Anda di halaman 1dari 53

BAGIAN PSIKIATRI Proposal Konas I

FAKULTAS KEDOKTERAN Rabu, 4 Agustus 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENGARUH TERAPI VOKASIONAL TERHADAP PERBAIKAN


GEJALA KLINIS DAN FUNGSI KOGNITIF PASIEN SKIZOFRENIA
YANG MENDAPATKAN TERAPI RISPERIDON

Dibawakan oleh :
dr. Najat Rany Kasir
(C 065 192 002)

Pembimbing :
Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ

Penasehat Akademik :
Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU BAGIAN


ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Skizofrenia merupakan gangguan mental berat dan bersifat kronis yang
ditandai dengan serangkaian gejala termasuk delusi, halusinasi, ucapan atau
perilaku yang tidak teratur, dan gangguan kemampuan kognitif dan afektif.
Penderita gangguan ini mengalami kemunduran fungsi di berbagai aspek kehidupan
dan akhirnya berimplikasi pada kehidupan sosial dan ekonomi. 1,2 Data dari
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2018 menyatakan bahwa sekitar 23 juta
jiwa di seluruh dunia menderita gangguan skizofrenia dan menurut data dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi skizofrenia di Indonesia
adalah sebesar 6,7 per 1000 rumah tangga. Data ini meningkat dari data tahun 2013
yang mencatat prevalensi penderita skizofrenia sebesar 1,3 per 1000 rumah
tangga.3,4
Berbagai pendekatan terapi telah banyak diteliti di berbagai negara termasuk
Indonesia untuk mengobati gangguan skizofrenia baik itu pendekatan secara
farmakoterapi maupun non-farmakoterapi (psikoterapi dan intervensi psikososial).
Pendekatan farmakoterapi telah terbukti mengurangi gejala positif dan negatif
skizofrenia sementara pendekatan non-farmakologi difokuskan untuk
meningkatkan fungsi kognitif, fungsi persepsi dan kognisi sosial serta peningkatan
kualitas hidup penderita skizofrenia.1,2,5
Penelitian terbaru telah memfokuskan penggunaan farmakoterapi berupa
antipsikotik atipikal (Second Generation Antipsychotic/SGA) untuk mengobati
pasien setelah kondisi akut skizofrenia tertangani. Pemilihan SGA seperti
Risperidon didasarkan pada kemampuan obat ini untuk memperbaiki fungsi
kognitif, gejala positif, gejala negatif dan efek samping neuroleptik yang lebih
rendah dibandingkan dengan obat antipsikotik generasi pertama (First Generation
Antipsychotic/FGA).5,6,7 Penanganan yang komprehensif untuk penderita
skizofrenia berupa penggabungan terapi farmakologi dan non farmakologi telah
menunjukkan hasil yang lebih optimal bila dibandingkan bila hanya menggunakan

1
pendekatan tunggal.1,7
Pendekatan non farmakologi biasanya digunakan setelah pasien melewati
fase akut yakni dalam fase stabilisasi dan fase pemeliharaan (stabil) seperti terapi
supportif, psikoedukasi keluarga, dan intervensi psikososial. 1,7,8 Pendekatan
psikososial diterapkan secara individual sesuai dengan kebutuhan spesifik dari
masing masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan
dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang
dianggap efektif untuk skizofrenia yaitu psikoedukasi, intervensi keluarga, terapi
kognitif perilaku (CBT), pelatihan keterampilan sosial, terapi vokasional, remediasi
kognitif dan dukungan kelompok sebaya.7,9,10,11
Penelitian mengenai terapi vokasional pada pasien skizofrenia di Indonesia
masih terbatas sehingga masih jarang diterapkan dalam praktik klinis di ruang
perawatan Rumah Sakit Jiwa termasuk di daerah Sulawesi Selatan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana pengaruh pemberian terapi vokasional
terhadap perbaikan gejala klinis dan fungsi kognitif pada pasien skizofrenia yang
mendapatkan terapi Risperidon.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut : Bagaimana pengaruh terapi vokasional terhadap perbaikan gejala
klinis dan fungsi kognitif pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi risperidone?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi
vokasional terhadap perbaikan gejala klinis dan fungsi kognitif pasien skizofrenia
yang mendapatkan terapi risperidon.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengukur Positive and Negative Syndrom Scale (skala PANSS) dan
Montreal Cognitive Assessment-versi Indonesia (MoCA-Ina) pada
kelompok perlakuan yakni pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi

2
Risperidon sebelum diberikan terapi vokasional.
2. Mengukur Positive and Negative Syndrom Scale (skala PANSS) dan
Montreal Cognitive Assessment-versi Indonesia (MoCA-Ina) pada
kelompok kontrol yakni pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi
Risperidon.
3. Mengukur Positive and Negative Syndrom Scale (skala PANSS) dan
Montreal Cognitive Assessment-versi Indonesia (MoCA-Ina) pada
kelompok perlakuan setelah diberikan terapi vokasional pada minggu ke-
2, ke-4 dan ke-6.
4. Mengukur Positive and Negative Syndrom Scale (skala PANSS) dan
Montreal Cognitive Assessment-versi Indonesia (MoCA-Ina) pada
kelompok kontrol pada minggu ke-2, ke-4 dan ke-6.
5. Membandingkan perubahan Positive and Negative Syndrom Scale (skala
PANSS) dan Montreal Cognitive Assessment-versi Indonesia (MoCA-
Ina) pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan
setelah diberikan terapi vokasional.

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN


Hipotesis dari penelitian ini adalah :
“Terdapat pengaruh terapi vokasional terhadap perbaikan gejala klinis dan
fungsi kognitif pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi risperidone”

1.5 MANFAAT PENELITIAN


1.5.1 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan acuan bagi Spesialis
Ilmu Kedokteran Jiwa/Psikiater untuk penatalaksanaan pasien Skizofrenia.
1.5.2 Manfaat Teoritis
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai pengaruh terapi
vokasional terhadap perbaikan gejala klinis dan fungsi kognitif pasien
skizofrenia.
2. Memberikan kontribusi ilmiah terutama dalam pendekatan psikososial

3
mengenai pengaruh terapi vokasional terhadap perbaikan gejala klinis
dan fungsi kognitif pasien skizofrenia.
3. Menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai pemberian terapi
vokasional pada pasien skizofrenia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang serius dengan dampak yang cukup
besar pada individu, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Gangguan ini dapat
berlangsung seumur hidup dan menyebabkan penurunan fungsi dalam berbagai
aspek kehidupan penderitanya, meskipun pemulihan penuh juga kadang diamati
dalam sebagian kasus.9,14 Skizofrenia terdiri dari tiga jenis gejala, negatif, positif,
dan kognitif. Gejala negatif telah dikonseptualisasikan sebagai aspek inti dari
skizofrenia dan terdiri dari lima konstruksi termasuk pendataran afek atau tumpul
(penurunan ekspresi emosional yang diamati dan reaktivitas), alogia (kurangnya
tambahan, konten yang tidak diharapkan terlihat dalam pembicaraan normal),
anhedonia (ketidakmampuan mengalami kesenangan), asosialitas (kurangnya
motivasi untuk terlibat dalam interaksi sosial), dan avolition (kurangnya keinginan
atau motivasi). Gejala positif termasuk delusi, halusinasi, perilaku aneh, dan
gangguan pemikiran formal positif. Gejala kognitif meliputi masalah fokus yang
buruk, defisit dalam fungsi eksekutif dan gangguan memori kerja. 15,16
Salah satu kompleksitas skizofrenia adalah tidak ada mekanisme patofisiologi
sentral, neuropatologi diagnostik, atau penanda biologis, yang telah dikenali pada
skizofrenia. Untuk menjelaskan neuropatologi skizofrenia, sejumlah hipotesis
berbeda termasuk hipotesis perkembangan saraf dan neurokimia telah diajukan.
Tidak adanya bukti patologis neurodegeneratif seperti badan inklusi sitopatologis,
neuritis distrofi, gliosis reaktif, dismielinisasi, dan kehilangan neuronal secara
keseluruhan pada skizofrenia, mendukung peran proses perkembangan saraf dalam
neuropatologi skizofrenia. Namun, model perkembangan saraf dan
neurodegeneratif yang diusulkan dari patologi tidak selalu eksklusif. Penggabungan
model neurodevelopmental dan neurodegeneratif juga telah dihipotesiskan dalam
neuropatologi skizofrenia.8,16,17

5
2.1.1 Aspek Neurobiologi Skizofrenia
2.1.1.1 Hipotesis Dopaminergik
Hipotesis dopaminergik dari skizofrenia adalah dasar dari penyelidikan dan
pengobatan skizofrenia. Versi pertama hipotesis ini menekankan peran kelebihan
dopamin tetapi dikembangkan menjadi ide yang menghubungkan
hipodopaminergia prefrontal dan hiperdopaminergia striatal dan kemudian dengan
hipotesis saat ini.18
Hipotesis dopaminergik skizofrenia diajukan pertama kali pada 1960-an
ketika chlorpromazin diperkenalkan sebagai antipsikotik pertama dan terbukti
dapat mengobati gejala positif penyakit. Selanjutnya, penemuan bahwa amfetamin
menghasilkan psikosis adalah bukti lain peran dopamin berlebihan pada
skizofrenia. Dengan demikian diusulkan bahwa peningkatan neurotransmisi
dopamin mungkin menjadi penyebab penyakit ini. Kemajuan antipsikotik baru
sesuai dengan hipotesis dopaminergik skizofrenia karena gejala positif penyakit ini
dapat dikurangi dengan antagonis reseptor dopamin. Namun, beberapa temuan
bertentangan ini hipotesis, misalnya, clozapine, yang merupakan antipsikotik
sangat efektif pada pasien dengan skizofrenia resisten, memiliki afinitas lebih
rendah untuk dopamin D2 reseptor. Selain itu, beberapa pasien skizofrenia juga
memiliki tingkat metabolit dopamin yang normal dalam cairan atau serum
serebrospinal. Kontradiksi dan temuan baru dari studi PET mengusulkan bahwa
skizofrenia melibatkan berkurangnya transmisi frontal dan peningkatan
neurotransmisi dopaminergik striatal. Selain itu, mereka terkait gejala positif
penyakit dengan dopamine D2 reseptor striatal overactivation dihasilkan dari
hiperaktif proyeksi dopamin mesolimbic sementara gejala negatif dan kognitif hasil
dari prefrontal cortex dopamin D1 reseptor hypostimulation karena berkurangnya
proyeksi dopamin mesocortical.2,5,15,28
Seperti disebutkan di atas, reseptor dopamin D2 adalah target obat untuk
semua obat skizofrenia yang saat ini ada di pasaran. Antipsikotik generasi pertama
adalah antagonis reseptor dopamin D2 sementara obat generasi kedua selain
berperan antaginis reseptor Dopamin D2 juga agonis parsial atau ligan bias dari
reseptor ini serta antagonis terhadap reseptor 5HT. Karena reseptor dopamin

6
memainkan peran kunci dalam koordinasi gerakan, memori dan kognisi, emosi dan
pengaruh, dan regulasi sekresi prolaktin, blokade D2 seperti reseptor dapat
menyebabkan efek samping yang terkait dengan obat antipsikotik yang jangka
panjang. Ini melibatkan gejala ekstrapiramidal seperti parkinsonian yang biasanya
dihasilkan dari penerapan antipsikotik generasi pertama dan efek samping
metabolik (penambahan berat badan, hiperglikemia, peningkatan risiko diabetes
mellitus, dislipidemia dan ginekomastia) terkait dengan antipsikotik generasi
kedua.5,16 Blokade berkepanjangan reseptor dopamin juga D2 mengarah ke
downregulation dari D1 reseptor di korteks prefrontal dan, akibatnya, hasil dalam
penurunan yang signifikan dari memori kerja. Dengan demikian, agonis di D 1
reseptor di korteks prefrontal dapat memiliki peran penting dalam memori dan
dengan demikian obat yang bekerja di reseptor D1 mungkin menjadi sasaran pilihan
untuk mengobati defisit kognitif pada skizofrenia.2,18
Perlu ditekankan bahwa, meskipun peran kunci dopamin dalam
patomekanisme dan praktik klinis skizofrenia, dopamin memungkinkan
pemahaman patofisiologi penyakit tetapi bukan alasannya sendiri. Dalam konteks
ini, dopamin berfungsi sebagai jalur akhir umum untuk sejumlah faktor lingkungan
dan/atau genetik yang berkontribusi. Jadi, neurotransmiter lain, khususnya
glutamat, penting untuk mekanisme patomekanisme skizofrenia. 5,15,18
➢ Jalur Dopamin Utama Di Otak
Lima jalur dopamin di otak ditunjukkan pada Gambar 1. Mereka termasuk
jalur dopamin mesolimbik, jalur dopamin mesokortikal, jalur dopamin
nigrostriatal, jalur dopamin tuberoinfundibular, dan jalur kelima yang
menginervasi talamus. 12

7
Gambar 1. Lima Jalur Dopamin Di Otak. Neuroanatomi jalur saraf dopamin di otak
dapat menjelaskan gejala skizofrenia serta efek terapeutik dan efek samping obat
antipsikotik. (a) Jalur Dopamin Nigrostriatal, yang memproyeksikan dari substansia
nigra ke ganglia basalis atau striatum, merupakan bagian dari sistem saraf
ekstrapiramidal dan mengontrol fungsi dan gerakan motorik. (b) Jalur Dopamin
Mesolimbik dari Ventral Tegmental Area (VTA) batang otak ke nukleus accumbens,
bagian dari sistem limbik otak yang dianggap terlibat dalam banyak perilaku seperti
sensasi yang menyenangkan, euforia yang kuat dari penyalahgunaan obat, juga
sebagai delusi dan halusinasi psikosis. (c) Jalur yang terkait dengan jalur dopamin
mesolimbik adalah jalur dopamin mesokortikal. Ini juga memproyeksikan dari
Ventral Tegmental Area (VTA) batang otak tetapi mengirimkan aksonnya ke area
korteks prefrontal, di mana mereka mungkin memiliki peran dalam memediasi gejala
kognitif (Korteks Prefrontal Dorsolateral, DLPFC) dan gejala afektif (Korteks
Prefrontal Ventromedial, VMPFC) dari skizofrenia. (d) Jalur dopamin keempat, jalur
dopamin tuberoinfundibular, memproyeksikan dari hipotalamus ke kelenjar
hipofisis anterior dan mengontrol sekresi prolaktin. (e) Jalur dopamin kelima muncul
dari beberapa tempat, termasuk abu-abu periaqueductal, mesencephalon ventral,
nukleus hipotalamus, dan nukleus parabrakial lateral, dan ia memproyeksikan ke
talamus. Fungsinya saat ini belum banyak diketahui. 12

➢ Jalur Dopamin Mesolimbik Dan Gejala Positif Skizofrenia


Jalur dopamin mesolimbik memproyeksikan badan sel dopaminergik di
Area Tegmental Ventral (VTA) batang otak ke terminal akson di salah satu
area limbik otak, yaitu nukleus accumbens di ventral striatum (Gambar 1). Jalur
ini diduga memiliki peran penting dalam beberapa perilaku emosional,
termasuk gejala psikosis positif, seperti delusi dan halusinasi (Gambar 2). Jalur
dopamin mesolimbik juga penting untuk motivasi, kesenangan, dan
penghargaan. 12

8
Gambar 2. Jalur Dopamin Mesolimbik. Jalur dopamin mesolimbik, yang
memproyeksikan dari area tegmental ventral di batang otak ke nukleus accumbens di
striatum ventral (A), terlibat dalam pengaturan perilaku emosional dan diyakini
sebagai jalur utama yang mengatur gejala positif psikosis. Secara khusus, hiperaktif
dari jalur ini diyakini menyebabkan delusi dan halusinasi (B).
Selama lebih dari 40 tahun, telah diamati bahwa penyakit atau obat yang
meningkatkan dopamin akan meningkatkan atau menimbulkan gejala psikotik
positif, sedangkan obat yang menurunkan dopamin akan menurunkan atau
menghentikan gejala positif. Misalnya, obat perangsang seperti amfetamin dan
kokain melepaskan dopamin, dan jika diberikan berulang-ulang dapat
menyebabkan psikosis paranoid yang hampir tidak dapat dibedakan dari gejala
positif skizofrenia. Obat perangsang dibahas secara rinci dalam bab-bab
selanjutnya tentang pengobatan gangguan hiperaktif defisit perhatian, dan
penyalahgunaan obat. 12
➢ Jalur Dopamin Mesokortikal dan Gejala Kognitif, Negatif, dan Afektif
Dari Skizofrenia
Jalur lain juga timbul dari badan sel di Area Tegmental Ventral (VTA),
tetapi memproyeksikan ke area korteks prefrontal, yang dikenal sebagai jalur
dopamin mesokortikal. Cabang jalur ini ke korteks prefrontal dorsolateral
dihipotesiskan untuk mengatur fungsi kognisi dan eksekutif, sedangkan cabang
jalur ini ke bagian ventromedial dari korteks prefrontal dihipotesiskan untuk
mengatur emosi dan afek. Peran pasti jalur dopamin mesokortikal dalam
memediasi gejala skizofrenia masih menjadi bahan perdebatan, namun banyak

9
peneliti percaya bahwa gejala kognitif dan beberapa gejala negatif skizofrenia
mungkin disebabkan oleh defisit aktivitas dopamin dalam proyeksi
mesokortikal ke korteks prefrontal dorsolateral, sedangkan gejala negatif
skizofrenia dan afektif mungkin disebabkan oleh defisit aktivitas dopamin pada
proyeksi mesokortikal ke korteks prefrontal ventromedial. 12

Gambar 3. Jalur Mesokortikal Ke Korteks Prefrontal Dorsolateral. Jalur


dopaminergik utama lainnya adalah jalur dopamin mesokortikal, yang
memproyeksikan dari Area Tegmental Ventral (VTA) ke korteks prefrontal (A).
Proyeksi khusus ke korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC) diyakini terlibat dalam
gejala negatif dan kognitif skizofrenia. Dalam kasus ini, ekspresi gejala ini dianggap
terkait dengan hipoaktivitas jalur ini (B).

Gambar 4. Jalur Mesokortikal Ke Korteks Prefrontal Ventromedial. Proyeksi


dopamin mesokortikal khusus untuk korteks prefrontal ventromedial (VMPFC)

10
diyakini memediasi gejala negatif dan afektif yang terkait dengan skizofrenia (A).
Gejala-gejala ini diyakini muncul dari hipoaktivitas di jalur ini (B).

Keadaan defisit perilaku yang ditunjukkan oleh gejala negatif tentu


menyiratkan kurangnya aktivitas atau kurangnya berfungsinya proyeksi
dopamin mesokortikal yang mungkin merupakan konsekuensi dari kelainan
perkembangan saraf dalam sistem glutamat NMDA (N-Metil-D-Aspartat),
yang dijelaskan di bagian selanjutnya. Apa pun penyebabnya, teori dari DA
asli dari skizofrenia sekarang menggabungkan teori untuk gejala kognitif,
negatif, dan afektif, dan mungkin lebih tepat disebut sebagai "hipotesis
dopamin mesokortikal dari gejala kognitif, negatif, dan afektif skizofrenia",
karena diyakini bahwa kurang aktif khususnya dalam proyeksi mesocortical ke
korteks prefrontal yang memediasi gejala kognitif, negatif, dan afektif
skizofrenia. 12

Gambar 5. Hipotesis Dopamin Mesokortikal dari Gejala Negatif, Kognitif, dan


Afektif Skizofrenia. Hipoaktivitas neuron dopamin di jalur dopamin mesokortikal
secara teoritis memediasi gejala kognitif, negatif, dan afektif skizofrenia.
2.1.1.2 Hipotesis Glutamatergik
Glutamat termasuk dalam neurotransmitter eksitatorik utama dan

11
merupakan neurotransmitter paling umum di otak mamalia. Jalur glutamatergik
yang menghubungkan ke korteks, sistem limbik, dan daerah talamus penting dalam
skizofrenia. Gangguan pada neurotransmisi glutamatergic dapat mempengaruhi
plastisitas sinaptik dan sirkuit mikro kortikal, terutama fungsi reseptor NMDA.
Reseptor NMDA milik saluran ion ligan-gate, dan penting untuk neurotransmisi
eksitasi, eksitotoksisitas dan plastisitas. Antagonis reseptor NMDA, misalnya
phencyclidine dan ketamine, dapat menyerupai psikosis dengan gejala yang sama
seperti pada skizofrenia. Selain itu, dalam uji terapeutik zat yang meningkatkan
pensinyalan reseptor NMDA dilaporkan melemahkan beberapa gejala pada
pasien dengan skizofrenia. Selanjutnya, dalam studi postmortem, beberapa
gangguan kepadatan reseptor glutamatergic dan komposisi subunit di korteks
prefrontal, thalamus, dan lobus temporal ditemukan dan ini adalah daerah otak
dengan stimulasi yang terdistorsi sementara tindakan kognitif dilakukan oleh pasien
skizofrenia. Keadaan hipofungsi reseptor NMDA dapat menyebabkan perubahan
morfologis dan struktural otak yang dapat mengakibatkan perkembangan psikosis.
Dihipotesiskan bahwa tingkat glutamat lebih rendah seiring bertambahnya usia
pada orang sehat, tetapi tidak ditentukan bagaimana mereka dipengaruhi oleh
penyakit kronis.5,6,19
Antipsikotik dapat mempengaruhi transmisi glutamat dengan
mempengaruhi pelepasan glutamat, dengan interaksi dengan reseptor
glutamatergic, atau dengan mengubah kepadatan atau komposisi subunit dari
reseptor glutamatergic. Hal ini menunjukkan bahwa antipsikotik berinteraksi
dengan dopamin D2 reseptor meningkatkan fosforilasi NR1 subunit dari reseptor
NMDA, sehingga memperkuat aktivasi dan ekspresi gen konsekuensinya. Dalam
konteks ini, interaksi dopamin- glutamat terjadi secara intraneuronal dan
intrasinaptik. Ada juga laporan bahwa aksi beberapa antipsikotik generasi kedua
pada reseptor NMDA mungkin berbeda dari efek antipsikotik generasi pertama
pada reseptor ini. Antipsikotik juga mempengaruhi transmisi glutamat dengan
bekerja pada reseptor serotonin.16,19
2.1.1.3 Hipotesis Serotonergik
Hipotesis serotonin skizofrenia berasal dari laporan tentang mekanisme

12
kerja obat halusinogen asam lisergat dietilamida (LSD) dan hubungannya dengan
serotonin. Pertimbangan efek psikotik dari LSD dan efek antipsikotik, misalnya,
risperidone dan clozapine, yang merupakan ligan reseptor dopamin-serotonin,
merangsang penelitian tentang hubungan antara neurotransmiter ini sebagai target
obat pada skizofrenia.20,21
Disarankan bahwa kelebihan serotonin dari dorsal raphe nucleus (DRN)
akibat stres dapat mengganggu aktivitas neuron kortikal pada skizofrenia. Selain
itu, kelebihan beban serotonergik yang berasal dari stres yang berlangsung lama di
korteks serebral di skizofrenia, khususnya di anterior cingulate cortex (ACC) dan
lobus frontal dorsolateral (DLFL), mungkin menjadi alasan utama dari gangguan
ini. Antagonis reseptor serotonin memperbaiki efek samping ekstrapiramidal
antipsikotik. Meskipun kurangnya bukti mutlak penyimpangan sinyal serotonin
dalam patomekanisme skizofrenia, reseptor serotonin, terutama 5-H3 dan 5-HT6 ,
masih merupakan target obat yang menjanjikan untuk penemuan agen antipsikotik
multi-reseptor baru yang dapat mengurangi fungsi kognitif dan gejala negatif
penyakit.6,16,20
Pensinyalan berbasis reseptor serotonin diusulkan untuk memiliki peran
penting dalam aksi antipsikotik atipikal. Itu disarankan oleh Meltzer et al. yang
signifikan terhadap antagonis reseptor 5-HT2A disertai dengan berkurangnya
dopamin D2 reseptor antagonis adalah atribut farmakologis kunci yang mencirikan
clozapine dan antipsikotik generasi kedua lainnya dan membedakan mereka dari
obat generasi pertama. Interaksi antara serotonin dan reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A
di neuron glutamate kortikal sudah banyak diteliti bisa meningkatkan atau
mengurangi efek eksitasi neuron glutamate kortikal yang pada akhirnya
berimplikasi pada gejala skizofrenia. Beberapa reseptor serotonin, termasuk 5-
HT2A/2C, 5-HT1A, 5-HT6 dan 5-HT7 reseptor, sebagian dapat bertanggung jawab
atas "atipikalitas". Banyak penelitian menunjukkan bahwa agonis reseptor 5-HT1A
parsial dan penuh dapat mengurangi katalepsi yang diinduksi antipsikotik.
Akibatnya, obat generasi kedua tertentu yang menampilkan keseimbangan antara
dopamin D2 antagonisme atau agonis parsial dan 5-HT1A reseptor agonis/parsial
hasil agonis efek samping ekstrapiramidal rendah, yang ditunjukkan sebagai

13
aktivitas cataleptogenic rendah pada model binatang. Polimorfisme gen reseptor 5-
HT2C dikaitkan dengan penambahan berat badan yang diinduksi olanzapine. Selain
itu, dalam meta-analisis, tiga varian genetik dalam gen serotonin ditemukan terkait
dengan kenaikan berat badan terkait clozapine: rs6313 dan rs6314 dalam gen
HTR2A dan rs1062613 dalam gen HT3A. Selain itu, amisulpride, yang memiliki
afinitas tinggi untuk serotonin 5-HT7 reseptor, membalikkan penarikan sosial yang
diinduksi ketamin pada model tikus.5,6,21
2.1.1.4 Hipotesis GABAergic
Gamma-aminobutyric Acid (GABA) adalah neurotransmitter penghambat
utama di SSP. Interneuron GABAergic sangat penting untuk penekanan SSP, kunci
untuk sinkronisasi dan osilasi aktivitas neuron yang penting untuk persepsi, memori
belajar, dan kognisi. Gangguan pensinyalan GABA menyebabkan
ketidakseimbangan antara eksitasi dan penghambatan di korteks serebral yang
merupakan salah satu faktor kunci dalam patomekanisme skizofrenia. Peran GABA
pada skizofrenia pertama kali diperhatikan oleh Eugene Roberts pada tahun 1972.
Pertama kali disarankan bahwa GABA dapat diterapkan untuk pengobatan
skizofrenia karena menghambat pensinyalan dopaminergik, namun bukti terbaru
menunjukkan bahwa, dalam beberapa model, GABA dapat memiliki efek buruk
pada aktivitas dopamin.6,22
Studi post-mortem mendukung hipotesis tentang transmisi GABA yang
berubah pada skizofrenia. Yang penting, pengurangan asam glutamat
dekarboksilase-67, enzim sintetis GABA diamati di bagian otak yang terkait dengan
fungsi kognitif kritis (korteks prefrontal dorsolateral, korteks cingulate anterior
(ACC), korteks motorik, korteks visual, dan hipokampus). Penurunan transmisi
melalui reseptor neurotrophin TrkB menghasilkan sintesis GABA yang berkurang
pada subpopulasi neuron GABA yang mengandung parvalbumin di korteks
prefrontal dorsolateral pasien skizofrenia. Meskipun respon kompensatif pro dan
presinaptik, perubahan yang dihasilkan dalam penghambatan perisomatik neuron
piramidal menyebabkan penurunan kapasitas untuk fungsi neuron tersinkronisasi
frekuensi gamma, yang diperlukan untuk fungsi memori kerja. 5,6,22
2.1.1.5 Peran Inflamasi dan Stres Oksidatif dalam Patomekanisme Skizofrenia

14
Peran peradangan dan stres oksidatif pada skizofrenia adalah fokus dari
banyak penelitian. Telah dilaporkan bahwa infeksi parah dan gangguan kekebalan
selama hidup merupakan faktor risiko tambahan untuk perkembangan skizofrenia.
Meskipun infeksi prenatal saja tampaknya tidak menjadi faktor risiko yang pasti,
paparan perkembangan saraf terhadap infeksi dapat memfasilitasi terjadinya
psikosis pada keturunan. Hal ini dapat didukung oleh pengamatan bahwa selama
epidemi influenza wanita lebih mungkin melahirkan anak-anak yang mengalami
skizofrenia. Dalam hal ini, ada model inflamasi dari gangguan psikotik, misalnya
sindrom ensefalitis anti-NMDAR. Pada penyakit ini, gejala yang mirip skizofrenia
dikombinasikan dengan peningkatan tingkat autoantibodi reseptor NMDA yang
berujung pada penurunan plastisitas dan proses degenerasi neuron. Imunoterapi
adalah pilihan pengobatan untuk sindrom ini. Ini juga merupakan bukti tidak
langsung dari keterlibatan sistem glutamatergic dalam patomekanisme
skizofrenia.25,26
Sebagai konsekuensi dari peran inflamasi pada skizofrenia, antibiotik dan
agen anti inflamasi telah diuji untuk mengobati penyakit ini tetapi dengan
keberhasilan yang agak terbatas. Namun, percobaan 1000 mg per hari aspirin
sebagai tambahan pengobatan menunjukkan perbaikan dalam gejala total dan
positif Skala Sindrom Positif dan Negatif (PANSS). Pentingnya stres oksidatif pada
skizofrenia telah disarankan pada tahun 1930-an tetapi untuk waktu yang lama
diremehkan. Studi terbaru menunjukkan bahwa stres oksidatif secara istimewa
mempengaruhi interneuron yang dapat dikenakan terapi antioksidan. Selanjutnya,
gray matter yang kaya lipid juga sensitif terhadap stres oksidatif yang dapat
mendasari defisiensi terkait mielin pada skizofrenia.5,26
2.1.2 Aspek Psikodinamika Skizofrenia
Perjalanan penyakit skizofrenia dipengaruhi oleh stresor-stresor psikososial
yang dialami penderita, selain juga bawaan psikologis masing masing penderita.
Beberapa teori psikodinamik yang menjelaskan mengenai perkembangan gangguan
skizofrenia sebagai berikut :8,27
• Sigmund Freud : Skizofrenia disebabkan oleh fiksasi pada perkembangan
psikologis, lebih dini dari yang kemudian menyebabkan neurosis. Fiksasi

15
menyebabkan defek perkembangan ego yang kemudian menyebabkan
munculnya gejala-gejala skizofrenia, disintegrasi ego pada penderita
skizofrenia menyebabkan ego berada pada kondisi seperti saat mulai terbentuk
sehingga kemampuan ego untuk menafsirkan realitas dan mengendalikan
“inner drives” seperti seks dan agresivitas dengan sendirinya terganggu.
Adanya konflik intrapsikis karena fiksasi dini dan defek ego karena relasi
obyek awal yang buruk, mendorong berkembangnya gejala-gejala psikotik.
• Margaret Mahler : Terjadi distorsi pada hubungan timbal-balik antara bayi
dengan ibu menyebabkan anak gagal melepaskan diri untuk berkembang
lebih lanjut dari ketergantungan mutlak yang merupakan ciri relasi anak-ibu
pada fase oral sehingga identitas diri tidak pernah terbentuk secara mantap.
• Paul Federn : Adanya defek pada fungsi ego memungkinkan hostilitas dan
agresi yang kuat mendistorsi hubungan ibu dengan anak yang kemudian
menyebabkan disorganisasi kepribadian dan kepekaan terhadap stres. Awitan
sakit terjadi pada masa adolesen, karena pada masa itu remaja membutuhkan
ego yang kuat agar dapat berfungsi secara independen yang dalam hal ini
berpisah dari orang tua, mengenali tugas-tugas (perkembangan),
mengendalikan peningkatan “internal drives” dan mengatasi stimulasi
eksternal yang kuat.
• Harry Stack Sullivan : Skizofrenia adalah gangguan relasi interpersonal
menyebabkan ansietas yang hebat akibat kumulasi trauma pada proses
perkembangan menyebabkan tumbuhnya perasaan “unrelatedness” yang
selanjutnya (tidak selalu) menyebabkan timbulnya rasa dikejar-kejar
(persecutory), skizofrenia adalah upaya adaptasi untuk menghindari rasa panik,
teror dan disintegrasi “self”.
• Heinz Hartmann : Gejala-gejala skizofrenia, secara individual mempunyai
makna simbolik yakni pemikiran bahwa dunia akan kiamat adalah pertanda
runtuhnya “inner world” penderita, rasa rendah diri diatasi dengan waham
kebesaran dan omnipotensi, halusinasi adalah pengganti ketidakmampuan
penderita untuk menghadapi realitas dan merepresentasikan harapan atau
ketakutan penderita, waham adalah regresif merupakan upaya untuk

16
membentuk realitas baru atau ekspresi rasa takut atau dorongan-dorongan
dalam. Secara psikodinamik disepakati bahwa pada skizofrenia, gejala-gejala
mempunyai makna seperti waham kebesaran muncul setelah harga diri terluka.
• Teori belajar : Penderita skizofrenia mempelajari dan meniru reaksi-reaksi
yang irasional dan pola berpikir orang tua mereka sejak masa anak-anak,
buruknya relasi interpersonal penderita skizofrenia adalah akibat dari buruknya
model belajar pada masa anak-anak.
2.1.3 Fungsi Kognitif pada Skizofrenia
Gangguan kognitif adalah fitur inti dari skizofrenia. Memahami sifat dan
arah gangguan ini mungkin memiliki implikasi penting untuk pemahaman kita
tentang patofisiologi gangguan tersebut. Defisit kognitif sedang hingga parah di
beberapa domain, termasuk perhatian, memori kerja, pembelajaran dan memori
verbal, dan fungsi eksekutif. Penelitian telah menunjukkan bahwa individu yang
didiagnosis dengan skizofrenia mengalami penurunan kognitif dari periode
premorbid ke periode postonset. Ada bukti yang jelas untuk defisit kognitif sedang
pada anak-anak dan remaja yang kemudian berkembang menjadi skizofrenia,
dengan meta-analisis menunjukkan defisit premorbid rata-rata sama dengan 8 poin
IQ (SD = 0,5). Defisit kognitif pada orang dewasa yang didiagnosis dengan
skizofrenia lebih jelas, dengan meta-analisis melaporkan defisit IQ 14 poin (SD =
0,90) pada pasien skizofrenia episode pertama dan defisit IQ 15 hingga 21 poin (SD
= 1,0– 1.5) pada pasien skizofrenia kronis.28,29
Perhatian yang terganggu dianggap sebagai defisit kognitif utama pada
skizofrenia. Individu yang secara genetik cenderung menderita skizofrenia
memiliki kemampuan yang buruk untuk mempertahankan perhatian mereka bahkan
sebelum episode psikotik pertama. Pada saat pasien mengalami episode psikosis
pertama mereka, gangguan perhatian biasanya hadir dan dengan tingkat keparahan
sedang. 28,29
Ada semakin banyak bukti bahwa disfungsi memori kerja, terutama memori
kerja verbal, merupakan defisit inti kognitif pada skizofrenia. Memori kerja dapat
dikonseptualisasikan sebagai kemampuan untuk memelihara dan memanipulasi
rangsangan informatif. Berbeda dengan rentang perhatian sederhana, keterampilan

17
ini membawa lebih banyak "beban kognitif" karena tuntutan tambahan untuk
memanipulasi informasi. Informasi harus disimpan secara online untuk diproses,
tetapi tidak harus ditransfer ke penyimpanan jangka panjang, tidak seperti memori
episodik. Gangguan memori verbal cukup umum dan seringkali dalam skala sedang
sampai parah pada skizofrenia. Selain itu, defisit ini bukan hanya artefak dari
ketidakmampuan untuk menyandikan informasi, seperti yang diamati pada
gangguan perhatian. Defisit memori kerja spasial juga sering ditemukan pada
skizofrenia. Tugas-tugas ini seringkali mengharuskan subjek untuk menjaga lokasi
spasial informasi visual saat melakukan tugas interferensi. Bahkan tuntutan
minimal di luar kapasitas perhatian mengakibatkan defisiensi pada pasien
skizofrenia. Berbeda dengan memori kerja spasial, bentuk alternatif memori kerja
non-verbal yang dikenal sebagai memori kerja objek mengungkapkan defisit pada
pasien skizofrenia yang merupakan artefak defisit persepsi daripada masalah
dengan sistem memori kerja. Kesulitan pengkodean dan pengaturan informasi ini
dapat mempersulit pasien skizofrenia untuk menangani situasi sosial dan
interpersonal yang memerlukan perhatian pada berbagai aliran informasi. 28,2
Penderita skizofrenia mengalami kesulitan berbicara sesuai permintaan. Tes
kefasihan verbal (verbal fluency) menilai kemampuannya untuk menghasilkan
kata-kata dari kategori fonologis atau semantik tertentu. Tes ini mengungkapkan
baik penyimpanan informasi verbal yang buruk serta pengambilan informasi yang
tidak efisien dari jaringan semantik. Informasi yang disimpan tidak selalu diambil
sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mengakses jaringan semantik dengan
benar. Tidak mengherankan, defisit dalam kefasihan verbal dikaitkan dengan fungsi
interpersonal yang buruk dan fungsi komunitas. 28,29
Pembelajaran yang buruk dan retensi informasi verbal adalah ciri gangguan
kognitif pada skizofrenia. Seiring dengan defisit fungsi eksekutif, gangguan
kemampuan untuk menyandikan dan menyimpan informasi yang disajikan secara
lisan adalah salah satu temuan paling konsisten di seluruh studi penelitian. Defisit
ini cenderung lebih parah daripada domain kemampuan kognitif lainnya. Seperti
banyak penyakit neuropsikiatri lainnya (dan penuaan normal), dan berbeda dari
kondisi demensia, pola defisit pada skizofrenia cenderung menurunkan tingkat

18
pembelajaran selama beberapa percobaan paparan dan ingatan yang buruk dari
informasi yang dipelajari, sementara pengkodean informasi tampaknya terhindar
seperti yang dibuktikan dengan pengenalan utuh dari rangsangan target dari
distraktor. Namun, beberapa pasien dengan perjalanan penyakit kronis dan
gangguan fungsional substansial memang menunjukkan defisit dalam pengenalan
memori bersama dengan pola global gangguan kognitif yang mendalam dan
keterampilan fungsional yang memburuk. Kinerja memori verbal memprediksi
keberhasilan dalam berbagai bentuk terapi verbal dan dikaitkan dengan
keberhasilan sosial, adaptif, dan pekerjaan.28,29
Fungsi eksekutif mencakup berbagai proses kognitif yang pada akhirnya
menghasilkan perilaku yang bertujuan dan diarahkan pada tujuan. Studi
menggunakan instrumen neuropsikologi formal telah menemukan bahwa banyak
pasien skizofrenia mengalami kesulitan dengan sebagian besar atau semua proses
komponen ini. Misalnya, pasien memiliki waktu yang sulit untuk membentuk
kerangka kerja konseptual untuk memahami rangsangan yang ambigu. Jika suatu
konsep dipahami, pasien skizofrenia mengalami kesulitan beradaptasi dengan
perubahan lingkungan yang memerlukan respons perilaku yang berbeda.
Kecenderungan ke arah pemikiran yang tidak fleksibel ini ditemukan dalam
sejumlah penelitian dan sangat berhubungan dengan kesulitan pekerjaan.
Komponen lain dari fungsi eksekutif yang sering ditemukan terganggu pada
skizofrenia adalah fungsi perencanaan. Mungkin karena mereka mencakup begitu
banyak proses sub-komponen, tugas-tugas yang berfungsi eksekutif secara
konsisten di antara prediktor terbaik dari kinerja fungsional. Fungsi perawatan diri,
sosial, interpersonal, komunitas, dan pekerjaan semuanya terkait dengan fungsi
eksekutif pada skizofrenia. Yang penting, fungsi eksekutif juga dikaitkan dengan
keberhasilan pengobatan. Gangguan dalam domain ini dikaitkan dengan kurangnya
keterlibatan dalam terapi, kepatuhan pengobatan, dan masa tinggal di rumah sakit
yang lebih lama.28,29
2.1.4 Gejala Klinis dan Diagnosis Skizofrenia
Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran,
persepsi, emosi, motivasi, neurokognitif, serta aktivitas motorik. Gejala pada

19
skizofrenia sering kali dikenal sebagai gejala positif dan gejala negatif. Gejala
positif meliputi waham, halusinasi, dan gangguan pikiran formal. Gejala negatif
merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada kebanyakan orang ada. Tampil dalam
bentuk kemiskinan pembicaraan, penumpulan dan pendataran afek, anhedonia,
penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi, dan berkurangnya
atensi.7,8
Gejala-gejala yang dapat diamati pada skizofrenia seperti gangguan proses
pikir berupa asosiasi longgar, inkoherensi, tangensial, stereotipik verbal,
neologisme, blocking, mutisme, asosiasi bunyi (clang association), ekolalia,
konkretisasi dan alogia. Gangguan isi pikir pada skizofrenia adalah adanya waham.
Semakin akut skizofrenia, semakin sering ditemui waham disorganisasi atau
waham tidak sistematis seperti waham kejar, waham kebesaran, waham
dikendalikan, waham nihilistik, waham cemburu, erotomania, waham somatic,
waham rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran. Pada
kelompok dengan predominan gejala negatif akan tampak gejala-gejala seperti
alogia dan miskin ide. Gangguan persepsi ditandai dengan gejala halusinasi, ilusi,
depersonalisasi dan derealisasi. Gangguan emosi seperti afek tumpul atau datar,
afek tak serasi, afek labil dan kedangkalan respons emosi sampai anhedonia. Tidak
ada penampilan atau perilaku yang khas untuk skizofrenia. Beberapa bahkan dapat
tampil dan berperilaku sama dengan kebanyakan orang. Gejala-gejala yang
mungkin ditemui dalam kelompok gangguan perilaku di antaranya penelantaran
penampilan, menarik diri secara social, gerakan tubuh yang aneh dan wajah yang
menyeringai, perilaku ritual, berperilaku bodoh, agresif, perilaku seksual yang tidak
pantas, gejala katatonik (stupor atau gaduh gelisah), fleksibilitas serea, katalepsi,
stereotipi dan mannerism, negativism, automatisme komando, echolalia dan
ekhopraxia. Aktivitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada orang
dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan motivasi di antaranya kehilangan
kehendak, disorganisasi, tidak berkegiatan. Defisit neurokognitif atau intelektual
merupakan gambaran inti dari gangguan Skizofrenia. Gejala-gejala yang menyertai
seperti defisit dalam atensi dan performa, menurunnya kemampuan untuk
menyelesaikan masalah, gangguan dalam memori (termasuk spasial dan verbal),

20
serta fungsi eksekutif.7,8,29
Diagnosis skizofrenia menggunakan kriteria yang tercantum dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition, (DSM-5).
Kriteria Diagnostik 295.90 (F20) dalam DSM 5 sebagai berikut :8,30
A. Dua (atau lebih) dari berikut ini, masing-masing hadir untuk sebagian besar
waktu selama periode 1-bulan (atau kurang jika berhasil diobati ). Setidaknya
salah satu dari ini harus (1), (2), atau (3):
1. Delusi. 2. Halusinasi. 3. Pembicaraan yang tidak teratur (mis. Sering
tergelincir atau kacau). 4. Perilaku yang sangat tidak teratur atau katatonik. 5.
Gejala negatif (mis., Berkurangnya ekspresi emosi atau avolisi).
B. Untuk sebagian besar waktu sejak timbulnya gangguan, tingkat fungsi dalam
satu atau lebih bidang utama, seperti pekerjaan, hubungan antarpribadi, atau
perawatan diri, jauh di bawah tingkat yang dicapai sebelum timbulnya (atau
ketika onsetnya pada masa kanak-kanak atau remaja, ada kegagalan untuk
mencapai tingkat fungsi interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan).
C. Tanda-tanda gangguan terus-menerus bertahan selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau kurang jika
berhasil diobati) yang memenuhi Kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan
mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residu. Selama periode
prodromal atau residual ini, tanda-tanda gangguan dapat dimanifestasikan oleh
hanya gejala negatif atau dengan dua atau lebih gejala yang tercantum dalam
Kriteria A yang hadir dalam bentuk yang dilemahkan (misalnya, kepercayaan
aneh, pengalaman persepsi yang tidak biasa).
D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan gambaran
psikotik telah dikesampingkan karena baik 1) tidak ada episode depresi atau
manik yang terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, atau 2) jika episode
suasana hati telah terjadi selama gejala fase aktif, mereka telah hadir untuk
minoritas dari total durasi periode aktif dan residual penyakit.
E. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, obat
pelecehan, obat-obatan) atau kondisi medis lainnya.

21
F. Jika ada riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi saat
onset masa kanak-kanak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika
delusi atau halusinasi yang menonjol, selain gejala skizofrenia lain yang
disyaratkan, juga hadir untuk setidaknya 1 bulan (atau kurang jika berhasil
dirawat). Tetapkan jika:
Penentu Perjalanan berikut hanya akan digunakan setelah durasi 1 tahun
gangguan dan jika mereka tidak bertentangan dengan kriteria Perjalanan
diagnostik.
Episode pertama, saat ini dalam episode akut: Manifestasi pertama gangguan
memenuhi gejala diagnostik yang menentukan dan kriteria waktu. Episode akut
adalah periode waktu di mana kriteria gejala terpenuhi.
Episode pertama, saat ini dalam remisi parsial: Remisi parsial adalah periode
waktu di mana perbaikan setelah episode sebelumnya dipertahankan dan di
mana kriteria mendefinisikan gangguan hanya sebagian terpenuhi.
Episode pertama, saat ini dalam remisi penuh: Remisi penuh adalah periode
waktu setelah episode sebelumnya di mana tidak ada gejala spesifik gangguan.
Beberapa episode, saat ini dalam episode akut: Beberapa episode dapat
ditentukan setelah minimal dua episode (yaitu, setelah episode pertama, remisi
dan minimal satu kambuh).
Episode multipel, saat ini dalam remisi parsial Episode multipel, saat ini dalam
remisi penuh
Continuous: Gejala yang memenuhi kriteria gejala diagnostik kelainan tersisa
untuk sebagian besar perjalanan penyakit, dengan periode gejala subthreshold
relatif sangat singkat dibandingkan dengan keseluruhan program. Tidak
ditentukan Jika:
Dengan katatonia (rujuk ke kriteria katatonia yang terkait dengan gangguan
mental lain untuk definisi).
Catatan pengkodean: Gunakan kode tambahan 293.89 (F06.1) katatonia yang
terkait dengan skizofrenia untuk menunjukkan adanya katatonia komorbiditas.
Tentukan tingkat keparahan saat ini:
Keparahan dinilai dengan penilaian kuantitatif dari gejala utama psikosis,

22
termasuk delusi, halusinasi, ucapan tidak teratur, perilaku psikomotorik
abnormal, dan gejala negatif. Masing-masing gejala ini dapat dinilai untuk
tingkat keparahannya saat ini (paling parah dalam 7 hari terakhir) pada skala 5
poin mulai dari 0 (tidak ada) hingga 4 (ada dan parah). (Lihat Dimensi Nilai
Klinis dari Gejala Psikosis Gejala dalam bab "Ukuran Penilaian.")
Catatan: Diagnosis skizofrenia dapat dibuat tanpa menggunakan specifier
tingkat keparahan ini.

Berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ


III/ICD-10), skizofrenia dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria : 31
▪ Harus ada sedikitnya 1 gejala berikut ini (dan biasanya 2 gejala atau lebih bila
gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
- Thought echo, thought insertion or withdrawal, thought broadcasting
- Delusion of control, delusion of influence, delusion of passivity, delusion of
perception.
- Halusinasi auditorik: suara halusinasi yang berkomentar secara terus-
menerus terhadap perilaku pasien, mendiskusikan perihal pasien di antara
mereka, jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
- Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil.
▪ Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang harus ada secara jelas : 43
- Halusinasi yang menetap dari panca indra apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun setengah terbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang
menetap, atau terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan terus-menerus.
- Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme.
- Perilaku katatonik

23
- Gejala-gejala “negatif”: seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
▪ Adanya gejala tersebut di atas berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau
lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
▪ Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan.
2.1.5 Penatalaksanaan Skizofrenia
Secara umum penanganan gangguan skizofrenia dibagi menjadi terapi
farmakologi dan non-farmakologi. Terapi farmakologi skizofrenia mengalami
kemajuan pesat terutama setelah ditemukan obat antipsikotika generasi kedua
(APG-II). Obat APG-II mempunyai kelebihan dan keterbasan. Orang dengan
skizofrenia (ODS) lebih nyaman dengan APG-II karena kurangnya efek samping
ekstrapiramidal, misalnya distonia, parkinsonisme, dan akatisia. Manfaatnya lebih
terasa pada penggunaan jangka panjang karena jarangnya terjadi tardive diskinesia.
Outcome jangka panjangnya lebih baik sehingga ia dapat memfasilitasi
keberhasilan terapi psikososial dan rehabilitasi. Di samping kelebihannya, APG-II
mempunyai keterbatasan yaitu risiko efek samping penambahan berat badan,
diabetes dan gangguan kardiovaskuler.5,7,8
Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi
dan stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang
membutuhkan penatalaksanaan segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode
pertama atau ketika terjadinya kekambuhan skizofrenia. Fokus terapi pada fase akut
yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase akut biasanya berlangsung selama
4-8 minggu. Setelah fase akut terkontrol, ODS memasuki fase stabilisasi. Risiko
kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS
terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi
pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut.
Fase ini berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnyai gejala akut. Fase

24
selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam keadaan
remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan
memperbaiki derajat fungsi. 2,7,8
Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah ODS melukai dirinya atau
orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala
psikotik dan gejala terkait lainnya, misalnya agitasi, agresi, dan gaduh gelisah.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah berbicara kepada ODS dan
memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya yaitu keputusan untuk memulai
pemberian obat oral. Pengikatan atau penempatan ODS di ruang isolasi (seklusi)
mungkin diperlukan dan hanya dilakukan bila ODS berbahaya terhadap dirinya dan
orang lain serta bila usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan tersebut
hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam dan ini digunakan untuk
memulai pengobatan. Setelah mendapat obat, biasanya ODS akan lebih tenang.
Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan
kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan.
Jenis terapi yang diberikan adalah APG I dosis terapi seperti Haloperidol injeksi
12.5-20 mg/hari, atau dengan menggunakan jenis APG II injeksi bila tersedia
seperti Olanzapin dosis 10 mg/kali injeksi dan aripriprazole dosis 9.75 mg/kali
injeksi. Intervensi psikososial pada fase akut bertujuan untuk mengurangi stimulus
yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan.
Memberikan ketenangan kepada ODS atau mengurangi keterjagaan (arousal)
melalui komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan, menyediakan
lingkungan yang nyaman, tidak menuntut, toleran, hubungan yang bersifat suportif
dengan klinikus dan tim yang memberi layanan perawatan, perlu dilakukan. 2,7,8
Selama fase stabilisasi, tujuan terapi adalah mengurangi stres pada ODS dan
memberikan dukungan untuk mengurangi kekambuhan, meningkatkan adaptasi
ODS terhadap kehidupan dalam masyarakat, memfasilitasi pengurangan gejala
secara terus- menerus dan konsolidasi remisi, dan meningkatkan proses
penyembuhan. Bila ODS memiliki perbaikan dengan obat tertentu, obat tersebut
dapat dilanjutkan dan dipantau selama enam bulan. Penurunan dosis atau
penghentian pengobatan pada fase ini dapat menyebabkan kekambuhan. Penilaian

25
efek samping yang sudah terlihat pada fase akut secara terusmenerus perlu
dilakukan. Selain itu, penyesuaian farmakoterapi untuk mengurangi efek samping
yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan kekambuhan
perlu pula dipertimbangkan. Pada fase ini pendekatan psikososial ditujukan untuk
meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam
mengelola gejala. Sifat pendekatan lebih luwes, mengajak orang dengan skizofrenia
untuk mengenali gejala-gejala, melatihkan cara mengelola gejala, melatihkan
kemampuan merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan.
Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini. 2,7,8
Setelah ODS mencapai fase stabil atau fase terapi rumatan, perencanaan
terapi jangka panjang untuk mengurangi risiko kekambuhan, memantau dan
mengurangi beratnya efek samping obat, perlu dilakukan. Mempertahankan
pengobatan yang terus- menerus dikaitkan dengan rendahnya kekambuhan.
Klinikus hendaklah mediskusikan dengan ODS risiko jangka panjang terapi
rumatan obat yang sedang digunakan. Selain itu, dampak kekambuhan, misalnya
efek kekambuhan terhadap fungsi sosial, pekerjaan, perilaku yang berbahaya akibat
kekambuhan, risiko terjadinya resisten terhadap pengobatan perlu pula
diinformasikan). Bila ada keputusan untuk menghentikan pengobatan, penghentian
harus berangsur-angsur (misalnya, penurunan dosis sekitar 10% per bulan).
Klinikus hendaklah mengedukasi ODS dan keluarga mengenai tanda- tanda awal
kekambuhan dan memberikan edukasi tindakan yang harus dilakukan bila gejala
awal in terlihat. Pada fase ini intervensi psikososial bervariasi tergantung pada
status fungsional dari masing-masing orang dengan skizofrenia. Tujuan dari
intervensi psikososial pada fase stabil adalah untuk mempersiapkan orang dengan
skizofrenia kembali pada kehidupan bermasyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik
seperti terapi remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial, dan terapi
vokasional, cocok untuk diterapkan pada fase ini. Pada fase ini orang dengan
skizofrenia dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal,
sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya 2,7,8

26
2.2 Farmakoterapi Risperidon Pada Skizofrenia
2.2.1 Farmakokinetik Risperidon
Risperidone adalah antipsikotik atipikal novel pertama. Itu diperkenalkan ke
pasar pada awal 1990-an, dua puluh tahun setelah pengenalan clozapine. Ini adalah
turunan benzisoksazol. Risperidon diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian oral.
Pada penelitian fase I, risperidon memperlihatkan farmakokinetik linier pada dosis
antara 0,5-25 mg/hari. Risperidon dimetabolisme di hati menjadi 9-hidroksi
risperidon. Profil hasil metabolitnya sama dengan komponen induknya. Kadar
plasma puncak komponen induknya terlihat dalam satu jam setelah digunakan
sedangkan hasil metabolitnya (9-hidroksi risperidon) dalam tiga jam.
Bioavailabilitasnya hampir 100%, baik pada risperidon maupun pada 9-hidroksi
risperidon. Risperidon terikat dengan protein sebanyak 90% sedangkan
metabolitnya sebanyak 70%. Ekskresinya terutama melalui urin yaitu sebanyak
31% dari dosis yang digunakan. Absorbsi obat tidak dipengaruhi oleh makanan.
Risperidon dimetabolisme oleh enzim hepar yaitu CYP 2D6. Waktu paruhnya
bervariasi sesuai aktivitas enzim tersebut. Pada “metabolizer ekstensif”, yaitu pada
sekitar 90% orang kulit putih dan 99% orang Asia, waktu paruh risperidon adalah
sekitar tiga jam. Metabolitnya, 9-hidroksi risperidon, dimetabolisme lebih lambat
oleh oksidatif N-dealkilasi. Sebaliknya, “metabolizer buruk” memetabolisme
risperidon terutama melalui jalur oksidatif dan waktu paruhnya dapat lebih dari 20
jam.1,5
2.2.2 Farmakodinamika Risperidon
Risperidon bekerja sebagai antagonis poten pada serotonin (terutama 5-HT )
dan dopamin D2. Afinitasnya terhadap reseptor α1 dan α2 juga tinggi tetapi
terhadap a- adrenergik atau muskarinik afinitasnya lebih rendah. Afinitas risperidon
terhadap 5-- HT2A adalah 1020 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan terhadap
reseptor D2. Pada in vivo, ikatan terhadap reseptor D2 terjadi pada dosis 10 kali
lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikatan terhadap reseptor 5-HT2A. Afinitas
terhadap reseptor 5-HT 2A adalah 100 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan
terhadap subtipe reseptor serotonin lainnya. Metabolitnya, 9-hidroksirisperidon,
mempunyai afinitas yang sama dengan komponen induknya. Baik risperidon

27
maupun metabolitnya, memperlihatkan afinitas yang tinggi pada reseptor 5-HT 2A
pada jaringan otak tikus. Pada manusia terlihat pula pada sel COS-7. Ikatan
risperidon terhadap reseptor 5-HT2A adalah 20 kali lebih tinggi bila dibandingkan
dengan klozapin dan 170 kali bila dibandingkan dengan haloperidol.7,16
Afinitas risperidon dan 9-hidroksirisperidon terhadap dopamin D4 dan D2
sama kuatnya bila dibandingkan dengan klozapin dan haloperidol. Tidak ada
afinitas risperidon terhadap reseptor asetilkolin muskarinik sedangkan terhadap
histaminergik H, derajat afinitasnya adalah sedang. Afinitas risperidon terhadap
reseptor α2 adrenergik relatif lebih tinggi tetapi terhadap reseptor α1 adrenergik
adalah sebanding dengan klorpromazin dan 5-10 kali lebih kuat bila dibandingkan
dengan klozapin. Penelitian yang menggunakan positron emission tomography
(PET), dilakukan 12-14 jam setelah dosis terakhir risperidon, menunjukkan bahwa
okupansi reseptor D2 berkisar antara 63%-89%. Okupansi D2 dengan risperidon,
dosis 0,8 mg, adalah 50%. Subjek yang menggunakan risperidon 6 mg/hari
memperlihatkan rerata okupansi D2 sekitar 79%. Derajat okupansi yang sama
terjadi pada olanzapine dengan dosis 30mg/hari. Pada beberapa subjek, besarnya
okupansi ini dapat melebihi ambang terjadinya EPS. Okupansi 5-HT2A lebih besar
dari 95% terjadi pada risperidon dengan dosis 2-4mg/hari. Penelitian preklinik
menunjukkan bahwa kemampuannya mengantagonis dopamin sama kuatnya
dengan haloperidol tetapi dalam menginduksi terjadinya katalepsi, kemampuannya
kurang bila dibandingkan dengan haloperidol. Oleh karena itu, efek samping
ekstrapiramidal lebih ringan pada risperidon bila dibandingkan dengan haloperidol
dan bermanfaat dalam mengatasi gejala negatif pada skizofrenia. Penelitian yang
menggunakan PET menunjukkan bahwa 5-HT2 sesuai dengan yang dibutuhkan
untuk memberikan efek terapetik.7,16
2.2.3 Dosis dan Interaksi Risperidon Pada Skizofrenia dosis 1-4 mg memblok
D2 reseptor dan aktivitas pada reseptor
Untuk preparat oral, risperidon tersedia dalam dua bentuk sediaan yaitu tablet
dan cairan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 2 mg/hari dan besoknya dapat
dinaikkan menjadi 4 mg/hari. Sebagian besar ODS membutuhkan 4-6 mg/hari. Bila
ODS memperlihatkan agitasi, dianjurkan untuk memberikan terapi tambahan

28
lorazepam 2 mg/hari sampai agitasinya terkendali. Perbaikan dengan risperidon
terlihat dalam delapan minggu pertama. Apabila respon risperidon tidak adekuat,
dianjurkan untuk menaikkan dosis hingga 8 mg/hari. Responnya lebih cepat
daripada haloperidol. Risperidon bisa diberikan sekali sehari dan efektivitasnya
sama dengan pemberian dua kali per hari. Dosis untuk orang tua atau penderita
Parkinson adalah 1 mg/hari atau lebih kecil untuk mencegah terjadinya efek
samping. Fluoxetin dan paroksetin menginhibisi enzim CYP2D6. Kedua obat ini
memblok konversi risperidon menjadi metabolitnya sehingga kadar risperidon
dapat meningkat. Sebaliknya, karbamazepin menginduksi enzim CYP2D6
sehingga meningkatkan konversi risperidon menjadi metabolit 9-hidroksi
risperidon. Oleh karena itu, apabila risperidon diberikan bersamaan dengan
karbamazepin, dosis risperidon harus ditingkatkan. Peningkatan konsentrasi plasma
risperidon dapat meningkatkan risiko efek samping, misalnya terjadi simtom
ekstrapiramidal. Risperidon merupakan ihhibitor lemah enzim CYP2D6 sehingga
pengaruhnya terhadap klirens obat lain tidak begitu bermakna. Orang tua, orang
dengan metobolisme buruk, membutuhkan dosis yang lebih rendah (50%-
60%).5,7,16
2.3 Terapi Vokasional Pada Pasien Skizofrenia
Terapi vokasional biasa juga disebut dengan rehabilitasi vokasional adalah
bagian dari rehabilitasi psikososial yaitu suatu proses rehabilitasi yang secara
berkesinambungan dan terkoordinasi melaksanakan suatu rangkaian kegiatan
berupa bimbingan vokasional (vocational guidance), latihan kerja (vocational
training), dan penempatan selektif (selective placement), yang diadakan agar pasien
disabilitas memperoleh kepastian dan mendapatkan pekerjaan yang layak. 31,32,34
2.3.1 Sejarah Perkembangan Terapi Vokasional
Sejarah perkembangan terapi vokasional diawali dengan keputusasaan para
praktisi kesehatan mental terhadap pasien skizofrenia yang masih terpapar oleh
stresor dan ketakutan dalam melakukan aktifitasnya, untuk mengatasi
ketidakmampuan pasien skizofrenia yang diakibatkan oleh gejala sisa yang masih
ada. Pendekatan klinis prospektif telah diupayakan dengan berfokus pada tujuan
memperbaiki isolasi pasien. Dengan cara ini, pasien yang mengalami keputusasaan

29
terhadap perannya sebagai seorang dewasa normal dapat memenuhi segala harapan
dan mengatasi stresor sehari-hari yang menyertainya, sehingga mereka dapat
kembali tertarik untuk memulai bekerja secara bertahap, melalui arahan atau
bantuan berupa sheltered workshop, prevocational work crews (karyawan yang
bekerja pada program pelatihan persiapan kerja), agency-run businesses
(agen/perwakilan yang menjalankan bisnis), transitional jobs managed by the
mental health agency (pekerjaan transisi yang dikelola agen/perwakilan kesehatan
mental), dan volunteer jobs (pekerja relawan). 31,32,34
Pada awal tahun 1980-an, Paul Wehman et al. (1980) di Virginia
Commonwealth University mendeskripsikan tentang pendekatan dukungan kerja.
Pendekatan dukungan kerja merupakan upaya pengadaan pelatihan yang
memungkinkan bagi penderita disabilitas dalam perkembangan yang dapat
membantu mereka menemukan persaingan kerja secara langsung, memberikan
pelatihan dan dukungan yang diperlukan setelah orang tersebut bekerja, serta
menghindari pelatihan pre-vokasional tradisional yang lama dengan titik berat pada
penilaian prestasi kerja. Kerja yang kompetitif setidaknya dibayar dengan upah
minimum, dengan setting terintegrasi dengan orang lain yang tidak memiliki
disabilitas dan hal ini konsisten dengan kekuatan, kemampuan, dan minat
seseorang. 32,33,34
2.3.2 Manfaat Terapi Vokasional
Karakteristik pasien skizofrenia secara umum ditandai adanya permasalahan
fungsi kerja yang buruk, dengan rata-rata persaingan kerja antara 10-20% dan
variasi jenis pekerjaan kurang dari 50%. Hasil studi menunjukkan menurunnya
fungsi kerja dalam waktu lama pada saat sebelum sakit mempunyai proporsi
signifikan pada pasien skizofrenia. Penurunan ini mulai tampak sejak 6-18 bulan
sebelum episode pertama skizofrenia. Rata-rata pasien yang tidak bekerja cukup
tinggi dan mempunyai implikasi penting yang berpengaruh kepada pasien,
keluarga, dan sosialnya. Dari perspektif pasien skizofrenia, tingginya biaya tersebut
berhubungan dengan kondisi tidak bekerja, kemiskinan, dan kerentanan untuk
menjadi korban penipuan. Kondisi tidak bekerja adalah bukti hilangnya
produktivitas dan hilangnya penghasilan tambahan. Hilangnya produktivitas akibat

30
biaya ekonomi dan sosial menempatkan skizofrenia diantara 10 penyebab tertinggi
disabilitas. Crisp et al. (2000) menyatakan bahwa pasien gangguan mental, terutama
skizofrenia mengalami hendaya dalam melakukan pekerjaan sebagai akibat stigma
dari masyarakat sehingga produktivitas bekerja menurun dan adanya isolasi sosial.
Manfaat klinis bekerja mempunyai kepastian yang nyata seperti pepatah lama
mengatakan bahwa “work is good therapy”. 31,32,34
2.3.3 Tahap-Tahap Terapi Vokasional
Pedoman praktek dukungan kerja dalam terapi vokasional meliputi tahap-
tahap sebagai berikut:
1) Menetapkan kelayakan pasien;
Pasien diminta menceritakan pengalaman bekerja dan hambatan dalam
melaksanakan pekerjaannya. Bagi pasien yang belum bekerja, disarankan untuk
mengakses sumber informasi melalui berbagai media dan bertukar pendapat
dengan pasien lain yang sudah bekerja.
2) Konseling adalah bagian dari proses pengambilan keputusan untuk bekerja;
Pemberian informasi secara jelas kepada pasien dan keluarganya mengenai
perencanaan bagi pasien, akan memberikan manfaat yang diperlukan dalam
pengambilan keputusan untuk bekerja. Dalam studi yang dilakukan oleh
Tremblay, Xie, Smith & Drake 2004, dikatakan bahwa masyarakat yang
menerima konseling bekerja, lebih mendapat banyak manfaat dan penghasilan
dibandingkan dengan kelompok yang belum pernah melakukan konseling.
3) Integrasi Dukungan Kerja dengan tata laksana klinis;
Rehabilitasi merupakan bagian gabungan suatu layanan terpisah dari
penatalaksanaan klinis kesehatan mental. Komunikasi yang baik adalah kunci
untuk menyiapkan layanan yang lancar. Disini praktisi ketenagakerjaan
bergabung dengan tim perawatan dan berpartisipasi dalam pertemuan secara
regular untuk mengkoordinasi layanan, memberikan informasi tentang
bagaimana pasien mengelola sakitnya, membantu menentukan jenis dan setting
pekerjaan yang mendukung kesembuhan, menginformasikan bagaimana fungsi
seseorang di tempat kerja, sehingga pasien dapat menentukan keputusan
penatalaksanaan.

31
4) Kompetitif kerja adalah sebuah tujuan;
Praktisi ketenagakerjaan membantu pasien dalam menemukan kompetitif kerja
yang terintegrasi dalam setting kerja regular. Posisi yang 'dimiliki' oleh pasien
bukan posisi yang diberikan untuk orang dengan disabilitas, pasien diawasi saat
bekerja, dan pemberian upah pembayaran langsung dari provider bukan dari
lembaga kesehatan mental atau lembaga rehabilitasi.
5) Memulai pekerjaan segera setelah seorang pasien menyatakan minatnya dalam
bekerja;
Pasien yang dibantu dalam mencari pekerjaan secara langsung, tidak diberikan
penilaian dan pelatihan prevokasional yang lama. Praktisi ketenagakerjaan
menyiapkan waktu beberapa minggu untuk bertemu dengan pasien dan
mengumpulkan informasi untuk mengembangkan suatu profil vokasional untuk
mengenali jenis dan setting pekerjaan. Praktisi ketenagakerjaan memulai diskusi
dengan pasien, dimana informasi yang didapatkan akan disampaikan ke provider
tentang penyakit mereka dalam kaitannya dengan bekerja. Pasien dan praktisi
ketenagakerjaan menyusun rencana untuk pekerjaan yang diinginkan dan
menentukan tanggung jawab masing-masing dalam mencari pekerjaan.
Dukungan yang diikuti secara bersama dan berkesinambungan. Banyak orang
dapat mencarikan pekerjaan, tetapi kesulitan melakukan pengawasan terhadap
mereka. Dukungan individual yang diberikan jaringan terhadap pasien berjalan
secara berkelanjutan untuk satu periode waktu sesuai kebutuhan individual. The
treatment team membantu mengenalkan dukungan untuk memulai suatu
pekerjaan, melakukan pekerjaan secara bertahap, mengenalkan masalah
pekerjaan dan cara mengakhiri suatu pekerjaan.
6) Pilihan pasien adalah penting;
Semua aspek dukungan kerja adalah bersifat individual. Keputusan tentang jenis
pekerjaan, setting pekerjaan, banyaknya pekerjaan, disclosure, mencari
pekerjaan, dan dukungan kerja dibuat oleh individu. Praktisi ketenagakerjaan
membantu pasien untuk mengenali pekerjaan yang konsisten dengan
ketrampilan, pengalaman, dan minatnya.

32
2.3.3 Model Terapi Vokasional
Pendekatan tradisional untuk terapi vokasional adalah menggunakan suatu
pendekatan “train-place” (dimana pasien terlibat dalam persiapan ekstensif
sebelum mendapatkan pekerjaan yang kompetitif, seperti konseling pendidikan
kerja, pelatihan ketrampilan, partisipasi dalam kelompok pekerjaan, atau sheltered
work). Bond (2001) menemukan beberapa efek menguntungkan pada hasil
pekerjaan yang kompetitif. Selanjutnya, model rehabilitasi vokasional menekankan
pada pencarian dan pencapaian kerja yang cepat, serta ketersediaan dukungan
secara terus menerus (terutama dukungan kerja) telah dikembangkan dan divalidasi
secara empiris. Dua model terapi vokasional muncul dalam beberapa tahun terakhir
adalah : 31,32,34
1) Program pelatihan prevokasional; Pasien menjalani suatu fase persiapan, dan
kadang-kadang fase transisi kerja. Tujuan program, menolong pasien
skizofrenia dalam membiasakan bekerja dan mengembangkan keterampilan
untuk kompetitif pekerjaan di kemudian hari. Kedua pendekatan disini melalui
cara tradisional sheltered workshop (lokakarya terlindung) dan versi
‘clubhouse’.
2) Program dukungan kerja; Program dukungan kerja membantu menempatkan
secara cepat pasien pada kerja kompetitif yang memungkinkan, melalui latihan
dan dukungan yang diberikan oleh 'job coaches' (pelatih kerja) dalam setting
kerja yang nyata tanpa fase persiapan prevokasional yang lama. Penyediaan
layanan biasanya disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan dan situasi kerja
pasien. Dukungan kerja adalah suatu pendekatan terapi vokasional untuk
pasien skizofrenia dan gangguan mental lainnya yang berfokus membantu
pasien dalam mencari pekerjaan yang kompetitif dalam kondisi yang
terintegrasi dengan masyarakat, dan mendukung ketersediaan fasilitas
penyelenggaraan pekerjaan yang baik atau untuk membantu dalam transisi ke
pekerjaan lain. Pendekatan studi secara luas untuk dukungan kerja pada
keadaan gangguan mental berat adalah melalui model the Individual Placement
and Support (IPS) yang telah dibakukan secara Manual melalui Fidelity Scale
(skala kepatuhan).

33
2.3.4 Hambatan Terapi Vokasional
Pasien skizofrenia banyak menghadapi hambatan dan disinsentif ketika
kembali bekerja. Tuntutan pasar tenaga kerja, pembatasan kerja yang disebabkan
oleh penyakit, komplikasi yang terkait dengan tunjangan cacat, terbatasnya
ketersediaan program berbasis bukti. Defisit kognitif termasuk gangguan perhatian,
memori kerja, pembelajaran, pengetahuan umum, kelancaran ide, atau keterampilan
pemecahan masalah. Gejala negatif berupa hilangnya minat dan motivasi,
ketidakmampuan melakukan tindakan, apatis, dan penarikan social. Keterbatasan
fungsional lainnya termasuk sosial (kesulitan berinteraksi dengan orang lain),
emosional (kesulitan mengelola emosi dan gejala), meta-kognitif (self monitoring
kinerja), dan kekuatan fisik dan stamina kerja. 32,33,35
2.4 Skala Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS)
PANSS (Positive and Negative Syndrome Scale) ialah salah satu instrumen
penilaian yang paling penting untuk pasien dengan gangguan jiwa
berat/skizofrenia. PANSS pertama kali dibuat oleh Stanley Kay, lewis Opler, dan
Abraham Fizsbein di tahun 1987 yang diambil dari dua instumen terdahulu yaitu
Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS) dan Psychopathology Rating Scale (PRS).
Uji reabilitas inter-rater dan test-restest telah dilakukan Kay dan Opler pada tahun
1987 dengan hasil yang tinggi.36
PANSS terdiri 30 item penilaian yang masing-masing dibagi dalam sub skala
positif, negatif, dan juga psikopatologi secara umum. Adapun skala ini biasanya
digunakan oleh dokter yang telah terlatih untuk menilai beratnya masing-masing
item dengan memberikan poin sebesar 1-7 pilihan untuk beratnya gejala. PANSS
dapat menunjukkan reliabilitas internal yang tinggi, validitas yang disusun dengan
baik, dan sensitivitas yang baik untuk perubahan gejala dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. PANSS merupakan pengukuran yang sensitif dan spesifik
dari manipulasi farmakologik pada gejala-gejala positif dan juga negatif dari
skizofrenia. Validitas dari masing-masing sub skala dikonfirmasi dengan eksplorasi
dari klasifikasi pasien berdasarkan kelas gejala predominan. Salah satu kekuatan
PANSS adalah konsistensinya dalam skoring pasien secara individual sejalan
dengan waktu dan juga perjalanan penyakit.36,37

34
Untuk dapat digunakan terhadap pasien skizofrenia Indonesia, telah
dilakukan uji reliabilitas, validitas, dan uji sensitivitas PANSS oleh A.
Kusumawardhani dan juga tim dari Fakultas Kedokteran UI pada tahun 1994
(Kusumawardhani, 1994., dalam Ambarwati, 2009). Reliabilitas internal diuji
dengan rumus koefisien alfa dari Cronbach terhadap 140 pasien skizofrenia. Untuk
gejala positif didapat alfa 0,725, untuk gejala negatif 0,838, untuk gejala
psikopatologi umum 0,684. Reliabilitas interater oleh tiga orang psikiater untuk
masing-masing skala adalah sebagai berikut: 0,923 untuk gejala positif, 0,921 untuk
gejala negatif, 0,912 untuk indeks komposit dan 0,838 untuk gejala psikopatologi
umum. Reliabilitas test-ratest juga dilakukan dengan hasil 0,604 untuk gejala
positif, 0,802 untuk gejala negatif, 0,884 untuk indeks komposit dan 0,565 untuk
gejala psikopatologi umum.37
2.5 Skala Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina)
Montreal Congnitve Assessment (MoCA) mulai dikembangkan awal tahun
2000. Tes MoCA dapat menilai fungsi berbagai domain / ranah kognitif dalam
waktu sekitar 10 menit. MoCA terdiri dari 8 ranah kognitif meliputi: fungsi
eksekutif, kemampuan visuospasial, atensi dan konsentrasi, memori, bahasa,
konsep berfikir, kalkulasi, dan orientasi. MoCA tes pertama kali dikembangkan di
institusi klinik Quebec Kanada, tahun 2000 oleh Nasreddine Ziad S, MD, dibimbing
oleh guru besar dari UCLA, Jeffrey Cummings. MoCA dibuat berdasarkan
gangguan domain yang sering dijumpai pada MCI. Versi awal mencakup 10 ranah
kognitif. Lima tahun pertama setelah digunakan, diubah menjadi 8 ranah kognitif
yakni visospasial/eksekutif, penamaan, memori, memori tertunda, atensi, bahasa,
abstraksi, dan orientasi. Skor tertinggi adalah 30 poin, sementara skor 26 keatas
dianggap normal. Cut-off point MoCA berdasarkan berbagai studi di luar negeri
adalah 26.38
Validasi tes MoCA di Indonesia dilakukan dengan menggunakan konsep WHO yang
terdiri atas 7 langkah. Dari hasil penelitian ini didapatkan nilai Kappa total antara 2 orang
dokter (inter rater) adalah 0,820. Sedangkan pada tiap-tiap ranah sebagai berikut :
Visuospasial/eksekutif 0,817; penamaan (naming) 0,985; dan atensi 0,969. Sementara
38
untuk ranah bahasa 0,990; abstraksi 0,957; memori 0,984, dan orientasi adalah 1,00.

35
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 KERANGKA TEORI

36
3.2 KERANGKA KONSEP

37
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 DESAIN PENELITIAN


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analisis eksperimental
dengan pendekatan kohort prospektif.
4.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan pada Agustus-September 2021 di
Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini ada semua pasien skizofrenia yang dirawat
di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini ada semua pasien skizofrenia yang dirawat
di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang
memenuhi kriteria Inklusi
4.3.3 Perkiraan Besar Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Rumus
besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus :
n1=n2 = Y [2 ((Zα+Zβ)S)2]
(x1-x2)

= 0,411 [2 ((1.64+0.84)15)2]
10

= 11, 37
n1=n2 : Jumlah sampel
Zα : Kesalahan tipe 1
Zβ : Kesalahan tipe 2
Y : Faktor koreksi Karena pengukuran berulang
S : Simpang baku
X1-X2 : Selisih yang dianggap bermakna

38
Sehingga diperoleh hasil dibulatkan : 11 sampel minimal untuk setiap
kelompok
4.3.4 Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara Consecutive
Sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria penelitian sampai
sampel yang diperlukan terpenuhi.
4.3.5 Kriteria Seleksi
Kriteria Inklusi :
1. Pasien yang terdiagnosa skizofrenia menurut DSM V dan PPDGJ 3
2. Pasien berusia 20-45 tahun
3. Pasien sudah melewati fase akut (PANSS-EC < 15)
4. Mampu dan bersedia mengikuti sesi terapi vokasional
5. Mendapatkan terapi Risperidone 2-4 mg/hari
6. Mendapatkan terapi sedative (Clozapine 25 mg malam atau
Chlorpromazine 100 mg malam)
Kriteria Eksklusi :
1. Memiliki penyakit penyerta organik.
2. Memiliki riwayat konsumsi NAPZA sebelum masuk Rumah Sakit
3. Tidak bersedia mengikuti sesi terapi vokasional
Kriteria Drop Out :
1. Tidak teratur mengikuti sesi terapi vokasional
2. Tidak teratur mengkonsumsi Risperidone
4.4 JENIS DATA DAN INSTRUMEN PENELITIAN
4.4.1 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian.
4.4.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian berupa lembar informed consent, skala PANSS,
skala MoCA-Ina, obat Risperidone, instrument untuk terapi vokasional
(alat jahit menjahit, alat memasak, alat pertukangan, alat tulis menulis)

39
4.5 MANAJEMEN PENELITIAN
4.5.1 Pengumpulan Data
4.5.1.1 Alokasi Subjek
Subyek dalam penelitian ini diperoleh dari penentuan sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dilakukan secara
Consecutive Sampling
4.5.1.2 Cara Kerja
1. Pasien yang dirawat di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan yang
memenuhi kriteria inklusi dimasukkan menjadi subjek penelitian
setelah mendapatkan informed consent (pasien dan keluarga).
2. Melakukan pengukuran skor PANSS dan MoCA-Ina
3. Subjek penelitian kemudian dimasukkan kedalam salah satu
kelompok yakni kelompok perlakuan atau kelompok kontrol.
4. Kelompok perlakuan diberikan terapi vokasional.
5. Melakukan pengukuran skor PANSS dan MoCA-Ina pada minggu
ke-2, ke-4 dan ke-6 setelah diberikan sesi terapi vokasional
4.5.2 Tekhnik Pengolahan Data
Pengolahan dilakukan setelah pencatatan instrumen penelitian
menggunakan program computer SPSS 24.0 dan Microsot Excel untuk
memperoleh hasil statistik yang diharapkan.
4.5.3 Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel, diagram,
serta nilai kebermaknaan.
4.6 ETIK PENELITIAN
a. Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu akan meminta
keterangan kelayakan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian
Biomedis Pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan
meminta persetujuan dari partisipan serta keluarga.
b. Melakukan informed-consent sebelum subjek berpartisipasi dalam
penelitian, dan berusaha menjaga kerahasiaan identitas subjek penelitian,
sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian

40
yang dilakukan.
c. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya.
4.7 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI VARIABEL
a. Variabel Bebas : Terapi vokasional dan Risperidone
b. Variabel Tergantung : gejala klinis dan fungsi kognitif (Skala
PANSS dan MoCA-Ina)
c. Variabel Antara : stimulasi neuron dopaminergik, plastisitas
sinaptik, fungsi dopamin PFC
d. Variabel Kendali : Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan
e. Variabel Perancu : Dukungan keluarga, Genetik, Kepribadian
4.8 DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF
4.8.1 Definisi Operasional
a. Skizofrenia adalah kelompok gangguan mental berat yang
diagnosisnya memenuhi kriteria DSM-V atau PPDGJ-III
b. PANSS adalah instrument yang digunakan untuk mengukur gejala
klinis terkait dengan diagnosis Skizofrenia
c. MoCA-Ina adalah instumen yang digunakan untuk mengukur fungsi
kognitif versi Indonesia
d. Terapi vokasional dalam bentuk (tata boga, tata busana, pertukangan,
pembuatan telur asin)
e. Umur adalah usia penderita dalam tahun yang didapatkan dari
pengurangan tahun pemeriksaan dengan tahun kelahiran penderita
(tahun). Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan fungsi
biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan peran mereka
dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan.
f. Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan formal seperti TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
g. Risperidon adalah obat antipsikotik generasi kedua yang digunakan

41
untuk mengobati pasien skizofrenia
h. Obat sedatif adalah obat-obatan yang memiliki efek
sedasi/menenangkan.
i. Kepribadian adalah ciri yang menonjol pada setiap individu yang
menggambarkan cara individu tersebut berinteraksi dengan objek
diluar dirinya
j. Genetik adalah sifat gen pada organisme maupun suborganisme yang
mengontrol sifat-sifat makhluk hidup tersebut.
k. Dukungan keluarga adalah tindakan penerimaan keluarga terhadap
anggota keluarganya, berupa dukungan informasional, dukungan
penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional
4.8.2 Kriteria Objektif
a. Skala Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) terdiri dari
terdiri dari 33 butir antara lain: 7 butir skala positif, 7 butir skala
negatif, 16 butir psikopatologi umum dan terdapat 3 butir tambahan
untuk menilai adanya risiko agresi. PANSS dinilai oleh klinisi yang
telah terlatih dan dinilai pada skala 1-7. Nilai 1 (tidak ada), 2
(minimal), 3 (ringan), 4 (sedang), 5 (agak berat), 6 (berat), 7 (sangat
berat) sehingga rentang skala positif dan negatif dari 7-49 dan rentang
skala psikopatologi umum dari 16 sampai 112.
b. Skala MoCA-Ina terdiri dari 30 poin yang diujikan dengan menilai
beberapa domain kognitif :
1) Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail making B (satu poin),
phonemic fluency test ( satu poin), dan two item verbal abtraction
( satu poin).
2) Visuospasial : dinilai dengan clock drawing tast (tiga poin) dan
menggambarkan kubus tiga dimensi (satu poin). Bahasa :
menyebutkan tiga nama binatang (singa, unta, badak ; tiga poin),
mengulang dua kalimat (dua poin), kelancaran berbahasa (satu
poin).
3) Delayed recall : menyebutkan lima kata (5 poin), menyebutkan

42
kembali setelah lima menit (5 menit)
4) Atensi : menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3
poin), digit fordward and backward (masing-masing 1 poin)
5) Abstraksi : menilai kesamaan suatu benda ( 2 poin)
6) Orientasi : menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan
kota (masing-masing 1 poin) Keseluruhan point kemudian
dijumlahkan dan diinterpretasikan : skor 26- 30 poin dianggap
fungsi kognitif normal, skor <26 terdapat gangguan kognitif.
4.9 ALUR PENELITIAN

Pasien Skizofrenia yang


memenuhi kriteria inklusi

Menyetujui Informed
Consent

Melakukan penilaian
PANSS dan MoCA-Ina

Kelompok Perlakuan : Kelompok Kontrol :


Risperidon + Terapi Vokasional Risperidon

Melakukan penilaian PANSS dan MoCA-


Ina pada minggu ke 2, ke 4 dan ke 6

Analisa Data

Hasil

Kesimpulan

43
REFERENSI

1. Chien, W. T., Leung, S. F., Yeung, F. K., & Wong, W. K. (2013). Current
approaches to treatments for schizophrenia spectrum disorders, part II:
psychosocial interventions and patient-focused perspectives in psychiatric
care. Neuropsychiatric Disease and Treatment, 1463. doi:10.2147/ndt.s49263
2. Patel, KR, Cherian, J., Gohil, K., & Atkinson, D. (2014). Schizophrenia:
overview and treatment options. P&T: a peer-reviewed journal for formulary
management, 39 (9), 638-645
3. Kementerian Kesehatan (Kemenkes), 2019, Avaliabel from:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/08/persebaran-prevalensi-
skizofreniapsikosis-di-indonesia
4. World Health Organization. (2017c).Mental health ATLAS 2017 state profile.
Geneva: World Health Organization.
https://www.who.int/mental_health/evidence/atlas/profiles2017/IDN.pdf?ua=1
5. Stępnicki, P., Kondej, M., & Kaczor, A. A. (2018). Current Concepts and
Treatments of Schizophrenia. Molecules (Basel, Switzerland), 23(8), 2087.
https://doi.org/10.3390/molecules23082087
6. Azmanova, M., Pitto-Barry, A., & Barry, N. P. E. (2018). Schizophrenia:
synthetic strategies and recent advances in drug design. MedChemComm,
9(5), 759– 782. doi:10.1039/c7md00448f
7. Kusumawardhani, A.A.A., Dharmono, S., Diatri, H. (2011). Konsensus
Skizofrenia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
(PDSKJI)
8. Kaplan HI, Saddock BJ, Greb JA. 2015. Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. 11th ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins.
9. Falkum, E., Klungsøyr, O., Lystad, J.U. et al. Vocational rehabilitation for
adults with psychotic disorders in a Scandinavian welfare society. BMC
Psychiatry 17, 24 (2017). https://doi.org/10.1186/s12888-016-1183-0
10. Dean, D., Pepper, J., Schmidt, R. and Stern, S. (2015), THE EFFECTS OF
VOCATIONAL REHABILITATION FOR PEOPLE WITH COGNITIVE

44
IMPAIRMENTS. International Economic Review, 56: 399-
426. https://doi.org/10.1111/iere.12109
11. Dean, David & Schmidt, Robert & Pepper, John & Stern, Steven. (2018). The
Effects of Vocational Rehabilitation for People with Physical Disabilities.
Journal of Human Capital. 12. 1-37. 10.1086/696098.
12. Stahl, Stephen M. 2013. Psychosis And Schizophrenia. Stahl’s Essential
Psychopharmacology. 4th Edition. p. 79-128.
13. Wong AHC, Van Tol HHM (2003). Schizophrenia: from phenomenology to
neurobiology. Neuroscience & Biobehavioral Reviews 27:269–306
14. Oliver D. Howes, Shitij Kapur, The Dopamine Hypothesis of Schizophrenia:
Version III—The Final Common Pathway, Schizophrenia Bulletin, Volume
35, Issue 3, May 2009, Pages 549–562, https://doi.org/10.1093/schbul/sbp006
15. Goff, D. C., & Coyle, J. T. (2001). The Emerging Role of Glutamate in the
Pathophysiology and Treatment of Schizophrenia. American Journal of
Psychiatry, 158(9), 1367–1377. doi:10.1176/appi.ajp.158.9.1367
16. Eggers, A. E. (2013). A serotonin hypothesis of schizophrenia. Medical
Hypotheses, 80(6), 791–794. doi:10.1016/j.mehy.2013.03.013
17. Abi‐Dargham, A. (2007). Alterations of Serotonin Transmission in
Schizophrenia. Integrating the Neurobiology of Schizophrenia, 133–164.
doi:10.1016/s0074- 7742(06)78005-9
18. Tso, I. F., Fang, Y., Phan, K. L., Welsh, R. C., & Taylor, S. F. (2015). Abnormal
GABAergic function and face processing in schizophrenia: A pharmacologic-
fMRI study. Schizophrenia Research, 168(1-2), 338–344.
19. Brunzell, D. H., & McIntosh, J. M. (2011). Alpha7 Nicotinic Acetylcholine
Receptors Modulate Motivation to Self-Administer Nicotine: Implications for
Smoking and Schizophrenia. Neuropsychopharmacology, 37(5), 1134–
1143. doi:10.1038/npp.2011.299
20. Wallace, T. L., & Bertrand, D. (2015). Neuronal α7 Nicotinic Receptors as a
Target for the Treatment of Schizophrenia. Nicotine Use in Mental Illness and
Neurological Disorders, 79–111. doi:10.1016/bs.irn.2015.08.003
21. Emiliani, F. E., Sedlak, T. W., & Sawa, A. (2014). Oxidative stress and

45
schizophrenia. Current Opinion in Psychiatry, 27(3), 185–
190. doi:10.1097/yco.0000000000000054
22. Kayser, M. S., & Dalmau, J. (2016). Anti-NMDA receptor encephalitis,
autoimmunity, and psychosis. Schizophrenia Research, 176(1), 36–40.
doi:10.1016/j.schres.2014.10.007
23. Rupani, Karishma & Desousa, Avinash. (2017). Psychodynamic Theories Of
Schizophrenia – Revisited. Indian Journal of Mental Health(IJMH).
DOI: 10.30877/IJMH.4.1.2017.6-15
24. Zanelli, J., Mollon, J., Sandin, S., Morgan, C., Dazzan, P., Pilecka, I., …
Reichenberg, A. (2019). Cognitive Change in Schizophrenia and Other
Psychoses in the Decade Following the First Episode. American Journal of
Psychiatry, appi.ajp.2019.1. doi:10.1176/appi.ajp.2019.18091088
25. Bowie, C. R., & Harvey, P. D. (2006). Cognitive deficits and functional
outcome in schizophrenia. Neuropsychiatric disease and treatment, 2(4), 531–
536. https://doi.org/10.2147/nedt.2006.2.4.531
26. APA, Schizophrenia, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
5th Ed.,Washington DC: American Psychiatric Association Publishing ; 2015
27. Kirkpatrick B., Tek C. Schizophrenia : Clinical Features and Psychopatology
in Kaplan & Sadock (ed) Comprehensive Textbook of Psychiatry. Eighth
Edition. New York : Lippincott William & Wilkins. 2005.
28. Di Carlo P, Punzi G, Ursini G. Brain-derived neurotrophic factor and
schizophrenia. Psychiatr Genet. 2019 Oct;29(5):200-210. doi:
10.1097/YPG.0000000000000237. PMID: 31465000; PMCID: PMC7386257
29. Bhandari, A., Voineskos, D., Daskalakis, Z. J., Rajji, T. K., & Blumberger, D.
M. (2016). A Review of Impaired Neuroplasticity in Schizophrenia
Investigated with Non-invasive Brain Stimulation. Frontiers in psychiatry, 7,
45. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2016.00045
30. Becker, DR 2008, ‘Vocational rehabilitation’, in Kim T. Mueser, Dilip V.
Jeste, Clinical handbook of schizophrenia, update edition, the guildford press,
New York, pp. 261-262.
31. Escorpizo R., Brage S., Homa D., Stucki G., 2015. Handbook of Vocational

46
Rehabilitation and Disability Evaluation. ISBN 978-3-319-08825-9 (eBook).
DOI 10.1007/978-3-319-08825-9. Springer Cham Heidelberg New York
Dordrecht London. p. 335-350.
32. Lexén A, Hofgren C, Stenmark R, Bejerholm U. Cognitive functioning and
employment among people with schizophrenia in vocational rehabilitation.
Work. 2016 Jun 16;54(3):735-44. doi: 10.3233/WOR-162318. PMID:
27315407.
33. Cook JA, Razzano L. Vocational rehabilitation for persons with schizophrenia:
recent research and implications for practice. Schizophr Bull. 2000;26(1):87-
103. doi: 10.1093/oxfordjournals.schbul.a033448. PMID: 10755671.
34. Lysaker PH, Davis LW, Bryson GJ, Bell MD. Effects of cognitive behavioral
therapy on work outcomes in vocational rehabilitation for participants with
schizophrenia spectrum disorders. Schizophr Res. 2009 Feb;107(2-3):186-91.
doi: 10.1016/j.schres.2008.10.018. Epub 2008 Nov 28. PMID: 19046856.
35. Opler, M., Yavorsky, C., & Daniel, D. G. (2017). Positive and Negative
Syndrome Scale (PANSS) Training: Challenges, Solutions, and Future
Directions. Innovations in clinical neuroscience, 14(11-12), 77–81.
36. Kusumawardhani, A, dkk., (1994). Pedoman Definisi PANSS. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
37. Husein, N.,Lumempouw, S., Ramli, Y., dkk. 2010. Uji Validitas Dan
Reliabilitas Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (Moca-Ina)
Untuk Skrining Gangguan Fungsi Kognitif. Departemen Neurologi FK
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Neurona Vol.
27

47
LAMPIRAN-LAMPIRAN

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN SETELAH


MENDAPAT PENJELASAN

Setelah membaca informasi penelitian dan menyadari pentingnya penelitian :

Pengaruh Terpai Vocasional Terhadap Perbaikan Gejala Klinis dan Fungsi Kognitif
Pasien Skizofrenia Yang Mendapat Terapi Risperidon

Maka saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Alamat :
Saya bersedia untuk melakukan pengisian kuesioner dengan data yang sebenar- benarnya
dan berpastisipasi dalam penelitian. Saya mengerti sepenuhnya data yang diambil tidak
akan mempengaruhi kondisi kesehatan saya dan hal ini semata – mata dilakukan untuk
kepentingan penelitian serta tidak akan disalahgunakan. Saya mengetahui bahwa saya
berhak untuk menolak ikut serta dalam penelitian ini.
Semua efek samping yang terjadi sehubungan dengan penelitian ini, biaya kompensasi
perawatannya akan ditanggung oleh peneliti.
Bila masih ada hal yang masih belum saya mengerti atau saya ingin mendapatkan
penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti. Demikian
persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran tanpa paksaan.

Nama Tanda Tangan Tgl/Bln/Thn

Klien ……………………. ………………… ………………


Saksi 1 ……………………. ………………… ………………

Saksi 2 ……………………. ………………… ………………

48
KUESIONER
THE POSITIVE AND NEGATIVE

Nama : …………… Tahun Tanggal :……………………...


Penilai :………………………... Umur :……………………..

SYNDROME ( PANSS )

Gejala Positif 1 2 3 4 5 6 7
P1. Waham
P2. Kekacauan proses pikir
P3. Halusinasi
P4. Gaduh gelisah
P5. Waham kebesaran
P6. Kecurigaan atau kejaran
P7. Permusuhan
Gejala Negatif 1 2 3 4 5 6 7
N1. Afek tumpul
N2. Penarikan emosi
N3. Kemiskinan rapport
N4. Penarikan diri
N5. Pemikiran abstrak
N6. Spontanitas dan arus percakapan
N7. Pemikiran streotipik
Psikopatologi Umum 1 2 3 4 5 6 7
G1. Kekhawatiran somatik
G2. Anxietas
G3. Rasa bersalah
G4. Ketegangan
G5. Manerisme dan sikap tubuh
G6. Depresi
G7. Retardasi motorik

49
G8. Ketidakkooperatipan
G9. Isi pikiran yang tidak biasa
G10. Disorientasi
G11. Perhatian buruk
G12. Kurangnya daya nilai dan
tilikan
G13. Gangguan dorongan kehendak
G14. Pengendalian impuls yg buruk
G15. Preokupasi
G16. Penghindaran sosial secara aktif

50
51

Anda mungkin juga menyukai