Anda di halaman 1dari 13

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PENGGUNA JASA SEKS

KOMERSIAL (PSK) DALAM PERPEKTIF KUHP

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)


Mata Kuliah Teknik Penulisan Karya Ilmiah

Disusun Oleh:

Nama : Belinda Azalia

NPM/Kelas : 171000243/G

Dosen Mata Kuliah Teknik Penulisan Karya Ilmiah

Mohammad Alvi Pratama, S.FIL.,M.PHIL,

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN

2020
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PENGGUNA
JASA SEKS KOMERSIAL (PSK) DALAM PREFEKTIF KUHP
Belinda Azalia
Fakultas Hukum Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung 40261, Telp: 022-
4262226, Fax: 022-4217343.
Email: ibelazalia6@gmail.com

Abstrak

Indonesia sebagai negara hukum memiliki kode hukum pidana (KUHP) yang menjadi penyebab hukuman. KUHP saat
ini adalah warisan colonial dengan banyak artikel yang tidak lagi relevan, terutama tidak adanya pasal yang
mengatur pertanggungjawaban pidana untuk layanan seks komersial (PSK) atau prosrtitusi. Tujuan dari makalah ini
adalah untuk menentukan pertanggungjawaban pidana bagi penyewa layanan seks komersial dari perspektif KUHP.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normative dengan Teknik pengumpulan bahan dengan
studi literatur. Kesimpulan dan saran dari artikel ini, yaitu pasal 296 KUHP dan pasal 506 yang saat ini tidak dapat
mengakomodasi keyakinan penyewa layanan seks komersial, hanya dapat menjerat mucikari. Jadi pelaku tidak
dapat dituntut dengan hukuman pidana. Kekosongan hukum sekarang menjadi celah bagi pelaku yang melalkukan
tindakan mereka yang tidak sesuai denga norma yang hidup di masyarakat Indonesia. Untuk alas an ini, Lembaga
pemrintah yang kompenen harus merumuskan pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur hukuman penyewa layanan
seks komersial atau dengan membuat aturan khusus diluar KUHP yang dapat menjerat semua pelaku yang terlibat
dalam prostitusi.

Kata kunci : tanggungjawab pidana. Penyewa layanan, pelacuran

Abstract (12pt Bold)


Indonesia as a country of law has a criminal law code (KUHP) which becomes the culprit for punishment. The current
penal code is a colonial legacy with many articles that are no longer relevant, especially the absence of articles that
regulate criminal liability for commercial sex services (PSK) or prostitution. The perpose of this paper is to determine
criminal liability for commercial sex services tenants from the perspective of the criminal code. The method
used in this paper is normative juridical with material collection techniques with literature study. The
conclusions and suggestions of this article, namely the criminal code article 296 and article 506 which
currently cannot accommodate the conviction of commercial sex service tenants, can only ensnare
pimps. So the perpetratos cannot be charged with criminal panalties. The legal vacuum is now a gap
for perpetrators to carry out their actions that are not in accordance with the norms that live in Indonesian
society. For this reason, the competent government agencies should formulate articles in the criminal
code that regulates the punishment of commercial sex service tenants or by making special rules outside
the criminal code that can ensnare all actors involved in prostitution.

Keyword: criminal responsibility, service tenants, prostitution


I. PENDAHULUAN

Keberadaan tempat prostitusi di Indonesia setiap hari bertambah pesat. Hal ini sering terjadi

banyaknya permintaan akan jasa pemuas bagi si pengguna jasa prostitusi. Pengguna jasa prostitusi

dapat dikatakan sebagai orang atau sekelompok orang yang bebas. Tinjauan menurut prespektif

KUHP menjabarkan prostitusi kea rah yang belum lengkap, artinya bahwa dalam KUHP hanya

mengatur ketentuan si pemberi sarananya saja. Prostitusi secara umum adalah praktik hubungan

seksual pemuas nafsu sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa

uang ataupun barang. Adanya tiga unsur dalam praktik pelacuran yaitu: pembayaran, promiskuitas

dan ketidak acuhan emosional (Bagong Suyanto 2010;159).

Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat komplek karena menyangkut berbagai aspek

kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi menyangkut aspek social, gender, hukum, kesehatan,

moral dan etika, agama, Pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik

(Syafruddin, 2007). Permasalahan yang diakibatkan oleh prostitusi, antara lain (Soedjono

D,1997;109):

1. Ditinjau dari segi Pendidikan, prostitusi berarti demoralisasi

2. Ditinjau dari segi social, prostitusi dianggap kanker masyarakat

3. Ditinjau dari sudut agama, prostitusi adalah haram

4. Ditinjau dari sudut kesehatan, prostitusi membahayakan keturunan.

Dari keempat hal tersebut dapat dilihat bagaimana prostitusi dapat dikaitkan sebagai perbuatan

yang sewajarnya dijauhi oleh masyarakat. Dua hal yang pertama mengatakan bahwa prostitusi itu

merupakan bentuk demoralisasi dan kanker masyarakat. Hal tersebut menunjukan bagaimana

tercelanya perbuatan prostitusi itu dimata masyarakat.


Kemudian hal yang ketiga adalah mengenai pandangan prostitusi dari sudut agama, khususnya islam

sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa prostitusi itu

sangat dekat dengan tindakan persetubuhan diluar nikah, yang mana dalam pandangan islam

tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai zinah.

Pemerintah Indonesia tidak tegas dalam melarang adanya praktek-praktek pekerja seks komesial.

Perbuatan tidak ketegasan oleh pemerintah ini bias dilihat pada kitab undang-undang hukum pidana.

Pasal yang tertera pada kitab undang-undang hukum pidana hanya mengatur tentang mereka yang

membantu serta penyediaan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya bagi mucikari saja,

namun tidak untuk pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK) karena tidak ada satu pasal pun

dalam KUHP yang mengatur tentang pengguna jasa PSK tersebut, sehingga sangat diperlukan

sebuah penelitian untuk mengkaji peraturan tentang pemakai jasa seks komersial secra online.

Diperlukan adanya ketegasan hukum dalam hal prostitusi, disebabkan karena banyaknya korban dari

kasus protistusi dari usia dibawah umur ataupun dengan umur yang cukup dengan alasan adanya

ancaman, keterpaksaan dan lain sebagainya.

Ditinjau dari segi hukum sendiri, prostitusi dipandang sebagai perbuatan yang bias dikatakan

bertentangan dengan kaidah hukum pidana (Soedjono D; 7). Tindak pidana yang terkait dengan

prostitusi termuat dalam pasal 269 KUHP yang mengancam dengan hukuman penjara kepada siapa

saja yang pekerjaanya atau kebiasaanya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan

cabul oleh orang lain dengan orang ketiga (Soedjono D; 60). Kemudian pasal 506 KUHP yang

mengatur pidana terhadap mucikari yang mengambil keuntungan dengan tindakan prostitusi

(Soedjono D; 110).
Prostitusi juga dianggap terkait dengan ketentuan pasal 281 KUHP tentang tindakan merusak

kesopanan. Kesopanan dalam pasal ini diartikan sebagai kesusilaan, perasaan malu yang

berhubungan dengan nafsu seksual misalnya bersetubuh, meraba-raba kemaluan wanita atau pria,

dan lain-lain. Kemudian ditentukan juga bahwa perbuatan merusak kesopanan haruslah memenuhi

dua hal, yaitu (Soedjono D; 205) :

1. Perbuatan merusak kesopanan yang dilakukan ditempat umum, artinya perbuatan itu sengaja

dilakukan ditempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya dipinggir jalan,

Gedung bioskop, dan lain-lain.

2. Perbuatan merusak kesopanan sengaja dilakukan dimuka orang lain yang hadir tidak dengan

kemauanya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum, asal orang ini tidak menghendaki

perbuatan itu.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis ingin meneliti tentang “ pertanggungjawaban

pidana bagi pengguna jasa pekerjaan seks komersial (PSK) dalam perspektif hukum “. Maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana tinjauan umum tentang tindak pidana prostitusi ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK) ?
II. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian ini Ditinjau dari jenisnya penelitian terhadap pengertian pokok hukum dengan

melihat pada sebuah peristiwa hukum yaitu kegiatan prostitusi, dan bagaimana peristiwa itu terkait

dengan aturan hukum tertulis yang berlaku. Penelitian ini menggunakan pengolahan data secara

kualitatif. Dengan demikian ditinjau dari sifat penelitianya, maka penelitian ini bersifat deskriptif

analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang tepat tentang suatu aktivitas prostitusi.

Untuk kemudian menganalisa hal tersebut dalam pandangan hukum pidana.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data

sekunder dilakukan dengan studi dokumen dan pengumpulan data primer dilakukan dengan

wawancara dan pengamatan langsung tidak terlibat. Studi dokumen dilakukan dengan penelususran

berbagai bahan hukum primer (KUHP), bahan hukum sekunder (buku-buku tentang aturan-aturan

mengenai prostitusi) dan bahan hukum dari internet.

III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

1. Tinjauan umum tentang tindak pidana prostitusi

Pertanggungjawaban pidana itu sendiri dimaksudkan guna menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa tindak pidana dipertanggungjawabkan atas tindak pinda yang dilakukannya

atau tidak. Bahwa seseorang itu dapat dipidana atau tidak bukanlah bergantung kepada perbuatan,

melainkan apakah pada dirinya melekat unsur kesalahan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa

seseorang tidak mungkin dijatuhi hukuman pidana kalua tidak melakukan tindak pidana. Tetapi

meskipun ia melakukan tindak pidana, tidaklah selalu ia dapat dipidana. Kerena dasar dari pada

adanya si pembuat tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari pada dipidannya si

pembuat tindak pidana adalah asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Roeslan Saleh;76).
Kesalahan itu sendiri pada dasarnya hanyalah suatu hal yang melekat pada diri seseorang jika ia

melakukan suatu tindakan yang dicela oleh masyarakat, dan ia sepantasnya dapat melakukan

perbuatan lain jika memang ia tidak ingin berbuat demikian . Telah dijelaskan juga bahwa unsur-unsur

dalam kesalahan itu antara lain (Sianturi;162) :

a. Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings-Vatbaarheid)

b. Hubungan kejiwaan (Psichologische betrekking) antara pelaku, tindakannya dan akibat yang

ditumbulkan ( termasuk pula tindakan yang tidak bertenteangan dengan hukum dalam

kehidupannya sehari-hari)

Selain itu juga disyaratkan adanya beberapa hal untuk dapat mengatakan bahwa seseorang mampu

untuk bertanggungjawab yaitu :

a. Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan, misalnya bisu, idiot, dan sebagainya

3. Tidak terganggu kerena terkejut, hipnotis, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar,

mengigau, dan lain sebagainya. Dengan kata lain dalam keadaan tidak sadar.

b. Kemampuan jiwanya :

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakanya

2. Dapat menentukan kehendak atas tindakanya

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya tersebut.

Dengan kata lain kemampuan bertanggungjawab seseorang sebenarnya lebih didasarkan kepada

keadaan dan kemampuan jiwanya, yang kemudian mempengaruhi kepada dua factor sebelumnya,

yaitu akal dan kehendak.


Dalam konteks aturan hukum, tentang prostitusi telah diatur oleh hukum pidana yaitu dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 259 KUHP dan Pasal 506 KUHP. Keberadaan Pasal

295 dan 506 belum dapat mengakomodir penjatuhan pidana terhdap si pengguna bila dilihat dari

unsur-unsur pasal tersebut, yaitu terdapat unsur obyektif mengenai perbuatanya yang menyebabkan

dilakukannya perbuatan prostitusi dan mempermudah terjadinya perbuatan prostitusi. Kemudian

terdapat unsur obyek yaitu orang lain dengan orang lain, yang dijadikannya sebagai pencaharian dan

sebagai kebiasaan, lalu terakhir ialah unsur subyektif yaitu perbuatan melakukan tindakan tersebut

dilakukan dengan cara sengaja (Adami Chazawi 2007;113). Aturan pidana terkait si pengguna jasa

prostitusi hanya terdapat pada beberapa daerah di Indonesia yaitu terdapat pada Perda DKI Jakarta

No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pada Pasal 42 ayat (2). Kemudian hanya terdapat di

dalam Pasal 2 ayat (2) Perda Kota Tanggerang No. Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Pemikiran yang timbul ialah bahwa prostitusi tumbuh dan berkembang karena ada pengguna atau

pembeli jasa prostitusi. Dilihat dari penjabaran tersebut, KUHP belum memiliki aturan yang jelas

mengenai pidana terhadap si pengguna jasa prostitusi, oleh karena itu dibutuhkan kajian yang

mendalam untuk bias menjatuhkan pidana kepada si pengguna tersebut.

2. Pertanggungjawaban bagi pengguna jasa pekerja seks komersial

Dalam suatu perbuatan tindak pidana, tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana jika dalam

undang-undang tidak dilarang oleh hukum pidana (Lamintang;193). Bahwa dalam hal ini kita berbicara

asas legalitas dalam hukum pidana yang mana semua pemidanaan harus ada dasar yang jelas yaitu

telah ada peraturan yang telah mengatur, sedangkan dalam pembahasan diatas memang sudah jelas

pengguna atau penyewa jasa protitusi belum bias digolongkan sebagai tindak pidana.
Dalam konteks ini perbuatan pengguna jasa pekerja seks komersial juga masuk kedalam hal yang

dicemoohkan oleh masyarakat, meskipun banyak orang mengerti bahwa perbuatan seperti

pelacuran, baik penyewa, penyedia, maupun pekerja seks komersial adalah suatu tindakan yang

tercela akan tetapi masyarakat tidak bias berbuat banyak akan permasalahan ini dikarenakan belum

ada aturan positif di Indonesia yang berlaku skalanya secara nasional. Ternyata demikian, bahwa

seorang dapat dikatakan mempunyai suatu kesalahan, jika ia pada waktu melakukan suatu perbuatan

pidana, dilihat dari sudut pandang masyarakat dapat dicela kerenanya, yaitu muncul sebuah

pertanyaan kenapa melakukan yang jelas merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui

makna yang jelek dari perbuatan tersebut, kesimpulanya perbuatan tersebut dengan sengaja

dilakukanya dan dengan sadar akan dapat celaan dai masyarakat.

Dilihat dari wujud dan sifatnya perbuatan-perbuatan pidana, adalah hal yang bertentangan dengan

tata hukum atau ketertiban, merugikan masyarakat, sehingga patut diberikan sanksi, hukum pidana

disini tentu berbeda dari sanksi hukum lain, berupa tindakan adalah tujuan akhirnya dari perbuatan-

perbuatan pembuat atau pelaku (Henny Nuraeny 2011;75). Tata hukum dan ketertiban adalah salah

satu tujuan hukum dibentuk sehingga terjadinya keselarasan antar masyarakat sehingga perbuatan-

perbuatan yang notabenya merugikan masyarakat harus segera bias ditindak lanjuti seperti adanya

hukum pidana, sehingga memberikan efek jera terutama para pelaku yang terlibat dalam prostitusi.

Sedangkan dalam undang-undang pornografi no 44 tahun 2008 yang mengatur tentang prostitusi

terdapat dalam pasal 4 mengatur setiap orang yang berupaya supaya adanya layanan seksual yang

mana dalam pasal tersebut hanya dapat menjerat para mucikari dan penyewa atau pengguna

prostitusi masih belum bisa dijerat dengan adanya undang-undang ini.


IV. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari pengertian prostitusi dapat dilihat bahwa pihak-pihak yang merupakan pelaku dari prostitusi

yaitu PSK dan pelanggan. Dalam kenyataannya, PSK dan pelanggan ini tidak selalu dapat

berinteraksi secara langsung tanpa adanya keterlibatan pihak-pihak lain. Dapat dikatakan bahwa

pihak-pihak lain ini bukan menjadi pihak utama dari prostitusi. Mereka hanyalah pihak pendukung

dalam terjadinya suatu aktivitas prostitusi yang keberadaanya sangat mempengaruhi kelancaran

dari suatu aktivitas prostitusi.

Pertanggungjawaban pidana bagi jasa seks komersial di Indonesia masih belum ada aturanya yang

dapat menjerat ke ranah hukum sehingga para jasa penyewa masih bebas malkukan aksinya.

Tindakan yang nyata dari pemerintah atau Lembaga negara untuk menghadirkan hukum perlu

disegerakan kerena hal ini menyangkut moral bangsa Indonesia, mempertanggungjawabkan

hukum tentu harus ada terlebihdahulu aturan yang mengatur sehingga asas legalitas yang dianut

oleh konstitusi kita akan terwujud dengan cara merevisi sebagian kitab undnag-undang hukum

pidana yang sekarang berlaku, khususnya tentang prostitusi sehingga semua pihak yang terlibat

didalamnya, dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya atau dengan membuat aturan baru

diluar KUHP khusus prostitusi atau dengan memasukan pasal-pasal terkait prostitusi kedalam

kitab undang-undang hukum pidana yang sekarang masih dibahas oleh Lembaga negara.
B. Saran

1. Seharusnya pengguna jasa dalam tindak pidana prostitusi juga diatur dalam hukum positif

yang ada diindonesia, untuk mengatur seluruh subyek yang berhubungan dengan tindak

pidana prostitusi online merevisi atau membentuk undang-undang baru mengenai prostitusi

2. Hukum itu sendiri sudah seharusnya menjadi sarana dalam menjaga ketertiban, keamanan,

dan kenyamanan masyarakat. Jadi jika prostitusi itu telah menjadi suatu perbuatan yang

meresahkan, merusak ketertiban masyarakat, sudah sebaiknya dicari solusi yang tepat untuk

menanganinya, salah satunya adalah melalu jalur hukum, khususnya hukum pidana dengan

mamasukan prostitusi kedalam terminology hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Syafrudin, Prostitusi sebagai penyakit social dan problematika penegakan hukum, 1 oktober 2007

Soedjono D, Pelacuran ditinjau dari segi hukum dan kenyataan dalam masyarakat (Bandung: Karya
Nusantara,1997) hal. 109

R.Soesilo, op.cit, hal 327

Adami Chazawi , (b), op.cit., hal.119

Roeslan Saleh, op.cit., hal. 76

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 162

Henny Nuraeny.2011. tindak pidana perdagangan orang kebijakan hukum pidana dan pencegahanya.
Jakarta. Sinar Grafika

Peraturan per-undang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pada Pasal 42 ayat (2)

Perda Kota Tanggerang No. Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

undang-undang pornografi no 44 tahun 2008 yang mengatur tentang prostitusi

Journal article on website

Khumaini, Afdhol (2020) Analisis Yuridis Pertanggungjawaban pidana bagi pengguna jasa seks
komersial (PSK) dalam perspektif KUHP. Undergraduete (S1) thesis, University of
Muhammadiyah Malang., http://eprints.umm.ac.id/59637/

Website

S.J., Hary Susanto. ǁWisata Seks:Tinjauan Moral”, Center for Tourism Studies Gadjah Mada
University, 2003. <http://www.pusparugm.org/Pdln2003/ FullText/hary.htm>, diakses tangggal 1
November 2007
Syafruddin. ǁProstitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum”,
<http://library.usu.ac.id/modules.php?op= modload&name=Downloads&file =index&req=get
it&lid=196>, diakses tangggal 1 Oktober 2007.

Anda mungkin juga menyukai