Anda di halaman 1dari 16

Bunga , Riba dan Denda untuk Nasabah Pengemplang

Dhidhin Noer Ady Rahmanto1


1420311058

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kita bisa saja menemukan tindakan-tindakan


yang masuk dalam kategori praktek riba. Bahkan terkadang tanpa disadari pelakunya
bahwa hal yang dilakukan tersebut masuk dalam kategori praktek riba, karena
memang riba banyak jenisnya dan tidak semua orang mampu memahami secara
benar dan menyeluruh tentang riba.
Agama Islam mempunyai aturan atau ajaran mengenai berbagai hal, tidak
terkecuali tentang riba. Dalam makalah ini, penyusun mecoba menjelaskan hal-hal
yang berkaitan dengan riba. Mulai dari pengertian riba, dasar hukum pelarangan
riba, macam-macam riba, fatwa-fatwa tentang riba, dan dampak dari praktek riba.
Semoga penjelasan dalam makalah ini mampu memberikan pemahaman yang
cukup mengenai riba. bunga dan denda Tentunya, dalam penyusunan makalah ini
banyak terdapat kekurangan. Kami menerima dengan terbuka kritik yang
membangun demi meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan riba.

B. Pengertian Riba, Bunga, Denda.

Riba menurut pengertian bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang


(an-numuw), meningkat (al-irtifa), dan membesar (al-‘uluw). Dengan kata lain, riba
adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pokok
pinjaman sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian
modalnya selama periode tertentu.2
Menurut ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya, Ahkam Al-Quran,
Menjelaskan:
“pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam
al-qur’an yaitu setiap tambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti
atau penyeimbng yang dibenarkan syariah.”
Pengertian riba menurut jumhur ulama sepanjang masa:
1. Badr ad-din al-ayni, pengarang umdatul qari syarah shahih al-bhukori
“prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis rill”.
2. Imam Sarakhsi dari mahzab hanafi
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh(atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut “
1
Mahasiswa pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga.
2
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. 2008. Yogyakarta: EKONISIA. Halaman 10
3. Ja’far ash-shadiq dari kalangan syiah
“kenapa Allah mengharamkan riba? Supaya orang tideak berhenti berbuat
kebajikan. Hal ini karena jika diperkenankan mengambil bunga atas
pinjaman,seseorang tak berbuat makruf lagi atas transaksi pinjam meminjam dan
sejenisnya, padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan
kebajikan antar manusia3”

Macam Riba4

Menurut para ulama, riba ada empat macam yaitu:


1. Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama)
dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan
satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan
seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW

‫ب اِالَّ ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل َوالَ تُ ِشفُّوْ ا‬


ِ َ‫ الَ تَبِ ْيعُوْ اال َّذه‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ِ‫ي اَ َّن َرسُوْ َل هللا‬ ِّ ‫ع َْن آبِى َس ِع ْي ٍد ن ْال ُج ْد ِر‬
ِ ‫ْض َوالَتَبِعُوْ ا ِم ْنهَاغَائِبًابِن‬
‫َاج ٍز‬ ٍ ‫ْضهَا َعلَى بَع‬ َ ‫ق اِالَّ ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل َوالَ تُ ِشقُوْ ابَع‬ ِ ‫ق بِ ْال َو ِر‬ ْ ‫ْض َوالَتَبِع‬
َ ‫ُواال َو ِر‬ ٍ ‫ضهَا َعلَى بَع‬ َ ‫بَ ْع‬
)‫( متفق عليه‬
Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda,
“Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan
janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang
kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu
tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata
(riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba
nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata
2. Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau
pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam
atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu
juta Tiga ratus ribu rupiah)Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat
dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:

)‫ض َج َّر َم ْنفَ َعةً فَهُ َو ِربًا (رواه البيهقى‬


ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬
Artinya
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
3. Riba Jahiliyah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi
dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan)
pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B
3
Antonio, Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek.2008. Jakarta: Tazkia Cendekia. Halaman 38 dan 40.
4
Rivai Veithzal, Prof. Dr. H. SE, MM, MBA; Arifin A. Islamic Banking.2010. Jakarta:Bumi Aksara. Halaman 323.
dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A
belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi
tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B
menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda
dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan
bahwa:
ْ €ِ‫وا ِن ب‬€
‫ة‬€€‫ ْيئَةً (رواه الخمس‬€ ‫ال َحيَ َوا ِن ن َِس‬€ ِ €‫لَّ َم نَهى ع َْن بَ ْي‬€ ‫ ِه َو َس‬€ ‫لَّىاهللُ َعلَ ْي‬€ ‫ص‬
َ €َ‫ع الَ َحي‬€ ٍ ‫ ُد‬€ ‫ َم َر ِة ْب ِن ُج ْن‬€ ‫ع َْن َس‬
َّ ِ‫ب اَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
)‫وصححه الترمدى وابن الجاروه‬
Artinya:
Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang
jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima
dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
4. Riba Nasi’ah , ialah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.riba ini muncul
karna ada perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dan diserahkan kemudian.

Bunga

Bunga (interest)/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam


transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman
tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/ hasil pokok tersebut, berdasarkantempo
waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Bunga
dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah imbalan jasa untuk penggunaan
uang atau modal yang dibayar pada waktu tertentu berdasarkan ketentuan atau
kesepakatan, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari modal pokok5

Sri Edi Swasono, seorang pakar muslim dalam disipilin ilmu ekonomi,
berpendapat, bahwa bunga adalah harga uang dalam transaksi jual beli di Bank.6

Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah :

a) Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk
diinvestasikan.
b) Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka
mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu
perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor
industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan
meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah
dibandingkan sektor lain.
5
.(Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 176).
6
(Sri Edi Swasono, Bank dan Suku Bunga, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988 ), h. 28)
c) Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang
beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu
perekonomian

Denda

Pengertian denda menurut Bahasa Kamus Indonesia Lengkap disebutkan


bahwa denda adalah hukuman yang berupa materi atau benda dikenakan dan
harus dibayarkan oleh pelanggarnya.7 Sedangkan menurut Sudarsono dalam
bukunya yang berjudul pokok-pokok hukum Islam menjelaskan bahwa denda
(diyat) adalah mengeluarkan harta baik berupa barang maupun uang yang
diwajibkan sebab membunuh ataupun melukai orang lain.8

Dalam kamus bahasa Arab, kata “ta’zîr” adalah bentuk masdar dari kata
kerja “’azzara” yang artinya menolak,9 yaitu kata ‘azzara (‫ َّز َر‬€َ‫ )ع‬adalah fi‘l
mâdhi yang terambil dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf, yaitu, ’ain – zai –
dan ra’ yang menunjukkan arti ar-raddu wa al-man‘u (ُ‫ =ال َّر ُّد َو ْال َم ْنع‬menolak atau
ِ ‫)تَع‬, yaitu hukuman yang tidak
mencegah). Dari situ lahir istilah ta’zîr (‫ْزيْر‬
termasuk hadd (‫)ح ّد‬
َ karena tujuannya mencegah pelaku kejahatan tersebut agar
tidak mengulangi kejahatan yang telah dilakukannya. Sedangkan menurut
istilah hukum syara’ berarti pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana
yang tidak mempunyai hukum had, kafarat dan qishas.10

C. Dasar Hukum Tentang Riba, Bunga, Denda

Bunga Dan Riba Dalam Islam

a. Al-Quran
Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy dalam Tafsir Al-Maraghiy,
Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst. Tahap-tahap
pembicaraan tentang riba seperti tahapan pembicaraan tentang khamr. pada
tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-
Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa':
161-162). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan
keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir,
diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 275-276, 278-
279).
1) Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang mendekati
atau taqarrub kepada Alah SWT.
7
Daryanto, Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), hal. 23
8
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Cet.I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 535.
9
Amhad Warson Munawwir, Almunawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 925
10
Muhammad Abdul Mujib, dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 384
Firman ALLAH SWT:
            
          
39. dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada
harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya) [QS: Ar-Ruum;39].

2) Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang
memakan riba.
Firman ALLAH SWT :
         
     
161. dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih. [QS: AN-Nisa;161].

3) Tahap ketiga, Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktekkan pada masa tersebut.
Firman ALLAH SWT :
         
   
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan[QS: Ali-Imran;130].

4) Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun
jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, ini adalahj ayat terakhir yang
diturunkan menyangkut riba
Firman Allah SWT:
         
           
          
           
     
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya[QS: Al-
Baqarah,275].
            
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak
menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[QS:
Al-Baqarah,276]

           
           
        
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya[QS: Al-Baqarah,278-279.]

b. Hadits
Pelarangan riba tak hanya sebatas dalam Al-qur’an melainkan juga al-
hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Qur’an .
1) Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 dzulhijjah tahun 10 hijriyah
,Rosullulah SAW masih menekankan sikapnya dalam melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhan mu dan dia pasti menghitung
amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena
itu,utang akibat riba harus dihapuskan. Modal(uang pokok) kamu adalah
hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.
2) ‫ َوإِ َّن أَرْ بَى الرِّ بَا َعرْ ضُ ال َّر ُج ِل ْال ُم ْسلِ َم‬,ُ‫ٌَ َو َس ْبعُوْ نَ بَابًا أَ ْي َس ُرهَا ِم ْث ُل أَ ْن يَ ْن ِك َح ال َّر ُج ُل أُ َّمه‬€£‫الربَا ثَالثََة‬
ِ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang
laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah
mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
3) ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل الرِّبا َ َو ُموْ ِكلَهُ َو َكاتِبَه‬ َ ِ‫لَ َعنَ َرسُوْ ُل هللا‬
‫ هُ ْم َس َوا ٌء‬:‫ َوقَا َل‬,‫َو َشا ِه َد ْي ِه‬
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba,
penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda; Mereka semua sama”.
(HR Muslim)11
4) Dari Jubair ra, Rasulullah saw mencela penerima dan pembayar riba, orang
yang mencatat begitu pula yang menyaksikan. Beliau bersabda, “Mereka
11
Antonio, Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek.2008. Jakarta: Tazkia Cendekia. Halaman 51 dan 54
semua sama-sama berada dalam dosa”. (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad)
5) Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasululla saw bersabda, “Jangan melebih-
lebihkan satu dengan yang lainnya; janganlah menjual perak untuk perak
kecuali keduanya setara; dan jangan melebih-lebihkan satu dengan yang
lainnya; dan jangan kamu menjual sesuatu yang tidak tampak. (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
6) Emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam dengan ukuran yang
sebanding secara tunai. APabila kelompok ini berbeda-beda (ukurannya)
maka juallah sesuka kalian, apabila tunai (HR. Imam Muslim dari Ubaidah
bin Shamit)12

12
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. 2008. Yogyakarta: EKONISIA. Halaman 12-13
D. Fatwa-Fatwa Riba
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah13
Fatwa Majelis Tarjih dan Tadjid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 08
Tahun 2006 tentang Bunga Bank.

13
tarjih.muhammadiyah.or.id/download-fatwa-215.html
2. Majelis Ulama Indonesia (MUI)14
Fatwa MUI No.1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah)
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA
(INTEREST / FA'IDAH)
Pertama : Pengertian Bunga (interest) dan Riba.
 Bunga (interest/fa'idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo
waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
 Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah
yang disebut riba nasi'ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
 Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi
pada jaman Rasulullah , yakni riba nasi'ah. Dengan demikian, praktek
pembungaan ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
 Praktek penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh
bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan
lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional.
 Untuk wilayah yang sudah ada kantor / jaringan lembaga keuangan syari'ah
dan mudah dijangkau, tidak dipbolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga.
 Untuk wilayah yang belum ada kantor / jaringan lembaga keuangan syari'ah,
diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan
konvensional berdasarkan prinsip dharurat / hajat.

3. Riba di Kalangan Non Islam

a. Konsep riba di Kalangan Yahudi15


Didalam Kitab Perjanjian Lama (Old Testament):
"Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari UmatKu, orang
yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih
utang terhadap dia ; janganlah engkau bebankan bunga uang
terhadapnya" (Kitab Exodus (Keluaran) : fasal 22, ayat 25).
14
digilib.uin-suka.ac.id/2484/1/BAB%20I,%20V.pdf
15
Antonio, Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek.2008. Jakarta: Tazkia Cendekia. Halaman 38 dan 43
"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan, atau apapun yang dapat dibungakan" (Kitab Deuteronomy
(Ulangan) : fasal 23, ayat 19).

"Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah. Jangan kau


meminta darinya keuntungan dan manfaat". (Kitab Levicitus (Imamat) : fasal
25, ayat 35).

"Janganlah engkau mengambil bunga atau riba darinya, melainkan engkau


harus takut Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah
engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba".(Kitab Levicitus (Imamat) :
fasal 25, ayat 36-37).

b. Konsep Riba di Kalangan Kristen16


Didalam Kitab Perjanjian Baru (New Testament):
"Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap
akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu?. Orang-orang berdosapun
meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama
banyak. Tetapi kamu!, kasihilah musuhmu dan berbuat baiklah kepada mereka
dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar
dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi sebab Ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-
orang jahat" (Injil Lukas : fasal 6ayat 34-35)

Kasihanilah musuh-musuhmu, dan berbuat baik, dan pinjamilah, dengan tidak


mengharapkan apapun lagi; dan pahalamu akan besar, dan engkau akan
menjadi anak-anak dari Yang Maha Tinggi (Lukman pasal 6 ayat 35)

Jika engkau meminjamkan uang kepada siapa saja dari umatku yang miskin,
jangan engkau menjadi pemungut riba (unsury) baginya, jangan juga engkau
membebankan riba padanya (Eksodus pasal 22 ayat 25)

Jangan engkau memberinya uang dengan riba, dan jangan juga meminjaminya
makanan-makanan untuk mendapatkan tambahan (Levitikus pasal 25 ayat 35-
37).

16
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. 2008. Yogyakarta: EKONISIA. Halaman 14
E. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil17
Kecenderungan masyarakat menggunakan system bunga (interst ataupun usury)
lebih bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kepentingan pribadi,
sehingga kurang mempertimbangkan dampak social yang ditimbulkan. Berbeda
dengan system bagi-hasil (profit sharing), system ini berorientasi pemenuhan
kemaslahatan hidup manusia.
Perbedaan bunga dan bagi hasil terdapat pada tabel berikut :

BUNGA BAGI HASIL


a.Penentuan bunga dibuat pada waktu a.Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil
akad dengan asumsi harus selalu dibuat pada waktu akad dengan
untung berpedoman pada kemungkinan untung
rugi.
b.Besarnya nilai berdasarkan pada b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada
jumlah uang   (modal) yang jumlah keuntungan yang diperoleh.
dipinjamkan
c.Pembayaran bunga tetap seperti yang c.Bagi hasil bergantung pada keuntungan
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
proyek yang dijalankan oleh pihak kerugian akan ditanggung bersama oleh
nasabah untung atau rugi kedua belah pihak.
d.Jumlah Pembayaran bunga tidak d.Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
meningkat sekalipun jumlah dengan peningkatan jumlah pendapatan.
keuntungan berlipat atau keadaan
ekonomi sedang booming.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
tidak dikecam) oleh semua agama, hasil
termasuk Islam.

Denda Dalam Islam

Dalam al-Qur’an disebutkan: Ta’zîr juga berarti hukuman yang berupa


memberi pelajaran. Disebut ta’zîr karena hukuman tersebut sebenarnya
menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata
lain membuatnya jera. Para fuqaha mengartikan ta’zîr dengan hukuman yang
tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadist yang berkaitan dengan kejahatan
yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi
pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi
kejahatan serupa.18

17
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. 2008. Yogyakarta: EKONISIA. Halaman 21
18
Abu Ishaq al-Syirȃzi, Al-Muhȃdzdzab, (Mesir: Isa al-Babi al-Halȃbi,t.th), hal. 289
Sebagian Fuqaha dari kalangan madzhab Maliki membolehkan kepada
debitur pengemplang mengganti sanksi pidana itu dengan denda kerugian
perdata. Dasar pandangan ini adalah bahwa denda kerugian perdata yang
dibayarkan debitur itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, Tetapi
dalam konteks ini stresingnya lebih kepada persoalan perdata, yakni antara pihak
penggugat (kreditur) dan tergugat (debitur). Sanksi pidana (ta’zîr) yang
dikenakan kepada debitur pengemplang itu digantikan dengan hukuman denda
dengan membayar kerugian perdata kepada kreditur, 19 bukan untuk dibayarkan
kepada bank (kreditur).20 Abdullȃh bin Mȃni’ juga berpandangan boleh dengan
mensyaratkan kepada debitur pengemplang itu melalui proses pengadilan.

Sementara Shadiq Muhammad al-Amin melarang mensyaratkan yang


demikian kepada debitur, tetapi ia mempunyai hak untuk kompromi mencari
kesepakatan mengganti kerugian keuntungan kreditur sesuai dengan ketentuan
perdata Islam. Dan sanksi terhadap debitur pengemplang itu harus dipermudah
berdasarkan zhahirnya nash hadist nabi yang shahih. Berbeda dengan Amĭn, Ibn
Farhun mengatakan bahwa ta’zîr itu ada karena meninggalkan kewajiban
misalnya, ia meninggalkan kewajiban membayar hutang, padahal ia mampu.
Karena itu, berdosa (dikenakan sanksi) hingga ia membayar hutang apa yang
diwajibkan kepadanya.

Musthafa Aḫmad Zarqa’ berpendapat bahwa boleh membebankan ganti


rugi perdata kepada debitur pengemplang yang mampu dalam rangka mengatasi
kerugian kreditur. Dasar pandangan yang melandasi ijtihadnya adalah
pertimbangan kerugian kreditur akibat debitur mengemplang, dan debitur sendiri
tidak berusaha untuk tidak merugikan kreditur. Sebagai argument yang dibangun
Zarqa’:

Pertama, pertimbangan ekonomi dan bisnis modern, zaman kini ditandai


dengan perkembangan beragamnya bentuk transaksi hutang yang didorong oleh
kemajuan sarana komunikasi yang memungkinkan orang melakukan transaksi
besar dari suatu negeri ke negeri lain berdasarkan janji-janji dan kesanggupan
semata. Transaksi riel dan tunai tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat modern, baik bagi individu berpenghasilan rendah maupun bagi
masyarakat berpenghasilan tinggi. Untuk mendapatkan banyak kebutuhannya,
orang zaman kini menggunakan sistem kredit (credit card), dan para pebisnis
membuat perhitungan usahanya atas dasar tagihan-tagihan dan kewajibannya.
19
Maimun, Sanksi terhadap Debitur Pengemplang dalam Praktik Perbankan Syari’ah: Suatu Kajian Aplikatif
Pendekatan Ushul Fiqh, http://ejournal.iainradenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/154/115, diakses 10
maret 2015
20
Denda perdata yang dimanfaatkan untuk kepentingan sosial itu bukanlah perdata murni (penggantian kerugian),
tetapi perlu ditegaskan di sini, melainkan sebagai denda pidana. Sebab, bila hal itu dipandang sebagai denda
perdata murni, maka tidak ada seorang pun dari ulama klasik yang membenarkannya, karena itu dinilai sebagai riba
yang diharamkan. Al-Ba’li mengutip pendapat al-Sarȃkhsi dalam al-Mabsuth-nya menegaskan bahwa setiap lebih
dari pinjaman pokok (ra’as al-mȃl) itu riba yang jelas diharamkan berdasarkan ijma’ ulama. Ibid., hal. 33.
Dalam kondisi demikian ketepatan pembayaran menjadi unsur pokok baginya,
dan tidak jarang dengan keterlambatan pembayaran dapat mengakibatkan
kerugian. Karena itu, menurut Zarqa perlu dipikirkan penggantian atas kerugian
yang dibebankan kepada kreditur.21

Kedua, pertimbangan moral keagamaan yang menjadi nilai-nilai dasar


dan asas-asas umum syari’ah dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi
S.A.W. yang menekankan keadilan, ihsan, amanah, jujur, larangan makan harta
sesama secara batil, larangan menimbulkan kerugian, larangan berbuat zhalim,
dan larangan menunda-nunda pembayaran hutang.22 Menurut Zarqa’ yang
disebutkan terakhir ini, yakni penundaan penunaian hak kepada pemiliknya
secara sengaja dan tanpa ada alasan syara’ adalah suatu kezhaliman yang
dilarang oleh nilai-nilai dasar dan asas-asas syari’ah. Tindakan tersebut jelas
merugikan pemilik hak karena ia terhalang untuk menikmati manfaat harta
kekayaannya selama penundaan tersebut. Membiarkan tindakan semacam ini
berarti menyamakan orang yang jujur dan konsisten menunaikan kewajibannya
dengan orang zhalim yang selalu merugikan orang lain. Hal ini pada akhirnya
akan mendorong orang melakukan pengemplangan hutang, yang justru kontra
diksi dengan maqȃshid syari’ah.

Ketiga, pertimbangan yuridis formal syar’i, yang didasarkan kepada


qiyas, yaitu mengqiyaskan perbuatan pengemplangan kepada perbuatan gasab.
Zarqa’ berpegang kepada doktrin madzhab Syafi’i dan Hąnbali yang
memandang manfaat suatu benda merupakan benda bernilai, sehingga bila suatu
barang itu digasab , maka pelaku gasab wajib mengganti kerugian atas manfaat
barang yang hilang selama barang itu digasab.23 Ungkap Zarqa’ selanjutnya,
terdapat kesamaan antara debitur pengemplang dengan perbuatan gasab, yaitu
sama-sama mengakibatkan kerugian bagi pemilik hak karena ia tidak dapat
menikmati manfaat haknya selama gasab atau pengemplangan. Karena itu
hukum gasab, wajib bagi pelaku gasab mengganti kerugian kepada pemilik
barang yang digasabnya, diberlakukan kepada debitur pengemplang yang
mampu terhadap hutangnya, dengan alasan: (1) karena pengemplangan itu
adalah suatu kezhaliman sebagaimana ditegaskan dalam Hadist Nabi. (2) karena
piutang tempatnya adalah di dalam tanggung jawab, dan penundaan pembayaran
hutang secara zhalim merupakan pencegahan terhadap krediturnya untuk
mendapatkannya dan merupakan pelanggaran terhadap haknya sehingga
tindakan ini sama dengan melakukan gasab. Jadi singkat kata, penerapan hukum
kasus gasab kepada kasus debitur pengemplang membawa konsekuensi bahwa

21
Muwȃffiquddỉn dan Syamsuddĭn Ibn Qudamah, Al-Mughnȋ wa al-Syarḫ al-Kabĭr ‘alâ Matan al-Muqna’ fi Fiqh al-
Imâm Aḫmad bin Hąnbal, Juz ke 5, (Bairut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 374
22
Muwȃffiquddỉn dan Syamsuddĭn Ibn Qudamah, Al-Mughnȋ wa al-Syarḫ...., hal. 374
23
Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, (Jakarta: RM. Book, 2007), hal. 181-183
pelaku pengemplangan harus dikenakan sanksi atau denda sebagaimana halnya
pelaku gasab.24

Mengenai istilah ta’zîr dalam fatwa DSN MUI, sebagian ahli hukum
Islam menilai tidak tepat, karena ranah kajiannya ta’zîr termasuk wilayah
hukum pidana, sementara akad perjanjian piutang termasuk wilayah perdata.
Mereka juga tidak sependapat dengan kebolehan penggantian kerugian
keuntungan yang diharapkan, karena sifatnya belum pasti. Abdussami’ Ahmad
Imam menegaskan bahwa syari’at Islam tidak membolehkan mengakadkan atas
sesuatu yang akan datang, atau sesuatu yang akan dihasilkan ke depan sebelum
terwujud.25 Tapi mereka tidak menolak adanya kemungkinan penggantian atas
kerugian riel yang dirasakan kreditur akibat debitur mengemplang, seperti
ongkos perjalanan, biaya administrasi dan lain-lain. Pendekatan ini ternyata
diadopsi oleh Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia
(No.7/46/PBI/2005), bahwa bank dapat mengenakan ganti rugi hanya pada
kerugian riel yang dapat diperhitungkan, dan uang ganti rugi itu diakui sebagai
pendapatan bank

Kesimpulan

1. Larangan riba,
a. Banyak dijelaskan dalam hadits dari berbagai riwayat, sebagaimana fungsi
hadits untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang digariskan dalam al-Quran.
b. Larangan riba juga terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama (Old Testament)
yang digunakan oleh Yahudi dan dalam Kitab Perjanjian Baru (New
Testament) yang digunakan oleh Kristen
c. Organisasi Islam yaitu Muhammadiyah telah mengharamkan bunga bank
melalui Fatwa No.6 Tahun 2006 tentang Bunga Bank. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) telah mengharamkan bunga bank melalui Fatwa Nomor 1 Tahun 2004
tentang Bunga (Interest/Fa’idah) karena identik dengan riba.
d. Riba haram menurut Al-Quran dan hadits, riba juga dilarang dalam kitab
perjanjian lama dan perjanjian baru, riba juga tidak dibenarkan karena
mempunyai dampak yang buruk (mudharat) bagi hubungan social,
pertumbuhan ekonomi secara benar, dan pemerataan (lawan dari kesenjangan)
ekonomi. Sehingga penggunaan riba tidak dibenarkan dalam segala aspek.
2. Bunga bank telah diharamkan oleh Muhammadiyah dan MUI, karena diidentifikasi
masuk dalam kategori riba. Terlepas dari perbedaan pandangan yang menyatakan
bunga bank tidak sama dengan riba. Bunga yang sifatnya seperti halnya riba
diharamkan.
24
Ibid.,hal. 183
25
Abdussami’ Aḫmad Imȃm, Nazharat fỉ Ushul al-Buyu’ al-Mamnu’ah, Cet.I, (Mesir: Dar al-Thiba’ah al-
Muhammadiyyah, 1360 H./1941 M.), hal. 56, dan 58
3. penerapan hukum kasus gasab kepada kasus debitur pengemplang membawa
konsekuensi bahwa pelaku pengemplangan harus dikenakan sanksi atau denda
sebagaimana halnya pelaku gasab.
DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. 2008. Yogyakarta:


EKONISIA.

Antonio, Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek.2008. Jakarta: Tazkia Cendekia.

Rivai Veithzal, Prof. Dr. H. SE, MM, MBA; Arifin A. Islamic Banking.2010.
Jakarta:Bumi Aksara.

Zuhri, Muhammad, Dr. Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan. 1997.
Jakarta:Raja Grafindo Persada.

tarjih.muhammadiyah.or.id/download-fatwa-215.html

digilib.uin-suka.ac.id/2484/1/BAB%20I,%20V.pdf

Abdussami’ Aḫmad Imȃm, Nazharat fỉ Ushul al-Buyu’ al-Mamnu’ah, Cet.I, Mesir: Dar
al-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, 1360 H./1941 M

Abu Ishaq al-Syirȃzi, Al-Muhȃdzdzab, Mesir: Isa al-Babi al-Halȃbi,t.th

Maimun, Sanksi terhadap Debitur Pengemplang dalam Praktik Perbankan Syari’ah:


Suatu Kajian Aplikatif Pendekatan Ushul Fiqh, http://ejournal.iainradenintan.ac.id/
index.php/asas/article/view/154/115, diakses 10 Mei 2015

Muwȃffiquddỉn dan Syamsuddĭn Ibn Qudamah, Al-Mughnȋ wa al-Syarḫ al-Kabĭr ‘alâ


Matan al-Muqna’ fi Fiqh al-Imâm Aḫmad bin Hąnbal, Juz ke 5, Bairut: Dar al-
Fikr, tt.

Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, Jakarta: RM. Book, 2007

Anda mungkin juga menyukai