Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TOKOH ISLAM YANG MUNCUL PADA MASA KEJAYAAN


ISLAM PADA PERIODE KLASIK, PERTENGAHAN DAN
MODERN

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Guru Pengajar : M. Ali Nashudin B, S.H.I.

Oleh :

Subandriya

KELAS XI IPS 2
SMA NEGERI 1 KENDURUAN
TUBAN
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya. sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang bejudul “Tokoh Islam Yang Muncul Pada Masa
Kejayaan Islam Pada Periode Klasik, Pertengahan Dan Modern

Kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan banyak


terimakasih kepada guru pengajar serta teman teman yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Dengan selesainya makalah ini kami sangat mengharapkan


adanya kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini.

Tuban, 14 Maret 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................1
KATA PENGANTAR .........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................4
1.3 Tujuan Makalah.....................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Tokoh Islam Periode Klasik..................................................................5
2.2. Tokoh Islam Periode Pertengahan.........................................................9
2.3. Tokoh Islam Periode Modern..............................................................14

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan..........................................................................................27
3.2. Saran....................................................................................................27

BAB I
3
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai fenomena sosial, agama Islam pertama kali muncul di Jazirah


Arab pada abad ke-7 Masehi. Nabi Muhammad adalah sosok yang mula-mula
memperkenalkan agama Islam kepada Mekah. Hanya dalam kurun waktu dua
dekade dari awal dakwahnya, Muhammad telah berhasil menjadikan umat
Islam menyebar begitu pesat sehingga sampai ke luar Jazirah Arab. Benson
Bobrik (2013) dalam Kejayaan Harun ar-Rasyid mencatat, pasukan Muslim
telah mulai mengembangkan jangkauan kuasanya hingga kawasan di
sepanjang perbatasan Kekaisaran Byzantium.

1.2. Rumusan Masalah


1. Siapa saja tokoh islam yang ada pada masa periode klasik?
2. Siapa saja tokoh islam yang ada pada masa periode pertengahan?
3. Siapa saja tokoh islam yang ada pada masa periode modern?

1.3. Tujuan Masalah


1. Mengetahui tokoh islam pada masa periode klasik.
2. Mengetahui tokoh islam pada masa periode pertengahan
3. Mengetahui tokoh islam pada masa periode modern

BAB II
PEMBAHASAN
4
A. TOKOH PERIODE KLASIK
1. AL BATTANI
Al-Battani, yang dikenal dengan nama Latin Albategnius, adalah
seorang astronom dan ahli matematika Arab yang lahir pada 858 M di
Harran, negara bagian Battan atau saat ini Turki modern. Dia sering
dianggap sebagai salah satu astronom Islam terbesar. Penemuannya di
bidang astronomi dan trigonometri memainkan peran penting dalam
kemajuan sains di Abad Pertengahan. Al-Battani dulu tinggal di antara
komunitas sekte Sabian, yang merupakan pemuja bintang, atau disebut
dengan Harran. Hal tersebut menimbulkan motivasi bagi masyarakat
untuk mempelajari astrologi dan astronomi. Sabian telah menghasilkan
astronom dan matematikawan hebat, seperti ilmuwan terkenal Thabit
ibn Qurra.

Pada awalnya, Al-Battani dididik oleh ayahnya sendiri, Jabir ibn


Sinan, yang juga merupakan seorang ilmuwan terkenal dan pembuat
instrumen di Harran. Dia kemudian menerima pendidikan lanjutan di
ar-Raqqah, Suriah. Al-Battani membuat pengamatan astronomi yang
sangat akurat di Antiokhia dan ar-Raqqah di Suriah. Kota ar-Raqqah,
tempat sebagian besar pengamatan al-Battani dilakukan, menjadi
makmur ketika Khalifah Harun al-Rasyid membangun beberapa istana
di sana.

Apa karya dan prestasi utama Al-Battani?


Al-Battani terkenal karena ia ahli dalam bidang Matematika. Dia
diduga menciptakan penggunaan rasio trigonometri yang masih
digunakan saat ini. Al-Battani menggunakan metode trigonometri
daripada metode geometris, yang diperkenalkan oleh Ptolemeus. Al-
Battani juga memperkenalkan Konsep Cotangent

Joseph Hell, seorang penemu dan insinyur Hongaria, berkomentar


bahwa "dalam domain trigonometri, teori Sinus, Kosinus, dan garis
singgung adalah pusaka bangsa Arab." Perkembangan trigonometri
dan pemahaman tentang bintang-bintang memainkan peran penting

5
dalam kehidupan umat Islam, yang kemudian dapat menghitung dengan
tepat posisi mereka di bumi dan berdoa ke arah Mekah.

Tak hanya sampai disitu, Al-Battani membuat katalog 489 bintang


dan menghitung panjang tahun matahari sebagai 365 hari, 5 jam, 48
menit dan 24 detik. Dia juga telah membuktikan kemungkinan
terjadinya gerhana matahari annular serta gerhana total dengan
menunjukkan bahwa jarak terjauh Bumi dari Matahari bervariasi.

Kontribusi Al-Battani
Karya Al-Battani memiliki pengaruh besar pada ilmuwan seperti
Tycho Brahe, Kepler, Galileo dan Copernicus. Bukunya yang terkenal,
Kitab az-Zij (Book of Astronomical tables) diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dengan nama De Motu Stellarum (On the Motion of the
Stars) oleh Plato dari Tivoli pada tahun 1116. Karyanya diterbitkan
ulang pada tahun 1537 dan 1645. Copernicus dalam bukunya De
Revolutionibus Orbium Clestium mengungkapkan jasa Al-Battani yang
luar biasa, karena Al-Battani mampu menghasilkan pengukuran gerak
matahari yang lebih akurat daripada Copernicus sendiri.

Perlu juga dicatat bahwa metode trigonometri yang diperkenalkan


saat itu bahkan berfungsi sebagai dasar bagaimana sistem GPS bekerja
saat ini. Kontribusi Al-Battani terhadap sains benar-benar besar.
Bahkan, NASA menamai sebuah kawah di Bulan dengan nama Kawah
Albategnius untuk menghargai jasa Al-Battani.

2. IBNU SINA

Dunia Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina. Namun di


kalangan orang-orang Barat, ia dikenal dengan panggilan Avicenna. Ia
merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10.
Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif. Dan
sebagian besar karyanya adalah tentang filsafat dan pengobatan.

6
Bagi banyak orang, Ibnu Sina adalah 'Bapak Pengobatan Modern'.
Selain itu, masih banyak lagi sebutan lainnya yang ditujukan padanya,
terutama berkaitan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.
Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of
Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama
berabad-abad.

Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980 M di Afsyanah, sebuah kota
kecil di wilayah Uzbekistan saat ini. Ayahnya yang berasal dari Balkh
Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah
(204-395 H/819-1005 M). Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan
kepandaian yang luar biasa. Di usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal
Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai ilmu-ilmu
agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16 tahun. Tidak
hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada
orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga menemukan
metode-metode baru dari perawatan.

Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun.


Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil
menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa
Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu
tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja sebelumnya.

Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di


istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses
penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus, sebagai
gantinya ia hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah
perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa sangka, dari sanalah
ilmunya yang luas makin bertambah.

Ibnu Sina selain terkenal sebagai orang yang ahli dalam ilmu
agama dan kedokteran, ia juga ahli dalam bidang matematika, logika,
fisika, geometri, astronomi, metafisika dan filosofi. Pada usia 18 tahun,
Ibnu Sina memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan.

7
Tak hanya itu, ia juga mendalami masalah-masalah fikih dan
menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat
Alquran untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.

Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Setelah


kematian ayahnya ia mulai berkelana, menyebarkan ilmu dan mencari
ilmu yang baru. Tempat pertama yang menjadi tujuannya setelah hari
duka itu adalah Jurjan, sebuah kota di Timur Tengah. Di sinilah ia
bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan Al-
Biruni. Ia kemudian berguru kepada Al-Biruni.

Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan lagi perjalanannya untuk


menuntut ilmu. Rayy dan Hamadan adalah kota selanjutnya, sebuah
kota dimana karyanya yang spektakular Qanun fi Thib mulai ditulis. Di
tempat ini pula Ibnu Sina banyak berjasa, terutama pada raja Hamadan.
Seakan tak pernah lelah, ia melanjutkan lagi pengembaraannya, kali ini
daerah Iran menjadi tujuannya. Di sepanjang jalan yang dilaluinya itu,
banyak lahir karya-karya besar yang memberikan manfaat besar pada
dunia ilmu kedokteran khususnya.

Tentu tak berlebihan bila Ibnu Sina mendapat julukan Bapak


Kedokteran Dunia. Karena perkembangan dunia kedokteran awal tidak
bisa terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Ia juga banyak
menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia kedokteran.

Dalam Qanun fi Thib misalnya, ia menulis ensiklopedia dengan


jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Ia juga adalah
orang yang memperkenalkan penyembuhan secara sistematis, dan ini
dijadikan rujukan selama tujuh abad lamanya.

Ibnu Sina pula yang mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh


manusia secara lengkap untuk pertama kalinya. Dan dari sana ia
berkesimpulan bahwa, setiap bagian tubuh manusia, dari ujung rambut
hingga ujung kaki kuku saling berhubungan.

8
Ia adalah orang yang pertama kali merumuskan, bahwa kesehatan
fisik dan kesehatan jiwa ada kaitan dan saling mendukung. Lebih
khusus lagi, ia mengenalkan dunia kedokteran pada ilmu yang sekarang
diberi nama pathology dan farma, yang menjadi bagian penting dari
ilmu kedokteran.

Selain The Canon of Medicine, ada satu lagi kitab karya Ibnu Sina
yang tak kalah dahsyatnya pula. Asy-Syifa, begitu judul kitab karya
Ibnu Sina ini. Sebuah kitab tentang cara-cara pengobatan sekaligus
obatnya. Kitab ini di dunia ilmu kedokteran menjadi semacam
ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Dalam bahasan latin, kitab ini
di kenal dengan nama 'Sanatio'.

Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H/1037 M di kota Hamdan, Iran.
Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah
keilmuan umat manusia. Hampir sebelas abad sudah Ibnu Sina
meninggalkan kita, tapi ilmu dan karyanya sampai sekarang masih
berguna.

B. TOKOH ISLAM PERIODE PERTENGAHAN


1. AL KHAWARIZMI

Al-Khawarizmi, memiliki nama lengkap Abu Abdullah


Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi. Ia lahir di sebuah kota kecil
bernama Khawarizm yang saat ini dikenal dengan nama Khiva,
Uzbekistan pada tahun 780 M. Namun, ilmuwan Barat dan Eropa lebih
mengenal Al-Khawarizmi dengan nama Algoritm, Algorismus, atau
Algoritma. Saat masih kecil, orang tua Khawarizmi membawanya
pindah ke sebuah daerah di Selatan kota Baghdad. Di Baghdad ini lah
Al-Khawarizmi mulai semangat dalam menuntut ilmu. Hingga pada
saat ia remaja, tepatnya di masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809
M), Al-Khawarizmi sudah diangkat menjadi anggota di Bayt Al-
Hikmah yang disebut juga sebagai wisma kearifan atau House of
Wisdom di Kota Baghdad.

9
Bayt Al-Hikmah adalah lembaga penerjemahan, pusat penelitian
ilmu pengetahuan, juga sebagai perpustakaan besar yang didirikan oleh
khalifah Harun Al-Rasyid. Tempat tersebut menjadi ruang
berkumpulnya para ilmuwan.

Setelah masa khalifah Al-Rasyid berakhir dan digantikan oleh


khalifah Al-Makmun (813-833 M), Baghdad terus menjadi pusat
perdagangan dan ilmu pengetahuan. Mewarisi kecintaan pada ilmu
pengetahuan, Khalifah Al-Makmun sadar bahwa ilmu pengetahuan
adalah kunci peradaban.

Sejak pertama kali diangkat menjadi anggota di Bayt Al-Hikmah,


Al-Khawarizmi bekerja sebagai ilmuwan. Di sana ia terus belajar
banyak ilmu pengetahuan, terutama ilmu alam dan ilmu matematika.
Semasa hidupnya, Al-Khawarizmi terus mengabdi dalam bidang
pendidikan dan juga riset keilmuan. Hal itu membuatnya sangat terbuka
pada sumber-sumber ilmu pengetahuan dari manapun, baik itu Yunani,
India, bahkan Romawi.

Kecintaan Al-Khawarizmi pada pengetahuan, mendorongnya untuk


mempelajari bahasa Sanskerta dan juga bahasa Yunani. Setelah mahir
dan menguasai bahasa-bahasa itu, Al-Khawarizmi kemudian mulai
menerjemahkan beberapa buku. Seperti buku India berjudul Siddhanta
yang berisi ilmu astronomi, ia terjemahkan ke bahasa Arab. Kemudian
buku berisi ilmu geografi yang ditulis Ptolomeus, seorang ilmuwan
Yunani, pun berhasil ia terjemahkan. 

Karena kemampuannya dalam menerjemahkan buku-buku tersebut,


membuat pengetahuan dan pemikiran Al-Khawarizmi dalam bidang
sains semakin cemerlang. 

Keterbukaannya dalam mengadopsi ilmu-ilmu pengetahuan dari


manapun, membuat Khawarizmi melahirkan banyak karya. Nah, karya
terbesarnya adalah Aljabar. Bukunya yang berjudul Al-kitab al-
mukhtasar fi hisab al-jabr wa'l-muqabala (The Compendious Book on

10
Calculation by Completion and Balancing), menjadi pondasi penting
dalam aljabar di era modern. Aljabar, juga menjadi materi yang banyak
dipelajari di dunia sampai saat ini.

Karyanya ini tidak terlepas dari pemikiran ilmuwan Yunani yang


bernama Diophantus. Berangkat dari karya Diophantus tersebut, Al-
Khawarizmi menemukan banyak permasalahan dan kesalahan yang
cukup sulit untuk dipahami. Dari situlah, Al-Khawarizmi mulai
memperbaiki dan menyempurnakan Aljabar. Ia mengembangkan tabel
rincian trigonometri yang memuat fungsi sinus, cosinus, tangen,
kotangen, juga konsep diferensiasi. Karena penemuannya itu, Al-
Khawarizmi dinobatkan sebagai "Bapak Aljabar". Bahkan pemikir-
pemikir Barat pun mengakuinya. Seperti menurut matematikawan
Barat, Crandz dalam bukunya yang berjudul "The Social Al-
Khawarizmi Algebra". Crandz mengatakan bahwa Al-Khawarizmi
lebih berhak menyandang gelar "Bapak Aljabar" dibandingkan
Diopanthus. Al-Khawarizmi juga menjadi orang pertama yang
mengajarkan Aljabar dalam bentuk elementer. Bukan cuma itu, ia juga
dikenal sebagai peletak rumus ilmu ukur dan penyusun daftar
logaritma, dan hitungan desimal.  

Al-Khawarizmi juga yang telah mempopulerkan penggunaan


angka 0. Ia adalah orang pertama yang menjelaskan kegunaan angka-
angka, termasuk angka 0. Nah, karyanya dalam bidang aritmatika ini
tertuang di dalam bukunya yang berjudul al-Jam’ wat-Tafriq bi-Hisab
al-Hind  (The Book of Addition and Subtraction According to The
Hindu Calculation). Di dalamnya, Al-Khawarizmi menjelaskan tentang
penjumlahan dan pengurangan berdasarkan kalkulasi Hindu. 

Al-Khawarizmi mengenalkan penggunaan angka Hindu mulai dari


1 sampai 9, dan juga 0. Ia juga membahas sejarah angka-angka. Nah,
melalui buku-buku karya pemikiran Al-Khawarizmi ini lah orang-orang
Eropa belajar menggunakan angka 0 untuk memudahkannya
menghitung kelipatan 10, 100, 1000, begitu seterusnya.

11
Bukan hanya Aljabar, Khawarizmi juga mengenalkan konsep
Algoritma, yang pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan
teknologi hari ini. Algoritma adalah ilmu dalam bidang matematika,
yang mengajarkan tentang langkah-langkah logis dalam menyelesaikan
masalah yang disusun secara sistematis. Algoritma, juga jadi
jantungnya ilmu informatika komputer. 

Dari semua karyanya dalam bidang matematika, dan sangat


berpengaruh bagi peradaban umat manusia, Al-Khawarizmi pun
dinobatkan sebagai "Bapak Matematika".

Begitulah kiranya gambaran tentang Bapak Matematika kita ini.


Tentunya Al-Khawarizmi dapat menelurkan karya-karya yang sangat
berpengaruh bagi kehidupan manusia, didasari rasa ingin tahu, dan
keterbukannya terhadap pemikiran-pemikiran asing. Selain itu,
kepemimpinan khalifah Harun Al-Rasyid sampai Al-Makmun yang
mencintai ilmu pengetahuan, membuat Al-Khawarizmi bisa terus
mengembangkan pemikirannya. 

2. IBNU KHALDUN

Ibnu Khaldun merupakan tokoh penting dalam peradaban


Islam dari abad ke-14. Dalam dunia modern, dia bergelar macam-
macam. Mulai dari Bapak Sosiologi, peletak dasar Filsafat Sejarah,
perintis Ilmu Ekonomi, hingga penggagas teori politik. Pemilik nama
lengkap Abdul Rahman bin Khaldun itu lahir di Tunis pada 1332. Dia
menulis banyak karya. Di antaranya adalah Kitab al-Ibar yang terdiri
atas tujuh jilid. Jilid pertamanya bertajuk Muqaddimah yang di Dunia
Barat juga dinamakan Prolegomena. Berikutnya, Ta’rif yakni semacam
autobiografi Ibnu Khaldun.

Nama Ibnu Khaldun mencuat secara global pada abad ke-17. Hal


ini agaknya wajar. Sebab, semasa hidup Ibnu Khaldun, peradaban Islam
sedang meredup, baik di Timur maupun Barat.

12
Sementara, orang-orang Eropa baru mengetahui karya-karyanya
sejak abad ke-19. Para ilmuwan sosial Eropa begitu terkesan dengan
pemikiran Ibnu Khaldun mengenai sosiologi yang mendahului
zamannya, khususnya dalam Muqaddimah. Sebagai informasi,
istilah sosiologi itu sendiri baru muncul pada abad ke-19 ketika digagas
filsuf Prancis, Auguste Comte.

 Keistimewaan Muqaddimah
Muqaddimah merupakan karya yang melejitkan nama Ibnu
Khaldun dalam peta peradaban Islam. Buku ini dianggap sebagai uraian
yang paling sistematis tentang seluk-beluk ilmu sosial. Lantaran itu,
pembacanya dapat memahami secara mendalam situasi dunia Muslim
dalam abad pertengahan.

Filsuf dan sejarawan Inggris, Arnold J Toynbee, mengagumi


Muqaddimah sebagai karya paling luar biasa yang pernah ditulis dalam
era kapanpun dan di manapun. Baginya, Ibnu Khaldun merupakan
orang pertama yang memperlakukan sejarah sebagai sebuah ilmu, alih-
alih narasi subjektif.

Adapun menurut Charles Issawi, Ibnu Khaldun adalah tokoh


terawal yang menemukan dasar-dasar sosiologi. Khususnya, pemikiran
bahwa fenomena sosial mematuhi suatu kaidah tertentu yang mesti
dicari sosiolog. Caranya dengan mengumpulkan dan menghubungkan
fakta-fakta dalam masyarakat yang diteliti. Kaidah ini bekerja secara
struktural, sehingga tidak dapat diubah lantaran tindakan individu.
Segenap gagasan Ibnu Khaldun bermuara pada kesimpulan, fenomena
masyarakat dapat diteliti secara sains.

Ibnu Khaldun juga diakui sebagai pelopor studi filsafat sejarah


modern. Sarjana Amerika Serikat, Philip K Hitti menegaskan kontribusi
besar Ibnu Khaldun dengan pujian panjang-lebar: “Belum pernah ada
sebelum dia, baik itu Arab apalagi Eropa, yang memiliki pandangan

13
komprehensif dan filosofis mengenai sejarah. Ibnu Khaldun merupakan
filsuf-sejarah yang paling brilian yang pernah dihasilkan Dunia Islam.
Dia termasuk yang paling besar sepanjang sejarah.”

Singkatnya, kontribusi besar Ibnu Khaldun ialah merasionalkan


ilmu sejarah serta pada penyusunan metode-metode dan tujuan kajian
tersebut. Ibnu Khaldun merupakan keturunan Arab Hadramaut dari
Yaman. Kakek dan orang tuanya termasuk pelarian politik dari
Andalusia yang kemudian menetap di Tunis. Mereka mendapatkan
kedudukan terhormat di tengah masyarakat Afrika Utara dan
Andalusia.

C. TOKOH ISLAM PERIODE MODERN


1. MUHAMMAD ABDUH
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905) adalah seorang ulama
pembaru Mesir yang mempunyai pengaruh luas dalam dunia Islam
pada abad ke-20 dan bahkan sampai sekarang, termasuk di Indonesia.
Dia banyak dipengaruhi oleh Syaikh Jamaluddin al-Afghani, terutama
dalam pemikiran rasional, politik dan sosialnya. Saat al-Afghani ke
mesir pada 1871, Abduh dalam usianya yang ke-22 termasuk salah satu
muridnya yang bersemangat. Saat Abduh dihukum pengasingan dia ke
Paris dan bergabung dengan al-Afghani yang saat itu ada di sana untuk
menerbitkan sebuah jurnal yang sangat terkenal itu, “al-`Urwah al-
Wutsqa”.
Setelah media al-‘Urwa al-Wutsqa berhenti terbit, dan setelah ke
Tunisia dan Mesir, dia selama tiga tahun menetap di Beirut dan
mengajar di rumahnya. Rumahnya menjadi pusat bagi para intelektual
dan penulis muda dengan berbagai latar belakang, Kristen, muslim
Druz, dan muslim Sunni. Beirut membuatnya berpikiran terbuka.
Bahan-bahan kuliahnya menjadi sebuah buku berjudul Risalatut
Tawhid. Walau gagasan-gagasan pembaruannya dikenal sebelum
penerbitan al-Manar, tetapi baru dikenal lebih luas lagi setelah
jurnal al-Manar yang dieditori oleh Syaikh Muhammad Rasyid Rida,

14
murid Abduh, ini terbit dan tersebar ke berbagai belahan dunia Islam
dan Barat. Lewat jurnal inilah gagasan-gagasan pembaruannya tersebar
seluas dan bahkan lebih luas daripada jangkauan distrubusi jurnal itu
sendiri. Belum lagi muncul pula jurnal-jurnal lokal yang
menjadikan al-Manar, seperti al-Imam di Singapura dan al-Munir di
Padang, sebagai rujukan.

Muhammad Abduh, menurut H.A.R. Gibb, adalah “seorang


modernis dalam pengertian bahwa ia menekankan pencapaian
pemikiran modern, percaya bahwa pemikiran moderm hanya akan
mengkonfirmasi pemikiran Islam. Dalam kaitannya dengan struktur
keyakinan ortodoks tradisional, dia bukankan inovator [tapi] dengan
menekanlan kembali hak-hak nalar dalam pemikiran keagamaan…dia
memungkinkan pereformulasian doktrin agama dalam term-term
modern daripada term-term abad pertengahan.”

Vatikiotis (1957:85) menyebut Abduh menggunakan pendekatan


“humanis” terhadap Islam dan “perasaan persatuan” Islam, dengan
memahami Islam sebagai “agama sosial”, yang memadukan dalam
risalahnya kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Dalam bagian
ini saya akan membahas pemikiran Muhammad Abduh tentang
peradaban dan peran ilmu dan agama (Islam) di dalamnya. Di samping
menggunakan beberapa karya Abduh yang tersedia, terutama al-Islam
baina al-’Ilm wa al-Madaniyyah, saya juga mendasarkan tulisan ini,
terutama, pada Hourani (1962/2013) dan Vatikiotis (1957).

Mengapa Umat Islam mundur?

Sebagaimana gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, titik-tolak


pemikiran teologi politik dan sosial Muhammad Abduh adalah problem
kemunduran internal umat Islam dan kebutuhan untuk melakukan
pembaruan dari dalam. Pengadopsian institusi-institusi Barat tidak serta
merta dapat melahirkan pembaruan. Tanzimat di Turki tidak
diinstitusikan oleh dan melalui agama, bahkan menurutnya

15
menyimpang dari agama. Dia yakin bahwa perubahan-perubahan yang
diupayakan gagal karena mengandung di dalamnya hal-hal yang
kontradiktif dengan Islam. Gerakan Wahabi menurutnya dekat pada
pembaruan yang benar, karena ia menyerang problem pada akarnya,
kebutuhan untuk mereformasi moralitas dan doktrin, kembali kepada
fundamen-fundamen Islam. Hanya saja hal fundamental yang ada pada
gerakan Wahabi adalah sedikit doktrin yang bersesuaian dengan
tuntutan nalar manusia. Oleh karena itu ada yang mengklasifikasikan
Muhammad Abduh dalam “Salafisme Progresif”.

Menurut Abduh, Nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk


mengajarkan tentang keselamatan individual, namun juga untuk
mendirikan masyarakat yang baik. Menurutnya masyarakat yang ideal
adalah masyarakat yang berserah kepada perintah-perintah Allah,
menafsirkannya secara rasional dan dalam sinaran kemakmuran umum,
menatinya secara aktif, dan bersatu dengan menghormati perintah-
perintan itu. Ini adalah masyarakat utama, yang juga merupakan
masyarakat yang bahagia, makmur, dan kuat, karena perintah-perintah
Allah adalah juga prinsip-prinsip kehidupan masyarakat. Perilaku yang
diajarkan Alquran adalah juga yang diajarkan oleh pemikiran sosal
modern sebagai kunci bagi stabilitas dan progres (TF:63). Jika tidak
demikian, maka masyarakat ideal itu tidak terjadi atau jika telah terjadi
akan mengalami kejatuhan.

Menurut Abduh kemunduran umat Islam terjadi karena empat


alasan. Pertama, adanya elemen-elemen asing dalam Islam. Di sini
Abduh dalam Risalatut Tauhid menunjuk pada masa lalu para filosof
dan Syiah ekstrem yang membawa “spirit berlebihan” dan bentuk
sufisme tertentu yang dianggapnya mengaburkan hakekat esensial
Islam (RT: 7, 19). Namun dalam Al-Islam bayna al-‘Ilm wa al-
madaniyyah dia menyebut hal-hal yang asing itu adalah kemalasan
menggunakan akal, taqlid, kejumudan, kelemahan dan keputusasaan.
(IIM 99-103)

16
Risalah Tauhid membahas tentang teologi, sehingga wajar jika dia
menunjuk folosof dan Syiah ekstrem sebagai biang keladi kemunduran.
Tetapi dalam buku kedua hal itu lebih dikaitkan dengan situasi
kontemporer. Hal ini penting karena Abduh sendiri mempelajari filsafat
Ibnu Sina bersama al-Afghani, memberi catatan dan komentar terhadap
kitab logika Al-Bashair al-Nashiriyyah karya Zainuddin ‘Umar bin
Sahlan al-Sawi, dan dia juga mengedit dan memberikan Syarah
terhadap kitab Nahj al-Balaghah yang merupakan kumpulan perkataan
Ali bin Abi Thalib, yang banyak menjadi sumber rujukan orang-orang
Syiah. Juga, Abduh mensyarah kitab Muqtabis al-Siyasah wa Siyaj al-
Riyasah, kitab/surat Ali bin Abi Thalib kepada al-Asytar al-Nakha’i
saat dia menjadi gubernur Mesir, kitab yang menjadi rujukan Syiah
dalam filsafat politik.

Abduh sangat menghargai sufisme yang benar, yakni yang


menginteriorkan ketaatan mereka kepada syariah, tapi tidak tasawuf
yang mengagungkan wali, karamah, perantara antara manusia dan
tuhan dan semacamnya, karena dianggapnya melemahkan akal dan
moral.

Abduh sendiri saat muda menulis kitab tentang falsafah ilahiah,


“Risalah al-Waridat fi Nazariyyat al-Mutakallimin wa al-Shufiyah fi al-
Falsafah al-ilahiyah”. Ini bisa menjelaskan penolakannya terhadap
pengadopsian institusi dan hukum Barat di Turki dan Mesir saat itu,
tetapi dia tetap sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan Eropa.
Bahkan dia mendorong umat Islam untuk mempelajarinya.

Kedua, umat kehilangan kesadaran akan proporsi dan melupakan


perbedaan antara apa yang esensial dan apa yang tidak esensial. Mereka
menganggap aturan-aturan sosial yang detail pada masa awal Islam
sebagai mempunyai status yang sama dengan prinsip iman yang dengan
demikian tidak dapat diubah dan harus ditaati. Ini juga merupakan
sikap berlebih, yakni “berlebihan dalam berpegang pada zahir syariah”,
yang darinya muncul kebiasaan taqlid, mengikuti pendapat secara
membuta tanpa tahu dasarnya. Kebiasaan taqlid ini didukung oleh
17
penguasa Imperium Usmani saat itu yang menurutnya gagal memahami
pesan Nabi Muhammad.

Imperium Usmani menurutnya menunjuk para pendukungnya


menjadi ulama untuk membodohi umat agar tidak tahu kebobrokan
penguasanya. Ketika ulama rusak, maka semua hal dalam Islam ikut
rusak: bahasa Arab hilang kemurniannya, kesatuan dirusak oleh
pembagian yang ketat dalam hal madzhab, pendidikan meneysatkan,
dan bahkan doktrin keagamaan rusak karena keseimbangan antara akal
dan wahyu disungsangkan dan ilmu-ilmu rasional diabaikan.”
Rusaknya ulama ini adalah penyebab kemunduran ketiga.

Keempat, sejalan dengan yang di atas, kemunduran umat justru


disebabkan karena penguasanya. Dalam hal ini Abduh mengkritik
Imperium Usmani yang saat itu mendukung konservatisme keagamaan
dan tasawuf yang menurutnya menyimpang. Dia menyebut “anarki
intelektual berkembang di kalangan Muslim, di bawah perlindungan
penguasa yang jahil” (RT: 25). Di bawah Imperium Usmani–tentu pada
masa Abduh hidup–itu ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berada
di titik nadir, dibandingkan dengan Barat yang justru dalam
perkembangan yang menaik.

Islam dan Modernitas

Baca juga:  Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (6): Adabudz


Dzikri

Abduh berupaya menjembatani kesenjangan dalam masyarakat


Islam antara yang menolak modernitas sepenuhnya dan yang menerima
modernitas sama sekali, dan kemudian menguatkan akar-akar moralitas
mereka. Hal ini menurutnya hanya dapat dilakukan dengan satu cara:
bukan kembali ke masa lalu dan dengan menghentikan proses
modernitas yang tengah terjadi, tetapi dengan menerima keniscayaan
menerima proses perubahan dan mengaitkan perubahan itu dengan

18
prinsip-prinsip Islam (Hourani 139). Dengan menunjukkan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi bukan hanya diperbolehkan oleh
Islam, tetapi perubahan-perubahan itu merupakan implikasi dari Islam,
jika ia dipahami dengan baik, dan bahwa Islam dapat menjadi prinsip
perubahan dan sekaligus kontrol yang menghargainya.

Dia tidak menanyakan apakah muslim yang salih dapat menerima


institusi-institusi dan gagasan-gagasan dunia modern. Institusi-institusi
dan gagasan-gagasan itu telah ada dan justru lebih buruk jika orang
menolaknya. Dia menanyakan pertanyaan yang beda, apakah muslim
yang hidup di dunia modern masih dapat menjadi muslim yang baik.
Tulisan-tulisannya tidak untuk meyakinkan muslim untuk meragukan
apakah peradaban modern dapat diterima, sebagaimana bagi manusia
yang berbudaya dan berpengalaman modern yang ragu apakah Islam,
ataupun agama wahyu yang lain, adalah petunjuk yang valid untuk
kehidupan. Kelas ini yang dianggapnya berbahaya bagi umat, jika
mereka mengarah kepada sekularisme metafisik; namun kelas ini pula
yang bisa diharapkan kepemimpinannya untuk membangkitkan kembali
umat.

Tujuan Abduh adalah untuk menunjukkan bahwa Islam


mengandung dalam dirinya potensialitas-potensialitas agama rasional
ini, ilmu sosial dan aturan moral yang dapat menjadi dasar bagi
kehidupan modern, dan untuk menciptakan elit yang harus melindungi
dan menafsirkannya, yakni tipe baru ulama yang dapat
mengartikulasikan dan mengajarkan Islam dan dengan demikian
menyediakan dasar untuk masyarakat yang stabil dan progresif,
kelompok tengah yang ada di antara kekuatan tradisional dan
revolusioner, dan dapat dengan mudah terlihat dalam masyarakat
modern Islam.

Terkait dengan klaim bahwa Islam dapan menjadi dasar moral bagi
masyarakat modern dan progresif, Abduh tentu tidak beranggapan
bahwa Islam menyetujui apa saja yang telah dilakukan atas nama

19
kemajuan, dan bahwa tujuan dari ulama baru adalah hanya untuk
melegitimasi kemajuan itu.

Sebaliknya, Islam adalah prinsip pembatasan: ia memungkinkan


Muslim untuk membedakan yang baik dari yang buruk dari semua arah
perubahan yang ada. Tugas yang diberikan kepada dirinya sendiri ada
dua: pertama, mengungkapkan apa “Islam yang sebenarnya”; dan
kedua, mempertimbangkan implikasi-implikasi Islam bagi masyarakat
modern. Bagi Abduh yang pertama jauh lebih penting daripada yang
kedua. Dan dia mengabdikan hidupnya untuk itu. Dalam fragmen
otobiografinya (Ta’rikh al-ustadz al-Imam al-shaykh Muhammad
‘Abduh), dia mendefinisikan tujuan-tujuannya, yang dalam konteks
tulisan ini hal yang penting adalah tujuan pertama, yakni: “untuk
membebaskan pemikiran dari kungkungan taklid, dan memahami
agama sebagaimana ia dipahami oleh salaf sebelum perpecahan umat
Islam terjadi; untuk kembali, dalam penguasaan pengetahuan
keagamaan, kepada sumber-sumber pertamanya, dan untuk
menimbangnya dalam skala-skala penalaran manusia, yang telah
diciptakan oleh Allah untuk menjaga dari pemalsuan dalam agama,
sehingga hikmah Allah dapat dipenuhi dan keteraturan dunia dapat
dijaga; dan untuk membuktikan bahwa, dilihat dari sudut ini, agama
haruslah dianggap sebagai sahabat bagi ilmu pengetahuan, mendorong
manusia untuk menginvestigasi rahasia keberadaan, menyerunya untuk
menghormati kebenaran yang pasti, dan untuk mendasarkan padanya
kehidupan dan perilaku moralnya.” (TMA I: 11).

Untuk menunjukkan bahwa Islam dapat direkonsiliasikan dengan


pemikiran modern, dan bagaimana ini dilakukan. Untuk ini dia
berpolemik dengan sejarawan Perancis Manotaux dan jurnalis
Lebanon-Mesir, Farah Antun. Kontroversinya tidak terkait dengan
benar atau salahnya Islam, tapi dengan apakah Islam sejalan
(compatible) dengan prasyarat-prasyarat pemikiran modern. Dalam
proses ini dia mengidentifikasi sejumlah konsep tradisional Islam
dengan konsep-konsep yang dominan di Eropa. Konsep maslahah,

20
misalnya, dikaitkan dengan kegunaan (utility), syura dengan demokrasi
parlementer, ijma` dengan opini publik, dan Islam sendiri identik
dengan peradaban, norma-norma pemikiran sosial abad ke-19.

Abduh membedakan dalam agama antara “apa yang esensial dan


tak berubah” dan “apa yang tak esensial dan dapat berubah” tanpa
kerusakan. Islam mempunyai struktur doktrin yang simpel: ia
mengandung sejumlah keyakinan tentang pertanyaan-pertanyaan besar
manusia dan prinsip-prinsip besar perilaku manusia. Untuk mencapai
dan menubuhkan keyakinan-keyakinan ini dalam kehidupan kita maka
akal dan wahyu mutlak diperlukan. Keduanya tidaklah terpisah dalam
ruang yang berbeda dan tidak pula bertentangan satu sama lain dalam
ruang yang sama (RT: 42).

Syariah atau hukum Islam menurutnya adalah aplikasi rasional dari


prinsip-prinsip Islam pada dunia yang berubah. Yang diperlukan adalah
menafsirkan ulang hukum sehingga dapat mengasimilasikan apa yang
baik dalam moralitas Eropa, yakni menerima, misalnya, penghapusan
perbudakan dan kesetaraan hukum bagi orang-orang Kristen yang
hidup di negeri-negeri muslim. Namun, bagi Abduh tanda bagi
masyarakat muslim yang ideal bukan hanya syariah saja, tetapi juga
akal. Muslim sesungguhnya adalah yang menggunakan akal dalam hal-
hal keduniaan dan agama; orang kafir sesungguhnya adalah orang yang
menutup matanya terhadap cahaya kebenaran dan menolak untuk
menguji bukti-bukti rasional (TJA: 169). Islam menurutnya tidak
pernah mengajarkan bahwa akal manusia haruslah dicek, ia adalah
kawan bagi semua penelitian rasional dan semua ilmu pengetahuan.

Ilmu dan Peradaban

Untuk mengetahui posisi Muhammad Abduh dalam ilmu


pengetahuan maka niscaya mengetahui persepsinya tentang akal dan
wahyu. Dia meyakini bahwa “penalaran rasional” (al-nazr al-`aqli)
adalah prinsip pertama (awwalu asas) yang ditetapkan oleh Islam. Ia
adalah perantara iman yang sahih. Ia menegakkan iman dengan

21
menggunakan hujjah (argumen), yang jika ada pertentangan antara akal
dan naql (wahyu) diambil yang ditunjukkan oleh akal, dan
dalam naql (wahyu) tinggal ada dua jalan: jalan penyerahan kepada
sehatnya manqul dan menyerahkan persoalan kepada Allah dalam ilmu-
Nya. Dan jalan kedua adalah penakwilan (interpretasi) naql (wahyu)
dengan memelihara kaidah-kaidah bahasa, sehingga maknanya
bersesuaian dengan apa yang dimunculkan akal.” (AK 3:279) Bahkan
untuk mengetahui Allah, Abduh meniscayakan penggunaan akal
manusiawi dengan melihat alam, menggunakan qiyas (analogi) yang
benar, hukum sebab akibat, dan sebagainya, yang memungkinkannya
mengenal adanya Tuhan yang mengendalikan semuanya. Keimanan
kepada Allah terlebih dahulu daripada keimanan kepada para Nabi, dan
tidaklah mungkin iman kepada rasul sebelum iman kepada Allah.
Kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah penalaran dan
pemikiran untuk sampai kepasa keyakinan kepada Allah agar beranjak
dari situ kepada iman kepada rasul dan apa yang diturunkan kepada
mereka dari kitab dan hikmah. (IIM, 115-6).

Selain itu, Abduh juga sangat empiris dan percaya pada hukum
sebat-akibat. Dia mengatakan, “dari hukum-hukum kemungkinan
karena dirinya tidak mengada kecuali dengan sebab dan tidak
menghilang kecuali dengan sebab.” (AK 3: 367). Bahkan dalam
memikirkan tentang keberadaan Allah pun memerlukan hukum sebab
akibat.

Pemikirannya tentang peradaban tak dapat dilepaskan dari


beberapa buku yang dia ajarkan di rumahnya dan Dar al-Ulum, yakni
karya tentang etika karya Miskawayh, Muqaddima karya Ibn Khaldun,
dan terjemah Arab dari Histoire de la civilisation en Europe karya F.
Guizot. Dari Ibn Miskawayh dia belajar bagaimana seorang intelektual
Muslim klasik mengapropriasi filsafat etika Barat pada masanya, yakni
Yunani, dan dari Guizot dan Ibn Khaldun dia belajar tentang problem
muncul, berkembang, dan jatuhnya peradaban-peradaban dunia.

22
Perpustakaan pribadinya juga menunjukkan perhatiannya pada
peradaban Eropa, selain karya Guizot, terdapat juga Emile karya
Rousseau, Education karya Spencer, karya-karya sastra dan didaktik
“Tolstoy; Life of Jesus” karya Strauss dan karya-karya Renan. Dia
mempunyai kontak dengan beberapa pemikir Eropa, menulis surat
kepada Tolstoy dan pergi ke Brighton untuk bertemu Spencer.

Ketika bangsa-bangsa Islam kehilangan kebaikan mereka dan


kerenanya juga kekuatan mereka, bangsa-bangsa Eropa menjadi lebih
kuat dan beradab, mengembangkan kebaikan-kebaikan sosial esensial
dari penalaran dan aktivitas dengan cara mereka sendiri dan menuai
hasil, Abduh percaya bahwa bangsa-bangsa muslim tidak dapat
menjadi kuat dan makmur kembali kecuali jika mereka mendapatkan
dari Eropa ilmu-ilmu yang merupakan produk aktivitas nalarnya, dan
mereka dapat melakukan itu dengan tanpa membuang Islam, karena
Islam mengajarkan penerimaan semua produk akal.

Abduh tampak mengambil dan memilih ide-ide Islam yang dapat


mendukung dua tujuan: pertama, untuk menjaga persatuan dan
perdamaian sosial dari umat, perhatian yang membuatnya mengaburkan
perbedaan-perbedaan intelektual dan menolak membuka kembali
kontroversi-kontroversi (ikhtilaf) lama; dan kedua, menjawab sejumlah
pertanyaan yang diajukan oleh debat-debat keagamaan di Eropa pada
masanya, khususnya debat tentang ilmu pengetahuan/sains dan agama
(Hourani 143).

Islam baginya adalah jalan tengah dari dua ekstrem: agama yang
sepenuhnya konsisten dengan klaim-klaim nalar manusia, dan temuan-
temuan sains modern. Namun menjaga transendensi ilahiah yang
adalah satu objek peribadatan yang valid dan dasar kokoh bagi
moralitas manusia. Islam adalah agama yang sesuai dengan hakekat
manusia dan jawaban bagi problem-problem manusia modern.

Baginya Barat maju bukan karena Kristen, karena pemikir dan


saintis Eropa telah menolaknya dan menggantinya dengan

23
materialisme. Sedangkan, karena Islam adalah agama rasional,
sehingga Muslim dapat mencapai ilmu pengetahuan modern tanpa
menerima materialisme atau menolak agamanya sendiri (IIM, 69-72).

Abduh mengatakan bahwa ilmu-ilmu baru dan bermanfaat ini


penting untuk kehidupan kita pada abad ini dan merupakan pertahanan
kita melawan agresi dan upaya mempermalukan umat, serta lebih lanjut
menjadi dasar kebahagiaan, kesejahteran dan kekuatan kita. Dia
mengatakan, “Ilmu-ilmu ini harus kita raih dan kita harus
menguasainya.”

Peradaban itu tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan


yang itu nanti akan mengarah kepada kuatnya umat dan dengan
demikian juga agama:

“Tidak ada agama tanpa negara, dan tidak ada negara tanpa
otoritas, dan tidak ada otoritas tanpa kekuatan, dan tidak ada kekuatan
tanpa kemakmuran. Negara tidak memiliki perdagangan atau industri.
Kemakmurannya adalah kemakmuran rakyat dan kemakmuran rakyat
tidak mungkin tanpa perkembangan ilmu-ilmu [modern] ini di kalangan
mereka sehingga mereka mengetahui cara-cara mendapatkan
kemakmuran.” (TMA ii:37)

Pemikiran-pemikiran Abduh khas pemikiran modernis akhir abad


ke-19 dan awal abad ke-20 yang berupaya menjelaskan kemunduran
umat Islam baik secara teologis maupun sosio-politik, dan menawarkan
“obat”-nya. Karakter apologetiknya tampak karena dia berupaya
menjawab kritik dari orang luar, terutama Eropa dan non-muslim
Mesir, terhadap Islam. Pada sisi lain, secara internal, dia berupaya
meyakinkan umat Islam tentang begitu akutnya penyakit yang dialami
umat Islam, dan menawarkan solusi yang pada satu sisi
mempertahankan hal-hal esensial dalam Islam dan pada sisi lain
mendinamisasi peran akal dalam memahami doktrin agama dan
mengembangan pemikiran sosial pada masanya, serta menyerap ilmu
pengetahuan yang berkembang di Eropa pada masa itu. Pada akhirnya

24
dia tidak terlalu percaya pada politik untuk jalur pembaruan, dan lebih
menekankan pendidikan dan budaya, termasuk media, untuk
membangun kesadaran umat untuk beranjak dari keterpurukan menuju
kepada peradaban maju yang pernah dicapainya.

Abduh percaya bahwa pencapaian ilmu pengetahuan dan


peradaban yang tinggi adalah semangat Islam sejak awal
kemunculannya, sehingga siapapun yang mampu mencapai itu mereka
Islami, walau bukan muslim. Dan sebaliknya, karena muslim tidak
mampu mencapai ilmu pengetahuan dan peradaban tinggi, maka
mereka kehilangan semangat keislaman. Oleh karena itu, ada
pernyataan Muhammad Abduh yang sangat terkenal, dan sangat baik
untuk menutup artikel ini:

“Aku ke Barat dan kulihat Islam 

tapi tak kulihat Muslim;

Aku pulang ke Timur dan kulihat Muslim

tapi tak kulihat Islam.”

2. THAHA HUSEIN
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika
berumur dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan),
penyakit yang biasa menyerang anak-anak ketika itu, namun penyakit
tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia belajar al-Quran dan
dapat menghafalnya pada usia sembilan tahun. Pada tahun 1902, ia
dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan harapan agar
kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama
dalam halaqah yang besar. Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-
Azhar, ia kecewa dengan sistem pengejarannya yang sempit dan tidak
berkembang serta materi pelajarannya amat tradisonal dan
menjemukan.

25
Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah
satu yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah sikapnya
yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap sebagai
seorang yang tersesat dan menyesatkan. Pada tahun 1908 bersamaan
dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan diri,
di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal Iguazio
Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon.

Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein mempertahankan disertasinya


yang berjudul Dzikra Abi al-'Ala dan berhasil yudisium jayyid
jiddan pada tahun itu juga Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk
belajar sejarah. Di Perancis Thaha Husein mulai mengkaji hal-hal yang
selama ini ia cari, ia belajar pada beberapa ilmuan, di antaranya Glota,
G. Blook, Seigneboj, Emile Durkheim. Pada tahun 1917 ia menikah
dengan seorang wanita Perancis yang bernama Suzanne Brusseau.

Pada tahun 1918, Thaha Husein berhasil menyelesaikan penulisan


disertasi doktornya yang berjudul Etude Analitique et Critique de la
Philosophie Sociale d' Ibn Khaldoun dengan memperoleh yudisium tres
honorable, dan di tahun berikutnya memperoleh gelar Doctorat d' Etat.
Pada tahun beikutnya 1919, ia kembali ke Mesir dan ditunjuk menjadi
dosen sejarah Yunani dan Romawi Kuno di Universitas Kairo hingga
tahun 1925. Ia juga aktif menulis di surat kabar dan menjadi
redaktur al-Siyasah pada tahun 1922.
Pada tahun 1926 diangkat menjadi dosen sejarah sastra Arab pada
Universitas Negeri. Pada tahun 1930 diangkat menjadi dosen sastra dan
pada tahun 1932 dialih tugaskan ke kementerian pengajaran. Pada
tahun 1942 diangkat menjadi rektor Universitas Iskandaria hingga
1944. Pada tahun 1950-1952 ia ditunjuk sebagai Menteri pendidikan
Mesir. Pada tahun 1973 Thaha Husein ditetapkan untuk mendapat
hadiah nobel dalam bidang sastra. Thaha Husein wafat pada tanggal 28
Oktober 1973.

26
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa
banyak sekali tokoh tokoh islam yang memberikan kontribusi ilmu dan
pengetahuannya kepada dunia di berbagai bidang kehidupan..
3.2. Saran
Kami berharap isi makalah ini dapat menjadi tambahan ilmu dan dapat
kita implementasikan dalam kehidupan baik untuk pembuat makalah
maupun pembaca makalah meskipun dalam pembuatan makalah ini jauh
dari sempurna.

27

Anda mungkin juga menyukai