Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada setiap persalinan baik fisiologis maupun patologis terdapat lima aspek
dasar yang disebut dengan Lima Benang Merah yang penting dan saling terkait
dalam asuhan persalinan yang bersih dan aman yang selalu berlaku dalam
penatalaksanan persalinan mulai dari kala I hingga kala IV, termasuk penatalaksanaan
bayi baru lahir.
Lima Benang Merah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. MEMBUAT KEPUTUSAN KLINIK
2. ASUHAN SAYANG IBU DAN BAYI
3. PENCEGAHAN INFEKSI
4. PENCATATAN ( REKAM MEDIK ) ASUHAN PERSALINAN
5. RUJUKAN
Di Indonesia sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987, epidemi HIV
dianggap cukup lamban berkembang. Selalu dikategorikan prevalensi rendah.
Statistik yang rendah ( di bawah 1.000 orang selama 11 tahun pertama hingga 1999)
menyebabkan AIDS tidak dibicarakan secara gencar dan terbuka, baik oleh
masyarakat maupun pembuat kebijakan. Upaya pencegahan menjadi fokus utama
dengan penekanan pada isu moral saja, sehingga timbul stigma dan diskriminasi
terhadap terhadap orang dengan HIV dan AIDS (Odha). Sedangkan dukungan dan
perawatan untuk orang yang terinfeksi tidak dianggap isu yang mendesak. Melalui
pembahasan secara terbuka dan proporsional dengan memprioritaskan isu dukungan
dan perawatan, diharapkan akan terjadi eliminasi stigma dan diskriminasi terhadap
Odha
1.2 Tujuan
1. Mengetahui asuhan persalinan lima benang merah
2. Mengetahui kebijakan PMTCT-Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke bayi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. LIMA BENANG MERAH DALAM ASUHAN PERSALINAN


Pada setiap persalinan baik fisiologis maupu patologis terdapat lima aspek
dasar yang disebut dengan Lima Benang Merah yang penting dan saling terkait dalam
asuhan persalinan yang bersih dan aman yang selalu berlaku dalam penatalaksanan
persalinan mulai dari kala I hingga kala IV, termasuk penatalaksanaan bayi baru lahir.
Lima Benang Merah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. MEMBUAT KEPUTUSAN KLINIK
Membuat keputusan merupakan proses menentukan penyelesaian masalah dan
asuhan yang diperlukan oleh pasien. Keputusan itu harus :
a. Akurat
b. Komprehensif bagi pasien, keluarga pasien dan petugas kesehatan
c. Aman
Menurut Varney ( 1997 ), membuat keputusan klinik tersebut dihasilkan
melalui serangkaian proses dan metode yang sistematik menggunakan informasi dan
hasil dari olah kognitif dan intuitif serta dipadukan dengan kajian teoritis dan
intervensi berdasarkan bukti ( evidence – based ), keterampilan dan pengalaman
yang dikembangkan melalui berbagai tahapan yang logis dan diperlukan dalam
upaya untuk menyelesaikan masalah dan terfokus pada pasien.
Agar tercipta asuhan atau pertolongan yang maksimaldan memenuhi standar
kualitas pelayanan dan harapan pasien, maka dibutuhkan:
a. Pengetahuan
b. Keterampilan
c. Perilaku terpuji
Dalam membuat keputusan klinik, terdapat 7 langkahyang berurutan, yaitu :
a. Pengumpulan data
b. Interpretasi data untuk mendukung diagnosis danidentifikasi masalah

2
c. Menetapkan diagnosis kerja atau merumuskan masalah
d. Menilai adanya kebutuhan dan kesiapan intervensi untuk menghadapi masalah
e. Menyusun rencana asuhan ( intervensi )
f. Melaksanakan asuhan ( implementasi )
g. Memantau atau mengevaluasi efektifitas asuhan atau intervensi solusi
Ketujuh langkah tersebut dikenal dengan sebutan 7 langkah Varney.

2. ASUHAN SAYANG IBU DAN BAYI


Asuhan sayang ibu adalah asuhan yang menghargai budaya, kepercayaan dan
keinginan ibu. Cara yang paling mudah membayangkan mengenai asuhan sayang
ibu adalah menanyakan pada diri kita sendiri. Salah satu prinsip dasar asuhan sayang
ibu adalahdengan mengikutsertakan suami dan keluarga selama prosesmpersalinan
dan kelahiran bayi.
Menurut Enkin, et al ( 2000 ), perhatian dan dukunganpada ibu selama
persalinan dan kelahiran bayi akan memberikan dampak rasa aman, keluaran yang
lebih baik, megurangi persalinan dengan vakum, cunam dan seksio caesaria
( SC ) dan persalinan berlansung lebih cepat. Asuhan sayang ibu dan bayi perlu
diterapkan terutama saatproses persalinan dan pascapersalinan.
a. Asuhan sayang ibu dan bayi dalam proses persalinan, antara lain :
1) Panggil ibu sesuai namanya, hargai dan perlakukan ibu sesuai martabatnya
2) Jelaskan semua asuhan dan perawatan kepada ibu sebelum memulai asuhan
tersebut
3) Jelaskan proses persalinan kepada ibu dan keluarga
4) Anjurkan ibu untuk bertanya dan membicarakan rasa takut atau khawatir
5) Dengarkan dan tanggapi pertanyaan dan kekhawatiran ibu
6) Berikan dukungan, besarkan hatinya dan tenteramkan perasaan ibu beserta anggota
keluarganya
7) Anjurkan ibu untuk ditemani suami dan atau anggota keluarga yang lain selama
persalinan dan kelahiran bayinya

3
8) Ajarkan suami dan anggota keluarga mengenai cara – cara bagaimana mereka
dapat memperhatikan dan mendukung ibu selama persalinan dan kelahiran bayinya
9) Secara konsisten lakukan praktik – praktik pencegahan infeksi yang baik
10) Hargai privasi ibu
11) Anjurkan ibu untuk mencoba berbagai posisi selama persalinan dan kelahiran
bayi
12) Anjurkan ibu untuk minum dan makan ringan sepanjang ia menginginkannya
13) Hargai dan perbolehkan praktik – praktik tradisional yang tidak merugikan
kesehatan ibu
14) Hindari tindakan berlebihan dan mungkin membahayakan seperti episiotomi,
pencukuran dan klisma
15) Anjurkan ibu untuk memeluk bayinya sesegera mungkin
16) Membantu memulai pemberian ASI dalalm satu jam pertama setelah kelahiran
bayi
17) Siapkan rencana rujukan ( bila perlu )
18) Mempersiapkan persalinan dan kelahiran bayi dengan baik dan bahan – bahan,
perlengkapan dan obat – obatan yang diperlukan. Siap untuk melakukan resusitasi
bayi baru lahir pada setiap kelahiran bayi.

b. Asuhan sayang ibu dan bayi dalam pascapersalinan, antara lain :


1) Anjurkan ibu untuk selalu berdekatan dengan bayinya ( rawat gabung )
2) Bantu ibu untuk mulai membiasakan menyusui dan anjurkan pemberian ASI sesuai
dengan permintaan
3) Ajarkan ibu dan keluarga tentang nutrisi dan istirahat yang cukup setelah
melahirkan
4) Anjurkan suami dan anggota keluarga untuk memeluk bayi dan mensyukuri
kelahiran bayi

4
5) Ajarkan ibu dan anggota keluarga tentang gejala dan tanda bahaya yang mungkin
terjadi dan anjurkan mereka untuk mencari pertolongan jika timbul masalah atau rasa
khawatir

3. PENCEGAHAN INFEKSI
Pencegahan infeksi ( PI ) harus diterapkan dalam setiap aspek asuhan untuk
melindungi ibu, bayi baru lahir, keluarga, penolong persalinan dan tenaga kesehatan
lainnya. Pencegahan infeksi ( PI ) adalah bagian yang esensialdari semua asuhan yang
diberikan kepada ibu dan bayi baru lahir dan harus dilaksanakan secara rutin pada
saat menolong persalinan dan kelahiran bayi, saat memberikan asuhan selama
kunjungan antenatal atau pascapersalinan atau bayi baru lahir atau saat menetalaksana
penyulit.
Tujuan tindakan PI dalam pelayanan asuhan kesehatan, antara lain :
a. Meminimalkan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus,
dan jamur
b. Menurunkan resiko penularan penyakit yang mengancam jiwa seperti hepatitis dan
HIV / AIDS
Beberapa istilah tindakan dalam pencegahan infeksi:
a. Asepsis ( teknik aseptik )
” Semua usaha mencegah masuknya mikroorganisme ke tubuh yang berpotensi untuk
menimbulkan infeksi dengan cara mengurangi atau menghilangkan sejumlah
mikroorganisme pada kulit, jaringan, dan benda mati ( alat ). ”
b. Antisepsis
” Pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh dengan menggunakan larutan
antiseptik misalnya yodium ( 1-3% ), alkohol ( 60-90% ), hibiclon, savlon, dan
betadine. ”

5
c. Dekontaminasi
” Tindakan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan dapat menangani secara
aman berbagai benda yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh. ”
d. Mencuci dan membilas
” Tindakan – tindakan untuk menghilangkan semua cemaran darah, cairan tubuh atau
benda asing misalnya debu, kotoran dari kulit atau instrumen atau peralatan. ”
e. Desinfeksi
” Tindakan untuk menghilangkan hampir semua atau sebagian besar mikroorganisme
dari benda mati. ”
f. Desinfeksi Tingkat Tinggi ( DTT )
” Tindakan untuk menghilangkan semua mikroorganisme ( kecuali beberapa bakteri
endospora ) pada benda mati atau instrumen. ”
g. Sterilisasi
” Tindakan untuk menghilangkan semua mikroorganisme termasuk endospora bakteri
pada benda mati atau instrumen. ”
Pedoman pencegahan infeksi ( PI ) untuk memutus rantai penyebaran infeksi,
antara lain :
a. Cuci tangan dengan benar yaitu dengan 7 langkah setiap sebelum dan sesudah
melakukan tindakan
b. Memakai sarung tangan
Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah ( kulit tak utuh, selaput
mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya), peralatan, sarung tangan atau sampah yang
terkontaminasi.
Ada 3 macam sarung tangan, yaitu :
1) Sarung tangan steril atau DTT
Untuk prosedur apapun yang akan mengakibatkan kontak dengan jaringan di bawah
kulit seperti persalinan, penjahitan vagina atau pengambilan darah.
2) Sarung tangan bersih
Untuk menangani darah atau cairan tubuh

6
3) Sarung tangan rumah tangga atau tebal
Untuk mencuci peralatan, menangani sampah, juga membersihkan darah dan cairan
tubuh. Jangan gunakan sarung tangan yang sudah retak, tipis atau ada lubang dan
robekan. Buang dan gunakan sarung tangan yang lain.
c. Memakai APD ( alat pelindung diri ) seperti kaca mata pelindung, masker wajah,
penutup kepala, celemek, dan sepatu boots yang digunakan untuk menghalangi atau
membatasi petugas dari percikan cairan tubuh, darah atau cidera selama
melaksanakan prosedur klinik.
d. Menggunakan teknik antisepsis
Karena kulit dan selaput mukosa tidak dapat disterilkan maka penggunaan antiseptik
akan sangat mengurangi jumlah mikroorganisme yang dapat mengkontaminasi luka
terbuka dan menyebabkan infeksi.
e. Memproses alat bekas pakai
f. Menangani peralatan tajam dengan aman
Pedoman penggunaan peralatan tajam yaitu :
1) Letakkan benda – benda tajam di atas baki steril atau DTT atau dengan
menggunakan ” daerah aman ” yang sudah ditentukan ( daerah khusus untuk
meletakkan dan mengambil peralatan tajam )
2) Hati – hati saat melakukan penjahitan agar terhindar dari luka tusuk secara tidak
sengaja
3) Gunakan pemegang jarum dan pinset pada saat menjahit. Jangan pernah meraba
jarum ujung atau memegang jarum jahit dengan tangan
4) Jangan menutup kembali, melengkungkan, mematahkan atau melepaskan jarum
yang akan dibuang
5) Buang benda – benda tajam dalam wadah tahan bocor dan segel dengan perekat
jika sudah 2/3 penuh dan harus dibakar dalam insinerasi
6) Jika benda – benda tajam tidak bisa dibuang secara aman dengan cara insinerasi,
bilas 3 kali dengan larutan klorin 0,5 % ( dekontaminasi ), tutup kembali
menggunakan teknik satu tangan dan kemudian kuburkan.

7
Cara melakukan teknik satu tangan, yaitu :
a) Letakkan penutup jarum pada permukaan yang keras dan rata
b) Pegang tabung suntik dengan satu tangan dan gunakan ujung jarum untuk mengait
penutup jarum. Jangan memegang penutup jarum dengan tangan lainnya
c) Jika jarum sudah tertutup seluruhnya, pegang bagian bawah jarum dan gunakan
tangan yang lain untuk merapatkan penutupnya
g. Menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan termasuk pengelolaan sampah secara
benar

4. PENCATATAN ( REKAM MEDIK ) ASUHAN PERSALINAN


Pencatatan (pendokumentasian) adalah bagian penting dari proses membuat
keputusan klinik karena memungkinkan penolong persalinan untuk terus menerus
memperhatikan asuhan yang diberikan selama proses persalinan dan kelahiran
bayi. Partograf adalah bagian terpenting dari proses pencatatan selama persalinan
Mengkaji ulang catatan memungkinkan untuk menganalisa data yang telah
dikumpulkan dan dapat lebih efektif dalam merumuskan suatu diagnosis dan
membuat rencana asuhan atau perawatan bagi ibu atau bayinya.
Pencatatan rutin adalah penting karena :
a. Sebagai alat bantu untuk membuat keputusan klinik dan mengevaluasi kesesuaian
dan keefektifan asuhan atau perawatan, mengidentifikasi kesenjangan pada asuhan
yang diberikan dan untuk membuat perubahan dan peningkatan pada rencana asuhan
atau perawatan
b. Sebagai tolak ukur keberhasilan dalam proses membuat keputusan klinik
c. Sebagai catatan permanen tentang asuhan, perawatan dan obat yang diberikan
d. Dapat dibagikan di antara para penolong persalinan sehingga lebih dari satu
penolong persalinan akan memberikan perhatian dan asuhan pada ibu atau bayi baru
lahir

8
e. Dapat mempermudah kelangsungan asuhan dari satu kunjungan ke kunjungan
berikutnya, dari satu penolong persalinan ke penolong persalinan lainnya, atau dari
seorang penolong persalinan ke fasilitas kesehatan lainnya.
f. Dapat digunakan untuk penelitian atau studi kasus
g. Diperlukan untuk memberi masukan data statistik nasional dan daerah, termasuk
catatan kematian dan kesakitan ibu atau bayi baru lahir
Aspek – aspek penting dalam pencatatan adalah :
a. Tanggal dan waktu asuhan diberikan
b. Identifikasi penolong persalinan
c. Paraf atau tanda tangan ( dari penolong persalinan ) pada semua catatan
d. Mencakup informasi yang berkaitan secara tepat, dicatat dengan jelas dan dapat
dibaca
e. Suatu sistem untuk memelihara catatan pasien sehinggaselalu siap tersedia
f. Kerahasiaan dokumen – dokumen medis
Ibu harus diberikan salinan catatan ( catatan klinik antenatal, dokumen –
dokumen rujukan, dan lain – lain ) beserta panduan yang jelas mengenai :
a. Maksud dari dokumen – dokumen tersebut
b. Kapan harus dibawa
c. Kepada siapa harus diberikan
d. Bagaimana menyimpan dan mengamankannya, baik di rumah atau selama
perjalanan ke tempat rujukan
Beberapa hal yang perlu diingat :
a. Catat semua data, hasil pemeriksaan, diagnosis, obat – obat, asuhan atau
perawatan, dan lain – lain
b. Jika tidak dicatat, maka dapat dianggap bahwa asuhan tersebut tidak dilakukan
c. Pastikan setiap partograf bagi setiap pasien diisi denganlengkap dan benar

9
5. RUJUKAN
Rujukan diharapkan mampu menyelamatkan jiwa para ibu dan bayi baru
lahir. Syarat bagi keberhasilan upaya penyelamatan yaitu kesiapan untuk merujuk
bayi dan atau bayinya ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu
(jika penyulit terjadi).
Setiap penolong persalinan harus mengetahui lokasi fasilitas rujukan yang
mampu untuk melaksanakan kasus kegawatdaruratan obstetri dan bayi baru lahir
seperti :
a. Pembedahan termasuk bedah sesar
b. Transfusi darah
c. Persalinan mengggunakan ekstraksi vakum atau cunam
d. Pemberian antibiotik intravena
e. Resusitasi bayi baru lahir dan asuhan lanjutan bagi bayi baru lahir
Adapun yang wajib untuk diketahui oleh setiap penolong persalinan, antara
lain :
a. Informasi tentang pelayanan yang tersedia di tempat rujukan
b. Ketersediaan pelayanan purna waktu
c. Biaya pelayanan
d. Waktu dan jarak tempuh ke tempat rujukan
Oleh karena sangat sulit untuk menduga kapan penyulit akan terjadi, maka
pada saat ibu melakukan kunjungan antenatal anjurkan ibu untuk membahas dan
membuat rencana rujukan bersama suami dan keluarganya. Dan tawarkan agar
penolong mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan suami dan keluarganya
untuk menjelaskan tentang perlunya rencana rujukan apabila diperlukan.
Ada beberapa persiapan – persiapan dan informasi yang harus dimasukkan
dalam rencana rujukan, antara lain :
a. Siapa yang akan menemani ibu atau bayi baru lahir
b. Tempat – tempat rujukan mana yang lebih disukai ibu dan keluarga ?

10
( jika ada lebih dari satu kemungkinan tempat rujukan, pilih tempat rujukan yang
paling sesuai berdasarkan jenis asuhan yang diperlukan )
c. Sarana transportasi yang akan digunakan dan siapa yang akan mengendarainya.
( ingat bahwa transportasi harus tersedia segera, baik siang maupun malam kapan pun
waktunya )
d. Orang yang ditunjuk menjadi donor darah, jika transfusi darah diperlukan
e. Uang yang disisihkan untuk asuhan medis, transportasi, obat – obatan dan bahan –
bahan
f. Siapa yang akan tinggal dan menemani anak – anak yang lain pada saat ibu tidak di
rumah
Dari beberapa persiapan – persiapan dan informasi yang harus dimasukkan
dalam rencana rujukan, untuk memudahkan bagi penolong untuk mengingat hal – hal
penting tersebut maka terdapat singkatan BAKSOKUP ataupun BAKSOKUDA.
B : BIDAN : B
A : ALAT : A
K : KELUARGA : K
S : SURAT : S
O : OBAT : O
K : KENDARAAN : K
U : UANG : U
P : PAKAIAN ; DARAH : D
DOA : A
Kaji ulang rencana rujukan pada ibu dan keluarganya selama ibu melakukan
kunjungan asuhan anttenatal atau awal persalinan ( jika mungkin ). Jika ibu belum
membuat rencana rujukan selama kehamilannya, maka penting untuk mendiskusikan
rencana tersebut dengan ibu dan keluarganya di awal persalinan.
Rujukan tepat waktu merupakan unggulan asuhan sayang ibu dalam
mendukung keselamatan ibu dan bayi baru lahir

11
B. Kebijakan PMTCT (Prevention of Mother-to-Child Transmission)-
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
a. Definisi PMTCT (Prevention of Mother-to-Child Transmission)-
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Di Indonesia sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987, epidemi HIV
dianggap cukup lamban berkembang. Selalu dikategorikan prevalensi rendah.
Statistik yang rendah ( di bawah 1.000 orang selama 11 tahun pertama hingga 1999)
menyebabkan AIDS tidak dibicarakan secara gencar dan terbuka, baik oleh
masyarakat maupun pembuat kebijakan. Upaya pencegahan menjadi fokus utama
dengan penekanan pada isu moral saja, sehingga timbul stigma dan diskriminasi
terhadap terhadap orang dengan HIV dan AIDS (Odha).
Sedangkan dukungan dan perawatan untuk orang yang terinfeksi tidak
dianggap isu yang mendesak. Melalui pembahasan secara terbuka dan proporsional
dengan memprioritaskan isu dukungan dan perawatan, diharapkan akan terjadi
eliminasi stigma dan diskriminasi terhadap SIDA. Kecenderungan Infeksi HIV pada
Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya diperlukan berbagai upaya untuk
mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan HIV dari ibu
hamil ke bayi yaitu dengan PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV
Transmission).
Menurut Depkes RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission
(PMTCT) atau Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), merupakan
program pemerintah untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS dari ibu ke bayi
yang dikandungnya. Program tersebut mencegah terjadinya penularan pada
perempuan usia produktif, kehamilan dengan HIV positif, penularan dari ibu hamil ke
bayi yang dikandungnya. Prevalensi kasus AIDS lebih besar karena merupakan
kewajiban untuk melaporkan kasus kematian karena AIDS, tetapi kasus HIV
cenderung untuk tidak dilaporkan. Kecenderungan tidak melaporkan ini secara tidak
langsung menunjukkan masih besarnya stigma terhadap HIV/AIDS di masyarakat.

12
Seperti fenomena gunung es, kasus HIV yang ada di masyarakat kemungkinan jauh 
lebih besar daripada yang dilaporkan.
Menurut WHO (2009), kecenderungan infeksi HIV pada perempuan dan anak
meningkat, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mencegah penularan HIV dari
ibu hamil ke bayi antara lain dengan program PMTCT. Program PMTCT dapat
dilaksanakan pada perempuan usia produktif, melibatkan para remaja pranikah
dengan jalan menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS, meningkatkan kesadaran
perempuan tentang bagaimana cara menghindari penularan HIV/AIDS dan infeksi
menular seksual (IMS), menjelaskan manfaat dari konseling dan tes HIV/AIDS
secara sukarela, melibatkan kelompok yang beresiko, petugas lapangan, kader PKK,
dan bidan.
Walaupun prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia hanya 16%, tetapi
karena mayoritas (92,54%) Odha berusia reproduksi aktif (15-49 tahun), maka
diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV positif akan meningkat. Infeksi HIV
dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain:
timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya
stigma sosial menyebabkan Odha semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang
pada akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi.
Diskriminasi dalam kehidupan sosial menyebabkan Odha kehilangan
kesempatan untuk ikut berkarya dan memberikan penghidupan yang layak pada
keluarganya. Karena terjadi penurunan daya tahan tubuh secara bermakna, maka
morbiditas dan mortalitas maternal akan meningkat pula. Sedangkan dampak infeksi
HIV terhadap bayi antara lain: gangguan tumbuh kembang karena rentan terhadap
penyakit, peningkatan mortalitas, stigma sosial, yatim piatu lebih dini akibat orang
tua meninggal karena AIDS, dan permasalahan ketaatan minum obat pada penyakit
menahun seumur hidup.

13
b. Tujuan PMTCT (Prevention of Mother-to-Child Transmission)-Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Menurut WHO (2010) beberapa tujuan diterapkannya program pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi, antara lain: Program Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Bayi bertujuan untuk:
1. Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi.
Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu. Infeksi
yang ditularkan dari ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Diperlukan
upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu laksana guna menekan proses
penularan tersebut. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu
laksana guna menekan proses penularan tersebut
2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi
Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi
dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh Odha dan masyarakat
Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap Ibu dan
Bayi. Epidemi HIV terutama terhadap Ibu dan Bayi tesebut perlu diperhatikan,
dipikirkan dan diantisipasi sejak dini untuk menghindari terjadinya dampak akhir
tersebut.
Sesuai Pedoman PPIA (2011), pengembangan strategi implementasi PMTCT
merupakan bagian dari tujuan utama pengendalian HIV-AIDS, yaitu untuk
menurunkan kasus HIV serendah mungkin dengan menurunnya jumlah infeksi HIV
baru, mengurangi stigma dan diskriminasi, serta menurunnya kematian akibat AIDS
(Getting to Zero). Sedangkan dalam pelaksanaannya, PMTCT perlu memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Semua perempuan yang datang ke pelayanan KIA, KB, dan kesehatan
reproduksi, dan kesehatan remaja bisa mendapatkan informasi terkait reproduksi
sehat, penyakit IMS/ HIV, dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak selama
masa kehamilan dan menyusui

14
2. Tes HIV, skrining IMS dan tes sifilis merupakan pemeriksaan yang wajib
ditawarkan kepada semua ibu hamil pada daerah epidemi HIV meluas dan
terkonsentrasi yang datang ke layanan KIA/KB. Di layanan KIA tes HIV, skrining
IMS dan tes sifilis ditawarkan sebagai bagian dari paket perawatan antenatal terpadu
mulai kunjungan antenatal pertama hingga menjelang persalinan. Apabila ibu
menolak untuk dites HIV, petugas dapat melaksanakan konseling pra-tes HIV atau
merujuk ke layanan konseling dan testing sukarela
3. Konseling pasca tes bagi ibu yang hasil tesnya positif sedapatnya
dilaksanakan bersamaan (couple conselling), termasuk pemberian kondom sebagai
alat pencegahan penularan IMS dan HIV di fasilitas pelayanan kesehatan
4. Perlu partisipasi laki-laki dalam mendukung keberhasilan PMTCT.

c. Program PMTCT (Prevention of Mother-to-Child Transmission)-


Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Program PMTCT pada ibu hamil di Indonesia menjadi kenijakan resmi
pemerintah. Kebijakan ini menurut Depked RI (2005) mencakup hal-hal penting
dalam tiap langkah intervensi program diantaranya dengan integrasi program,
konseling dan testing HIV sukarela, pemberian makanan bayi. Langkah dini paling
efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi adalah mencegah
perempuan usia reproduktif tertular HIV, dengan mencegah perempuan muda di usia
reproduktif, ibu hamil dan penanganan ibu hamil agar tidak tertular.
Terdapat beberapa strategi yang dilakukan dalam kegiatan PMTCT, antara
lain:
a) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
b) Pencegahan kehamilan yang tidak diencanakan pada ibu HIV positif
c) Pencegahan terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif pada bayi
yang dikandungnya.
d) Merujuk ibu dengan HIV positif ke sarana layanan kesehatan tingkat
kabupaten atau provinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut

15
e) Dukungan psikologis, social dan perawatan kepada ibu positif beserta
keluarganya dengan merujuk ibu HIV positif ke sarana layanan kesehatan
tingkat kabupaten atau provinsi untuk mendapatkan layanan tindak lanjut
Pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi dilaksanakan sejalan
dengan kebijakan umum kesehatan ibu dan anak dan kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia.
Beberapa kebijakan tersebut serta target yang ditetapkan meliputi beberapa
program dan kegiatan, yaitu :
1. Semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak dan
layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan
informasi pencegahan penularan HIV/AIDS selama masa kehamilan dan menyusui.
2. Semua ibu hamil yang datang ke pelayanan KIA untuk ANC diharapkan
mendapatkan informasi penularan HIV, melakukan tes dan konseling pada semua
wanita hamil yang datang ANC, skrining pasangan wanita yang mengikuti tes HIV
PMTCT,  serta wanita dengan HIV menerima ARV atau profilaksis PMTCT.
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila :
(1) Terdeteksi dini,
(2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan
ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan
menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar),
(3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea),
(4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan,
(5) Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif,
dan
(6) Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yangberkesinambungan kepada ibu,
bayi dan keluarganya
Sebagian besar (90%) infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu,
hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi. Infeksi yang ditularkan dari
ibu ini kelak akan mengganggu kesehatan anak. Padahal dengan intervensi yang

16
mudah dan mampu laksana proses penularan sudah dapat ditekan sampai sekitar
50%nya. Selain itu tindakan intervensi dapat berupa pencegahan primer/ primary
prevention (sebelum terjadinya infeksi), dilaksanakan kepada seluruh pasangan usia
subur, dengan kegiatan konseling, perawatan dan pengobatan di tingkat keluarga.
Sebagai langkah antisipasi maka dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS
2003-2007 ditegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan
program prioritas.
Sedangkan Kebijakan Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS
untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak antara lain meliputi:
1. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilaksanakan oleh seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari
Layanan Komprehensif Berkesinambungan dan menitikberatkan pada upaya promotif
dan Preventif
2. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak diprioritaskan pada daerah
dengan epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, sedangkan upaya pencegahan IMS
dan eliminasi sifilis kongenital dapat dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan tanpa melihat tingkat epidemi HIV
3. Memaksimalkan kesempatan tes HIV dan sifilis bagi perempuan usia
reproduksi (seksual aktif), ibu hamil dan pasangannya dengan penyediaan tes
diagnosis cepat HIV dan sifilis; memperkuat jejaring rujukan layanan HIV dan IMS
(termasuk akses pengobatan ARV)
4. Pengintegrasian kegiatan PMTCT ke layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi,
dan kesehatan remaja. Pendekatan intervensi struktural, dengan melibatkan
masyarakat dan pemangku kepentingan dalam bentuk advokasi sektor terkait untuk
peningkatan kapasitas dan pengembangan kebijakan yang mendukung pelaksanaan
program
5. Peningkatan peran aktif berbagai pihak termasuk mobilisasi masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengembangan upaya PMTCT.

17
Sesuai Pedoman PPIA (2011), pengembangan strategi implementasi PMTCT
merupakan bagian dari tujuan utama pengendalian HIV-AIDS, yaitu untuk
menurunkan kasus HIV serendah mungkin dengan menurunnya jumlah infeksi HIV
baru, mengurangi stigma dan diskriminasi, serta menurunnya kematian akibat AIDS
(Getting to Zero). Sedangkan dalam pelaksanaannya, PMTCT perlu memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Semua perempuan yang datang ke pelayanan KIA, KB, dan
kesehatan reproduksi, dan kesehatan remaja bisa mendapatkan informasi terkait
reproduksi sehat, penyakit IMS/ HIV, dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak selama masa kehamilan dan menyusui
2. Tes HIV, skrining IMS dan tes sifilis merupakan pemeriksaan
yang wajib ditawarkan kepada semua ibu hamil pada daerah epidemi HIV meluas dan
terkonsentrasi yang datang ke layanan KIA/KB. Di layanan KIA tes HIV, skrining
IMS dan tes sifilis ditawarkan sebagai bagian dari paket perawatan antenatal terpadu
mulai kunjungan antenatal pertama hingga menjelang persalinan. Apabila ibu
menolak untuk dites HIV, petugas dapat melaksanakan konseling pra-tes HIV atau
merujuk ke layanan konseling dan testing sukarela
3. Konseling pasca tes bagi ibu yang hasil tesnya positif
sedapatnya dilaksanakan bersamaan (couple conselling), termasuk pemberian
kondom sebagai alat pencegahan penularan IMS dan HIV di fasilitas pelayanan
kesehatan
4. Perlu partisipasi laki-laki dalam mendukung keberhasilan
PMTCT.
Kebijakan PPIA/PMTCT tersebut terintegrasi dalam Pelayanan Kesehatan Ibu
dan Anak yang komprehensif, antara lain meliputi:
1. Pelaksanaan pelayanan pencegahan penularan HIV dari
ibu ke anak (PPIA) diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),
Keluarga Berencana (KB), dan konseling remaja di setiap jenjang pelayanan

18
kesehatan dengan ekspansi secara bertahap, dengan melibatkan peran swasta serta
LSM.
2. Pelaksanaan kegiatan PPIA/PMTCT terintegrasi dalam
pelayanan KIA merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS
dan IMS
3. Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA, KB,
dan kesehatan remaja harus mendapat informasi mengenai PPIA/PMTCT
4. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi,
tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada
semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat
pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan.
5. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV
oleh tenaga kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB secara
inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau
menjelang persalinan
6. Untuk daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan
yang mampu atau berwenang, pelayanan PPIA/PMTCT dapat dilakukan dengan cara
merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai atau pelimpahan
wewenang (task shifting) kepada tenaga kesehatan yang terlatih. Penetapan daerah
yang memerlukan task shifting petugas dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan
setempat
7. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat
ARV dan mendapatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut
(PDP)
8. Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan
logistik (obat dan pemeriksaan tes HIV) berkoordinasi dengan Ditjen P2PL,
Kemenkes

19
9. Pelaksanaan pertolongan persalinan baik secara per
vaginam atau per abdominam harus memperhatikan indikasi obstetrik ibu dan
bayinya serta harus menerapkan kewaspadaan standar
10. Sesuai dengan kebijakan program bahwa makanan
terbaik untuk bayi adalah pemberian ASI secara ekslusif selama 0-6 bulan, maka ibu
dengan HIV perlu mendapat konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal
pertama, namun apabila ibu memilih lain (pengganti ASI) maka, ibu, pasangan, dan
keluarganya perlu mendapat konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan
teknis
Sasaran Program PMTCT (Prevention of Mother-to-Child Transmission)-
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Guna mencapai tujuan tersebut,
Program PMTCT mempunyai sasaran program, antara lain:
a) Peningkatan Kemampuan Manajemen Pengelola Program PMTCT
b) Peningkatan akses informasi mengenai PMTCT
c) Peningkatan akses intervensi PMTCT pada ibu hamil, bersalin dan nifas
d) Peningkatan akses pelayanan Dukungan Perawatan dan Pengobatan
(Care,Support dan Treatment) bagi ibu dan bayi.
Bentuk-bentuk Intervensi PMTCT (Prevention of Mother-to-Child
Transmission)-Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Intervensi untuk
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, dengan intervensi yang baik maka risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 –45% bisa ditekan menjadikurang dari 2%.
Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang
melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir
sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia.
Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar:
1. Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif.
Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif bermakna penularan infeksi
virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan Intra partum. Terdapat
perbedaan variasi risiko penularan dari ibu ke bayi selama kehamilan dan Laktasi,

20
tergantung sifat infeksi terhadap ibu : Infeksi primer ( HSV/Herpes Simpleks Virus,
HIV1), Infeksi Sekunder/ Reaktivasi (HSV, CMV/ Cyto Megalo Virus), atau Infeksi
Kronis (Hepatitis B, HIV1, HTLV-I).
Mengingat adanya kemungkinan transmisi vertikal dan adanya kerentanan
tubuh selama proses kehamilan, maka pada dasarnya perempuan dengan HIV positif
tidak dianjurkan untuk hamil, dengan alasan hak asasi manusia, perempuan Odha
dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui proses konseling,
pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara
lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load)
minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara
teratur 5.

2. Menurunkan viral load serendah-rendahnya


Menurunkan viral load/ kadar virus serendah-rendahnya. Obat antiretroviral
(ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus,
belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun
demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna
menurunkan kadar virus.
3. Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu
HIV positif.
Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu. Persalinan
dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada
Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lender ibu di jalan
lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir
tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian
menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi sebesar 50-66% . Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka
dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan
pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi

21
vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi). Telah dicatat adanya penularan melalui
ASI pada infeksi CMV, HIV1 dan HTLVI. Sedangkan untuk virus lain, jarang
dijumpai transmisi melalui ASI. HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI,
menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak .
Oleh karena itu ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan
dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif.
Untuk mengurangi resiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula
kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan AFASS dari
WHO (Acceptable= mudah diterima, Feasible= mudah dilakukan, Affordable= harga
terjangkau, Sustainable= berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya).
Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi
persyaratan AFASS maka ibu HIV positif dianjurkan untuk memberikan ASI
eksklusif hingga maksimal 3 bulan, atau lebih pendek jika susu formula memenuhi
persyaratan AFASS sebelum 3 bulan tersebut. Setelah usai pemberian ASI eksklusif,
bayi hanya diberikan susu formula dan menghentikan pemberian ASI. Sangat tidak
dianjurkan pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan
dengan susu formula/ PASI lainnya.
Mukosa usus bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan mengalami
proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi tersebut diberikan ASI yang
mengandung HIV maka akan memberikan kesempatan untuk transmisi melalui
mukosa usus. Resiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu). Oleh
karena itu diperlukan konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang baik.
4. Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif
Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif. Melalui pemeriksaan
ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia
diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat
antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olahraga, tidak merokok, tidak
minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk

22
menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah
penularan bila pasangan bukan Odha.
Strategi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Menurut WHO terdapat
4 (empat) prong yang perlu diupayakan untuk mencegah
terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, meliputi:
a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
Untuk menghindari penularan HIV digunakan konsep ABCD yang terdiri
dari:
 A (Abstinence): Absen seks atau tidak melakukan hubungan seksual bagi orang
yang belum menikah.
 B (Be faithful): Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-
ganti)
 C (Condom): Cegah dengan kondom. Kondom harus dipakai oleh pasangan apabila
salah satu atau keduanya diketahui terinfeksi HIV
 D (Drug No): Dilarang menggunakan napza, terutama napza suntik dengan jarum
bekas secara bergantian.
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.
Pemberian alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling yang
berkualitas akan membantu Odha dalam melakukan seks yang aman,
mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta menghindari lahirnya anak
yang terinfeksi HIV. Untuk mencegah kehamilan alat kontrasepsi yang dianjurkan
adalah kondom, karena bersifat proteksi ganda. Kontrasepsi oral dan kontrasepsi
hormon jangka panjang (suntik dan implan) bukan kontraindikasi pada Odha.
Pemakaian AKDR tidak dianjurkan karena bisa menyebabkan infeksi
asenderen. Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah terjadinya kehamilan
maupun penularan HIV. Jika ibu HIV positif tetap ingin memiliki anak, WHO
menganjurkan jarak antar kelahiran minimal 2 tahun.

23
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya
Merupakan inti dari intervensi PMTCT. Bentuk intervensi berupa:
 Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
 Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT)
 Pemberian obat antiretrovirus (ARV)
 Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi
 Persalinan yang aman.

d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV


positif beserta bayi dan keluarganya.
Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Karena ibu tersebut
terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, maka membutuhkan dukungan
psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Jika bayi dari ibu tersebut tidak
terinfeksi HIV, tetap perlu dipikirkan tentang masa depannya, karena kemungkinan
tidak lama lagi akan menjadi yatim dan piatu. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV,
perlu mendapatkan pengobatan ARV seperti Odha lainnya.
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu HIV positif akan bersikap
optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak
dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku
sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk Odha ini perlu
diketahui masyarakat luas. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka
yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar
mengetahui status HIV mereka sedini mungkin.
Upaya penting untuk melindungi perempuan agar tak tertular HIV adalah dengan
membangkitkan kepedulian terhadap permasalahan HIV dan meningkatkan

24
pemahaman terhadap cara penularan. Dengan demikian diharapkan perempuan dapat
melindungi dirinya dari penularan HIV. Sebaliknya laki-laki yang terinfeksi HIV
perlu menyadari pentingnya penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV
pada pasangannya. Upaya untuk menghentikan penularan HIV perlu menjadi
komitmen semua orang. Melalui upaya-upaya ini diharapkan infeksi HIV pada
perempuan hamil akan dapat dikurangi.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan primer
antara lain:
a) Menyebar luaskan informasi mengenai HIV/AIDS
1) Meningkatkan kesadaran perempuan tentang bagaimana cara menghindari
penularan HIV dan IMS
2) Menjelaskan manaat dari konseling dan tes HIV secara sukarela
3) Mengadakan penyuluhan HIV/AIDS secara berkelompok
4) Mempelajari tentang pengurangan risiko penularan HIV dan IMS (termasuk
penggunaan kondom)
5) Bagaimana bernegosiasi seks aman (penggunaan kondom) dengan pasangan
6) Mobilisasi masyarakat untuk membantu masyarakat mendapatkan akses
terhadap informasi tentang HIV/AIDS
7) Melibatkan petugas lapangan (kader PKK, bidan, dan lainnya ) untuk
memberikan informasi pencegahan HIV dan IMS kepada masyarakat dan
untuk membantu klien mendapatkan akses layanan kesehatan.
b) Konseling untuk perempuan HIV negative
1) Ibu hamil yang hasilnya tesnya HIV negatif perlu didukung agar status dirinya
tetap HIV negative
2) Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV
c) Layanan yang bersahabat untuk pria.
1) Membuat layanan kesehatan ibu dan anak yang bersahabat untuk pria
sehingga mudah diakses oleh suami / pasangan ibu hamil

25
2) Mengadakan kegiatan “kunjungan pasangan” pada kunjungan ke layanan
kesehatan ibu dan anak

Namun demikian perempuan hamil yang terinfeksi HIV masih akan tetap ada
dan perlu mendapat perhatian. Kepedulian dimulai dari kesadaran untuk menawarkan
konseling dan testing HIV pada perempuan hamil. Melalui cara ini diharapkan
diagnosis HIV pada perempuan hamil dapat ditegakkan secara dini sehingga terbuka
kesempatan untuk menolong ibu dan melindungi janin dari penularan HIV.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi terdiri atas:
pemberian obat antiretroviral pencegahan pada masa kehamilan, tindakan seksio
sesaria serta pemberian susu formula sebagai pengganti air susu ibu. Resiko
penularan pada masa intrapartum sekitar 7%, pada partus (persalinan) 15% serta
penularan melalui air susu ibu sekitar 13% sehingga resiko keseluruhan penularan
HIV dari ibu hamil ke bayinya di negara berkembang sekitar 35%. Melalui upaya
pencegahan yang lengkap resiko ini dapat diturunkan sehingga menjadi hanya 2%.
Pemberian obat antiretroviral pada ibu hamil yang telah memenuhi
persyaratan terapi (CD4<350) di samping bermanfaat untuk ibu juga akan
menyebabkan viral load (VL) HIV pada plasma ibu menurun tajam (dapat mencapai
keadaan tak terdeteksi) sehingga juga akan mengurangi resiko penularan HIV pada
bayinya. Pemberian obat antiretroviral pencegahan pada ibu diharapkan dapat

26
menurunkan viral load HIV plasma ibu hamil sampai ke keadaan tak terdeteksi
karena itu sebaiknya obat antiretroviral diberikan sedikitnya sebulan dari rencana
partus (persalinan). Protokol PMTCT (Preventing Mother to Child Transmission
beragam sesuai dengan situasi negara yang bersangkutan.Di Indonesia belum semua
perempuan hamil menjalankan perawatan ante natal secara teratur, bahkan cukup
banyak yang datang ke pelayanan kesehatan hanya untuk melahirkan sehingga waktu
untuk pemberian obat antiretroviral pencegahan menjadi amat sempit.
Pelaksanaan protokol PMTCT juga masih akan bergantung pada tersedianya
layanan. Jika tak tersedia layanan seksio sesaria maka dapat dilakukan partus
(persalinan) normal namun hendaknya pemberian obat antiretroviral pencegahan
cukup lama sehingga memungkinkan viral load sebelum partus tak
terdeteksi.Pendekatan terhadap ibu hamil. Untuk mewujudkan keadaan ibu dan bayi
yang sehat perlu pendekatan terhadap ibu hamil. Ibu hamil perlu mendapat layanan
kesehatan reproduksi esensial termasuk testing dan konseling HIV, penatalaksanaan
infeksi menular seksual serta bila diperlukan layanan pencegahan penularan HIV dari
ibu hamil ke bayi. Untuk itu diperlukan pendekatan untuk mencegah dan mengatasi
infeksi HIV pada perempuan.
Upaya tersebut dilakukan melalui tahap-tahap seperti :
Tahap Kegiatan
Tahap 1 :Penyuluhan tentang bahaya HIV serta pemahaman cara :penularannya
untuk remaja putri. Menawarkan testing dan :konseling HIV untuk ibu
hamil
Tahap 2 :Membantu perempuan yang terinfeksi HIV dalam merencanakan
:kehamilan
Tahap 3 :Melaksanakan PMTCT (Prevention Mother To Child :Transmission)
Tahap 4 :Pemeliharaan kesehatan ibu dan bayi

27
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
1. Azwar, Azrul. 2008. Asuhan Persalinan Normal & Inisiasi Menyusu Dini.
Jakarta: JHPIEGO
2. JNPK-KR. 2008. Asuhan Persalinan Normal dan Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta:
JNPK-KR/POGI
3. Kemenkes RI, 2011. Pedoman Nasional Pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak. Dirjend P2PL
4. Prawihoharjo, Sarwono. 2008 . Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawihoharjo

Sumber Internet :

1. http://publichealth-journal.helpingpeopleideas.com/kebijakan-program-pmtct
2. http://www.kompasiana.com/dr.eki/pencegahan-penularan-hiv-dari-ibu-hamil-
ke-bayi-pmtct_550179c5a333111d72513050

28
29

Anda mungkin juga menyukai