggunakan penceramah yang
bersertifikat.

Motif Pemerintah atas Sertivikasi Ulama

Wakil presiden Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa program sertivikasi ulama merupakan
upaya nyata pemerintah dalam penanggulangan radikalisme, dan wajib bagi penceramah
untuk mengikuti kompetensi tersebut agar jangan sampai ada da’i yang ternyata tidak
menguasai materi atau bahkan terindikasi radikalisme.

Seperti yang dikutip dalam WE Online, Beliau menyampaikan : "Jadi kalau da'i itu sudah
paham, baik kompetensi maupun integritasnya (dengan) diberikan sertifikat, maka
karena nanti da'i-nya sudah terstandar jadi pasti punya efek nantinya," kata Wapres
usai membuka Rapat Koordinasi Dakwah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) di
Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta pada Desember 2019 lalu.

1
Program sertivikasi ulama ini tentu menuai penolakan dan kontrovensi di berbagai
kalangan. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa ini merupakan upaya pemerintah
yang paling dominan untuk “menjinakkan ulama”.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas menolak keras program


tersebut. "Saya Anwar Abbas secara pribadi yang juga kebetulan adalah sekjen MUI
dengan ini menolak dengan tegas dan keras program dai dan penceramah
bersertifikat yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama yang akan melibatkan
MUI," kata Anwar yang akan melepas jabatannya di MUI jika pemerintah
menjalankan program itu.

Dia juga mengatakan siap mundur dari posisi sekretaris jenderal jika program
tersebut tetap diselenggarakan dan MUI bersedia menerimanya. Dia menilai sikap
dan cara pandang Menteri Agama Fachrul Razi yang selalu berbicara tentang
radikalisme dan ujung-ujungnya selalu mendiskreditkan dan menyudutkan umat
Islam dan para dai.

Beberapa pengurus MUI lainnya yang juga turut mengkritik dan menolak kebijakan tersebut
antara lain adalah Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi dan Wakil Sekjend MUI
Tengku Zulkarnain. Dua tokoh pengurus teras MUI tersebut tidak sepakat dengan rencana
Kemenag.

mereka menyatakan, bahwa program tersebut akan memicu kegaduhan di tengah


masyarakat karena adanya kekhawatiran intervensi pemerintah secara dominan dalam
pelaksanaan program.

Khawatirnya, Menurut wakil ketua umum MUI Muhyidin Junaidi menambahkan, pemerintah
melalui program tersebut nanti akan dapat terlalu jauh mengintervensi aspek keagamaan
sebab dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan
oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengendalikan kehidupan agama dan umat
islam.

Setelah menerima banyak reaksi penolakan yang terjadi ditengah – tengah masyarakat dan
tokoh umat Islam, kementerian Agama melakukan klarifikasi atas wacana sertifikasi ulama
tersebut.

Direktur Jenderal Bimas (Bina Masyarakat) Islam, Kementerian Agama : Kamaruddin Amin
menegaskan bahwa program yang diluncurkan bernama Penceramah/Ulama Bersertifikat,
bukan sertifikasi penceramah/Ulama.

2
"Bukan sertifikasi penceramah, tetapi penceramah bersertifikat. Jadi tidak ada
konsekuensi apapun," kata Kamaruddin dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 5 September
2020.

Kamaruddin melanjutkan, program ini merupakan arahan dari Wakil Presiden Ma'ruf Amin
yang juga merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Tahun ini, target peserta
program adalah 8.200 penceramah yang terdiri atas 8.000 penceramah di daerah dan 200
di pusat.

Menurut Kamaruddin, program penceramah bersertifikat didesain melibatkan banyak


pihak, di antaranya Lemhanas, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia, dan organisasi masyarakat lainnya.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid menilai klarifikasi atas
isu sertifikasi penceramah yang disampaikan oleh Kementerian Agama tak lantas menyudahi
kontroversi yang muncul, sebaliknya justru berpotensi memanaskan.

"Ini klarifikasi yang akan nambah kontroversi. Apalagi katanya “tak ada konsekwensi
apapun.” Maka untuk apa ngotot membuat program yang resahkan umat ? padahal telah
ditolak banyak pihak seperti sekretaris umum MUI? Apalagi program dan anggarannya
belum pernah di ACC oleh DPR. Dibatalkan lebih baik!" kata politisi Partai Keadilan Sejahtera
itu melalui akun Twitter @hnurwahid yang dikutip Suara.com, Senin (7/9/2020).

Berdasarkan keterangan yang didapat dari reaksi dan kecurigaan masyarakat dan tokoh
umat, serta reaksi pemerintah atas sertifikasi ulama ini, penulis menyimpulkan sebuah
indikasi motif politik pemerintah yakni,

1. Dengan melihat adanya lembaga-lembaga yang turut berpartisipasi dalam program


sertifikasi ulama/penceramah ini, seperti Kemenag, Lemhanas, BPIP, dan BNPT.
Maka praktis dapat disimpulkan bahwa target sertifikasi ini adalah menyoal para
ulama agar dapat dikondisionalkan untuk jauh dari paham “radikal” (menurut
pemerintah) seperti Khilafah dan Jihad, serta sejalan dengan pemerintah.

2. Dapat digunakan untuk mendata, menilai, dan mengukur kemampuan para


Ulama/Da’i/penceramah, dan bersikap tegas serta dapat ditindak apabila didapati
adanya ulama yang menganut ideologi Islam Kaffah

3. Sertifikasi ulama ini suatu hari nanti dapat berpotensi dijadikannya sebagai sebuah
legal standing bagi setiap Ulama/Da’i/penceramah dalam menyampaikan
ceramahnya di mimbar. Mereka harus menyertakan sertifikat ini sebagai sebuah
keabsahan atas konten materi ceramahnya, dan wajib bertanggung jawab apabila isi

3
materi yang disampaikan tidak sesuai atau menyalahi kaedah-kaedah yang telah
ditetapkan dalam program sertifikasi tersebut.

4. Ini adalah intervensi pemerintah yang nyata dalam upaya untuk memberhangus dan
meredam seluruh syiar-syiar dan seruan dakwah, yang menyeru kepada kebangkitan
umat Islam, yang dari hari ke hari selalu mengalami peningkatan yang sangat cepat
dan luar biasa.

Isu radikalisme dan upaya deradikalisasi bukanlah hal yang baru. Sudah dicetuskan sejak
sekitar 10 tahun lalu. Pada tahun 2011, misalnya, Pemerintah pernah melakukan pelarangan
terhadap buku-buku Islam tertentu yang dituding mengandung konten “radikal”. Saat itu
ada 9 judul buku yang dicekal peredarannya di Indonesia oleh Jaksa Muda Intelijen
(Jamintel) Kejagung RI. Kesembilan buku itu rata-rata terkait dengan pembahasan syariah,
jihad dan khilafah. Di antaranya adalah Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 2 (karangan Sayyid Qutbh,
Terbitan Gema Insani, 2001; Ikrar Perjuangan Islam (karangan DR Najih Ibrahim, Pustaka Al
Alaq dan Al Qowam, 2009; Khilafah Islamiyah-Suatu Realita, Bukan Khayalan (karangan Prof.
Dr. Syeikh Yusuf al-Qaradawi, PT Fikahati Aneka, 2000); Syariat Islam-Solusi Universal
(karangan Prof. Wahbah Zuhaili, Pustaka Nuwaitu, 2004), dsb (Eramuslim.com,
20/10/2011).

Bahkan, sebelum munculnya Program Sertifikasi Da’i/Penceramah, Kemenag di bawah


Fachrul Razi juga telah melakukan banyak sekali revisi atas sejumlah buku pelajaran sekolah
dan di lingkungan Kemenag yang berkonten khilafah. Lagi-lagi motifnya tidak jauh dari
“deradikalisasi”.

Jelas, upaya Pemerintah untuk terus melestarikan program deradikalisasi seperti sertivikasi
ulama adalah upaya usang, selain kontraproduktif. Apalagi di tengah banyaknya isu penting
yang seharusnya menjadi fokus Pemerintah seperti: penanganan bencana Covid-19 yang
carut-marut, ekonomi yang makin loyo bahkan disinyalir sedang menuju resesi, korupsi yang
makin menjadi-jadi, utang luar negeri yang makin tinggi, APBN yang terus mengalami defisit
yang makin besar, dll.

Tak Relevan

Sejatinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi yang selama ini dianggap sebagai
biang munculnya aksi-aksi kekerasan (baca: terorisme). Namun, sebetulnya tak ada bukti
sama sekali bahwa aksi-aksi kekerasan diinspirasi oleh buku-buku Islam yang bertemakan
syariah, jihad dan khilafah. Toh materi tersebut sudah lama terdapat di kitab-kitab di
pesantren dan dikaji selama bertahun-tahun oleh para santri. Bakan materi tentang
khilafah, misalnya, juga sudah bertahun-tahun dijadikan materi resmi di buku-buku

4
pelajaran Madrasah Aliyah di lingkungan Kemenag. Jika memang kitab-kitab pesantren dan
buku-buku pelajaran agama itu memicu radikalisme, tentu harusnya radikalisme terjadi
sejak puluhan tahun lalu. Faktanya, isu radikalisme baru muncul belakangan, sebagai
kelanjutan dari isu terorisme global, yang dihembuskan AS. Isu ini lalu melahirkan war on
terrorism (perang melawan terorisme) yang dilakukan AS. Tentu demi ambisi
imperalismenya, khususnya atas Dunia Islam.

Demikian pula para da’i/penceramah yang dituding radikal. Tak satu pun dari mereka yang
terbukti pernah melakukan aksi-aksi kekerasan. Apalagi terorisme. Yang ada, dan ini yang
barangkali ditakutkan oleh Pemerintah, adalah banyaknya da’i/penceramah yang
belakangan makin bersikap kritis terhadap Pemerintah. Tentu karena para da’i/penceramah
—sebagai penyambung lidah umat—merasakan betul berbagai kezaliman yang dialami
rakyat kebanyakan di bawah rezim sekular saat ini. Baik dalam bentuk kemiskinan,
pengangguran, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, ketidakadilan dan diskriminasi
atas umat Islam, dll.

Alhasil, program deradikalisasi jelas program usang dan tak relevan untuk terus digulirkan.
Termasuk dalam bentuk sertifikasi da’i/penceramah. Apapun judulnya.

Pemerintah Harus Belajar

Jelas, jika Pemerintah—termasuk oleh Kemenag—tetap memaksakan proyek deradikalisasi,


selain pasti akan menunai kegagalan, juga amat berbahaya. Yang terjadi boleh jadi proyek
tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa
terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya mendeskreditkan Islam.

Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari
kaum Muslim. Tentu ini tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya
kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah.

Karena itu yang harusnya dilakukan adalah: Pertama, seharusnya Pemerintah memahami
keinginan rakyat, khususnya umat Islam, yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi
yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan
sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing dan aseng, terjadinya banyak kasus amoral
(perzinaan, LGBT, dll), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dll
adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada
tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat.

Kedua, Pemerintah sudah saatnya jujur menyadari bahwa berbagai keterpurukan yang
melanda negeri ini adalah akibat syariah Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek
kehidupan. Karena itu daripada negeri ini nantinya makin terpuruk akibat terus-menerus
menerapkan ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal, Pemerintah sejatinya segera berpaling
pada syariah dan Khilafah yang pasti mampu menyelesaikan semua problem yang mendera

5
bangsa ini. Bukan malah menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman sekaligus
menuding para pengusungnya sebagai kaum “radikal”. Jika itu tidak dilakukan, berarti
Pemerintah memang tak mau belajar.

Dakwah Adalah Kewajiban

Di antara keistimewaan Islam dibandingkan dengan agama dan ideologi lain adalah Islam
mewajibkan setiap Muslim untuk bertanggung jawab kepada saudaranya dan segenap umat
manusia. Salah satu wujud tanggung jawab yang dimaksud adalah dakwah.

Dakwah adalah mengajak manusia ke jalan Allah SWT. Di dalamnya termasuk seruan amar
makruf nahi mungkar. Dengan dakwah manusia bisa keluar dari kegelapan jahiliah menuju
cahaya terang Islam.

Dakwah hukumnya wajib. Setiap pribadi Muslim yang telah balig dan berakal, baik laki-laki
maupun wanita, diperintahkan untuk berdakwah. Allah SWT berfirman:

َ ْ‫َفلِ َذل َِك َف ْاد ُع َواسْ َت ِق ْم َك َما أُمِر‬


‫ت َواَل َت َّت ِبعْ أَهْ َوا َء ُه ْم‬
Karena itu berdakwahlah dan beristiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepada kamu
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (TQS asy-Syura [42]: 15).
Allah SWT pun berfirman:

ُ‫ِي أَحْ َسن‬


َ ‫ك ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْوعِ َظ ِة ْال َح َس َن ِة ۖ َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّتِي ه‬ ِ ‫ۚ ْاد ُع إِلَ ٰى َس ِب‬
َ ‫يل َر ِّب‬
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik (TQS an-Nahl [16]: 125).

Rasulullah saw. pun bersabda:

‫َبلِّ ُغوا َع ِّني َولَ ْو آ َي ًة‬


Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat (HR al-Bukhari).

Lebih dari itu, Rasulullah saw. menyebut ‘inti’ dari agama ini (Islam) adalah nasihat. Beliau
bersabda:

‫ال ِّديْنُ َنصِ ي َْح ٌة‬


(Inti) agama (Islam) ini adalah nasihat (HR at-Tirmidzi).

Oleh karena itu tugas dan kewajiban dakwah berlaku umum atas setiap Muslim tanpa
memandang profesi, status sosial maupun tingkat ilmunya. Dakwah bukan sekadar tugas
dan kewajiban pihak-pihak yang mendapatkan label “ulama”, “ustadz” atau nantinya dai
yang bersertifikat dari penguasa. Karena itu pengemban dakwah tak perlu sertifikat dari
penguasa. Apalagi jika program dai “bersertifikat” tersebut malah mengaburkan esensi
dakwah Islam dan menghalangi amar makruf nahi mungkar (termasuk kepada penguasa).

6
Setiap Muslim pada hakikatnya adalah penyambung tugas Rasulullah Muhammad saw.
dalam menyampaikan risalah dakwah. Risalah dakwah yang diemban Rasulullah saw.
adalah ciri kemuliaan beliau. Oleh karena itu setiap Muslim yang meneruskan aktivitas
mengemban risalah dakwah juga akan memiliki kedudukan yang mulia.

Allah SWT dan Rasul-Nya banyak memberikan dorongan dan pujian yang ditujukan kepada
para pengemban dakwah dan penyampai hidayah-Nya. Allah SWT, misalnya, berfirman:

َ ‫صالِحً ا َو َقا َل إِ َّننِي م َِن ْالمُسْ لِم‬


‫ِين‬ َ ‫َو َمنْ أَحْ َسنُ َق ْواًل ِممَّنْ د‬
َ ‫َعا إِلَى هَّللا ِ َو َع ِم َل‬
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal salih dan berkata, "Sungguh aku termasuk orang-orang yang menyerah
diri?" (TQS al-Fushilat [41]: 33).

Imam Hasan al-Bashri memberikan penjelasan terkait ayat di atas, bahwa mereka yang
menyeru manusia ke jalan Allah adalah kekasih Allah, wali Allah dan pilihan Allah. Mereka
adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang mereka serukan.
Inilah kemuliaan yang akan diberikan kepada setiap Muslim yang berdakwah.

Rasulullah saw. pun bersabda:

‫ان َل ُه م َِن اأْل َجْ ِر م ِْث ُل أُج ُْو ِر َمنْ َت ِب َع ُه اَل ُي ْن َقصُ مِنْ أُج ُْو ِر ِه ْم َش ْي ًئا‬
َ ‫َمنْ َد َعا إِ َلى ُه َدى َك‬
Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah Allah, ia mendapatkan pahala sebesar yang
diperoleh oleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala
mereka (HR Muslim)

Dampak Bila Meninggalkan Dakwah

Kemungkaran yang terjadi di tengah masyarakat akan menimbulkan kerusakan mereka.


Penyimpangan dari aturan Islam akan berujung pada kebinasaan sebuah masyarakat.
Nabi saw. bersabda:

‫ِين فِى‬َ ‫ان الَّذ‬E َ E‫ َف َك‬،‫ض ُه ْم أَسْ َفلَ َها‬ ُ ْ‫ض ُه ْم أَعْ الَ َها َو َبع‬ ُ ْ‫اب َبع‬ َ ‫ص‬َ َ ‫ َفأ‬،ٍ‫َم َث ُل ْال َقائ ِِم َعلَى ُح ُدو ِد هَّللا ِ َو ْال َواق ِِع فِي َها َك َم َث ِل َق ْو ٍم اسْ َت َهمُوا َعلَى َسفِي َنة‬
ِ ‫و أَ َّنا َخ َر ْق َنا فِى َن‬Eْ Eَ‫الُوا ل‬EE‫و َق ُه ْم َف َق‬Eْ E‫أَسْ َفلِ َها إِ َذا اسْ َت َق ْوا م َِن ْال َما ِء مَرُّ وا َعلَى َمنْ َف‬
‫و ُه ْم َو َما‬EE‫إِنْ َي ْت ُر ُك‬EE‫ َف‬.‫ؤ ِذ َمنْ َف ْو َق َنا‬Eْ E‫ َولَ ْم ُن‬،‫ا‬E‫ ِيب َنا َخرْ ًق‬E‫ص‬
‫ِيه ْم َن َج ْوا َو َن َج ْوا َجمِيعً ا‬ِ ‫ َوإِنْ أَ َخ ُذوا َعلَى أَ ْيد‬،‫أَ َرا ُدوا َهلَ ُكوا َجمِي ًعا‬

Perumpamaan orang yang menaati hukum-hukum Allah dan para pelanggarnya adalah
bagaikan suatu kaum yang menumpang kapal. Sebagian menempati bagian atas dan
sebagian lagi menempati bagian bawah. Yang berada di bagian bawah, jika ingin mengambil
air, tentu harus melewati orang-orang di atasnya. Lalu mereka berkata, “Andaikata kita
membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.” Andai
yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang yang ada di bagian bawah menuruti

7
kehendak mereka, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang yang di bagian atas
melarang orang yang ada di bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan
selamat pula semua penumpang kapal itu (HR al-Bukhari).

Di sinilah pentingnya dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Dengan itu kemungkaran bisa
segera dikendalikan sebelum membesar dan menghancurkan masyarakat seluruhnya.

Keengganan melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar akan menimbulkan
malapetaka dan bencana yang tidak terbatas hanya menimpa orang-orang yang berbuat
kerusakan dan penyimpangan saja, tetapi juga akan menimpa seluruh masyarakat. Allah
SWT berfirman:

ِ ‫د ْال ِع َقا‬Eُ ‫ِين َظلَمُوا ِم ْن ُك ْم َخاص ًَّة ۖ َواعْ لَمُوا أَنَّ هَّللا َ َشدِي‬
‫ب‬ َ ‫َوا َّتقُوا فِ ْت َن ًة اَل ُتصِ يبَنَّ الَّذ‬
Peliharalah diri kalian dari fitnah (bencana) yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim
saja di antara kalian. Ketahuilah, Allah amat keras siksaan-Nya (TQS al-Anfal [8]: 25).

Rasulullah Muhammad saw. juga menjelaskan dampak yang terjadi jika dakwah
ditinggalkan:

ُ ‫ أَ ْو َلي ُْوشِ ُكنَّ هللاُ َيب َْع‬،‫ َولَ َت ْن َهوُ نَّ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر‬، ِ‫ لَ َتأْ ُمرُنَّ ِب ْال َمعْ ر ُْوف‬،ِ‫َوالَّذِيْ َن ْفسِ ي ِب َي ِده‬
‫ ُث َّم َت ْدع ُْو َن ُه َفالَ َيسْ َت ِجيْبُ لَ ُك ْم‬،ُ‫ث َعلَ ْي ُك ْم عِ َقابًا ِم ْنه‬
Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Kalian harus melakukan amar makruf nahi
mungkar atau (jika tidak) Allah akan menimpakan azab-Nya atas kalian. Lalu kalian berdoa
kepada-Nya, tetapi Dia tidak mengabulkan doa kalian (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).

Hadis tersebut memberikan dua pilihan yaitu: memilih dakwah atau memilih azab dan doa
yang tak terkabul. Tak ada pilihan ketiga. Artinya, siapapun yang meninggalkan dakwah
akan mendapatkan azab dan doanya tidak terkabul.

Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa jika dakwah dan amar makruf nahi mungkar
ditinggalkan, akan muncul para penguasa jahat dan tidak menyayangi kaum Muslim (HR Al
Bazzar dan ath-Thabrani).

Semua akibat buruk di atas sekaligus menjadi qarînah (indikasi) yang menegaskan bahwa
dakwah dan amar makruf nahi mungkar adalah wajib. Meninggalkannya merupakan dosa.

Dosa Menghalangi Dakwah

Jika meninggalkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar saja berdosa, apalagi
menghalangi aktivitas mulia ini. Menghalangi dakwah adalah perbuatan yang dicela oleh
Allah SWT. Bahkan Allah SWT mengancam para penghalang dakwah dengan azab yang
pedih:

8
‫وا‬EE‫ك لَ ْم َي ُكو ُن‬Eَ E‫) أُو ٰلَ ِئ‬19(‫ُون‬ َ ‫يل هَّللا ِ َو َي ْب ُغو َن َها عِ َوجً ا َو ُه ْم ِباآْل خ َِر ِة ُه ْم َكا ِفر‬
ِ ‫ُّون َعنْ َس ِب‬
َ ‫صد‬ َ ‫) الَّذ‬18( ‫ِين‬
ُ ‫ِين َي‬ َّ ‫أَاَل لَعْ َن ُة هَّللا ِ َعلَى‬
َ ‫الظالِم‬
ُ‫اعفُ لَ ُه ُم ْال َع َذاب‬ َ ‫ون هَّللا ِ مِنْ أَ ْولِ َيا َء ۘ ي‬ َ
ِ ْ‫ين فِي اأْل ر‬
َ ‫ُض‬ ِ ‫ان لَ ُه ْم مِنْ ُد‬
َ ‫ض َو َما َك‬ َ ‫ۚ مُعْ ِج ِز‬
Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang zalim, (yaitu) orang-orang yang
menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok.
Mereka itulah orang-orang yang tidak meyakini adanya Hari Akhirat. Mereka itu tidak
mampu menghalang-halangi Allah untuk (mengazab mereka) di bumi ini. Sekali-kali tidak
ada bagi mereka penolong selain Allah SWT. Siksaan itu dilipatgandakan atas mereka (TQS
Hud [11]: 18-20).

Ayat ini jelas merupakan ancaman Allah SWT terhadap orang-orang yang menghalang-
halangi dakwah. Mereka akan diazab oleh Allah SWT dengan azab yang keras.

Sungguh besar dosa orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan dakwah dan
bersekutu dengan kemungkaran. Perbuatan tersebut adalah pengkhianatan terhadap Allah
SWT, Rasul-Nya dan umat Islam.

Walahualam bis shawab

Sumber :
https://www.wartaekonomi.co.id/read259494/sertifikat-dai-cara-negara-menjinakkan-ulama
https://jatim.suara.com/read/2020/09/14/093718/ldnu-tulis-surat-cinta-buat-mui-tukang-sertifikat-
kok-takut-disertifikasi
https://www.muslimahnews.com/2020/08/21/sertifikasi-dai-berpotensi-melahirkan-ulama-su/

Anda mungkin juga menyukai