Anda di halaman 1dari 4

1) Bagaimana konsep integrasi antara ilmu pengetahuan, Teknologi dan seni?

Ilmu Pengetahuan

Islam sebagai landasan Ilmu Pengetahuan. Menurut konsep umum (Barat) ilmu (knowledge) adalah
pengetahuan manusia mengenai segala sesuatu yang dapat di indera oleh potensi manusia (penglihatan,
pendengaran, pengertian, perasaan, dan keyakinan) melalui akal atau proses berpikir (logika).
Pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematis merupakan formula yang disebut ilmu
pengetahuan (science). Dalam Alguran keduanya disebut "ilmu".

Teknologi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan sebagai kemampuan teknik yang
berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis. Teknologi adalah ilmu tentang
cara menerapkan sains untuk memanfaatkan bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Kalau
demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan manusia bukanlah teknologi, walaupun secara
umum alat-alat tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah dipergunakan manusia sejak
berabad yang lalu, namun abad tersebut belum dinamakan era teknologi. Menelusuri pandangan Al-
guran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian banyak ayat Al-guran yang berbicara
tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-guran yang berbicara tentang
alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan
memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulangulang Al-guran menyatakan bahwa alam raya
diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia

Seni

Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan
mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman
kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau
fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Di sisi lain, Al-guran memperkenalkan
agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, OS Al-Rum 30: 30. Adalah
merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati
dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukanlah islam adalah agama fitrah?
Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya.
Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian,
islam pasti mendukung kesenian selama penampilannya lahir dan mendukung fitrah manusia yang suci
itu, dan karena itu pula islam bertemu degan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan
oleh jiwa manusia di dalam islam.
2) Bagaimana pandangan Islam terhadap perkembangan teknologi?

Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Berbeda
dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan ipteknya untuk kepentingan materiel,
Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan iptek untuk menjadi sarana ibadah. Selain itu
iptek juga sebagai pengabdian muslim kepada Allah (spiritual) dan mengembangkan amanat
khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan
rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Suprodjo Pusposutardjo dalam tulisannya, Posisi Alquran terhadap Ilmu dan Teknologi, mengatakan
bahwa bagi umat Islam yang beriman kepada Alquran, belajar mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan atribut dari keimanannya. Secara jelas juga telah ditunjukkan bahwa orang-orang
berilmu akan memperoleh pahala yang tidak ternilai di hari akhir.

Belajar dan mengembangkan iptek merupakan bentuk keimanan seseorang dan menjadi daya
penggerak untuk menggali ilmu. Memandang betapa pentingnya mempelajari ilmu-ilmu lain (selain ilmu
syariat, yakni iptek) dalam perspektif Alquran, Mehdi Golshani dalam bukunya, The Holy Qur'an and The
Science Of Nature (2003), mengajukan beberapa alasan.

Pertama, jika pengetahuan dari suatu ilmu merupakan persyaratan pencapaian tujuan Islam
sebagaimana dipandang oleh syariat, mencarinya merupakan sebuah kewajiban karena ia merupakan
kondisi awal untuk memenuhi kewajiban syariat. Contohnya, kesehatan badan bagi seseorang dalam
satu masyarakat adalah penting. Oleh sebab itu, sebagian kaum muslim harus ada yang mempelajari
ilmu mengenai pengobatan.

Kedua, masyarakat yang dikehendaki Alquran adalah masyarakat yang agung dan mulia, bukan
masyarakat yang takluk dan bergantung pada nonmuslim (QS An-Nisa’: 141). Agar dapat merealisasikan
tujuan yang dibahas Alquran itu, masyarakat Islam benar-benar harus menemukan kemerdekaan
kultural, politik, dan ekonomi.

Pada gilirannya, hal itu membutuhkan pelatihan para spesialis spesifikasi tinggi di dalam segala lapangan
dan penciptaan fasilitas ilmiah dan teknik dalam masyarakat Islam. Sebab, pada abad modern,
kehidupan manusia tidak dapat dipecahkan kecuali dengan upaya pengembangan ilmiah dan kunci
sukses seluruh urusan bersandar pada ilmu.

Ketiga, Alquran menyuruh manusia mempelajari sistem dan skema penciptaan, keajaiban-keajaiban
alam, sebab-sebab, akibat-akibat seluruh benda, dan organisme hidup. Pendek kata, seluruh tanda
kekuasaan Tuhan di alam eksternal dan kedalaman batin jiwa manusia, seperti tersirat dalam Alquran,
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS Al-Baqarah:
164).

Keempat, alasan lain untuk mempelajari fenomena-fenomena alam dan skema penciptaan adalah
bahwa ilmu tentang hukum-hukum alam dan karakteristik benda serta organisme dapat berguna untuk
perbaikan kondisi manusia. Ini misalnya yang tersirat dalam Alquran, “Dan Dia menundukkan untukmu
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berpikir”. (QS Al-Jatsiyah: 13)

Di antara ayat-ayat Alquran yang menjadi landasan iptek, antara lain QS Ar-Rum: 22, QS Al-An’am: 97,
dan QS Yunus: 5. Ayat-ayat itu secara jelas menggambarkan fenomena alam yang selalu dihadapi dan
mengiringi perjalanan hidup umat manusia untuk dipahami, diteliti, sehingga lahirlah pengetahuan dan
teknologi. Oleh karena itu, seperti diisyaratkan dalam ayat-ayat di atas, yang mengetahui hakikat alam
ini hanyalah orang-orang yang mengetahui, yakni mereka yang intens bergerak untuk mencari dan
mencari karena kuriositasnya yang tinggi dengan memaksimalkan kerja pikiran.

Allah tidak menciptakan alam ini dengan sia-sia. Dia menciptakan alam ini mempunyai maksud dan
hikmah. Muhammad Imaduddin Abdulrahim dalam tulisannya, Sains dalam Perspektif Alquran,
mengatakan bahwa sunatullah sebagai ketetapan Allah terhadap alam ciptaan-Nya ini dimaksudkan
untuk kelestarian, keharmonisan, dan kesejahteraan manusia di dunia ini.

Tujuan itu tidak akan terealisasi tanpa pengungkapan terhadap alam. Oleh karena itu, usaha-usaha
manusia untuk mengungkapkan rahasia alam ini juga harus diselaraskan dengan tujuan penciptaan
sebenarnya. Jangan sampai sains itu digunakan untuk hal-hal yang merusak keharmonisan alam dan
menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia.

Nurcholish Madjid dalam tulisannya, Pandangan Dunia Alquran: Ajaran tentang Harapan kepada Allah
dan Seluruh Ciptaan, mengatakan bahwa alam raya ini diciptakan Allah dengan benar (haq) (QS Az-
Zumar: 5). Sebab, ia itu benar atau diciptakan dengan benar, alam ini mempunyai hakikat, yaitu
kenyataan yang benar. Kosmologi haqqiyah mengandung dalam dirinya pandangan bahwa alam adalah
tertib atau harmonis, indah, dan bermakna.

Dengan kata lain, kosmologi haqqiyah membimbing kita kepada sikap berpengharapan atau optimistis
kepada alam ciptaan Allah itu. Dan sikap itu sendiri merupakan kelanjutan atau konsekuensi sikap
serupa kepada Allah. Dengan pandangan seperti itu, berbagai macam pengembangan pengetahuan
terhadap realitas alam raya ini juga menjadi hal yang mesti dan bahkan diharuskan.

Menengok sejarah peradaban Islam zaman dulu, kita akan menemukan para ilmuwan muslim yang
mengembangkan iptek. Tokoh-tokoh semisal Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780—850,
matematikawan), Abu Ar-Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973—1048, fisikawan), Jabir bin
Hayyan al-Kufi as-Sufi (781—815, kimiawan), ad-Dinawari (w. 895, biolog), dan Muhammad al-Fazari (w.
777, astronom), merupakan beberapa di antara ilmuwan Islam yang sangat genius saat itu.Mereka
membaca Alquran, mencipta karya, teori, dan penemuan baru yang luar biasa. Jadi, Islam tidak anti-
iptek, tetapi mendorong pengembangannya.

3) Coba Anda jelaskan pengertian berpikir ilmiah!

Berpikir ilmiah dinyatakan dalam beberapa ayat antara lain hidup manusia bukan hanya menatap masa
kini, melainkan masa depan. Berpikir yang hanya terfokus pada masa kini tanpa mempertimbangkan
masa depan merupakan ciri khas orang-orang kafir. Salah satu di antara pertimbangan yang diajukan
dalam Alguran tentang waktu sekaligus tempat, bahwa karakteristik ayat-ayat Alguran penekanannya
dibedakan antara periode Makkiyah (ayat-ayat Alguran yang diturunkan ketika nabi di Makkah) maupun
Madaniyah (ayat-ayat Alguran yang diturunkan ketika nabi di Madinah). Pertimbangan lain berkaitan
dengan kemampuan yang dinyatakan dalam surat Al-Bagarah (2):286, bahwa Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai dengan tingkat kemampuannya. Tentang prinsip manfaat dikemukakan dalam
banyak ayat antara lain. OS. Al-Israa” (17): 26-27.

Yang Artinya: Dan berilah kepada kerabat-kerabat akan haknya, (juga kepada) Orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan, dan janganlah engkau boros (26). Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah
saudara-saudara setan, dan adalah setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (27).

4) Kendala berpikir ilmiah di Indonesia pada masa kini, yaitu masih Kokohnya keyakinan yang
menentukan sikap keagamaan secara tradisional.

Bagaimana strategi untuk mengantisipasi kendala tersebut, jelaskan?

Berfikir ilmiah pada dasarnya pengambilan kesan didukung dengan kaidah –kaidah berfikir umum, dan
hasilnya dapat diterima dengan akal. Dalam kaitannya dengan karakteristik berpikir ilmiah, yang rasional
akan berbenturan dengan doktrin teologis tradisional jabariah (fatalisme), yaitu paham yang
berkeyakinan bahwa apapun serba mungkin, jika Tuhan menghendaki. Faham seperti ini yang banyak
terdapat di Indonesia yang mengedepankan sikap keagamaan secara tradisional. Dalam tinjauan Islam,
jika konsekuen dengan Al Qur’an semestinya keyakinan tersebut tidak akan muncul dan jika ada harus
segera di kubur, karena bertentangan dengan prinsip berfikir secara ilmiah. Tidak ada strategi khusus
untuk mengantisipasi kendala tersebut, hanya saja sebagai umat muslim selalunya kita dianjurkan
menggunakan akal kita untuk berfikir secara logis yang sebagaimana merupakan tuntunan dari Allah.

SUMBER : MKDU4221

Itu saja yang dapat saya sampaikan dalam diskusi 6 ini, apabila ada kekurangan/kesalahan mohon
bimbingannya.

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai