Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI B.J.

HABIBIE, SI JENIUS DARI PAREPARE


Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ia anak
keempat dari delapan bersaudara. Orang tuanya adalah pasangan Bugis-Jawa, Alwi Abdul Jalil
Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.

Kedua orang tua Habibie berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar. Kakek Habibie
adalah ulama Islam terkenal. Ayah Habibie adalah lulusan sekolah pertanian di Bogor. Pada
1948, Alwi Habibie menjabat sebagai Kepala Departemen Pertanian Negara Indonesia Timur.
Sementara ibunya datang dari keluarga dokter.

Pada 3 September 1950, ketika sedang mengimami salat Isya, ayah Habibie terjatuh. Sambil
menangis, kakak tertua Habibie, Titi, berlari minta tolong ke asrama TNI di depan rumah
mereka. Asrama itu didiami pasukan Brigade Mataram yang saat itu dipimpin oleh Soeharto,
kelak presiden kedua RI. Bersama dokter brigade, Soeharto datang ke rumah Habibie. Namun,
nyawa Alwi Habibie tidak tertolong lagi.

Sejak kecil, Habibie menyukai mesin. Menurut Titi Habibie, jika ditanya “kalau besar mau
jadi apa?” ia selalu menjawab, “Insinyur”. Pendidikan menengahnya ditempuh di HBS (horgere
burger school). Di tengah jalan, tahun 1950, ia pindah ke Bandung dan sekolah di
Gouvernements Middelbare School sampai 1951. Lalu lanjut ke Sekolah Menengah Atas Katolik
dari 1951 sampai 1954.

Selama sekolah, kepandaian anak Parepare ini di bidang ilmu alam dan matematika sangat
menonjol. Dalam memoarnya, Ny. Suaedah Djumiril yang sekelas dengan Habibie di SMA
bercerita,“Dalam pelajaran Stereo, BM, Goneo, biar dua jam waktu yang diberikan, tidak akan
ada yang bisa. Tetapi, Pak Habibie dalam waktu lima menit sudah menyelesaikan soal tersebut.
Jika ujian diberikan 50 menit untuk tiga soal, maka jika murid lain bisa menyelesaikan satu soal
saja, itu sudah bagus. Tetapi, Pak Habibie bisa selesai ketiga soal dalam 20 menit.”

Menurut Prof. Dr. K.L. Laheru, Rudy—nama panggilan Habibie—fasih berbahasa Belanda,
pandai berenang, bernyanyi, dan bersepatu roda. Minatnya pada aeromodelling juga sudah
tampak sejak SMA. Ia memiliki model pesawat terbang buatan sendiri yang selalu ia peragakan
dan jelaskan.

Selepas SMA tahun 1954, ia masuk Departemen Elektro, Fakultas Teknik Universitas
Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung). Dengan biaya dari ibunya, pada tahun 1955 ia
melanjutkan kuliah di jurusan Konstruksi Pesawat Terbang di Rheinisch Westfählische
Technische Hochschule (RWTH), Achen, Jerman Barat. Ia menyelesaikan jenjang S-1 hingga S-3
selama 10 tahun. Pada 1965, ia meraih gelar doktor ingenieur (doktor teknik) dengan predikat
summa cum laude. Kelak, menjelang kepulangannya ke Indonesia, seorang pemimpin
perusahaan MBB menyatakan pengakuannya atas genialitas Habibie. Ia berkata bahwa untuk
mendapatkan satu orang lagi seperti Habibie, Indonesia membutuhkan waktu seratus tahun.

Ketika datang ke Achen tahun 1955, Habibie adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak
dibiayai beasiswa. Ibunya yang janda sepenuhnya membiayai kuliahnya. Oleh karena itu, mau
tidak mau ia harus menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin.

Habibie juga menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Achen pada 1957. Di
bawah kepemimpinannya, PPI menyelenggarakan “Seminar Pembangunan” yang mengundang
semua mahasiswa Indonesia di Eropa. Acara ini berlangsung di Hamburg, Jerman Barat, pada
20-25 Juli 1959. Namun, Habibie sendiri tidak menyertai. Sejak dua bulan sebelum seminar, ia
diopname di Bonn karena tuberkulosis. Habibie sempat koma selama 24 jam dan hampir
meninggal. Di saat kritis itulah ia membuat sumpahnya yang terkenal.

Lulus diploma pada 1960, Habibie kemudian bekerja sebagai asisten peneliti di Institut
Kontruksi Ringan RWTH. Pada awal 1962, Habibie cuti pulang ke Indonesia selama tiga bulan. Di
Bandung, ia bertemu dengan teman SMA-nya, Hasri Ainun Basari. Tak lama kemudian, pada 12
Mei 1962, mereka menikah. Bersama Ainun, Habibie kembali ke Achen.

Untuk menanggung biaya hidup berdua, sembari bekerja di Institut Kontruksi Ringan, Habibie
bekerja di perusahaan gerbong kereta api Talbot. Saat itu, Talbot tengah mengikuti tender
gerbong perusahaan kereta api Jerman Deutsche Bundesbahn. Habibie ditugaskan untuk
membuat prototipe gerbong kereta api. Ia lalu mengubah konstruksi konvensional yang sudah
dipakai puluhan tahun dengan teknologi konstruksi ringan, seperti ada pesawat. Perubahan ini
mengundang pesimisme. Kata Habibie, “Hampir semua berendapat bahwa perubahan yang
saya usulkan akan gagal. Sikap mereka yang usianya rata-rata dua kali usia saya, sangat
konservatif.” Pada akhirnya, tender itu dimenangkan oleh tim Habibie.

Setelah menyelesaikan pendidikan doktor teknik tahun 1965, Habibie mendapat dua
tawaran. Pertama, menjadi pengajar di RWTH, kedua, bekerja di perusahaan pesawat Boeing.
Setelah mempertimbangkan dengan istrinya, ia menolak keduanya.

“Dari kepentingan pribadi mungkin tawaran ini harus diterima namun dipandang dari
kepentingan pembangunan bangsa, sebaiknya tawaran ini kami tolak dan berusaha bekerja di
industri dirgantara untuk mendapatkan informasi dan pengalaman berkarya mengembangkan
dan membuat pesawat terbang yang memang dibutuhkan untuk mempertahankan dan
membangun Benua Maritim Indonesia,” tulis Habibie.
Habibie kemudian mendaftar di perusahaan pembuat pesawat Hamburger Flugzeug Bau
(HFB) yang tengah mengembangkan pesawat Fokker F28 dan Hansajet 320. Setelah HFB
berganti nama menjadi Messerschmitt-Boelkow-Blohm (MBB), ia diangkat sebagai Direktur
Pengembangan dan Penerapan Teknologi, pada 1973. Jabatan tersebut adalah yang tertinggi di
MBB yang pernah dijabat oleh orang asing.

Iklim demokratis di Jerman memengaruhi pandangan hidup Habibie. Ini tampak dalam satu
dialognya dengan sang istri, Ainun Habibie, tak lama setelah setelah Presiden Soeharto
memintanya mengembangkan industri manufaktur dalam negeri.

“Bukankah keputusan yang hanya didasarkan hanya pada pertimbangan seorang presiden
saja merupakan kebijaksanaan yang otoriter dan tidak demokratis? Semuanya ini berlawanan
dan tidak sesuai dengan perilaku dan sifat saya sendiri, yang telah ditempa dan berkembang
dalam lingkungan intelektual, bebas, dan demokratis,” kata Habibie.

Iklim demokratis di Jerman membuka peluang Habibie untuk mengembangkan diri. Setelah
dua tahun di Jerman, di usia 21 tahun, ia telah dipercaya sebagai ketua PPI Achen. Di usia 25
tahun, ia telah memimpin tim di perusahaan Talbot, mengatasi direktur dan kepala yang
usianya dua kali lipat lebih usia Habibie. Dalam iklim demokratis, rasionalitas diutamakan.
Seseorang dinilai berdasarkan kapasitasnya, bukan usia. Iklim ini pulalah yang ia upayakan
tercipta semasa pemerintahannya sebagai presiden RI ketiga.

Magrib hari rabu, 11 September 2019, Presiden Ke-3 Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie
meninggal dunia di Jakarta pada usia 83 tahun

 Menganalisis Biografi:
 Hal yang dapat diteladani
a) Mencintai tanah air

Kita sebagai pelajar harus mencintai tanah air kita karena tanah air kita ini menjadi
bangsa dan sebagai tempat tinggal atau keberadaan kita sekarang. Tanah air ini juga
tempat yang telah diperjuangkan oleh pahlawan bangsa dengan susah payah. Oleh
karena itu, kita sebagi pelajar harus mencintainya dengan cara melestarikan dan
menjaga kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa kita.

b) Jujur
Kita sebagai pelajar harus berkata jujur karena dengan berkata jujur hati kita akan
menjadi tentram, bebas dari kebohongan, dan terhindar dari dosa.
Salah satu yang menjadi masalah di Negara ini,yang sangat dicari
c) Mempunyai prinsip kuat
Jika BJ Habibie tidak mempunyai prinsip yang kuat, maka tentu beliau tidak bisa
sesukses saat ini di mana namanya akan dikenang selamanya sebagai bapak teknologi
Indonesia dan bapak demokrasi Indonesia.Beliau selalu fokus dengan apa yang di
depannya dan tidak terlalu memikirkan apa yang sudah terjadi.
Oleh karena itu, kita sebagi pelajar harus focus dengan apa yang kita lakukan
sekarang dan kedepannya. Jangan memikirkan apa yang sudah terjadi. Dengan prinsip
yang kuat dan keyakinan yang teguh maka akan selalu ada jalan untuk menapaki
kesuksesan.

d) Tidak mudah putus asa


Kita sebagai pelajar tidak boleh mudah putus asa. Jika kita mengalami suatu
kegagalan,maka buatlah kegagalan tersebut menjadi sebuah pembelajaran bagi kita ,
supaya kedepannya kita menjadi lebih baik lagi.

 Latar belakang kesuksesan


Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang sering disapa B.J.Habibie lahir di Pare-Pare,
Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau terlahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil
Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Basari.
Setelah bapaknya meninggal, beliau pindah ke Bandung menuntut ilmu di
Gouvernments Middlebare School. Ia menjadi sosok yang favorit di sekolahnya itu.
Setelah tamat SMA Bandung, ia melanjutkan ke ITB lalu meneruskan ke Technische
Hochschule.
  Setelah itu, ia bekerja di industri pesawat terbang termaju di Jerman. Ia juga
dipercaya memegang jabatan sebagai Direktur Utama(Dirut), seperti Dirut PT.Industri
Perkapalan Indonesia dan Dirut PT.Industri Senjata Ringan. Ia juga pernah menjabat
menjadi Presiden RI, Wakil Presiden RI, dan Menteri Negara Riset.
BJ Habibie adalah presiden ke-3 (tiga) Republik Indonesia yang memimpin indonesia
pada masa transisi dari era orde baru menuju Reformasi. Sebagai seorang kepala
Negara,beliau dianggap juga sebagai salah satu negarawan terbaik yang dimiliki oleh
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai