Anda di halaman 1dari 260

MAKALAH PENGELOLAAN SAMPAH

“Perencanaan TPA Sampah”

Disusun Oleh:
Kelompok 3
2A D3 Sanitasi
Rahma Dilan 191110028
Ainul Husna 191110003
Ardhatillah Silvana Putri 191110006
Elga Rahmatika 191110010
Hasnah Aulia 191110013
Mardathillah 191110016
Nabila Sri Meilani 191110019
Neyna Jamiatul Nisaq 191110022
Nurul Afifah Sakinah 191110025
Rifa Khairunnisa 191110032
Silvi Lorita 191110035
Ulfa Salsabilla 191110038

DOSEN PEMBIMBING
Mukhlis, MT
Muchsin Riviwanto, SKM, M.Si

PROGRAM STUDI D3 SANITASI


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI PADANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah yang maha kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum tentang “Perencanaan TPA Sampah”
Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kata
sempurna.Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami nantikan.Demi kesempurnaan laporan kami untuk berikutnya.
Semoga laporan ini bisa menambah wawasan pembaca dalam melakukan
penghitungan voume timbulan sampah.Terima kasih kepada Bapak/Ibuk yang membimbing
kami dalam perhitungan timbulan sampah.
Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam pembuatan laporan ini. Jika ada kesalahan kata dari penulisan laporan ini kami
mohon maaf karena manusia tidak akan pernah luput dari kesalahan.

Padang, Februari 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 7
1.3 Tujuan Masalah.............................................................................................. 7
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sampah.....................................................................................8
2.2 Tahapan pengamanan pencemaran lingkungan TPA.................................9
2.3 Fungsi TPA................................................................................................25
2.4 Dampak Pencemaran dan Permasalahan Sampah di TPA.........................40
2.5 Karakteristik sampah.................................................................................89
2.6 Contoh kasus yang ada dilokasi TPA........................................................125
2.7 Peran masyarakat.......................................................................................150
2.8 Pengelolaan TPA Berwawasan Lingkungan..............................................200
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................253
3.2 Saran..........................................................................................................255
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................256

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia, sampah menjadi masalah yang serius. Bahkan di wilayah yang


seharusnya belum menjadi masalah pun telah menjadi masalah.Yang lebih serius lagi adalah
ketika sampah itu bercampur aduk tidak karuan.Ada sampah daun dan sayur, kertas, plastik,
seng, besi, aluminium, jarum suntik, obat-obatan, baterai dll. Satu dengan lain akan bereaksi
dan membentuk senyawa yang lebih berbahaya. Celakanya, senyawa-senyawa itu kemudian
ada yang terserap ke tanah, ada yang mengudara, ada yang mengalir, dan akhirnya masuk ke
dalam tanaman kita, kemudian ke hewan dan akhirnya ke manusia.
Berdasarkan perkiraan, volume sampah yang dihasilkan oleh manusia rata-rata
sekitar 0,5 kg/perkapita/hari, sehingga untuk kota besar seperti Jakarta yang memiliki
penduduk sekitar 10 juta jiwa, menghasilkan sampah sekitar 5000 ton/hari. Bila tidak cepat
ditangani secara benar, maka kota-kota besar tersebut akan tenggelam dalam timbunan
sampah berbarengan dengan segala dampak negatif yang ditimbulkannya seperti pencemaran
lingkungan seperti air, udara, tanah, dan menimbulkan sumber penyakit. Pada pengolahan
sampah tidak ada teknologi tanpa meninggalkan sisa.
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu
proses. Sampah didefinisikan oleh manusia menurut derajat keterpakaiannya, dalam proses-
proses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang
dihasilkan setelah dan selama proses alam tersebut berlangsung. Akan tetapi karena dalam
kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat dibagi menurut
jenis-jenisnya.
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, mendaur ulang
dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan
dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap
kesehatan, lingkungan, atau estetika. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan
sumber daya alam (resources recovery). Pengelolaan sampah bisa melibatkan
zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keterampilan khusus untuk masing-
masing jenis zat. 1

Sampah menurut Undang -Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan


Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Sampah telah menjadi masalah nasional sehingga pengelolaannya secara komperhensif dan
terpadu agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi
lingkungan serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Salah satu permasalahan di sebagian
besar kabupaten/kota adalah pengelolaan sampah yang masih menerapkan metode dan teknik
pengelolaan sampah yang tidak berwawasan lingkungan, seperti pembuangan akhir sampah
dengan sistem open dumping.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia (di TPA) merupakan
sampah organik sebesar 60-70% yang mudah terurai. Keberadaan sampah dalam jumlah yang
banyak jika tidak dikelola secara baik dan benar, maka akan menimbulkan gangguan dan
dampak terhadap lingkungan, baik dampak terhadap komponen fisik kimia (kualitas air dan
udara), biologi, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan lingkungan. Sistem pengelolaan
sampah terpadu dinilai tepat dan dapat diterapkan untuk memecahkan permasalahan sampah
kota. Penanganan sampah dari segi teknologi tidak akan tuntas hanya dengan menerapkan
satu metode saja tetapi harus dengan kombinasi dari berbagai metode yang kemudian dikenal
sebagai Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu. Dikatakan, Sistem Pengelolaan Sampah
Terpadu tersebut setidaknya mengkombinasikan pendekatan pengurangan sumber sampah,
daur ulang dan guna ulang, pengkomposan, insinerasi dan pembuangan akhir (landfilling).
Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kabupaten Tapanuli Selatan
berada di kawasan pinggiran Kabupaten Tapanuli Selatan yang bertempat di Jalan Lintas
Sumatera di Desa Aek Latong Kecamatan Sipirok. Lokasi ini nantinya akan didisain menjadi
TPA sanitary landfill sesuai dengan amanat undang-undang persampahan UU No. 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di samping itu RTRW juga telah menginisiasi peruntukan
TPA di lokasi tersebut. Sehingga dengan ketersedian lahan di Kabupaten Tapanuli Selatan
maka diprioritaskan pembangunan TPA dapat terlaksana pada Tahun 2018. Mengacu pada
undang-undang pengelolaan sampah, maka setiap TPA harus terdapat fasilitas pengolahan
sampah, sehingga di TPA ini nantinya juga akan direncanakan sebuah fasilitas Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu atau TPST.
Dampak operasional TPA/TPST terhadap lingkungan akan memicu terjadinya konflik
sosial antar komponen masyarakat.
2 Pada tahap Pengelolaan akhir/Pengelolaan, sampah akan
mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas
penyelesaian seluruh proses. Sehingga perlu disusun dokumen lingkungan atas operasional
TPA dan TPST.
UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah yaitu mengubah paradigma
pengelolaan sampah dari kumpul-angkut-buang menjadi pengurangan di sumber (reduce at
source) dan daur ulang sumber daya (resources recycle).Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Sebagaimana lazimnya suatu
aktivitas pembangunan TPA, maka aktivitas Usaha dan/atau Kegiatan ini, baik pada tahap
prakonstruksi, konstruksi, dan pasca konstuksi (operasional), akan menimbulkan dampak
terhadap lingkungan. Dampak yang terjadi dapat bersifat positif (menguntungkan) dan/atau
sebaliknya berdampak negatif (merugikan). Untuk itu perlu adanya upaya mengembangkan
dampak positif dan menekan dampak negatif yang timbul akibat Usaha dan/atau Kegiatan
pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu tersebut.
Upaya tersebut dapat dilaksanakan apabila dampak yang mungkin terjadi bisa
diprakirakan dan dievaluasi sejak dini pada tahap perencanaan pembangunan usaha/kegiatan
melalui studi lingkungan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dokumen UKL dan UPL Usaha dan/atau Kegiatan Tempat Pemrosesan Akhir
Sampah (TPA) ini disusun sesuai dengan tata laksana lampiran IV Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan
Hidup yang difokuskan pada kegiatan tahap pra-kontruksi, tahap kontruksi, tahap pasca
konstruksi (operasional). Studi UKL-UPL ini dibuat guna mematuhi dan melaksanakan
Undang-Undang serta Peraturan Pemerintah tentang Lingkungan Hidup dalam upaya
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Praktik pengelolaan sampah berbeda beda antara negara maju dan negara
berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan dan antara
daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang tidak berbahaya dari
pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh
perusahaan pengolah sampah.
Permasalahan sampah bukan lagi permasalahan kebersihan dan lingkungan saja, tetapi
sudah menjadi masalah sosial yang
3 mampu menimbulkan konflik. Lebih parah lagi, hampir
semua kota di Indonesia, baik kota besar atau kota kecil, tidak memiliki penanganan sampah
yang baik. Umumnya kota di Indonesia memiliki manajemen sampah yang sama, yaitu
dengan metode “kumpul-angkut-buang”. Sebuah metode manajemen persampahan klasik
yang akhirnya berubah menjadi praktik pembuangan sampah secara sembarangan, tanpa
mengikuti ketentuan teknis di lokasi yang sudah ditentukan (proses open dumping).
TPA adalah singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir yaitu tempat untuk
memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan
lingkungan. Bila semua sampah dari semua TPS diangkut dan ditimbun di TPA maka akan
memperpendek umur pakai TPA tersebut karena lekas menjadi penuh.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia (di TPA) merupakan
sampah organik sebesar 60-70% yang mudah terurai. Keberadaan sampah dalam jumlah yang
banyak jika tidak dikelola secara baik dan benar, maka akan menimbulkan gangguan dan
dampak terhadap lingkungan, baik dampak terhadap komponen fisik kimia (kualitas air dan
udara), biologi, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah terpadu dinilai tepat dan dapat diterapkan untuk
memecahkan permasalahan sampah kota. Penanganan sampah dari segi teknologi tidak akan
tuntas hanya dengan menerapkan satu metode saja tetapi harus dengan kombinasi dari
berbagai metode yang kemudian dikenal sebagai Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu.
Dikatakan, Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu tersebut setidaknya mengkombinasikan
pendekatan pengurangan sumber sampah, daur ulang dan guna ulang, pengkomposan,
insinerasi dan pembuangan akhir (landfilling).
Langkah awal pembangunan TPA sistem sanitary landfill adalah penentuan lokasi
TPA yang harus mengikuti persyaratan dan ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan
hidup, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan
sampah dan perencanaan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat menentukan lokasi TPA yang memenuhi
persyaratan tersebut diperlukan analisis berbagai parameter lingkungan dengan menggunakan
berbagai metode dan teknik penilaian (Lane and McDonald, 1983 dalam Alesheikh and
Eslamizadeh, 2008). Menurut Setiawan (2010), apabila analisis tersebut dilakukan dengan
metode konvensional berupa survey dan pemetaan secara terestris, maka akan memerlukan
waktu, tenaga dan biaya yang besar. Sistem Infromasi Geografis (SIG) dengan
kemampuannya dalam memasukkan,
4 menyimpan, mengintegrasikan, memanipulasi,
menganalisa dan menampilkan data bereferensi geografis dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam penentuan lokasi TPA (Lunkapis, 2004). Penggunaan SIG akan mempersingkat waktu
analisis berbagai parameter penilaian kesesuaian lahan untuk lokasi TPA secara umum
maupun secara detail dengan tingkat akurasi data yang tinggi (Rahman dkk., 2008).
Penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan terbuka akan
mengakibatkan pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran air tanah. Demikian
juga pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, pembuangan sampah ke
sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya saluran air dan banjir. Masih
banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran pencemaran sampah yang berdampak pada
lingkungan

Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Seiring dengan


pertumbuhan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia (di TPA) merupakan
sampah organik sebesar 60-70% yang mudah terurai. Keberadaan sampah dalam jumlah yang
banyak jika tidak dikelola secara baik dan benar, maka akan menimbulkan gangguan dan
dampak terhadap lingkungan, baik dampak terhadap komponen fisik kimia (kualitas air dan
udara), biologi, sosial ekonomi, budaya dan kesehatan lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah terpadu dinilai tepat dan dapat diterapkan untuk
memecahkan permasalahan sampah kota. Penanganan sampah dari segi teknologi tidak akan
tuntas hanya dengan menerapkan satu metode saja tetapi harus dengan kombinasi dari
berbagai metode yang kemudian dikenal sebagai Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu.
Dikatakan, Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu tersebut setidaknya mengkombinasikan
pendekatan pengurangan sumber sampah,
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat. Sampah yang dikelola berdasarakan Undang-Undang tentang
pengelolaan sampah terdiri atas 3 jenis yaitu sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah
rumah tangga dan juga sampah spesifik.Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal
dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah
spesifik.Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan
komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan/atau
fasilitas lainnya.Sedangkan yang dimaksud dengan sampah spesifik adalah sampah yang
mengandung bahan berbahaya5 dan beracun, mengandung limbah bahan berbahaya dan
beracun, timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah teknologi belum dapat
diolah dan yang timbul secara periodik.
Langkah awal pembangunan TPA sistem sanitary landfill adalah penentuan lokasi
TPA yang harus mengikuti persyaratan dan ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan
hidup, ketertiban umum, kebersihan kota/lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan
sampah dan perencanaan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat menentukan lokasi TPA yang memenuhi
persyaratan tersebut diperlukan analisis berbagai parameter lingkungan dengan menggunakan
berbagai metode dan teknik penilaian (Lane and McDonald, 1983 dalam Alesheikh and
Eslamizadeh, 2008). Menurut Setiawan (2010), apabila analisis tersebut dilakukan dengan
metode konvensional berupa survey dan pemetaan secara terestris, maka akan memerlukan
waktu, tenaga dan biaya yang besar. Sistem Infromasi Geografis (SIG) dengan
kemampuannya dalam memasukkan, menyimpan, mengintegrasikan, memanipulasi,
menganalisa dan menampilkan data bereferensi geografis dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam penentuan lokasi TPA (Lunkapis, 2004). Penggunaan SIG akan mempersingkat waktu
analisis berbagai parameter penilaian kesesuaian lahan untuk lokasi TPA secara umum
maupun secara detail dengan tingkat akurasi data yang tinggi (Rahman dkk., 2008).
Penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan terbuka akan
mengakibatkan pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran air tanah. Demikian
juga pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, pembuangan sampah ke
sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya saluran air dan banjir. Masih
banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran pencemaran sampah yang berdampak pada
lingkungan
Tempat Pemprosesan Akhir ( TPA) merupakan salah satu tempat yang digunakan
untuk membuang sampah yang sudah menacapai tahap akhir dalam pengelolaan sampah yang
dimulai dari pertamakali sampah dihasilkan, dikumpulkan, diangkut , dikelola dan dibuang.
TPA adalah tempat pengumpulan sampah yang merupakan lokasi yang harus terisolir secara
baik sehingga tidak menyebabkan pengaruh negatif pada lingkungan sekitar
TPA.Keterbatasan lahan merupakan masalah yang selalu dijumpai dalam membangun sarana
dan prasarana serta infrastuktur yang mendukung pelayanan publik salah satunya TPA. Perlu
untuk diketahui lahan yang ada di permukaan bumi ini tidak pernah bertambah dan terus saja
dipaksa untuk menampung manusia dengan segala kebutuhanya. Dalam mencari tempat baru
untuk suatu tujuan sangat tidak mudah pada pelaksanaanya di lapangan, karena sering kali
terbentur berbagai persoalan mulai
6 dari pembebasan tanah dan kependudukan serta akses
menuju tempat yang baru akan dibuka atau digunakan. Penentuan lokasi TPA harus
mempertimbangkan potensi lahan yang terdapat di wilayah yang baru dengan mengenali
karakteristik lahan tersebut secara fisik. Setiap wilayah yang ada dan tersebar diseluruh
indonesia ini memiliki berbagai bentang lahan dengan ciri khas yang berbeda-beda satu
dengan yang lainya. Lahan yang ada dapat dilihat dari proses terbentuknya secara
geomorfologi yang dipengaruhi oleh energi endogen maupun energi eksogen.
Penentuan dan analisis kesesuaian lahan untuk TPA perlu juga dipelajari mengenai
tata guna lahan agar lahan yang digunakan untuk TPA tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Dalam penanganan mengenai sampah ini diserahkan kepada Dinas Kebersihan dan
Pertamanan (DKP) dan Dinas Pekerjaan Umum (PU). Kedua dinas tersebut yang
melaksanakan kegiatan untuk membersihkan dan mengangkut sampah yang ada di tempat
sampah yang terdapat ditempat-tempat umum. Sampah merupakan bagian dari proses
kehidupan manusia yang memiliki sifat konsumtif
Masalah sampah merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari
semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah. Besarnya timbunan sampah
yang tidak dapat ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan yang timbul
akibat kurangnya alternafif dan perspekstif masyarakat terhadap pengelolaan dan
pemanfaatan sampah, baik langsung maupun tidak langsung

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan TPA ?
2. Bagaimana tahapan pengamanan pencemaran lingkungan TPA ?
3. Apa fungsi TPA ?
4. Bagaimana dampak pencemaran sampah di TPA ?
5. Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan dampak negatif dariTPA ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian TPA
2. Untuk mengetahui tahapan pengamanan pencemaran lingkungan TPA
3. Untuk mengetahui fungsi TPA
4. Untuk mengetahui dampak pencemaran sampah di TPA
5. Untuk mengetahui pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan dampak negatif
dari TPA 7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sampah


Sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu
yang dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan manusia bersifat padat(Azwar,1996).
Sedangkan Granier (1991) mendefinisikan sampah adalah barang buangan padatan yang
dianggap tidak diperlukan lagi, selanjutnya sampah merupakan sisa-sisabahan yang telah
lama mengalami perlakuan baik yang telah diambil bagian utamanya, telah mengalami
pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi lingkungan dapat menyebabkan
pencemaran atau gangguan kelestarian alam(Hadiwiyoto,1983).
Sampah merupakansisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu. Definisi lain
mengatakan Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil
aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis.” (Istilah
Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink, 1996).
Menurut Undang-Undang nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Persampahan
mendefinisikan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat, dengan demikian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia yang
berasal dari sesuatu yang tidak terpakai yang berupa padatan yang telah lama mengalami
perlakuan dan telah diambil bagian utamannya serta telah mengalami pengolahan dan sudah
tidak bermanfaat.
Sampah adalah hasil buangan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik (rumah tangga). Definisi World Health Organization (WHO) sampah adalah
sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disukai atau sesuatu yang dibuang yang
berasal dari proses kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2006).
UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, menyebutkan sampah adalah sisa dari
berbagai proses kegiatan setiap hari yang dilakukan oleh manusia ataupun proses alam yang
berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau
tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak bermanfaat dan dibuang ke lingkungan
(Slamet, 2002).
Sampah adalah bahan yang
8 tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud
biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam
pembikinan manufktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2005).
Sampah merupakansisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu. Definisi lain
mengatakan Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil
aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis.” (Istilah
Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink, 1996).
Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau di buang dari suatu
sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai
ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya
baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar.
Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud
biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam
pembikinan manufktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2005). Dalam Undang-Undang No.18 tentang Pengelolaan Sampah
dinyatakan definisi sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau dari proses
alam yang berbentuk padat.
Sampah dapat dirumuskan sebagai bahan sisa dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sampah yang harus dikelola tersebut meliputi sampah yang dihasilkan dari:
a. Rumah tangga
b. Kegiatan komersial: pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel, restoran, tempat
hiburan.
c. Fasilitas sosial: rumah ibadah, asrama, rumah tahanan/penjara, rumah sakit, klinik,
puskesmas :
d. Fasilitas umum: terminal, pelabuhan, bandara, halte kendaraan umum, taman, jalan,
e. Industri : hasil pembersihan saluran terbuka umum, seperti sungai, danau, pantai.

2.2 Ruang Lingkup Sampah

1. Sumber-sumber sampah dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain :


a. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic wastes)
Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah tangga
yang sudah dipakai dan dibuang, seperti sisa-sisa makanan baik yang sudah dimasak
atau belum, bekas pembungkus baik kertas, plastik, daun, dan sebagainya, pakaian-
9
pakaian bekas, bahan-bahan bacaan, perabot rumah tangga, daun-daunan dari kebun
atau taman.
b. Sampah yang berasal dari tempat-tempat umum
Sampah ini berasal dari tempat-tempat umum, seperti pasar, tempat-tempat
hiburan, terminal bus, stasiun kereta api, dan sebagainya. Sampah ini berupa kertas,
plastik, botol, daun, dan sebagainya.
c. Sampah yang berasal dari perkantoran
Sampah ini dari perkantoran baik perkantoran pendidikan, perdagangan,
departemen, perusahaan, dan sebagainya.Sampah ini berupa kertas-kertas, plastik,
karbon, klip dan sebagainya.Umumnya sampah ini bersifat anorganik, dan mudah
terbakar (rubbish).
d. Sampah yang berasal dari jalan raya
Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri dari :
kertas-kertas, kardus-kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban, onderdil-onderdil
kendaraan yang jatuh, daun-daunan, plastik, dan sebagainya.
e.  Sampah yang berasal dari industri (industrial wastes)
Sampah ini berasal dari kawasan industri, termasuk sampah yang berasal dari
pembangunan industri, dan segala sampah yang berasal dari proses produksi,
misalnya : sampah-sampah pengepakan barang, logam, plastik, kayu, potongan tekstil,
kaleng, dan sebagainya.
f. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan
Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian misalnya: jerami, sisa
sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah, dan sebagainya.
g. Sampah yang berasal dari pertambangan
Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari
jenis usaha pertambangan itu sendiri, maisalnya: batu-batuan, tanah/cadas, pasir, sisa-
sisa pembakaran (arang), dan sebagainya.
h. Sampah yang berasal dari petenakan dan perikanan
Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan ini, berupa : kotoran-
kotoran ternak, sisa-sisa makanan bangkai binatang, dan sebagainya (Notoatmojo,
2003).

2. Jenis Sampah
Jenis-jenis sampah juga dapat dibedakan
10 menjadi beberapa, yakni ;
a. Sampah berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya
a) Sampah anorganik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk.
Misalnya : logam/besi, pecahan gelas, plastik dan sebagainya.
b) Sampah organic, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk.
Misalnya : sisa-sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan dan sebagainya.
b. Sampah berdasarkan dapat dan tidaknya terbakar
a) Sampah yang mudah terbakar, misalnya : kertas, karet, kayu, plastik, kain
bekas dan sebagainya.
b) Sampah yang tidak dapat terbakar, misalnya: kaleng-kaleng bekas, besi/logam
bekas, pecahan gelas, kaca, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
c. Sampah berdasarkan karakteristiknya - Abu (Ashes)
Merupakan sisa pembakaran dari bahan yang mudah terbakar, baik di
rumah, di kantor maupun industri.
a) Sampah Jalanan (Street Sweeping), berasal dari pembersihan jalan dan trotoar,
terdiri dari kertas-kertas, kotoran dan daun-daunan.
b) Bangkai Binatang (Dead Animal), yaitu bangkai binatang yang mati karena
bencana alam, penyakit atau kecelakaan.
c) Sampah pemukiman (Household refuse), yaitu sampah campuran yang berasal
dari daerah perumahan.
d) Bangkai Kendaraan (Abandoned vehicles), yang termasuk jenis sampah ini
adalah bangkai mobil, truk, kereta api, satelit, kapal laut dan alat transportasi
lainnya
e) Sampah industri Terdiri dari sampah padat yang berasal dari industri
pengolahan hasil bumi, tumbuh-tumbuhan dan industri lainnya.
f) Sampah hasil penghancuran gedung/bangunan (Demolotion waste), yaitu
sampah yang berasal dari perombakan gedung/bangunan.
g) Sampah dari daerah pembangunan, yaitu sampah yang berasal dari sisa
pembangunan gedung, perbaikan dan pembaharuan gedung. Sampah dari
daerah ini mengandung tanah batu-batuan, potongan kayu, alat perekat, kertas
dan lain-lain.
h) Sampah Padat Pada Air Buangan (Sewage Solid), sampah yang terdiri dari
benda yang umumnya zat organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat
pengolahan air buangan.
i) Sampah Khusus,11yaitu sampah yang memerlukan penanganan khusus dalam
pengelolaannya, misalnya kaleng cat, film bekas, zat radioaktif dan zat yang
toksis. (Mukono, 2006)
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas Sampah
Menurut Slamet (2004) sampah baik kualitas maupun kuantitasnya sangat dipengaruhi
oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain :
a. Jumlah Penduduk
Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk semakin
banyak pula sampahnya.Pengelolaan sampah pun berpacu dengan laju pertambahan
penduduk.
b. Keadaan sosial ekonomi
Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin banyak jumlah
perkapita sampah yang dibuang.Kualitas sampahnya pun semakin banyak bersifat
tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang
tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan
persampahan. Kenaikan kesejahteraan ini pun akan meningkatkan kegiatan konstruksi
dan pembaharuan bangunan-bangunan, transportasi pun bertambah, dan produk
pertanian, industri dan lain-lain akan bertambah dengan konsekuensi bertambahnya
volume dan jenis sampah.
c. Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena
pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk
manufaktur yang semakin beragam pula.
d. Tingkat pendidikan
Menurut Hermawan (2005) Untuk meningkatkan mutu lingkungan,
pendidikan mempunyai peranan penting karena melalui pendidikan, manusia makin
mengetahui dan sadar akan bahaya limbah rumah tangga terhadap lingkungan,
terutama bahaya pencemaran terhadap kesehatan manusia dan dengan pendidikan
dapat ditanamkan berpikir kritis, kreatif dan rasional. Semakin tinggi tingkat
pendidikan selayaknya semakin tinggi kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam
pengelolaan sampah.

4. Penerapan prinsip 3-R, 4-R atau 5-R


Prinsip-prinsip yang dapat
12 diterapkan dalam penanganan sampah misalnya dengan
menerapkan prinsip 3-R, 4-R atau 5-R. Penanganan sampah 3-R adalah konsep penanganan
sampah dengan cara Reduce  (mengurangi), Reuse (menggunakan
kembali), Recycle (mendaur ulang sampah), sedangkan 4-R ditambah Replace (mengganti)
mulai dari sumbernya. Prinsip 5-R selain 4 prinsip tersebut di atas ditambah lagi
dengan Replant  (menanam kembali).Penanganan sampah 4-R sangat penting untuk
dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan yang efisien dan efektif,
sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pengelolaan sampah.
a. Reduce
Prinsip Reduce dilakukan dengan cara sebisa mungkin melakukan
minimalisasi barang atau material yang digunakan. Semakin banyak kita
menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Menurut Suyoto (2008) tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan
program reduce:
a) Hindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan sampah dalam
jumlah besar
b) Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau fungsi lain
c) Gunakan baterai yang dapat di charge kembali
d) Jual atau berikan sampah yang terpilah kepada pihak yang memerlukan
e) Ubah pola makan (pola makan sehat : mengkonsumsi makanan segar, kurangi
makanan kaleng/instan)
f) Membeli barang dalam kemasan besar (versus kemasan sachet)
g) Membeli barang dengan kemasan yang dapat di daur ulang (kertas, daun dan lain-
lain)
h) Bawa kantong/tas belanja sendiri ketika berbelanja
i) Tolak penggunaan kantong plastic
j) Gunakan rantang untuk tempat membeli makanan
k) Pakai serbet/saputangan kain pengganti tisu
l) Kembali kepemakaian popok kain bagi para ibu
b. Reuse
Prinsip reuse  dilakukan dengan cara sebisa mungkin memilih barang-barang yang
bisa dipakai kembali. Dan juga menghindari pemakaian barang-barang yang hanya sekali
pakai. Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi
sampah.
Menurut Suyoto (2008)
13 tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan
program reuse:
a) Pilih produk dengan pengemas yang dapat didaur ulang
b) Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill)
c) Kurangi penggunaan bahan sekali pakai
d) Plastik kresek digunakan untuk tempat sampah
e) Kaleng/baskom besar digunakan untuk pot bunga atau tempat sampah
f) Gelas atau botol plastik untuk pot bibit, dan macam-macam kerajinan
g) Bekas kemasan plastik tebal isi ulang digunakan sebagai tas
h) Styrofoam digunakan untuk alas pot atau lem
i) Potongan kain/baju bekas untuk lap, keset, dan lain-lain
j) Majalah atau buku untuk perpustakaan
k) Kertas koran digunakan untuk pembungkus
c. Recycle
Prinsip recycle dilakukan dengan cara sebisa mungkin, barang-barang yang sudah
tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat
ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan
sampah menjadi barang lain.
Menurut Suyoto (2008) tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan
program recycle:
a) Mengubah sampah plastik menjadi souvenir
b) Lakukan pengolahan sampah organik menjadi kompos
c) Mengubah sampah kertas menjadi lukisan atau mainan miniatur
d. Replace
Prinsip replace  dilakukan dengan cara lebih memperhatikan barang yang
digunakan sehari-hari. Dan juga mengganti barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali
dengan barang yang lebih tahan lama. Prinsip ini mengedepankan penggunaan bahan-
bahan yang ramah lingkungan seperti mengganti kantong plastik dengan keranjang saat
berbelanja, atau hindari penggunaan styrofoam karena banyak mengandung zat kimia
berbahaya.
e.  Replant
Prinsip replant dapat dilakukan dengan cara membuat hijau lingkungan sekitar
baik lingkungan rumah, perkantoran, pertokoan, lahan kosong dan lain-lain. Penanaman
kembali ini sebagian menggunakan barang atau bahan yang diolah dari sampah
6. Hambatan dalam Pengelolaan
14 Sampah
Menurut Slamet (2004) masalah pengelolaan sampah di Indonesia merupakan
masalah yang rumit karena :
a. Cepatnya perkembangan teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memahami persoalan persampahan
b. Meningkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan
pengetahuan tentang persampahan
c. Kebiasaan pengelolaan sampah yang tidak efisien menimbulkan pencemaran
udara, tanah dan air, gangguan estetika dan memperbanyak populasi lalat dan
tikus
d. Semakin sulitnya mendapatkan lahan sebagai tempat pembuangan akhir sampah,
selain tanah serta formasi tanah yang tidak cocok bagi pembuangan sampah, juga
terjadi kompetisi yang semakin rumit akan penggunaan tanah.
e. Semakin banyaknya masyarakat yang berkeberatan bahwa daerahnya dipakai
tempat pembuangan sampah
f. Kurangnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan
g. Sulitnya menyimpan sampah sementara yang cepat busuk, karena cuaca yang
panas.
h. Sulitnya mencari partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya
dan memelihara kebersihan.
i. Pembiayaan yang tidak memadai, mengingat bahwa sampai saat ini kebanyakan
sampah dikelola oleh jawatan pemerintah.
j. Pengelolaan sampah dimasa lalu dan saat ini kurang memperhatikan faktor non
teknis seperti partisipasi masyarakat dan penyuluhan tentang hidup sehat dan
bersih.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa faktor yang lebih dominan menimbulkan
hambatan dalam pengelolaan sampah adalah kurangnya pengetahuan, tentang pengelolaan
sampah, kebiasaan pengelolaan sampah yang kurang baik dan kurangnya partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sampah (Rohani, 2007).

2.3 Pengertian TPA


Tahap akhir dari pengelolaan sampah yaitu pembuangan.Di mana pembuangan ini
dilakukan di TPA, Tempat Pemrosesan Akhir. Menurut UU No. 18 Tahun 2008, Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan
15 tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam
pengelolaannya. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak
menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Pengelolaan sampah adalah suatu
bidang yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbunan, penyimpanan
(sementara), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan
sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan
masyarakat, ekonomi, teknik (engineering), perlindungan alam (conservation), keindahan dan
pertimbangan lingkungan lainnya dan juga mempertimbangkan sikap masyarakat
(Techobanoglou, 1993). Teknologi pengelolaan sampah sebenarnya sudah sangat
maju.Terdapat beberapa tahapan teknologi pengelolaan sampah. Teknologi TPA generasi I
adalah sistem open dumping yang sekedar menimbun sampah tanpa pengolahan, teknologi
TPA generasi II adalah sanitary landfill sistem kering (dry cell) yang biasa digunakan di
negara-negara subtropis seperti Eropa dan AS (Diharto,2009).
Tempat Pembuangan Akhir (disingkat TPA) adalah tempat untuk
menimbun sampah dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. Pada kenyataannya,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, TPA seharusnya merupakan singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir dan
menerima sampah residu yang telah diproses sebelumnya. Tujuannya adalah untuk memroses
dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan
lingkungan.TPA dapat berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah
membawa sampah di tempat produksi) begitu pun tempat yang digunakan oleh produsen.
Dahulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan terorganisir dan tetap
begitu di sejumlah tempat di dunia.Sejumlah dampak negatif dapat ditimbulkan dari
keberadaan TPA. Dampak tersebut bisa beragam: musibah fatal (misalnya, burung
bangkai yang terkubur di bawah timbunan sampah); kerusakan infrastruktur (misalnya,
kerusakan ke akses jalan oleh kendaraan berat); pencemaran lingkungan setempat (seperti
pencemaran air tanah oleh kebocoran dan pencemaran tanah sisa selama pemakaian TPA,
begitupun setelah penutupan TPA); pelepasan gas metana yang disebabkan oleh
pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah kaca yang berkali-kali lebih
potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat);
melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang dioperasikan
secara salah, yang umum di Dunia Ketiga; jelas pada margasatwa; dan gangguan sederhana
(misalnya, debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara).
Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terdapat syarat sebagai tempat tersebut,
syarat-syarattersebut yang menjadi
16 lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yaitu :
1. Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, rawan longsor, rawan gempa, dll)
2. Bukan daerah rawan geologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman air
tanahkurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan
sumber air, dll
3. Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan >20%)
4. Bukan daerah rawan terhadap kegiatan seperti bandara, pusat perdagangan
5. Bukan daerah/kawasan yang dilindungi
Beberapa permasalahan yang sudah timbul terkait dengan operasional TPA menurut
(Damanhuri, 1995)yaitu :
1. Pertumbuhan vektor penyakit Sampah merupakan sarang yang sesuai bagi berbagai
vektor penyakit. Berbagai jenis rodentisida dan insektisida seperti, tikus, lalat, kecoa,
nyamuk, sering dijumpai di lokasi ini.
2. Pencemaran udara Gas metana (CH4) yang dihasilkan dari tumpukan sampah ini, jika
konsentrasinya mencapai 5 – 15 % di udara, maka metana dapat mengakibatkan
ledakan
3. Pandangan tak sedap dan bau tak sedap Meningkatnya jumlah timbulan sampah,
selain sangat mengganggu estetika, tumpukan sampah ini menimbulkan bau tak
sedap.
4. Asap pembakaran Apabila dilakukan pembakaran, akan sangat mengganggu terutama
dalam transportasi dan gangguan kesehatan.
5. Pencemaran leachate Leachate merupakan air hasil dekomposisi sampah, yang dapat
meresap dan mencemari air tanah.
6. Kebisingan Gangguan kebisingan ini lebih disebabkan karena adanya kegiatan operasi
kendaraan berat dalam TPA (baik angkutan pengangkut sampah maupun kendaraan
yang digunakan meratakan dan atau memadatkan sampah).
7. Dampak sosial Keresahan warga setempat akibat gangguan-gangguan yang
disebutkan di atas.

Terkait dengan permasalahan diatas PP no 16/2005 tentang Pengembangan


Penyediaan Air Minum mensyaratkan bahwa penanganan sampah yang memadai perlu
dilakukan untuk perlindungan air baku air minum. TPA wajib dilengkapi dengan zona
penyangga dan metode pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfill (kota
17
besar/metropolitan) dan controlled landfill (kota sedang/kecil). Perlu dilakukan
pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate (efluen) secara berkala.
Regulasi berdasarkan UU No. 18 / 2008 mengisyaratkan ketentuan penutupan TPA
open dumping menjadi sanitary landfill dalam waktu 5 (lima) tahun, sehingga diperlukan
berbagai upaya untuk melakukan revitalisasi TPA. TPA yang dulu merupakan tempat
pembuangan akhir, berdasarkan UU no 18 Tahun 2008 menjadi tempat pemrosesan akhir
didefinisikan sebagai pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah
dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Selain
itu di lokasi pemrosesan akhir tidak hanya ada proses penimbunan sampah tetapi juga
wajib terdapat 4 (empat) aktivitas utama penanganan sampah di lokasi TPA, yaitu
(Litbang PU, 2009):
a) Pemilahan sampah
b) Daur-ulang sampah non-hayati (an-organik)
c) Pengomposan sampah hayati (organik)
d) Pengurugan/penimbunan sampah residu dari proses di atas di lokasi
pengurugan atau penimbunan (landfill)

Pada unit materi ini akan lebih banyak dijelaskan mengenai landfill berserta
inovasi proses dan perancangan landfill. Landfill merupakan suatu kegiatan
penimbunan sampah padat pada tanah.Jika tanah memiliki muka air yang cukup
dalam, tanah bisa digali, dan sampah bisa ditimbun didalamnya. Metode ini kemudian
dikembangkan menjadi sanitary landfill yaitu penimbunan sampah dengan cara yang
sehat dan tidak mencemari lingkungan.
Sanitary landfill didefinisikan sebagai sistem penimbunan sampah secara sehat
dimana sampah dibuang di tempat yang rendah atau parit yangdigali untuk
menampung sampah, lalu sampah ditimbun dengan tanah yang dilakukan lapis demi
lapis sedemikian rupa sehingga sampah tidak berada di alam terbuka (Tchobanoglous,
et al., 1993). Pada prinsipnya landfill dibutuhkan karena:
a) Pengurangan limbah di sumber, daur ulang atau minimasi limbah tidak dapat
menyingkirkan seluruh limbah.
b) Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih
lanjut.
c) Kadangkala limbah sulit diuraikan secara biologis, sulit diolah secara kimia,
atau sulit untuk dibakar.
18
Beberapa hal yang sangat diperhatikan dalam operasional sanitary landfill
adalah adanya pengendalian pencemaran yang mungkin timbul selama operasional
dari landfill seperti adanya pengendalian gas, pengolahan leachate dan tanah penutup
yang berfungsi mencegah hidupnya vector penyakit. Berdasarkan peletakkan sampah
di dalam sanitary landfill, maka klasifikasi dari landfill dapat dibedakan menjadi
(Gambar1) :
a. Mengisi Lembah atau cekungan. Metode ini biasa digunakan untuk
penimbunan sampah yang dilakukan pada daerah lembah, seperti tebing,
jurang, cekungan kering, dan bekas galian. Metode ini dikenal dengan
depression method.Teknik peletakan dan pemadatan sampah tergantung
pada jenis material penutup yang tersedia, kondisi geologi dan hidrologi
lokasi, tipe fasilitas pengontrolan leachate dan gas yang digunakan, dan
sarana menuju lokasi.
b. Mengupas Lahan secara bertahap Pengupasan membentuk parit-parit
tempat penimbunan sampah dikenal sebagai metode trench. Metode ini
digunakan pada area yang memiliki muka air tanah yang dalam. Area yang
digunakan digali dan dilapisi dengan bahan yang biasanya terbuat dari
membran sintetis, tanah liat dengan permeabilitas yang rendah (low-
permeability clay), atau kombinasi keduanya, untuk membatasi pergerakan
leachate dan gasnya.
c. Menimbun Sampah di atas lahan. Untuk daerah yang datar, dengan muka
air tanah tinggi, dilakukan dengan cara menimbun sampah di atas lahan.
Cara ini dikenal sebagai metode area. Sampah dibuang menyebar
memanjang pada permukaan tanah, dan tiap lapis dalam proses pengisian
(biasanya per 1 hari), lapisan dipadatkan, dan ditutupdengan material
penutup setebal 15-30 cm. Luas area penyebaran bervariasi tergantung
pada volume timbulan sampah dan luas lahan yang tersedia.

19
Metode Pengurugan
Metode pengurugan sampah berdasarkan kondisi topografi, sumber materi penutup dan
kedalaman air tanah dibedakan metode trench dan area.
1. Metode trench atau ditch
Metode ini diterapkan ditanah yang datar.Dilakukan penggalian tanah secara
berkala untuk membuat parit sedalam dua sampai 3 meter.Tanah disimpan untuk
dipakai sabagai bahan penutup.Sampah diletakan di di dalam parit, disebarkan,
dipadatkan dan ditutup dengan tanah.
2. Metode Area
Untuk area yang datar dimana parit tidak bisa dibuat, sampah disimpan
langsung diatas tanah asli
20 smapai ketinggian beberapa meter.Tanah penutup bisa
diambil dari luar TPA atau diambil dari bagian atas tanah.
3. Kombinasi kedua metode
Karena kedua cara ini sama dalam pengurugannya, maka keduanya dapat
dikombinasikan agar pemanfaatan tanah dan bahan penutup yang baik serta
meningkatkan kinerja operasi.
2.4 Tahapan pengamanan pencemaran lingkungan TPA
1. Tahapan Pra Konstruksi
a. Pemilihan lokasi TPA

Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut yang diakibatkan


olehmetode pembuangan akhir sampah yang tidak memadai seperti yang selalu ter
jadi di berbagaikota di Indonesia, maka langkah terpenting adalah memilih lokasi
yang sesuai dengan persyaratan.Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1997 tentang
Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, bahwalokasi yang memenuhi persyaratan
sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah :
a) Jarak dari perumahan terdekat 500 m
b) Jarak dari badan air 100 m
c) Jarak dari airport 1500 m (pesawat baling-baling) dan 3000 m (pesawat jet)
d) Muka air tanah > 3 m
e) Jenis tanah lempung dengan konduktivitas hidrolik < 10–6cm / det 
f) Merupakan tanah tidak produktif

Bebas banjir minimal periode 25 tahunPemilihan lokasi TPA sebagai


langkah awal dalam peningkatan metode pembuanganakhir sampah, perlu
dilakukan secara teliti melalui tahapan studi yang komprehensif(feasibility study
dan studi amdal). Sulitnya mendapatkan lahan yang memadai didalamkota, maka
disarankan untuk memilih lokasi TPA yang dapat digunakan secara
regional.Untuk lokasi TPA yang terlalu jauh (>25 km) dapat menggunakan sistem
transfer station.

b. Survey dan pengukuran lapangan


Data untuk pembuatan DED TPA harus meliputi : 
a) Jumlah sampah yang akan dibuang ke TPA
21 karakteristik sampah
b) Komposisi dan
c) Data jaringan jalan ke lokasi TPA 
Jumlah alat angkut (truk)Pengumpulan data tersebut dapat dilakukan secara
langsung (primer) maupun tidaklangsung (sekunder).
Pengukuran lapangan dilakukan untuk mengetahui data kondisi lingkungan TPA
seperti:
a) Topografi 
b) Karakteristik tanah, meliputi karakteristik fisik (komposisi tanah,
konduktivitashidrolik, pH, KTK dan lain-lain) dan karakteristik kimia
(komposisi mineral tanah,anion dan kation) 
c) Sondir dan geophysic 
d) Kondisi air tanah, meliputi kedalaman muka air tanah, arah aliran air
tanah, kualitasair tanah (COD, BOD, Chlorida, Fe, Organik dan lain-lain) 
e) Kondisi air permukaan, meliputi jarak dari TPA, level air, fluktuasi level
air musimhujan dan kemarau, kualitas air sungai (BOD, COD, logam
berat, chlorida, sulfat, pestisida dan lain-lain) 
f) Lokasi mata air ( jika ada) termasuk debit. 
g) Kualitas lindi, meliputi BOD, COD, Chlorida, Logam berat, Organik dan
lain-lain.
h) Kualitas udara, meliputi kadar CH4, COx, SOx, NOx dan lain-lain.
i) Jumlah penduduk yang tinggal disekitar TPA (radius < 500 m)
j) Dan lain-lain
c. Perencanaan
Perencanaan TPA berupa Detail Engineering Design (DED), harus dapat
mengantisipasiterjadinya pencemaran lingkungan . Dengan demikian maka
perencanaan TPA tersebutharus meliputi : 
a) Disain site plan disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia
b) Disain fasilitas yang meliputi fasilitas umum (jalan masuk dan jalan
operasi, salurandrainase, kantor TPA, pagar), fasilitas perlindungan
lingkungan (tanggul, lapisandasar kedap air, jaringan pengumpul dan
pengolah lindi, ventilasigas,
barrier,tanah penutup, sumur uji, alat berat dan lainlain) dan fasilitas 
pendukung (air bersih, bengkel, jembatan timbang dan lain-lain) 
c) Tahapan pembangunan
22 disesuaikan dengan kemampuan pendanaan daerah
untukmembangun suatu TPA sehingga dengan kondisi yang paling
minimal TPA tersebutdapat berfungsi tanpa mencemari lingkungan. 
d) Dokumen DED dilengkapi juga dengan gambar detail, SOP, dokumen
tender,spesifikasi teknis, disain note dan lain-lain

d. Pembebasan Lahan
Pembebasan lahan TPA perlu memperhatikan dampak sosial yang
mungkin timbulseperti kurang memadainya ganti rugi bagi masyarakat yang
tanahnya terkena proyek.Luas lahan yang dibebaskan minimal dapat digunakan
untuk menampung sampah selama5 tahun.
e. Pemberian Izin

Pemberian izin lokasi TPA harus diikuti dengan berbagai konsekuensi


sepertidilarangnya pembangunan kawasan perumahan atau industri pada radius <
500 m darilokasi TPA, untuk menghindari terjadinya dampak negatif yang
mungkin timbul dari berbagai kegiatan TPA.
f. Sosialisasi
Untuk menghindari terjadinya protes sosial atas keberadaan suatu TPA,
perludiadakan sosialisasi dan advokasi publik mengenai apa itu TPA,
bagaimanamengoperasikan suatu TPA dan kemungkinan dampak negatif yang
dapat terjadinamun disertai dengan rencana atau upaya pihak pengelola untuk
menanggulangimasalah yang mungkin timbul dan tanggapan masyarakat terhadap
rencana pembangunan TPA. Sosialisasi dilakukan secara bertahap dan jauh
sebelum dilakukan perencanaan.

2. Tahap Kontruksi
1) Mobilisasi tenaga dan alat
a) Tenaga
Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang akan
melaksanakan pekerjaan konstruksi TPA. Untuk tenaga profesional seperti
tenaga supervisi, ahlistruktur dan mandor harus direkrut sesuai dengan
persyaratan kualifikasi, sedangkanuntuk tenaga buruh atau tenaga
keamanan dapat direkrut dari tenaga setempat (jikaada).Rekrutmen tenaga
23 untuk menghindari terjadinya konflik ataukecemburuan
setempat adalah
sosial.
b) Alat
Mobilisasi peralatan konstruksi mungkin akan menimbulkan dampak
kebisingan dandebu, namun sifatnya hanya sementara. Untuk itu agar
dapat diusahakan mobilisasiatau demobilisasi alat berat dilakukan pada
saat lalu lintas dalam keadaan sepi sertatidak melalui permukiman yang
padat.

2) Pembersihan lahan (land clearing)

 Pembersihan lahan akan menimbulkan dampak pengurangan jumlah


tanaman dandebu sehingga perlu dilakukan penanaman pohon sebagai pengganti
atau membuatgreen barrier yang memadai
3) Pembangunan fasilitas umum 
a. Jalan Masuk TPA

 Jalan masuk TPA akan digunakan oleh kendaraan pengangkut sampah


dengankapasitas yang cukup besar, sehingga kelas jalan dan lebar jalan
perlumemperhatikan beban yang akan lewat serta antrian yang mungkin
terjadi.Pengaturan lalu lintas untuk kendaraan yang akan masuk dan keluar
TPAsedemikian rupa sehingga dapat menghindari antrian yang panjang karena
dapatmengurangi efisiensi pengangkutan.
b. Kantor TPA

Kantor TPA berfungsi sebagai kantor pengendali kegiatan


pembuangan akhir mulaidari penimbangan/ pencatatan sampah yang masuk
(sumber, volume/berat,komposisi dan lain-lain), pengendalian operasi,
pengaturan menajemen TPA danlain-lain. Luas dan konstruksi bangunan
kantor TPA perlu memperhatikan fungsitersebut. Selain itu juga dapat
dilengkapi dengan ruang laboratorium sederhanauntuk analisis kualitas lindi
maupun efluen lindi yang akan dibuang kebadan air penerima.
c. Drainase

Drainase keliling TPA diperlukan untuk menampung air hujan agar


tidak masuk kearea timbunan TPA, selain untuk mencegah tergenangnya area
24
timbunan sampah juga untuk mengurangi timbulan lindi.
d. Pagar TPA

Pagar TPA selain berfungsi sebagai batas TPA dan keamanan TPA
juga dapat berfungsi sebagaigreen barrier. Untuk itu maka pagar TPA
sebaiknya dibuatdengan menggunakan tanaman hidup dengan jenis pohon
yang rimbun dan cepattumbuh seperti pohon angsana.
4) Pembangunan fasilitas perlindungan lingkungan
a. Lapisan Dasar Kedap Air

 Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya


pencemaran linditerhadap air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA
harus cukup kedap, baikdengan menggunakan lapisan dasar
geomembrane/geotextile maupun lapisan tanahlempung dengan kepadatan dan
permeabilitas yang memadai (< 10-6 cm/det).Lapisan tanah lempung
sebaiknya terdiri dari 2 lapis masing-masing setebal 30 cm.Hal tersebut
dilakukan untuk mencegah terjadinya keretakan akibat kerusakanlapisan
pertama karena terekspose cukup lama. Selain itu untuk
menghindariterjadinya keretakan lapisan dasar tanah lempung, maka sebelum
dilakukan peninmbunan sebaiknya lapisan dasar “terlindung” . Sebagai contoh
dapat dilakukanpenanaman rumput atau upaya lain yang cukup memadai.
b. Jaringan Pengumpul Lindi
Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi untuk
mengalirkan lindiyang terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampung
lindi.Jaringan pengumpul lindi dapat berupa pipa PVC berlubang yang
dilindungi oleh gravel.
Tipe jaringan disesuaikan dengan kebutuhan seperti luas TPA, tingggi timbun
an, debitlindi dan lain-lain.
c. Pengolahan Lindi

Instalasi atau kolam pengolahan lindi berfungsi untuk menurunkan


kadar pencemarlindi sampai sesuai dengan ketentuan standar efluen yang
berlaku. Mengingatkarakteristik lindi didominasi oleh komponen organik
dengan nilai BOD rata-rata2000 – 10.000 ppm (Qasim, 1994), maka
pengolahan lindi yang disarankan minimaldengan proses pengolahan biologi
(secondarytreatment ).Proses pengolahan
25
lindi perlu memperhatikan debit lindi, karakteristik lindi dan badan air peneri
ma tempat pembuangan efluen. Hal tersebut berkaitan dengan pemilihan prose
s pengolahan, penentuan kapasitas dan dimensi kolam serta perhitungan
waktu detensi.
Mengingat proses biologi akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan
aktivitasmikroorganisme, maka pengkondisian dan pengendalian proses
memegang peranan penting. Sebagai contoh kegagalan proses yang terjadi
selama ini adalah karena tidakadanya upaya seeding dan aklimatisasi proses
biologi, sehingga efisiensi proses tidakdapat diprediksi bahkan cenderung
sangat rendah.Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri
dari beberapa tahapsebagai berikut :
c) Pengumpulan lindi, dilakukan di kolam pengumpul
d) Proses anaerobik, dilakukan di kolam anaerob (kedalaman > 2m). Proses
inidiharapkan dapat menurunkan BOD sampai 60 %
e) Proses fakultatif yang merupakan proses peralihan dari anaerobik,
dilakukan dikolam fakultatif. Proses ini diharapkan dapat menurunkan
BOD sampai 70 %
f) Proses maturasi atau stabilisasi, dilakukan di kolam maturasi dengan
efisiensi proses 80 %
g) Land treatment, dilakukan dengan membuat lahan yang berfungsi
sebagaisaringan biologi yang terdiri dari ijuk, pasir, tanah dan tanaman
yang dapatmenyerap bahan polutan.

Dalam kondisi efluen belum dapat mencapai nilai efluen yang


diharapkan, makadapat dilakukan proses resirkulasi lindi ke lahan timbunan
sampah melalui pipaventilasi gas. Adanya proses serupa “trickling filter”,
diharapkan dapat menurunkankadar BOD lindi.
d. Ventilasi Gas

Ventilasi gas berfungsi untuk mengalirkan gas dari timbunan sampah


yang terbentukkarena proses dekomposisi sampah oleh aktivitas
mikroorganisme. Tanpa adanyaventilasi yang memadai, akan dapat
menyebabkan tingginya akumulasi gas ditimbunan sampah sehingga sangat
mudah terbakar. Gas yang mengalir dan keluardari pipa ventilasi sebaiknya
diolah sebagai biogas (di negara maju, gas dari landfilldimanfaatkan untuk
26
menghasilkan tenaga listrik). Tetapi apabila tidak dilakukan pengolahan gas
TPA, maka gas yang keluar dari pipa vent harus dibakar, hal tersebutuntuk
menghindari terjadinya dampak negatif terhadap pencemaran udara
berupaefek rumah kaca (green house effect ).Pemasangan pipa gas berupa pipa
PVC berlubang (vertikal) yang dilindungi olehcasing yang diisi kerikil, harus
dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketinggianlapisan sel sampah. Letak
pipa gas agar berada pada jalur jaringan pipa lindi.
e. Green Barrier

Untuk mengantisipasi penyebaran bau dan populasi lalat yang tinggi,


maka perludibuat green barrier berupa area pepohonan disekeliling TPA.Tebal
green barrierkurang lebih 10 m (canopi). Pohon yang cepat tumbuh dan
rimbun untuk memenuhikebutuhan ini antara lain jenis pohon angsana.
f. Sumur Uji

Sumur uji diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran


terhadap air tanahyang disebabkan oleh adanya rembesan lindi dari dasar TPA
(dasar TPA tidakkedap, adanya retakan lapisan tanah, adanya kebocoran
geomembran ).
5) Pembangunan fasilitas pendukung
a. Sarana Air Bersih

Air bersih di TPA diperlukan untuk pembersihan kendaraan


pengangkut sampah(truck), alat berat, keperluan mandi cuci bagi petugas
maupun pengunjung TPA.Selain itu apabila memungkinkan air bersih juga
diperlukan untuk menyiram debudisekitar area penimbunan secara berkala
untuk mengurangi polusi udara. 
b. Bengkel

Bengkel di TPA diperlukan untuk pemeliharaan alat berat serta


memperbaikikendaraan yang mengalami kerusakan ringan yang terjadi di
TPA, sehingga tidaksampai mengganggu operasi pembuangan sampah.
Peralatan bengkel harusdisesuaikan dengan jenis kerusakan yang akan
ditangani.
c. Jembatan Timbang

Jembatan 27timbang diperlukan untuk mengetahui berat sampah yang


masuk TPAsehingga masa pakai TPA dapat dikendalikan.Selain itu jembatan
timbang tersebutdapat digunakan sebagai ukuran pembayaran pembuangan
sampah per truk (untuksampah dari sumber tertentu yang tidak dikenakan
retribusi).
3. Tahap pasca konstruksi
a. Operasi dan Pemeliharaan TPA

Operasi dan pemeliharaan TPA merupakan hal yang paling sulit


dilaksanakan dariseluruh tahapan pengelolaan TPA. Meskipun fasilitas TPA yang
ada sudah cukupmemadai, apabila operasi dan pemeliharaan TPA tidak dilakukan
dengan baik makatetap akan terjadi pencemaran lingkungan.Untuk menghindari
terjadinya dampak negatif yang mungkin
timbulmaka pengoperasian pembuangan akhir sampah dilakukan dengan memper
hatikan hal-halsebagai berikut :
Penerapan sistem sel memerlukan pengaturan lokasipembuangansampah yang jelas
termasuk pemasangan rambu-rambu lalu lintas truk sampah, kedisiplinan sopir truk
untuk membuang sampah pada sel yang telah ditentukan danlain-lain 
a) Pemadatan sampah sedemikian rupa agar dapat mencapai kepadatan 700
kg/m3,yaitu dengan lintasan alat berat 5 x. Untuk proses pemadatan pada lapis
pertama perlu dilakukan secara hati-hati agar alat berat tidak sampai merusak j
aringan pipa leachate yang dapat menyebabkan kebocoran leachate. 
b) Penutupan tanah dilakukan secara harian (20cm), intermediate(30cm)
dan penutupan tanah akhir (50 cm ). Pemilihan jenis tanah penutup perlumemp
ertimbangkan tingkat kekedapannya, diusahakan merupakan jenis yangtidak
kedap. Dalam kondisi penutupan tanah tidak dilakukan secara harian,
makauntuk mengurangi populasi lalat dilakukan penyemprotan insektisida
c) Pengolahan lindi dikondisikan untuk mengoptimalkan proses pengolahan
baikmelalui proses anaerob, aerob, fakultatif, maturasi dan resirkulasi lindi,
sehinggadicapai efluen yang memenuhi standar baku mutu (BOD 30–  150
ppm)
d) Pipa ventilasi gas berupa pipa berlubang yang dilindungi oleh kerikil dan
casingdipasang secara bertahapsesuai dengan ketinggian lapisan timbunan
sampah

28 TPA
b. Reklamasi lahan bekas

Untuk menghindari terjadinya dampak negatif, karena proses dekomposisi


sampahmenjadilindi dan gas berlangsung dalam waktu yang sangat lama 30 tahun
(Thobanoglous, 1993), maka lahan bekas TPA direkomendasikan untuk lahan
terbukahijau atau sesuai dengan rencana tata guna lahannya. Apabila lahan bekas
TPA akandigunakan sebagai daerah perumahan atau bangunan lain, maka
perlumemperhitungkan faktor keamanan bangunan secara maksimal.Reklamasi
lahan bekas TPA disesuaikan dengan rencana peruntukannya terutamayang
berkaitan dengan konstruksi tanah penutup akhir. Untuk lahan terbuka
hijau,ketebalan tanah penutup yang dipersyaratkan adalah 1 m (tergantung jenis
tanamanyang akan ditanam), ditambah lapisan top soil. Sedangkan untuk
peruntukan bangunan, persyaratan penutupan tanah akhir serupa dengan konstruks
i jalan danfaktor keamanan sesuai dengan peraturan konstruksi yang berlaku.
c. Monitoring TPA pasca operasi

Monitoring kualitas lingkungan pasca operasi TPA diperlukan untuk


mengetahui adatidaknya pencemaran baik karena kebocoran dasar TPA, jaringan
pengumpullindi, proses pengolahan lindi yang tidak memadai maupun kebocoran 
pipa ventilasi gas.Fasilitas yang diperlukan untuk monitoring ini adalah sumur uji
dan pipa ventilasi gasyang terlindung. Sumur uji yang harus ada minimal 3 unit,
yaitu yang terletaksebelum area peninmbunan, dekat lokasi penimbunan dan
sesudah area penimbunan.Parameter kunci yang diperlukan antara lain meliputi :
a) Kualitas air , meliputi antara lain BOD/COD, chlorida, sulfat
b) Kualitas udara, meliputi debu, COx, NOx, H2S, gas metan (CH4)
c) Kepadatan lalat

Periode pemantauan sebaiknya dilakukan secara berkala terutama untuk


parameterkunci, sedangkan untuk parameter yang lebih lengkap dapat dilakukan
setahun 1-2kali (musim kemarau dan hujan)
4. Dokumen kajian lingkungan

Dokumen kajian lingkungan TPA yang berisikan hal-hal tersebut diatas,


harusdisesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku (UU 23 /
1997tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 27 / 1999
tentangAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Kepmen LH/Depkes/Kimpraswil
yang berkaitan dengan masalah
29 kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan)Secara
umum dokumen yang harus dilengkapi untuk melaksanakan pembangunan
dan pengoperasian TPA adalah :1.
1) AMDAL
a) Untuk kegiatan pembangunan TPA > 10 Ha
b) Untuk kegiatan pembangunan TPA yang terletak dikawasan lindung,
berbatasandengan kawasan lindung atau yang secara langsung mempengaruhi
kualitaslingkungan kawasan lindung. Seperti di pinggir sungai, pantai, laut dan
kawasanlindung lainnya (< 10 ha)
c) Dokumen AMDAL terdiri dari Kerangka Acuan (KA) ANDAL, ANDAL,
RKL /RPL.
d) KA ANDAL meliputi pendahuluan (latar belakang, tujuan dan kegunaan
studi),ruang lingkup studi (lingkup rencana kegiatan yang akan ditelaah,
lingkup ronalingkungan hidup awal dan lingkup wilayah studi), metode studi
(metode pengumpulan dan analisa data, metode prakiraan dampak dan
penentuandampak penting,metode evaluasi dampak),pelaksanaan studi (tim st
udi, biaya studi danwaktu). KA ANDAL juga dilengkapi dengan daftar
pustaka dan lampiran
e) Penyusunan dokumen ANDAL meliputi pendahuluan (latar belakang,
tujuanstudi dan kegunaan studi), metoda studi (dampak penting yang ditelaah,
wilayahstudi, metode pengumpulan dan analisa data, metode prakiraan
dampak
pentingdanevaluasidampakpenting),rencanakegiatan(identitaspemrakarsadan p
enyusun ANDAL, tujuan rencana kegiatan, kegunaan rencana kegiatan dariaw
al sampai akhir), rona lingkungan hidup (fisik-kimia, biologi, sosial
dankesehatan masyarakat termasuk komponen-komponen yang berpotensi
terkenadampak penting) , prakiraan dampak penting (pra konstruksi,
konstruksi, operasidan pasca operasi termasuk mekanisme aliran dampak pada
berbagai komponenlingkungan), evaluasi dampak penting (telaahan terhadap
dampak penting dandigunakan sebagai dasar pengelolaan). Selain itu juga
perlu dilengkapi dengandaftar pustaka sebagai dasar ilmiah dan lampiran
seperti surat izin rekomendasiuntuk pemrakarsa, SK, foto-foto, peta, gambar,
tabel dan lain-lain 
f) Penyusunan dokumen
30 RKL, meliputi latar belakang pengelolaan
lingkungan,rencana pengelolaan lingkungan (dampak penting dan sumber
dampak penting,tolok ukur dampak, tujuan rencana pengelolaan lingkungan,
pengelolaanlingkunganmelaluipendekatanteknologi/sosialekonomi/institusi,lo
kasi pengelolaan lingkungan, periode pengelolaan lingkungan, pembiayaanpen
gelolaan lingkungan dan institusi yang bertanggung jawab dalam
pengelolaanlingkungan). Dokumen RKL ini juga dilengkapi dengan pustaka
dan lampiran
g) Penyusunan dokumen RPL, meliputi latar belakang pemantauan
lingkungan(dampak penting yang dipantau, sumber dampak, parameter
lingkungan yangdipantaau, tujuan RPL, metode pemantauan dan institusi yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemantauan lingkungan
2) UKL / UPL
a) Untuk kegiatan pembangunan TPA < 10 ha
b) Dokumen yang diperlukan adalah dokumen UKL dan UPL
c) Penyusunan dokumen UKL dan UPL, meliputi deskripsi rencana kegiatan
(jeniskegiatan, rencana lokasi dan posisinya dengan rencana umum tata ruang,
jaraklokasi kegiatan dengan SDA dan kegiatan lainnya, sarana/fasilitas
yangdirencanakan, proses yang akan dilaksanakan), komponen lingkungan
yangmungkin akan terkena dampak, dampak yang akan terjadi (sumber
dampak, jenisdampak dan ukurannya, sifat dan tolok ukur dampak), upaya
pengelolaanlingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemraakarsa, upaya
pemantauanlingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemrakarsa (jenis
dampak yangdipantau, lokasi pemantauan, waktu pemantauan dan cara
pemantauan),mekanisme pelaporan pelaksanaan UKL/UPL pada saat kegiatan
dilaksanakan(instansi pembina, BPLDH dan dinas teknis terkait). Dokumen
ini
dilengkapi juga dengan pernyataan pemrakarsa yang ditanda tangani untuk me
laksanakanupaya pengelolaan lingkungan.
2.5 Fungsi TPA
TPA yakni Tempat Pembuangan Akhir memiliki fungsi sebagai akhir dari
pembuangan sampah yang telah dikumpulkan oleh petugas kebersihan sehingga dibawa pada
satu tempat sebagai penampungan sampah.Dalam TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
memiliki berbagai fasilitas yang berfunsi antara lain :
a. Prasarana jalan yang terdiri
31 dari jalan masuk/akses, jalan penghubung, dan jalan
operasi/kerja. Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan
pengangkutan sehingga efisiensi keduanya makin tinggi.
b. Prasarana drainase, berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan
tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Drainase ini
umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan.
c. Fasilitas penerimaan, yaitu tempat pemeriksaan sampah yang datang, pencatatan data,
dan pengaturan kedatangan truk sampah. Biasanya berupa pos pengendali di pintu
masuk TPA.
d. Lapisan kedap air, berfungsi mencegah rembesan air lindi yang terbentuk di dasar
TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Biasanya lapisan tanah lempung setebal 50
cm atau lapisan sintesis lainnya.
e. Fasilitas pengamanan gas, yaitu pengendalian gas agar tidak lepas ke atmosfer. Gas
yang dimaksud berupa karbon dioksida atau gas metan.
f. Fasilitas pengamanan lindi, berupa perpipaan lubang-lubang, saluran pengumpul, dan
pengaturan kemiringan dasar TPA sehingga lindi begitu mencapai dasar TPA akan
bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik pengumpul.
g. Alat berat, berupa bulldozer, excavator, dan loader.
h. Penghijauan, dimaksudkan untuk peningkatan estetika, sebagai buffer zone untuk
pencegahan bau dan lalat.
i. Fasilitas penunjang, seperti pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower),
kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain-lain.

Berdasarkan fungsi dari fasilitas-fasilitas yang ada pada TPA tersebut menandakan
bahwa TPA merupakan tempat sampah yang telah direncanakan dengan baik dengan
meninjau segala dampak dan manfaat bagi lingkungan sekitar TPA.
2.6 Dampak pencemaran sampah di TPA
TPS dan TPA muncul dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010
tentang Pedoman Pengelolaan Sampah dan beberapa peraturan menteri lingkungan hidup dan
menteri pekerjaan umum yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.  

TPS adalah singkatan dari Tempat Penampungan Sementara yaitu tempat


sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat
pengolahan sampah terpadu.  Sedangkan TPA
32 adalah singkatan dari Tempat Pemrosesan
Akhir yaitu tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan
secara aman bagi manusia dan lingkungan.  Mempersepsikan TPS dan TPA sebagai Tempat
Pembuangan Sampah mengandung bahaya dalam hal pengelolaan sampah kota yang
berkelanjutan:  Warga kota menaruh semua jenis sampah yang dihasilkannya ke TPS!  Hal ini
akan berakibat pada tingginya volume sampah dan meningkatnya beban kerja petugas
pengangkut sampah, apalagi pada kota yang memiliki personil, alat angkut dan biaya
operasional sampah yang terbatas. Dalam kondisi demikian, bila semua sampah dari semua
TPS diangkut dan ditimbun di TPA maka akan memperpendek umur pakai TPA tersebut
karena lekas menjadi penuh.

Dalam melakukan pengelolaan sampah perkotaan, Pemerintah Kabupaten/Kota perlu


beranjak dari pendekatan kebersihan dan keindahan kota kepada pengelolaan sampah
perkotaan yang terintegrasi mulai dari sumber sampah hingga ke TPA. Sesuai dengan definisi
TPS (Tempat Penampungan Sementara) dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 dan
peraturan pelaksananya, tidak serta merta semua sampah dari TPS diangkut ke TPA. Sampah
yang sudah terpilah di TPS semestinya diangkut lebih dahulu ke tempat pendauran ulang,
pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Persoalannya kebanyakan
pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki fasilitas pengolahan sampah antara (intermediate
waste processing facility). 

Dari collection points sampah diangkut oleh petugas kebersihan kota ke beberapa


fasilitas yang berbeda sesuai jenis sampahnya. Sampah yang bisa didaur ulang seperti botol
plastik, botol kaca dan kaleng minuman dibawa ke Recycling Center untuk diproses dan
dimanfaatkan atau dijual. Sampah berupa sisa makanan dan sampah dari dapur dibawa
ke incineration plant untuk dibakar dengan suhu di atas 800oC.

Sampah berukuran besar seperti ranjang, lemari dan meja yang rusak diangkut
ke large-sized waste processing center untuk dipotong/dicacah. Material berharga seperti
alumunium dan besi dikumpulkan dan material sisa yang bisa dibakar diangkut
ke incineration plant.  Sementara untuk sampah keramik (toilet bekas, bongkaran lantai) dan
sampah logam diangkut ke incombustible waste processing center untuk dipotong/dicacah).
Material berharga seperti alumunium dan besi dikumpulkan.Jadi yang dibawa ke TPA
hanyalah residu yaitu sisa sampah yang tidak dapat diolah di fasilitas-fasilitas tersebut,
seperti abu sisa pembakaran dari incineration plant dan cacahan sampah yang tidak bisa
dibakar. Itulah sebabnya Jepang bisa mengurangi secara signifikan jumlah sampahnya yang
33
ditimbun di TPA. Sebagai contoh pada tahun 2015 dari total 43,98 juta ton timbulan sampah
hanya 9,48% saja yang diangkut ke TPA. Dengan demikian umur pakai TPA pun menjadi
lebih panjang.
Di TPA pun dilakukan pemrosesan antara lain menutup sampah dengan tanah secara
berlapis, serta mengelola air lindi dan gas metana yang dihasilkan dari sampah tersebut.
Konsep 3R (Reduce, Reuse & Recycle) harus dipopulerkan hingga tertanam di kesadaran
pribadi warga kota. Setidaknya warga kota sadar untuk melakukan pemilahan sampah. Untuk
menjamin sampah tetap terpilah dapat ditentukan jadwal pengumpulan sampah yang berbeda
sesuai jenisnya.

Sampah memberikan banyak sekali dampak, baik terhadap manusia (terutama


kesehatan) maupun lingkungan (Gelbert dkk, 1996: 46-48).

1. Dampak terhadap kesehatan Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai
(pembuangan sampah tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa
organisme dan menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan anjing yang
dapat menjangkit penyakit. Potensi bahaya kesehatan penyakit yang dapat
ditimbulkan adalah sebagai berikut: \

a) Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari
sampah yang dikelola dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.

b) Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).

c) Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah
suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk
ke dalam pencernaan binatang ternak melalui makanan yang berupa sisa
makanan/sampah.

d) sampah beracun: telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal
akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal
dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.

2. Dampak terhadap lingkungan Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam


drainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat
mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya
ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan
menghasilakan asam organik dan gas cair organik seperti gas metana. Selain berbau
34 konsentarsi tinggi dapat meledak
kurang sedap, gasi ini dalam
3. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi

a) Pengelolahan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang
menyenangkan bagi masyarakat: dengan bau yang tidak sedap dan pemandangan yang
buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.

b) Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.

c) Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan


masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan secaralangsung (untuk
mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja,
rendahnya produktivitas).

d) Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan
memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan drainase, dan
lain-lain.

e) Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak
memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air. Jika sarana
penampungan sampah yang kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang
sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan
diperbaiki.

Semakin hari volume sampah kian meningkat sampai melebihi batas toleransi. Karena
itu,secepatnya dibangun perluasan sekitar lima hektar (ha) setelah proses ganti rugi lahan
kepadasekitar warga sekitar terselesaikan. Dalam proyek perluasan itu, pemerintah
setempatmenggandeng pihak swasta untuk turut serta. Setiap hari sampah yang datang
tercampur,para pemulung itulah yang memilah-milah. 
Di sekitar lokasi pembuangan ada sel pengelolahan baik sampah organik pembuatan k
ompos dan pengelolaan sampah non-organik. Selainmenyediakan pabrik pengelolaan sampah
di sekitarnya, pemerintah setempat juga sudahmengeluarkan aturan baik pada rumah tangga
maupun industri, untuk mengurangisampahnya.Dampak yang sering terjadi dari lokasi
pembuangan sampah yakni di TPA (TempatPembuangan Akhir) Bakung, saat musim
kemarau kerap mengeluarkan letusan yangmembahayakan nyawa pemulung yang mengais
rejeki di sekitarnya. Di bawah TPA inimengandung metan yang sangat tinggi, jadi sering
mengeluarkan percikan api yang dapatmembahayakan orang sekitar. Selain itu, sering
35
menimbulkan bau yang menyengat dalamradius lebih dari 1,5 kilometer.
Pencemaran sampah merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap strukturkimia,
air tanah dan udara serta dapat merubah nilai keindahan suatu lingkungan.Pencemaran
sampah dapat berpengaruh juga terhadap kesehatan masyarakat, baik langsungmaupun tidak
langsung.Dampak langsung dari penanganan sampah yang kurang bijaksanadiantaranya
adalah berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit, gangguanpernafasan serta dapat
mengganggu kesehatan manusia dan mengganggu estetika lingkungan,karena
terkontaminasinya pemandangan oleh tumpukan sampah dan bau busuk yangmenyengat
hidung, sedangkan dampak tidak langsungnya diantaranya adalah bahaya banjiryang
disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai karena terhalang timbunan sampahyang
dibuang ke sungai.
Sampah memang menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca.Maka dari itu,
pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) harus diperhatikan.Sampah organik
yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik. Proses itumenghasilkan gas
metana (CH4). Sampah yang dibakar juga akan menghasilkan gaskarbondioksida (CO2). Gas
CH4mempunyai kekuatan merusak 20 kali lipat dari gas CO2.Gas metana (CH4) terbentuk
karena proses fermentasi secara anaerobik oleh bakteri metanaatau disebut juga bakteri
anaerobik dan bakteri biogas yang mengurangi sampah-sampahyang banyak mengandung
bahan organik sehingga terbentuk gas metana (CH4) yang apabiladibakar dapat menghasilkan
energi panas. Sebetulnya di tempat-tempat tertentu proses initerjadi secara alamiah
sebagaimana peristiwa ledakan gas yang terbentuk di bawah tumpukansampah di Tempat
Pembuangan Sampah Akhir (TPA).
Dampak operasional TPA/TPST terhadap lingkungan akan memicu terjadinya konflik
sosial antar komponen masyarakat. Pada tahap Pengelolaan akhir/Pengelolaan, sampah akan
mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas
penyelesaian seluruh proses. Sehingga perlu disusun dokumen lingkungan atas operasional
TPA dan TPST.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 05 tahun 2012
Tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL), maka Rencana Usaha dan/atau Kegiatan pembangungan
TPA merupakan suatu kegiatan yang tidak wajib AMDAL apabila dibawah 10 Ha, dan sesuai
dengan ketentuan Pasal 34 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki Dokumen Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
36 Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
Sebagaimana lazimnya suatu aktivitas pembangunan TPA, maka aktivitas Usaha
dan/atau Kegiatan ini, baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi, dan pasca konstuksi
(operasional), akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dampak yang terjadi dapat
bersifat positif (menguntungkan) dan/atau sebaliknya berdampak negatif (merugikan). Untuk
itu perlu adanya upaya mengembangkan dampak positif dan menekan dampak negatif yang
timbul akibat Usaha dan/atau Kegiatan pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu
tersebut, sehingga diperoleh manfaat yang optimum. Upaya tersebut dapat dilaksanakan
apabila dampak yang mungkin terjadi bisa diprakirakan dan dievaluasi sejak dini pada tahap
perencanaan pembangunan usaha/kegiatan melalui studi lingkungan Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dampak sampah terhadap kesehatan lingkungan :


1. Dampak Terhadap Kesehatan Pembuangan sampah yang tidak terkontrol dengan
baikmerupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi
berbagai binatangseperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit.Potensi
bahaya yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :
a) Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal
dari sampahdengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur dengan air
minum. Penyakit DBD dapat juga meningkat dengan cepat di daerah
yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
b) Penyakit jamur dapat juga menyebar ( misalnya jamur kulit ).
c) Sampah beracun; Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira –  kira 40.000 orang
meninggalakibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa
( Hg ). Raksa ini berasal darisampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang
memproduksi baterai dan akumulator.
2. Dampak Terhadap Lingkungan Cairan terhadap rembesan sampah yang masuk
kedalamdrainase atau sungai akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan
dapat matisehingga beberapa spesies akan lenyap dan hal ini mengakibatkan
berubahnya ekosistem perairan biologis.
3. Dampak Terhadap Sosial Ekonomi
a) Pengelolaan sampah yang kurang baik dapatmembentuk lingkungan yang
kurang menyenangkan bagi masyarakat, bau yang tidak sedapdan
pemandangan yang
37 buruk karena sampah bertebaran dimana –  mana.
b) Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan Usaha Pengendalian
Sampah untukmenangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu
dilakukan alternativ pengolahanyang benar. Teknologi yang paling tepat untuk
pemecahan masalah adalah teknologi pemusnahan sampah yang hemat dalam
penggunaan lahan dengan cara pembakaran yangterkontrol atau Insinerasi
dengan cara memakai Incenerator.Selain itu juga memakai prinsip reduksi
bersih yang diterapkan dalam keseharian misalnyadengan menerapkan prinsip
4 R yaitu ( Reduce, Reuse, Recycle dan Replace ). Dalamkeseharian, dan
dapat dilakukan oleh siapa saja untuk mengurangi volume sampah.
Berbagai permasalahan TPA sering muncul :
• Pencemaran air tanah dan air permukaan yang diakibatkan oleh perembesan lindi,
karena pengelolannya tidak ada.
• Berkembang pesat vektor, akibat tidak ditutupnya timbunan sampah dengan lapisan
penutup
• Timbulnya polusi udara, akibat pola pengurangan timbunan sampah dg cara dibakar
• Timbulnya bau yang menyengat
• Pemandangan yang kurang sedap

 Keterbatasan sistem Layanan Perkotaan


Masalah lingkungan ini timbul akibat keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
menyediakan sarana dan prasarana dasar untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk.
Sebagai akibat terjadi penumpukan dan kemacetan (congestion) pada sestem layanan kota
jalan raya, tempat pemrosesan sampah, saluran pembuangan dan sebagainya.
Masalah lingkungan ini dapat dikategorikan sebagai problem of scale yang berkaitan
alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang tidak efisien atau tidak merata. Sebagai contoh,
harga layanan untuk sumber daya air minum seringkali terlalu murah.

 Penurunan Kualitas Lingkungan


Keterbatasan sarana perkotaan akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan
fisik maupun non-fisiko Oampak lingkungan fisik mencakup pencemaran air oleh rumah
tangga dan industri, pencemaran oleh limbah padat (sampah) dan pencemaran udara oleh
emisi kendaraan dan industri serta dampak-dampaknya pada kesehatan masyarakat. Oampak
non-fisik (sosialbudaya dan estetika)
38 biasanya timbul sebagai akibat sampingan dan
penurunan kualitas lingkungan fisiko Gejala yang dapat diamati adalah merebaknya hunian
kumuh, kriminalitas, pengangguran dan gelandangan.
 Pencemaran Air Rumah Tangga dan Industri
Limbah rumah tangga, tinja dan air kotor merupakan penyumbang terbesar (60 70%)
pada pencemaran perairan dan sungai yang berdekatan dengan kota besar. Kadar Biological
Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) di sungai-sungai tersebut
menunjukkan pencemaran tingkat sedang sampai berat. Masalah pencemaran air rumah
tangga adalah akibat oleh keterbatasan sistem sanitasi dan pengelolaan limbah. Oi labotabek,
hanya 35% penduduk mempunyai akses terhadap sanitasi yang memadai. Oi Jakarta rata-rata
20-30% air sumur pompa terkontaminasi oleh bakteri coliform yang berasal mandi cucl kakus
masyarakat.
Dampak nyata pencemaran air akibat limbah rumah tangga peningkatan insidensi
penyakit yang ditularkan lewat air (waterborne disease: diare, hepatitis, tipus dan disentri atau
penyakit water-washed disease: kulit, mata dan scabies).

 Limbah Padat Rumah Tangga dan Industri


Masalah limbah padat (sampah) diakibatkan oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat
dan limbah perkotaan yang melampaui daya dukung dan daya asimilasi alam. Produksi
sampah rata-rata di Jakarta diperkirakan sekitar 6.600 ton/hari pada tahun 1991 dengan
tingkat pertumbuhan sekitar 6% per tahun (Anonimous, 1992). Pengelolaan sampah selama
ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan
lingkungan sehingga lebih menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungan. Oi Surabaya diperkirakan sebesar 5% per tahun (JICA, 1992). Produksi sampah
per kfpita tahun 1992 berjumlah 704 gram/hari dan diperkirakan meningkat menjadi 910
gram/hari pad a tahun 2000 seiring dengan peningkatan pendapatan dan konsumsi.
Situasi persampahan akan memburuk bila tldak ada peningkatan dalam pengumpulan
dan pembuangan yang aman untuk sampah perkotaan. Saat ini, rata-rata 30% dari sampah
dibuang ke sungai dan menyumbang pencemaran air. Di Sungai Sunter Jakarta, sampah
diperkirakan menyumbang 7 ton BOD per hari atau 15 % dar; total beban pencemaran
organik (Binnie & Partner, 1990)

Dua permasalahan penting dalam pengelolaan sampah dan TPA yaitu :


 Sampah yang tidak mengalami
39 proses pengolahan dan
 pengelolaan TPA dengan sistem yang tidak tepat (masih berfokus pada lahan
urug). 
Sedangkan TPA sebagai ujung rantai pengelolaan sampah menerima beban sampah
yang sangat besar sehingga menimbulkan banyak dampak negatif. Air lindi yang dihasilkan
oleh TPA sulit untuk dikendalikan agar tidak mencemari lingkungan walaupun membuat
proteksi kuat pada TPA. Direkomendasikan untuk meningkatkan daur ulang sampah dari
rumah tangga sampai ke TPA, di antaranya dengan sistem pengelolaan sampah yang berbasis
inisiatif komunitas lokal dan tidak hanya mengandalkan TPA dengan sistem lahan
urug. Pengelolaan sampah yang fokus pada pengelolaan dan pengurangan pencemaran serta
melibatkan masyarakat atau berbasis komunitas memiliki dampak positif yang besar. 
Dapat diabaikan bahwa penyelesaian permasalahan sampah yang tidak lengkap dari
hulu ke hilir dan tidak melibatkan semua pihak menjadi hambatan utama berjalannya
pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kata kunci: dampak lingkungan, permasalahan
sampah, pengelolaan sampah berkelanjutan, Tempat Pemrosesan Akhir. 
Dari hasil tinjauan pustaka dapat diringkas dua masalah utama pengelolaan sampah
dan TPA yaitu: sampah yang tidak diolah dan sistem pengelolaan TPA yang tidak tepat
(masih berfokus pada sistem penimbunan). Sedangkan TPA sebagai rantai terakhir
pengelolaan sampah menerima beban sampah yang sangat besar, menyebabkan banyak efek
negatif. Leachate yang dihasilkan oleh TPA sulit dikendalikan meskipun memiliki
perlindungan yang kuat di TPA tersebut. Direkomendasikan untuk meningkatkan daur ulang
sampah rumah tangga ke TPA seperti sistem pengelolaan sampah berdasarkan prakarsa
masyarakat setempat dan tidak hanya mengandalkan sistem TPA. Pengelolaan sampah yang
berfokus pada pengolahan dan pengurangan polusi serta melibatkan komunitas atau
komunitas memiliki dampak positif yang besar. 
Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian permasalahan persampahan yang tidak
komprehensif dari hulu hingga hilir dan belum melibatkan seluruh bagian dari sistem
persampahan merupakan kendala utama dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kata
kunci: dampak lingkungan, TPA, permasalahan persampahan, pengelolaan sampah
berkelanjutan. Leachate yang dihasilkan oleh TPA sulit dikendalikan meskipun memiliki
perlindungan yang kuat di TPA tersebut. Direkomendasikan untuk meningkatkan daur ulang
sampah rumah tangga ke TPA seperti sistem pengelolaan sampah berdasarkan prakarsa
masyarakat setempat dan tidak hanya mengandalkan sistem TPA. Pengelolaan sampah yang
berfokus pada pengolahan dan
40 pengurangan polusi serta melibatkan komunitas atau
komunitas memiliki dampak positif yang besar. 
Pembuangan sampah di darat jika tidak terkelola akan mempunyai dampak
lingkungan antara lain resapan lindi (air sampah) mengkontaminasi air permukaan dan air
tanah, penyumbatan saluran drainase mengakibatkan banjir, tempat berkembang biaknya
hama tikus, kecoa, pencemaran udara karena pembakaran sampah dan sebagainya.
2.7Persyaratan Lokasi TPA
Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan yang ada
(SNI 03-3241- 1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA)
Jenis dan Fungsi Sarana TPA
Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan prasarana dan
sarana yang meliputi:
a. Prasarana Jalan
Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.
Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan
sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi. Konstruksi jalan TPA cukup beragam
disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi:
hotmix, beton, aspal, perkerasan situ, atau kayu. Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi
dengan: Jalan masuk/akses, yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang
telah tersedia dengan spesifikasi jalan, termasuk jembatan, sesuai dengan tonnase
beban kendaraan; Jalan penghubung, yang menghubungkan antara satu bagian dengan
bagian lain dalam wilayah TPA; Jalan operasi/kerja, yang diperlukan oleh kendaraan
pengangkut menuju titik pembongkaran sampah (working face). Pada TPA dengan
luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan penghubung dapat juga
berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi.
b. Prasarana Drainase
Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan
dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah.Seperti
diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit leachate yang dihasilkan.
Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin
kecil pula 34 debit leachate yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil
kebutuhan unit pengolahannya. Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk
menahan aliran limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area
timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau
zona penimbunan. Selain41itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA juga
dapat berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas
timbunan sampah tersebut.Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga
kemiringannya mengarah pada saluran drainase.
c. Fasilitas Penerimaan
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang
datang, penimbangan, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah.Pada
umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali dan pencatatan sampah di
pintu masuk TPA.Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50
ton/hari maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan
pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut sekaligus
sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan dapat dijalankan.
d. Lapisan Kedap Air
Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air leachate yang
mengalir ke dasar TPA dan/atau kolam pengolahan leachate ke dalam lapisan tanah di
bawahnya.Untuk itu lapisan ini harus dipasang di seluruh permukaan dalam TPA
dan/atau kolam pengolahan leachate, baik dasar maupun dinding. Bila tersedia di
tempat, tanah lempung (k < 10-7 ) setebal + 50 cm merupakan alternatif yang baik
sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan
lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya yang relatif tinggi.
e. Fasilitas Pengamanan Gas
Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida (CO2), dan
metan(CH4) dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat
sedikit jumlahnya seperti hidrogen sulfida (H2S), dan ammonia (NH3). Kedua gas gas
karbon dioksida (CO2), dan metan (CH4) memiliki potensi besar dalam proses
pemanasan global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar
gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer.Untuk itu perlu dipasang
pipapipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik
tertentu.Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah
penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih
mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran
sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.

42
Gas metan penting, tidak berbau tetapi mudah terbakar dan bersifat mudah
meledak apabila konsentrasi di udara antara 5% sampai dengan 15%.Gas cenderung
terakumulasi di ruang yang kosong didalam landfill dan lepas melalui rekahan ditanah
atau bahan penutup, karenanya perlu dilakukan pengontrolan timbulan dan
perpindahan gas-gas ini.Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah
penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan
menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan
cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.
Gas dapat dikontrol dengan memasang pipa ventilasi agar gas dapat keluar ke
atmosfir dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu.Karena metan bersifat mudah
terbakar, maka gas metan dapat digunakan sebagai energi.Recovery dan pemanfaatan
metan untuk tujuan komersial hanya dapat dilakukan apabila landfill menerima
sampah lebih besar dari pada 200 tons sampah perhari.
f. Fasilitas Pengamanan Leachate
Leachate merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang
melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar
khususnya zat organik sangat tinggi.Leachate sangat berpotensi menyebabkan
pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan
baik. Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul
43
leachate yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul
maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga leachate secara otomatis begitu
mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik
pengumpulan yang disediakan. Tempat pengumpulan leachate umumnya berupa
kolam penampung yang ukurannya dihitung berdasarkan debit leachate dan
kemampuan unit pengolahannya. Aliran leachate ke dan dari kolam pengumpul secara
gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA tidak memungkinkan,
dapat dilakukan dengan cara pemompaan. Pengolahan leachate dapat menerapkan
beberapa metode diantaranya: penguapan/evaporasi terutama untuk daerah dengan
kondisi iklim kering, sirkulasi leachate ke dalam timbunan TPA untuk menurunkan
baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya
pengolahan air limbah.
g. Bahan Penutup
Salah satu yang membedakan antara sanitary landfill dan open dumping
adalah penggunaaan bahan penutup untuk memisahkan sampah dari lingkungan luar
pada setiap akhir hari kerja Penutupan setiap hari sangat penting untuk keberhasilan
sanitary landfill karena mempunyai kinerja sebagai berikut :
a) Menghindari gangguan lalat,binatang pengerat seperti tikus.
b) Mencegah kebakaran dan asap
c) Mengurangi bau
d) Mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam sampah
e) Mengarahkan gas menuju ventilasi keluar dari sanitary landfill
h. Alat Berat
Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer,
excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda dalam operasionalnya.Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan
pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian.Excavator sangat efisien
dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah.Sementara loader
sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam
kemampuan pemadatan.Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau
excavator, sementara TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat
tersebut.
i. Penghijauan
Penghijauan lahan
44 TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya
adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau
dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu
mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman,
jalan raya, dll). Luas lahan yang dibutuhkan untuk penghijauan serta fasilitas
penunjang (kantor, bengkel, garasi, dll) adalah 40% dari total lahan TPA.
j. Fasilitas Penunjang
Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu
pengoperasian TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran,
kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.
2.8 Persyaratan Pendirian TPA
Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus
mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota /
lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang
kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
a. Pemilihan Lokasi TPA
Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut yang diakibatkan oleh metode
pembuangan akhir sampah yang tidak memadai seperti yang selaluterjadi di berbagai
kota di Indonesia, maka langkah terpenting adalah memilih lokasi yang sesuai dengan
persyaratan.Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata Cara Pemilihan
Lokasi TPA, bahwa lokasi yang memenuhi persyaratan sebagai tempat pembuangan
akhir sampah adalah :
a) Jarak dari perumahan terdekat 500 m
b) Jarak dari badan air 100 m
c) Jarak dari airport 1500 m (pesawat baling-baling) dan 3000 m (pesawat jet)
Muka air tanah > 3 m
d) Jenis tanah lempung dengan konduktivitas hidrolik < 10-6 cm / det Merupakan
tanah tidak produktif

Bebas banjir minimal periode 25 tahun Pemilihan lokasi TPA sebagai langkah awal
dalam peningkatan metodepembuangan akhir sampah, perlu dilakukan secara teliti
melalui tahapanstudi yang komprehensif (feasibility study dan studi amdal).
Sulitnyamendapatkan lahan yang memadai didalam kota, maka disarankan
untukmemilih lokasi TPA yang dapat digunakan secara regional. Untuk lokasi
45 km) dapat menggunakan sistem transfer station.
TPAyang terlalu jauh (>25
b. Survey dan pengukuran Lapangan
Data untuk pembuatan DED TPA harus meliputi :
a) Jumlah sampah yang akan dibuang ke TPA
b) Komposisi dan karakteristik sampah
c) Data jaringan jalan ke lokasi TPA

Jumlah alat angkut (truk)Pengumpulan data tersebut dapat dilakukan secara langsung
(primer)maupun tidak langsung (sekunder).Pengukuran lapangan dilakukan untuk
mengetahui data kondisi lingkungan TPA seperti :
a) Karakteristik tanah, meliputi karakteristik fisik (komposisi tanah,konduktivitas
hidrolik, pH, KTK dan lain-lain) dan karakteristik kimia(komposisi mineral
tanah, anion dan kation)
b) Sondir dan geophysic
c) Kondisi air tanah, meliputi kedalaman muka air tanah, arah aliran airtanah,
kualitas air tanah (COD, BOD, Chlorida, Fe, Organik dan lain-lain)
d) Kondisi air permukaan, meliputi jarak dari TPA, level air, fluktuasi level
airmusim hujan dan kemarau, kualitas air sungai (BOD, COD, logam
berat,chlorida, sulfat, pestisida dan lain-lain)
e) Lokasi mata air ( jika ada) termasuk debit
f) Kualitas udara, meliputi kadar CH4, COx, SOx, NOx dan lain-lain
g) Jumlah penduduk yang tinggal disekitar TPA (radius < 500 m)
c. Perencanaan
Perencanaan TPA berupa Detail Engineering Design (DED), harus dapat
mengantisipasi terjadinya pencemaran lingkungan . Dengan demikian maka
perencanaan TPA tersebut harus meliputi :
a) Disain site plan disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia
b) Disain fasilitas yang meliputi fasilitas umum (jalan masuk dan jalanoperasi,
saluran drainase, kantor TPA, pagar), fasilitas perlindungan lingkungan
(tanggul, lapisan dasar kedap air, jaringan pengumpul danpengolah lindi,
ventilasi gas, barrier, tanah penutup, sumur uji, alat beratdan lain-lain) dan
fasilitas pendukung (air bersih, bengkel, jembatan timbang dan lain-lain)

Tahapan pembangunan disesuaikan dengan kemampuan pendanaandaerah untuk


membangun suatu TPA sehingga dengan kondisi yang paling minimal TPA tersebut
46
dapat berfungsi tanpa mencemari lingkungan.
d. Pembebasan lahan
Pembebasan lahan TPA perlu memperhatikan dampak sosial yang mungkin timbul
seperti kurang memadainya ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya terkena
proyek.Luas lahan yang dibebaskan minimal dapat digunakan untuk menampung
sampah selama 5 tahun.
e. Pemberian izin
Pemberian izin lokasi TPA harus diikuti dengan berbagai konsekuensi seperti
dilarangnya pembangunan kawasan perumahan atau industri pada radius <500 m dari
lokasi TPA, untuk menghindari terjadinya dampak negatif yang mungkin timbul dari
berbagai kegiatan TPA
f. Sosialisasi
Untuk menghindari terjadinya protes sosial atas keberadaan suatu TPA, perlu
diadakan sosialisasi dan advokasi publik mengenai apa itu TPA, bagaimana
mengoperasikan suatu TPA dan kemungkinan dampak negatif yang dapatterjadi
namun disertai dengan rencana atau upaya pihak pengelola untukmenanggulangi
masalah yang mungkin timbul dan tanggapan masyarakat terhadap rencana
pembangunan TPA. Sosialisasi dilakukan secara bertahapdan jauh sebelum dilakukan
perencanaan.
g. Mobilisasi Tenaga dan Alat
a) Tenaga kerja
Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang akan melaksanakan
pekerjaan konstruksi TPA. Untuk tenaga professional seperti tenaga supervisi,
ahli struktur dan mandor harus direkrut sesuai dengan persyaratan kualifikasi,
sedangkan untuk tenaga buruh atau tenaga keamanan dapat direkrut dari
tenaga setempat (jika ada).Rekrutmen tenaga setempat adalah untuk
menghindari terjadinya konflikatau kecemburuan sosial.
b) Alat
Mobilisasi peralatan konstruksi mungkin akan menimbulkan dampak
kebisingan dan debu, namun sifatnya hanya sementara. Untuk itu agardapat
diusahakan mobilisasi atau demobilisasi alat berat dilakukan padasaat lalu
lintas dalam keadaan sepi serta tidak melalui permukiman yang padat.
h. Pembersihan Lahan (Land Clearing)
Pembersihan lahan akan47menimbulkan dampak pengurangan jumlah tanaman dan
debu sehingga perlu dilakukan penanaman pohon sebagai pengganti.
i. Pembangunan Fasilitas Umum
a) Jalan Masuk TPA
Jalan masuk TPA akan digunakan oleh kendaraan pengangkut sampah dengan
kapasitas yang cukup besar, sehingga kelas jalan dan lebar jalan perlu
memperhatikan beban yang akan lewat serta antrian yang mungkin terjadi.
Pengaturan lalu lintas untuk kendaraan yang akan masuk dan keluar TPA
sedemikian rupa sehingga dapat menghindari antrian yang panjang karena
dapat mengurangi efisiensi pengangkutan.
b) Kantor TPA
Kantor TPA berfungsi sebagai kantor pengendali kegiatan pembuangan akhir
mulai dari penimbangan/ pencatatan sampah yang masuk
(sumber,volume/berat, komposisi dan lain-lain), pengendalian operasi,
pengaturan menajemen TPA dan lain-lain. Luas dan konstruksi
bangunankantor TPA perlu memperhatikan fungsi tersebut. Selain itu juga
dapat dilengkapi dengan ruang laboratorium sederhana untuk analisis kualitas
lindi maupun efluen lindi yang akan dibuang kebadan air penerima.
c) Drainase
Drainase keliling TPA diperlukan untuk menampung air hujan agar
tidakmasuk ke area timbunan TPA, selain untuk mencegah tergenangnya
areatimbunan sampah juga untuk mengurangi timbulan lindi.
d) Pagar TPA
Pagar TPA selain berfungsi sebagai batas TPA dan keamanan TPA juga dapat
berfungsi sebagai green barrier Untuk itu maka pagar TPA sebaiknya dibuat
dengan menggunakan tanaman hidup dengan jenispohon yang rimbun dan
cepat tumbuh seperti pohon angsan
j. Pembangunan Fasilitas Perlindungan Lingkungan
a) Lapisan Dasar Kedap Air
Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran
lindi terhadap air tanah.Untuk itu maka konstruksi dasar TPA harus cukup
kedap, baik dengan menggunakan lapisan dasargeomembrane/geotextile
maupun lapisan tanah lempung dengankepadatan dan permeabilitas yang
memadai (< 10-6 cm/det).Lapisantanah lempung sebaiknya terdiri dari 2 lapis
masing-masing 48
setebal 30cm. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah
terjadinya keretakan akibatkerusakan lapisan pertama karena terekspose cukup
lama. Selain ituuntuk menghindari terjadinya keretakan lapisan dasar tanah
lempung,maka sebelum dilakukan peninmbunan sebaiknya lapisan
dasar“terlindung” . Sebagai contoh dapat dilakukan penanaman rumput
atauupaya lain yang cukup memadai.
b) Jaringan Pengumpul Lindi
Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi untuk mengalirkanlindi
yang terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampung lindi.Jaringan
pengumpul lindi dapat berupa pipa PVC berlubang yangdilindungi oleh
gravel. Tipe jaringan disesuaikan dengan kebutuhanseperti luas TPA, tingggi
timbunan, debit lindi dan lain-lain.
c) Pengolahan Lindi
Instalasi atau kolam pengolahan lindi berfungsi untuk menurunkan
kadarpencemar lindi sampai sesuai dengan ketentuan standar efluen
yangberlaku. Mengingat karakteristik lindi didominasi oleh komponen
organikdengan nilai BOD rata-rata 2000 - 10.000 ppm (Qasim, 1994),
makapengolahan lindi yang disarankan minimal dengan proses
pengolahanbiologi (secondary treatment ). Proses pengolahan lindi
perlumemperhatikan debit lindi, karakteristik lindi dan badan air
penerimatempat pembuangan efluen. Hal tersebut berkaitan dengan
pemilihanproses pengolahan, penentuan kapasitas dan dimensi kolam
sertaperhitungan waktu detensi.
Mengingat proses biologi akan sangat dipengaruhi oleh kemampuanaktivitas
mikroorganisme, maka pengkondisian dan pengendalian prosesmemegang
peranan penting. Sebagai contoh kegagalan proses yangterjadi selama ini
adalah karena tidak adanya upaya seeding danaklimatisasi proses biologi,
sehingga efisiensi proses tidak dapatdiprediksi bahkan cenderung sangat
rendah.Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri
daribeberapa tahap sebagai berikut :
a) Pengumpulan lindi, dilakukan di kolam pengumpul
b) Proses anaerobik, dilakukan di kolam anaerob (kedalaman >
2m).Proses ini diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 60 %
c) Proses fakultatif yang merupakan proses peralihan dari
anaerobik,dilakukan
49 di kolam fakultatif. Proses ini diharapkan dapat
menurunkanBOD sampai 70 %
d) Proses maturasi atau stabilisasi, dilakukan di kolam maturasi
denganefisiensi proses 80 %
e) Land treatment, dilakukan dengan membuat lahan yang
berfungsisebagai saringan biologi yang terdiri dari ijuk, pasir, tanah
dantanaman yang dapat menyerap bahan polutan.

Dalam kondisi efluen belum dapat mencapai nilai efluen yangdiharapkan,


maka dapat dilakukan proses resirkulasi lindi ke lahantimbunan sampah
melalui pipa ventilasi gas. Adanya proses serupa“trickling filter”, diharapkan
dapat menurunkan kadar BOD lindi.
k. Pembangunan Fasilitas Pendukung
a) Sarana Air Bersih
Air bersih di TPA diperlukan untuk pembersihan kendaraan
pengangkutsampah (truck), alat berat, keperluan mandi cuci bagi petugas
maupun pengunjung TPA.Selain itu apabila memungkinkan air bersih
jugadiperlukan untuk menyiram debu disekitar area penimbunan secaraberkala
untuk mengurangi polusi udara.
b) Bengkel
Bengkel di TPA diperlukan untuk pemeliharaan alat berat sertamemperbaiki
kendaraan yang mengalami kerusakan ringan yang terjadidi TPA, sehingga
tidak sampai mengganggu operasi pembuangansampah. Peralatan bengkel
harus disesuaikan dengan jenis kerusakanyang akan ditangani.
Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terdapat syarat sebagai tempat tersebut,
syarat-syarattersebut yang menjadi lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yaitu :
1. Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, rawan longsor, rawan gempa, dll).
2. Bukan daerah rawan geologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman air tanahkurang
dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan sumber air, dll
3. Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan >20%)
4. Bukan daerah rawan terhadap kegiatan seperti bandara, pusat perdagangan.
5. Bukan daerah/kawasan yang dilindungi.

TPA (Tempat Pembuangan Akhir) adalah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan
pembuangan akhir sampah. TPA merupakan mata rantai terakhir dari pengolahan sampah
perkotaan sebagai sarana lahan untuk menimbun atau mengolah sampah. Proses sampah itu
50
sendiri mulai dari timbulnya di sumber - pengumpulan - pemindahan/pengangkutan -
pengolahan - pembuangan. Di TPA, sampah masih mengalami proses penguraian secara
alamiah dengan jangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat,
sementara yang lain lebih lambat sampai puluhan dan ratusan tahun seperti plastik. Hal ini
memberi gambaran bahwa di TPA masih terdapat proses-proses yang menghasilkan beberapa
zat yang dapat mempengaruhi lingkungan. Zat-zat tersebut yang mempengaruhi lingkungan
itulah yang menyebabkan adanya bentuk-bentuk pencemaran. Sejumlah dampak negatif dapat
ditimbulkan dari keberadaan TPA. Dampak tersebut bisa beragam: musibah fatal
(misalnya, burung bangkai yang terkubur di bawah timbunan sampah); kerusakan
infrastruktur (misalnya, kerusakan ke akses jalan oleh kendaraan berat); pencemaran
lingkungan setempat (seperti pencemaran air tanaholeh kebocoran dan pencemaran tanah sisa
selama pemakaian TPA, begitupun setelah penutupan TPA); pelepasan gas metana yang
disebabkan oleh pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah kacayang berkali-
kali lebih potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu
tempat); melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang
dioperasikan secara salah, yang umum di Dunia Ketiga; jelas pada margasatwa; dan
gangguan sederhana (misalnya, debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara
Sampah sebagai hasil samping dari berbagai aktivitas atau kegiatan dalam kehidupan
manusia maupun sebagai hasil dari suatu proses alamiah sering menimbulkan permasalahan
serius di wilayah-wilayah pemukiman penduduk dan banyak menimbulkan masalah
kelingkungan yang kompleks. Maka, sangat diperlukan suatu cara penyelesaian yang
menyeluruh dan terintegrasi serta didukung oleh semua lapisan masyarakat. Tumpukan
sampah dapat menimbulkan kondisi lingkungan fisik dan kimia menjadi tidak sesuai dengan
kondisi normal. Hal ini dapat menyebabkan kenaikan suhu dan perubahan tingkat keasaman
(pH) tanah menjadi terlalu asam. Gas-gas yang dihasilkan atau timbul selama proses
degradasi sampah juga dapat membahayakan kesehatan terhadap manusia khususnya yang
berada di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir (TPA). Tumpukan sampah dapat menjadi
sarang atau tempat berkembang biak bagi berbagai vektor penyakit, misalnya lalat, tikus,
nyamuk dan lain sebagainya, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Oleh karena itu
diperlukan adanya satu proses pengolahan sampah atau TPA.TPA adalah komponen penting
dari setiap sistem pengelolaan limbah. Pengelolaan limbah padat perkotaan melibatkan sistem
terpadu. Sistem itu minimalisasi limbah dalam proses produksi, penggunaan kembali produk-
produk untuk memperpanjang kegunaannya sebelum masuk ke aliran limbah, pemulihan
bahan dan energi dari limbah (misalnya
51 daur ulang, kompos, panas dari pembakaran), dan
mengumpulkan bahan sisa di landfill.
Akan tetapi kehadiran TPA sering kali menimbulkan dilema. TPA dibutuhkan, tapi
sekaligus tidak diinginkan kehadirannya di lingkungan masyarakat. Kegiatan TPA juga
menimbulkan dampak gangguan antara lain: kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan
binatang vektor penyakit. Belum lagi timbul konflik sosial dengan masyarakat yang ada di
sekitar akibat penguasaan lahan oleh kelompok orang yang hidup dari pemulungan.
Pembangunan TPA baru, tentu saja membutuhkan lokasi yang strategis dan tidak
sembarangan agar tidak menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pembangunan
lokasi TPA yang baru perlu memperhatikan faktor fisik dan sosial ekonomi lingkungan.
Selain itu, juga perlu memperhatikan agar TPA yang baru pemanfaatannya dapat
optimal.Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai
tahap terakhir dalam pengelolaan sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan,
pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana
sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan
sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar
keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik.
Selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang sering dianggap hanya
sebagai  tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak pemerintah daerah
merasa sayang untuk mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan fasilitas di TPA yang
dirasakan kurang prioritas dibandingkan dengan penggunaan sektor lainnya. Di TPA, sampah
masih mengalami proses penguraian secara alamiah dengan jangka waktu panjang. Beberapa
jenis sampah dapat terurai secara cepat, sedang yang lainnya lebih lambat; bahkan beberapa
jenis sampah tidak berubah sampai puluhan tahun; misalnya pastik. Hal ini memberikan
gambaran bahwa setelah TPA selesai digunakanpun masih ada proses yang berlangsung dan
menghasilkan beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan. Karenanya masih diperlukan
pengawasan terhadap TPA yang telah ditutup.

52
Dalam diagram diatas dapat dijelaskan bahwa pada Tempat Pembuangan Sampah
(TPA)  pertama kali untuk tempat mengumpulkan berbagai sampah dari rumah tangga
maupun non-rumah tangga. Tempat tersebut yang disebut sebagai Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) dengan bentuk wadah penampungan atas pengumpulan sampah.Pada Tempat
Pembuangan Akhir (TPA), ada sampah yang tidak langsung dibuang dan ada yang langsung
dibuang serta ada yang diolah secara fisik, kimia, dan biologi. Sampah yang tidak langsung
dibuang  biasanya dilakukan pemindahan dan pengangkutan. Pemindahan sampah tersebut
diangkut  pada Tempat Pembuangan Akhir, sedangkan sampah yang langsung dibuang akan
ditampung  pada Tempat Pembuangan Akhir. Untuk pengolahan sampah yang dibagi secara
fisik, kimia, dan biologi, sampah-sampah tersebut diuraikan terlebih dahulu sesuai bahan
sampahnya.

Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) terdapat syarat sebagai tempat tersebut,
syarat-syarat tersebut yang menjadi lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yaitu :
1. Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, rawan longsor, rawan gempa, dll)
2. Bukan daerah rawan geologis yaitu daerah dengan kondisi kedalaman air tanah
kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan sumber air, dll
3. Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan >20%)
4. Bukan daerah rawan terhadap kegiatan seperti bandara, pusat perdagangan
5. Bukan daerah/kawasan yang dilindungi.

Metoda Pembuangan sampah


Ada beberapa metode pengolahan dan pembungan sampah yang ada di dunia.yaitu :
1. Penimbunan darat
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk
membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia. Penimbunan
ini biasanya dilakukan di tanah yg ditinggalkan, lubang bekas pertambangan, atau
lubang lubang dalam. Sebuah situs penimbunan darat yg di desain dan di kelola
dengan baik akan menjadi tempat penimbunan sampah yang hiegenis dan murah.
Sedangkan penimbunan darat yg tidak dirancang dan tidak dikelola dengan
baik akan menyebabkan53 berbagai masalah lingkungan, diantaranya angin berbau
sampah, menarik berkumpulnya Hama, dan adanya genangan air sampah. Efek
samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang juga sangat
berbahaya.hal ini yang pernah terjadi di bandung, di bandung kandungan gas methan
ini meledak dan melongsorkan gunung sampah.
Karakter desain dari penimbunan darat yang modern diantaranya adalah
metode pengumpulan air sampah menggunakan bahan tanah liat atau pelapis
plastik.Sampah biasanya dipadatkan untuk menambah kepadatan dan kestabilannya,
dan ditutup untuk tidak menarik hama (biasanya tikus). Banyak penimbunan sampah
mempunyai sistem pengekstrasi gas yang terpasang untuk mengambil gas yang
terjadi. Gas yang terkumpul akan dialirkan keluar dari tempat penimbunan dan
dibakar di menara pemabakar atau dibakar di mesin berbahan bakar gas untuk
membangkitkan listrik.

2. Metode Daur-ulang
Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk
digunakan kembali disebut sebagai daur ulang.Ada beberapa cara daur ulang, pertama
adalah mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi atau mengambil kalori dari
bahan yang bisa dibakar utnuk membangkitkan listik.

3. Pengolahan kembali secara fisik


Metode ini adalah aktivitas paling populer dari daur ulang, yaitu
mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang dibuang , contohnya botol
bekas pakai yang dikumpulkan kembali untuk digunakan kembali. Pengumpulan bisa
dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak sampah/kendaraan
sampah khusus), atau dari sampah yang sudah tercampur.
Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminum , kaleng
baja makanan/minuman, Botol HDPE dan PET , botol kaca , kertas karton, koran,
majalah, dan kardus. Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga bisa di
daur ulang.Daur ulang dari produk yang komplek seperti komputer atau mobil lebih
susah, karena harus bagian bagiannya harus diurai dan dikelompokan menurut jenis
bahannya.

54
4. Pengolahan biologis
Material sampah organik, seperti zat tanaman, sisa makanan atau kertas, bisa
diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan
istilah pengkomposan.Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan
gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah
Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto, Kanada, dimana sampah organik
rumah tangga, seperti sampah dapur dan potongan tanaman dikumpulkan di kantong
khusus untuk di komposkan.

5. Pemulihan energi
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan
cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara
mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan
panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebakai bahan bakar memasak atau
memanaskan sampai menggunakannya untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan
uap dan listrik dari turbin-generator. Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk
perlakukan panas yang berhubungan, dimana sampah dipanaskan pada suhu tinggi
dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada
Tekanan tinggi.
Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi produk berzat padat, gas,
dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk menghasilkan energi atau dimurnikan
menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti
karbon aktif. Gasifikasi dan Gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk
mengkonversi material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara
karbon monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan
listrik dan uap.

6. Metode penghindaran dan pengurangan


Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat
sampah terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah". Metode
55
pencegahan termasuk penggunaan kembali barang bekas pakai, memperbaiki barang
yang rusak, mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali
seperti tas belanja katun menggantikan tas plastik, mengajak konsumen untuk
menghindari penggunaan barang sekali pakai contohnya kertas tissue,dan mendesain
produk yang menggunakan bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama contoh,
pengurangan bobot kaleng minuman.

7. Manfaat pengelolaan sampah


a. Penghematan sumber daya alam
b. Penghematan energi
c. Penghematan lahan TPA
d. Lingkungan asri (bersih, sehat, nyaman)
8. Bencana sampah yang tidak dikelola dengan baik
a. Longsor tumpukan sampah
b. Sumber penyakit
c. Pencemaran lingkungan
d. Menyebabkan banjir

1. Upaya yang dilakukan pemerintah kota solo untuk mengolah dan mengurangi
tumpukan sampah yang ada di tempat pembuangan akhir putri cempo.
Kehidupan manusia tidak pernah dapat dipisahkan dengan sampah. Sampah dijumpai
baik di desa maupun di kota. Daerah perkotaan pada khususnya, selain identik dengan
penduduknya yang padat juga identik dengan permasalahan sampah perkotaan yang
sampai saat ini sulit diselesaikan oleh pemerintah kota sekalipun. Masyarakat kota
seringkali membuang sampah disembarang tempat. Hal tersebut disebabkan karena
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kebersihan lingkungan.
Masyarakat tidak menyadari akan banyaknya masalah yang dapat timbul dari sampah
tersebut.
Ketika semua sampah, baik sampah organik maupun anorganik, dilimpahkan ke TPA,
maka akan muncul suatu permasalahan lain. Lambat laun, TPA tersebut akan mengalami
pembesaran volume. Hal itu akan mempengaruhi kehidupan dan ekosistem disekitarnya.
Seperti TPA Putri Cempo, yang terletak di sebelah utara kota Solo, tepatnya di daerah
Mojosongo. TPA seluas 17 ha itu sebagai tempat pembuangan akhir sampah masyarakat
kota Solo dan sekitarnya. 56
TPA tersebut menimbulkan berbagai masalah, mulai dari
masalah sosial hingga masalah pencemaran udara.
Setidaknya, dalam sehari sekitar 260-290 ton sampah masuk ke Putri Cempo. Bila
dikalkulasikan, dalam setahun masyarakat Solo menghasilkan sekitar 93.600-104.400 ton.
Jumlah yang tidak dianggap sedikit untuk seukuran Putri Cempo.
Tidak sedikit pula warga yang notabene penduduk disekitar TPA harus menjauh dari
sana, karena bau yang tidak sedap yang berasal dari sana.
Dengan masalah-masalah yang terjadi, dibutuhkan solusi yang efektif dan efisien
serta kreatif dari Pemerintah Kota dan dibantu masyarakat Solo sekitarnya. Mulai dari
pengolahan sampah menjadi kompos atau bahan daur ulang.
Sebenarnya, ketika kita berkunjung ke TPA Putri Cempo, ada suatu pandangan yang
aneh. Sekiranya belum pernah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Yaitu fenomena
sapi makan sampah. Di Putri Cempo, sekitar ratusan sapi bertebaran mencari makan.
Tentunya yang dimakan adalah sampah organik. Sampah sisa restoran, rumah tangga,
hotel. Secara tidak sadar, sapi-sapi itu menjadi ‘penyelamat’ dari ancaman overload
sampah di Putri Cempo.
Bahkan, pemerintah kota sengaja memberikan bantuan berupa sapi dalam sistem
gaduhan berjumlah sekitar 250 ekor kepada masyarakat yang tinggal disekitar TPA Putri
Cempo. Sistem ini memungkinkan warga memelihara sapi untuk kemudian
menternakkan, dan nantinya mengembalikan hasil ternak sapi ke Pemerintah Kota Solo.
Dengan kebijakan tersebut, masyarakat sekitar diuntungkan karena adanya
penghasilan yang cukup besar. Susu dan daging yang berasal dari sapi dapat dijual ke
pemerintah dengan harga yang sesuai dengan pasar. Berdasarkan penelitian dari WHO,
susu yang berasal dari sapi, tidak tercemar oleh kotoran yang berasal dari sampah
Bagi Pemerintah Kota Solo, hal ini menjadi seperti satu kayuh dua tiga pulau
terlampau. Membantu kehidupan warga sekaligus membantu sistem pengolahan sampah
alami dengan membiarkan sapi-sapi tersebut mengkonsumsi sampah organik.
Tidak kalah uniknya yaitu adanya para pemulung. Mereka setiap hari mulai dari pagi
hingga menjelang sore mencari sampah di TPA Purtri Cempo. Mereka mencari sampah
khusus pada jenis anorganik. Sampah-smpah yang mereka kumpulkan selanjutkannya
dibawa ke penumpul untuk ditaksir harganya. Semakin banyak sampah yang mereka cari,
tentunya dengan harga perjenis sampah yang besar, keuntungan yang diperoleh bisa
maksimal. Sampah yang mereka cari seperti, gelas minum bekas, kardus besar, tempat
makan atau minum, dan lain-lain yang sekiranya bernilai ekonomis.
Ternyata, di awal-awal pembangunan
57 TPA, pemerintah sudah mempersiapkan solusi-
solusinya. Di antaranya adalah mendatangkan pemulung dari daerah-daerah lain. Mereka
diberi gubuk-gubuk sederhana oleh pemerintah. Akan tetapi, gubuk-gubuk tersebut telah
menjadi rumah berdinding bata dan hampir setiap rumah memiliki motor. Anak-anaknya
pun disekolahkan di perguruan tinggi. Setiap pagi hari, berpuluh-puluh truk parkir di
sepanjang jalan menuju TPA melakukan transaksi bisnis jual-beli material selain sampah,
seperti kertas atau karton, besi, plastik, kaleng, dan aluminium.
Sehingga muncul suatu sinergi yang unik. Ketika sapi-sapi memakan sampah organik,
maka pemulung mencari sampah-sampah anorganik. Secara tidak disengaja, terbentuklah
sebuah komunitas baru yang terbangun diantara ketiga elemen utama tersebut. Sapi
mendapatkan rasa kenyangnya, sementara pemulung mendapatkan hasil dari mencari
sampah dan berternak sapi. Lalu jumlah volume sampah yang ada bisa direduksi.
2.9 Metode Pembuangan
Metode pembuangan akhir sampah pada dasarnya harus memenuhi prinsip teknis
berwawasan lingkungan sebagai berikut :
a. Di kota besar dan metropolian direncanakan sesuai metode lahan urug saniter
(sanitary landfill) sedangkan kota sedang dan kecil minimal harus direncanakan
metode lahan urug terkendali (controlled landfill).
b. Harus ada pengendalian leahcate, yang terbentuk dari proses dekomposisi sampah
agar tidak mencemari tanah, air tanah maupun badan air yang ada.
c. Harus ada pengendalian gas dan bau hasil dekomposisi sampah, agar tidak mencemari
udara, menyebabkan kebakaran atau bahaya asap dan menyebabkan efek rumah kaca.
d. Harus ada pengendalian vektor penyakit.

Ada beberapa metode pengolahan dan pembungan sampah yang ada di dunia.yaitu :
9. Penimbunan darat
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk
membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia. Penimbunan
ini biasanya dilakukan di tanah yg ditinggalkan, lubang bekas pertambangan, atau
lubang lubang dalam. Sebuah situs penimbunan darat yg di desain dan di kelola
dengan baik akan menjadi tempat penimbunan sampah yang hiegenis dan murah.
Sedangkan penimbunan darat yg tidak dirancang dan tidak dikelola dengan
baik akan menyebabkan berbagai masalah lingkungan, diantaranya angin berbau
sampah, menarik berkumpulnya Hama, dan adanya genangan air sampah. Efek
samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang juga sangat
58
berbahaya.hal ini yang pernah terjadi di bandung, di bandung kandungan gas methan
ini meledak dan melongsorkan gunung sampah.
Karakter desain dari penimbunan darat yang modern diantaranya adalah
metode pengumpulan air sampah menggunakan bahan tanah liat atau pelapis
plastik.Sampah biasanya dipadatkan untuk menambah kepadatan dan kestabilannya,
dan ditutup untuk tidak menarik hama (biasanya tikus). Banyak penimbunan sampah
mempunyai sistem pengekstrasi gas yang terpasang untuk mengambil gas yang
terjadi. Gas yang terkumpul akan dialirkan keluar dari tempat penimbunan dan
dibakar di menara pemabakar atau dibakar di mesin berbahan bakar gas untuk
membangkitkan listrik.

10. Metode Daur-ulang


Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk
digunakan kembali disebut sebagai daur ulang.Ada beberapa cara daur ulang, pertama
adalah mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi atau mengambil kalori dari
bahan yang bisa dibakar utnuk membangkitkan listik.

11. Pengolahan kembali secara fisik


Metode ini adalah aktivitas paling populer dari daur ulang, yaitu
mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang dibuang , contohnya botol
bekas pakai yang dikumpulkan kembali untuk digunakan kembali. Pengumpulan bisa
dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak sampah/kendaraan
sampah khusus), atau dari sampah yang sudah tercampur.
Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminum , kaleng
baja makanan/minuman, Botol HDPE dan PET , botol kaca , kertas karton, koran,
majalah, dan kardus. Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga bisa di
daur ulang.Daur ulang dari produk yang komplek seperti komputer atau mobil lebih
susah, karena harus bagian bagiannya harus diurai dan dikelompokan menurut jenis
bahannya.

59
12. Pengolahan biologis
Material sampah organik, seperti zat tanaman, sisa makanan atau kertas, bisa
diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan
istilah pengkomposan.Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan
gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah
Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto, Kanada, dimana sampah organik
rumah tangga, seperti sampah dapur dan potongan tanaman dikumpulkan di kantong
khusus untuk di komposkan.

13. Pemulihan energi


Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan
cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara
mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan
panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebakai bahan bakar memasak atau
memanaskan sampai menggunakannya untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan
uap dan listrik dari turbin-generator. Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk
perlakukan panas yang berhubungan, dimana sampah dipanaskan pada suhu tinggi
dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada
Tekanan tinggi.
Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi produk berzat padat, gas,
dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk menghasilkan energi atau dimurnikan
menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti
karbon aktif. Gasifikasi dan Gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk
mengkonversi material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara
karbon monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan
listrik dan uap.

14. Metode penghindaran dan pengurangan


Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat
sampah terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah". Metode
60
pencegahan termasuk penggunaan kembali barang bekas pakai, memperbaiki barang
yang rusak, mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali
seperti tas belanja katun menggantikan tas plastik, mengajak konsumen untuk
menghindari penggunaan barang sekali pakai contohnya kertas tissue,dan mendesain
produk yang menggunakan bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama contoh,
pengurangan bobot kaleng minuman.

15. Manfaat pengelolaan sampah


e. Penghematan sumber daya alam
f. Penghematan energi
g. Penghematan lahan TPA
h. Lingkungan asri (bersih, sehat, nyaman)
16. Bencana sampah yang tidak dikelola dengan baik
e. Longsor tumpukan sampah
f. Sumber penyakit
g. Pencemaran lingkungan
h. Menyebabkan banjir

2. Upaya yang dilakukan pemerintah kota solo untuk mengolah dan mengurangi
tumpukan sampah yang ada di tempat pembuangan akhir putri cempo.
Kehidupan manusia tidak pernah dapat dipisahkan dengan sampah. Sampah dijumpai
baik di desa maupun di kota. Daerah perkotaan pada khususnya, selain identik dengan
penduduknya yang padat juga identik dengan permasalahan sampah perkotaan yang
sampai saat ini sulit diselesaikan oleh pemerintah kota sekalipun. Masyarakat kota
seringkali membuang sampah disembarang tempat. Hal tersebut disebabkan karena
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kebersihan lingkungan.
Masyarakat tidak menyadari akan banyaknya masalah yang dapat timbul dari sampah
tersebut.
Ketika semua sampah, baik sampah organik maupun anorganik, dilimpahkan ke TPA,
maka akan muncul suatu permasalahan lain. Lambat laun, TPA tersebut akan mengalami
pembesaran volume. Hal itu akan mempengaruhi kehidupan dan ekosistem disekitarnya.
Seperti TPA Putri Cempo, yang terletak di sebelah utara kota Solo, tepatnya di daerah
Mojosongo. TPA seluas 17 ha itu sebagai tempat pembuangan akhir sampah masyarakat
kota Solo dan sekitarnya. 61
TPA tersebut menimbulkan berbagai masalah, mulai dari
masalah sosial hingga masalah pencemaran udara.
Setidaknya, dalam sehari sekitar 260-290 ton sampah masuk ke Putri Cempo. Bila
dikalkulasikan, dalam setahun masyarakat Solo menghasilkan sekitar 93.600-104.400 ton.
Jumlah yang tidak dianggap sedikit untuk seukuran Putri Cempo.
Tidak sedikit pula warga yang notabene penduduk disekitar TPA harus menjauh dari
sana, karena bau yang tidak sedap yang berasal dari sana.
Dengan masalah-masalah yang terjadi, dibutuhkan solusi yang efektif dan efisien
serta kreatif dari Pemerintah Kota dan dibantu masyarakat Solo sekitarnya. Mulai dari
pengolahan sampah menjadi kompos atau bahan daur ulang.
Sebenarnya, ketika kita berkunjung ke TPA Putri Cempo, ada suatu pandangan yang
aneh. Sekiranya belum pernah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Yaitu fenomena
sapi makan sampah. Di Putri Cempo, sekitar ratusan sapi bertebaran mencari makan.
Tentunya yang dimakan adalah sampah organik. Sampah sisa restoran, rumah tangga,
hotel. Secara tidak sadar, sapi-sapi itu menjadi ‘penyelamat’ dari ancaman overload
sampah di Putri Cempo.
Bahkan, pemerintah kota sengaja memberikan bantuan berupa sapi dalam sistem
gaduhan berjumlah sekitar 250 ekor kepada masyarakat yang tinggal disekitar TPA Putri
Cempo. Sistem ini memungkinkan warga memelihara sapi untuk kemudian
menternakkan, dan nantinya mengembalikan hasil ternak sapi ke Pemerintah Kota Solo.
Dengan kebijakan tersebut, masyarakat sekitar diuntungkan karena adanya
penghasilan yang cukup besar. Susu dan daging yang berasal dari sapi dapat dijual ke
pemerintah dengan harga yang sesuai dengan pasar. Berdasarkan penelitian dari WHO,
susu yang berasal dari sapi, tidak tercemar oleh kotoran yang berasal dari sampah
Bagi Pemerintah Kota Solo, hal ini menjadi seperti satu kayuh dua tiga pulau
terlampau. Membantu kehidupan warga sekaligus membantu sistem pengolahan sampah
alami dengan membiarkan sapi-sapi tersebut mengkonsumsi sampah organik.
Tidak kalah uniknya yaitu adanya para pemulung. Mereka setiap hari mulai dari pagi
hingga menjelang sore mencari sampah di TPA Purtri Cempo. Mereka mencari sampah
khusus pada jenis anorganik. Sampah-smpah yang mereka kumpulkan selanjutkannya
dibawa ke penumpul untuk ditaksir harganya. Semakin banyak sampah yang mereka cari,
tentunya dengan harga perjenis sampah yang besar, keuntungan yang diperoleh bisa
maksimal. Sampah yang mereka cari seperti, gelas minum bekas, kardus besar, tempat
makan atau minum, dan lain-lain yang sekiranya bernilai ekonomis.
Ternyata, di awal-awal pembangunan
62 TPA, pemerintah sudah mempersiapkan solusi-
solusinya. Di antaranya adalah mendatangkan pemulung dari daerah-daerah lain. Mereka
diberi gubuk-gubuk sederhana oleh pemerintah. Akan tetapi, gubuk-gubuk tersebut telah
menjadi rumah berdinding bata dan hampir setiap rumah memiliki motor. Anak-anaknya
pun disekolahkan di perguruan tinggi. Setiap pagi hari, berpuluh-puluh truk parkir di
sepanjang jalan menuju TPA melakukan transaksi bisnis jual-beli material selain sampah,
seperti kertas atau karton, besi, plastik, kaleng, dan aluminium.
Sehingga muncul suatu sinergi yang unik. Ketika sapi-sapi memakan sampah organik,
maka pemulung mencari sampah-sampah anorganik. Secara tidak disengaja, terbentuklah
sebuah komunitas baru yang terbangun diantara ketiga elemen utama tersebut. Sapi
mendapatkan rasa kenyangnya, sementara pemulung mendapatkan hasil dari mencari
sampah dan berternak sapi. Lalu jumlah volume sampah yang ada bisa direduksi.
Perencanaan Prasarana dan Sarana TPA.

 Pemrosesan Akhir
 Pengolahan Akhir Sampah di TPST
Pengolahan secara umum merupakan proses transformasi sampah baik secara fisik,
kimia maupun biologi. Masing masing definisi dari proses transformasi tersebut
adalah :
o Transformasi fisik. Perubahan sampah secara fisik melalui beberapa metoda
atau cara yaitu :
- Pemisahan komponen sampah: dilakukan secara manual atau
mekanis,Sampah yang bersifat heterogen dipisahkan menjadi komponen
komponennya, sehingga bersifat lebih homogen. Langkah ini dilakukan
untuk keperluan daur ulang. Demikian pula sampah yang bersifat
berbahaya dan beracun (misalnya sampah laboratorium berupa sisa-sisa zat
kimia) sedapat mungkin dipisahkan dari jenis sampah lainnya, untuk
kemudian diangkut ke tempat pembuangan khusus.
- Mengurangi volume sampah dengan pemadatan atau kompaksi: dilakukan
dengan tekanan/kompaksi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menekan
kebutuhan ruang sehingga mempermudah penyimpanan, pengangkutan
dan pembuangan. Reduksi volume juga bermanfaat untuk mengurangi
biaya pengangkutan dan pembuangan. Jenis sampah yang membutuhkan
reduksi volume antara lain: kertas,karton, plastik, kaleng.
- Mereduksi ukuran
63 dari sampah dengan proses pencacahan. Tujuan hampir
sama dengan proses kompaksi dan juga bertujuan memperluas permukaan
kontak dari komponen sampah.
o Transformasi Kimia.
Perubahan bentuk sampah secara kimiawi dengan menggunakan prinsip
proses pembakaran atau insenerasi. Proses pembakaran sampah dapat
didefinisikan sebagai pengubahan bentuk sampah padat menjadi fasa gas,cair,
dan produk padat yang terkonversi, dengan pelepasan energi panas. Proses
pembakaran ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan komposisi sampah
yaitu :
- Nilai kalor dari sampah, dimana semakin tinggi nilai kalor sampah maka
akan semakin mudah proses pembakaran berlangsung. Persyaratan nilai
- Kadar air sampah, semakin kecil dari kadar air maka proses pembakaran
akan berlangsung lebih mudah.
- Ukuran partikel, semakin luas permukaan kontak dari partikel sampah
maka semakin mudah sampah terbakar.

Jenis pembakaran dapat dibedakan atas :


1. Pembakaran stoikhiometrik, yaitu pembakaran yang dilakukan dengan
suplai udara/oksigen yang sesuai dengan kebutuhan untuk pembakaran
sempurna.
2. Pembakaran dengan udara berlebih, yaitu pembakaran yang dilakukan
dengan suplai udara yang melebihi kebutuhan untuk berlangsungnya
pembakaran sempurna.
3. Gasifikasi, yaitu proses pembakaran parsial pada kondisi substoikhiometrik,
di mana produknya adalah gas-gas CO, H2, dan hidrokarbon.
4. Pirolisis, yaitu proses pembakaran tanpa suplai udara.
o Transformasi Biologi
- Perubahan bentuk sampah dengan memanfaatkan aktivitas
mikroorganisme untuk mendekomposisi sampah menjadi bahan stabil
yaitu kompos. Teknik biotransformasi yang umum dikenal adalah:
- Komposting secara aerobik (produk berupa kompos). Penguraian secara
anaerobik (produk berupa gas metana, CO2 dan gasgas lain, humus atau
lumpur). Humus/lumpur/kompos yang dihasilkan sebaiknya distabilisasi
64
terlebih dahulu secara aerobik sebelum digunakan sebagai kondisioner
tanah.
 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST)

Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) atau Material Recovery Facility (MRF)
didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemisahan dan pengolahan sampah
secara terpusat.

TPA memerlukan fasilitas berdasarkan komponen sampah yang masuk dan yang akan
dikelola. Secara umum dibedakan atas jenis dan fungsi fasilitas:
a) Prasarana Jalan

Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA. Semakin


baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan sehingga efisiensi
keduanya menjadi tinggi. Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi
setempat sehingga dikenal jalan TPST dengan konstruksi:
- Hotmix
- Beton
- Aspal
- Perkerasan situ
- Kayu

Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:


65
 Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah
tersedia;
 Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain dalam
wilayah TPA tersebut;
 Jalan operasi/kerja yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik
pembongkaran sampah;
 Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan
penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi.

 Prasarana Drainase
 Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan
tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti diketahui,
air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan. Semakin kecil
rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin kecil pula debit
lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit
pengolahannya.
 Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan
dari luar TPST agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase penahan
ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk
lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPST juga dapat berfungsi sebagai
penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut.
Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada
saluran drainase.

 Fasilitas Penerimaan

Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang datang,


pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah atau disebut fasilitas
preprocessing. Fasilitas pre-processing, merupakan tahap awal pemisahan sampah,
mengetahui jenis sampah yang masuk, meliputi proses-proses sebagai berikut:
 Penimbangan, mengetahui jumlah sampah yang masuk.
 Penerimaan dan penyimpanan, menentukan area untuk mengantisipasi jika sampah
yang terolah tidak secepat sampah yang datang ke lokasi.
66
Pada umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA.
Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari maka
dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan ketepatan pendataan.
Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos tersebut sekaligus sebagai kantor
TPA sederhana dimana kegiatan administrasi ringan dapat dijalankan.
 Lapisan Kedap Air

Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk di
dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus dibentuk di
seluruh permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding. Bila tersedia di tempat, tanah
lempung setebal + 50 cm merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air.
Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan
konsekuensi biaya yang relatif tinggi.

 Fasilitas Pengamanan Gas

Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan dengan
komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang sangat sedikit jumlahnya. Kedua
gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan global terutama gas metan;
karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke
atmosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari
timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan
kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan
akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan
cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.

 Fasilitas Pengamanan Lindi

Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak
sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik
sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air baik air tanah
maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik. Tahap pertama pengamanan
adalah dengan membuat fasilitas pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan
berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun pengaturan kemiringan dasar TPA;
sehingga lindi secara otomatis begitu mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai
67
kemiringan yang ada mengarah pada titik pengumpulan yang disediakan. Tempat
pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya dihitung
berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari
kolam pengumpul secara gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA
tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan. Pengolahan lindi dapat
menerapkan beberapa metode diantaranya: penguapan/evaporasi terutama untuk daerah
dengan kondisi iklim kering, sirkulasi lindi ke dalam timbunan TPA untuk menurunkan
baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis seperti halnya
pengolahan air limbah.
 Alat Berat

Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator dan
loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam
operasionalnya. Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi
kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam operasi penggalian
tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan
baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan. Untuk TPA
kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara TPA yang besar
umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.

 Penghijauan

Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya adalah:


peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat
yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu
mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman, jalan
raya, dll).

 Fasilitas Penunjang

Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian TPA


yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower),
kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.

1) Rencana Kegiatan yang Dapat Menimbulkan Dampak Lingkungan


68
Dalam rencana kegiatan ini dikelompokkan menjadi kegiatan pra-konstruksi,
konstruksi dan pasca konstruksi (operasional). Kegiatan pra konstruksi ini meliputi study
kelayakan (perencanaan PTMP dan DED) dan pengurusan izinizin, kegiatan konstruksi
meliputi persiapan konstruksi dan konstruksi, kegiatan pasca konstruksi adalah operasional
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST).
a). Pra-Konstruksi meliputi :
- Penyusunan Studi Kelayakan (PTMP dan DED)
- Persiapan Lahan

b). Tahap Konstruksi meliputi


- Penerimaan Tenaga Kerja
- Mobilisasi alat dan bahan material
- Konstruksi Bangunan
- Konstruksi fasilitas perlindungan lingkungan

c). Tahap operasional yang meliputi :


- Penerimaan tenaga kerja
- Kegiatan Operasional Utama
- pengolahan sampah (komposting dan 3R)
- Penimbunan sampah
- Penanganan dan karakteristik Limbah
- Pemeliharaan alat
- Pemeliharaan Jalan
- Pemeliharaan Lapisan Penutup
- Pemeliharaan Drainase
- Pemeliharaan Fasilitas Penanganan Lindi

 Tahap Pra-konstruksi

Adapun rencana pembangunan usaha dan/atau kegiatan pembangunan Tempat


Pemrosesan Akhir sampah (TPA) adalah sebagai berikut :
o Penyusunan studi kelayakan TPA

Dalam kegiatan perencanaan TPA, studi kelayakan adalah Perencanaan Teknis


dan Manajemen Persampahan
69 (PTMP). Dalam dokumen PTMP nanti akan diatur
secara lengkap mengenai pengelolaan persampahan di Tapanuli Selatan, termasuk
kajian kebutuhan lahan, kajian kebutuhan sarana pengangkut sampah (truk dan
gerobak pengangkut), kajian jalur pengangkutan dari daerah pelayanan, kajian
besaran tarif retribusi sampah dan kajian kelembagaan pengelola nantinya.
o Persiapan Lahan Sebelum lahan TPA

diisi dengan sampah maka perlu dilakukan penyiapan lahan agar kegiatan
pembuangan berikutnya dapat berjalan dengan lancar. Beberapa kegiatan
penyiapan lahan tersebut akan meliputi:
- Penutupan lapisan kedap air dengan lapisan tanah setempat yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan atas lapisan
tersebut akibat operasi alat berat di atasnya. Umumnya diperlukan
lapisan tanah setebal 50 cm yang dipadatkan di atas lapisan kedap air
tersebut.
- Persediaan tanah penutup perlu disiapkan di dekat lahan yang akan
dioperasikan untuk membantu kelancaran penutupan sampah; terutama
bila operasional dilakukan secara sanitary landfill. Pelatakan tanah
harus memperhatikan kemampuan operasi alat berat yang ada.

Sebagai bagian dari Persiapan lahan maka perlu dilakukan pemancangan batas-batas
kegiatan konstruksi sesuai dengan lay-out yang disiapkan.

 . Tahap Konstruksi

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap konstruksi adalah rekruitmen tenaga kerja,
mobilisasi alat dan bahan, pengadaan bahan dan material, konstruksi bangunan,konstruksi
sarana penunjang.
 Penerimaan Tenaga Kerja Rekruitmen tenaga kerja konstruksi dilakukan saat akan
dimulainya pekerjaan konstruksi. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan konstruksi pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir sampah (TPA)
direncanakan sesuai dengan fasilitas.
- Jalan
- Pos Jaga
- Jembatan timbang
- Kantor
70
- Gudang
- IPL
- Workshop
- Drainase
- Taman/cuci truk/Lainnya

Tenaga kerja yang dibutuhkan pada tahap konstruksi pembangunan terdiri dari
(5) tenaga kerja terampil, pengawas, ahli mekanik dan listrik dan (25) tenaga
kerja buruh. Kebutuhan tenaga kerja ini akan diprioritaskan bagi tenaga kerja
lokal sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dibutuhkan. Dapat
diperkirakan sebanyak 30 orang.
 Mobilisasi alat dan Bahan

Material Peralatan yang akan digunakan ke lokasi kegiatan adalah berupa


peralatan bangunan sebelumnya dan pembangunan TPA beserta bangunan
pendukungnya lainnya. Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa:
bulldozer, excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda dalam operasionalnya. Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan
dan pemadatan tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien
dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader
sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam
kemampuan pemadatan.
Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara
TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut. Pengadaan
material bangunan seperti pasir, batu dan kerikil akan didatangkan dari sekitar lokasi
proyek atau lokal dari Sipirok dan sekitarnya, maupun Kabupaten Tapanuli Selatan.
Untuk material-material yang tidak tersedia secara lokal akan didatangkan dari daerah
lain sesuai dengan kebutuhan proyek. Pengangkutan bahan dan material bangunan
menggunakan dump truck yang berkapasitas angkut 10 m3. Kegiatan mobilisasi
peralatan dan bahan adalah melewati Jalan Lintas Sumatera di Desa Aek Latong
Kecamatan Sipirok sebagai jalan utama sebelum memasuki areal rencana lokasi usaha
dan/atau kegiatan.
 Konstruksi Bangunan

Pekerjaan struktur meliputi pekerjaan jalan dan bangunan-bangunan utama dan


71
bangunan penunjang operasional TPA.
 Jalan
Konstruksi jalan TPA terdiri atas jalan utama dan jalan inspeksi. Jalan
utama selebar 8 m sedangkan jalan inspeksi lebar 4 m. jalan utama dibuat
dengan perkerasan Beton atau Hotmix, sedangkan jalan inspeksi dibuat
dengan perkerasan aspal biasa saja.
 Pos Jaga

Pos jaga merupakan fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat


pemeriksaan sampah yang datang. biasanya Pos Jaga sering digabungkan
dengan jembatan Timbang untuk menyesuaikan lahan TPA yang kurang luas.
Bangunan Pos Jembatan timbang berfungsi untuk pencatatan sampah masuk
sebagai dokumentasi data operasional TPA.
 Kantor Bangunan

kantor merupakan tempat kegiatan administratif dalam operasional TPA.


Kantor direncanakan seluas 3 x 6 m
 Gudang

Bangunan gudang yang akan dibangun seluas 100 m 2. Bangunan gudang


akan dipruntukkan untuk tempat penyimpanan sementara hasil kegiatan
komposting maupun hasil kegiatan 3R.
 Bangunan IPL

Bangunan pengolah lindi (IPL) harus direncanakan sesuai dengan beban


kerja sesuai dengan perhitungan strutur. Bangunan IPL dibuat dari kontruksi
beton yang kuat mencegah terjadi kebocoran dari retakan kontruksi bangunan
IPL. Menginngat lindi adalah potensi pencemar ke badan air maupun ke dalam
air tanah, maka pencegahan awal dilakukan dengan perencanaan yang sangat
baik mengenai struktur bangunannya.
Luas bangunan IPL didasarkan pada luas sel sampah sebagai tempat
penimbunan sampah. Perhitungan debit lindi harus memperhatikan curah
hujan setempat. Luasan bangunan IPL direncanakan 6 x 20 m.Untuk
menentukan tingkat keandalan struktur IPL, harus dilakukan pemeriksaan
keandalan bangunan
72 IPL secara berkala sesuai ketentuan dalam
Pedoman/Petunjuk Teknis Tata Cara Pemeriksaan Keandalan Bangunan IPL.
Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan IPL harus segera dilakukan
sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan bangunan IPL, sehingga
bangunan IPL selalu memenuhi persyaratan keselamatan struktur.
Pemeriksaan keandalan bangunan IPL dilaksanakan secara berkala.
 Workshop

Workshop merupakan bengkel yg diperlukan untuk pemeliharaan alat


berat di TPST serta memperbaiki kendaraan yang mengalami kerusakan
ringan yang terjadi di TPST, sehingga tidak sampai mengganggu operasi
pembuangan sampah. Peralatan bengkel harus disesuaikan dengan jenis
kerusakan yang akan ditangani. Adapun workshop yang akan dibangun seluas
100 m2.
 Drainase
Drainase sebagai pembawa aliran limpasan air hujan dari lokasi TPA agar
tidak masuk kedalam area timbunan sampah. Drainase dibuat di kiri dan kanan
jalan operasional TPA dan dialirkan terpisah denga aliran air lindi dari sel
sampah. Saluran drainase langsung dialirkan menuju badan air penerima.
 Tempat Cuci Truk/Lainnya

Sarana air bersih di TPST diperlukan untuk pembersihan kendaraan


pengangkut sampah (truck), alat berat, keperluan mandi cuci bagi petugas
maupun operator pengangku sampah. Selain itu apabila memungkinkan air
bersih juga diperlukan untuk menyiram debu disekitar jalan operasional secara
berkala untuk mengurangi polusi udara dari debu.
 Konstruksi Fasilitas Perlindungan Lingkungan
- Lapisan Dasar Kedap Air Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah
terjadinya pencemaran lindi terhadap air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA
harus cukup kedap, baik dengan menggunakan lapisan dasar geomembrane/ geotextile
maupun lapisan tanah lempung dengan kepadatan dan permeabilitas yang memadai.
- Jaringan Pengumpul Lindi

Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi untuk mengalirkan lindi yang
terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampung lindi. Jaringan pengumpul lindi
dapat berupa pipa PVC berlubang yang dilindungi oleh gravel.
73
- Bangunan Pengolah Lindi (IPL)

Instalasi atau kolam pengolahan lindi berfungsi untuk menurunkan kadar pencemar
lindi sampai sesuai dengan ketentuan standar efluen yang berlaku. Mengingat
karakteristik lindi didominasi oleh komponen organik dengan nilai BOD rata-rata 2000 -
10.000 ppm (Qasim, 1994), maka pengolahan lindi yang disarankan minimal dengan
proses pengolahan biologi (secondary treatment). Dalam kondisi efluen belum dapat
mencapai nilai efluen yang diharapkan, maka dapat dilakukan proses resirkulasi lindi ke
lahan timbunan sampah melalui pipa resirkulasi.
- Pipa Gas

Pipa gas berfungsi untuk mengalirkan gas dari timbunan sampah yang terbentuk
karena proses dekomposisi sampah oleh aktivitas mikroorganisme. Tanpa adanya
ventilasi yang memadai, akan dapat menyebabkan tingginya akumulasi gas di timbunan
sampah sehingga sangat mudah terbakar. Gas yang mengalir dan keluar dari pipa gas
sebaiknya diolah sebagai biogas (di negara maju, gas dari landfill dimanfaatkan untuk
menghasilkan tenaga listrik). Tetapi apabila tidak dilakukan pengolahan gas TPA, maka
gas yang keluar dari pipa vent harus dibakar, hal tersebut untuk menghindari terjadinya
dampak negatif terhadap pencemaran udara berupa efek rumah kaca (green house effect).
Pemasangan pipa gas berupa pipa PVC berlubang (vertikal) yang dilindungi oleh casing
yang diisi kerikil, harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketinggian lapisan sel
sampah. Letak pipa gas agar berada pada jalur jaringan pipa lindi.
- Green Barrier

Untuk mengantisipasi penyebaran bau dan populasi lalat yang tinggi, maka perlu
dibuat green barrier berupa area pepohonan disekeliling TPA. Tebal green barrier kurang
lebih 5 m (canopi). Pohon yang cepat tumbuh dan rimbun untuk memenuhi kebutuhan ini
antara lain jenis pohon angsana.
- Sumur Uji

Sumur uji diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran terhadap air tanah
yang disebabkan oleh adanya rembesan lindi dari dasar TPA (dasar TPA tidak kedap,
adanya retakan lapisan tanah, adanya kebocoran geomembran).

Merencanakan prasarana/sarana TPA yang dibutuhkan berdasarkan kelayakan teknis,


74
ekonomis dan lingkungan
A. Fasilitas Umum
1. Jalan Akses Jalan akses TPA harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Dapat dilalui kendaraan truk sampah dan 2 arah
b) Lebar jalan minimal 8 m, kemiringan pemukaan jalan 2-3 % ke arah saluran
drainase, mampu menahan beban perlintasan dengan tekanan gandar 10
ton dan kecepatan kendaraan 30 km/jam (sesuai dengan ketentuan Ditjen
Bina Marga)
2. Jalan Operasi Jalan operasi yang dibutuhkan dalam pengoperasian TPA terdiri dan
2 jenis, yaitu :
a) Jalan operasi penimbunan sampah, jenis jalan bersifat temporer, setiap saat
dapat ditimbun dengan sampah.
b) Jalan operasi mengelilingi TPA, jenis jalan bersifat permanen dapat berupa
jalan beton, aspal atau perkerasan jalan sesuai dengan beban dan kondisi
tanah.
c) Jalan penghubung antar fasilitas, yaitu kantor/pos jaga, bengkel, tempat
parkir, tempat cuci kendaraan. Jenis jalan bersifat pemanen.
3. Bangunan Penunjang
Luas bangunan kantor tergantung pada lahan yang tersedia dengan
mempertimbangkan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain
administrasi operasional TPA, tampilan rencana tapak, tempat cuci kendaraan,
kamar mandi/wc gudang, bengkel dan alat pemadam kebakaran.
4. Drainase Drainase
TPA berfungsi untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada area sekitar
TPA ke tempat penampungan atau badan air terdekat. Ketentuan teknis drainase
TPA adalah sebagai berikut:
a) Jenis drainase dapat berupa drainase pemanen (disisi jalan
utama,disekeliling timbunan, daerah sekitar kantor, gudang, bengkel,
tempat cuci) dan drainase sementara (dibuat secara lokal pada zona yang
akan dioperasikan)
b) Kapasitas saluran dihitung dengan persamaan Manning Q = 1 / n . A. R2/3 .
S1/2 Dimana: Q = debit aliran air hujan (m3 /det) A = Luas penampang
basah saluran (m2 ) R = jari-jari hidrolis (m) S = kemiringan n = konstanta
(0,5 -0,6 ; tergantung
75 pada kekasaran saluran)
c) Pengukuran besamya debit dihitung dengan persamaan sebagai berikut: D =
0,278 C. I . A (m3 /det) Dimana: D = debit C = angka pengaliran I =
intensitas hujan maksimum (mm/jam) A = luas daerah aliran (km2 )
5. Pagar
Pagar berfungsi untuk menjaga keamanan TPA, dapat berupa pagar tanaman
sehingga sekaligus dapat juga berfungsi sebagai daerah penyangga minimal
setebal 5 m dan dapat pula dilengkapi dengan pagar kawat atau lainnya.
6. Papan Nama
Papan nama berisi nama TPA, pengelola, jenis sampah dan waktu kerja yang
dipasang di depan pintu masuk TPA.
B. Fasilitas Perlindungan Lingkungan
1. Pembentukan dasar TPA
a. Lapisan dasar TPA harus kedap air sehingga leachate terhambat meresap
kedalam tanah dan tidak mencemari air tanah. Koefisien pearmeabilitas
lapisan dasar TPA harus lebih kecil dari 10-6 cm/det.
b. Pelapisan dasar kedap air dapat dilakukan dengan cara melapisi dasar TPA
dengan tanah lempung yang dipadatkan (30 cm x 2) atau geomembrane
setebal 1,5-2 mm, tergantung pada kondisi tanah.
c. Dasar TPA harus dilengkapi saluran pipa pengumpul leachate dan
kemiringan minimal 2% kearah saluran pengumpul maupun penampung
leachate.
d. Pembentukan dasar TPA harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan
urutan zona/blok dengan urutan pertama sedekat mungkin ke kolam
pengolahan leachate.
e. Bila menurut desain perlu digunakan geosintetis seperti geomembran,
geotekstil, non-woven, geonet, dan sebagainya, pemasangan bahan ini
hendaknya disesuaikan spesifikasi teknis yang telah direncanakan, dan
dilaksanakan oleh kontraktor yang berpengalaman dalam bidang ini.
Gambaran lapisan dasar TPA dapat dilihat pada gambar-gambar berikut di
bawah ini.
2. Saluran pengumpul leachate
Saluran pengumpul leachate terdiri dari saluran pengumpul sekunder dan
primer
a. Kriteria saluran
76pengumpul sekunder adalah sebagai berikut :
a) Dipasang memanjang ditengah blok/zona penimbun
b) Saluran pengumpul tersebut menerima aliran dari dasar lahan
dengankemiringan minimal 2 %
c) Saluran pengumpul terdiri dari rangkaian pipa HDPE
d) Dasar saluran dapat dilapisi dengan liner (lapisan kedap air)
b. Kriteria saluran pengumpul primer Menggunakan pipa HDPE berlubang
(untuk pipa ke bak pengumpul leachate tidak berlubang), saluran primer
dapat dihubungkan dengan hilir saluran sekunder oleh bak kontrol, yang
berfungsi pula sebagai ventilasi yang dikombinasikan dengan pengumpul
gas vertikal. 49 c. Syarat pengaliran leachate adalah:
a) Gravitasi
b) Kecepatan pengaliran 0,6-3 m/det
c) Kedalaman air dalam saluran/pipa (d/D) maksimal 80%, dimana d
= tinggi air dan D = diameter pipa minimum 30 cm.
c. Perhitungan desain debit leachate adalah menggunakan model atau
denganperhitungan yang didasarkan atas asumsi-asumsi :
a) Hujan terpusat pada 4 jam sebanyak 90% (Van Breen), sehingga
faktor puncak = 5,4. Maksimum hujan yang jatuh 20-30%
diantaranya menjadi leachate.
b) Dalam 1 bulan, maksimum terjadi 20 hari hujan.
c) Data presipitasi diambil berdasarkan data harian atau tahunan
maksimum dalam 5 tahun terakhir.
d. Penampung leachate Leachate yang mengalir dari saluran primer
pengumpul leachate dapat ditampung pada bak penampung leachate dengan
kriteria teknis sebagai berikut :
a) Bak penampung leachate harus kedap air dan tahan asam
b) Ukuran bak penampung disesuaikan dengan kebutuhan.
3. Ventilasi gas
Ventilasi gas yang berfungsi untuk mengalirkan dan mengurangi akumulasi
tekanan gas mempunyai kriteria teknis :
a. Pipa ventilasi dipasang dari dasar TPA secara bertahap pada setiap lapisan
sampah dan dapat dihubungkan dengan pipa pengumpul leachate.
b. Pipa ventilasi gas berupa pipa HDPE diameter 150 mm (diameter lubang
perforasi maksimum
77 1,5 cm) yang dikelilingi oleh saluran bronjong
berdiameter 400 mm dan diisi batu pecah diameter 50 – 100 mm
c. Ketinggian pipa ventilasi tergantung pada rencana tinggi timbunan (setiap
lapisan sampah ditambah 50 cm)
d. Pipa ventilasi pada akhir timbunan harus ditambah dengan pipa besi
diameter 150 mm
e. Gas yang keluar dari ujung pipa besi harus dibakar atau dimanfaatkan
sebagai energi alternatif
f. Jarak antara pipa ventilasi gas 50 – 70 m
g. Pada sistem sanitary landfill, gasbio harus dialirkan ke udara terbuka
melalui ventilasi sistem penangkap gas, lalu dibakar pada gas-flare. Sangat
dianjurkan menangkap gasbio tersebut untuk dimanfaatkan.
h. Metode untuk membatasi dan menangkap pergerakan gas adalah :
a) Menempatkan materi impermeabel pada atau di luar perbatasan
landfill untuk menghalangi aliran gas
b) Menempatkan materi granular pada atau di luar perbatasan landfill
(perimeter) untuk penyaluran dan atau pengumpulan gas
c) Pembuatan sistem ventilasi penagkap gas di dalam lokasi ex-TPA.
i. Sistem penangkap gas dapat berupa :
a) Ventilasi horizontal: yang bertujuan untuk menangkap aliran gas
dalam dari satu sel atau lapisan sampah
b) Vantilasi vertikal: merupakan ventilasi yang mengarahkan dan
mengalirkan gas yang terbentuk ke atas
c) Ventilasi akhir: merupakan ventilasi yang dibangun pada saat
timbunan akhir sudah terbentuk, yang dapat dihubungkan pada
pembakar gas (gas-flare) atau dihubungkan dengan sarana
pengumpul gas untuk dimanfaatkan lebih lanjut. Perlu difahami
bahwa potensi gas pada ex-TPA ini sudah mengecil sehingga
mungkin tidak mampu untuk digunakan dalam operasi rutin.
4. Penutupan tanah
Tanah penutup dibutuhkan untuk mencegah sampah berserakan, bahaya
kebakaran,timbulnya bau, berkembang biaknya lalat atau binatang pengerat
dan mengurangi timbulan leachate.
a. Periode penutupan tanah harus disesuaikan dengan metode
pembuangannya,
78 untuk lahan urug saniter penutupan tanah dilakukan setiap
hari, sedangkan untuklahan urug terkendali penutupan tanah dilakukan
secara berkala.
b. Tahapan penutupan tanah untuk lahan urug saniter terdiri dari penutupan
tanah harian (setebal 15-20 cm), penutupan antara (setebal 30-40 cm) dan
penutupan tanah akhir (setebal 50-100 cm, bergantung pada rencana
peruntukan bekas TPA nantinya).
c. Kemiringan tanah penutup harian harus cukup untuk dapat mengalirkan air
hujan keluar dari atas lapisan penutup tersebut.
d. Kemiringan tanah penutup akhir hendaknya mempunyai grading dengan
kemiringan tidak lebih dari 30 derajat (perbandingan 1:3) untuk menghidari
terjadinya erosi:
a) Diatas tanah penutup akhir harus dilapisi dengan tanah media tanam
(top soil/vegetable earth).
b) Dalam kondisi sulit mendapatkan tanah penutup, dapat digunakan
reruntuhan bangunan, sampah lama atau kompos, debu sapuan jalan,
hasilpembersihan saluran sebagai pengganti tanah penutup.
5. Daerah penyangga/zona penyangga
Daerah penyangga dapat berfungsi untuk mengurangi dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan pembuangan akhir sampah terhadap lingkungan
sekitarnya. Daerah penyangga ini dapat berupa jalur hijau atau pagar tanaman
disekeliling TPA,dengan ketentuan sebagai berikut
a. Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman perdu
yang mudah tumbuh dan rimbun.
b. Kerapatan pohon adalah 2–5 m untuk tanaman keras.
c. Lebar jalur hijau minimal.
6. Sumur uji
Sumur uji ini berfungsi untuk memantau kemungkinan terjadinya pencemaran
leachate terhadap air tanah disekitar TPA dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Lokasi sumur uji terletak pada beberapa tempat, yaitu sebelum lokasi
penimbunan sampah, dilokasi sekitar penimbunan dan pada lokasi setelah
penimbunan.
b. Penempatan lokasi harus tidak pada daerah yang akan tertimbun sampah
dan ke arah hilir
79 aliran air tanah.
c. Kedalaman sumur 20–25 m dengan luas 1 m2

C. Fasilitas Penunjang
1. Jembatan timbang
Jembatan timbang berfungsi untuk menghitung berat sampah yang masuk ke TPA
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Lokasi jembatan timbang harus dekat dengan kantor/pos jaga dan terletak pada
jalan masuk TPA.
b. Jembatan timbang harus dapat menahan beban minimal 10-20 ton, tergantung
pada tonnase truk sampah.
c. Lebar jembatan timbang harus dapat mengakomodir lebar kendaraan truk
sampah yang akan masuk ke TPA.
2. Air bersih
Fasilitas air bersih akan digunakan terutama untuk kebutuhan kantor, pencucian
kendaraan (truck dan alat berat), maupun fasilitas TPA lainnya. Penyediaan air
bersih ini dapat dilakukan dengan sumur bor dan pompa.
3. Hangar
Bengkel/garasi/hangar berfungsi untuk menyimpan dan atau memperbaiki
kendaraan atau alat besar yang rusak.Peralatan bengkel minimal yang harus ada di
TPA adalah peralatan untuk pemeliharaan dan kerusakan ringan.
4. Fasilitas Pemadam Kebakaran
Fasilitas tersebut perlu disediakan untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di
TPA. 5. Fasilitas Daur Ulang dan Pengomposan Fasilitas Daur Ulang berfungsi
untuk mengolah sampah an-organik seperti plastik, kaleng, dll yang masuk ke
TPA agar menjadi sesuatu yang lebih bernilai secara ekonomis, sedangkan
fasilitas Pengomposan berfungsi untuk mengolah sampah organik seperti sisa
makanan dan sampah daun yang masuk ke TPA agar menjadi kompos.
5. Fasilitas Operasional Alat berat
Pemilihan alat berat harus mempertimbangkan kegiatan pemrosesan akhir seperti
pemindahan sampah, pemadatan sampah, penggalian/pemindahan tanah.Pemilihan
alat berat harus disesuaikan dengan kebutuhan (jumlah, jenis, dan ukuran).
a. Bulldozer
b. Wheel /truck loader
c. Excavator /backhoe
80
6. Rencana Tapak
Dalam penentuan rencana tapak untuk sanitary landfill, harus diperhatikan
beberapa hal :
a. Pemanfaatan lahan dibuat seoptimal mungkin sehingga tidak ada sisa lahan
yang tidak dimanfaatkan.
b. Lokasi TPA harus terlindung dari jalan umum yang melintas TPA. Hal ini
dapat dilakukan dengan menempatkan pagar hidup di sekeliling TPA,
sekaligus dapat berfungsi sebagai zona penyangga.
c. Penempatan kolam pengolahan leachate dibuat sedemikian rupa sehingga
leachate sedapat mungkin mengalir secara gravitasi.
d. Penempatan jalan operasi harus disesuaikan dengan sel/blok penimbunan,
sehingga semua tumpukan sampah dapat dijangkau dengan mudah oleh truk
dan alat besar.

Menurut Wahid Iqbal dan Nurul C. (2009: 279-280) tentang tahap


pengelolaan dan pemusnahan sampah dilakukan dengan 2 metode:
a) Metode yang memuaskan
1) Metode Sanitary Landfill (lahan urug saniter), yaitu pemusnahan
sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah
dimasukkan dan ditimbun dengan tanah sebagai lapisan penutup
lalu dipadatkan. Cara ini memerlukan persyaratan harus tersedia
tempat yang luas, tersedia tanah untuk menimbunnya, dan tersedia
alat-alat besar.
2) Inceneration (dibakar), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan
membakar di dalam tungku pembakaran khusus. Manfaat sistem
ini volume sampah dapat diperkecil sampai satu per tiga, tidak
memerlukan ruang yang luas, panas yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai sumber uap, dan pengelolaan dapat dilakukan
secara terpusat dengan jadwal jam kerja. Adapun akibat penerapan
metode ini adalah memerlukan biaya besar, lokasi pembuangan
pabrik sulit didapat karena keberadaan penduduk, dan peralatan-
peralatan yang digunakan dalam incenerasi.
3) Composting (dijadikan pupuk), yaitu mengelola sampah menjadi
pupuk kompos; khususnya untuk sampah organik.
81
b) Metode yang tidak memuaskan

1) Metode Open Dumping, yaitu sistem pembuangan sampah yang


dilakukan secara terbuka. Hal ini akan menjadi masalah jika
sampah yang dihasilkan adalah sampah organik yang membusuk
karena menimbulkan gangguan pembauan dan estetika serta
menjadi sumber penularan penyakit.
2) Metode Dumping in Water, yaitu pembuangan sampah ke dalam
air. Hal ini akan dapat mengganggu rusaknya ekosistem air. Air
akan menjadi kotor, warnanya berubah, dan menimbulkan sumber
penyakit yang ditularkan melalui air (water borne disease).
3) Metode Burning on premises (individual inceneration) yaitu
pembakaran sampah dilakukan di rumah-rumah tangga.
Sedang menurut SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional
Pengelolaan Sampah Perkotaan, secara umum teknologi pengolahan sampah
dibedakan menjadi 3 metode yaitu metode Open Dumping dan metode Sanitary
Landfill (Lahan Urug Saniter) seperti yang dikemukakan di atas serta metode
Controlled Landfill (Penimbunan terkendali). Controlled Landfill adalah sistem
open dumping yang diperbaiki yang merupakan sistem pengalihan open dumping
dan sanitary landfill yaitu dengan penutupan sampah dengan lapisan tanah
dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan atau setelah mencapai periode
tertentu.
2. Pelestarian Lingkungan

Setiap makhluk hidup membutuhkan lingkungan untuk menunjang


kehidupannya karena lingkungan menyediakan berbagai macam sumber
daya dan manfaat baginya sehingga upaya pelestariannya memang
diperlukan. Pelestarian lingkungan adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan, daya dukung dan daya tampung lingkungan (UU
No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Daya dukung
lingkungan merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain, serta daya tampung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi dan atau komponen82
lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Betapa pentingnya keberadaan lingkungan hidup. Untuk itu, perlu
dikelola dengan baik agar keberadaannya tetap lestari. Tujuan pengelolaan
lingkungan hidup menurut UU No. 32 tahun 2009 adalah:
a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem.
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
e. Mencapainya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia.
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan.
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Menurut Wisnu Arya (2004: 160-169), cara yang baik untuk melestarikan
lingkungan dan mencegah pencemaran lingkungan yaitu dengan mengelola manusia itu
sendiri, diantaranya:
a. Penanggulangan secara non-teknis
Penanggulangan secara nonteknis, yaitu suatu usaha untuk mengurangi dan
menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan
perundangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan mengawasi segala macam
bentuk kegiatan industri dan teknologi seedemikian rupa sehingga tidak terjadi
pencemaran lingkungan. Contohnya adalah Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
b. Penanggulangan secara teknis
Banyak cara yang dapat ditempuh dalam penanggulangan secara teknis. Beberapa
cara yang digunakan dalam penanggulangan secara teknis antara lain sebagai berikut:
1. Mengubah proses
2. Mengganti sumber energi
3. Mengelola limbah
4. Menambah alat bantu83
Salah satu cara dalam penangggulangan secara teknis yaitu mengelola
limbah. Semua kegiatan industri dan teknologi selalu akan menghasilkan
limbah yang menimbulkan masalah bagi lingkungan. Pengolahan limbah
dari bahan buangan industri dan teknologi dimaksudkan untuk mengurangi
pencemaran lingkungan sehingga tetap lestari.
c. Pengendalian perilaku manusia melalui jalur pendidikan dan penyuluhan
(Edukatif)
Masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam perlu mendapat
pengetahuan agar mencegah atau setidaknya mengurangi kerusakan
lingkungan. Cara ini ditempuh dengan melakukan penyuluhan kepada
masyarakat akan pentingnya lingkungan dapat melalui pendidikan formal
(di sekolah) ataupun nonformal (Suwarno, 2009: 206).

2.10 Pengelolaan Sampah


Pemerintah Daerah diharapkan dapat melakukan kebijakan politik khususnya
mengenai pengelolaan sampah dan hendaknya didukung penuh oleh Pemerintah Pusat
dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam teknis perencanaan, penyelenggaraan
dan pengembangannya. Hal ini diperlukan karena sampah pada dasarnya bukan
sekedar permasalahan Pemda atau Dinas Kebersihan Kota saja, namun lebih dari itu
merupakan masalah bagi setiap individu, keluarga, organisasi dan akan menjadi
masalah negara bila sistem perencanaan dan pelaksanaannya tidak dilakukan dengan
terpadu dan berkelanjutan.
Aparat terkait sebaiknya tidak ikut secara teknis, ini untuk menghindari
meningkatnya anggaran biaya penyelenggaraan, selain itu keterlibatan aparat terkait
dikahawatirkan akan membentuk budaya masyarakat yang bersifat tidak peduli.
Pemerintah dan aparat terkait sebaiknya memposisikan kewenangannya sebagai
fisilitator dan konduktor dan setiap permasalahan persampahan sebaiknya
dimunculkan oleh masyarakat atau organisasi sosial selaku produsen sampah.Hal ini
diharapkan terciptanya sikap masyarakat selaku individu, keluarga dan organisasi.
Sampah sebagai sesuatu yang sudah dibuang dan tidak digunakan lagi harus
dikelola sedemikian rupa dengan sebaik-baiknya sehingga hal-hal negative yang dapat
ditimbulkan karenanya bagi kehidupan tidak terjadi. Ada tiga hal pokok yang
dilakukan dalam pengelolaan sampah, yaitu
84 storage)
1. Penyimpanan sampah (refuse
Penyimpanan sampah maksudnya ialah tempat sampah sementara, sebelum sampah
tersebut dikumpulkan,untuk kemudian diangkut dan dimusnahkan. Untuk itu perlu
disediakan suatu tempat sampah.Dalam penyimpanan sampah yang bersifat sementara
ini, sebaiknya disediakan tempat sampah yang berbeda untuk macam atau jenis
sampah tertentu.
Maksud penyimpanan sampah dengan pemisahan ini untuk memudahkan
pemusnahannya kelak.Macam tempat sampah yang dipakai untuk penyimpanan
sampah ini banyak ragamnya.Dinegara yang telah maju dipergunakan kantong plastic,
kertas plastic atau kertas tebal. Sedangkan di Indonesia yang lazim ditemui adalah
keranjang plastic, keranjang rotan, dan lain sebagainya.
2. Pengumpulan sampah ( refuse collection)
Sampah yang disimpan ini seperti di rumah, kantor, atau restoran selanjutnya perlu
dikumpulkan untuk kemudian diangkut, dibuang, atau dimusnahkan. Karena jumlah
sampah yang dikumpulkan cukup besar, maka perlu dibangun rumah
sampah.Lazimnya penanganan smpah ini dilaksanakan oleh pemerintah atau
masyarakat secara bergotong-royong. Dalam pengumpulan sampah ini, sebaiknya
dilakukan pemisahan yang dikenal dalam dua macam, yaitu :
a) System duet, artinya disediakan dua tempat sampah, yaitu : satu untuk samah
basah dan yang satunya lagi untuk sampah kering.
b) System trio, ykni disediankan tiga bak sampah, pertama untuk sampah basah.
Kedua, untuk sampah kering yang mudah dibakar. Dan yang ketiga untuk
sampah kering yang tidak mudah dibakar.
3. Pembuangan sampah ( feruse disposal)
Sampah yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dibuang atau dimusnahkan.
Pembuangan sampah biasanya dilakukan didaerah tertentu sehingga tidak
mengganggu kesehatan manusia. Syarat yang harus dipenuhi dalam membangun
tempat pembuangan sampah ialah:
a) Tempat tersebut tidak dibangun dekat sumber air minum atau sumber air
lainnya yang dipergunakan oleh manusia.
b) Tidak pada tempat yang sering terkena banjir.
c) Ditempat yang jauh dari tempat tinggal manusia

Adapun jarak yang sering dipakai sebagai pedoman ialah ekitar 2 km dari perumahan
85 dan 200 m dari sumber air.
penduduk, 15 km dari laut
Sejak dulu manusia sudah mengenal cara pembuangan sampah seperti open dumping.
Dipergunakan sampah sebagai pupuk telah dikenal hampir 40 abad yang silam
sedangkan permulaan abad ke-20  telah dikenal cara pemusnahan sampah dengan
jalan menghancurkannya.
Kesemua cara itu masih dipergunakan hingga kini maksudnya tidak lain untuk
menciptakan lingkungan hidup yang sehat sehingga dapatditingkatkan derajat
kesehatan manusia. Pada masa mendatang pemusnahan sampah ini makin bertambah
ragamnya sejalan kemajuan ilmu pengetahuan secara teknologi. Beberapa cara
pembuangan sampah yang lazim digunakan sekarang ini, antara lain adalah :
a. Hogfeeding: penggunaan sampah jenis garbage untuk makanan babi.
b. Inceneration: untuk pembakaran sampah yang sangat menguntungkan karena
dapat memperkecil volume sampah hingga sepertiganya.
c. Sanitary landfill: pembuangan sampah dengan cara menimbun sampah dengan
tanah sedemikian rupa yang dilakukan lapis demi lapis sehingga sampah tidak
berada di alam terbuka, jadi tidak sampai menimbulkan bau yang menyengat
serta tidak menjadi tempat bersarangnya binatang.
d. Dischaerge to sewers: sampah yang dihaluskan dulu dan kemudian dibuang
kedalam saluran pembuangan air bekas.
e. Dumping : pembuangan sampah yang diletakkan begitu saja di tanah.
f. Dumping in water : prinsipnya sama dengan diatas, tetapi disini dibuang ke
dalam air ( sungai, laut)
g. Individual inceneration : pembakaran sampah yang dilakukan di rumah
tangga.
h. Recycling : iana;ah pengolahan samah dengan maksud pemakaian kembali
hal-hal yang masih bisa dipakai.
i. Reducting : menghancurkan sampah menjadi jumlah sampah yang lebih kecil
dan hasilnya dapat dimanfaatkan.
j. Salvaging : pemanfaatan beberapa macam sampah yang dipandang dapat
dipakai lagi.
k. Composting : pengolahan sampah menjadi pupuk.

2.11 Sarana dan Prasarana TPA


86
Menurut SNI 03-3241-1994, tempat pembuangan akhir (TPA) sampah adalah
sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah berupa tempat
yang digunakan untuk mengkarantina sampah kota secara aman.
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, TPA biasanya ditunjang dengan
sarana dan prasarana antara lain:
a. Prasarana jalan
Prasarana jalan sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.
Semakin baik kondisi TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan
sehingga lebih efisien.
b. Prasarana drainase
Drainase TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air
hujan dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan
sampah.Air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang
dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk pada timbunan
sampah akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan. Secara teknis
drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan dari luar
TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase penahan ini
umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk
lahan yang telah ditutup tanah, drainase berfungsi sebagai penangkap aliran
limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut.Untuk itu
pemukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada saluran
drainase.
c. Fasilitas penerimaan
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemerikasaan
sampah yang dating, pencatatan data dan pengaturan kedatangan
truksampah.Pada umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di
pintu masuk TPA.
d. Lapisan kedap air
Lapisan kedap air berfungsi utnuk mencegah rembesan air lindi yang
terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya.
e. Lapisan pengaman gas
Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbondioksida dan
methan dengan komposisi hampIr sama di samping gas-gas lain yang sangat
sedikit jumlahnya.
87 Kedua gas tersebut memiliki potensi yang besar dalam
proses pemanasan global terutama gas methan. Karenanya perlu dilakukan
pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan bebas lepas ke atmosfir.Untuk
itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan
sampah pada titik tertentu.Untuk itu perlu diperhatikan kualitas dan kondisi
tanah penutup TPA. Tanah yang berporos atau banyak memiliki rekahan akan
menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas methan
dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam
pemanasan global.
f. Fasilitas pengaman lindi
Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang
melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan
pencemar, khusunya zat organik.Lindi sangat berpotensi menyebabkan
pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani
dengan baik.
g. Alat berat
Alat berat yang biasanya digunakan di TPA umumnya berupa
bulldozer, excavator dan loader.Setiap jenis peralatan tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda dalam operasionalnya.
h. Penghijauan
Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud
diantaranya adalah peningkatan estetika lingkungan sebagai buffer zone untuk
pencegah bau dan lalat yang berlebihan.
i. Fasilitas penunjang
Beberapa fasilitas penunjang yaitu pemadam kebakaran, mesin
pengasap, kesehatan dan keselamatan kerja, serta toilet. (Bangun Ismansyah,
2010: 2-5)

2.12 Parameter Pemilihan Lokasi TPA


Menurut Damanhuri (2008), beberapa parameter yang sering digunakan dalam
pemilihan lokasi TPA yaitu:
1. Geologi
Fasilitas landfilling tidak dibenarkan berlokasi di atas suatu daerah yang
mempunyai sifat geologi yang dapat merusak keutuhan sarana tersebut nanti.Daerah
yang dianggap tidak layak
88 adalah daerah dengan formasi batu pasir, batu gamping
atau dolomit berongga dan batuan berkekar lainnya.Daerah geologi lainnya yang
penting untuk dievaluasi adalah potensi gempa, zone volkanik yang aktif serta daerah
longsoran.Lokasi dengan kondisi lapisan tanah di atas batuan yang cukup keras sangat
diinginkan.
Biasanya batu lempung atau batuan kompak lainnya dinilai layak untuk lokasi
landfill. Namun jika posisi lapisan batuan berada dekat dengan permukaan, operasi
pengurugan/penimbunan limbah akan terbatas dan akan mengurangi kapasitas lahan
tersedia. Disamping itu, jika ada batuan keras yang retak/patah atau permeabel,
kondisi ini akan meningkatkan potensi penyebaran lindi ke luar daerah tersebut.
Lahan dengan lapisan batuan keras yang jauh dari permukaan akan mempunyai nilai
lebih tinggi.
2. Hidrologi
Fasilitas pengurugan limbah tidak diinginkan berada pada suatu lokasi dengan
jarak antara dasar sampai lapisan air tanah tertinggi kurang dari 3 meter, kecuali jika
ada pengontrolan hidrolis dari air tanah tersebut.Permukaan air yang dangkal lebih
mudah dicemari lindi.Disamping itu, lokasi sarana tidak boleh terletak di daerah
dengan sumur-sumur dangkal yang mempunyai lapisan kedap air yang tipis atau pada
batu gamping yang berongga.
Lahan yang berdekatan dengan badan air akan lebih berpotensi untuk
mencemarinya, baik melalui aliran permukaan maupun melalui air tanah. Lahan yang
berlokasi jauh dari badan air akan memperoleh nilai yang lebih tinggi dari pada lahan
yang berdekatan dengan badan air. Iklim setempat hendaknya mendapat perhatian
juga.Makin banyak hujan, makin besar pula kemungkinan lindi yang dihasilkan,
disamping makinsulit pula pegoperasian lahan. Oleh karenanya, daerah dengan
intensitas hujan yang lebih tinggi akanmendapat penilaian yang lebih rendah dari pada
daerah dengan intensitas hujan yang lebih rendah.
3. Topografi
Tempat pengurugan limbah tidak boleh terletak pada suatu bukit dengan
lereng yang tidak stabil.Suatu daerah dinilai lebih bila terletak di daerah landai agak
tinggi.Sebaliknya, suatu daerah dinilai tidak layak bila terletak pada daerah depresi
yang berair, lembah-lembah yang rendah dan tempat-tempat lain yang berdekatan
dengan air permukaan dengan kemiringan alami >20 %.Topografi dapat menunjang
secara positif maupun negatif pada pembangunan saranan ini.
Lokasi yang tersembunyi
89 di belakang bukit atau di lembah mempunyai
dampak visual yang menguntungkan karena tersembunyi.Namun suatu lokasi di
tempat yang berbukit mungkin lebih sulit untuk dicapai karena adanya lereng-lereng
yang curam dan mahalnya pembangunan jalan pada daerah berbukit.Nilai tertinggi
mungkin dapat diberikan kepada lokasi dengan relief yang cukup untuk mengisolir
atau menghalangi pemandangan dan memberi perlindungan terhadap angin dan
sekaligus mempunyai jalur yang mudah untuk aktivitas operasional.Topografi dapat
juga mempengaruhi biaya bila dikaitkan dengan kapasitas tampung. Suatu lahan yang
cekung dan dapat dimanfaatkan secara langsung akan lebih disukai. Ini disebabkan
volume lahan untuk pengurugan limbah sudah tersedia tanpa harus mengeluarkan
biaya operasi untuk penggalian yang mahal.Pada dasarnya, masa layan 5 sampai 10
tahun atau lebih sangat diharapkan.
4. Penggunaan Lahan
Landfilling yang menerima limbah organik, dapat menarik kehadiran burung
sehingga tidak boleh diletakkan dalam jarak 3000 meter dari landasan lapangan
terbang yang digunakan oleh penerbangan turbo jet atau dalam jarak 1500 meter dari
landasan lapangan terbang yang digunakan oleh penerbangan jenis piston.Disamping
itu, lokasi tersebut tidak boleh terletak di dalam wilayah yang diperuntukkan bagi
daerah lindung perikanan, satwa liar dan pelestarian tanaman. Jenis penggunaan tanah
lainnya yang biasanya dipertimbangkan kurang cocok
5. Aspek Penentu Lain
Semua lokasi lahan urug dapat mempengaruhi lingkungan biologis.Penilaian
untuk kategori ini didasarkan pada tingkat gangguan dan kekhususan dari sumberdaya
yang ada.Bila jenis habitat kurang berlimpah di lokasi tersebut, maka lokasi tesebut
dinilai lebih tinggi. Lokasi yang menunjang kehidupan jenis-jenis tanaman atau
binatang yang langka akan dinilai lebih rendah.
Jalur perpindahan mahluk hidup yang penting, seperti sungai yang digunakan
untuk ikan, adalah sumber daya yang berharga.Lahan yang berlokasi di sekitar jalur
tersebut harus dinilai lebih rendah dari pada lokasi yang tidak terletak di sekitar jalur
tersebut.
Penerimaan masyarakat sekitar atas sarana ini merupakan tantangan yang
harus dieselesaikan di awal sebelum sarana ini dioperasikan.Penduduk pada umumnya
tidak bisa menerima suatu lokasi pembuangan limbah berdekatan dengan rumahnya
atau lingkungannya.Oleh karenanya, kriteria penggunaan lahan hendaknya disusun
untuk mengurangi kemungkinan
90 pembangunan sarana ini di daerah yang mempunyai
kepadatan penduduk yang tinggi, atau daerah-daerah yang digunakan oleh masyarakat
banyak. Lahan dengan pemilik tanah yang lebih sedikit, akan lebih disukai dari pada
lahan dengan pemilik banyak.
Tersedianya jalan akses pada lokasi sarana ini akan menguntungkan bagi
operasional pengangkutan limbah ke lokasi. Lahan yang berlokasi di sekitar jalan
yang dapat ditingkatkan pelayanannya karena adanya operasi lahan-urug tanpa
modifikasi sistem jalan yang terlalu banyak, akan lebih disukai. Modifikasi pada
sistem jalan yang sudah ada, terutama pembangunan jalan baru atau perbaikan yang
terlalu banyak, akan meningkatkan biaya pembangunan sarana tersebut. Namun tidak
diinginkan bahwa lokasi tersebut terletak di jalan utama yang melewati daerah
perumahan, sekolah dan rumah sakit.Sarana yang berlokasi lebih dekat ke pusat
penghasil limbah mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada yang berlokasi lebih
jauh.Makin dekat jarak lokasi ke sumber limbah, makin rendahbiaya
pengangkutannya.Utilitas seperti saluran air buangan, air minum, listrik dan sarana
komunikasi diperlukan pada setiap lokasi pengurugan limbah.
Lokasi TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar
tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.Penyediaan fasilitas dan
perlakuan yang benar diperlukan agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan
baik.Dalam penentuan lokasi TPA tidak boleh dilakukan secara sembarangan.Dalam
hal ini penentuan lokasi TPA harus sesuai SNI No.19-3241- 1994. Secara umum
parameter yang digunakan dalam SNI hampir sama dengan parameter yang biasa
digunakan untuk menentukan lokasi TPA. Tujuan dari dibuatnya SNI tersebut adalah
untuk memudahkan pemerintah setempat dalam menentukan lokasi TPA secara
mandiri.
2.13 Pengelolaan dan Metode Pembuangan Akhir Sampah di TPA
Secara umum di Indonesia terdapat dua proses pengelolaan sampah, yaitu
Sanitary Landfill dan Open Dumping. Sanitary Landfill adalah sistem pengelolaan
sampah dengan cara membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung,
memadatkan sampah tersebut, kemudian menutupnya dengan tanah. Sedangkan Open
Dumping adalah sistem pembuangan sampah dengan cara membuang sampah begitu saja
di tanah lapang terbuka tempat pembuangan akhir tanpa adanya tindak lanjut sehingga
dinilai dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Pemerintah sendiri telah
mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang mengatur
tentang pengelolaan sampah
91terkait dengan perubahan paradigma pengelolaan sampah,
pembagian kewenangan dan penyelenggaraannya. Undang-Undang ini mengamanatkan
bahwa seluruh Pemerintah Kota/Kabupaten yang masih menggunakan TPA cara Open
Dumping harus merencanakan penutupannya paling lama setahun sejak diberlakukannya
UU tersebut dan harus menutup TPA jenis tersebut serta menggantinya dengan landfill
yang lebih baik, yaitu yang dikenal sebagai Sanitary Landfill paling lama sejak
berlakunya UU tersebut diundangkan.
Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. (UU No. 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah) Penyaluran sampah yang banyak ditemui
terdiri dari proses pengumpulan sampah dari permukiman atau sumber sampah lain,
pengangkutan sampah untuk dibuang di Tempat Penampungan Sementara (TPS), dan
proses terakhir yaitu pembuangan di Tempat Pemrosesan Akhir. Permasalahan
pengelolaan sampah yang ada di Indonesia dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu
tingginya jumlah sampah yang dihasilkan, tingkat pengelolaan pelayanan masih rendah,
Pengoperasian TPA sampah merupakan suatu rangkaian kegiatan sejak kedatangan
sampah di lokasi sampai dengan penutupannya yang terdiri atas kegiatan-kegiatan :
penerimaan sampah, pengangkutan sampah di dalam TPA, pembongkaran sampah, perataan
dan pemadatan serta penutupan sampah dengan lapisan tanah.
1. Penerimaan Sampah
Penerimaan sampah merupakan kegiatan menerima kedatangan truk pengangkut
sampah yang umumnya dilakukan di pos jaga TPA. Pada tahap ini juga dilakukan
pemeriksaan terhadap jenis sampah yang datang serta asal kedatangannya termasuk bila
pengangkutan dilakukan oleh pihak ketiga (swasta). Pengukuran/penimbangan dilakukan
untuk pendataan jumlah sampah yang diterima. Selanjutnya juga diinformasikan kepada
pengemudi truk mengenai lokasi pembongkaran yang ditentukan pada hari yang
bersangkutan dan rute pencapaiannya.
2. Pengangkutan Sampah
Sesuai arahan petugas jaga, pengemudi akan membawa truknya ke lokasi pembokaran
sesuai dengan sel harian yang telah ditentukan. Sel harian adalah area timbunan sampah yang
volumenya sesuai dengan volume sampah satu hari yang dibuang ke TPA, sel harian
direncanakan sedemikian rupa sehingga bukit yang terbentuk dari himpunan sel-sel harian
tersebut sesuai dengan rencana bukit akhir.
Dimensi sel harian dipengaruhi oleh :
 Volume sampah yang
92 diangkut ke TPA dan
 Tinggi timbunan harian
 Kepadatan sampah pada saat penimbunan sel harian.
3. Pembongkaran Sampah
Terbagi kedalam tiga kegiatan utama, yaitu :
 Penurunan/pembongkaran sampah
Pembongkaran/penutupan sampah hanya pada lokasi yang telah ditentukan.
Pengemudi dilarang membongkar sampahnya di tempat lain, selain dari lokasi tersebut.
Untuk ini diperlukan pengawasan yang baik untuk mencegah tersebarnya sampah pada
lokasi-Iokasi yang lain. Penentuan lokasi pembongkaran harus memperhatikan jumlah
kendaraan truk yang datang pada saat jam puncak serta pengaturan manuvernya.
 Dilakukan dilokasi sel harlan yang telah ditentukan, setelah melalui
penimbangan (weighting) terlebih dahulu
4. Perataan dan Pemadatan Sampah
Segera setelah pembongkaran, sampah perlu diratakan dan dipadatkan dengan
menggunakan alat berat (bulldozer). Perataan sebaiknya tidak ditunda-tunda menunggu
sampai sampah yang dibongkar cukup banyak karena akan membuat operasi alat berat
menjadi kurang efisien bila harus mendorong timbunan sampah yang menggunung. Namun
hal ini hanya dapat dilakukan bila TPA memiliki alat berat tersendiri.
Pemadatan dilakukan degan menggilas timbunan sampah beberapa kalL
Dimaksudkan untuk menyebarkan sampah pada sel harian dan memadatkannya
sampai ketinggian sel harian yang direncanakan.
Hal - hal yang harus diperhatikan :
 Dilakukan dengan menggunakan alat berat seperti compactor dan bulldozer.
 Pemadatan berlangsung dengan arah memanjang bidang pemadatan
Setiap bagian bidang pemadatan harus mengalami perlintasan 3 kali agar dapat
mencapai angka kepadatan yang diisyaratkan.
5. Penutupan Sampah
Penutupan sampah dengan tanah dilakukan untuk beberapa alasan diantaranya :
mencegah perkembangbiakan lalat, mengurangi bau, mengendalikan aliran gas
metan, meningkatkan stabilitas timbunan, mencegah rembesan langsung air hujan,
dan lain-lain. Untuk itu diperlukan cadangan tanah penutup di lokasi TPA.
Penutupan tanah harian bertujuan untuk melapisi atau menutup timbunan sampah
padat dengan tanah.93Kegiatan ini merupakan kegiatan terakhir dalam satu hari
kerja, meliputi :
 Penggalian tanah (soil excavation)
 Pengangkutan tanah (soil removing)
 Penyebaran tanah diatas timbunan sampah padat (soil spreading)
 Pemadatan tanah penutup (soil compacting)
Penyebaran tanah bertujuan untuk menutupi timbunan sampah padat dengan
tanah penutup. Penyebaran tanah dilakukan menggunakan alat berat misalnya track dozer
atau buffdozer. Penyebaran harus dilakukan diseluruh permukaan sel harian, sehingga
sampah sama sekali tidak tampak lagi. Penyebaran tanah penutup dilakukan setiap hari
sekali (penutup timbunan sampah harian).

TPA yang terbatas jumlahnya, institusi pengelola sampah dan masalah biaya.
Kesadaran masyarakat akan sampah dan pentingnya menjaga lingkungan juga masih
rendah sehingga dapat membawa masalah yang baru seperti banjir.
Pengelolaan sampah selama ini juga belum sesuai dengan metode pengelolaan
sampah yang berwawasan lingkungan. Sebagian besar pengelolaan sampah TPA di
Indonesia menggunakan metode open dumping dan landfill, namun ada juga metode lain
yaitu pembuatan kompos, pembakaran, pemilahan, dan daur ulang meskipun tidak
banyak digunakan. (Winahyu dkk, 2013) Metode open dumping adalah metode yang
paling sederhana, sampah dibuang di TPA begitu saja tanpa perlakuan lebih lanjut,
sedangkan metode landfill yaitu sampah diratakan dan dipadatkan dengan alat berat dan
dilapisi dengan tanah. Kedua metode tersebut kurang ramah lingkungan karena
berpotensi terjadi pencemaran pada air tanah dan juga pencemaran udara. Menurut
Purwanta (2009)  TPA berpotensi menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan
gas yang mendominasi adalah CH4 (Metana), CO2 dan N2O. Hal tersebut mengakibatkan
diperlukan adanya inovasi dalam pengelolaan sampah sehingga sampah tidak hanya
menumpuk di TPA yang tapi juga dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Teknologi pembakaran sampah biasanya merupakan teknologi yang digunakan
PLTSa untuk memperoleh energi yang kemudian dijadikan listrik. Pembakaran sampah
tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu Insinerasi, pirolisis dan gasifikasi. 
Insinerasi dan pirolisis dapat mereduksi volume sampah hingga 70% namun
menghasilkan emisi yang tinggi sehingga kurang ramah lingkungan.Sedangkan metode
gasifikasi dapat mereduksi
94 sampah hingga 75% dan lebih ramah lingkungan.
(Purwaningsih, 2012) Pemerintah dalam pembangunan PLTSa ini harus cermat memilih
metode atau membuat inovasi metode baru yang lebih ramah lingkungan agar tidak
terbentuk masalah baru.
Startup tersebut diantaranya adalah Gringgo, Sampah Muda, Mall Sampah, dan
Angkuts (Agung, 2019). Prinsip kerja keempat startup tersebut hampir sama yaitu
menghubungkan masyarakat ke tempat pembuangan sampah terdekat agar bisa didaur
ulang atau didistribusikan ke tempat yang lebih tepat seperti aplikasi Gringgo yang
mempunyai pelayanan pengangkutan sampah, pemilahan sampah, dan
menghubungkannya pada pendaur ulang. Aplikasi-aplikasi tersebut juga memberikan
keuntungan pada masyarakat misalnya penambahan point di aplikasi, pulsa, Gopay,
maupun uang.
Permasalahan mengenai sampah adalah masalah nasional sehingga dalam
pengelolaannya harus dilakukan secara komprehensif.Pemecahan masalah mengenai
pengelolaan sampah memerlukan kerjasama dari berbagai stakeholder mulai dari
pemerintah hingga masyarakat sendiri. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
lingkungan juga harus ditingkatkan, salah satunya seperti tidak membuang sampah
sembarangan, melakukan pemilahan sampah dan meminimalisir penggunaan sampah
plastik dengan menggunakan produk reuseable juga dapat membantu pihak-pihak
berwenang dalam pengelolaan sampah. Inovasi pembangunan PLTSa dan startup
pengelolaan sampah sudah cukup baik dalam membantu permasalahan pengelolaan
sampah namun tetap diperlukan peningkatan dalam inovasi-inovasi tersebut dan tentunya
tetap menjaga prinsip berwawasan lingkungan.
Terdapat beberapa metoda penimbunan sampah pada tempat pembuangan
akhir sapah (TPA), antara lain  a. Metoda Open Dumping; b. Metoda Control
Landfill; c. Metoda Sanitary Landfill; d .Metoda Improved Sanitary landfill; e.
Metoda Semi Aerobic Landfill:
1. Open Dumping: Metode ini dilakukan dengan cara membuang
sampah cekungan tanpa mengunakan tanah sebagai penutup sampah. Metode ini
,berpotensi besar mencemari lingkungan, baik pencemaran air tanah oleh Leachate, lalat,
bau, juga binatang seperti tikus, kecoa, nyamuk dan lainnya.
2. Control Landfill: merupakan metode dalam hal mana sampah
ditimbun pada suatu lokasi dengan sebelumnya dibuat  barisan dan lapisan (SEL).
Kemudian timbunan sampah
95tersebut diratakan dipadatakan oleh alat berat, dan setelah
rata dan padat timbunan sampah lalu ditutup dengan tanah, pada control landfill timbunan
sampah tidak ditutup setiap hari, biasanya lima hari sekali atau seminggu sekali. Secara
umum control landfill akan lebih baik bila dibandingkan dengan open dumping dan
sudah mulai dipakai diberbagai kota di Indonesia.
3. Sanitary Landfill: Merupakan sistem pembuangan akhir sampah
yang dilakukan dengan cara sampah ditimbun pada lokasi TPA yang sudah disiapkan
sebelumnya. Kemudian dilakukan penimbunan dan pemadatan menggunakan alat berat.
Selanjutnya dilakukan proses penutupan dengan tanah dan dilakukan setiap hari pada
setiap akhir kegiatan.
4. Improved Sanitary Landfill: Improved Sanitary landfill
merupakan pengembangan dari sistem sanitary landfill, dilengkapi dengan instalasi
perpipaan sebagai sarana pengelolaan leachate, sehingga licit tidak mencemari
lingkungan. Selain itu pada sistem ini juga terdapat fasilitas  pengelolaan sas yang
dihasilkan oleh proses dekomposisi sampah di landfill
5. Semi Aerobic Sanitary Landfill: Sistem ini merupakan
pengembangan dari teknik improved sanitary landfill, dengan dilakukan usaha untuk
mempercepat proses penguraian sampah oleh bakteri. Proses dekomposisi sampah ini
antara lain dilakukan dengan cara memompakan oksigen kedalam timbunan sampah.
Walaupun teknologi ini sangat mahal, namun dinilai sebagai teknis paling aman terhadap
lingkungan.
Sedangkan terkait pembuangan akhir sampah, menurut Mukono (2006),
terdapat dua macam metode pembuangan sampah  yaitu :
Metode yang tidak memuaskan.

1. Pembuangan sampah yang terbuka (open dumping).


2. Pembuangan sampah di dalam air (dumping in water).
3. Pembakaran sampah di rumah-rumah (burning on
premises).

Beberapa metode pembuangan akhir sampah di TPA yang sering digunakan


antara lain adalah :
a. Sistem Open Dumping
Sistem open
96 dumping merupakan sistem pembuangan sampah yang
tertua dan paling sederhana yang sering dipakai di Negara berkembang.
Metode ini pada prinsipnya hanya membuang sampah dan menumpuk begitu
saja tanpa ada penutupan.Metode penumpukan ini menimbulkan banyak
masalah pencemaran diantaranya bau, kotor, mencemari air dan sumber
penyakit karena dapat menjadi tempat berkembangnya vektor penyakit seperti
lalat dan tikus.(Murtadho dan Sahid, 1987).
Metode Open Dumping, yaitu sistem pembuangan sampah yang
dilakukan secara terbuka. Hal ini akan menjadi masalah jika sampah yang
dihasilkan adalah sampah organik yang membusuk karena menimbulkan
gangguan pembauan dan estetika serta menjadi sumber penularan penyakit.

b. Sistem Controlled Landfill


Sistem Pengolahan Sampah Contrlled Landfill ini merupakan
kombinasi antara sistem open dumping dan sistem sanitary landfill, namun
dalam metode controlled landfill penerapannya lebih mendekati metode
sanitary landfill.
c. Sistem Landfill
Sistem pembuangan dan pemusnahan sampah dengan sistem landfill
merupakan sistem yang paling sesuai untuk digunakan didaerah perkotaan,
dimana jumlah dan fluktuasi sampah didaerah perkotaan cukup basar. Sistem
landfill adalah menempatkan sampah pada suatu tempat yang rendah atau
didalam tanah, kemudian menimbunnya. (Soewedo, 1983).

97
d. Metode Sanitary Landfill
Metode sanitary landfill merupakan salah satu metode terkontrol dalam
pembuangan limbah padat.Prinsip metode ini adalah membuang dan
menumpuk sampah kesuatu lokasi berlegok, memadatkan sampah tersebut
kemudian menutupnya dengan tanah.(Djuli Murtadho, E. Gumbira Said 1988).
Sistem sanitary landfill merupakan suatu cara pembuangan atau pemusnahan
sampah yang dilakukan dengan meratakan dan memadatkan sampah yang
dibuang serta menutupnya dengan lapisan tanah setiap akhir hari operasi.
Sehingga setelah operasi berakhir tidak terlihat adanya timbunan sampah dan
akan meniadakan kekurangan yang ada pada sistem open dumping yang
ditingkatkan. (Anonim, 1990).
Metode Sanitary Landfill (lahan urug saniter), yaitu pemusnahan
sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan
ditimbun dengan tanah sebagai lapisan penutup lalu dipadatkan.Cara ini
memerlukan persyaratan harus tersediatempat yang luas, tersedia tanah untuk
menimbunnya, dan tersedia alat-alat besar.

98
e. Inceneration (dibakar)
Yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku
pembakaran khusus. Manfaat sistem ini volume sampah dapat diperkecil
sampai satu per tiga, tidak memerlukan ruang yang luas, panas yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai sumber uap, dan pengelolaan dapat
dilakukan secara terpusat dengan jadwal jam kerja. Adapun akibat penerapan
metode ini adalah memerlukan biaya besar, lokasi pembuangan pabrik sulit
didapat karena keberadaan penduduk, dan peralatanperalatan yang digunakan
dalam incenerasi.
f. Composting(dijadikan pupuk)
Yaitu mengelola sampah menjadi pupuk kompos; khususnya untuk
sampah organik.
g. Metode Dumping in Water
Yaitu pembuangan sampah ke dalam air. Hal ini akan dapat
mengganggu rusaknya ekosistem air. Air akan menjadi kotor, warnanya
berubah, dan menimbulkan sumber penyakit yang ditularkan melalui air
(water borne disease).
h. Metode Burning on premises (individual inceneration)
Yaitu pembakaran sampah dilakukan di rumah-rumah tangga.
Sedang menurut SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional Pengelolaan
Sampah Perkotaan, secara umum teknologi pengolahan sampah dibedakan menjadi 3
metode yaitu metode Open 99
Dumping dan metode Sanitary Landfill (Lahan Urug Saniter)
seperti yang dikemukakan di atas serta metode Controlled Landfill (Penimbunan
terkendali). Controlled Landfill adalah sistem open dumping yang diperbaiki yang
merupakan sistem pengalihan open dumping dan sanitary landfill yaitu dengan
penutupan sampah dengan lapisan tanah dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan
atau setelah mencapai periode tertentu.
Lokasi TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak
menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.Penyediaan fasilitas dan
perlakuan yang benar diperlukan agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan
baik.Dalam penentuan lokasi TPA tidak boleh dilakukan secara sembarangan.Dalam hal
ini penentuan lokasi TPA harus sesuai SNI No.19-3241- 1994.
Salah satu kendala pembatas dalam penerapan metoda pengurugan limbah dalam
tanah (landfilling atau lahan-urug) adalah bagaimana memilih lokasi yang cocok baik
dilihat dari sudut kelangsungan pengoperasian, maupun dari sudut perlindungan terhadap
lingkungan hidup. Aspek teknis sebagai penentu utama untuk digunakan adalah aspek
yang terkait dengan hidrologi dan hidrogeologi site (Damanhuri, 2008).
Secara ideal, pertimbangan utama dalam pemilihan lokasi sebuah landfill adalah
didasarkan atas berbagai aspek, terutama kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, biaya,
dan sosial-ekonomi.Disamping aspek-aspek lain yang sangat penting, seperti aspek
politis dan legal yang berlaku disuatu daerah atau negara.
Suatu metodologi yang baik tentunya diharapkan bisa memilih lahan yang paling
menguntungkan dengan kerugian yang sekecil- kecilnya. Dengan demikian metodologi
tersebut akan memberikan hasil pemilihan lokasi yang terbaik, dengan pengertian lahan
terpilih hendaknya mempunyai nilai tertinggi ditinjau dariberbagai aspek dan metode
pemilihan tersebut dapat menunjukkan secara jelas alasan pemilihan.
Proses pemilihan lokasi lahan-urug idealnya hendaknya melalui suatu tahapan
penyaringan. Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan dipilih dan
disaring. Pada setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur, berdasarkan kriteria
yang digunakan di tingkat tersebut. Penyisihan tersebut akan memberikan beberapa calon
lokasi yang paling layak dan baik untuk diputuskan pada tingkat final oleh pengambil
keputusan. Di negara industri, penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat
tahapan, yaitu penyaringan awal, penyaringan individu, dan penyaringan final.
Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata guna
dan peruntukan yang telah digariskan
100 di daerah tersebut.Secara regional, daerah tersebut
diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi-lokasi mana saja yang dianggap
tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah.Pada taraf ini parameter yang
digunakan hanya sedikit.
Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu,
kemudian dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian-kajian
yang lebih mendalam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit. Parameter
beserta kriteria yang diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan lengkap. Lokasi- lokasi
tersebut kemudian dibandingkan satu dengan yang lain, misalnya melalui pembobotan.
Tahap terakhir adalah tahap penentuan.Penyaringan final ini diawali dengan
pematangan aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang terkait
dengan aspek sosioekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada.Tahap ini kemudian
diakhiri dengan aspek penentu, yaitu oleh pengambil keputusan suatu daerah. Aspek ini
bersifat politis, karena kebijakan pemerintah daerah/pusat akan memegang peranan
penting. Kadangkala pemilihan akhir ini dapat mengalahkan aspek teknis yang telah
disiapkan sebelumnya.
Biasanya parameter yang digunakan dalam pemilihan awal dapat digunakan lagi
pada pemilihan tingkat berikutnya dengan derajad akurasi data yang lebih baik.Jumlah
parameter pemilihan awal yang digunakan umumnya lebih sedikit, dan dipilih yang
paling dominan dalam menimbulkan dampak.Parameterparameter tersebut biasanya
sudah terdata (data skunder) dengan baik, dan langsung dapat dimanfaatkan sehingga
dapat disebut sebagai parameter penyisih.
Dalam Pasal 22 UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah
disebutkan bahwa TPA di seluruh Indonesia sebaiknya melakukan :
a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai
dengan jenis, jumlah dan/atau sifat sampah.
b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari
sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan
sampah terpadu.
c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari
tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah
terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir.
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah
sampah dan/ atau,
e. Pemprosesan akhir
101 sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau
residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Menurut Purwendah (2019:84) “Perlindungan Lingkungan Dalam Prespektif


Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle) menyebutkan bahwa Pembangunan
berkelanjutan sebagai konsep Pengelolaan sampah Untuk pembangunan TPA
selanjutnya pengelolaan sampah paling efektif menggunakan metode sanitary landfill
dan menggunakan teknologi 3R (Reduce, Reuse, Recycle) berdasarkan pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. untuk
meminimalkan efek buruk TPA terhadap lingkungan sekitar.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994 (dalam Joko Pramono ,
2000), membagi kriteria pemilihan lokasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu:
1. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan untuk menentukan zone layak
atau zone tidak layak dengan ketentuan berikut:
1) Kondisi geologi
2) Kemiringan lereng
3) Jarak terhadap badan air
4) Jarak terhadap terhadap lapangan terbang
5) Kawasan lindung atau cagar alam
6) Kawasan budidaya pertanian dan atau perkebunan
7) Batas administrasi
2. Kelayakan penyisih Kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik
dari hasil kelayakan regional dengan ketentuan berikut:
Luas lahan
1) Ketersediaan zone penyangga kebisingan dan bau
2) Permeabilitas tanah
3) Kedalaman muka air tanah
4) Intensitas hujan
5) Bahaya banjir
6) Jalur dan lama pengangkutan sampah

Menurut Howard dan Remson (1978) mengatakan 1994 (dalam Joko Pramono ,
2000), bahwa dalam proses pemilihan lokasi pembuangan sampah (khususnya Metode
Sanitay Landfill), dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh keberadaan lokasi
tersebut harus diminimalkan. Adapun proses pemilihan lokasi TPA sampah perlu
mempertimbangkan tiga hal102
berikut, yaitu:
1. Pertimbangan operasional, secara operasional TPA sampah memerlukan lahan yang
cukup untuk menampung segala jenis sampah dan zonasi ketersediaan lahan harus
memperhatikan rencana regional serta aspek aksesibilitas (keterjangkauan);
2. Pertimbangan ekologi, yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lokasi TPA
setelah tidak digunakan lagi;
3. Pertimbangan topografi, geologi dan hidrologi, lebih mengarah pada aspek
persyaratan fisik lahan, misalnya: berdasarkan relief atao topografi dapat dipilih
lokasi-lokasi yang bebas dari bahaya banjir ataupun erosi dan berdasarkan aspek
hidrologi, lokasi TPA harus berada diwilayah dengan muka air tanah yang tidak
dalam, sehingga lindi sampa tidak mencemari air tanah.

Menurut Bagchi (1982) (dalam Joko Pramono 2000), dalam menempatkan lokasi
pembuangan sampah harus memperhatikan jarak terhadap danau/kolam dan tubuh air
lainya, sungai, lahan basah, banjir, jalan, sumber air dan airport (lapangan terbang).Jarak
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari
keberadaan sampah itu sendiri.
Dalam penentuan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah menggunakan
pertimbangan lereng dang penggunaan lahan, sehingga dapat diketahui kesesuaian lahan
TPA pada daerah penelitian berdasarkan dua pertimbangan tersebut. Faktor – faktor lain
yang perlu untuk dianalisis dalam penentuan lokasi TPA ini antara lain, Kerwanan
Banjir, Permeabilitas Tanah, Kedalaman Muka Air Tanah, Drainase Permukaan dan
Kedalaman Efektif Tanah.
Analisis penggunaan lahan perlu dipertimbangkan dengan seksama sebab lahan
yang sudah digunakan sebagai lahan permukiman tidak akan sesuai untuk TPA karena
tidak mungkin mengalihkan permukiman yang sudah ada atau eksisting ketempat lain.
Sehingga akan timbul pertentangan antara masyarakat yang menghuni dengan
pemerintah terkait dengan kebijakan penempatan lokasi baru TPA.
Drainase Permukaan pada daerah yang akan digunakan untuk TPA harus baik
dan dapat mengering dengan cepat pada saat air hujan turun.Turunnya air hujan dapat
mengakibatkan timbunan sampah yang ada runtuh dan membawa air lindian ketempat
yang lebih rendah sehingga dapat masuk pada area permukiman serta agar tidak
103
tergenang di TPA.
Dalam penentuan TPA sangat diperhatikan kemiringan lerengnya, lererng sangat
mempengaruhi letak dan posisi TPA. Apabila TPA diletakan di Tempat yang kemiringan
lerengnya lanadai maka akan sangat mudah tergenang air hujan, yang dikarenakan
drainasenya tidak cukup baik. Apabila diletakan pada kemiringan lereng yang curam
akan mengakibatkan material sampah akan mudah terbawa kebawah dan air lindian akan
mencamari daerah yang dibawahnya.
Ancaman Banjir juga menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan untuk
menentukan lokasi TPA, karena TPA yang baik adalah TPA yang tidak terkena banjir
terutama banjir genangan. Karena apabila sampai terkena banjir maka air lindian akan
ikut terbawa dengan aliran banjir sehingga dapat mencemari lingkungan sekitar.
Menurut Damanhuri (2008) pengelolaan sampah adalah pengumpulan,
pengangkutan, pemrosesan, pendaurulangan, atau pembuangan dari material
sampah.Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari
kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap
kesehatan, lingkungan, atau keindahan.Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk
memulihkan sumber daya alam.Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas,
atau radioaktif dengan metode dan keahlian khusus untuk masingmasing jenis zat.
Praktik pengelolaan sampah berbeda beda antara negara maju dan negara
berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda
juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang tidak
berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri
biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Metode pengelolaan sampah berbeda-beda tergantung banyak hal, di antaranya
tipe zat sampah, tanah yang digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area
(Damanhuri, 2008). Ada berbagai cara metode pembuangan sampah yang sering
digunakan yaitu sebagai berikut:
a. Penimbunan Darat
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya
untuk membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di
dunia.Penimbunan ini biasanya dilakukan di tanah yang tidak terpakai, lubang
bekas pertambangan, atau lubang-lubang dalam. Sebuah lahan penimbunan
darat yang dirancang
104 dan dikelola dengan baik akan menjadi tempat
penimbunan sampah yang higienis dan murah. Sedangkan penimbunan darat
yang tidak dirancang dan tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan
berbagai masalah lingkungan, di antaranya angin berbau sampah, menarik
berkumpulnya hama, dan adanya genangan air sampah. Efek samping lain
dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang juga sangat
berbahaya.
b. Metode Daur Ulang
Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah
untuk digunakan kembali disebut sebagai daur ulang. Ada beberapa cara daur
ulang, pertama adalah mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi atau
mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar untuk membangkitkan listrik.
Metode-metode baru dari daur ulang terus ditemukan dan akan dijelaskan di
bawah.
c. Pengolahan Kembali
Secara Fisik Metode ini adalah aktivitas paling populer dari daur
ulang, yaitu mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang
dibuang, contohnya botol bekas pakai yang dikumpulkan untuk digunakan
kembali.Pengumpulan bisa dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari
awal (kotak sampah/kendaraan sampah khusus), atau dari sampah yang sudah
tercampur.
d. Pengolahan Biologis
Material sampah (organik), seperti zat tanaman, sisa makanan atau
kertas, bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau
dikenal dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa
digunakan sebagai pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk
membangkitkan listrik.
e. Pemulihan Energi
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil
langsung dengan cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung
dengan cara mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur ulang melalui
cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebagai bahan
bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk
memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator.
Pirolisa dan gasifikasi
105 adalahdua bentuk perlakuan panas yang berhubungan,
ketika sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen.
Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada tekanan tinggi.
Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi produk berzat padat,
gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk menghasilkan energi
atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa
dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif.Gasifikasi dan gasifikasi
busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi material organik
langsung menjadi gas sintetis (campuran antara karbon monoksida dan
hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan listrik dan uap
f. Metode Penghindaran dan Pengurangan
Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah
pencegahan zat sampah terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan
sampah". Metode pencegahan termasuk penggunaan kembali barang bekas
pakai, memperbaiki barang yang rusak, mendesain produk supaya bisa diisi
ulang atau bisa digunakan kembali (seperti tas belanja katun menggantikan tas
plastik), mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan barang sekali
pakai (contohnya kertas tisu), dan mendesain produk yang menggunakan
bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama (contoh, pengurangan bobot
kaleng minuman).

2.14Dampak Pencemaran dan Permasalahan Sampah di TPA


Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas.
Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisika maupun biologi(Soemarwoto,
2007:38). Menurut Fauzi (2004:19) eksternalitas didefenisikan sebagai dampak (positif
atau negatif), atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit, dari
tindakan satu pihak lain. Lebih spesifik lagi eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi
atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara
tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi
terhadap pihak yang terkena dampak.
Sedangkan pengertian dampak secara umum, dampak adalah segala sesuatu yang
ditimbulkan akibat adanya„sesuatu‟.Dampak itu sendiri juga bisa berarti, konsekuensi
sebelum dan sesudah adanya „sesuatu‟. Menurut pengertian itu, sesuatu tersebut
merupakan TPA, dan konsekuensi
106 sebelum dan sesudah adanya sesuatu yaitu adanya
sampah dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar, baik lingkungan alam maupun
sosial masyarakat, sehingga berdasarkan Undang‐Undang Lingkungan Hidup (UULH)
tahun 2009, pasal 16 yaitu: “Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak
penting terhadap lingkungan wajib dilengkapidengan analisis mengenai dampak
lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturanpemerintah”.
Pencemaran sampah dapat berpengaruh juga terhadap kesehatan masyarakat, baik
langsung maupun tidak langsung.Dampak langsung dari penanganan sampah yang
kurang bijaksana diantaranya adalah berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit,
gangguan pernafasan serta dapat mengganggu kesehatan manusia dan mengganggu
estetika lingkungan,karena terkontaminasinya pemandangan oleh tumpukan sampah dan
bau busuk yang menyengat hidung, sedangkan dampak tidak langsungnya diantaranya
adalah bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai karena
terhalang timbunan sampahyang dibuang ke sungai.
Sampah memang menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca.Maka dari itu,
pembuangan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) harus diperhatikan.Sampah
organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik. Proses itu
menghasilkan gas metana (CH4). Sampah yang dibakar juga akan menghasilkan gas
karbondioksida (CO2). Gas CH4 mempunyai kekuatan merusak 20 kali lipat dari gas
CO2.Gas metana (CH4) terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik oleh bakteri
metana atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas yang mengurangi sampah-
sampah yang banyak mengandung bahan organik sehingga terbentuk gas metana (CH4)
yang apabila dibakar dapat menghasilkan energi panas. Sebetulnya di tempat-tempat
tertentu proses ini terjadi secara alamiah sebagaimana peristiwa ledakan gas yang
terbentuk di bawah tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA).
Sejumlah dampak negatif dapat ditimbulkan dari keberadaan TPA. Dampak
tersebut bisa beragam: musibah fatal (misalnya, burung bangkai yang terkubur di bawah
timbunan sampah); kerusakan infrastruktur (misalnya, kerusakan ke akses jalan oleh
kendaraan berat); pencemaran lingkungan setempat (seperti pencemaran air tanah oleh
kebocoran dan pencemaran tanah sisa selama pemakaian TPA, begitupun setelah
penutupan TPA); pelepasan gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah
organik (metana adalah gas rumah kaca yang berkali-kali lebih potensial daripada karbon
dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat); melindungi pembawa
penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang dioperasikan secara salah,
yang umum di Dunia Ketiga;
107 jelas pada margasatwa; dan gangguan sederhana
(misalnya, debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara).
Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan,
pendaur-ulangan, atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya
mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya
dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau
keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam.
Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan
metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
Praktek pengelolaan sampah berbeda beda antara Negara maju dan negara
berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan , berbeda
juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang tidak
berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan
industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Metode pengelolaan sampah berbeda beda tergantung banyak hal , diantaranya
tipe zat sampah , tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.
Pengelolaan sampah merupakan proses yang diperlukan dengan dua tujuan:
a. mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis
b. mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi
lingkungan hidup.

Sampah memberikan banyak sekali dampak, baik terhadap manusia (terutama


kesehatan) maupun lingkungan (Gelbert dkk, 1996: 46-48).
1. Dampak terhadap kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan
sampah tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme
dan menarik bagi berbagai macam binatang seperti lalat dan anjing yang dapat
menjangkit penyakit. Potensi bahaya kesehatan penyakit yang dapat ditimbulkan
adalah sebagai berikut:
a) Penyakit diare, kolera, dan tifus menyebar dengan cepat karena virus yang
berasal dari sampah yang dikelola dengan pengelolaan tidak tepat dapat
bercampur air minum.
b) Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
c) Penyakit yang
108 dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu
contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita
(taenia). Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernaan binatang
ternak melalui makanan yang berupa sisa makanan/sampah.
d) sampah beracun: telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang
meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa
(Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang
memproduksi baterai dan akumulator.

2. Dampak terhadap lingkungan


Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan
mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa
spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan
biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilakan
asam organik dan gas cair organik seperti gas metana. Selain berbau kurang
sedap, gasi ini dalam konsentarsi tinggi dapat meledak.

3. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi


a) Pengelolahan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang
kurang menyenangkan bagi masyarakat: dengan bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.
b) Memberikan dampak negatif bagi kepariwisataan.
c) Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya
pembiayaan secaralangsung (untuk mengobati orang sakit) dan
pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya
produktivitas).
d) Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan
akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan,
jembatan drainase, dan lain-lain.
e) Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang
tidak memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan
air. Jika sarana penampungan sampah yang kurang atau tidak efisien,
orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini
mengakibatkan
109jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.

Sosial Ekonomi Masyarakat Menurut Suratmo (2004:117) komponen sosial


ekonomi mencakup penyerapan tenaga kerja, pendapatan, kesehatan, lingkungan, dan
kenyamanan.
a. Penyerapan tenaga kerja Mulyadi (2003:59), tenaga kerja adalah penduduk
dalam usia kerja (15-54 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu
Negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan
terhadap tenaga kerja mereka, dan jika mereka mau berpatisipasi dalam
aktivitas tersebut.
b. Pendapatan Pendapatan seseorang dapat berubah dari waktu kewaktu
sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh sebab itu, dengan berubahnya
pendapatan seseorang akan berubah pula besarnya pengeluaran faktor yang
penting dalam mempengaruhi konsumsi seseorang atau masyarakat
terhadap suatu barang (Mulyadi, 2003:27).
c. Kesehatan Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang kesehatan yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan
sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis (Siswanto, 2003:67).
d. Lingkungan Antara manusia dan lingkungan hidupnya terdapat hubungan
timbal balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya, dan
sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia ada
didalam lingkungan hidupnya dan ia tidak dapat terpisahkan daripadanya
(Sastrawijaya, 2000:6).
e. Kenyamanan Pencemaran akan sangat terasa dampaknya pada
ketidaknyamanan kehidupan manusia baik secara langsung atau tidak
langsung. Memburuknya kualitas air yaitu bila air tercemar oleh zat-zat
yang tidak cocok untuk peruntukkannya tentu akan menimbulkan dampak
yang tidak menguntungkan bagi manusia, hewan maupun tumbuh-
tumbuhan. Lebih jelas lagi limbah itu dibuang langsung ke badan sungai
atau udara yang langsung dimanfaatkan oleh manusia baik untuk air
minum yang dalam hal ini akan sangat menggangu kenyamanan hidup,
mengurangi tingkat kesehatan, dan meningkatkan biaya pemeliharaan
kesehatan bagi manusia yang bersangkutan (Suparmoko, 2000:12).

110
Sampah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia sehari-
hari.Jumlah sampah yang semakin besar memerlukan pengelolaan yang lebih
maksimal. Selama tahapan penanganan sampah tidak dilakukan dengan benar dan
fasilitas tidak memadai maka akan menimbulkan dampak yang
berpotensimengganggu lingkungan. Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah
yang digunakan adalah kumpul, angkut dan buang, dan andalan utama sebuah kota
dalam menyelesaikan masalah sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling
pada sebuah TPA (Damanhuri, 2008).
2.1 Permasalahan TPA
Berbagai permasalahan TPA sering muncul :
• Pencemaran air tanah dan air permukaan yang diakibatkan oleh perembesan lindi,
karena pengelolannya tidak ada.
• Berkembang pesat vektor, akibat tidak ditutupnya timbunan sampah dengan lapisan
penutup
• Timbulnya polusi udara, akibat pola pengurangan timbunan sampah dg cara dibakar
• Timbulnya bau yang menyengat
• Pemandangan yang kurang sedap

 Keterbatasan sistem Layanan Perkotaan


Masalah lingkungan ini timbul akibat keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
menyediakan sarana dan prasarana dasar untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk.
Sebagai akibat terjadi penumpukan dan kemacetan (congestion) pada sestem layanan kota
jalan raya, tempat pemrosesan sampah, saluran pembuangan dan sebagainya.
Masalah lingkungan ini dapat dikategorikan sebagai problem of scale yang berkaitan
alokasi dan distribusi sumberdaya alam yang tidak efisien atau tidak merata. Sebagai contoh,
harga layanan untuk sumber daya air minum seringkali terlalu murah.

 Penurunan Kualitas Lingkungan


Keterbatasan sarana perkotaan akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan
fisik maupun non-fisiko Oampak lingkungan fisik mencakup pencemaran air oleh rumah
tangga dan industri, pencemaran oleh limbah padat (sampah) dan pencemaran udara oleh
emisi kendaraan dan industri serta dampak-dampaknya pada kesehatan masyarakat. Oampak
non-fisik (sosialbudaya dan estetika)
111 biasanya timbul sebagai akibat sampingan dan
penurunan kualitas lingkungan fisiko Gejala yang dapat diamati adalah merebaknya hunian
kumuh, kriminalitas, pengangguran dan gelandangan.
 Pencemaran Air Rumah Tangga dan Industri
Limbah rumah tangga, tinja dan air kotor merupakan penyumbang terbesar (60 70%)
pada pencemaran perairan dan sungai yang berdekatan dengan kota besar. Kadar Biological
Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) di sungai-sungai tersebut
menunjukkan pencemaran tingkat sedang sampai berat. Masalah pencemaran air rumah
tangga adalah akibat oleh keterbatasan sistem sanitasi dan pengelolaan limbah. Oi labotabek,
hanya 35% penduduk mempunyai akses terhadap sanitasi yang memadai. Oi Jakarta rata-rata
20-30% air sumur pompa terkontaminasi oleh bakteri coliform yang berasal mandi cucl kakus
masyarakat.
Dampak nyata pencemaran air akibat limbah rumah tangga peningkatan insidensi
penyakit yang ditularkan lewat air (waterborne disease: diare, hepatitis, tipus dan disentri atau
penyakit water-washed disease: kulit, mata dan scabies).

 Limbah Padat Rumah Tangga dan Industri


Masalah limbah padat (sampah) diakibatkan oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat
dan limbah perkotaan yang melampaui daya dukung dan daya asimilasi alam. Produksi
sampah rata-rata di Jakarta diperkirakan sekitar 6.600 ton/hari pada tahun 1991 dengan
tingkat pertumbuhan sekitar 6% per tahun (Anonimous, 1992). Pengelolaan sampah selama
ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan
lingkungan sehingga lebih menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungan. Oi Surabaya diperkirakan sebesar 5% per tahun (JICA, 1992). Produksi sampah
per kfpita tahun 1992 berjumlah 704 gram/hari dan diperkirakan meningkat menjadi 910
gram/hari pad a tahun 2000 seiring dengan peningkatan pendapatan dan konsumsi.
Situasi persampahan akan memburuk bila tldak ada peningkatan dalam pengumpulan
dan pembuangan yang aman untuk sampah perkotaan. Saat ini, rata-rata 30% dari sampah
dibuang ke sungai dan menyumbang pencemaran air. Di Sungai Sunter Jakarta, sampah
diperkirakan menyumbang 7 ton BOD per hari atau 15 % dar; total beban pencemaran
organik (Binnie & Partner, 1990)

Dua permasalahan penting dalam pengelolaan sampah dan TPA yaitu :


 Sampah yang tidak mengalami
112 proses pengolahan dan
 pengelolaan TPA dengan sistem yang tidak tepat (masih berfokus pada lahan
urug). 
Sedangkan TPA sebagai ujung rantai pengelolaan sampah menerima beban sampah
yang sangat besar sehingga menimbulkan banyak dampak negatif. Air lindi yang dihasilkan
oleh TPA sulit untuk dikendalikan agar tidak mencemari lingkungan walaupun membuat
proteksi kuat pada TPA. Direkomendasikan untuk meningkatkan daur ulang sampah dari
rumah tangga sampai ke TPA, di antaranya dengan sistem pengelolaan sampah yang berbasis
inisiatif komunitas lokal dan tidak hanya mengandalkan TPA dengan sistem lahan
urug. Pengelolaan sampah yang fokus pada pengelolaan dan pengurangan pencemaran serta
melibatkan masyarakat atau berbasis komunitas memiliki dampak positif yang besar. 
Dapat diabaikan bahwa penyelesaian permasalahan sampah yang tidak lengkap dari
hulu ke hilir dan tidak melibatkan semua pihak menjadi hambatan utama berjalannya
pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kata kunci: dampak lingkungan, permasalahan
sampah, pengelolaan sampah berkelanjutan, Tempat Pemrosesan Akhir. 
Dari hasil tinjauan pustaka dapat diringkas dua masalah utama pengelolaan sampah
dan TPA yaitu: sampah yang tidak diolah dan sistem pengelolaan TPA yang tidak tepat
(masih berfokus pada sistem penimbunan). Sedangkan TPA sebagai rantai terakhir
pengelolaan sampah menerima beban sampah yang sangat besar, menyebabkan banyak efek
negatif. Leachate yang dihasilkan oleh TPA sulit dikendalikan meskipun memiliki
perlindungan yang kuat di TPA tersebut. Direkomendasikan untuk meningkatkan daur ulang
sampah rumah tangga ke TPA seperti sistem pengelolaan sampah berdasarkan prakarsa
masyarakat setempat dan tidak hanya mengandalkan sistem TPA. Pengelolaan sampah yang
berfokus pada pengolahan dan pengurangan polusi serta melibatkan komunitas atau
komunitas memiliki dampak positif yang besar. 
Dapat disimpulkan bahwa penyelesaian permasalahan persampahan yang tidak
komprehensif dari hulu hingga hilir dan belum melibatkan seluruh bagian dari sistem
persampahan merupakan kendala utama dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kata
kunci: dampak lingkungan, TPA, permasalahan persampahan, pengelolaan sampah
berkelanjutan. Leachate yang dihasilkan oleh TPA sulit dikendalikan meskipun memiliki
perlindungan yang kuat di TPA tersebut. Direkomendasikan untuk meningkatkan daur ulang
sampah rumah tangga ke TPA seperti sistem pengelolaan sampah berdasarkan prakarsa
masyarakat setempat dan tidak hanya mengandalkan sistem TPA. Pengelolaan sampah yang
berfokus pada pengolahan dan
113 pengurangan polusi serta melibatkan komunitas atau
komunitas memiliki dampak positif yang besar. 
Pembuangan sampah di darat jika tidak terkelola akan mempunyai dampak
lingkungan antara lain resapan lindi (air sampah) mengkontaminasi air permukaan dan air
tanah, penyumbatan saluran drainase mengakibatkan banjir, tempat berkembang biaknya
hama tikus, kecoa, pencemaran udara karena pembakaran sampah dan sebagainya.

Berikut ini merupakan dampak yang ditimbulkan akibat masalah sampah,


antara lain (Ardianti, 2011):
1. Perkembangan Faktor Penyakit
Wadah sampah merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan
faktor penyakit terutama lalat dan tikus.Hal ini disebabkan dalam wadah
sampah tersedia sisa makanan dalam jumlah yang besar. Tempat
penampungan sementara/kontainer juga merupakan tempat berkembangnya
faktor tersebut karena alasan yang sama. Sudah tentu ini akan menurunkan
kualitas kesehatan lingkungan sekitarnya.
Faktor penyakit terutama lalat sangat potensial berkembangbiak di
lokasi TPA.Hal ini terutama disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah
yang tidak dilakukan sesuai ketentuan sehingga siklus hidup lalat dari telur
menjadi larva telah berlangsung sebelum penutupan dilaksanakan.Gangguan
akibat lalat umumnya dapat ditemui sampai radius 1-2 km dari lokasi TPA.
2. Pencemaran Udara
Sampah yang menumpuk dan tidak segera terangkut merupakan
sumber bau tidak sedap yang memberikan efek buruk bagi daerah sensitif
sekitarnya seperti permukiman, perbelanjaan, rekreasi, dan lain-lain.
Pembakaran sampah seringkali terjadi pada sumber dan lokasi pengumpulan
terutama bila terjadi penundaan proses pengangkutan sehingga menyebabkan
kapasitas tempat terlampaui. Asap yang timbul sangat potensial menimbulkan
gangguan bagi lingkungan sekitarnya.
Pembongkaran sampah dengan volume yang besar dalam lokasi
pengolahan berpotensi menimbulkan gangguan bau. Disamping itu juga sangat
mungkin terjadi pencemaran berupa asap bila sampah dibakar pada instalasi
yang tidak memenuhi syarat teknis.
3. Pencemaran Air
Sarana dan
114 prasarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial
menghasilkan lindi terutama pada saat turun hujan. Aliran lindi ke saluran atau
tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran. Instalasi
pengolahan berskala besar menampung sampah dalam jumlah yang cukup
besar pula sehingga potensi lindi yang dihasilkan di instalasi juga cukup
potensial untuk menimbulkan pencemaran air dan tanah di sekitarnya.Lindi
yang timbul di TPA sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik
berupa rembesan dari dasar TPA yang mencemari air tanah di bawahnya. Pada
lahan yang terletak di kemiringan, kecepatan aliran air tanah akan cukup tinggi
sehingga dimungkinkan terjadi cemaran terhadap sumur penduduk yang
terletak pada elevasi yang lebih rendah.
Pencemaran lindi juga dapat terjadi akibat pengolahan yang belum
memenuhi syarat untuk dibuang ke badan air penerima. Karakteristik
pencemar lindi yang sangat besar akan sangat mempengaruhi kondisi badan
air penerima terutama air permukaan yang dengan mudah mengalami
kekurangan oksigen terlarut sehingga mematikan biota yang ada.
4. Pencemaran Tanah
Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik misalnya di
lahan kosong atau TPA yang dioperasikan secara sembarangan akan
menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya
sampah organik dan mungkin juga mengandung bahan buangan berbahaya
(B3). Bila hal ini terjadi maka akan diperlukan waktu yang sangat lama
sampai sampah terdegradasi atau larut dari lokasi tersebut. Selama waktu itu
lahan setempat berpotensi menimbulkan pengaruh buruk terhadap manusia
dan lingkungan sekitarnya.
5. Gangguan Estetika
Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan
pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan
sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga
lahan pembuangan sampah lainnya.
Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi
pengumpulan seperi TPS dan TPA sangat mungkin menimbulkan tumpahan
sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan
lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan
pengangkut sering
115terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup
yang memadai.
6. Kemacetan Lalu Lintas
Lokasi penempatan sarana/prasarana pengumpulan sampah yang
biasanya berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan, dan
lain-lain serta kegiatan bongkar muat sampah berpotensi menimbulkan
gangguan terhadap arus lalu lintas.
Arus lalu lintas angkutan sampah terutama pada lokasi tertentu seperti
TPS atau TPA berpotensi menjadi gerakan kendaraan berat yang dapat
mengganggu lalu lintas lain, terutama bila tidak dilakukan upaya-upaya
khusus untuk mengantisipasinya.
Arus kendaraan pengangkut sampah masuk dan keluar dari lokasi
pengolahan akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap lalu lintas di
sekitarnya terutama berupa kemacetan pada jam-jam kedatangan. Pada TPA
besar dengan frekuensi kedatangan truck yang tinggi sering menimbulkan
kemacetan pada jam puncak terutama bila TPA terletak berdekatan dengan
jalan umum.
7. Gangguan Kebisingan
Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat/truk timbul dari mesin-
mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat hidrolik, dan lain-lain yang dapat
mengganggu daerah-daerah sensitif di sekitarnya.
Di instalasi pengolahan kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan
truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (terutama bila
digunakan mesin pencacah sampah).Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul
akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan
TPA, disamping operasi alat berat yang ada.
8. Dampak Sosial
Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya
pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya.
Karenanyatidak jarang menimbulkan sikap menentang/oposisi dari masyarakat
dan munculnya keresahan. Sikap oposisi ini secara rasional akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka,
sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan dampak ini dan mengambil
langkah-langkah aktif untuk menghindarinya.

116
Syarat-syarat TPA
Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus
mengikuti persyaratan hukum. Ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), ketertiban umum,
kebersihan kota atau lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan
perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA
ialah sebagai berikut (SNI nomor 03-3241-1994) :
a. Ketentuan umum
Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Tpa sampah tidak boleh berlokasi didanau, sungai , dan laut
2. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu :
1) Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan
peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut
yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan
2) Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan
satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang
dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional
3) Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi
terpilih oleh instansi yang berwenang
3. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional,
pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan bersadarkan skema
pemilihan lokasi TPA sampah

117
b. Kriteria
Adapun kriteria untuk penentuan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga
bagian :
4. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan
zona layak atau tidak layak sebagai berikut
1) Kondisi geologi
a. Tidak berlokasi di zona holocene fault
b. Tidak boleh di zona bahaya geologi
2) Kondisi hidrogeologi
a. Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter
b. Tidak boleh kelulusan tanah lebih besari dari 10-6 cm/det
c. Jarak terhadap sumber air minimum harus lebih besar adri 100
meter di hilir aliran
d. Dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria
tersebut diatas, maka harus diadakan masukan teknologi
3) Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
4) Jarak dari lapangan terbang harus lebih besari dari 3000 meter
untuk penerbangan turbojet dan harus lebih besar dari 1.500 meter
untuk jenis lain
5) Tidak boleh pada derah lindung/cagar alam dan daerah banjir
dengan periode ulang 25 tahun

118
5. Kriteria penyisih,
yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri
dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut :
a. Iklim
a) Hujan intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
b) Arah, arah angin dominan tidak menuju ke permukiman
dinilai makin baik
b. Utilitas yaitu tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik
c. Lingkungan biologis
a) Habitat, kurang bervariasi dinilai makin baik
b) Daya dukung. Kurang menunjang kehidupan flora dan
fauna, dinilai makin baik
d. Kondisi tanah
a) Produktivitas tanah, tidak produktis dinilai lebih tinggi
b) Kapasitas dan umur, dapat menampung lahan lebih
banyak dan lebih lama dinilai lebih baik
c) Ketersediaan tanah penutup, mempunyai tanah penutup
yang cukup dinilai lebih baik
d) Status tanah, makin bervariasi dinilai tidak baik
e. Demografi , kepdatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik
f. Batas administrasi, dalam batas administrasi dinilai makin baik
g. Kebisingan, semakin banyak zona penyangga dinilai semakin
baik
h. Bau, semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
i. Estetika, semakin tidak terlihat dari luar dinilai makin baik
j. Ekonomi, semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per
m3/ton) dinilai semakin baik

119
6. Kriteria penetapanYaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang
berwenang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai
dengan kebijaksanaan instansi yang berweang setempat dan ketentuan
yang berlaku.

Perbandingan dengan negara lain, yaitu :


1. Inggris
Adapun yang menjadi kriteri penentuan lokasi TPA di negara inggris adalah
sebagai berikut:
a. Tidak dimungkinkan terjadinya kontaminasi terhadap air tanah
b. Permeabilitas tanah dan faktor geologi lainnya
c. Bahaya banjit dan tanah longsor
d. Keamanan jalur transportasi
e. Tidak terdapat masalah-masalah keamanan lainnya yang terkait dengan
masyarakat
f. Kemudalam dalam pelayanan
g. Tolak jika berada pada area konservasi/ tangkapan air
h. Tanag yang tidak stabil atau lunak, tanah liat atau campuran tanah liat dan
tanah
i. Lokasi sensitif, terdapat material mudah terbakar dan meledak
j. Tanah yang mengalami penurunan, mengandung bahan tambang, minyak
dan gas
k. Tanah jenih, seperti rawa
l. Area pemanfaata air tanah tinggi.
m. Terdapat potensi air permukaan, area di atas intake
n. Terdapat SDA, habitat spesies tertentu, tanaman dan hutan
o. Lahan pertanian atau hutan ekonomi untuk kepentingan budaya
p. Lokasi bersejarah dan arkeologi
q. Populasi menetap

Kriteria yang terkait dalam pemilihan lokasi TPA sampah tersebut diatas secara
umum dapat berkaitan dnegan,120 lokasi TPA yang jauh dari pemukiman, kondisi geologism
keadaan tanah, transportasi pola pengangkuran sampah dan kondisi mata air.

2. Amerika Serikat
Adapun yang menjadi kriteria penentuan lokasi TPA disini yaitu
a. Batas gempa 0-1 skala richer
b. Kemiringan lahan kurang dari 10%
c. Jauh dari lairan permukiman
d. Tidak ada pusat permukiman pada arah angin
e. Jarak ke arah fasilitas umum lebih besar dari 250 m
f. Jarak lokasi ke jalan umum lebih besar dari 500 m
g. Bukan lahan pertanian yang produktif
h. Kepadatan penduduk rendah
i. Keragaman spesies rendah
j. Jarak dari sungai yang menjadi sumber air penduduk lebih besar dari 1,5 km
k. Lebih jauh 600 m dari sumber air minum

Komposisi Sampah TPA kota Padang


Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian PU Dirjen Cipta Karya Satker
Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP-16.2013) didapat jumlah
sampah yang masuk ke TPA Air Dingin kota Padang adalah sebesar 219.131.400 Kg/tahun
dengan uraian komposisi sampah yang masuk ke TPA Air Dingin kota Padang adalah
Makanan dan sisa makanan sebesar bebagai berikut :
 Makanan dan sisa makanan sebesar 139.016.960,16 Kg/tahun atau sebesar
63,44 % .
 Daun (Sampah dari taman, jalanan, dll) sebesar 12.863.013,18Kg/tahun atau
sebesar 5,87%
 Kayu dan produk dari kayu sebesar 17.399.033,16 Kg/tahun atau sebesar
7,94%
 Kertas, karton sebesar 11.833.095,60 Kg/tahun atau sebesar 5,40%
 Kain sebesar 3.528.015,54 Kg/tahun atau sebesar 1,61%
 Kaca dan sejenisnya sebesar 2.081.748, 30 Kg/tahun atau sebesar 0,95%
 Plastik sebesar 21.518.703,48 Kg/tahun atau sebesar 9,82%
121
 Besi dan metal lainnya sebesar 306.783,96 Kg/tahun atau sebesar 0,14%
 Sampah lain-lain sebesar 10.562.133,48 Kg/tahun atau sebesar 4,82
Perhitungan Estimasi Kasar Produksi Gas Bio
Dalam melakukan perhitungan untuk mengetahui estimasi kasar produksi gas bio
yang dihasilkan di TPA Air Dingin kota Padang digunakan persamaan dan asumsi yang
merujuk kepada persamaan 3.1 Setelah melakukan perhitungan, didapatkan hasil perhitungan
berupa proyeksi potensi gas bio yang terdapat di TPA Air Dingin kota Padang untuk
perhitungan selama 20 tahun. Perhitungan awal dimulai untuk tahun 2013 sampai tahun 2033
(selama 20 tahun).

122

Tutupan Lahan Kota Padang


Gambaran karakteristik tutupan lahan di Kota Padang diawali dengan melakukan
overlay peta batas administrasi wilayah Kota Padang. Tutupan lahan Kota Padang diperoleh
dari hasil digitasi Citra Landsat +7TM Kota Padang tahun 2016 dengan melakukan
interpretasi visual.Klasifikasi Citra Landsat +7TM Kota Padang bertujuan untuk
pengelompokan atau melakukan segmentasi terhadap kenampakan – kenampakan alam
dengan menggunakan teknik Sistem.
Informasi Geografi. Analisis Citra Landsat +7TM Kota Padang tahun 2016
digolongkan menjadi 3 jenis tutupan lahan yaitu lahan lahan terbangun, sawah, dan vegetasi.
Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dan dan gambar peta tutupan lahan Kota Padang
dibawah ini:
Gambar 1 : Peta Tutupan Lahan Kota Padang Tahun 2016

Tabel 1.2: Tutupan Lahan 2016

123
Hasil analisis Citra Landsat 7+TM Kota Padang tersebut menghasilkan tutupan lahan di
Kota Padang masih didominasi vegetasi.Karena sebagian daerah Kota Padang di lewati oleh
bukit barisan dan kontur yang tinggi menyebabkan separuh wilayah Kota Padang berupa
hutan yang dilindungi oleh pemerintah. Adapun luas terbesar sampai ke yang terkecil
berdasarkan hasil klasifikasi adalah sebagai berikut ; Vegetasi (51486,40 Ha), Lahan
Terbangun (11578,44 Ha), dan Sawah (5713,93 Ha).
Tutupan lahan merupakan istilah yang digunakan untuk meyebutkan suatu
kenampakan lahan secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan
manusia.Metode yang digunakan dalam menganalisis tutupan laha di Kota Padang adalah
klasifikasi terbimbing. Klasifikasi Terbimbing pencirian spektralnya tidak akan berubah
karena adanya pemberian sampel dalam menghasilkan kelas informasi yang mana sampel
tersebut ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti. Klasifikasi terbimbing sendiri terbagi
menjadi beraneka ragam. Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah
klasifikasi maximum likelihood classification, meskipun ada beberapa kelemahan dari
pendekatan ini salah satunya yaitu banyaknya kesalahan klasifikasi yang ditimbulkan oleh
salt dan pepper, terutama jika piksel berada di luar area spesifik atau diantara area yang
tumpang tindih, yang dipaksakan untuk diklasifikasikan (Rusdi 2005).

Laju Pertumbuhan Penduduk di Kota Padang


Berdasarkan data jumlah penduduk Kota Padang yang bersumber dari buku Padang
Dalam Angka 2016 diketahui pada tahun 2006 jumlah penduduk Kota Padangsebesar
819.740 jiwa. Kemudian pada tahun 2016 jumlah penduduk Kota Padang menjadi 914.941
jiwa. Dari data jumlah penduduk tersebut dapat dihitung laju pertumbuhan penduduk dengan
menggunakan rumus eksponensial sebagai berikut:

124
Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2026:

Dari hasil tersebut dapat diketahui laju pertumbuhan penduduk Kota Padang per
tahunnya adalah 0,0109 atau melebihi 1% dan prediksi jumlah penduduk pada tahun 2026
sebesar 1.011.166 jiwa. Selanjutnya prediksi jumlah penduduk Kota Padang tahun 2026
dikalkulasikan dengan volume sampah perorangan, dimana volume sampah perorangan Kota
Padang sebesar 0,8 kg. Maka laju timbulan sampah masyarakat Kota Padang dari tahun 2016
hingga tahun 2026 sebesar:
Volume sampah

125
Dengan asumsi pengoperasian TPA dimulai pada tahun 2016 maka diperoleh prediksi
total sampah Kota Padang sampai tahun 2026 sebesar 2.952.604.720 kg/ jiwa.
Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi perilaku/ gaya hidup serta pola
konsumsi masyarakat. Perubahan ini akan memengaruhi volume sampah di Kota Padang.
Berbagai literatur menyatakan proyeksi penduduk sebagai prediksi atau ramalan yang
didasarkan pada asumsi rasional tertentu yang dibangun untuk kecenderungan masa yang
akan datang dengan menggunakan peralatan statistik atau perhitungan matematik.
Di sisi lain, peramalan penduduk (population forecast) bisa saja dengan/ tanpa asumsi
dan atau kalkulasi tanpa kondisi, syarat dan pendekatan tertentu (Smith, et.al dalam Junaidi
2017). Prediksi atau ramalan jumlah penduduk sendiri diperlukan untuk menghitung volume
sampah di masa yang akan datang Dari perhitungan prediksi jumlah penduduk Kota Padang
tahun 2006 dan 2016 dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Kota Padang
sebesar 0, 0109 atau melebihi 1% dimana besar dari 0 maka telah terjadi penambahan
penduduk dari tahun sebelumnya, dari laju perumbuhan penduduk ini juga dapat diprediksi
jumlah penduduk Kota Padang pada tahun 2026 sebesar 1.011.116 jiwa. Sedangakan hasil
prediksi volume sampah Kota Padang pada tahun 2026 sebesar 2.952.604.720 kg/ jiwa.

Luas TPA dan Rekomendasi Lokasi TPA di Kota Padang


Untuk mencari kapasitas luas TPA terlebih dahulu dihitung volume sampah yang
telah dipadatkan . Jumlah volume timbulan sampah Kota Padang dari tahun 2016 sampai
tahun 2026 (perkiraan perencanaan penggunaan lahan TPA) dengan membagi volume total
sampah (kg) dengan kepadatan sampah (250 kg/m3) adalah:

126
Volume total sampah dikurangi 25% (aktivitas pemulung) dari total sampah:

Untuk SC (soil cover)/ lapisan tanah penutup dikalikan 15% dari volume total sampah
(Murtudo, 1996) sebagai berikut:

Pada prediksi lokasi TPA ini peniliti akan meproyeksikan TPA untuk pengoperasian
hingga tahun 2026 sebesar:

127
Untuk perkiraan perencanaan penggunaan TPA yang melayani Kota Padang sampai
tahun 2026 diperkirakan memerlukan lahan seluas 45,67 Ha dengan luas daerah penyangga
seluas 11,42 Ha.
Setelah didapatkan hasil luas TPA dan zona penyangganya dilakukan analisis peta
keseuaian lahan untuk TPA yang mengacu pada SNI 03-3241-1994.Penilaian dilakukan
dengan metode binary untuk menentukan zona layak atau tidak layak sebagai lokasi TPA
berdasarkan delapan kriteria penilaian kelayakan regional.Pada lahan yang memenuhi kriteria
penilaian diberi nilai 1 dan lahan yang tidak memenuhi kriteria penilaian diberi nilai
0.Sehingga zone layak TPA ditetapkan apabila nilai lahan mencapai jumlah maksimal
(delapan).
Analisis SIG digunakan untuk mengevaluasi masing-masing kriteria penilaian
tersebut secara spasial.Citra Landsat dan foto udara digunakan untuk interpretasi tutupan
lahan. Peta Kemiringan Lereng, Peta Permeabilitas Tanah, Peta Kedalaman Muka Air Tanah
dan Peta Bahaya Banjir diperoleh dari dinas Bappeda dan Prasjaltarkim Sumbar lalu dilaku
proses pengharkatan. Proses buffering dilakukan pada Peta Geologi, Peta Hidrologi, Peta
Administrasi, Peta Fungsi Kawasan sehingga diperoleh Peta Jarak Terhadap zona sesar aktif,
Peta Jarak Terhadap Badan Air (Sungai), Peta Jarak Terhadap Batas Daerah, Peta Jarak
Terhadap Permukiman, Peta Jarak Terhadap Kawasan Budidaya Pertanian, Peta Jarak
Terhadap Kawasan Lindung, dan Peta Jarak Terhadap Lapangan Terbang. Sedangkan Peta
Luas Lahan, Peta Ketersediaan Zona Penyangga dan Peta Intensitas Hujan diperoleh
melalului proses calculating. Lokasi zone layak TPA diperoleh dari hasil overlay peta-peta
tematik yang dihasilkan, sedangkan lokasi rekomendasi TPA diperoleh dari hasil overlay peta
hasil penilaian dengan Peta Pola Ruang Kota Padang tahun 2010.
Analisis kesesuaian lahan untuk penentuan TPA di Kota Padang mempertimbangkan
beberapa parameter kondisi fisik Kota Padang dengan metode pengharkatan sesuai dengan
SNI 03-3241-1994 dengan penyesuaian penilaian tertinggi dengan nilai 3 dan bobot 5 pada
parameter kriteria kelayakan penyisihan. Penelitiann yang dilakukan di Kota Padang
menghasilkan kesesuaian lahan untuk zona layak TPA tersebar di beberapa kecamatan di
Kota Padag, terutama pada Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Kuranji, dan Kecamatan
Bungus Teluk Kabung Penentuan Zona Layak TPA dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2 : Peta Zona Layak TPA

128
Setelah didapatkan Peta Zona Layak TPA langkah selanjutnya adalah pemberian
-pengharkatan terhadap peta fisik Kota Padang sesuai SNI 03-3241-1994 dan di overlay
dengan Peta Zona Layak TPA Kota Padang untuk mendapatkan Peta Kelayakan Penyisihan
TPA di Kota Padag. Hasil dari overlay tersebut lalu dikaitkan dengan akses jalan menuju
daerah yang direkomendasikan sehingga pertimbangan utama rekomendasi adalah lokasi
Kecamatan Koto Tangah dan Kecamatan Kuranji memiliki luas lahan yang cukup dalam
pembangunan TPA dan memiliki akses yang baik. Selain itu dareah Kecamatan Koto Tangah
dan Kecamatan Kuranji berada di luar zona sesar.Untuk kriteria permeabilitas tanah sebagian
daerah rekomendasi memiliki tekstur tanah yang bersifat lempung.Umumnya batuan landasan
adalah lempung atau pada dasar cekungan dilapisi geotekstil untuk menahan peresapan lindi
pada tanah (Zaini, 2012).
Daerah rekomendasi tersebut juga telah memenuhi beberapa kriteria yang ditentukan
SNI 03-3241-1994 seperti jarak terhadap bandara, badan air, dan permukiman. Daerah yang
direkomendasikan tersebut dapat dilihat pada gambar 3 dan 4 berikut:
Gambar 3 : Peta Kelayakan Penyisihan TPA

129
Gambar 4 : Peta Rekomendasi Lokasi TPA

Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, flora dan
fauna, serta bentukan hasil budaya manusia.Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian
ruang tempat (Arsyad, 1989). 130
Luas lahan TPA, kebutuhan tanah penutup dan zona penyangga dihitung dengan
persamaan yang dirumuskan oleh Murtudo (1996).Penghitungan luas TPA didapatkan dari
hasil volume sampah yang telah diapadatkan. Hasil pemadatan merujuk pada teori Nuryani,
2003 bahwa nilai yang digunakan dalam pemadatan sampah mempertimbangkan nilai yang
mendekati kepadatan sampah di Kota jakarta.
Hasil dari perhitungan tersebut adalah kebutuhan luas TPA di Kota Padang hinggga
tahun 2026 sebesar 45,67 Ha dengan luas penyangga sebesar 11,42 Ha dengan sistem
pengelolaan yang direkomendasikan adalah sanitary landfill untuk membawa pengaruh yang
lebih positif terhadap pengelolaan TPA. Hal ini sejalan dengan teori Chandra Budiman
bahwa pengelolaan sampah di suatu daerah akan membawa pengaruh bagi masyarakat
maupun lingkungan daerah itu sendiri. Pengaruhnya tentu saja ada yang positif dan juga ada
yang negatif (Chandra, 2006).

Kesesuaian Lahan untuk Lokasi TPA


Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat sampah mencapai tahap
terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan,
pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Pemasalahan yang sering muncul
dalam proses pembuangan sampah adalah pengaruhnya terhadap lingkungan yang ada di
sekitar TPA.
Berbagai macam zat yang dihasilkan dari akumulasi pembusukan sampah yang
berupa Lindi.Lindi merupakan cairan hasil pembusukan yang bersifat mencemari yang terdiri
dari zat-zat organik.Pencemaran yang biasa terjadi pada lingkungan sekitar TPA adalah
pencemaran air tanah. Air tanah yang ada disekitar TPA akan bercampur dengan Lindi yang
menyebabkan sumber air bersih akan tercemar, sehingga tidak dapat digunakan untuk
konsumsi sehari-hari.
Dalam mengevaluasi dan menganalisa kesesuaian lahan TPA diperlukan rujukan dan
dasar teori yang mendasari dalam
131 penentuan lokasi yang tepat.TPA yang baik adalah yang
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-
3241-1994 (dalam Joko Pramono , 2000), membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah
menjadi tiga, yaitu:
1. Kelayakan regional

Kriteria yang digunakan untuk menentukan zone layak atau zone tidak layak dengan
ketentuan berikut:
a. Kondisi geologi

b. Kemiringan lereng

c. Jarak terhadap badan air

d. Jarak terhadap terhadap lapangan terbang

e. Kawasan lindung atau cagar alam

f. Kawasan budidaya pertanian dan atau perkebunan

g. Batas administrasi

Lokasi TPA dimaksudkan sebagai tempat untuk menampung sampah yang telah
dikumpulkan dari daerah pelayanan dan tempat berlangsungnya proses penguraian secara
alamiah dimana baik tempat maupun proses tersebut harus diupayakan agar tidak atau
sesedikit mungkin menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya.
Untuk dapat mewujudkan kondisi seperti tersebut diatas maka lokasi TPA harus memenuhi
persyaratan atau kriteria sebagai berikut :
a) Lokasi dan kondisi TPA harus cukup aman terhadap daerah pemukiman serta
sarana dan prasarana penunjangnya (sekolah, pasar, dill yaitu untuk mencegah
terjadinya gangguan berupa :
1) Kebisingan dan debu akibat Jalu lintas kendaraan pengangkut sampah dan
mesin-mesin alat berat yang beroperasi di lokasi TPA.
2) Kemungkinan adanya serangga (lalat) dan bau
3) Pencemaran udara oleh gas yang timbul akibat proses penguraian
4) Pencemaran air permukaan dan air tanah oleh leachate (cairan sampah)
b) Lokasi TPA harus memenuhi kondisi Topografi dan Hidrogiologi sebagai
berikut:
1) Secara topografllokasi TPA hendaknya tidak terletak dibagian atas/hulu
dari sumber 132
air yang dimanfaatkan untuk penyediaan air bersih agar
leachate dari timbunan sampah tidak mencemari sumber air tersebut.
2) Lokasi TPA harus terletak pada daerah yang bebas banjir untuk
menghindari hanyutnya sampah dan tersebarnya air lindi (leachate)
ketempat lain kecuali dilakukan persiapan khusus untuk mencegah
kemungkinan tersebut (dibuat tanggul,
3) Kondisi geologi lapisan tanah dasar TPA sebaiknya berupa lapisan yang
relatif kedap air seperti tanah lempung (clay) untuk mencegah terjadinya
rembesan leachate ke dalam air tanah atau mencemari air permukaan
(sungai, danau, dll) yang berada di sekitarnya (levellebih rendah). Untuk
menghindari kemungkinan pencemaran air tanah terse but, sebaiknya
angka kelulusan air maksimallO-s cm/detik.
4) Muka air tanah lebih rendah dari dasar rencana TPA, kecuali dengan
perlakuan khusus sebelum dan selama dioperasikan (drainase dalam
lokasi, penyiapan lapisan/tanah kedap air kecuali memang sudah tanah
lempung, dll). Kedalaman air tanah dari dasar TPA efektif minimal 1
meter.

c) Lokasi TPA harus memperlihatkan faktor efisiensi pengangkutan


Lokasi TPA sebaiknya tidak terlalu jauh dari sumber sampah atau daerah pelayanan
(kurang dari 20 km) agar biaya transportasi sampah tidak terlalu besar. Bila lebih jauh dari 20
km sebaiknya harus sudah menggunakan transfer station yang besar, skala wilayah/kota dan
transportasi ke TPA menggunakan kendaraan yang berkapasitas besar pula.

d) Periode operasi pemakaian TPA harus cukup ekonomis


Tempat Pemrosesan Akhir sampah sebaiknya dapat dioperasikan selama periode
waktu yang cukup panjang, minimal 5 tahun. Masa operasi yang lebih pendek akan
menyebabkan pengadaan lokasi TPA tersebut menjadi tidak ekonomis, karena fasilitas
penunjang yang cukup mahal (jalan masuk, saluran drainase, bangunan pengendali, pagar,
dll) hanya digunakan dalam waktu yang relatif pendek pula, sehingga biaya operasi TPA per
m3 sampah menjadi tinggi.

e) Kriteria Lokasi 133


Lokasi TPA harus mempertimbangkan perencanaan tata guna tanah baik jangka
pendek maupun jangka panjang untuk mencegah terjadinya benturan antara sektor yang
berkepentingan atas lokasi terse but. Karena proses stabilisasi timbunan sampah yang sangat
lama (lebih dari 10 tahun, bahkan dapat lebih lama lagi) maka sangat penting memperhatikan
rencana tata guna tanah yang akan datang.

2. Kelayakan penyisih

Kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik dari hasil kelayakan regional
dengan ketentuan berikut:
Luas lahan
a. Ketersediaan zone penyangga kebisingan dan bau

b. Permeabilitas tanah

c. Kedalaman muka air tanah

d. Intensitas hujan

e. Bahaya banjir

f. Jalur dan lama pengangkutan sampah

3. Kelayakan Rekomendasi

Kriteria yang digunakan oleh pengambil keputusan atau lembaga yangberwenang


untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijakan lembaga
berwenang setempat dan dengan ketentuan yang berlaku. Kriteria kesesuaian lahan yang
tepat untuk tempat pembuangan akhir sampah terbuka menurut (USDA,1983 dalam
Sarwono Hardjowigeno dan Widiatmaka)
MenurutHoward dan Remson (1978) mengatakan1994( dalam Joko Pramono ,
2000), bahwa dalam proses pemilihan lokasi pembuangan sampah (khususnya Metode
Sanitay Landfill), dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh keberadaan lokasi
tersebut harus diminimalkan. Adapun proses pemilihan lokasi TPA sampah perlu
mempertimbangkan tiga hal berikut, yaitu:
1) Pertimbangan operasional, secara operasional TPA sampah memerlukan lahan
yang cukup untuk menampung segala jenis sampah dan zonasi ketersediaan
134
lahan harus memperhatikan rencana regional serta aspek aksesibilitas
(keterjangkauan);
2) Pertimbangan ekologi, yang perlu diperhatikan adalah keberlanjutan lokasi TPA
setelah tidak digunakan lagi;

3) Pertimbangan topografi, geologi dan hidrologi, lebih mengarah pada aspek


persyaratan fisik lahan, misalnya: berdasarkan relief atao topografi dapat dipilih
lokasi-lokasi yang bebas dari bahaya banjir ataupun erosi dan berdasarkan aspek
hidrologi, lokasi TPA harus berada diwilayah dengan muka air tanah yang tidak
dalam, sehingga lindi sampa tidak mencemari air tanah.

Menurut Bagchi (1982) (dalam Joko Pramono 2000), dalam menempatkan lokasi
pembuangan sampah harus memperhatikan jarak terhadap danau/kolam dan tubuh air lainya,
sungai, lahan basah, banjir, jalan, sumber air dan airport (lapangan terbang).Jarak tersebut
dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari keberadaan
sampah itu sendiri.

4. Tanah

Tanah yang diklasifikasikan menurut Soil Survey Staff (1990) didefinisikan sebagai
kumpulan benda-benda alam yang terdapat di permukaan bumi, setempat setempat
dimodifikasi atau bahkan dibuat oleh manusia dari bahan-bahan yang berasal dari tanah,
mengandung jasad hidup dan mendukung atau mampu mendukung tanaman atau
tumbuhtumbuhanyang hidup di alam terbuka.
Definisi tanah di atas menunjukkan bahwa tanah tersebut tidak saja tanah yang
terbentuk secara alami, tetapi juga tanah-tanah yang terbentuk karena modifikasi
manusia.Biasanya tanah tersebut mengandung horison-horison (lapisan-lapisan).Batas atas
tanah adalah udara atau air dangkal.Pada bagianbagian pinggir, tanahsecara berangsur-angsur
beralih ke air yang dalam atau ke area tandus batuan atauhamparan es.
Sedangkan batas bawahnya sampai kebahan bukan-tanah yang barang kalipaling sulit
didefinisikan. Tanah mencakup horisonhorison dekat permukaan tanah yangberbeda dari
batuan di bawahnya, sebagai hasil interaksi iklim, jasad hidup, bahan induk,dan relief atau
topografi, melalui waktu pembentukannya.Tekstur tanah adalah kehalusan atau kekasaran
bahan tanah pada perabaaan berkenaan dengan perbandingan berat antar fraksi tanah. Jadi,
tekstur adalah ungkapan agihan
135 besar zarah tanah atau proporsi nisbi fraksi tanah
(Notohadiprawiro, 2000 dalam Sarwono Hardjowigeno dan Widiatmaka , 1987).
Tekstur tanah penting untuk diketahui, karena komposisi ketiga fraksi butir-butir
tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika-kimia dan kimia tanah. Sebagai
contoh besarnya lapangan pertukaran dari ion-ion di dalam tanah amat ditentukan oleh tekstur
tanah. Bahan-bahan tanah yang halus dapat dibedakan menjadi :
1. Pasir : 2mm- 0,05mm
2. Debu : 0,05mm-0,002mm
3. Lempung :<0,002mm
Tekstur tanah penting kita ketahui, oleh karena komposisi ketiga fraksi butir-butir
tanah tersebut akan menentukan sifat-sifat fisika, fisika-kimia dan kimia tanah. Sebagai
contoh besarnya lapangan pertukaran dari ion-ion di dalam tanah amat ditentukan oleh tekstur
tanah. Jika beberapa contoh tanah ditetapkan dan dianalisis, maka hasilnya selalu
memperlihatkan bahwa tanah itu mengandung partikel-pertikel yang beraneka ragam
ukurannya, ada yang berukuran koloid, sangat halus, kasar dan sangat kasar (Bale,
1986dalam Sarwono Hardjowigeno dan Widiatmaka , 1987)

5. Lahan

Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, flora
dan fauna, serta bentukan hasil budaya manusia.Dalam hal ini lahan juga mengandung
pengertian ruang tempat (Sinatala Arsyad, 1989 dalam Jamulya dan Sunarto).Lahan memiliki
sifat-sifat yang dapat dilakukan pengukuran atau dilakukan perkiraan, sperti tekstur tanah,
struktur tanah, kedalaman tanah, jumlah curah hujan, distribusi hujan, temperatur, drainase
tanah, jenis vegetasi dan sebagainya.
Lahan potensial adalah lahan yang belum dimanfaatkan atau belum diolah dan jika
diolah akan mempunyai nilai ekonimis yang besar karena mampunyai tingkat kesuburan yang
tinggi dan mempunyai daya dukung terhadap kebutuhan manusia. Lahan potensian
merupakan modal dasar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Untuk itu
harus ditangani dan dikelola secara bijak.Daerah diluar jawa banyak memiliki daerah
produktif yang sangat potensial, tetapi belum atau tidak dimanfaatkan sehingga daerah ini
dikenal dengan daerah yang sedang tidur.
Tanah juga merupakan salah satu sumber daya fisik yang sangat penting dan utama untuk
diperhatikan dan dikaji dalam perencanaan tataguna lahan.Bersama dengan sumberdaya fisik
136topografi, geologi dan tanah, sifat tanah sangat diperlukan
wilayah yang lainya seperti iklim,
dalam menentukan potensinya dalam berbagai jenis penggunaan lahan. Tanah sangat penting
bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan bangunan rumah tinggal maupun kebutuhan
yang berkaitan dengan pangan yang berasal dari kegiatan bercocok tanam dalam menunjang
kehidupanya.

6. Bentuk Lahan

Bentuk lahan merupakan yang menggambarkan kenampakan secara keseluruhan dan


berkesinambungan yang secara bersamaan membentuk permukaan bumi.Bentuklahan
meliputi Plato, dataran, gunung, lembah, ngarai, sungai, delta, lererng dan sebagainya.
Menurut Ahli Bentuk lahan (landform) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan
masing-masing dari setiap satu kenampakan dari kenampakan secara menyeluruh dan
sinambung (multitudineous features) yang secara bersama-sama membentuk permukaan
bumi.
Hal ini mencakup semua kenampakan yang luas,seperti dataran, plato, gunung dan
kenampakan-kenampakan kecil seperti bukit,lembah, ngarai, arroyo, lereng, dan kipas aluvial
(Desaunettes,1977 dalam Joko Pramono 2000). Wiradisastra et al. (1999) menambahkan
bahwa bentuk lahan merupakankonfigurasi permukaan lahan (land surface) yang mempunyai
bentukbentuk khusus. Suatu bentuk lahan akan dicirikan oleh struktur atau batuannya, proses
pembentukannya, dan mempunyai kesan topografi spesifik.

7. Penggunaan Lahan

Landuse (penggunaan lahan) dan landcover (penutupan lahan) sering digunakan


secara bersama-sama.Kedua terminologi tersebut berbeda. Mengutip tulisan Mas Hartanto
“Lillesand dan Kiefer pada tulisan mereka tahun 1979 kurang lebih berkata: penutupan lahan
berkaitan dengan jesis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan
lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut.
Townshend dan Justice pada tahun 1981 juga punya pendapat mengenai penutupan
lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda
alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan
manusia terhadap obyek tersebut. Sedangkan Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan
bahwa permukaan bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti
vegetasi, salju, dan lain sebagainya.Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas
137
manusia (penggunaan lahan).
Komposisi dan Jenis-Jenis Sampah

Sampah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik domestik
(rumah tangga) maupun industri. Dalam Undang-undang No 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia
atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik
bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan
dibuang ke lingkungan.
Ditinjau dari sumbernya, sampah berasal dari beberapa tempat, yakni :

1) Sampah dari pemukiman penduduk pada suatu pemukiman biasanya sampah


dihasilkan oleh suatu keluarga yang tinggal di suatu bangunan atau asrama. Jenis
sampah yang dihasilkan biasanya organik, seperti sisa makanan atau sampah yang
bersifat basah, kering, abu plastik dan lainnya.
2) Sampah dari tempat-tempat umum dan perdagangan tempat tempat umum adalah
tempat yang dimungkinkan banyaknya orang berkumpul dan melakukan kegiatan.
Tempat-tempat tersebut mempunyai potensi yang cukup besar dalam memproduksi
sampah termasuk tempat perdagangan seperti pertokoan dan pasar. Jenis sampah
yang dihasilkan umumnya berupa sisa-sisa makanan, sayuran dan buah busuk,
sampah kering, abu, plastik, kertas, dan kaleng-kaleng serta sampah lainnya.

Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari sampah dan dalam kegiatannya manusia
senantiasa menghasilkan sampah baik sampah organik maupun non organik.

Jenis-jenis Sampah

Berdasarkan asal atau sumbernya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu
sebagai berikut :
1. Sampah organik, adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan hayati yang
dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan

mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar
merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari
138 pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung,
dapur, sisa-sisa makanan,
sayuran, kulit buah, daun dan ranting. Selain itu, pasar tradisional juga banyak
menyumbangkan sampah organik seperti sampah sayuran, buah-buahan dan lain-
lain.
2. Sampah non norganik atau anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari
bahan- bahan non hayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses
teknologi pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi
sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik, sampah kertas,
sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian besar anorganik tidak dapat
diurai oleh alam/ mikroorganisme secara keseluruhan (unbiodegradable).
Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama.
Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas
plastik, dan kaleng.
Dampak negatif sampah-sampah padat yang bertumpuk banyak tidak dapat teruraikan
dalam waktu yang lama akan mencemarkan tanah. Yang dikategorikan sampah disini
adalah bahan yang tidak dipakai lagi (refuse) karena telah diambil bagian-bagian
utamanya dengan pengolahan menjadi bagian yang tidak disukai dan secara ekonomi tidak
ada harganya. Dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan antara lain:

a. Penurunan Kualitas Kesehatan

Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang
tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik
bagi berbagai binatang seperti, lalat dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit.
Potensi penyakit yang dapat ditimbulkan antara lain adalah sebagai berikut :
 Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari
sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit
demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di
daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
 Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).

 Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salahsatu contohnya adalah
suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita(taenia). Cacing ini sebelumnya
masuk kedalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa
sisa makanan/sampah.
139

b. Penurunan Kualitas Lingkungan

Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam saluran drainase, saluran irigasi
atau sungai akan mencemari air yang ada. Berbagai organisme termasuk ikan menjadi
terancam keberadaannya dan bahkan bisa lenyap sehingga ekosistem perairan biologis pun
bisa berubah. Penguraian sampah yang di buang ke dalam air akan menghasilkan asam
organik dan gas cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini pada
konsentrasi tinggi dapat meledak.

c. Dampak terhadap Aspek Sosial dan Ekonomi

Dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut :

 Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat


kesehatan masyarakat, yang juga berarti semakin meningkatnya biaya
pemeliharaan kesehatan untuk pengobatan.
 Menurunnya kenyamanan bertempat tinggal akibat penumpukan sampah yang tidak
terkelola dengan baik, dan menciptakan pemandangan yang tidak sedap dan tidak
sehat.
 Penurunan kualitas infrastruktur seperti saluran drainase, irigasi dan jalan akibat
masuknya sampah ke dalam saluran.
 Terganggunya aktivitas ekonomi akibat gangguan polusi baud an visual akibat
pengelolaan sampah yang kurang baik

d. Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3R

Pengelolaan sampah 3R secara umum adalah upaya pengurangan pembuangan


sampah, melalui program menggunakan kembali (Reuse), mengurangi (Reduce), dan
mendaur ulang (Recycle).
 Reuse (menggunakan kembali) yaitu penggunaan kembali sampah secara
langsung,baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain.
 Reduce (mengurangi) yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan
timbulnya sampah.
 Recycle (mendaur ulang) yaitu memanfaatkan kembali sampah setelah
mengalami proses pengolahan.
140
Mengurangi sampah dari sumber timbulan, diperlukan upaya untuk mengurangi sampah
mulai dari hulu sampai hilir, upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi
sampah dari sumber sampah (dari hulu) adalah menerapkan prinsip 3R.

Timbulan Sampah

Sumber Sampah
Sumber sampah dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:

 Sampah dari permukiman, atau sampah rumah tangga

 Sampah dari non-permukiman yang sejenis sampah rumah tangga, seperti dari
pasar, komersial dsb
Sampah dari kedua jenis sumber tersebut dikenal sebagai sampah domestik. Sedang
sampah non-domestik adalah sampah atau limbah yang bukan sejenis sampah rumah
tangga, misalnya limbah dari proses industri. Bila sampah domestik ini berasal dari
lingkungan perkotaandan dikenal sebagai municipal solid waste (MSW).
Dalam pengelolaan persampahan di Indonesia, sampah kota biasanya dibagi berdasarkan
sumbernya, seperti sampah dari:
1) Permukiman atau rumah tangga dan sejenisnya

2) Pasar

3) Kegiatan komersial seperti pertokoan

4) Kegiatan perkantoran: mayoritas berisi sampah kegiatan perkantoran seperti kertas


Hotel dan restoran
5) Kegiatan dari institusi seperti industri, rumah sakit, khusus untuk sampah yang
sejenis dengan sampah permukiman
6) Penyapuan jalan

7) Taman-taman.

Kadang dimasukkan pula sampah dari sungai atau drainase air hujan, yang banyak
dijumpai. Sampah dari masing-masing sumber tersebut mempunyai karakteristik yang
khas sesuai dengan besaran dan variasi aktivitasnya. Timbulan (generation) sampah
masing-masing sumber tersebut bervariasi satu dengan yang lain.
141
Data mengenai timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah merupakan hal yang sangat
menunjang dalam menyusun sistem pengelolaan persampahan di suatu wilayah. Jumlah
timbulan sampah ini biasanya akan berhubungan dengan elemen-elemen pengelolaan
seperti:
 Pemilihan peralatan, misalnya wadah, alat

 pengumpulan, dan pengangkutan

 Perencanaan rute pengangkutan

 Fasilitas untuk daur ulang Luas dan jenis TPA.

Bagi daerah beriklim tropis seperti halnya Kabupaten Kulon Progo, faktor musim
sangat besar pengaruhnya terhadap berat sampah. Dalam hal ini, musim yang dimaksud
adalah musim hujan dan kemarau, tetapi dapat juga berarti musim buah-buahan tertentu.
Disamping itu, berat sampah juga sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya lainnya.
Oleh karenanya, sebaiknya evaluasi timbulan sampah dilakukan beberapa kali dalam satu
tahun. Timbulan sampah dapat diperoleh dengan sampling (estimasi) berdasarkan standar
yang sudah tersedia.
Timbulan sampah bisa dinyatakan dengan satuan volume atau satuan berat. Jika
digunakan satuan volume, derajat pewadahan (densitas sampah) harus dicantumkan. Oleh
karena itu, lebih baik digunakan satuan berat karena ketelitiannya lebih tinggi dan tidak
perlu memperhatikan derajat pemadatan.Timbulan sampah ini dinyatakan sebagai:
 Satuan berat: kg/o/hari, kg/m2/hari, kg/bed/hari, dan sebagainya

 Satuan volume: L/o/hari, L/m2/hari, L/bed/hari, dan sebagainya.

Prakiraan timbulan sampah baik untuk saat sekarang maupun di masa mendatang
merupakan dasar dari perencanaan, perancangan, dan pengkajian sistem pengelolaan
persampahan. Prakiraan timbulan sampah akan merupakan langkah awal yang biasa
dilakukan dalam pengelolaan persampahan. Bagi perkotaan di Kabupaten Kulon Progo,
dalam hal mengkaji besaran timbulan sampah, perlu diperhitungkan adanya faktor
pendaurulangan sampah mulai dari sumbernya sampai di TPA.

142
Tabel 2.1. Besarnya Timbulan Sampah Berdasarkan Sumbernya

Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari hari ke hari, antara satu
daerah dengan daerah lainnya, dan antara satu negara dengan negara lainnya. Variasi ini
terutama disebabkan oleh perbedaan, antara lain:
1) Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya

2) Tingkat hidup: makin tinggi tingkat hidup masyarakat, makin besar timbulan
sampahnya
3) Musim: di negara Barat, timbulan sampah akan mencapai angka minimum pada
musim panas
4) Cara hidup dan mobilitas penduduk

5) Iklim: di negara Barat, debu hasil pembakaran alat pemanas akan bertambah pada
musim dingin
6) Cara penanganan makanannya.

Dari hasil studi, umumnya angka timbulan sampah kota di Indonesia berkisar
antara 2-3 liter/orang/hari dengan densitas 200-300 kg/m3 dan komposisi sampah organik
70-80%. Menurut SNI 19 -3964 -1994, bila pengamatan lapangan belum tersedia, maka
untuk menghitung besaran sistem, dapat digunakan angka timbulan sampah sebagai
berikut:
 Satuan timbulan sampah kota besar = 2 – 2,5 L/orang/hari, atau = 0,4 – 0,5
kg/orang/hari
 Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5 – 2 L/orang/hari, atau = 0,3 – 0,4
kg/orang/hari
Karena timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah tangga, maka
untuk perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut dapat dianggap sudah
meliputi sampah yang ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai kegiatan dan
berbagai lokasi, baik saat di rumah, jalan, pasar, hotel, taman, kantor dsb.
Ketika suatu kota berkembang menjadi besar, maka makin mengecil pula porsi
sampah dari permukiman, dan bertambah besar porsi sampah non-permukiman, sehingga
143
asumsi tersebut di atas perlu penyesuaian, seperti contoh di bawah ini.

Dampak adanya keberadaan Tempat pembuangan Akhir (TPA) terhadap kondisi sosial
masyarakat dapat diketahui dengan pendekatan beberapa aspek.
1. Ekonomi Pengaruh dalam bidang perekonomian masyarakat Dusun Ngablak
dengan adanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yaitu tingkat perekonomian
masyarakat meningkat, taraf hidup masyarakat membaik, mengurangi
penggangguran karena terdapat mata pencaharian baru yaitu pemulung dan
pengepul dan juga sebagai peternak sapi dan kambing.
2. Kesehatan Masyarakat tidak mengeluhkan dengan keberadaan Tempat
Pembuangan Akhir   (TPA) bagi kesehatan mereka. Awalnya masyara‐kat
memang merasa terganggu dengan polusi udara, debu, polusi suara, bau yang
sangat menyengat apalagi saat musim hujan, lalat yang hinggap dan beterbangan
sehingga mengganggu aktivitas mereka, namun setelah beberapa bulan tinggal di
daerah tersebut, warga tidak mempermasa‐lahkan hal ini dan menganggapnya
biasa saja. Pengaruh kesehatan bagi masyarakat sekitar dan pemulung tidak
banyak dirasakan. Hanya terkadang mereka merasakan gatal‐gatal di kulit, batuk‐
batuk, dan sesak. Namun hal tersebut tak dihiraukan dan mereka tetap
bersemangat dalam bekerja tanpa mempedulikan kesehatan mereka. Setiap 1
bulan sekali diadakan pemeriksaan kesehatan gratis oleh Kantor Unit Pengelola
TPA Piyungan bagi masyarakat Dusun Ngablak dan sekitarnya serta untuk
pemulung. Pemeriksaan cek kesehatan gratis dan pemberian obat secara cuma‐
cuma bagi masyarakat Dusun Ngablak dan pemulung. Hal tersebut dilakukan
untuk untuk menjaga kesehatan masyarakat dan mengontrol kesehatan mereka
meskipun mereka tinggal di daerah yang kumuh dan tidak sehat. Pemantauan
terhadap air dan sumur pantau di sumur‐sumur penduduk juga rutin dilakukan.
Pemantauan dilaku‐ kan setiap 3 bulan sekali oleh STTL. Hal tersebut untuk
mengetahui apakah air sumur terkontaminasi dengan cairan limbah dan untuk   
menjaga kehigienis‐an air sumur. Produksi air untuk masyarakat Dusun Ngablak
diambil‐kan dari air PAM yang diambil dari daerah bawah yang jauh dari Tempat
Pembuangan Akhir (TPA).
3. Pendidikan Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Dusun Ngablak adalah
sebagai pemulung. Namun para orang tua tak ingin anak mereka menjadi seperti
mereka sebagai pemulung. Semangat mereka bekerja demi menghidupi keluarga
dan untuk membiayai
144pendidikan anak mereka terlihat dalam peluh yang tak
mereka hiraukan. Pendidikan anak adalah utama meskipun orang tua tak pernah
mendampingi anak bagaimana anak belajar di sekolah maupun dalam pergaulan
kesehariannya. Anak dititip‐kan kepada nenek atau kakek mereka. Pagi hari
sebelum anak berangkat ke sekolah, orang tua sudah berangkat memulung
mengais rejeki dari tumpukan‐tumpukan sampah. Mereka pulang petang hari
ketika anak‐anak sudah tertidur sehingga sedikit sekali orang tua memantau
perkembangan pendidikan anak. Ini memberikan pengaruh dalam pendidikan anak
yaitu kurangnya perhatian dari orang tua karena disibukkan dengan pekerjaan
mereka mengais rejeki di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
4. Lingkungan Dampak bagi lingkungan dari adanya Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) yaitu adanya pencemaran lingkungan, limbah cair mengontaminasi sumur‐
sumur warga, jalan rusak dan berlubang dikarenakan setiap harinya dilalui
sebanyak ±160 truk yang membawa muatan sebanyak 350‐400 ton sampah.
Disamping mengganggu lingkungan, tempat pembuangan Akhir Sampah
menyumbang 10% dari sampah sehingga termanfaatkan. Untuk tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan menekan pencemaran lingkungan berbagai upaya
sudah dilakukan seperti pengelolaan control land fill yaitu sampah datang
kemudian diratakan dan ditimbun tanah. Dengan tawas pengendapan yaitu
mengguna‐kan air raton untuk penampungan dan pengelolaan licit (air besih).
Upaya terakhir yang akan dilakukan adalah memesan alat yang disebut treatment,
jika sudah siap maka bulan September sudah mulai dioperasikan. Cara keja
treatment yaitu dengan mengolah cairan‐cairan limbah yang ada kemudian keluar
air bersih yang aman jika dikonsumsi warga.  
5. Sosial Kemasyarakatan Hubungan sosial kemasyarakatan antar masyarakat
berjalan dengan baik. Kegiatan seperti arisan warga Dusun Ngablak dan
pemulung, gotong royong semua masyarakat Dusun Ngablak berjalan dengan
baik. Untuk kegiatan‐kegiatan sosial kemasyara‐katan semuanya rukun dan baik
tidak ada pembedaan antara pemulung dan masyarakat. Namun untuk hubungan
interaksi antar individu kurang terlihat. Pintu rumah banyak yang tertutup
dikarenakan lalu lintas truk besar, masyarakat sibuk dengan pekerjaan masing‐
masing dari pagi tiba hingga petang menjelang sehingga sedikit komunikasi
dengan antar tetangga. Hubungan masyarakat dengan para petinggi desa juga
tidak terlalu harmonis.
145 Namun hal tesebut kami temui hanya sebagian
kecil  masyara‐kat Dusun Ngablak. Dengan adanya keberadaan tempat
Pembuangan Akhir (TPA) justru membawa persengketaan lahan antara petinggi
desa dan salah satu warga tersebut. Pasalnya, tanah yang dimiliki oleh orang
tersebut berada di area Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan pada akhirnya
tanah tersebut ikut digunakan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Menurut
petinggi desa tersebut, tanah masyarakat yang digunakan untuk Tempat
Pembuangan Akhir akan diganti. Hampir seluruh tanah masyarakat yang
digunakan sebagai Tempat Pembuangan Akhirb (TPA) sudah diganti. Namun
hanya tanah milik bapak X yang belum sepenuhnya diganti. Selang beberapa
tahun, tanah milik bapak X sudah diganti beberapa hektar tanah yang digunakan
namun sisanya belum terpenuhi. Sampai sekarang sejak pertama pembangunan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) masalah itu tak kunjung selesai. Keberadaan
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) memang nyata memberikan dampak terhadap
kondisi sosial bagi masyarakat Dusun Ngablak. Dampak positif yang membuat
martabat mereka terangkat 7 dalam bermasyarakat, penghasilan yang meningkat,
dampak terhadap kondisi desa mereka, dampak pada kehidupan individu masing‐
masing, bahkan dampak yang merugikan sekalipun yang dirasakan beberapa
masyarakat Dusun Ngablak dan pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Lokasi Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Sampah (TPA) berada di Kelurahan Aek Latong
Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Secara Umum lokasi rencana kegiatan
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) berbatasan dengan :

 Sebelah Utara : Hutan

 Sebelah Timur : hutan

 Sebelah Selatan : Perkebunan

 Sebelah Barat : Jalan Lintas Sumatera Lokasi

146 Sampah Sampah (TPA) perancangan tata guna lahan yang


Tempat Tempat Pemrosesan Akhir
memiliki luas ± 5 Ha.
Skala/Besaran Rencana Usaha dan/Kegiatan Skala/besaran usaha dan/atau kegiatan
pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Sampah (TPA yang akan dibangun dengan
menggunakan metode sanitary lanfill. Metode control landfill dianjurkan untuk diterapkan di
kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metoda ini diperlukan penyediaan
beberapa fasilitas diantaranya:

 Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan

 Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan

 Pos pengendalian operasional

 Fasilitas pengendalian gas metan

 Alat berat

Skala/Besaran Usaha dan/atau Kegiatan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu(TPST)

2) Bangunan TPST dan Penggunaan Lahan

Luas Lahan yang akan di alokasikan menjadi kawasan Tempat Pemrosesan Akhir
Sampah Sampah (TPA) tersebut yang terletak di Kecamatan Sipirok merupakan kawasan
yang layak untuk pembangunan TPA sesuai dengan dokumen RTRW Kabupaten Tapanuli
Selatan. Lokasi ini sudah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten
Tapanuli Selatan yang tertuang pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Tapanuli Selatan tahun
2017 – 2037 yakni ± 5 Ha. Pada areal tersebut akan dibangun Tempat Pengelolaan Sampah
Terpadu (TPST) dengan seluruh fasilitasnya berupa:

 Jalan

 Pos Jaga

 Jembatan timbang

 Kantor

 Gudang 147

 IPL
 Workshop

 Area bongkaran

 Area pemilahan

 Area pengomposan

 Area pengurungan terbatas

 Drainase

 Taman/cuci truk/Lainnya

Tata letak bangunan tersebut baik bangunan TPA maupun bangunan fasilitas lainnya
akan dirancang dan disesuaikan dengan kondisi lahan.

Laju Timbulan Sampah

Timbulan Sampah sangat ditentukan oleh seluruh kegiatan atau aktivitas yang
menghasilkan sampah. Damanhuri menyatakan beberapa satuan dalam laju timbulan
sampah sbb:
1) Satuan berat yaitu kilogram per orang per haru atau kilogram per meter persegi
bangunan per hari atau kilogram per tempat tidur per hari (kg/bed/day)
2) Satuan volume yaitu liter per orang per hari (liter/orang/hari), liter per meter
persegi bangunan/hari (liter/m2/hari), dan liter per tempat tidur per hari
(liter/bed/day).

Pengaruh penting timbulan sampah dalam sistem pengelolaan sapah adalah dalam hal:

1) Pemanfaatan personil dan truk pengangkut sampah serta biaya operasional.

2) Monitoring sistem, misalnya penilaian dampak dari kegiatan pencegahan limbah,


aktivitas daur ulang sampah, dst.
148
Berikut adalah besaran timbulan sampah berdasarkan komponen-komponen sumber
sampah sepert dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2. Besaran Timbulan Sampah Permukiman Berdasarkan Komponen-komponen
Sumber Sampah
No Komponen Sampah Satuan Volume Berat (kg)
(liter)
1 Rumah Permanen per 2,25-2,50 0,350-
orang/hari 0,400
2 Rumah per 2,00-2,25 0,300-
orang/hari 0,350
Semi Permanen
3 Rumah Non per 1,75-2,00 0,250-
Permanen orang/hari 0,300
Sumber: SNI 19-3964-1994

Faktor faktor yang Mempengaruhi Timbulan Sampah

a. Lokasi Geografis

Lokasi geografis berkaitan erat dengan keberadaan iklim yang dapat mempengaruhi
jumlah maupun jenis limbah padat yang dihasilkan, sehingga akan berpengaruh pada
metode pengumpulannya. Misalkan, wilayah Kabupaten Kulon Progo yang berada di
pesisir akan banyak sampah yang berhubungan dengan hasil laut, sedangkan wilayah
yang berada di daerah pegunungan akan dominan sisa buah dan sayuran.
b. Musim dalam Setahun

Musim akan berpengaruh pada kuantitas serta jenis limbah misalnya musim buah
durian yang berlangsung secara rutin di Kabupaten Kulon Progo, dimana musim
durian tersebut maka kulit durian akan dominan pada sampah yang dihasilkan.
c. Frekuensi Pengumpulan Sampah

Frekuensi pengumpulan sampah berpengaruh terhadap banyaknya sampah yang dapat


ditangani. Bila sarana pelayanan pengumpulan sampah tersedia, maka semakin tinggi
frekuensi pengumpulan; hal ini berarti akan semakin banyak limbah yang
dikumpulkan; sehingga tidak tampak sampah bertumpuk di TPS maupun bak sampah.

149
d. Pengelolaan pada Sumber Sampah

Aktifitas pada sumber sampah seperti pemilahan, recycle, reuse, pengomposan akan
dapat mereduksi banyaknya sampah yang harus dikelola. Sedangkan penghancuran
sampah makan dan sampah organik dan dialirkan ke saluran air limbah akan
meningkatkan beban pengolahan air limbah.

e. Karakteristik Populasi

Karakteristik populasi berupa kebiasaan atau adat istiadat akan dapat berpengaruh
pada banyaknya limbah padat yang dihasilkan. Misalkan kebiasaan/adat istiadat
masyarakat sering melaksanakan upacara adat, maka akan mempengaruhi
karakteristik sampah. Pola makan masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi makanan
olahan dalam kemasan/awetan maka banyak sampah berupa kaleng, plastik,
styrofoam, dst.

f. Ketentuan Peraturan atau Regulasi

Regulasi lokal maupun nasional yang mengatur penggunaan dan pembuangan


material tertentu, akan mempengaruhi tingkat timbulan dan jenis limbah. Misalkan
untuk mereduksi sampah plastik, ada ketentuan penggunaan tas belanja yang dapat
dipakai berulang. Peraturan atau standar kualitas produk, akan mempengaruhi masa
pakai (life time) suatu produk. Bila barang produk yang digunakan masyarakat
memiliki kualitas tinggi, maka akan awet, tidak mudah rusak, akhirnya tidak mudah
berubah menjadi sampah.

g. Peran Masyarakat

Reduksi limbah dapat terwujud bila masyarakat secara sadar mau merubah kebiasaan
dan pola hidup untuk lebih melindungi sumber daya alam dan mereduksi beban
pengelolaan sampah

Tempat-tempat yang menjadi sumber timbulan sampah permukiman antara lain adalah :
Mempertimbangkan cukup bervariasinya kondisi permukiman yang ada, maka
sebagai sumber timbulan sampah dan untuk mempermudah operasi
pengelolaan persampahan. Pemukiman ini dibedakan atas :
a) Perumahan teratur
150 dengan kriteria :
 Rumah-rumah yang dibangun dengan susunan rapi dan teratur
dilengkapi dengan infrastruktur perkotaan
 Jalan yang dapat dilalui kendaran pengumpulan dan pengangkut.

 Kondisi rumah yang umumnya permanen.

 Tingkat penghasilan masyarakat yang relatif tinggi dan sedang.

 Kepadatan penduduk relatif kurang padat sekitar < 50 jiwa/Ha.

b) Perumahan tidak teratur dengan kriteria :

 Rumah dengan susunan tidak rapi dan tidak teratur.

 Jalan yang relatif sempit sehingga tidak dapat dilalui kendaraan


pengumpul dan pengangkut.

 Kondisi perumahan pada umumnya bersifat non-permanen

 Tingkat penghasilan relatif rendah.

 Kepadatan penduduk relatif tinggi > 50 jiwa/Ha.

Komposisi Sampah

Pengelompokan sampah juga sering dilakukan berdasarkan komposisinya,


misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau % volume (basah) dari
kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan lain-lain. Komposisi
dan sifat -sifat sampah menggambarkan keanekaragaman aktivitas manusia.
Berdasarkan sifat-sifat biologis dan kimianya, sampah dapat digolongkan sebagai berikut:

 Sampah yang dapat membusuk (garbage), seperti sisa makanan, daun, sampah
kebun, sampah pasar, sampah pertanian, dan lain-lain
 Sampah yang tidak membusuk (refuse), seperti plastik, kertas, karet, gelas, logam,
kaca, dan sebagainya
 Sampah yang berupa debu dan abu

Sampah yang mengandung zat-zat kimia atau zat fisis yang berbahaya. Disamping berasal
dari industri atau pabrik-pabrik, sampah jenis ini banyak pula dihasilkan dari kegiatan
kota termasuk dari rumah tangga.

Tabel 2.3. Contoh Timbulan Buangan Padat Domestik Kota


151
Bandung, 1994

Tabel 2.4. Timbulan Sampah di Beberapa Negara

Tabel 2.5. Timbulan Sampah di Beberapa Kota di Indonesia

Tabel 2.6. Komposisi Sampah Domestik

152

Tabel 2.7. Komposisi Sampah di Beberapa Kota (% Berat Basah)

Tabel 2.8. Komposisi Sampah Beberapa Kota di Indonesia Tahun 2003


Komposis Jakart Makassa Surabay Meda Bandun Rata

i a r (%) a (%) n g (%) -

Sampah (%) (%) rata


(%)
Makanan 86,41 85,60 65,60 16,20 83,55 59,47
Kertas 10,11 4,50 13,30 17,50 10,42 11,17
Karton 3,12 0 4,9 0 0 1,68
Plastik & Karet 11,90 7,10 9,00 15,8 9,76 10,71
Logam 1,12 2,30 1,00 3,5 0,95 1,77
Kaca 1,60 0,30 1,00 2,3 1,45 1,33
Tekstil 0,55 0 1,80 0 1,70 0,81
Daun-daun 2,45 0,15 0 32,0 0 6,92
Debu 2,74 0,05 3,40 12,7 12,16 6,21
Total 82,09 90,25 83,80 65,70 73,98 79,16
organik
Total 17,91 9,75 16,20 34,3 26,02 20,84
non

153
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2005

Sampah organik lebih cepat terdegradasi (membusuk), terutama yang berasal dari sisa
makanan. Sampah yang membusuk (garbage ) adalah sampah yang dengan mudah
terdekomposisi karena aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian pengelolaannya
menghendaki kecepatan, baik dalam pengumpulan, pemerosesan, maupun
pengangkutannya. Pembusukan sampah ini dapat menghasilkan yang berbau tidak enak,
seperti ammoniak dan asam-as m volatil lainnya. Selain itu, dihasilkan pula gas-gas hasil
dekomposisi, seperti gas metan dan sejenisnya, yang dapat membahaykan keselamatan bila
tidak ditangani secara baik.
Penumpukan sampah yang cepat membusuk perlu dihindari. Sampah kelompok ini
kadang dikenal sebagai sampah basah, atau juga dikenal sebagai sampah organik.
Kelompok inilah yang berpotensi untuk diproses dengan bantuan mikroorganisme,
misalnya dalam pengomposan atau gasifikasi, atau cara-cara lain seperti sebagai pakan
ternak.
Sampah yang tidak membusuk atau refuse pada umumnya terdiri atas bahan-
bahan kertas, logam, plastik, gelas, kaca, dan lain-lain. Refuse sebaiknya didaur ulang,
apabila tidak maka diperlukan proses lain untuk memusnahkannya, seperti pembakaran.
Namun pembakaran refuse ini juga memerlukan penanganan lebih lanjut, dan berpotensi
sebagai sumber pencemaran udara yang bermasalah, khususnya bila mengandung plastik.
Kelompok sampah ini dikenal pula sebagai sampah kering, atau sering pula disebut
sebagai sampah anorganik.
Abu debu di negara tropis seperti Indonesia, banyak berasal dari penyapuan jalan- jalan
umum. Selama tidak mengandung zat beracun, abu tidak terlalu berbahaya terhadap
lingkungan dan masyarakat. Namun, abu yang berukuran <10 µm dapat memasuki saluran
pernafasan dan menyebabkan penyakit pneumoconiosis.
Sampah berbahaya adalah semua sampah yang mengandung bahan beracun bagi
manusia, flora, dan fauna. Sampah ini pada umumnya terdiri atas zat kimia organik
maupun anorganik serta logam – log a m berat, yang kebanyakan merupakan buangan
industri. Sampah jenis ini sebaiknya dikelola oleh suatu badan yang berwenang dan
154 dengan peraturan yang berlaku. Sampah jenis ini tidak
dikeluarkan ke lingkungan sesuai
dapat dicampurkan dengan sampah kota biasa.
Komposisi sampah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor:
 Cuaca: di daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban sampah juga akan
cukup tinggi
 Frekuensi pengumpulan: semakin sering sampah dikumpulkan maka semakin tinggi
tumpukan sampah terbentuk. Tetapi sampah organik akan berkurang karena
membusuk, dan yang akan terus bertambah adalah kertas dan dan sampah kering
lainnya yang sulit terdegradasi

 Musim: jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang sedang
berlangsung Tingkat sosial ekonomi: Daerah ekonomi tinggi pada umumnya
menghasilkan sampah yang terdiri atas bahan kaleng, kertas, dsb
 Pendapatan per kapita: Masyarakat dari tingkat ekonomi lemah akan menghasilkan
total sampah yang lebih sedikit dan homogen
 Kemasan produk: kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan
mempengaruhi. Negara maju seperti Amer ika tambah banyak yang menggunakan
kertas sebagai pengemas, sedangkan negara berkembang seperti Indonesia banyak
menggunakan plastik sebagai pengemas.

Dengan mengetahui komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan yang tepat dan
yang paling efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya. Tambah sederhana
pola hidup masyarakatnya, tambah banyak komponen sampah organik (sisa makanan,
dsb). Suatu penelitian (1989) yang dilakukan di beberapa kota di Jawa Barat
menggambarkan hal tersebut dalam skala kota. Tambah besar dan beraneka ragam
aktivitas sebuah kota, maka tambah kecil proporsi sampah yang berasal dari kegiatan
rumah tangga, yang umumnya didominasi sampah organik. Pemukiman merupakan
sumber sampah terbesar dengan komposisi sampah basah atau sampah organik sebesar 73-
78%. Dengan kondisi seperti itu disertai kelembaban sampah yang tinggi, maka sampah
akan sangat cepat membusuk.

Tabel 2.9. Tipikal Komposisi Sampah Pemukiman (% berat basah)

155
Karakteristik Sampah

Selain komposisi, maka karakteristik lain yang biasa ditampilkan dalam


penanganan sampah adalah karakteritik fisika dan kimia. Karakteristik tersebut sangat
bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah. Kekhasan sampah dari

berbagai tempat/daerah serta jenisnya yang berbeda-beda memungkinkan sifat-sifat yang


berbeda pula. Sampah kota di negara-negara yang sedang berkembang akan berbeda
susunannya dengan sampah kota di negara-negara maju.
Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya, seperti:

 Karakteristik fisika: yang paling penting adalah densitas, kadar air, kadar volatil,
kadar abu, nilai kalor, distribusi ukuran.
 Karakteristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah
tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S, dsb.
Densitas sampah akan tergantung pada sarana pengumpul dan pengangkut yang
digunakan, biasanya untuk kebutuhan desain digunakan angka:
 Sampah di wadah sampah rumah: 0,01 – 0,20 ton/m3

 Sampah di gerobak sampah: 0,20 – 0,35 ton/m3

 Sampah di truk terbuka: 0,25 – 0,40 ton/m 3

 Sampah di TPA dengan pemadaran konvensional = 0,50 – 0,60 ton/m3 .

Informasi mengenai komposisi sampah diperlukan untuk memilih dan menentukan cara
pengoperasian setiap peralatan dan fasilitas-fasilitas lainnya dan untuk memperkirakan
kelayakan pemanfaatan kembali sumberdaya dan energi dalam sampah, serta untuk
perencanaan fasilitas pemerosesan akhir.

A. Komposisi Sampah
Menurut SNI 19-3964-1995, komponen komposisi sampah adalah komponen fisik sampah
seperti, sisa-sisa makanan, kertas-karton, kayu, kaintekstil, karet-kulit, plastik, logam besi-
non besi, kaca dan lain-lain (misalnya tanah, pasir, batu dan keramik).
Komposisi Sampah Domestik Kategori
156 sampah % berat % volume Kertas dan bahan-bahan
kertas 32,98 62,61 Kayu/produk dari kayu 0,38 0,15 Plastik, kulit dan produk karet 6,84 9,06
Kain dan produk tekstil 6,36 5,1 Gelas 16,06 5,31 Logam 10,74 9,12 Bahan batu, pasir 0,26
0,07 Sampah organik 26,38 8,58.
Menurut Pedoman umum 3R Kementrian PU 2008, secara umum komposisi sampah dapat
dibedakan dalam beberapa komponen yaitu:
- Sampah Organik; yang dapat terdiri dari sisa makanan dan daun
- Sampah Kertas; yang dapat berupa kardus, karton, kertas HVS, kertas Koran, dll.
- Sampah Plastik; baik berupa kantung plastik, botol plastik bekas kemasan, jerigen, dll.
- Sampah Kayu; baik berupa potongan kayu, furnitur bekas, dll - Sampah Karet; baik berupa
ban bekas, lembaran karet, dll
- Sampah Kulit; yang dapat berupa lembaran, potongan kulit dll
- Sampah Kaca/beling; baik berupa potongan kaca, botol kaca, gelas kaca, dll
- Sampah kain/perca; yang dapat berupa potongan kain, atau pakaian bekas/rusak,dll
- Sampah lain-lain; yang dapat berupa pecahan keramik, dan sisa sampah yang tidak
termasuk dalam kategori diatas
- Sampah B3 rumah tangga; dapat berupa batu baterai bekas, kaleng bekas kemasan
insektisida, lampu TL/Neon, kaleng bekas cat, hair spray, obat-obatan kedaluarsa, dan lain
sebagainya.
Menurut Damanhuri dan Padmi (2010). komposisi sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor:
- Cuaca : di daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban sampah juga akan tinggi.
- Frekuensi pengumpulan: semakin sering sampah di kumpulkan maka semakin tinggi
tumpukan sampah terbentuk. Tapi sampah basah akan berkurang karena membusuk dan yang
akan terus bertambah adalah kertas dan sampah kering lainnya yang sulit terdegradasi.
- Musim: jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang berlangsung. Tingkat
sosial ekonomi: daerah ekonomi tinggi umumnya menghasilkan sampah yang terdiri atas
bahan kaleng, kertas, dan sebagainya.
- Pendapatan perkapita: masyarakat dari tingkat ekonomi lemah akan menghasilkan total
sampah yang lebih sedikit dan homogen.
- Kemasan produk: kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan mempengaruhi.
Negara maju seperti Amerika tambah banyak yang menggunakan kertas sebagai pengemas,
sedangkan negara berkembang seperti Indonesia banyak menggunakan plastik sebagai
pengemas.
Pengelompokan sampah yang sering
157 dilakukan adalah berdasarkan komposisinya, misalnya
dinyatakan sebagai % berat atau % volume dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam,
kaca, kain, makanan dan lain-lain. Cara pengolahan yang tepat dan yang paling efesien dapat
ditentukan apabila diketahui komposisi sampahnya, sehingga dapat diterapkan proses
pengolahannya.
Tipikal Komposisi Sampah Domestik( % berat Basah) Komposisi Pemukiman (Low income)
Pemukiman (Midle income) Pemukiman (high income) Kertas 1-10 15-40 15-40 Kaca,
keramik 1-10 1-10 4-10 Logam 1-5 1-5 3-13 Plastik 1-5 2-6 2-10 Kulit, karet 1-5 - - Kayu 1-
5 - - Tekstil 1-5 2-10 2-10 Sisa makanan 40-85 20-65 20-50 Lain-lain 1-40 1-30 1-20
Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2010.

Komposisi Sampah Di Kota Padang


Sampah berdasarkan sumbernya secara garis besar dapat dikelompokkan atas sampah
domestik dan sampah non domestik. Sampah non domestik terdiri atas sampah komersil,
sampah industri, sampah institusi, sampah bangunan, sampah pelayanan kota, lumpur
instalasi pengolahan dan sisa-sisa lain, dan sampah pertanian (Tchobanoglous, 1993).
Kota Padang merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Barat yang mempunyai luas
694,96 km2 dan seperti kota-kota lainnya, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Kota
Padang adalah masalah persampahan. Pengelolaan persampahan di Kota Padang telah
dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Padang sejak tahun 1985.
Pengelolaan persampahan di Kota Padang telah dikelola oleh Dinas Kebersihan dan
Pertamanan (DKP) Kota Padang sejak tahun 1985. Kota Padang belum memiliki data
timbulan dan komposisi sampah yang lengkap, terutama dari berbagai sumber
Untuk itu dilakukan penelitian satuan timbulan sampah dan komposisi sampah Kota
Padang dari berbagai sumber. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya dan memperoleh
data terbaru mengenai timbulan dan komposisi sampah institusi yang lebih representatif dan
sesuai dengan SNI 19-3964-1994, serta melihat kecenderungan perubahan timbulan dan
komposisi sampah institusi selama kurun waktu lima tahun terakhir, maka dilakukan
penelitian untuk menentukan timbulan dan komposisi sampah institusi Kota Padang. Hal ini
sesuai dengan SNI 19-3964-1994, bahwa penelitian tentang timbulan dan komposisi sampah
paling lama dilakukan lima tahun sekali. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi
data rata-rata timbulan dan komposisi sampah total Kota Padang.
Tahapan penelitian ini terdiri atas:
1. Studi literatur Studi literatur bertujuan untuk memperdalam dan mempertajam teori
dasar yang berhubungan158
dengan timbulan dan komposisi sampah yang diperoleh dari
buku-buku referensi, jurnal dan penelitian sebelumnya.
2. Pengumpulan data sekunder Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini
antara lain gambaran umum Kota Padang seperti jumlah penduduk, luas daerah, peta
topografi, dan mengidentifikasi jumlah sarana institusi berupa sarana pendidikan,
sarana kesehatan dan perkantoran yang ada di Kota Padang.
3. Pengumpulan data primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara
penyebaran kuisioner dan pengambilan sampel (sampling). Penyebaran kuisioner
diperlukan untuk mendapatkan informasi tambahan yang dapat menunjang data
sampling. Prosedur dan frekuensi sampling dilakukan berdasarkan metode SNI 19-
3964-1994 selama 8 hari berturut-turut. Jumlah sampel yang didapatkan pada
penelitian ini berdasarkan perhitungan SNI 19-3964-1994 adalah 37 unit yang terdiri
atas 13 unit sarana pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi), 11 unit
sarana kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) dan 13 unit perkantoran (kantor besar,
kantor menengah dan kantor kecil), dengan sampling ratio 0,025, PSE 2,092 dan
keandalan survei 97,971 %.

Sampel yang diambil adalah sampah yang dihasilkan oleh sarana institusi selama
satu hari, kemudian dilakukan pengukuran volume dan berat sampah dari masing-masing
sampel serta pemilahan sampah berdasarkan komponennya. Data yang diperoleh di
lapangan diolah menggunakan rumus sesuai referensi untuk memperoleh data keluaran
berupa timbulan dalam satuan volume (l/o/h atau l/m2/h) atau dalam satuan berat (kg/o/h
atau kg/m2/h) yang telah dikoreksi menggunakan faktor koreksi serta data berupa
komposisi sampah dalam persentase berat basah.

Pengolahan dan analisis data

159
Rata-Rata Timbulan Sampah Institusi Kota Padang

Penelitian timbulan sampah institusi Kota Padang ini telah memperhitungkan faktor
koreksi dan jumlah sampah yang dipisahkan di sumber. Faktor koreksi digunakan untuk
mengoreksi timbulan sampah harian yang diperoleh sedangkan jumlah sampah yang
dipisahkan di sumber ditambahkan terhadap timbulan sampah yang ditimbulkan perharinya
sehingga timbulan sampah yang diperoleh mewakili jumlah sampah keseluruhan dari
masing- masing sumber institusi. Rata-rata timbulan sampah institusi Kota Padang
pada penelitian ini ditentukan berdasarkan rata-rata timbulan sampah dari masing-masing
jenis institusi. Timbulan ini dinyatakan dalam satuan volume (l/o/h dan l/m 2/h) dan satuan
berat (kg/o/h dan kg/m2/h).

Dari hasil pengolahan data didapatkan rata- rata satuan timbulan sampah institusi
Kota Padang yaitu 1,374 l/o/h (0,161 l/m 2/h) dalam satuan volume atau 0,109 kg/o/h (0,009
160
kg/m2/h dalam satuan berat. Sumber sampah yang memberikan kontribusi besar dalam
satuan volume berasal dari sampah perkantoran (1,990 l/o/h), sedangkan dalam satuan berat
berasal dari sampah sarana kesehatan (0,209 kg/o/h). Hal ini disebabkan karena sarana
kesehatan menghasilkan sampah medis yang mempunyai berat jenis lebih besar
dibandingkan komponen sampah lainnya. Sampah medis yang ditemukan berupa jarum
suntik, pisau bedah, botol infus, kapas, obat-obatan, darah dan cairan dari hasil tindakan
medis. Timbulan sampah institusi Kota Padang dalam satuan volume dan satuan berat untuk
masing-masing jenis institusi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-Rata Satuan Timbulan Sampah Institusi Kota


Padang
Timbulan Timbulan
No Sarana Institusi Dalam Dalam
Satuan Volume Satuan Berat
l/o/h l/m2/ kg/o/ kg/m2/
h h h
1 Sarana Pendidikan 0,412 0,299 0,019 0,012
2 Sarana Kesehatan 1,718 0,075 0,209 0,009
3 Perkantoran 1,990 0,103 0,100 0,005
Rata-Rata Timbulan Sampah 1,374 0,161 0,109 0,009
Institusi

Terjadi peningkatan rata-rata satuan timbulan sampah institusi Kota Padang Tahun
2008 (1,374 l/o/h) dibandingkan rata-rata satuan timbulan sampah institusi Kota Padang
Tahun 2003 (1,330 l/o/h), tetapi tidak signifikan. Peningkatan satuan timbulan sampah Kota
Padang selama kurun waktu lima tahun disebabkan karena adanya peningkatan fasilitas
sarana institusi di Kota Padang. Dibandingkan dengan penelitian di kota lain, satuan
timbulan sampah institusi Kota Padang pada penelitian ini juga lebih besar dibandingkan
dengan satuan timbulan sampah institusi Kota Bukittinggi 1,13 l/o/h, Padang Panjang 0,70
l/o/h dan Solok 0,71 l/o/h.. Hal ini disebabkan karena Kota Padang termasuk kategori kota
besar, sedangkan Bukittinggi, Padang Panjang dan Solok termasuk kategori kota sedang
dan kecil.

Selain itu Kota Padang juga merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Barat yang
menjadi pusat segala aktivitas baik bisnis, pendidikan, pelayanan publik dan pemerintahan
di Propinsi Sumatera Barat. Perbandingan timbulan sampah institusi Kota Padang yang
161
didapatkan dari penelitian ini dengan hasil penelitian di kota lain dapat dilihat pada Tabel
2.
Satuan timbulan sampah institusi Kota Padang perhari dalam satuan volume atau
satuan berat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada hari kerja (Senin – Jumat).
Namun satuan timbulan sampah institusi Kota Padang pada hari Sabtu dan Minggu lebih
sedikit dibandingkan hari lainnya karena pada hari ini sarana pendidikan dan perkantoran
tidak terdapat aktivitas seperti hari-hari lainnya. Pola data timbulan sampah institusi Kota
Padang perhari dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Tabel 2. Perbandingan Rata-Rata Satuan Timbulan Sampah Institusi Kota Padang


dengan Hasil Penelitian Kota Lainnya di Sumatera Barat

Timbulan Sampah Institusi (l/o/h)


Padang
Sarana Institusi Padan Padang Bukittingg Solok
c
g a)
ib) Panjang d)
)

Sekolah 0,350 0,334 - - -


Perguruan Tinggi 0,475 0,431 - - -
Rata-rata sarana 0,412 0,382 0,35 0,170 0,180
pendidikan
Rumah sakit 3,257 3,256 1,540 0,14 1,23
Puskesmas 0,180 0,080 - - -
Rata-rata sarana 1,718 1,668 1,540 0,14 1,23
kesehatan
Kantor besar 2,590 - - - -
Kantor menengah 2,058 - - - -
Kantor kecil 1,323 - - - -
Rata-rata perkantoran 1,990 1,941 1,510 1,780 0,720
Rata-rata institusi 1,347 1,330 1,130 0,700 0,710

a)
Sumber: Onesta, 2003 b)Mailisa, 2004 c)Wahyudi, 2006 d)Novalita, 2002

162

2.000 0.150
1.600 0.120

Timbula n Ra ta - Ra ta ( kg /o/h)
Timbula n Ra ta - Ra ta ( l/o/h)
1.200 0.090

0.800 0.060

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu
Hari Hari
0.400 0.030

Gambar 2. Timbulan Sampah Institusi Gambar 3. Timbulan Sampah


0.000
Institusi
0.000
Kota Padang Perhari Dalam Satuan Volume Kota Padang Perhari Dalam
Satuan Berat

Rata-Rata Komposisi Sampah Institusi Kota Padang

Berdasarkan komposisi sampah masing- masing sumber sarana institusi yang telah dihitung
maka diperoleh rata-rata komposisi sampah institusi Kota Padang sebesar 94,42 % sampah
organik berupa 34,39 % sampah makanan; 14,19 % kertas; 14,92 % plastik; 1,48 %
tekstil; 0,08 %
karet; 29,12% sampah halaman, 0,25 % kayu dan 5,58 % sampah anorganik berupa 0,82 %
kaca; 1,32 % kaleng dan 3,44 %

sampah lain-lain (baterai, pematik, seng, tembaga dan sampah medis). Sampah organik
merupakan sampah yang mendominasi komposisi sampah institusi karena semua kategori
sarana institusi juga didominasi oleh sampah organik (89 – 98
%). Jika dilihat berdasarkan kategori sarana institusi maka sampah organik terbesar
dihasilkan dari perkantoran yaitu sebesar 97,22 % dan sampah anorganik terbesar
dihasilkan dari sarana kesehatan (10,66 %). Sampah organik terbesar dihasilkan oleh
perkantoran karena aktivitas yang terjadi pada perkantoran cukup beragam dan lebih
dominan menghasilkan sampah organik seperti sampah makanan, kertas, plastik dan
sampah halaman, sedangkan sampah anorganik terbesar dihasilkan dari sarana kesehatan
karena fungsi utama sarana kesehatan adalah sebagai tempat pengobatan sehingga banyak
dihasilkan sampah medis yang digolongkan pada sampah anorganik. Untuk lebih jelasnya,
rata-rata komposisi sampah institusi Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 4.

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa komposisi sampah kertas terbesar dihasilkan dari
perkantoran karena pada perkantoran berlangsung aktivitas yang cukup beragam yang
menghasilkan sampah kertas. Komposisi sampah plastik terbesar dihasilkan dari sarana
pendidikan karena pada sarana ini juga terdapat lebih banyak aktivitas komersil yang
kebanyakan menghasilkan sampah plastik. Sampah anorganik terbesar dihasilkan dari
sarana kesehatan karena pada sarana ini dihasilkan sampah medis.
163

Tabel 3. Rata-Rata Komposisi Sampah Institusi Kota Padang


Komposisi Sampah (%)
Sarana Sarana
Perkantora Rata-Rata
Komponen Pendidik Kesehat n
Sampah an an
Organik :
Sampah makanan 33,75 42,84 26,57 34,39
Kertas 9,76 12,37 20,43 14,19
Plastik 20,19 13,70 10,86 14,92
Tekstil 0,19 2,47 1,80 1,48
Karet 0,04 0,06 0,14 0,08
Sampah halaman 32,43 17,90 37,03 29,12
Kayu 0,34 0,01 0,39 0,25
Total organik 96,71 89,34 97,22 94,42
Anorganik :
Kaca 0,31 0,44 1,69 0,82
Kaleng 2,98 0,51 0,49 1,32
Lain-lain 0,00 9,71 0,60 3,44
Total anorganik 3,29 10,66 2,78 5,58
Total 100 100 100 100

Kaleng 1,32% Lain-lain 9,71%


Sampah Makanan 34,39%
Kaca 0,82%
Kayu 0,25%

Sampah Halaman
Kertas 14,19%
29,12%
Karet 0,08%

Plastik 14,92%
Tekstil 1,48%

Gambar 4. Rata-rata Sampah Institusi Kota Padang

Komposisi sampah organik dan anorganik setiap harinya relatif sama. Komposisi sampah
organik yang paling mendominasi seperti sisa makanan, plastik, dan sampah halaman tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan setiap harinya, namun untuk sampah kertas dapat
dilihat bahwa pada hari Minggu terdapat perbedaan komposisi yang cukup besar
dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Penurunan komposisi sampah kertas ini disebabkan
karena pada sarana pendidikan dan perkantoran tidak ada aktivitas seperti pada hari-hari
164
lainnya karena hari tersebut merupakan hari libur. Komposisi sampah organik terbesar
dihasilkan pada hari Minggu karena pada hari tersebut komponen sampah halaman
mengalami peningkatan komponen sampah halaman karena hari Minggu dimanfaatkan
untuk membersihkan area institusi.

Kajian Awal Pengolahan Sampah Institusi Kota Padang

Berdasarkan data timbulan dan komposisi sampah institusi Kota Padang yang didapatkan
dari penelitian ini, pengolahan sampah yang dapat dilakukan untuk mengurangi volume
sampah antara lain:

1. Daur Ulang (Recycle)


Proses recycling merupakan upaya untuk memanfaatkan material yang masih berguna
untuk digunakan kembali dan secara tidak langsung proses ini dapat memperpanjang
umur pakai TPA. Dari hasil penelitian komposisi sampah institusi Kota Padang
didapatkan hanya komponen sampah kertas dan plastik lebih efektif untuk didaur ulang
karena komposisinya yang cukup besar (±14%). Sampah kaca dan logam belum bisa
didaur ulang karena jumlahnya sedikit dan jika diolah dalam skala kecil kurang
ekonomis. Jika dihitung berdasarkan timbulan sampah institusi Kota Padang tahun
2008 yaitu 1149,64 m3/h, maka total sampah institusi yang dapat didaur ulang adalah
sekitar 231,16 m3/h atau 20,11%.

2. Pengomposan (Composting)
Komposisi sampah organik berupa sampah makanan 34,39 % dan sampah halaman
29,12 % untuk sampah institusi Kota Padang cukup besar, sehingga sangat mendukung
untuk dilakukannya metode pengomposan. Pengomposan bertujuan untuk
mengurangi timbulan sampah di TPA

Agar proses pengomposan dapat terlaksana dengan baik maka perlu dilakukan
pemisahan sampah di sumber. Jika dihitung berdasarkan timbulan sampah institusi
Kota Padang tahun 2008 yaitu 1149,64 m 3/h, maka total sampah institusi yang dapat
dijadikan bahan baku kompos adalah sekitar 146,03 m3/h atau 12,70%.

3. Pembakaran (insinerasi)
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan komposisi sampah medis cukup besar dari
165
sarana kesehatan. Insinerasi merupakan jalan keluar untuk memusnahkan sampah medis
karena sampah medis dapat membahayakan jika dibuang ke TPA. Berdasarkan timbulan
sampah institusi Kota Padang tahun 2008 yaitu 1149,64 m3/h, maka total sampah
institusi yang dibakar dengan insinerator adalah sekitar 39,55 m3/h atau 3,44%.
Hasil perhitungan perkiraan potensi daur ulang dan potensi pengomposan ini menggunakan
data tingkat daur ulang sampah hasil penelitian BPPT tahun 1990 degan tingkat daur ulang
sampah kertas 71,20%, sampah plastik 67,05%, sampah makanan dan sampah halaman
masing- masing 20%. Untuk lebih jelas perkiraan potensi daur ulang dan potensi
pengomposan sampah institusi Kota Padang tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel
5.

Tabel 4. Potensi Daur Ulang Sampah Institusi Kota Padang Tahun 2008
Volume
Volu
Komponen Komposi Tingkat Sampah
N me
Sampah si Sampah Daur yang Didaur
o Sampa
(%) Ulang Ulang
h
(%)* (m3/h)
(m3/h)
1 Kertas 14,1 163,1 71,2 116,1
9 3 0 5
2 Plastik 14,9 171,5 67,0 115,0
2 3 5 1
Total sampah yang didaur ulang 231,1
6
*
Sumber: BPPT, 1990

Tabel 5. Potensi Pengomposan Sampah Institusi Kota Padang Tahun


2008
Volume
Volu
Komponen Komposi Tingkat Sampah
N me
Sampah si Sampah Daur yang
o Sampa
(%) Ulang Didaur
h
(%)* Ulang
(m3/h)
(m3/h)
1 Sampah 34,39 395,36 20 79,07
makanan
2 Sampah 29,12 334,78 20 66.96
166
halaman
Total sampah yang dikompos 146,0
3
Sumber: * BPPT, 1990
Dari hasil penelitian timbulan dan komposisi sampah institusi Kota Padang dapat diambil
simpulan sebagai berikut:

Timbulan sampah institusi Kota Padang adalah 1,374 l/o/h (0,159 l/m2/h) untuk
satuan volume atau 0,109 kg/o/h (0,009 kg/m2/h) untuk satuan berat.

Timbulan sampah institusi berdasarkan masing-masing sumber institusi berupa sarana


pendidikan adalah 0,412 l/o/h (0,299 l/m2/h) dalam satuan volume atau 0,019 kg/o/h atau
0,012 kg/m2/h dalam satuan berat, sarana kesehatan adalah 1,712 l/o/h (0,075 l/m2/h) dalam
satuan volume atau 0,209 kg/o/h (0,009 kg/m2/h) dalam satuan berat, dan perkantoran
adalah 1,990 l/o/h (0,103 l/m2/h) dalam satuan volume atau 0,100 kg/o/h (0,005 kg/m2/h)
dalam satuan berat.

Rata-rata timbulan sampah institusi Kota Padang perhari dalam satuan volume atau satuan
berat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada hari kerja (Senin- Jumat), namun
terjadi penurunan timbulan sampah pada hari Sabtu dan Minggu dikarenakan untuk sarana
pendidikan dan perkantoran tidak terdapat aktivitas seperti hari-hari lainnya.

Komposisi sampah institusi Kota Padang didominasi oleh sampah organik sebesar 94,42 %
yang terdiri atas 34,39 % sampah makanan; 14,19 % kertas; 14,92 % plastik; 1,48 % tekstil;
0,08 % karet; 29,12 % sampah halaman dan 0,25 kayu 2,17 dan sampah anorganik sebesar
5,58 %

yang terdiri dari 0,82 % kaca; 1,32 % kaleng dan 3,34 % sampah lain-lainnya (tembaga,
alat pematik, non logam dan sampah medis).

Komposisi sampah institusi Kota Padang untuk masing-masing komponen sampah relatif
sama setiap harinya, kecuali untuk sampah kertas yang mengalami penurunan dan sampah
halaman mengalami peningkatan pada hari Sabtu dan Minggu.

Satuan timbulan sampah institusi Kota Padang pada penelitian ini relatif sama dengan
satuan timbulan sampah institusi Kota Padang tahun 2003, demikian juga dengan
komposisi sampah institusi Kota Padang yang didominasi oleh sampah organik.
167
Dari kajian awal yang dilakukan, maka pengolahan sampah institusi Kota Padang yang
diusulkan adalah daur ulang (recycle) untuk sampah kertas dan plastik, pengomposan
untuk sampah makanan dan sampah halaman, serta pembakaran (insinerasi) untuk sampah
medis.

B. Jenis-Jenis Sampah

a. Pengertian Sampah
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang
berbentuk padat (Depkes RI, 2008). Sampah merupakan bahan padat buangan dari kegiatan
rumah tangga, pasar, perkantoran, rumah penginapan, hotel, rumah makan, industri, puingan
bahan bangunan dan besibesi tua bekas kendaraan bermotor.
Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang sudah terpakai (Sucipto,
2012). Setiap aktivitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau
volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi terhadap barang atau material yang
digunakan seharihari (Sejati, 2009).
b. Sumber Sampah
Sampah dapat bersumber dari berbagai aktivitas seperti rumah tangga, sampah pertanian,
sampah sisa bangunan, sampah dari perdagangan dan perkantoran, serta sampah dari industri.
Sampah yang paling banyak dihasilkan berasal dari sampah rumah tangga (Suwerda, 2012).
c. Jenis Sampah
Menurut Sejati (2009) sampah dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
1) Sampah organik atau basah Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk
hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, sisa buah. Sampah
jenis ini dapat terdegradasi (membususk atau hancur) secara alami.
2) Sampah anorganik atau kering Sampah kering adalah sampah yang tidak dapat
terdegradasi secara alami. Contohnya : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol, kaca.
3) Sampah berbahaya Sampah jenis ini berbahaya bagi manusia. Contohnya : baterai, jarum
suntik bekas, limbah racun kimia, limbah nuklir. Sampah jenis ini memerlukan penanganan
khusus.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, jenis sampah yang dikelola terdiri atas :
1) Sampah rumah tangga Sampah
168yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga,
tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
2) Sampah sejenis sampah rumah tangga Sampah yang berasal dari kawasan komersial,
kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan atau fasilitas lainnya.
3) Sampah spesifik Sampah yang mengandung B3, limbah B3, sampah yang timbul akibat
bencana, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah dan
atau sampah yang timbul secara tidak periodik
d. Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk menangani sampah sejak
ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir (Sejati, 2009). Spesifikasi timbulan sampah
menurut SK SNI S-04-1993-03 untuk kota sedang sebesar 2,75- 3,25 liter/orang/hari atau 0,7-
0,8 kg/orang/hari dan 1 kg/orang/hari untuk kota besar. Sedangkan menurut SNI 19-3983-
1995 besar timbulan sampah kota kecil sebesar 2,5-2,75 liter/orang/hari atau 0,625-0,70
kg/orang/hari.
Kegiatan penanganan sampah seperti yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, meliputi :
1) pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis,
jumlah, dan atau sifat sampah
2) pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke
tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu
3) pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke
tempat pemrosesan akhir
4) pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah
5) pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
e. Pengelolaan Sampah Terpadu
Menurut Swadaya (2008), konsep dari pengelolaan sampah terpadu terdiri dari beberapa
tahapan, yakni cegah atau reduce (mencegah atau meminimalisir penggunaannya), reuse
(memperpanjang masa pemakaian atau memanfaatkan kembali), recycle (mendaur ulang
sampah menjadi barang baru), energy recovery (menangkap energi yang ada pada sampah
atau menjadikan sampah sebagai sumber energi alternatif), disposal (membuang sampah
merupakan alternatif terakhir jika memang segala cara yang sudah disebutkan tadi telah
dioptimalkan). Berikut ini merupakan pengolahan sampah terpadu yang dapat dilakukan
masyarakat. 169
1) Integrated Rubbish Managing Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu merupakan sistem
yang mengkombinasikan berbagai cara pengelolaan sampah seperti daur ulang, recycling
center, pengomposan, perubahan image pemulung, pembuatan kerajinan sampah, sampai
dengan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (Sejati, 2009).
2) Sistem Node, Sub Point, dan Centre Point Sistem ini merupakan inovasi dari sistem
pengolahan sampah secara terpadu dan profesional caranya dengan melakukan pembagian
area berdasarkan centre, sub point, dan node. Pengolahan yang dimaksud di sini adalah
mengubah sampahsampah organik yang telah dikumpulkan menjadi bahan daur ulang yang
siap dipakai (Sejati, 2009).
3) Pengelolaan Sampah dengan Sistem Mandiri dan Produktif Pengelolaan sampah yang
melibatkan peran serta masyarakat untuk bersama-sama mengelola sampah. Sistem ini
menekankan kemandirian masyarakat dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan, dan
tidak harus selamanya bergantung dari Pemerintah. Terkait dengan pemberdayaan
masyarakat maka diperlukan beberapa hal penting diantaranya menumbuhkan inisiatif lokal,
menguatkan partisipasi masyarakat, membangun kerjasama dengan stakeholders (Rahmawati
dkk, 2017).
Selain itu sistem ini menekankan pada pentingnya memilah dari rumah tangga, yaitu dengan
tiga kantong tempat sampah. Setiap rumah tangga memisahkan sampah sesuai jenisnya,
seperti sampah plastik, kertas, dan kaleng. Sampah bungkus atau sachet dimanfaatkan
menjadi produk daur ulang seperti tas, dompet, tempat koran. Sampah anorganik lainnya bisa
dijual. Sampah organik yang dihasilkan selanjutnya dimasukkan ke dalam tong atau gentong
untuk dijadikan kompos.
4) Pengelolaan Sampah dengan Bank Sampah Bank Sampah adalah suatu tempat dimana
terjadi kegiatan pelayanan terhadap penabung sampah yang dilakukan oleh teller bank
sampah. Ruangan bank sampah dibagi dalam tiga ruang atau loker tempat menyimpan
sampah yang ditabung, sebelum diambil oleh pengepul atau pihak ketiga (Suwerda, 2012).
Pada prinsipnya pelayanan di bank sampah sama seperti di bank pada umumnya, bedanya
adalah yang ditabung ini adalah sampah. Jadi dari rumah tangga sudah dipilah sesuai jenisnya
lalu dibawa ke bank sampah untuk ditabung. Bank sampah juga melakukan pengelolaan
sampah dengan memberdayakan masyarakat. Masyarakat diajarkan mendaur ulang sampah,
membuat kompos sampai sampah tersebut menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi.

2. Sampah Plastik
a. Pengertian Sampah Plastik 170
Menurut Kumar (2011), plastik adalah salah satu makromolekul yang dibentuk dengan proses
polimerisasi. Polimerisasi adalah proses penggabungan beberapa molekul sederhana
(monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar (makromolekul atau polimer).
Plastik merupakan senyawa polimer yang unsur penyusun utamanya adalah Karbon dan
Hidrogen. Untuk membuat plastik, salah satu bahan baku yang sering digunakan adalah
naphta, yaitu bahan yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi atau gas alam. Plastik
merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk pembuatan peralatan rumah
tangga, otomotif dan sebagainya (Sucipto, 2012). Semakin lama penggunaaanya semakin
meningkat dan tentunya setelah tidak dapat digunakan lagi akan menjadi sampah plastik.
b. Jenis Plastik Plastik dapat dikelompokan menjadi dua macam yaitu thermoplastic dan
termosetting. Thermoplastic adalah bahan plastik yang jika dipanaskan sampai temperatur
tertentu akan mencair dan dapat dibentuk kembali menjadi bentuk yang diinginkan.
Sedangkan termosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam bentuk padat, tidak dapat
dicarikan kembali dengan cara dipanaskan (Kumar dkk, 2011) Berdasarkan sifat kedua
kelompok plastik tersebut, thermoplastic adalah jenis plastik yang memungkinkan untuk
didaur ulang. Jenis plastik yang dapat didaur ulang diberi kode berupa nomor untuk
memudahkannya dalam mengidentifikasi dan penggunaannya
1) Polyethylene Terephthalate (PET/PETE) Mayoritas bahan plastik PET di dunia untuk serat
sintetis (sekitar 60 %), dalam pertekstilan PET biasa disebut dengan polyester (bahan dasar
botol kemasan 30 %). Botol jenis PET/PETE ini direkomendasikan hanya sekali pakai.
Terlalu sering dipakai, apalagi digunakan untuk menyimpan air hangat apalagi panas, akan
mengakibatkan lapisan polimer pada botol tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat
karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Biasanya, pada bagian bawah kemasan botol
plastik, tertera logo daur ulang PET.
2) High Density Polyethylene (HDPE) High Density Polyethylene (HDPE) merupakan salah
satu bahan plastik yang aman digunakan karena kemampuan untuk mencegah reaksi kimia
antara kemasan plastik berbahan HDPE dengan makanan atau minuman yang dikemasnya.
HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu
tinggi jika dibandingkan dengan plastik dengan kode PET. Biasanya dipakai untuk botol susu
yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat.
3) Polyvinyl Chloride (PVC) Bahan ini lebih tahan terhadap bahan senyawa kimia, minyak,
dll. Polyvinyl Chloride (PVC) mengandung diethylhydroxylamine (DEHA) yang dapat
bereaksi dengan makanan yang dikemas dengan plastik berbahan PVC ini saat bersentuhan
langsung dengan makanan tersebut,
171 titik lelehnya 70–140ºC. Plastik ini bisa ditemukan pada
plastik pembungkus (cling wrap), dan botol-botol, pipa, konstruksi bangunan.
4) Low Density Polyethylene (LDPE) Sifat mekanis jenis plastik LDPE adalah kuat, agak
tembus cahaya, fleksibel dan permukaan agak berlemak. Pada suhu di bawah 60oC sangat
resisten terhadap senyawa kimia, daya proteksi terhadap uap air tergolong baik, akan tetapi
kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Plastik ini dapat didaur ulang, baik untuk
barang-barang yang memerlukan fleksibilitas tetapi kuat, dan memiliki resistensi yang baik
terhadap reaksi kimia. Biasanya plastik jenis ini digunakan untuk tempat makanan, plastik
kemasan, botol yang lunak.
5) Polypropylene (PP) Karakteristik PP adalah botol transparan yang jernih atau berwarna.
Polypropylene (PP) lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan
yang baik terhadap lemak. Titik lelehnya 165ºC. Biasanya dipakai untuk tempat menyimpan
makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi, kantong plastik, film,
automotif, mainan mobil-mobilan, ember.
6) Polystyrene (PS) Polystyrene merupakan polimer aromatik yang dapat mengeluarkan
bahan styrene ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Bahan ini harus
dihindari, karena selain berbahaya untuk kesehatan otak, mengganggu hormon estrogen pada
wanita yang berakibat pada masalah reproduksi, pertumbuhan dan sistem syaraf, juga bahan
ini sulit didaur ulang. Bila didaur ulang, bahan ini memerlukan proses yang sangat panjang
dan lama. Bahan ini biasa dipakai pada sebagian bahan tempat makan styrofoam, tempat CD,
karton tempat telor, dan lain-lain.
7) Other Bahan dengan tulisan Other berarti dapat berbahan SANstyrene acrylonitrile, ABS–
acrylonitrile butadiene styrene, PC–polycarbonate, nylon. PC–polycarbonate, dapat
mengeluarkan bahan utamanya yaitu Bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang
berpotensi merusak sistem hormon, kromosom pada ovarium, penurunan produksi sperma,
dan mengubah fungsi imunitas. Dianjurkan untuk tidak dipergunakan untuk tempat makanan
ataupun minuman karena Bisphenol-A dapat berpindah ke dalam minuman atau makanan jika
suhunya dinaikkan karena pemanasan.

c. Dampak
Bahaya Penggunaan Plastik dan Sampah Plastik Kebanyakan plastik seperti PVC, agar tidak
bersifat kaku dan rapuh ditambahkan dengan suatu bahan pelembut. Beberapa contoh
pelembut adalah epoxidized soybean oil (ESBO), di (2- ethylhexyl) adipate (DEHA), dan
bifenil poliklorin (PCB), acetyl tributyl citrate (ATBC) dan di(2-ethylhexyl) phthalate
(DEHP). Penggunaan bahan pelembut
172 ini dapat menimbulkan masalah kesehatan, sebagai
contoh, penggunaan bahan pelembut seperti PCB dapat menimbulkan kamatian pada jaringan
dan kanker pada manusia (karsinogenik), oleh karena itu sekarang sudah dilarang
pemakaiannya (Karuniastuti, 2014).
Contoh lain bahan pelembut yang dapat menimbulkan masalah adalah DEHA. Berdasarkan
penelitian di Amerika Serikat, plastik PVC yang menggunakan bahan pelembut DEHA dapat
mengkontaminasi makanan dengan mengeluarkan bahan pelembut ini ke dalam makanan.
DEHA mempunyai aktivitas mirip dengan hormon estrogen (hormon kewanitaan pada
manusia). Berdasarkan hasil uji pada hewan, DEHA dapat merusak sistem peranakan dan
menghasilkan janin yang cacat, selain mengakibatkan kanker hati (Karuniastuti, 2014).
Pembakaran PVC plastik yang mengandung chlorine akan menghasilkan dan zat dioxin yang
paling berbahaya. Zat chlorine yang ada dalam plastik sangat bervariasi, jadi kalau plastik
dibakar chlorine akan terlepas ke udara dan dengan cepat menyatu dengan zat lainnya dan
akan menghasilkan dioxin.

Dioxin dapat bertahan lama, bahan kimia ini tidak mudah hilang atau hancur di lingkungan,
dengan berjalannya waktu ini akan berpengaruh pada kesehatan kita (Ricos, 2016). Ancaman
lain kemasan plastik adalah pigmen warna kantong plastik bisa bermigrasi ke makanan. Pada
kantong plastik yang berwarna-warni seringkali tidak diketahui bahan pewarna yang
digunakan. Pewarna food grade untuk kantong plastik yang aman untuk makanan sudah ada
tetapi di Indonesia biasanya produsen menggunakan pewarna nonfood grade. Penting dan
perlu diwaspadai adalah plastik yang tidak berwarna. Semakin jernih, bening dan bersih
palstik tersebut, semakin sering terdapat kandungan zat kimia yang berbahaya dan tidak aman
bagi kesehatan manusia (Sulchan, 2007).
Menurut Purwaningrum (2016), dampak plastik terhadap lingkungan antara lain adalah
tercemamya tanah, air tanah, dan makhluk bawah tanah; racun-racun dari partikel plastik
yang masuk kedalam tanah akan membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah seperti
cacing; PCB yang tidak dapat terurai rneskipun termakan oleh binatang maupun tanaman
akan menjadi racun berantai sesuai urutan rantai makanan; kantong plastik akan mengganggu
jalur air yang meresap ke dalam tanah; menurunkan kesuburan tanah karena plastik juga
menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak makhluk bawah tanah yang
mampu meyuburkan tanah; kantong plastik yang sukar diurai, mempunyai umur panjang, dan
ringan akan mudah diterbangkan angin hingga ke laut sekalipun; hewan-hewan dapat terjerat
dalam tumpukan plastik; hewan-hewan laut seperti lumba-lumba, penyu laut, dan anjing laut
menganggap kantong-kantong plastik
173 tersebut makanan dan akhimya mati karena tidak dapat
mencernanya; ketika hewan mati, kantong plastik yang berada di dalam tubuhnya tetap tidak
akan hancur menjadi bangkai dan dapat meracuni hewan lainnya; pembuangan sampah
plastik sembarangan di sungai-sungai akan mengakibatkan pendangkalan sungai dan
penyumbatan aliran sungai sehingga menyebabkan banjir.

d. Teknologi Pengolahan Sampah Plastik


Teknologi pengolahan sampah plastik yang selama ini digunakan adalah teknologi
perajangan plastik, pelelehan plastik dan pencetakan plastik (Sucipto, 2012). Hanya beberapa
pengusaha daur ulang yang melakukan perajangan plastik. Hasil perajangan plastik tersebut
berbentuk plastik serpih atau flakes. Sangat jarang pelaku daur ulang yang melelehkan pastik
untuk memproduksi bijih plastik sebagai bahan baku pabrik plastik. Menurut Sucipto (2012),
memaparkan tentang teknik pengolahan sampah plastik yakni sampah plastik sebelum
dimasukkan dalam mesin perajang perlu dilakukan pemilahan sesuai jenis bahan plastiknya.
Biasanya pemilahan dilakukan secara manual dengan visual tenaga manuasia. Setelah
terpilah sesuai jenisnya, selanjutnya dilakukan perajangan dengan mesin perajang yang
biasanya mempuanyai kapasitas 350-500 kg/jam.
Mesin perajang ini digerakkan oleh motor listrik kekuakatan besar atau langsung di kopel
dengan mesin diesel. Keluar dari mesin perajang, barang bekas plastik tersebut hancur
menjadi serpihan dengan ukuran sekitar 1 cm2 dan selanjutnya masuk ke proses pencucian.
Setelah selesai proses pencucian, plastik dikeringkan. Setelah kering plastik siap dilelehkan
dalam mesin ekstrukder pada suhu 150 oC sampai dengan 250 oC.
Plastik leleh berupa pasta akan terdorong melalui lubang-lubang dengan ukuran tertentu
diujung mesin ekstrukder dan masuk ke dalam bak panjang yang berisi air. Dari sini, plastik
pasta yang sudah dingin masuk ke alat pemotong untuk dipotong sesuai ukuran bijih plastik.
Bijih plastik ini selanjutnya dimanfaatkan oleh pabrik sebagai bahan baku pembuat alat-alat
atau barang-barang baru berbahan plastik.

e. Peluang Bisnis Daur Ulang sampah Plastik


Sampah plastik berpotensi masih memiliki nilai ekonomi apalagi setelah dilakukan daur
ulang. Langkah daur ulang tergantung dari ketepatan pemilahan sampah plastik. Banyak
pemulung yang mencari sampah plastik seperti botol-botol bekas untuk dijual lagi ke
pengepul. Harga yang ditawarkan dari tiap jenis sampahnya juga bervariasi dan dari tahun ke
tahun cenderung mengalami peningkatan harga.

174
3. Persyaratan Teknis Pewadahan Sampah
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/ PRT/ M/ 2013
Tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, wadah sampah adalah tempat untuk
menyimpan sampah sementara di sumber sampah. Pewadahan sampah adalah kegiatan
menampung sampah sementara sebelum sampah dikumpulkan, dipindahkan, diangkut,
diolah, dan dilakukan pemrosesan akhir sampah di TPA (Permen PU, 2013).
a. Tujuan
1) Menghindari terjadinya sampah yang berserakan sehingga tidak berdampak buruk kepada
kesehatan, kebersihan lingkungan, dan estetika.
2) Memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak membahayakan petugas pengumpul
sampah.

b. Pola Pewadahan Pola pewadahan terbagi menjadi :


1) Pewadahan individual Diperuntukan bagi daerah permukiman tinggi dan daerah komersial.
Bentuk yang dipakai tergantung kemampuan pengadaan dari pemiliknya.
2) Pewadahan komunal Diperuntukkan bagi daerah permukiman sedang atau kumuh, taman
kota, jalan pasar. Bentuknya ditentukan oleh pihak instansi pengelola karena sifat
penggunaannya adalah umum.

c. Kriteria Sarana Pewadahan Pemilahan sarana pewadahan sampah mempertimbangkan :


1) Volume sampah
2) Jenis sampah
3) Penempatan
4) Jadwal pengumpulan
5) Jenis sarana pengumpulan dan pengangkutan Kriteria sarana pewadahan sampah dengan
pola pewadahan individual adalah : 1
) Kedap air
2) Mudah dibersihkan
3) Harga terjangkau
4) Ringan dan mudah diangkut
5) Bentuk dan warna estetis
6) Memiliki tutup supaya higienis
7) Mudah diperoleh 175

d. Persyaratan Sarana Pewadahan


1) Jumlah sarana harus sesuai dengan jenis pengelompokan sampah.
2) Diberi label atau tanda
3) Dibedakan berdasarkan warna, bahan, dan bentuk

e. Label dan Warna Wadah


1) Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya
dan beracun diberi label “Sampah B3” dan berwarna merah.
2) Sampah yang mudah terurai diberi label “Sampah Organik” dan berwarna hijau.
3) Sampah yang dapat digunakan kembali diberi label “Sampah Guna Ulang” dan berwarna
kuning.
4) Sampah yang dapat didaur ulang diberi label “Sampah Daur Ulang” dan diberi warna biru.
5) Sampah lainnya diberi label “Residu” dan berwarna abu-abu.

f. Kriteria Wadah Sampah Kriteria wadah sampah diuraikan dalam SNI No 19-2454-2002
tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan adalah sebagai
berikut : 1) Tidak mudah rusak dan kedap air
2) Ekonomis dan mudah diperoleh atau dibuat oleh masyarakat
3) Mudah dikosongkan

g. Persyaratan Wadah Sampah Terpilah Pemilahan sampah di sumbernya merupakan cara


paling efektif guna mereduksi volume dan memanfaatkan kembali sampah. Sampah yang
masih memiliki nilai ekonomis dipilah berdasarkan jenisnya dari sampah organik yang
mudah membusuk. Sampah yang telah dipilah selanjutnya dapat digunakan kembali secara
langsung (reuse), diolah lebih lanjut, atau dijual kepada pihak pemanfaat. Jika sampah telah
dipilah oleh masyarakat maka wadah komunal sebaiknya dibedakan berdasarkan jenis
sampah yang dipilah.

176
Parameter Kesesuaian LahanTPA

1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan fenomena berdimensi fisik sosial ekonomi yang
keberadaanya dipengaruh oleh aktifitas manusia, oleh karena itu keberadaanya bersifat
dinamis. Ketersediaan lahan yang terbatas dengan jumlah penduduk yang bertambah terus
menerus serta semakin kompleknya aktifitas manusia menyebabkan karakteristik
penggunaan lahan semakin rumit. Penggunaan lahan merupakan bagian dari parameter
kesesuaian lahan yang digunakan dalam menentukan Tempat Pembuangan Akhir
(TPA)dapat dilihat pada tabel 1.4.
Tabel 1.4 Penggunaan Lahan
No. Kelas Penggunaan/Penutup Lahan Harkat
1. Baik Lahan Kosong Tegalan(bebatuan, 3
rerumputan, tanah terbuka) Semak
2. Sedang Vegetasi Produktif, Kerapatan 2
Sedang-Tinggi(Hutan, Perkebunan,
Kebun campuran, dll)
3. Buruk Lahan Terbangun ( Permukiman, 1
Industri, Makam, dll)

2. AncamanBanjir.
Banjir adalah genangan air yang meliputi daerah yang cukup luas karena sungai tidak
mampu menampung.Atau meluapnya air akibat penampungan air yang ada di permukaan
bumi tidak dapat menampungnya.Banjir merupakan salah satu faktor penghambat yang
cukup besar, sehingga lokasi TPA yang direkomendasikan harus seminimal mungkin
terjadi banjir, terutama banjir genangan. Penyusunan peta kerawanan banjir genangan
menggunakan parameter curah hujan, permeabilitas, tekstur tanah, kemiringan lereng dan
drainase permukaan. Dapat dilihat pada tabel 1.5
Tabel 1.5 Ancaman Banjir
No. Kelas Kedalaman (cm) Harkat
1. Baik Tanpa 177 3
2. Sedang Sedang 2
3. Jelek Jarang 1
3. Kedalaman sampai Batas Keras.
Data kedalaman sampai batas keras akan dilakukan dengan interpretasi data Geologi
Kabupaten Bantul. Dari data Geologi tersebut akan didapat jenis batuan yang ada di
daerah penelitian. Jenis batuan dapat mempengaruhi penentuan TPA, karena batuan yang
memiliki kedalaman di atas 150 cm dapat menahan air lindian yang dihasilkan oleh
samapah yang ditimbun secara terbuka. Dapat dilihat pada tabel 1.6.
Tabel 1.6 Kedalaman Sampai Batas Keras
No. Kelas Kedalaman (cm) Harkat
1. Baik >150 3
2. Sedang 100-150 2
3. Jelek <100 1

4. Drainase
PermukaanDrainase Permukaan merupakan kecepatan proses berpindahnya air
sebidang tanah, baik berupa limpasan permukaan maupun peresapan air kedalam tanah.
Drainase dinilai berdasarkan pendekatan bentuk lahan, penggunaan lahan dan
kelembaban tanah. Penilaian drainase permukaan sebagai parameter kesesuaian lahan
untuk permukiman disajikan pada Tabel 1.7 kelas drainase permukaan.
Tabel 1.7 Drainase Permukaan
No. Kelas Kemiringan Lereng(%) Harkat
1. Baik 0,8 3
2. Sedang 8-15 2
3. Buruk >15 1

5. Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng adalah kenampakan permukan alam disebabkan adanya beda
tinggi apabila beda tinggi dua tempat tesebut di bandingkan dengan jarak lurus mendatar
sehingga akan diperoleh besarnya kelerengan.Bentuk lereng dapat dipengaruhi oeh
banyak faktor, alami maupun buatan. Faktor-faktor tersebut sangat beragam jenisnya
178
tergantung pada bentuklahan dan geomorfologinya . Proses Geomorfologi merupakan
faktor yang utama, karena menyangkut sifat dan karakteristik lahan yang berada disuatu
lereng. Proses geomorfologi dapat terjadi karena energi yang bekerja pada bentuk lahan
tersebut, energi tersebut berasal dari luar maupun dari dalam. Energi yang mempengaruhi
permukaan bumi dari luar disebut dengan energi endogen dan yang mempengaruhi dari
luar adalah energi eksogen. Tenaga yang berasal dari dalam bumi adalah tenaga yang
dihasilkan dari aktivitas pergerakan magma yang menyebabkan lempeng yang menyususn
permukaan bumi bergerak sehingga terbentuklah permukaan yang tidak rata dan
bergelombang. bergantung pada proses erosi juga gerakan tanah dan pelapukan. Leeng
merupakan parameter topografi yang terbagi dalam dua bagian yaitu kemiringan lereng
dan beda tinggi relatif, dimana kedua bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap
penilaian suatu bahan kritis.
Morfologi perumakan lahan lahan merupakan pencerminan kondisi bentuk lahan yang
dinyatakan dalam ukuran-ukuran seperti lereng, beda tinggi, tingkat pengikisan dan pola
aliran yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas lahan. Ada dua parameter penting yang
harus ada dalam menentukan stabilitas suatu lahan adalah kemiringan lereng dan beda
tinggi. Kemiringan lereng berpengaruh terhadap teknis penentuan Tempat pembuangan
akhir (TPA) seperti kegiatan cut and fill.
6. Kedalaman Muka Air Tanah
Kedalaman Muka Air Tanah dalam menentukan tempat pembuangan akhir sampah
sangat penting untuk diperhatikan. Karena, menentukan TPA sangat mempengaruhi
lingkungan sekitarnya, termasuk dengan sumber daya air. Timbunan sampah yang banyak
akan menimbulkan cairan yang berbahaya bagi kesehatan. Cairan yang biasa dihasilkan
dari tumpukan sampah disebut dengan air Lindian atau Licid. Cairan inilah yang sangat
dikhawatirkan akan menyebabkan pencemaran air tanah. Yang mengakibatkan sumber air
yang berada disekitar TPA tidak dapat dikonsumsi atau memiliki kualitas yang sangat
jelek. Berikut merupakan parameter kedalaman muka air tanah yang diperbolehkan. Lihat
tabel 1.9.
Tabel 1.9 Kedalaman Air Tanah
No. Kelas Kedalaman Air Tanah(m) Harkat
1. Baik >150 3
2. Sedang 100-150 2
3. Buruk <100 1
179

7. Permeabilitas
Permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk meloloskan air yang masuk
kedalam tanah. Permeabilitas sangat di pengaruhi oleh tekstur tanah pada daerah
penelitian. Tektur tanah dapat diketahui melalui jenis tanah yang ada pada daerah
penelitian. Kecamatan Peleret merupakan bagian dari Kabupaten Bantul yang memiliki
jenis tanah Aluvial yang berupa endapan hasil dari luapan sungai. Permeabilitas yang
baik untuk TPA adalah yang memiliki permeabilitas yang rendah, dikarenakan sampah
yang dibuang akan menghasilkan Lychid yang merupakan cairan mengandung unsur
kimia sampah yang dapat masuk ke dalam air tanah. Dengan permeabilitas yang rendah
cairan yang berupa Lychid tersebut akan terhalang sehingga sumber air tanah tidak
tercemar. Lihat tabel 1.10.
Tabel 1.10 Permeabilitas Tanah
No. Kelas Jenis Tanah Tingkat Permeabilitas Harkat
1. Buruk Kerikil Tinggi 1
Kerikil halus/Pasir
2. Sedang/Baik Pasir sangat halus Lambat 3
Pasir Lanau
Lanau Tidak Padat
3. Baik Lanau Padat Kedap 1
Lanau Lempung
Lanau Tidak Murni
Lempung

 Analisis Kesesuaian
Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah menggunakan
pendekatan diskriptif kualitatif. Analisis dimulai dengan menjelaskan karakteristik lahan
yang dihasilkan peta kesesuaian lahan dari proses overlay parameter yang digunakan.
Karakteristik lahan yang direkomendasikan dalam menentukan kesesuaian lahan secara
fisik terdiri dari beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah
Kemiringan Lereng, Penggunaan Lahan , Rawan Banjir,Drainase Permukaan ,
Kedalaman Muka Air Tanah ,Kedalaman sampai Batas Keras atau Kedalaman Efektif
Tanah dan Permeabilitas.Dari seluruh paramter yang digunakan untuk penentuan lokasi
180 paling besar adalah pada Kemiringan lereng
TPA parameter yang menjadi pertimbangan
dan Penggunaan lahan.
Parameter yang digunakan dalam menganalisa kesesuaian lahan adalah parameter
bentuk fisik lahan tersebut yang memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat mengakibatkan
lahan tersebut dapat digunakan sebagai tempat pembuangan akhir sampah atau tidak.
Dalam penelitian ini menekankan sejauh mana sumberdaya lahansuatu wilayah yang
diteliti memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan untuk penentuan lokasi tempat
pembuangan akhir sampah. Hal ini sangat perlu dilakukan karena lahan yang ada tidak
mungkin dapat bertambah, sehingga perlu dilakukan pengaturan dan pembatasan dalam
penggunaan lahanya. Dan peneliti dapat mengetahui agihan-agihan yang sesuai untuk
digunakan dalam menentukan kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah.
Pengharkatan yang digunakan adalah dengan memeberi skor 1 samapai 3 dalam
menentukan nilai parameter dengan interval kelas 4. Pengharkatan dengan cara ini adalah
memberikan nilai tertinggi pada kelas yang paling baik dengan nilai 3 dan memberikan
nilai paling bururk dengan nilai 1 .Unit analisis yang digunakan dalam penentuan loksi
tempat pembuangan akhir adalah Unit Satuan Lahan.

 Menimbun sampah di darat


Yaitu mengubur atau menimbun sampah-sampah yang kita hasilkan setiap harinya,
metode ini adalah metode paling populer di dunia. Penimbunan ini biasanya dilakukan di
tanah yg ditinggalkan, lubang bekas pertambangan, atau lubang lubang dalam.
 Metode daur ulang
Yaitu proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk
digunakan kembali. Ada beberapa cara daur ulang, pertama adalah mengambil bahan
sampahnya untuk diproses lagi atau mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar utnuk
membangkitkan listik.
 Pengolahan kembali secara fisik
yaitu mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang dibuang, contohnya
botol bekas pakai yang dikumpulkan kembali untuk digunakan kembali. Pengumpulan
bisa dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak sampah/kendaraan
sampah khusus), atau dari sampah yang sudah tercampur.

181
 Pengolahan biologis
Yaitu mengolah kembali material sampah organik, seperti zat tanaman, sisa makanan
atau kertas, bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal
dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi
pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
 Pemulihan energi
Yaitu mengambil kandungan energi yang terkandung dalam sampah dengan cara
menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya
menjadi bahan bakar tipe lain.
 Metode penghindaran dan pengurangan
Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat sampah
terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah". Metode pencegahan
termasuk penggunaan kembali barang bekas pakai, memperbaiki barang yang rusak,
mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali seperti tas belanja
katun menggantikan tas plastik, mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan
barang sekali pakai contohnya kertas tissue,dan mendesain produk yang menggunakan
bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama contoh, pengurangan bobot kaleng
minuman

Teknik Operasiional Pengelolahan Sampah


Pewadahan Sampah
Pewadahan sampah adalah suatu cara penampungan sampah sebelum dikumpulkan,
dipindahkan, diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Tujuan utama dari pewadahan adalah :
 Untuk menghindari terjadinya sampah yang berserakan sehingga mengganggu
lingkungan dari kesehatan, kebersihan dan estetika
 Memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak membahayakan petugas
pengumpulan sampah, baik petugas kota maupun dari lingkungan setempat.

Dalam operasi pengumpulan sampah, 182masalah pewadahan memegang peranan yang


amat penting. Oleh sebab itu tempat sampah adalah menjadi tanggung jawab individu
yang menghasilkan sampah (sumber sampah), sehingga tiap sumber sampah seyogyanya
mempunyai wadah/tempat sampah sendiri. Tempat penyimpanan sampah pada sumber
diperlukan untuk menampung sampah yang dihasilkannya agar tidak tercecer atau
berserakan.Volumenya tergantung kepada jumlah sampah perhari yang dihasilkan oleh
tiap sumber sampah dan frekuensi serta pola pengumpulan yang dilakukan. Untuk
sampah komunal perlu diketahui/diperkirakan juga jumlah sumber sampah yang akan
memanfaatkan wadah komunal secara bersama serta jumlah hari kerja instansi pengelola
kebersihan perminggunya. Bila hari kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, kapasita
penampungan komunal tersebut harus mampu menampung sampah yang dihasilkan pada
hari minggu. Perhitungan kapasitasnya adalah jumlah sampah perminggu (7 hari) dibagi 6
(jumlah hari kerja perminggu).
Pengumpulan Sampah
Yang dimaksud dengan sistem pengumpulan sampah adalah cara atau proses
pengambilan sampah mulai dari tempat pewadahan/penampungan sampah dari sumber
timbulan sampah sampai ketempat pengumpulan semantara/stasiun pamindahan atau
sakaligus ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Pengumpulan umumnya dilaksanakan oleh petugas kebersihan kota atau swadaya
masyarakat (sumber sampah, badan swasta atau RT/RW).
Pengikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sampah banyak ditentukan oleh
tingkat kemampuan pihak kota dalam memikul beban masalah persampahan kotanya.
Dalam teknis operasional pengelolaan sampah biaya untuk kegiatan pengumpulan
sampah dapat mencapai 40 % dari total biaya operasional. Karenanya perlu diupayakan
suatu teknik pengumpulan yang efektif dan efisien, termasuk pertimbangan terhadap
tempat penyimpanan sampah, agar biaya operasi dapat ditekan serendah mungkin.
Permasalahan Pengumpulan Sampah
Salah satu permasalahan di dalam aspek teknis operasional yang umumnya masih
dijumpai adalah terbatasnya jumlah peralatan persampahan (termasuk didalamnya
peralatan pengumpulan), pemeliharaan yang belum terencana dengan baik serta belum
adanya metode operasi yang sesuai.
Pada hampir seluruh kota-kota besar dan sedang di Indonesia, dijumpai sisa-sisa
sampah tidak terangkut yang disebabkan oleh belum efisiensinya cara-cara pengumpulan
sampah yang diterapkan. Hali ini lebih jauh akan membawa dampak negative terhadap
kesehatan masyarakat. 183
Pengumpulan sampah merupakan kegiatan yang padat karya dan proses yang paling
mahal dibandingkan dengan proses-proses lain di dalam pengelolaan sampah. Pada
kenyataannya biaya untuk pengumpulan terus meningkat dari waktu ke waktu dengan
munculnya daerah-daerah kumuh yang harus dilayani sebagai akibat dari proses
urbanisasi.
Secara lebih mendetail permasalahan-permasalahan yang umumnya dijumpai pada
sistem pengumpulan ini adalah :
a. Penggunaan waktu kerja yang tidak efisien karena keterlambatan mulai bekerja,
lamanya waktu memuat dan membongkar, hilangnya waktu dan lain-lain.
b. Penggunaan kapasitas muat yang tidak tepat, misalnya terlalu penuh pada rit 1 dan
kosong pada rit berikutnya. Muatan yang terlalu penuh membuat kendaraan cepat
rusak.
c. Jenis pewadahan yang tidak tepat, tidak seragam dan standar sehingga memperlambat
proses pengumpulan sampah oleh petugas pengumpul.
d. Rute pelayanan yang belum optimum, sehingga tidak diperoleh penghematan waktu
untuk operasi pengumpulan.
e. Tingkah laku petugas dan kerja sama masyarakat yang kurang baik, seperti misalnya
kerjasama antara petugas dan masyarakat serta effisiensi kerja petugas kurang baik.
f. Aksebilitas yang kurang baik, seperti misalnya jalan-jalan yang terlalu sempit, kondisi
jalan yang rusak, kemacetan dan lain-lain.
Operasi Pengumpulan Sampah
Pada dasarnya pengumpulan sampah dapat dikelompokkan dalam pola pengumpulan :
a. Pola individual langsung
Pengumpulan dilakukan oleh petugas kebersihan yang mendatangi tiap-tiap
bangunan/sumber sampah (door to door) dan langsung diangkut untuk dibuang di Tempat
Pembuangan Akhir. Pola pengumpulan ini menggunakan kendaraan truck sampah biasa,
dump truck atau compactor truck.
b. Pola individual tidak langsung
Daerah yang dilayani kedua cara tersebut diatas umumnya adalah lingkungan
pemukiman yang sudah teratur, daerah pertokoan, tempattempat umum, jalan dan taman.
Transfer Depo tipe I, tipe II atau tipe III, tergantung luas daerah yang dilayani dan
tersedianya tanah lokasi.
c. Pola komunal langsung
Pengumpulan sampah dilakukan sendiri
184 oleh masing-masing penghasil sampah
(rumah tangga, dll) ke tempat-tempat penampungan sampah komunal yang telah
disediakan atau langsung ke truck sampah yang mendatangi titik pengumpulan (semacam
jali-jali di jakarta).
d. Pola komunal tidak langsung
Pengumpulan sampah dilakukan sendiri oleh masing-masing penghasil sampah
(rumah tangga dll ) ke tempat-tempat yang telah disediakan/ditentukan (bin/tong sampah
komunal ) atau langsung ke gerobak/becak sampah yang mangkal pada titik - titik
pengumpulan komunal. Petugas kebersihan dengan gerobaknya kemudian mengambil
sampah dari tempat - tempat pengumpulan komunal tersebut dan dibawa ke tempat
penampungan sementara atau transfer depo sebelum diangkut ketempat pembuangan
akhir dengan truck sampah. Bila tempat pengumpulan sampah tersebut berupa gerobak
yangmangkal, petugas tinggal membawanya ke tempat penampungan sementara atau
transfer depountuk dipindahkan sampahnya ke atas truck.
3. Pemindahan
Pemindahan sampah adalah kegiatan memindahkan sampah hasil pengumpulan ke
dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir(SNI 19-2454-2002).
Pemindahan sampah (transfer) dilakukan oleh petugas kebersihan, yang dapat
dilakukan secara manual atau mekanik, atau kombinasi misalnya pengisian kontainer
dilakukan secara manual oleh petugas pengumpul, sedangkan pemindahankontainer ke
atas truk dilakukan secara mekanik
Metode pemindahan
a. Pemuatan langsung (Direct Load) Sampah langsung dimasukkan ke
trailer/kendaraan angkut, dipadatkan dan dibawa ke TPA.
b. Pemuatandengan penyimpan (Storage Load) Sampah dimasukkan ke wadah
penampungan dengan kapasitas penyimpanan 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) hari,
baru dibawa ke TPA.
c. Kombinasi antara pemuatan dan penyimpanan Biasanya digunakan untuk fasilitas
multifungsi.
Jenis fasilitas pemindahan
a. a.Stasiun transfer besar dan permanen (fasilitas kantor, bengkel dan tempat
penyimpanan peralatan) Lahan yang diperlukan : 200 m2 ; Jumlah penduduk yang
dilayani : rata-rata 30.000 jiwa.
b. Stasiun transfer kecil dan permanen Lahan yang diperlukan : 50 m2 ; Jumlah
penduduk yang dilayani : rata-rata185
7.500 jiwa.
4. Pengangkutan Sampah
Pengangkutan, dimaksudkan sebagai kegiatan operasi yang dimulai dari titik
pengumpulan terakhir dari suatu siklus pengumpulan sampai ke TPA pada pengumpulan
dengan pola individual langsung, atau dari tempat pemindahan (Trasfer Depo, Trasfer
Station), penampungan sementara (TPS, TPSS, LPS) atau tempat penampungan komunal
sampai ke tempat pengolahan/pembuangan akhir. Sehubungan dengan hal tersebut,
metoda pengangkutan serta peralatan yang akan dipakai tergantung dari pola
pengumpulan yang dipergunakan.
Pengangkutan Berdasarkan Pola Pengumpulan Sampah
a. Pengangkutan pada Pengumpulan dengan Pola Individual Langsung.
Pengangkutan sampah untuk pengumpulan yang digunakan pola Individual
Langsung, kendaraan yang digunakan untuk pengumpulan juga langsung
digunakan untuk pengangkutan ke TPA. Dari pool, kendaraan langsung menuju ke
titik - titik pengumpulan (sumber sampah ) dan setelah penuh dari titik
pengumpulan terakhir (dalam suatu rit atau trip). Setelah menurunkan sampah di
TPA, kemudian kembali ke titik pengumpulan pertama untuk rit atau trip
berikutnya, setelah penuh dari titik pengumpulan terakhir pada rit tersebut
langsung menuju ke TPA demikian seterusnya dan akhirnya dari TPA langsung
kembali ke pool.
b. Pengangkutan pada pengumpulan dengan "Pola Individual Langsung"
Pengangkutan dari Transfer Depo tipe I dan tipe II, untuk pengumpulan sampah
dengan pola individuai tidak langsung (menggunakan gerobak/becak sampah dan
transfer depo tipe I atau II), angkutan sampahnya sebagai berikut:
1) Kendaraan angkutan keluar dari pool langsung menuju lokasi TD dan sampah
- sampah tersebut diangkut ketempat pembuangan akhir.
2) Dari TPA, kendaraan tersebut kembali ke TD untuk pengambilan /
pengangkutan pada rit atau trip berikutnya. Path rit terakhir sesuai dengan
yang ditentukan ,( jumlah sampah yang harus diangkut habis) kendaraan
tersebut langsung kembali ke pool.
3) Dapat terjadi setelah sampah di salah satu TD habis mengambil sampah dari
TD lain atau dari TPS/TPSS /LPS.
4) Selain itu dapat diatur pula pengangkutannya bergantian dengan TD lain
sehingga tidak ada waktu idle dari Dump Truck. Hal ini dimungkinkan bila
jarak TPA dekat ke TD sehingga
186 waktu tempuh truck cukup singkat, sehingga
bila langsung dari TPA menuju TD yang sama, kemungkinan akan
menganggur menunggu gerobak yang sedang melakukan pengumpulan
sampah dari rumah ke rumah (door to door). Dengan memperhitungkan waktu
secara cukup cermat (waktu tempuh gerobak 1 trip dan waktu tempuh truk 1
trip). dapat disusun jadwal pengangkutan pada tiap TD.
c. Pengangkutan pada pengumpulan dengan "Pola Individual Langsung" Transfer
Depo merupakan landasan container besar yang merupakan perlengkapan Armroll
Truck. Disini gerobak tidak tergantung kepada datangnya truk untuk
memindahkan sampah yang dikumpulkannya, karena container mangkal
dilandasan tersebut.
5. Pengelolaan sampah
adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan , pendaurulangan, atau pembuangan
dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang
dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya
terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan
untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat,
cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian khusus untuk masing-masing jenis
zat.
Praktik pengelolaan sampah berbeda beda antara negara maju dan negara
berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda juga
antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang tidak
berbahaya dari pemukiman dan institusi di area metropolitan biasanya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri
biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah.
Metode pengelolaan sampah berbeda-beda tergantung banyak hal, di antaranya tipe
zat sampah, tanah yang digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.
6. Pembuangan Akhir
Tempat pembuangan akhir (TPA) atau tempat pembuangan sampah (TPS) ialah
tempat untuk menimbun sampah dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. TPA
dapat berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah membawa
sampah di tempat produksi), begitupun tempat yang digunakan oleh produsen. Dahulu,
TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan terorganisir dan tetap begitu di
sejumlah tempat di dunia.

187
1. Kajian Keilmuan TPA Sampah
1. Pengertian Sampah
Sampah dapat diartikan sebagai benda yang tidak terpakai, tidak
diinginkan dan dibuang atau sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai,
tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan
manusia serta tidak terjadi dengan sendirinya (Wahid Iqbal dan Nurul C.,
2009: 274).
Berdasarkan SK SNI 19-2454 (2002: 1), sampah adalah limbah yang
padat yang terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak
berguna lagi dan terus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan
melindungi investasi pembangunan.

Gambar 1. Timbunan sampah Sumber : Dokumen peneliti di TPA Piyungan


Dari beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa sampah merupakan
benda atau zat padat baik organik maupun anorganik akibat aktivitas
manusia yang tidak digunakan lagi kemudian dibuang serta dikelola agar
tidak membahayakan lingkungan.
2. Sumber atau Asal Sampah
Menurut Wahid Iqbal dan Nurul C (2009: 276) sumber sampah dapat berasal dari:
a. Rumah tangga atau daerah pemukiman
Jenis sampah yang dihasilkan berupa sisa makanan, bahan-bahan
sisa dari pengolahan makanan atau sampah basah, sampah kering dan
abu.
b. Tempat umum dan pusat perdagangan
Adalah tempat berkumpulnya banyak
188 orang dan melakukan kegiatan
termasuk perdagangan. Jenis sampah yang dihasilkan dapat berupa sisa
makanan, sisa bahan bangunan dan lain-lain.
c. Industri berat dan ringan
Industri dalam hal ini termasuk industri yang menggunakan bahan-
bahan dari alam misal energi perusahaan kimia kayu logam tempat
pengolahan air kotor atau air bersih. Sampah yang dihasilkan biasanya
berupa sampah basah, kering, sampah khusus dan berbahaya.
d. Pertanian dan peternakan
Sampah yang dihasilkan berasal dari tanaman atau binatang dapat berupa sisa
makanan yang mudah membusuk maupun bahan pembasmi serangga.
3. Klasifikasi Sampah
a) Berdasarkan karakteristiknya
2) Garbage, adalah sampah yang dapat terurai, berasal dari pengolahan
makanan baik oleh restoran, rumah tangga, hotel.
3) Rubbish, adalah sampah yang berasal dari perkantoran, perdagangan, baik
yang mudah terbakar maupun yang tidak mudah terbakar.
4) Ashes, adalah hasil sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah
terbakar seperti hasil pembakaran padi yang sudah dipanen pada
masyarakat petani, abu rokok, hasil pembakaran sampah tebu.
5) Large wastes, yaitu berupa barang-barang hancuran dari bangunan, bahan
bangunan (seperti pipa, kayu, batu, batu bata), mobil, perabotan rumah,
kulkas, dan lain-lain.
6) Dead animals, adalah bangkai binatang yang mati karena factor alam,
tertabrak kendaraan atau sengaja dibuang orang.
7) Sewage treatment process solids misalnya pengendapan kotoran.
8) Industrial solid waste, adalah sampah yang berasal dari aktivitas industry
atau hasil buangan pabrik-pabrik, seperti bahan-bahan kimia cat, bahan
ledak.
9) Mining wastes, misalnya logam, batu bara, bijih besi.
10) Agriculture wastes, misalnya pupuk kandang, sisa-sisa hasil panen dan
lainnya.
b) Berdasarkan jenis atau zat kimia yang terkandung dalam sampah dibedakan
menjadi:
1) Sampah organik, misalnya189
makanan, daun, sayur, dan buah.
2) Sampah anorganik, misalnya logam, pecah-belah, abu, kertas.
c) Berdasarkan sifatnya digolongkan menjadi 4 macam, yaitu :
1) Sampah yang mudah terurai atau membusuk (degradable waste).
Misalnya : sisa makanan, potongan daging dan daun.
2) Sampah yang sukar membusuk atau terurau (non-deggrradable waste).
Misalnya : plastik, kaleng dan kaca.
3) Sampah yang mudah terbakar (combustible).
Misalnya: plastik, kertas dan daun kering.
4) Sampah yang tidak mudah terbakar (non-combustible).
Misalnya : besi, kaleng, dan gelas.

4. Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan


berkesinambungan dari pihak pengelola dalam mengurangi dan menangani
sampah yang dibuang (UU Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah).
Pengelolaan sampah adalah suatu bidang yang berhubungan dengan
pengaturan terhadap penimbunan: penyimpanan (sementara, pengumpulan,
pemindahan, atau pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah)
dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip- prinsip terbaik dari kesehatan
masyarakat seperti teknik (engineering), perlindungan alam (conservation),
keindahan dan pertimbangan- pertimbangan lingkungan lainnya serta
mempertimbangkan sikap masyarakat (Wahid Iqbal dan Nurul C, 2009:
277).
Menurut UU nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,
pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi
dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan serta
memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah pada dasarnya ingin
menangani atau mengubah sampah menjadi barang yang memiliki nilai
ekonomis dan kemanfaatan serta mengubahnya menjadi material yang tidak
membahayakan lingkungan hidup 190
(http://www.scribd.com/doc/24843114/Materi-Pengelolaan-Sampah).
Upaya yang dilakukan untuk menangani permasalahan sampah
seharusnya dimulai dari sumber sampah tersebut yaitu dengan penerapan
prinsip 4 R diantaranya mengganti (replace), mengurangi (reduse), mendaur
ulang (recycling) dan memakai kembali (reuse) (Wahid Iqbal dan Nurul C,
2009: 349).
b. Dampak Sampah yang Tidak Dikelola
Secara umum membuang sampah yang tidak memenuhi syarat
kesehatan dapat mengakibatkan tempat berkembang dan sarang dari
serangga dan tikus dapat menjadi sumber pengotoran tanah, sumber
pencemaran air/pemukiman atau udara serta menjadi sumber dan tempat
hidup kuman-kuman yang membahayakan kesehatan (Wahid Iqbal dan
Nurul C, 2009: 277).
c. Manfaat Sampah yang Dikelola
Sampah yang dikelola memiliki beberapa manfaat, antara
lain:
1. Penghematan sumber daya alam
2. Penghematan energi
3. Penghematan lahan TPA
4. Lingkungan asri (bersih, sehat dan nyaman)
(http://www.scribd.com/doc/24843114/Materi-
Pengelolaan-Sampah)
5. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah
Menurut SNI 03-3241-1994, tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
adalah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir
sampah berupa tempat yang digunakan untuk mengkarantina sampah kota
secara aman.
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, TPA biasanya
ditunjang dengan sarana dan prasarana antara lain:
a. Prasarana jalan
Prasarana jalan sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA.
Semakin baik kondisi TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan
sehingga lebih efisien.
b. Prasarana drainase 191
Drainase TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan
dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah.
Air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan.
Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk pada timbunan sampah akan
semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan.
Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran
limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan
sampah. Drainase penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau
zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase
berfungsi sebagai penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas
timbunan sampah tersebut. Untuk itu pemukaan tanah penutup harus dijaga
kemiringannya mengarah pada saluran drainase.
c. Fasilitas penerimaan
Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemerikasaan sampah
yang dating, pencatatan data dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada
umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA.
d. Lapisan kedap air
Lapisan kedap air berfungsi utnuk mencegah rembesan air lindi yang
terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah di bawahnya.

e. Lapisan pengaman gas


Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbondioksida dan
methan dengan komposisi hampIr sama di samping gas-gas lain yang sangat
sedikit jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi yang besar dalam
proses pemanasan global terutama gas methan. Karenanya perlu dilakukan
pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan bebas lepas ke atmosfir.
Untuk itu perlu dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari
timbunan sampah pada titik tertentu. Untuk itu perlu diperhatikan kualitas
dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah yang berporos atau banyak memiliki
rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas.
Pengolahan gas methan dengan cara pembakaran sederhana dapat
menurunkan potensinya dalam pemanasan global.
f. Fasilitas pengaman lindi
Lindi merupakan air yang terbentuk192
dalam timbunan sampah yang
melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan
pencemar, khusunya zat organik. Lindi sangat berpotensi menyebabkan
pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani
dengan baik.
g. Alat berat
Alat berat yang biasanya digunakan di TPA umumnya berupa bulldozer,
excavator dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda dalam operasionalnya.
h. Penghijauan
Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya
adalah peningkatan estetika lingkungan sebagai buffer zone untuk pencegah
bau dan lalat yang berlebihan.
i. Fasilitas penunjang

Beberapa fasilitas penunjang yaitu pemadam kebakaran, mesin


pengasap, kesehatan dan keselamatan kerja, serta toilet. (Bangun
Ismansyah, 2010: 2-5)

6. Metode Pengelolaan Sampah Akhir

Menurut Wahid Iqbal dan Nurul C. (2009: 279-280) tentang tahap


pengelolaan dan pemusnahan sampah dilakukan dengan 2 metode:
a) Metode yang memuaskan
1) Metode Sanitary Landfill (lahan urug saniter), yaitu pemusnahan
sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah
dimasukkan dan ditimbun dengan tanah sebagai lapisan penutup
lalu dipadatkan. Cara ini memerlukan persyaratan harus tersedia
tempat yang luas, tersedia tanah untuk menimbunnya, dan tersedia
alat-alat besar.
2) Inceneration (dibakar), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan
membakar di dalam tungku pembakaran khusus. Manfaat sistem
ini volume sampah dapat diperkecil sampai satu per tiga, tidak
memerlukan ruang yang luas, panas yang dihasilkan dapat
digunakan sebagai sumber uap,
193dan pengelolaan dapat dilakukan
secara terpusat dengan jadwal jam kerja. Adapun akibat penerapan
metode ini adalah memerlukan biaya besar, lokasi pembuangan
pabrik sulit didapat karena keberadaan penduduk, dan peralatan-
peralatan yang digunakan dalam incenerasi.
3) Composting (dijadikan pupuk), yaitu mengelola sampah menjadi
pupuk kompos; khususnya untuk sampah organik.
b) Metode yang tidak memuaskan

1) Metode Open Dumping, yaitu sistem pembuangan sampah yang


dilakukan secara terbuka. Hal ini akan menjadi masalah jika
sampah yang dihasilkan adalah sampah organik yang membusuk
karena menimbulkan gangguan pembauan dan estetika serta
menjadi sumber penularan penyakit.
2) Metode Dumping in Water, yaitu pembuangan sampah ke dalam
air. Hal ini akan dapat mengganggu rusaknya ekosistem air. Air
akan menjadi kotor, warnanya berubah, dan menimbulkan sumber
penyakit yang ditularkan melalui air (water borne disease).
3) Metode Burning on premises (individual inceneration) yaitu
pembakaran sampah dilakukan di rumah-rumah tangga.
Sedang menurut SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional
Pengelolaan Sampah Perkotaan, secara umum teknologi pengolahan sampah
dibedakan menjadi 3 metode yaitu metode Open Dumping dan metode Sanitary
Landfill (Lahan Urug Saniter) seperti yang dikemukakan di atas serta metode
Controlled Landfill (Penimbunan terkendali). Controlled Landfill adalah sistem
open dumping yang diperbaiki yang merupakan sistem pengalihan open dumping
dan sanitary landfill yaitu dengan penutupan sampah dengan lapisan tanah
dilakukan setelah TPA penuh yang dipadatkan atau setelah mencapai periode
tertentu.

7. Pelestarian Lingkungan

Setiap makhluk hidup membutuhkan lingkungan untuk menunjang


kehidupannya karena lingkungan menyediakan
194 berbagai macam sumber
daya dan manfaat baginya sehingga upaya pelestariannya memang
diperlukan. Pelestarian lingkungan adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan, daya dukung dan daya tampung lingkungan (UU
No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Daya dukung
lingkungan merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain, serta daya tampung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Betapa pentingnya keberadaan lingkungan hidup. Untuk itu, perlu
dikelola dengan baik agar keberadaannya tetap lestari. Tujuan pengelolaan
lingkungan hidup menurut UU No. 32 tahun 2009 adalah:
k. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
l. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.
m. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem.
n. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
o. Mencapainya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia.
p. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan.
q. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
r. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
s. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan
t. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Menurut Wisnu Arya (2004: 160-169), cara yang baik untuk melestarikan
lingkungan dan mencegah pencemaran lingkungan yaitu dengan mengelola manusia itu
sendiri, diantaranya:
a. Penanggulangan secara non-teknis
Penanggulangan secara nonteknis, yaitu suatu usaha untuk mengurangi dan
menanggulangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan
perundangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan mengawasi segala macam
bentuk kegiatan industri dan teknologi seedemikian rupa sehingga tidak terjadi
pencemaran lingkungan. Contohnya adalah
195 Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
b. Penanggulangan secara teknis
Banyak cara yang dapat ditempuh dalam penanggulangan secara teknis. Beberapa
cara yang digunakan dalam penanggulangan secara teknis antara lain sebagai berikut:
1. Mengubah proses
2. Mengganti sumber energi
3. Mengelola limbah
4. Menambah alat bantu
Salah satu cara dalam penangggulangan secara teknis yaitu mengelola
limbah. Semua kegiatan industri dan teknologi selalu akan menghasilkan
limbah yang menimbulkan masalah bagi lingkungan. Pengolahan limbah
dari bahan buangan industri dan teknologi dimaksudkan untuk mengurangi
pencemaran lingkungan sehingga tetap lestari.
c. Pengendalian perilaku manusia melalui jalur pendidikan dan penyuluhan
(Edukatif)
Masyarakat yang memanfaatkan sumber daya alam perlu mendapat
pengetahuan agar mencegah atau setidaknya mengurangi kerusakan
lingkungan. Cara ini ditempuh dengan melakukan penyuluhan kepada
masyarakat akan pentingnya lingkungan dapat melalui pendidikan formal
(di sekolah) ataupun nonformal (Suwarno, 2009: 206).

Peraturan yang Mengatur Tentang Pengelolaan Sampah


1. Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 33 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Pengelolaan Sampah
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat yang terdiri atas sampah rumah tangga maupun sampah sejenis
sampah rumah tangga.
2. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam
rumah tangga yang sebagian besar terdiri dari sampah organik, tidak termasuk
tinja dan sampah spesifik.
3. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang tidak berasal dari
rumah tangga dan berasal dari kawasan permukiman, kawasan komersial,
kawasan industri, kawasan khusus,
196 fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau
fasilitas lainnya.
4. Kawasan permukiman adalah kawasan hunian dalam bentuk klaster, apartemen,
kondominium, asrama, dan sejenisnya.
5. Kawasan komersial adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
penunjang.
6. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang.
7. Kawasan khusus adalah wilayah yang bersifat khusus yang digunakan untuk
kepentingan nasional/berskala nasional.
8. Tempat sampah rumah tangga adalah wadah penampungan sampah yang berupa
bak/bin/tong/kantong/keranjang sampah.
9. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi perencanaan, pengurangan, dan penanganan
sampah.
10. Tempat penampungan sementara, yang selanjutnya disingkat TPS, adalah tempat
sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau
tempat pengolahan sampah terpadu.
11. Tempat pengolahan sampah terpadu, yang selanjutnya disingkat TPST, adalah
tempat dilaksanakannya kegiatan penggunaan ulang, pendauran ulang, pemilahan,
pengumpulan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
12. Tempat pemrosesan akhir, yang selanjutnya disingkat TPA, adalah tempat untuk
memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi
manusia dan lingkungan.
13. Kompensasi adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap pengelolaan
sampah di tempat pemrosesan akhir yang berdampak negatif terhadap orang.
14. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
15. Satuan kerja perangkat daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah satuan
kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas
pemerintahan di bidang persampahan di daerah.
16. Badan Layanan Umum Daerah Persampahan,
197 yang selanjutnya disingkat BLUD
Persampahan, adalah Unit Kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi
dan produktivitas.

 Pengelolan Sampah
Pemerintah daerah menyusun rencana pengurangan dan penanganan sampah yang
dituangkan dalam rencana strategis dan rencana kerja tahunan SKPD.
Rencana pengurangan dan penanganan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. target pengurangan sampah;
b. target penyediaan sarana dan prasarana pengurangan dan penanganan sampah mulai dari
sumber sampah sampai dengan TPA;
b. pola pengembangan kerjasama daerah, kemitraan, dan partisipasi masyarakat;
c. kebutuhan penyediaan pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah daerah dan
masyarakat; dan
d. rencana pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan dalam
memenuhi kebutuhan mengguna ulang, mendaur ulang, dan penanganan akhir sampah.
Pemerintah daerah dalam mengurangi sampah dilakukan dengan cara pembatasan
timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan/atau pemanfaatan kembali sampah.
Pengurangan sampah dilakukan melalui kegiatan:
a. pemantauan dan supervisi pelaksanaan rencana pemanfaatan bahan produksi ramah
lingkungan oleh pelaku usaha; dan
b. fasilitasi kepada masyarakat dan dunia usaha dalam mengembangkan dan memanfaatkan
hasil daur ulang, pemasaran hasil produk daur ulang, dan guna ulang sampah.

Pemerintah daerah dalam menangani sampah dilakukan dengan cara:


a. pemilahan;
b. pengumpulan;
b. pengangkutan;
c. pengolahan; dan
d. pemrosesan akhir sampah.

Pemilahan sebagaimana dimaksud dalam198Pasal 4 huruf a dilakukan melalui memilah


sampah rumah tangga sesuai dengan jenis sampah.
Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyediakan
fasilitas tempat sampah organik dan anorganik di setiap rumah tangga, kawasan permukiman,
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya.
Pengumpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dilakukan sejak pemindahan
sampah dari tempat sampah rumah tangga ke TPS/TPST sampai ke TPA dengan tetap
menjamin terpisahnya sampah sesuai dengan jenis sampah.
Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilaksanakan dengan cara:
a. sampah rumah tangga ke TPS/TPST menjadi tanggung jawab lembaga pengelola sampah
yang dibentuk oleh RT/RW;
b. sampah dari TPS/TPST ke TPA, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah;
c. sampah kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, dan kawasan
khusus, dari sumber sampah sampai ke TPS/TPST dan/atau TPA, menjadi tanggung
jawab pengelola kawasan; dan
d. sampah dari fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya dari sumber sampah
dan/atau dari TPS/TPST sampai ke TPA, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Permasalahan sampah umum terjadi di beberapa negara berkembang, termasuk di


negara Indonesia. Beberapa kota di Indonesia belum mampu untuk menangani permasalahan
sampah yang semakin hari semakin berat, dikarenakan produksinya yang semakin meningkat.
Karena itu untuk mewujudkan konsep pengelolaan sampah yang ideal di suatu wilayah, maka
diperlukan suatu perencanaan atau strategi yang diharapkan menjadi acuan dalam
pengelolaan sampah di suatu wilayah. Menurut pandangan beberapa pengamat persampahan,
dapat dikatakan Indonesia belum memiliki data persampahan yang akurat dan valid baik
volume maupun komposisinya.
Sehingga hal ini berimplikasi pada penyusunan dan pengambilan keputusan yang
tepat dalam menangani persoalan sampah secara nasional, provinsi, maupun kota/ kabupaten.
Maka dari itu, setiap kota/ kabupaten diharuskan untuk menyusun rencana teknis pengelolaan
sampah daerahnya masing-masing. Di dalamnya tertuang langkah-langkah konkrit
pengurangan, pemanfaatan kembali, daur ulang, komposting sampah sehingga penanganan
sampah dimulai dari sumbernya dengan melibatkan berbagai stakeholders. Pengelolaan
sampah di Kabupaten Solok masih dilakukan
199paradigma lama dalam pengelolaan sampah,
terdapat 2 metoda di Kabupaten Solok dalam pengelolaan sampah yang pertama adalah
pengumpulan sampah di masing-masing rumah, untuk pemusnahan sampah dilakukan
pembakaran sampah, tentunya metode ini tidak ramah lingkungan karena dari aktivitas
pembakaran secara langsung mencemari lingkungan, metode kedua yang digunakan adalah
pengumpulan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) pada tahap ini digunakan
sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, gerobak dorong, untuk melakukan
pengumpulan, umumnya melibatkan sejumah tenaga yang mengumpulakn samah setiap
periode waktu tertentu.
Di Indonesia, tiap rumah biasanya memiliki satu tempat sampah di bagian dapur, di
mana semua sisa makanan, plastik bekas, kemasan produk rumah tangga, dibuang menjadi
satu. Di halaman depan, juga hanya ada satu tempat sampah besar. Di dalam tempat sampah
besar itu, sampah dapur akan dijadikan satu dengan sampah dari bagian rumah yang lain.

Seperti dilansir VOA Indonesia, memilah sampah memang belum menjadi budaya. Ini


tidak terlepas dari kebiasaan di masa lalu, di mana setiap rumah khususnya di pedesaan,
memiliki satu lubang besar di sudut halaman mereka.

Di lubang itulah sampah dibuang, kadang kemudian dibakar atau ditimbun. Namun
sebagian besar sampah di Indonesia, berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Saat ini
model penanganan sampah semacam itu tak bisa lagi dilakukan.

Pemerintah sampai ke tingkat paling rendah, sudah mulai memiliki kesadaran baru
bahwa sampah harus dipilah dan kemudian diolah. Tapi jumlahnya masih sedikit. Menurut
data dari laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia
memproduksi 65 juta ton sampah pada 2016, naik 1 juta ton dari tahun sebelumnya.

Dari jumlah 65 juta ton, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan
karena tidak ditangani. Lalu, 7 persen sampah didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di Indonesia ada lebih dari 400 TPA tapi baru 10 persen
yang beroperasi secara maksimal. Itu karena ada sejumlah masalah dalam hal pengelolaan.

Permasalahan sampah di Indonesia antara lain semakin banyaknya limbah sampah


yang dihasilkan masyarakat, kurangnya tempat sebagai pembuangan sampah, sampah sebagai
tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus, menjadi sumber polusi dan
pencemaran tanah, air, dan udara, menjadi sumber dan tempat hidup kuman-kuman yang
membahayakan kesehatan. 200
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan
alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena
landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan
alternatifalternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah
dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat
atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk
mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan
tiga prinsip– prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan
jumlah sampah yang terus meningkat, minimalisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-
ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti
yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk
memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan
alur sampah.

Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak


dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini
para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya.
Perluasan Tanggung jawab Produsen (Extended Producer Responsibility – EPR) adalah suatu
pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan
kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain ulang
produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang
berbahaya dan beracun
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor
penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya
penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan
berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa
dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber
merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya
dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan
201
pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis
ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah
pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator. Banyak jenis sampah yang secara
kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan.
Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa seperti merkuri harus
dihilangkan, dengan cara merubah pembelian bahan-bahan, bahan lainnya dapat didaurulang,
selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus
menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat,
seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.
Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah
domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia

Pelaksanaan pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap


menjamin terpisahnya sampah sesuai dengan jenis sampah. Pengolahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dilakukan dengan mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah yang dilaksanakan di TPS/TPST dan di TPA. Pengolahan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memanfaatkan kemajuan teknologi yang ramah
lingkungan. Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e
dilakukan dengan pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan ke media
lingkungan secara aman.Pemerintah daerah menyediakan TPS/TPST dan TPA sesuai dengan
kebutuhan.
Penyediaan TPS/TPST dan TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi
persyaratan teknis sistem pengolahan sampah yang aman dan ramah lingkungan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyediaan TPS/TPST dan TPA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan untuk
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tertuang dalam rencana tata ruang wilayah provinsi.
Pemerintah daerah memfasilitasi pengelola kawasan untuk menyediakan TPS/TPST di
kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, dan kawasan khusus.
Penyediaan TPS/TPST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi persyaratan teknis
sistem pengolahan sampah yang aman dan ramah lingkungan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penyediaan TPS/TPST sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana
tata ruang kawasan. TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 dapat diubah
menjadi TPST dengan pertimbangan efektif dan efisien. Pemerintah daerah dalam melakukan
202
pengurangan dan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4
dapat membentuk lembaga pengelola sampah. Pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan
lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 di desa/kelurahan atau
nama lainnya, kawasan komersial, kawasan industri, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya, sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah dapat membentuk BLUD
Persampahan setingkat unit kerja pada SKPD untuk mengelola sampah. Lembaga pengelola
sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tingkat rukun tetangga (RT)
mempunyai tugas:
a. memfasilitasi tersedianya tempat sampah rumah tangga di masing-masing rumah tangga
dan alat angkut dari tempat sampah rumah tangga ke TPS; dan
b. menjamin terwujudnya tertib pemilahan sampah di masing-masing rumah tangga.
Lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tingkat rukun
warga (RW) mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan lembaga pengelolaan sampah tingkat rukun tetangga; dan
b. mengusulkan kebutuhan tempat penampungan sementara ke lurah.
Lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tingkat
kelurahan mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan lembaga pengelolaan sampah tingkat rukun warga;
b. mengawasi terselenggaranya tertib pengelolaan sampah mulai dari tingkat rukun tetangga
sampai rukun warga; dan
b. mengusulkan kebutuhan tempat penampungan sementara dan tempat pengolahan sampah
terpadu ke camat.
Lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tingkat
kecamatan mempunyai tugas:
a. mengkoordinasikan lembaga pengelolaan sampah tingkat kelurahan;
b. mengawasi terselenggaranya tertib pengelolaan sampah mulai dari tingkat rukun warga
sampai kelurahan dan lingkungan kawasan; dan
c. mengusulkan kebutuhan tempat penampungan sementara dan tempat pengolahan sampah
terpadu ke SKPD atau BLUD yang membidangi persampahan.
Lembaga pengelola sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) pada
kawasan komersial, kawasan industri, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya
mempunyai tugas:
a. menyediakan tempat sampah rumah tangga di masing-masing kawasan;
b. mengangkut sampah dari sumber sampah 203
ke TPS/TPST atau ke TPA; dan
b. menjamin terwujudnya tertib pemilahan sampah.
BLUD Persampahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan, strategi, dan rencana SKPD yang membidangi persampahan.
BLUD Persampahan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas:
a. terlaksananya pengelolaan sampah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. tersedianya barang dan/atau jasa layanan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
pelayanan pengelolaan persampahan;
c. tertib administrasi pengelolaan persampahan dan pertanggungjawaban kepada SKPD
yang membidangi persampahan.
BLUD Persampahan dapat memungut dan mengelola biaya atas barang dan/atau jasa
layanan pengelolaan sampah sesuai tarif yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan pengelolaan BLUD Persampahan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada lembaga dan badan usaha yang
melakukan:
a. inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah;
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan;
b. pengurangan timbulan sampah; dan/atau
c. tertib penanganan sampah.
Pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada perseorangan yang melakukan:
a. inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah; dan/atau
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan.
Pemerintah daerah memberikan disinsentif kepada lembaga, badan usaha, dan
perseorangan yang melakukan:
a. pelanggaran terhadap larangan; dan/atau
b. pelanggaran tertib penanganan sampah.
Insentif kepada lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) dan ayat (2) dapat berupa:
a. pemberian penghargaan; dan/atau
b. pemberian subsidi.
Insentif kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dapat berupa:
a. pemberian penghargaan; 204
b. pemberian kemudahan perizinan dalam pengelolaan sampah;
c. pengurangan pajak daerah dan retribusi daerah dalam kurun waktu tertentu;
d. penyertaan modal daerah; dan/atau
e. pemberian subsidi.
Disinsentif kepada lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dapat berupa:
a. penghentian subsidi; dan/atau
b. denda dalam bentuk uang/barang/jasa.
Disinsentif kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat berupa:
a. penghentian subsidi;
b. penghentian pengurangan pajak daerah dan retribusi daerah; dan/atau
c. denda dalam bentuk uang/barang/jasa.
Kepala daerah melakukan penilaian kepada perseorangan, lembaga, dan badan usaha
terhadap:
a. inovasi pengelolaan sampah;
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan;
c. pengurangan timbulan sampah;
d. tertib penanganan sampah;
b. pelanggaran terhadap larangan; dan/atau
c. pelanggaran tertib penanganan sampah.
Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Tim Penilai
dengan keputusan kepala daerah.
Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21
disesuaikan dengan kemampuan keuangan dan kearifan lokal.
Pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama antarpemerintah daerah atau pemerintah
daerah bermitra dengan badan usaha dalam pengelolaan sampah.
Kerja sama antar pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dapat
melibatkan dua atau lebih daerah kabupaten/kota pada satu provinsi atau antarprovinsi.
Lingkup kerja sama bidang pengelolaan sampah mencakup:
a. penyediaan/pembangunan TPA;
b. sarana dan prasarana TPA;
c. pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA;
d. pengelolaan TPA; dan/atau
b. pengolahan sampah menjadi produk lainnya
205yang ramah lingkungan.
Pemerintah daerah dapat bermitra dengan badan usaha dalam pengelolaan sampah.
Lingkup kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. penarikan retribusi pelayanan persampahan;
b. penyediaan/pembangunan TPS atau TPST, TPA, serta sarana dan prasarana
pendukungnya;
c. pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA;
d. pengelolaan TPA; dan/atau
e. pengelolaan produk olahan lainnya.
Pelaksanaan kerja sama antar daerah dan kemitraan dengan badan usaha dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Retribusi Pelayanan Persampahan


Pemerintah daerah dapat mengenakan retribusi atas pelayanan persampahan. Retribusi
pelayanan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan pada retribusi jasa
umum.
Komponen biaya perhitungan retribusi pelayanan persampahan meliputi:
a. biaya pengumpulan dan pewadahan dari sumber sampah ke TPS/TPST;
b. biaya pengangkutan dari TPS/TPST ke TPA;
c. biaya penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah; dan
d. biaya pengelolaan.
Penyelenggaraan retribusi atas pelayanan persampahan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.

 Kompensasi
Pemerintah daerah memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negatif
yang ditimbulkan oleh penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah.
Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. relokasi;
b. pemulihan lingkungan;
c. biaya kesehatan dan pengobatan;
d. ganti rugi; dan/atau
b. bentuk lain.
Tata cara pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) sebagai
berikut: 206
a. pengajuan surat pengaduan kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah melakukan investigasi atas kebenaran aduan dan dampak negatif
pengelolaan sampah;
c. menetapkan bentuk kompensasi yang diberikan berdasarkan hasil investigasi dan hasil
kajian.

 Peran Masyarakat
Pemerintah kabupaten/kota meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Bentuk peran masyarakat dalam pengelolaan sampah meliputi:
a. menjaga kebersihan lingkungan;
b. aktif dalam kegiatan pengurangan, pengumpulan, pemilahan, pengangkutan, dan
pengolahan sampah; dan
b. pemberian saran, usul, pengaduan, pertimbangan, dan pendapat dalam upaya peningkatan
pengelolaan sampah di wilayahnya.
Peningkatan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
dilaksanakan dengan cara:
a. sosialisasi;
b. mobilisasi;
c. kegiatan gotong royong; dan/atau
d. pemberian insentif.
Peningkatan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b
dilaksanakan dengan cara:
a. mengembangkan informasi peluang usaha di bidang persampahan; dan/atau
b. pemberian insentif.
Peningkatan peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c
dilaksanakan dengan cara:
a. penyediaan media komunikasi;
b. aktif dan secara cepat memberi tanggapan; dan/atau
c. melakukan jaring pendapat aspirasi masyarakat.
 Pengawasan dan Pembinaan
Menteri mengkoordinasikan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah
secara nasional. Gubernur mengkoordinasikan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
sampah di kabupaten/kota.
Bupati/Walikota melakukan pengawasan207
terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah di
kabupaten/kota.
Menteri melakukan pembinaan atas pengelolaan sampah secara nasional. Gubernur
melakukan pembinaan atas pengelolaan sampah di wilayahnya. Bupati/Walikota melakukan
pembinaan pengelolaan sampah di kabupaten/kota.
Pembinaan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
b. pemberian pedoman dan standar pengelolaan sampah;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pengelolaan sampah;
b. pendidikan dan pelatihan di bidang pengelolaan sampah; dan
c. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pengelolaan sampah.
Pembinaan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) meliputi:
a. koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pengelolaan sampah;
b. pendidikan dan pelatihan di bidang pengelolaan sampah; dan
c. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pengelolaan sampah.
Pembinaan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) meliputi
perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pengelolaan sampah.
 Pelaporan
Gubernur melaporkan pengelolaan sampah dan pembinaan terhadap pengelolaan sampah
di kabupaten/kota kepada Menteri. Bupati/Walikota melaporkan pengelolaan sampah kepada
Gubernur dengan tembusan kepada Menteri. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.

 Pembiayaan
Pembinaan Menteri dalam pengelolaan sampah di daerah dibiayai dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau pembiayaan lainnya yang sah dan tidak mengikat.
Pembinaan Gubernur terhadap kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah di kabupaten/kota
dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau pembiayaan lainnya
yang sah dan tidak mengikat. Khusus pengelolaan sampah di Provinsi DKI Jakarta dibiayai
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau pembiayaan lainnya yang sah
dan tidak mengikat.
Pengelolaan sampah di kabupaten/kota dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah kabupaten/kota dan/atau pembiayaan lainnya yang sah dan tidak mengikat. Semua
tugas dan kewenangan Bupati/Walikota sebagaimana
208 dimaksud dalam Peraturan Menteri ini,
di Provinsi DKI Jakarta dilakukan oleh Gubernur. Bupati/Walikota menetapkan Peraturan
Daerah tentang pengelolaan sampah dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini paling
lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkan.
Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. pengurangan dan penanganan;
b. lembaga pengelola;
c. hak dan kewajiban;
d. perizinan;
e. insentif dan disinsentif;
f. kerjasama dan kemitraan;
g. retribusi;
h. pembiayaan dan kompensasi;
i. peran masyarakat;
j. mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa;
k. pengawasan dan pengendalian; dan
l. larangan dan sanksi.

2. Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat.
2. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya
memerlukan pengelolaan khusus.
3. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah.
4. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan
timbulan sampah.
5. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
6. Tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat
pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
7. Tempat pengolahan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan
pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan
pemrosesan akhir sampah.
8. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat
209 untuk memroses dan mengembalikan
sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
9. Kompensasi adalah pemberian imbalan kepada orang yang terkena dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir
sampah..
10. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.
11. Sistem tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka
pengendalian yang meliputi pencegahan dan penanggulangan kecelakaan akibat
pengelolaan sampah yang tidak benar.
12. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
13. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan di bidang pemerintahan lain yang terkait.
Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang ini terdiri atas:
a. sampah rumah tangga;
b. sampah sejenis sampah rumah tangga; dan
c. sampah spesifik.
Sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari
kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
Sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial,
fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
Sampah spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. sampah yang timbul akibat bencana;
d. puing bongkaran bangunan;
e. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau
f. sampah yang timbul secara tidak periodik.
210
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis sampah spesifik di luar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan
asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas
kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Pengelolaan sampah
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta
menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas
menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan
sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Tugas Pemerintah
dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas:
a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan
sampah;
b. melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan
sampah;
b. memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan,
dan pemanfaatan sampah;
c. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan
sarana pengelolaan sampah;
d. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah;
e. memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat
setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
f. melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar
terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.
Dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, Pemerintah mempunyai kewenangan:
a. menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sampah;
c. memfasilitasi dan mengembangkan kerja sama antardaerah, kemitraan, dan jejaring
dalam pengelolaan sampah;
d. menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja pemerintah
daerah dalam pengelolaan sampah; dan
e. menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antardaerah dalam pengelolaan
sampah.
Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi mempunyai
kewenangan: 211
a. menetapkan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sesuai dengan
kebijakan Pemerintah;
b. memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan jejaring
dalam pengelolaan sampah;
c. menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota
dalam pengelolaan sampah; dan
d. memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah antarkabupaten/antarkota
dalam 1 (satu) provinsi.
Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan kabupaten/kota mempunyai
kewenangan:
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan
nasional dan provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain; d. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara,
tempat pengolahan sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
d. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20
(dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
b. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai
dengan kewenangannya.
Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bagian dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman penyusunan sistem tanggap darurat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f diatur dengan peraturan menteri.

Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri
atas:
a. pengurangan sampah; dan
b. penanganan sampah.
Pengurangan sampah sebagaimana 212
dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi
kegiatan:
a. pembatasan timbulan sampah;
b. pendauran ulang sampah; dan/atau
c. pemanfaatan kembali sampah.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai berikut:
a. menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu;
b. memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan;
c. memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan;
d. memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dan
e. memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna
ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. Masyarakat dalam
melakukan kegiatan pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh
proses alam.
Pemerintah memberikan:
a. insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah; dan
b. disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah.
Kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b
meliputi:
a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis,
jumlah, dan/atau sifat sampah;
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu;
c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju
ke tempat pemrosesan akhir;
d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah;
dan/atau
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil
pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
213 membiayai penyelenggaraan pengelolaan
sampah. Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah.
Pemerintah dan pemerintah daerah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat
memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah.
Kompensasi berupa:
a. relokasi;
b. pemulihan lingkungan;
c. biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau
d. kompensasi dalam bentuk lain.

KERJA SAMA DAN KEMITRAAN


Pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama antarpemerintah daerah dalam
melakukan pengelolaan sampah. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan/atau pembuatan usaha bersama pengelolaan
sampah.Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kerja sama dan bentuk usaha bersama
antardaerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Pemerintah daerah kabupaten/kota
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan
sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah. Kemitraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan
badan usaha yang bersangkutan. Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kasus-kasus yang ada di lokasi TPA
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas
manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding
dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari.
Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang dikonsumsi.
Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup
masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup sangat berpengaruh
pada volume sampah yang ditimbulkan. Akibat tumpukan sampah yang menggunung banyak
214
menimbulkan lalat di sekitar lokasi dan bau yang tidak sedap. Meskipun jarak lokasi dengan
pemukiman penduduk agak jauh, tetapi lalat sudah sampai di lokasi pemukiman.
Dengan berbagai kondisi persampahan yang ada seperti tersebut di atas, sejak
dioperasikan TPA maka berbagai dampak negatif yang kemungkinan akan muncul dan
berpotensi menimbulkan resiko, antara lain adalah:
1. Perubahan tata guna lahan
2. Pencemaran udara
3. Pencemaran air tanah
4. Pencemaran air permukaan
5. Penurunan jumlah flora darat
6. Penurunan jumlah flora air
7. Penurunan jumlah fauna darat
8. Penurunan jumlah fauna air
9. Penurunan tingkat kesehatan masyarakat
10. Berkurangnya estetika lingkungan

Penilaian resiko lingkungan merupakan sebuah proses untuk pengumpulan,


pengorganisasian, analisis untuk mengestimasi kemungkingan dan ketidakpastian dampak
yang tidak diinginkan pada lingkungan (manusia, organisme, dan populasi lainnya). Penilaian
resiko didasarkan pada pemahaman bahwa keputusan diambil dibawah kondisi ketidakpastian
serta kemauan dari ketergantungan keluaran (output) serta mendapatkan kemungkinan
manfaat sebaik-baiknya (Glenn W. Suter II, et al., 2000). Penilaian resiko lingkungan adalah
sebuah dokumen yang secara garis besar berisi gabungan resiko kesehatan melalui paparan
kontaminan lingkungan pada suatu tempat dan menentukan justifikasi untuk mengambil
langkah remediasi atau pemindahan kontaminan (Susan Dempsey, MS, 2007). Pada dasarnya
penilaian resiko mempunyai pendekatan struktur untuk menentukan secara alami dan pasti
antara penyebab dan efek atau akibatnya.
Dari uraian rona lingkungan yang dijelaskan dan penjelasan tentang aktifitas TPA
sebagaimana disebutkan di atas, dapat diidentifikasi hazard dan diperkirakan resiko terhadap
komponen lingkungan sebagai berikut :
1. Tata guna lahan (tanah)
Prakiraan resiko terhadap tata guna lahan yang mungkin terjadi yaitu
resiko berasal dari buangan limbah terutama lindi yang mencemari air
tanah dan air permukaan. Akibat
215 pencemaran tersebut maka warga merasa
tidak nyaman dan pindah dari lokasi sekitar TPA, sehingga terjadi
perubahan tata guna lahan. Di samping itu diprakirakan masyarakat akan
menjual tanahnya karena beranggapan lahannya tidak strategis.
2. Kualitas udara
Prakiraan resiko terhadap udara, yaitu resiko berasal dari bau gas yang
timbul dari proses degradasi sampah yang semakin lama semakin tidak
sedap. Akibat pencemaran tersebut warga khususnya masyarakat disekitar
TPA Piyungan merasa kurang nyaman akibat terhisapnya bau ke dalam
pernafasan. Jenis resiko yang muncul bersifat negatif. Bobotnya besar
karena pencemaran gas yang timbul jumlahnya besar dan berlangsung
terus menerus serta merupakan
gas yang berbahaya.
3. Kualitas air permukaan
Prakiraan resiko terhadap air permukaan yaitu berasal dari pengolahan
limbah cair, yang dibuang ke sungai. Resiko yang timbul pada flora, fauna,
dan manusia, yang memanfaatkan sungai. Resiko terbesar yang mungkin
terjadi adalah matinya biota air, tumbuhan air, dan hewan air. Resiko yang
muncul bersifat negative.
4. Kualitas air tanah
Prakiraan resiko terhadap air tanah yaitu berasal dari pengolahan lindi dan
rembesan lindi pada lapisan dasar TPA. Resiko yang timbul pada manusia,
yang memanfaatkan air tanah untuk keperluan sehari-hari
5. Flora darat
Prakiraan resiko terhadap flora darat berasal dari pengolahan limbah cair
kemudian kemudian dibuang ke sungai lalu dihisap oleh tumbuhan yang
hidup di sekitar sungai. Selain itu gangguan terhadap flora air adanya gas
Methan. Resiko yang mungkin timbul berupa berkurangnya kemampuan
tumbuhan dalam berfotosintesis sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut
mati serta bersifat negatif. Tetapi bobotnya sedang karena effluen dari
IPAL telah mengalami pengenceran air sungai sehingga konsentrasi
pencemar juga menurun
6. Flora air
Prakiraan resiko terhadap flora air berasal dari pengolahan limbah cair
kemudian kemudian dibuang
216 ke sungai lalu dihisap oleh tumbuhan yang
hidup di sekitar sungai. Selain itu gangguan terhadap flora air juga dari
adanya gas Methan. Resiko yang mungkin timbul berupa berkurangnya
kemampuan tumbuhan dalam berfotosintesis sehingga menyebabkan
tumbuhan tersebut mati serta bersifat negatif. Tetapi bobotnya sedang
karena efluen dari IPAL telah mengalami pengenceran air sungai sehingga
konsentrasi pencemar juga menurun.
7. Fauna darat
Prakiraan resiko terhadap fauna darat berasal dari tumpukan sampah
kemudian dimakan. Selain itu gangguan terhadap fauna darat juga dari
adanya gas methan. Resiko yang mungkin timbul berupa terakumulasinya
unsur-unsur berbahaya seperti logam berat pada hewan yang selalu makan
tumpukan sampah.
8. Fauna air
Prakiraan resiko terhadap fauna air berasal dari limbah cair yang berasal
dari kolam pengolahan ke sungai. Resiko yang mungkin timbul berupa
berkurangnya fauna di dalam air serta bersifat negatif. Bobotnya sedang
karena effluen dari pabrik tahu telah mengalami pengolahan sehingga
konsentrasi pencemar juga kecil, namun demikian pada kondisi tertentu
IPAL akan mengalami gangguan.
9. Tingkat kesehatan masyarakat
Prakiraan resiko terhadap tingkat kesehatan masyarakat berasal dari
buangan pengolahan limbah cair yang masuk ke dalam air
permukaan/sungai, di mana masyarakat sekitar tinggal dan memanfaatkan
sungai. Disamping itu masyarakat juga mengkonsumsi air tanah yang
terkontaminasi lindi yang meresap melalui lapisan dasar TPA. Resiko
yang mungkin timbul berupa munculnya penyakit kulit, perut, dan
sebagainya serta bersifat negatif. Bobotnya adalah besar karena berkaitan
secara langsung dengan kehipuan manusia.
10. Estetika lingkungan
Prakiraan resiko terhadap estetika lingkungan berasal dari limbah cair
yang dari kolam pengolahan yang masuk ke dalam air permukaan/sungai,
limbah padat yang ditumpuk dan timbulnya gas yang menimbulkan bau
tidak enak. Resiko yang mungkin terjadi berupa penurunan estetika
lingkungan dan bersifat negatif
217 serta bobotnya besar.
Permasalahan sampah umum terjadi di beberapa negara berkembang, termasuk di
negara Indonesia. Beberapa kota di Indonesia belum mampu untuk menangani permasalahan
sampah yang semakin hari semakin berat, dikarenakan produksinya yang semakin meningkat.
Karena itu untuk mewujudkan konsep pengelolaan sampah yang ideal di suatu wilayah, maka
diperlukan suatu perencanaan atau strategi yang diharapkan menjadi acuan dalam
pengelolaan sampah di suatu wilayah. Menurut pandangan beberapa pengamat persampahan,
dapat dikatakan Indonesia belum memiliki data persampahan yang akurat dan valid baik
volume maupun komposisinya.
Sehingga hal ini berimplikasi pada penyusunan dan pengambilan keputusan yang
tepat dalam menangani persoalan sampah secara nasional, provinsi, maupun kota/ kabupaten.
Maka dari itu, setiap kota/ kabupaten diharuskan untuk menyusun rencana teknis pengelolaan
sampah daerahnya masing-masing. Di dalamnya tertuang langkah-langkah konkrit
pengurangan, pemanfaatan kembali, daur ulang, komposting sampah sehingga penanganan
sampah dimulai dari sumbernya dengan melibatkan berbagai stakeholders. Pengelolaan
sampah di Kabupaten Solok masih dilakukan paradigma lama dalam pengelolaan sampah,
terdapat 2 metoda di Kabupaten Solok dalam pengelolaan sampah yang pertama adalah
pengumpulan sampah di masing-masing rumah, untuk pemusnahan sampah dilakukan
pembakaran sampah, tentunya metode ini tidak ramah lingkungan karena dari aktivitas
pembakaran secara langsung mencemari lingkungan, metode kedua yang digunakan adalah
pengumpulan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) pada tahap ini digunakan
sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, gerobak dorong, untuk melakukan
pengumpulan, umumnya melibatkan sejumah tenaga yang mengumpulakn samah setiap
periode waktu tertentu.
Di Indonesia, tiap rumah biasanya memiliki satu tempat sampah di bagian dapur, di
mana semua sisa makanan, plastik bekas, kemasan produk rumah tangga, dibuang menjadi
satu. Di halaman depan, juga hanya ada satu tempat sampah besar. Di dalam tempat sampah
besar itu, sampah dapur akan dijadikan satu dengan sampah dari bagian rumah yang lain.

Seperti dilansir VOA Indonesia, memilah sampah memang belum menjadi budaya. Ini


tidak terlepas dari kebiasaan di masa lalu, di mana setiap rumah khususnya di pedesaan,
memiliki satu lubang besar di sudut halaman mereka.

Di lubang itulah sampah dibuang, kadang kemudian dibakar atau ditimbun. Namun
sebagian besar sampah di Indonesia, berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Saat ini
218 lagi dilakukan.
model penanganan sampah semacam itu tak bisa

Pemerintah sampai ke tingkat paling rendah, sudah mulai memiliki kesadaran baru
bahwa sampah harus dipilah dan kemudian diolah. Tapi jumlahnya masih sedikit. Menurut
data dari laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia
memproduksi 65 juta ton sampah pada 2016, naik 1 juta ton dari tahun sebelumnya.

Dari jumlah 65 juta ton, sekitar 15 juta ton mengotori ekosistem dan lingkungan
karena tidak ditangani. Lalu, 7 persen sampah didaur ulang dan 69 persen sampah berakhir di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di Indonesia ada lebih dari 400 TPA tapi baru 10 persen
yang beroperasi secara maksimal. Itu karena ada sejumlah masalah dalam hal pengelolaan.

Permasalahan sampah di Indonesia antara lain semakin banyaknya limbah sampah


yang dihasilkan masyarakat, kurangnya tempat sebagai pembuangan sampah, sampah sebagai
tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus, menjadi sumber polusi dan
pencemaran tanah, air, dan udara, menjadi sumber dan tempat hidup kuman-kuman yang
membahayakan kesehatan.

Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan


alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena
landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan
alternatifalternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah
dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat
atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk
mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan
tiga prinsip– prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan
jumlah sampah yang terus meningkat, minimalisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-
ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti
yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk
memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan
alur sampah.

Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak


dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini
para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya.
219
Perluasan Tanggung jawab Produsen (Extended Producer Responsibility – EPR) adalah suatu
pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan
kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain ulang
produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang
berbahaya dan beracun
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor
penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya
penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan
berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa
dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber
merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya
dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan
pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis
ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah
pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator. Banyak jenis sampah yang secara
kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan.
Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa seperti merkuri harus
dihilangkan, dengan cara merubah pembelian bahan-bahan, bahan lainnya dapat didaurulang,
selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus
menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat,
seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.
Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah
domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.

220
PERAN MASYARAKAT
Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
221
dilakukan melalui: a. pemberian usul, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah; b. perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau c. pemberian saran
dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk dan tata cara peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan pemerintah dan/atau peraturan daerah.
Peran serta masyarakat yang telah ada perlu ditingkatkan karena hal ini akan
memudahkan dalam teknis operasional dan akan menurunkan biaya pengelolaan kebersihan.
Untuk itu diperlukan suatu program secara terpadu, teratur dan terusmenerus serta bekerja
sama dengan organisasi masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain penerangan/
penyuluhan akan pentingnya pengelolaan kebersihan yang akan meningkatkan kesehatan,
serta menggugah peran serta masyarakat dan organisasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah. Pola pendekatan untuk masyarakat di kota kecil dapat dilakukan dengan pendekatan
oleh tokoh masyararakat, sedangkan semakin besar kota perlu adanya pendekatan
institusi/hukum.

LARANGAN
Setiap orang dilarang:
a. memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengimpor sampah;
c. mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun;
d. mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
e. membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan;
b. melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan
akhir; dan/atau
c. membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan
sampah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf c, dan huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. (3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf g diatur
dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat menetapkan sanksi pidana kurungan atau denda terhadap
pelanggaran ketentuan.

222
PENGAWASAN
Pengawasan terhadap kebijakan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah dilakukan oleh
Pemerintah. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah pada tingkat kabupaten/kota
dilakukan oleh gubernur. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah yang
dilakukan oleh pengelola sampah dilakukan oleh pemerintah daerah, baik secara
sendirisendiri maupun secara bersama-sama.Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan
kriteria pengawasan yang diatur oleh Pemerintah.Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengawasan pengelolaan sampah diatur dengan peraturan daerah.
SANKSI ADMINISTRATIF
Bupati/walikota dapat menerapkan sanksi administratif kepada pengelola sampah
yang melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam perizinan.
Sanksi administratif dapat berupa:
a. paksaan pemerintahan;
b. uang paksa; dan/atau
c. pencabutan izin.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan sanksi administratif diatur dengan
peraturan daerah kabupaten/kota.
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan (Tangerang Raya)
merupakan daerah penyangga Ibukota Jakarta dan telah berkembang menjadi suatu kawasan
pemukiman berkepadatan tinggi, kawasan industri dan sentra jasa perdagangan dengan
pertumbuhan yang pesat.meningkatnya pertumbuhan penduduk di tiga wilayah ini secara
umum disebabkan adanya pertambahan alami penduduk perkotaan dan migrasi dari desa ke
perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dan semakin bertambahnya tingkat
konsumsi tentunya akan berdampak pada terjadinya pertambahan volume timbulan sampah
yang dihasilkan penduduk. Keberadaan sampah yang tidak terkelola secara baik sering
menimbulkan permasalahan serius diberbagai wilayah khususnya pada wilayah-wilayah yang
memiliki tingkat pertumbuhan dan berkepadatan tinggi seperti wilayah Tangerang Raya.
Timbulan sampah di wilayah Tangerang Raya semakin meningkat setiap tahunnya seiring
peningkatan jumlah penduduk dan aktifitas ekonomi namun hal ini tidak berbanding lurus
dengan peningkatan pelayanan sistem persampahan di ketiga wilayah tersebut. Berdasarkan
data buku putih sanitasi Tahun 2016 dan Dinas Kebersihan masing-masing wilayah,
perharinya Kabupaten Tangerang menghasilkan timbulan sampah 7.625 m3/hari pada tahun
2015 dengan tingkat pelayanan hanya sebesar223
26 % dari total timbulan sampah, Kota
Tangerang menghasilkan timbulan sampah 6.028 m3/hari pada tahun 2015 dengan tingkat
pelayanan hanya sebesar 70 % dengan terjadi penurunan tingkat pelayanan setiap tahunnya
serta Kota Tangerang Selatan menghasilkan timbulan sampah 4.941 m3/hari pada tahun 2015
dengan tingkat pelayanan hanya sebesar 59% dari total jumlah timbulan sampah perkotaan.
Berdasarkan nilai tingkat pelayananpengelolaan sampah yang rendah pada ketiga wilayah
di Tangerang Raya tersebut menjelaskan bahwa tingkat pelayanan sistem pengelolaan
sampah masing-masing kota/kabupaten di wilayah Tangerang Raya masih rendah (kurang
dari strandar SNI bahwa minimal tingkat pelayanan sistem pengelolaan persampahan yaitu
80%) menjelaskan hanya sedikit sampah yang baru tertangani oleh Pemerintah
Daerah masing-masing wilayah TPA Tangerang Raya. Hal ini sebagian besar terkendala
oleh ketersediaan sarana prasarana persampahan yaitu rendah penyedian tempat pemprosesan
sampah sementara (TPS), kurangnya pelayanan tempat pemprosesan akhir (TPA) dalam
pengelolaan sampah masyarakat yang berdampak pada lingkungan karena sampah yang tidak
terlayani menjadi sebab dari pencemaran lingkungan dan mengganggu estetika
kota/kabupaten.Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) memegang peranan sentral dalam
pengelolaan sampah perkotaan, karena di lokasi inilah tempat terakhir pengelolaan sampah,
terkait jumlah sampah perkotaan yang terus meningkatmaka diperlukan lahan TPA yang
lebih luas dan memiliki sistem pengolahansampah yang dapat mengurangi jumlah timbulan
sampah. akan tetapi lahan yang tersedia di wilayah perkotaan sedemikian terbatas karena
adanya persaingan penggunaan lahan yang begitu tinggi. Oleh karena itu TPA yang ada harus
benar-benar memenuhi kriteria sehingga dapat berfungsi secara maksimal.
Wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan saat ini masing-
masing mempunyai satu lokasi TPA. TPA Jatiwaringin berada di Kecamatan Mauk Kaupaten
Tangerang, TPA Rawa Kucing berada di Kecamatan Neglasari Kota Tangerang dan TPA
Cipecang berada di Kecamatan Serpong Kota Tangerang Selatan. TPA-TPA ini telah
beroperasi cukup lama, lebih dari 15 tahun. Hanya TPA Cipecang di kota Tangerang Selatan
yang baru ditetapkan sebagai TPA Cipecang karena sebelumnya merupakan TPS milik
Pemda Kabupaten Tangerang sebelum terjadi pemekaran kota Tangerang Selatan dari
Kabupaten Tangerang. Dengan adanya pemekaran wilayah maka TPA Cipecang ditetapkan
sebagai TPA utama kota tersebut.

TPA Cipecang yang telah beroperasi lebih dari 5 tahun, yang semula merupakan TPS
Cipecang Kabupaten Tangerang terindikasi bahwa pada masa penentuannya sebagai TPA
Cipecang tidak memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lokasi sebagai TPA perkotaan,
224
khususnya tidak sesuai dengan kriteria fisik geografis lingkungan, luas lahan TPA, kriteria
kebijakan pemerintah daerah serta tidak memperhatikan sosial maupun kesediaan masyarakat
dalam penentuannya sebagai TPA sampah kota Tangerang Selatan. Hal ini terindikasi dari
banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan TPA Cipecang diantaranya
pencemaran lingkungan, sistem pemprosesan sampah yang tidak layak, konflik masyarakat
serta belum ada ajin AMDAL (penelitian kondisi lingkungan) di beberapa lokasi (Alviani,
2013).
Akibat ketidak layakan ketiga TPA eksisting dalam proses pengolahan sampah di
Tangerang Raya diantaranya menimbulkan permasalahan lingkungan diantaranya
pencemaran air dan tanah, polusi udara serta lahan yang terbatas di masing-masing kawasan
sekitar TPA tersebut diantaranya yaitu konflik TPA Jatiwaringin telah terjadi berulangkali,
dan mengakibatkan bentrok antara warga, LSM dengan pemerintah pengelola terkait
pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitar TPA Jatiwaringin ( Dena, 2013 dan survey
primer 2015). sedangkan konflik
TPA Cipecang diantaranya keterbatasan lahan TPA untuk pemprosesan sampah saat ini
hanya 1 Ha (survey tahun 2016), jarak yang sangat dekat dengan kawasan permukiman
(<100m), sampah yang menggunung mengakibatkan polusi udara hingga puluhan kilometer,
pencemaran tanah dan air, sehingga terjadi berulangkali unjukrasa dari masyarakat sebagai
aksi penolakan terhadap keberadaan TPA Cipecang dan meminta TPA ini segera ditutup
berkali-kali (aksi protes masyarakat, april 2014- nov 2016) terkait hal tersebut harus
dilakukan kajian untuk lokasi TPA baru sesuai ketentuan pengelolaan sampah yang dilakukan
secara baik sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan
(Aan 2016). Serta konflik pengelolaan sampah TPA Rawa Kucing yang hanya menimbun
sampah tanpa proses pengelolaan sampah yang baik yang mengakibatkan terjadinya overload
sampah dan diprediksi tidak dapat menampung timbulan sampah masyarakat perkotaan
hingga tahun 2025 sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan pada kawasan sekitar
TPA Rawa Kucing(Alviani Dena, 2013). Ketiga TPA eksisting wilayah Tangerang Raya
tersebut masih menggunakan metode pengolahan sampah open dumping yang menjadi salah
satu faktor pencemaran lingkungan karena tidak dapat memproses jumlah timbulan sampah
skala besar sehingga timbulan sampah menjadi semakin menumpuk dan tertimbun di TPA
sampah eksisting meningkatkan keresahan warga akan sistem pengolahan akhir sampah yang
menjadi salah satu sebab berkembangnya asumsi negatif masyarakat terhadap keberadaan
pembangunan TPA sampah.
Sebagai solusi untuk permasalahan ketiga TPA sampah eksisting di Tangerang Raya
225
maka dibutuhkan TPA sampah baru khususnya berupa TPA sampah regional agar dapat
memproses timbulan sampah dari wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan, maka Pemerintah Provinsi menetapkan lokasi baru sebagai TPA sampah
regional di Desa Ciangir, Kecamatan Legok Kab. Tangerang (Perda Prov Banten Tahun 2011
dan RTRWP Banten Tahun 2010-2030). Namun berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan masyarakat sekitar TPA, terdapat beberapa konflik yang terjadi yaitu
konflik masyarakat sekitar rencana lokasi TPA regional (Tempat Pemprosesan Akhir) di
Ciangir Kabupaten Tangerang yang menolak keras terhadap kebijakantersebut. Konflik yang
melibatkan masyarakat dengan Pemerintah Provinsi ini mengakibatkan ditutupnya lokasi
TPA Ciangir sebelum TPA tersebut sempat beroperasi (survey peneliti feb/2016). Oleh
karena itu berdasarkan konflik penetapan lokasi TPA Ciangir membuktikan bahwa perlunya
mengkaji aspek persepsi dan sikap masyarakat sekitar rencana lokasi TPA sampah selain
kajian terhadap arah perkembangan wilayah (kebijakan) dan kondisi fisik geografis
lingkungan.
Konflik dan permasalahan diatas terjadi akibat penetapan lokasi TPA sampah pada
awal perencanaan belum disesuaikan dengan kriteria pemilihan lokasi TPA serta dalam
pelaksanaan pengelolaannya belum sesuai standar teknologi pengolahan sampah yang
berlaku berupa kajian terhadap arah perkembangan wilayah (aspek kebijakan), kondisi fisik
geografis lingkungan serta tidak mempertimbangkan aspek persepsi masyarakat sekitar.
Disamping itu,caracara yang selama ini digunakan, telah mengakibatkan permasalahan
lingkungan, seperti lindi (leachate) yang mencemari badan air, kepulan asap, bau dan lalat
yang seringkali mengganggu lingkungan sekitar TPA Dari uraian di atas menyimpulkan
bahwa Pemerintah Provinsi Banten membutuhkan TPA regional baru untuk melayani wilayah
Tangerang Raya di Kabupaten Tangerang guna sebagai solusi dari berbagai permasalahan
lingkungan dan ketidaklayakan TPA eksisting. Maka dibutuhkan adanya studi mengenai
penentuan lokasi TPA sampah regional Tangerang Raya ditinjau dari arah perkembangan
wilayah Kabupaten Tangerang, kriteria fisik geografis lingkungan serta persepsi dan sikap
masyarakat sekitar lokasi potensial rencana TPA sampah regional sehingga dengan adanya
kajian ini dapat menetapkan lokasi potensial TPA sampah regional Tangerang Raya yang
menjadi bahan pertimbangan bagi perencana kota/kabupaten dalam penataan ruang serta
mengusulkan upaya untuk mendukung persepsi positif dan sikap masyarakat sekitar terhadap
kawasan lokasiTPA terpilih agar masyarakat dapat menerima rencana lokasi TPA sampah
regional tersebut.

226
Permasalahan muncul sebagai akibat dari ketersediaan lahan TPA sampah eksisting
yang terbatas, kondisi fisik geografis lingkungan dan ketidaklayakan metoda pengelolaan
sampah yang tidak memenuhi kriteria pemilihan lokasi TPA yang menimbulkan pencemaran
lingkungan berupa bau, pencemaran air dan tanah hingga pada konflik antara masyarakat
dengan pengelola TPA sampah eksisting sebagai bentuk penolakan (protes) terhadap
keberadaan TPA sampah Cipeucang, Rawa Kucing dan Jatiwaringin.
Penurunan kualitas dan kuantitas pelayanan TPA di ketiga wilayah Tangerang Raya
berupa keterbatasan lahan untuk pemprosesan akhir sampah,serta konflik masyarakat maupun
LSM dengan pemerintah pengelola TPA eksisting untuk TPA eksisting di Tangerang Raya
dapat ditutup menunjukan ketidak mampuan untuk terus dilakukan pengolahan sampah di
masing-masing TPA eksisting. Hal tersebut didukung oleh prediksi kapasitas TPA
Jatiwaringin,Rawa Kucing dan Cipeucang tidak dapat menampung dan mengelola sampah
dalam jangka panjang yaitu tahun 2018-2025, berdasarkan kebutuhan akan pelayanan
persampahan dan permasalahan pada masing-masing TPA wilayah di Tangerang Raya maka
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Tangerang Raya menetapkan kebijakan bahwa
Desa Ciangir di Kabupaten Tangerang sebagai

TPA sampah regional Tangerang Raya (Perda Prov.Banten No 2 Tahun 2011 dan RTRWP
Banten Tahun 2010-2030). namun kebijakan tersebut menimbulkan konflik antara
pemerintah daerah dengan masyarakat sekitar Desa Ciangir rencana lokasi TPA sampah
dikarenakan dalam penetapan lokasi tersebut tidak mempertimbangkan persepsi dan sikap
masyarakat Desa Ciangir terhadap rencana lokasi TPA sampah akibatnya masyarakat
menolak keras keberadaan TPA sampah regional yang berakibat ditutupnya rencana lokasi
TPA Ciangir tersebut sebelum TPA sempat beroperasi (survey peneliti Des,2015). Terkait
permasalahan utama ketersediaan lahan TPA sampah eksisting yang terbatas, kondisi fisik
geografis lingkungan dan ketidaklayakan metoda pengelolaan sampah yang tidak memenuhi
kriteria pemilihan lokasi TPA yang menimbulkan pencemaran lingkungan berupa bau,
pencemaran air dan tanah hingga pada konflik antara masyarakat dengan pengelola TPA
sampah untuk itu dibutuhkan kajian penetapanlokasi potensial TPA sampah regional
Tangerang Raya di Kabupaten Tangerang sesuai dengan standar dan kriteria-kriteria
227
penetapan lokasi diantaranya kriteria arah perkembangan wilayah (kebijakan daerah), kriteria
fisik geografis lingkungan serta meninjau pada permasalahan lokasi TPA Ciangir maka selain
kedua kriteria diatas dibutuhkan juga kriteria terhadap persepsi dan sikap masyarakat sekitar
lokasi TPAS regional terpilih Tangerang Raya.

Ruang Lingkup Substansi


Ruang Lingkup Substansi merupakan penjelasan batasan materi yang dilakukan dalam
penelitian, Berikut materi yang akan dibahas dalam penelitian:1. Mengidentifikasi alternatif-
alternatif lokasi potensial TPAS sesuai parameter pemilihan lokasi TPA sampah didasarkan
pada:
(a) Analisis kriteria Kebijakan Daerah terkait arah perkembangan wilayah Kabupaten
Tangerang berdasarkan SNI No. 03-3241-1994 dengan metode analisis ceklis dan
pengskoringan yang menghasilkan kecamatan potensial dan tidak potensial sebagai lokasi
TPAS,
(b) Analisis Fisik Geografis dan Lingkungan berdasarkan penyesuaian pada analisis kriteria
SK SNI T-II-1991-03 mengenai kriteria penentuan lokasi TPA sampah yang terbagi atas
analisis tahap regional dan tahap penyisihan. serta hasil dari kedua analisis fisik tersebut
dioverlaykan dengan peta penggunaan lahan tahun 2015,peta buffering jarak sungai dan
permukiman terdekat dan
(c) Analisis pembobotan skoring terhadap persepsi dan sikap masyarakat kawasan sekitar
rencana lokasi TPA terhadap penetapan lokasi TPA sampah serta (d) Analisis kebutuhan luas
lahan TPAS Tangerang Raya.
2. Pemilihan lokasi paling potensial untuk pembangunan TPAS regional Tangerang Raya di
Kabupaten Tangerang didasarkan pada hasil total skor pada kriteria kelayakan kebijakan,fisik
dan persepsi dari penentuan alternatif-alternatif lokasi potensial TPA dengan analisis luas
kebutuhan lahan TPAS Tangerang Raya yang disesuaikan dengan luas lahan kondisi
eksisting pada lokasi potensial TPA regional Tangerang Raya dengan metode proses digitasi
peta penggunaan lahan dan buffering permukiman dengan jarak 150 m.
3. Mengusulkan upaya untuk mendukung peningkatan persepsi positif dan sikap masyarakat
pada lokasi terpilih potensial TPA sampah sehingga masyarakat dapat menerima rencana
pembangunan TPAS Regional Tangerang Raya yaitu dengan mempertimbangkan hasil
analisis skoring persepsi masyarakat pada lokasi potensial TPA, hasil kuisioner dan
wawancara pada lokasi potensial TPAS

228
Pengumpulan data merupakan proses pengadaan data untuk keperluan penelitian yang
tekait dengan kajian penentuan lokasi TPA sampah regional Tangerang Raya di Kabupaten
Tangerang. Dalam pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan dua (2) cara, meliputi:
a. Survei Primer Survei primer yaitu survei yang dilakukan langsung ke lapangan dengan
mengamati kondisi fisik lingkungan lokasi rencana TPA, penggunaan lahan, pemahaman
masyarakat mengenai persampahan serta persepsi dan sikap masyarakat kawasan sekitar TPA
terhadap rencana penetapan lokasi TPA di Kabupaten Tangerang. Dalam survei primer ini
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :1.Wawancara, dilakukan kepada kepada tokoh-
tokoh masyarakat yang memiliki peran penting dalam kemasyarakatan dan pemerintah yang
terkait dengan penentuan lokasi TPA sampah regional di Kabupaten Tangerang tokoh-tokoh
dan pemerintah yang terkait dengan penelitian ini, seperti kepala desa, RT, RW, camat, dll.
2.Kuisioner, pengamatan dengan menyalurkan kuisioner dengan pertanyaan – pertanyaan
yang dijawab oleh responden pada alternatif lokasi-lokasi TPA potensial sampah untuk dapat
mengetahui persepsi dan sikap masyarakat mengenai rencana penetapan lokasi TPA sampah
regional Tangerang Raya.

b. Survei sekunder Pengumpulan data sekunder diantaranya yang memuat teori tentang
persampahan, tempat pemprosesan akhir, metode dan kriteria dalam menentukan tempat
pemprosesan akhir sampah, pemanfaatan ruang kawasan sekitar TPA, dan kajian lain yang
terkait. Survei instansi juga dilakukan untuk mendapatkan datadata melalui instansi-instansi
terkait diantaranya: BABBEDA, BPS, Dinas Kebersihan, pertamanan dan pemakaman.
Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel diperlukan untuk pengumpulan
data primer yaitu teknik kuesioner terkait data persepsi dan sikap masyarakat sekitar rencana
lokasi potensial TPA sampah Tangerang Raya, untuk itu perlu ditentukan jumlah sampel dari
populasi khususnya masyarakat yang berada pada sekitar rencana lokasi TPA sampah
regional Tangerang Raya berdasarkan hasil analisis kondisi fisik geografis dan lingkungan.
metode yang digunakan dalam pengambilan sampel yaitu metode sampel acak sederhana
(simple random sampling).menggunakan rumus yaitu sebagai berikut:
229
Pengambilan sampel pada wilayah alternatif- alternatif lokasi potensial TPA sampah
(wilayah fungsional) yang dihasilkan berdasarkan analisis kebijakan daerah dan kondisi fisik
geografis lingkungan tahap regional dan penyisihan alternatif lokasi potensial di Kab.
Tangerang untuk dapat dikaji berdasarkan analisis persepsi dan sikap masyarakat dengan
batasan sampel yang didasarkan pada jumlah penduduk usia produktif pada alternatif lokasi
potensial. Maka ukuran sampel minimum yang dibutuhkan yaitu sebanyak 100. Pengambilan
sampel untuk tiap lokasi dilakukan secara proposional dengan mempersentasekan jumlah
penduduk tiap lokasi namun dengan pertimbangan luas kawasan alternatif lokasi potensial
dengan dampak pada daerah sekitarnya. Sedangkan teknik dalam pengambilan sampel untuk
wawancara yaitu non probability sampling yang didasarkan atas pertimbangan peneliti dalam
mewawancarai pihak-pihak yang terkait yang memiliki informasi secara langsung mengenai
kajian penentuan lokasi TPA sampah regional Tangerang Raya diantaranya tokoh-tokoh
masyarakat dan masyarakat yang terlibat secara langsung.

1. Metode Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis ini digunakan untuk menginterpretasikan


data-data yang ada sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai kondisi yang
tengah terjadi di lapangan. Pada kajian penentuan lokasi TPAS Tangerang Raya ini metode
analisis deskriptif yang digunakan, yaitu sebagai berikut :
a) Metode Analisis Ceklis pada Kebijakan Daerah Penataan Ruang Terkait Penentuan Lokasi
TPAS Tangerang Raya Analisis kebijakan daerah terhadap Penataan Ruang Terkait
Penentuan Lokasi TPAS Tangerang Raya Kab. Tangerang yang didasarkan pada
RPJMDKabupaten Tangerang Tahun 2013 – 2018 dan Rencana Tata Ruang Kabupaten
Tangerang tahun 2010–2030 yaitu dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif
kualitatif yaitu metode analisis ceklis dalam melakukan penilaian terhadap lokasi potensial
dan kurang potensial perkecamatan dalam pembangunan TPAS sesuai dengan standar,
kriteria,persyaratan dalam penentuan lokasi Tpa diantaranya SNI 03-3241-1994 Tata Cara
Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah.

b) Identifikasi Persepsi Masyarakat


Metode analisis yang digunakan dalam mengidentifikasi persepsi masyarakat adalah
metode analisis frekuensi dan pembobotan skoring. Metode analisis frekuensi berupa
pengukuran data responden didasarkan pada tingkat frekuensi dari setiap jawaban pertanyaan,
230
Setelah didapat nilai frekuensi dari jawaban responden terhadap setiap pertanyaan yang ada
dalam kuesioner, lalu dilakukan analisis deskriptif terhadap data yang disajikan dalam bentuk
pentabelan. Selanjutnya dilakukan interpretasi melalui analisis kualitatif dan menyimpulkan
temuan yang didapat hasil analisis. Sedangkan metode pengskoringan digunakan dengan
menjumlahkan nilai pada indikator baik (nilai 2 dan 3) sesuai dengan bobot masing-masing
parameter identifikasi persepsi dan sikap masyarakat, selanjutnya total nilai persepsi di
kelaskan berdasarkan kelayakan persepsi dan sikap masyarakat. Parameter diatas juga
berfungsi sebagai variabel untuk mengusulkan upaya untuk mendukung peningkatan nilai
persepsi dan sikap masyarakat dengan meningkatkan nilai indikator yang masih rendah pada
parameter diatas sehingga masyarakat sekitar kawasan potensial TPA sampah dapat
berpersepsi positif dan menerima penetapan TPA sampah regional.
2. Metode Analisis Deskriptif Kuantitatif Metode penetapan penentuan lokasi TPA sampah
merupakan metode analisis dengan mendeskripsikan keadaan suatu gejala yang telah direkam
melalui alat ukur kemudian diolah sesuai dengan fungsinya. Hasil pengolahan tersebut
selanjutnya dipaparkan dalam bentuk angka-angka sehingga memberikan suatu kesan lebih
mudah ditangkap maknanya oleh siapapun yang membutuhkan informasi tentang keberadaan
gejala tersebut. Dimana dalam penelitian ini metode analisis deskriptif kuantitatif dilakukan
untuk menentukan lokasi terbaik sebagai lokasi pembangunan tempat pemprosesan akhir
sampah, yang mana penilaian dilakukan dengan teknik skoring pada masing-masing kriteria
yang ditetapkan, yaitu sebagai berikut
a) Analisis Fisik Geografis dan Lingkungan Pada Analisis Fisik Geografis dan Lingkungan
memiliki dua tahapan analisis diantaranya tahap regional dan tahapan penyisihan. Tahap
regional menggunakan metode superimpose dan tahap penyisihan menggunakan metode
analisis deskriptif kuantitatif, yaitu dengan teknik skoring berdasarkan variabel dan parameter
yang ditetapkan pada SNI nomor 03-3241-1994 dan SK SNI T-II-1991-03 mengenai kriteria
dalam penentuan lokasi TPA sampah serta beberapa parameter yang dinilai berpengaruh
dalam penentuan lokasi TPA sampah dan karakteristik wilayah kajian serta memberikan
dampak lingkungan bagi sekitar lokasi TPA sampah. pemberian nilai bobot untuk
menghindari subyektivitas penilaian.
b) Analisis Kebutuhan Luas Lahan dan Proyeksi Kebutuhan Luas Lahan
1) Analisis Kebutuhan Luas Lahan Kebutuhan luas lahan sangat diperlukan untuk
menentukan lokasi pembangunan TPA Sampah, karena untuk menentukan suatu lokasi
pembangunan TPA sampah diharuskan untuk mengetahui luas lahan yang dibutuhkan untuk
pembangunan TPA sampah dengan mempertimbangkan
231 besarnya timbulan sampah, volume
sampah, tingkat pemadatan dan variabel mengenai sampah lainnya.
2) Analisis Proyeksi Jumlah Penduduk (y) Proyeksi penduduk yang digunakan yaitu metode
proyeksi penduduk yang sesuai dengan kondisi kependudukan wilayah pelayanan
pembangunan TPA sampah dengan melihat kecenderungan nilai R2 (Square) mendekati 1,
variasi variabel independen yang digunakan dalam model menjelaskan 100% variasi variabel
dependen. Maka dari itu pemilihan Metode Proyeksi Penduduk yaitu yang berdasarkan angka
analisis determinasi yang mendekati nilai satu ataupun nilai satu (1).
3) Analisis Timbunan Sampah dan Proyeksi Timbunan Sampah Proyeksi timbunan sampah
yaitu dengan memperhitungkan variabel timbunan sampah pada kondisi eksisting dengan
jumlah penduduk dan proyeksi jumlah penduduk.
3. Metode Superimpose Metode ini digunakan untuk sistem penyaringan penentuan lokasi
potensial TPAS Tangerang Raya khususnya tahapan regional pada analisis fisik geografis
dengan teknik overlapping map yang mempertimbangkan: Kondisi Geologi, Kondisi
Hidrogeologi, Jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter dihilir
aliran, Kemiringan zona harus kurang dari 20 %, Jarak dari lapangan terbang harus lebih
besar dari 3.000 meter, Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan
periode ulang 25 tahun, serta parameter lain yang berperan penting dalam penentu lokasi
TPA yaitu kebencanaan berupa gerakan tanah dan tsunami, dan jenis tanah di analisis dengan
bantuan tools SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk menyaring wilayah Kab. Tangerang
menjadi zona layak atau zona tidak layak untuk pembangunan TPA sampah. Hasil metode
sintesis superimpose pada tahapan regional berupa zona layak dibangun, selanjutnya di
overlaykan dengan peta guna lahan eksisting tahun 2015 dan peta buffering sumber air
dengan tujuan menyaring dan mengerucutkan lingkup kajian sehingga didapatkan alternatif-
alternatif lokasi pembangunan TPA sampah regional dan dilanjutkan kajian pada tahap
penyisihan.

Analisis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Sampah


1. Pewadahan Sistem pewadahan di di wilayah Kabupaten Tangerang saat ini masih sangat
minim karena hampir 60% warga tidak memiliki tempat sampah di rumahnya. Beberapa
menggunakan bin permanen namun hampir seluruhnya tidak menerapkan sitem
pemilahan.Perencanaan terkait pewadahan:o Wadah dipisah menjadi 3 jenis pemilahan
232
o Portable agar mudal loading unloadingo Bahan plastik tebal 5 mm dan kedap airo Lokasi
strategiso Penggantian peralatan pewadahan 5 tahun sekalio Kebutuhan bin pada tahun 2015
sebanyak 2.023.649, proyeksi didasarkan pada peningkatan jumlah penduduk (Tabel 3).o
Kapasitas bin untuk fasilitas umum/ sampah non rumah tangga ditunjukan Tabel 5.

2. Pengumpulan Tahapan pengumpulan di wilayah kabupaten Tangerang ini kebanyakan


hanya dilakukan di wilayah perumahan saja dan di beberapa wilayah yang akses jalannya
sulit dilalui truck. sarana yang digunakan pada tahapan pengumpulan ini yakni gerobak
motor, gerobak, dan mobil sampah.
Perencanaan terkait pengumpulan:
o Mudah dalam loading unloading o Memiliki konstruksi yang ringan dan sesuai dengan
kondisi jalano Menggunakan penutup o Adanya sekat untuk pemilahano Perhitungan jumlah
alat pengumpul yang dib

Analisis Aspek Non Teknis Pengelolaan SampahHukum dan PeraturanBeberapa peraturan


yang sudah ada di Kabupaten tangerang terkait pengelolaan sampah:1. Undang-Undang No.
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah2. Keputusan Bapedal No. 04/Bapedal/09/1995
3. Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan sampah
dan lumpur tinja.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
5. Peraturan Bupati Tangerang No. 44 Tahun 2011 tentang Perubahan atas peraturan Bupati
Tangerang No.51 Tahun 2010 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Kebersihan,
Pertamanan dan Pemakaman Kabupaten Tangerang Namun penindakan tegas belum
dilakukan, masih kurangnya dukungan secara hukum terhadap upaya komunitas masyarakat,
sulitnya pengimplementasian aturan yang sudah ada terhadap seluruh elemen masyarakat,
dan kurangnyaa sosialisasi terkait aturan yang ada.
Kelembagaan
Dalam penyusunan struktur organisasi perangkat daerah ini seharusnya didahului dengan
perumusan tujuan yang jelas terlebih dahulu, sehingga tupoksinya jelas dan tidak overlap
antara bidang yang satu dengan bidang lainnya. Selain itu struktur organisasi yang ada belum
ditunjang dengan jumlah dan kualitas SDM yang memadai sesuai dengan kewenangannya.
Perangkat daerah dengan lembaga lainnya seperti LSM dan Dinas Pekerjaan Umum
seharusnya juga dibuat kerjasama dan beberapa prasarana dan sarana yang telah dibuat oleh
Dinas PU.
233
Persyaratan Lokasi TPA

Mengingat besarnya potensi dalam menimbulkan gangguan terhadap lingkungan maka


pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama dan hati-hati. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan sangat rincinya persyaratan lokasi TPA seperti tercantum dalam SNI dan
UU RI No.18 Tahun 2008, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir
Sampah da; yang diantaranya dalam kriteria regional dicantumakan:
1.Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah rawan longsor, rawan gempa, dll)
2.Bukan daerah rawan hidrogeologis yaitu daerah dengan kedalaman air tanah kurang 3
meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan sumber air (dalam hal tidak terpenuhi
harus dilakukan masukkan teknologi)
3.Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari 20 %)
4.Bukan daerah rawan terhadap kegiatan penerbangan di bandara (jarak minimal 1,5 – 3
meter)
5.Bukan daerah/kawasan yang dilindungi.

Jenis dan Fungsi Fasilitas TPA

Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan rasarana dan
sarana yang meliputi:
1 Prasarana Jalan

A. Jalan Masuk/Jalan Penghubung


Jalan masuk atau jalan penghubung adalah jalan yang menghubungkan lokasi TPA dengan
jaringan jalan kota (jalan utama). Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan
pengoperasian TPA. Semakin baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan
pengangkutan sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi.

Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat sehingga dikenel
jalan TPA dengan konstruksi : 234

1.Hotmix
2.Beton
3.Aspal
4.Perkerasan sirtu
5.Kayu

Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan :


1.Jalan masuk/akses ; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah tersedia.
2.Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lain dalam
wilayah TPA.
3.Jalan oprasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju titik pembongkaran
sampah.
Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan penghubung
dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja ( operasi ).

Adapun kriteria jalan masuk ke lokasi TPA adalah sebagai berikut :


-Merupakan jalan 2 arah
-Kecepatan rencana kendaraan yang melintasi maksimum 30 km/jam.
-Lebar perkerasan jalan minimum 8 m dan bahu jalan minimum 2 m (minimum ROW 12 m)
-Kemiringan melintang 2%
-Kemiringan memanjang + 1 o/oo (datar) dan elevasi jalan diatas HHWL.
-Konstruksi tidak permanent dengan tekanan gendar rencana maksimum 8 ton.
Mengingat kondisi pondasi dasar jalan masih mengalami penurunan (settlement),
disarankan memakai konstruksi paving sehingga memudahkan dalam perbaikan badan jalan.
Jalan dapat dirubah menjadi permanent apabila daya dukung tanah sudah stabil.

Jalan Kerja
Kriteria sistem drainase adalah sebagai berikut :

A. Drainase Jalan
Berada di sisi jalan sepanjang jalan penghubung yang berfungsi untuk mengalirkan
limpasan air dari badan jalan dengan kriteria sebagai berikut :
235

-Merupakan saluran semi permanent atau permanent.


-Diberikan konstruksi penahan lonsor.
-Kemiringan saluran + 0,5%

B. Drainase Lahan TPA


Saluran drainase ini berfungsi agar limpasan air permukaan , air tanah dan aliran air tanah
mengalir kedalam bangunan pengolahan leachate untuk dioalah terlebih dahulu sebelum
mengalir ke badan air penerima.
Adapun kriteria drainase lahan adalah sebagai berikut :
-Merupakan saluran semi permanent atau permanent.
-Diberi konstruksi penahan longsor.
-Dinding saluran bersifat kedap air sehingga tidak terjadi infiltrasi ke arah samping.
-Periode ulang hujan didesain untuk 5 tahun.
2.8 Pengelolaan TPA berwawasan Lingkungan

Lokasi TPA merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang akan menerima
segala resiko akibat pola pembuangan sampah terutama yang berkaitan dengan kemungkinan
terjadinya pencemaram lindi (leachate) ke badan air maupun air tanah, pencemaran udara
oleh gas dan efek rumah kaca serta berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat (Judith,
1996). Menurut Qasim (1994) dan Thobanoglous (1993), potensi pencemaran leachate
maupun gas dari suatu landfill ke lingkungan  sekitarnya  cukup besar mengingat proses
pembentukan leachate dan gas dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu 20 –
30 tahun setelah TPA ditutup.

Dengan demikian maka perlu ada suatu upaya yang harus dilakukan untuk
pengamanan pencemaran lingkungan. Upaya pengamanan lingkungan TPA diperlukan dalam
rangka mengurangi terjadinya  dampak potensial yang mungkin terjadi selama  kegiatan
pembuangan akhir berlangsung (dampak potensial dapat dilihat pada tabel 1). Upaya tersebut
meliputi :

 Penentuan lokasi TPA yang memenuhi syarat (SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata
Cara Pemilihan Lokasi TPA).

 Pembangunan fasilitas TPA yang memadai, pengoperasian TPA sesuai dengan


persyaratan dan reklamasi lahan bekas TPA sesuai dengan peruntukan lahan dan tata
ruang. 236

 Monitoring pasca operasi terhadap bekas lahan TPA.


Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan manajemen pengelolaan TPA secara
lebih memadai terutama ketersediaan SDM yang handal serta ketersediaan biaya
operasi dan pemeliharaan TPA.

Tabel 1. Dampak potensial kegiatan pembuangan akhir

237
238

A. TAHAPAN PENGAMANAN PENCEMARAN LINGKUNGAN TPA


a. TAHAP PRA KONSTRUKSI

1. Pemilihan Lokasi TPA

Untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut yang diakibatkan oleh


metode pembuangan akhir sampah yang tidak memadai seperti yang selalu
terjadi di berbagai kota di Indonesia, maka langkah terpenting adalah memilih
lokasi yang sesuai dengan persyaratan. Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1997
tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, bahwa  lokasi  yang memenuhi
persyaratan sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah :

 Jarak dari perumahan terdekat 500 m

 Jarak dari badan air 100 m

 Jarak dari airport 1500 m (pesawat baling-baling) dan 3000 m (pesawat


jet)

 Muka air tanah > 3 m

 Jenis tanah lempung dengan konduktivitas hidrolik < 10 -6 cm / det

 Merupakan tanah tidak produktif

 Bebas banjir minimal periode 25 tahun

Pemilihan lokasi TPA sebagai langkah awal dalam peningkatan


metode pembuangan akhir sampah,  perlu dilakukan secara teliti melalui
tahapan studi yang komprehensif (feasibility study dan studi amdal). Sulitnya
mendapatkan lahan yang memadai didalam kota, maka disarankan untuk
memilih lokasi TPA yang dapat digunakan secara regional. Untuk lokasi TPA
yang terlalu jauh (>25 km) dapat menggunakan sistem transfer station.

2. Survey dan pengukuran Lapangan

Data untuk pembuatan DED TPA harus meliputi :

 Jumlah sampah yang akan dibuang ke TPA

 Komposisi dan karakteristik sampah

 239 jalan ke lokasi TPA


Data jaringan

 Jumlah alat angkut (truk)


 Pengumpulan data tersebut dapat dilakukan secara
langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder).

 Pengukuran lapangan dilakukan untuk mengetahui data


kondisi lingkungan TPA seperti:

 Topografi

 Karakteristik tanah, meliputi karakteristik fisik (komposisi


tanah, konduktivitas hidrolik, pH, KTK dan lain-lain) dan
karakteristik kimia (komposisi mineral tanah, anion dan
kation)

 Sondir dan geophysic

 Kondisi air tanah, meliputi kedalaman muka air tanah,


arah aliran air tanah, kualitas air tanah (COD, BOD, Chlorida,
Fe, Organik dan lain-lain)

 Kondisi air permukaan, meliputi jarak dari TPA, level air,


fluktuasi level air  musim hujan dan kemarau, kualitas air
sungai (BOD, COD, logam berat, chlorida, sulfat, pestisida dan
lain-lain)

 Lokasi mata air ( jika ada) termasuk debit.

 Kualitas lindi, meliputi BOD, COD, Chlorida, Logam


berat, Organik dan lain-lain.

 Kualitas udara, meliputi kadar CH4, COx, SOx, NOx dan


lain-lain.

 Jumlah penduduk yang tinggal disekitar TPA (radius <


500 m)

 Dan lain-lain

3. Perencanaan

Perencanaan TPA berupa Detail Engineering Design (DED), harus


240
dapat  mengantisipasi terjadinya pencemaran lingkungan . Dengan demikian
maka perencanaan TPA tersebut harus meliputi :
 Disain site plan disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia

 Disain fasilitas yang meliputi fasilitas umum (jalan masuk dan


jalan operasi, saluran drainase, kantor TPA, pagar), fasilitas
perlindungan lingkungan (tanggul, lapisan dasar kedap air, jaringan
pengumpul dan pengolah lindi, ventilasi gas, barrier, tanah
penutup, sumur uji, alat berat dan lain-lain) dan fasilitas pendukung
(air bersih, bengkel, jembatan timbang dan lain-lain).

 Tahapan pembangunan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan


daerah untuk membangun suatu TPA sehingga dengan kondisi
yang paling minimal TPA tersebut dapat berfungsi tanpa
mencemari lingkungan.

 Dokumen DED dilengkapi juga dengan gambar detail, SOP,


dokumen tender, spesifikasi teknis, disain note dan lain-lain.

 Perpindahan atau pergeseran lokasi TPA harus diikuti oleh


pembuatan DED  pada lokasi baru (redisign).

4. Pembebasan lahan

Pembebasan lahan TPA perlu memperhatikan dampak sosial yang


mungkin timbul seperti kurang memadainya ganti rugi bagi masyarakat yang
tanahnya terkena proyek. Luas lahan yang dibebaskan minimal dapat
digunakan untuk menampung sampah  selama 5 tahun.

5. Pemberian izin

Pemberian izin lokasi TPA harus diikuti dengan berbagai konsekuensi


seperti dilarangnya pembangunan kawasan perumahan atau industri pada
radius < 500 m dari lokasi TPA, untuk menghindari terjadinya dampak negatif
yang mungkin timbul dari berbagai kegiatan TPA

6. Sosialisasi

Untuk menghindari terjadinya protes sosial atas keberadaan suatu


TPA, perlu diadakan sosialisasi dan advokasi publik mengenai apa itu TPA,
241
bagaimana mengoperasikan suatu TPA dan kemungkinan dampak negatif 
yang dapat terjadi namun disertai dengan rencana atau upaya pihak pengelola
untuk menanggulangi masalah yang mungkin timbul dan tanggapan
masyarakat terhadap rencana pembangunan TPA. Sosialisasi dilakukan secara
bertahap dan  jauh sebelum dilakukan perencanaan.

b. TAHAP KONSTRUKSI

1. Mobilisasi Tenaga dan Alat

 Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang akan


melaksanakan pekerjaan konstruksi TPA. Untuk tenaga profesional seperti
tenaga supervisi, ahli struktur dan mandor harus direkrut sesuai dengan
persyaratan kualifikasi, sedangkan untuk tenaga buruh atau tenaga keamanan
dapat direkrut dari tenaga setempat (jika ada). Rekrutmen tenaga setempat
adalah untuk menghindari terjadinya konflik atau kecemburuan sosial.

 Alat

Mobilisasi peralatan konstruksi mungkin akan menimbulkan dampak


kebisingan dan debu, namun sifatnya hanya sementara. Untuk itu agar dapat
diusahakan mobilisasi atau demobilisasi alat berat dilakukan pada saat lalu
lintas dalam keadaan sepi serta tidak melalui permukiman yang padat.

 Pembersihan lahan (land clearing)

Pembersihan lahan akan menimbulkan dampak pengurangan jumlah


tanaman dan debu sehingga perlu dilakukan penanaman pohon sebagai
pengganti atau membuat green barrier yang memadai.

 Pembangunan fasilitas umum

a) Jalan Masuk TPA

Jalan masuk TPA akan digunakan oleh kendaraan pengangkut sampah


dengan kapasitas yang cukup besar, sehingga kelas jalan dan lebar jalan perlu
memperhatikan beban yang akan lewat serta antrian yang mungkin terjadi.
Pengaturan lalu lintas untuk  kendaraan yang akan masuk dan keluar TPA
sedemikian rupa sehingga dapat menghindari antrian yang panjang karena
dapat mengurangi efisiensi pengangkutan.
242
b) Kantor TPA

Kantor TPA berfungsi sebagai kantor pengendali kegiatan


pembuangan akhir mulai dari penimbangan/ pencatatan sampah yang masuk
(sumber, volume/berat, komposisi dan lain-lain), pengendalian operasi,
pengaturan menajemen TPA dan lain-lain.  Luas dan konstruksi bangunan
kantor TPA perlu memperhatikan fungsi tersebut. Selain itu juga dapat
dilengkapi dengan ruang laboratorium sederhana untuk analisis kualitas lindi
maupun efluen lindi yang akan dibuang kebadan air penerima.

c) Drainase

Drainase keliling TPA diperlukan untuk menampung air hujan agar


tidak masuk ke area timbunan TPA, selain untuk mencegah tergenangnya area
timbunan sampah juga untuk mengurangi timbulan lindi.

d) Pagar TPA

Pagar TPA selain berfungsi sebagai batas TPA dan keamanan TPA 
juga dapat berfungsi sebagai green barrier. Untuk itu maka pagar TPA
sebaiknya dibuat dengan menggunakan tanaman hidup dengan jenis pohon
yang rimbun dan cepat tumbuh seperti pohon angsana.

 Pembangunan fasilitas perlindungan lingkungan

a) Lapisan Dasar Kedap Air

Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya


pencemaran lindi terhadap air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar
TPA harus cukup kedap, baik dengan menggunakan lapisan dasar
geomembrane/geotextile maupun lapisan tanah lempung dengan
kepadatan dan permeabilitas yang memadai (< 10-6 cm/det). Lapisan
tanah lempung sebaiknya terdiri dari 2 lapis masing-masing setebal 30
cm. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya keretakan
akibat kerusakan lapisan pertama karena  terekspose cukup lama.
Selain itu untuk menghindari terjadinya keretakan lapisan dasar tanah
243 dilakukan peninmbunan sebaiknya lapisan
lempung, maka sebelum
dasar “terlindung” . Sebagai contoh dapat dilakukan penanaman
rumput atau upaya lain yang cukup memadai.
b) Jaringan Pengumpul Lindi

Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi  untuk


mengalirkan lindi yang terbentuk dari timbunan sampah  ke kolam
penampung lindi. Jaringan pengumpul lindi dapat berupa pipa PVC
berlubang yang dilindungi oleh gravel. Tipe jaringan disesuaikan
dengan kebutuhan seperti luas TPA, tingggi timbunan, debit lindi dan
lain-lain. Sebagai contoh :

c) Penampang melintang jaringan pengumpul lindi adalah


sebagai berikut :

d) Pengolahan Lindi
244
Instalasi atau kolam pengolahan lindi berfungsi untuk
menurunkan kadar pencemar lindi sampai sesuai dengan ketentuan
standar efluen yang berlaku. Mengingat karakteristik lindi didominasi
oleh komponen organik dengan nilai BOD rata-rata 2000 – 10.000
ppm (Qasim, 1994), maka pengolahan lindi yang disarankan minimal
dengan proses pengolahan biologi (secondary treatment). Proses
pengolahan lindi perlu memperhatikan  debit lindi, karakteristik lindi
dan badan air penerima tempat pembuangan efluen. Hal tersebut
berkaitan dengan pemilihan proses pengolahan, penentuan kapasitas
dan dimensi kolam serta perhitungan waktu detensi.

Mengingat proses biologi akan sangat dipengaruhi oleh


kemampuan aktivitas mikroorganisme, maka pengkondisian dan
pengendalian proses memegang peranan penting. Sebagai contoh
kegagalan proses yang terjadi selama ini adalah karena tidak adanya
upaya seeding dan aklimatisasi proses biologi, sehingga efisiensi
proses tidak dapat diprediksi bahkan cenderung sangat rendah.

Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri


dari beberapa tahap sebagai berikut :

 Pengumpulan lindi, dilakukan di kolam pengumpul

 Proses anaerobik, dilakukan di kolam anaerob (kedalaman >


2m). Proses ini diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 60 %

 Proses fakultatif yang merupakan proses peralihan dari


anaerobik, dilakukan di kolam fakultatif. Proses ini diharapkan
dapat menurunkan BOD sampai 70 %

 Proses maturasi atau stabilisasi, dilakukan di kolam maturasi


dengan efisiensi proses 80 %

 Land treatment, dilakukan dengan membuat lahan yang


berfungsi sebagai saringan biologi yang terdiri dari ijuk, pasir,
tanah dan tanaman yang dapat menyerap bahan polutan.

Dalam kondisi efluen belum dapat mencapai nilai efluen yang


diharapkan, maka dapat dilakukan proses resirkulasi lindi ke lahan
245 pipa ventilasi gas. Adanya proses serupa
timbunan sampah melalui
“trickling filter”, diharapkan dapat menurunkan kadar BOD lindi.
d) Ventilasi Gas

Ventilasi gas berfungsi untuk mengalirkan gas dari timbunan sampah


yang terbentuk karena proses dekomposisi sampah oleh aktivitas
mikroorganisme. Tanpa adanya ventilasi yang memadai, akan dapat
menyebabkan tingginya akumulasi gas di timbunan sampah sehingga sangat
mudah terbakar. Gas yang mengalir dan keluar dari pipa ventilasi sebaiknya
diolah sebagai biogas (di negara maju, gas dari landfill dimanfaatkan untuk
menghasilkan tenaga listrik). Tetapi apabila tidak dilakukan pengolahan gas
TPA, maka gas yang keluar dari pipa vent harus dibakar, hal tersebut untuk
menghindari terjadinya dampak negatif terhadap pencemaran udara berupa
efek rumah kaca (green house effect).

Pemasangan pipa gas berupa pipa PVC berlubang (vertikal) yang


dilindungi oleh casing yang diisi kerikil,  harus dilakukan secara bertahap
sesuai dengan ketinggian lapisan sel sampah. Letak pipa gas agar berada pada
jalur jaringan pipa lindi.

e) Green Barrier

Untuk mengantisipasi penyebaran  bau dan populasi lalat yang tinggi,


maka perlu dibuat green barrier berupa area pepohonan disekeliling TPA.
Tebal green barrier kurang lebih 10 m (canopi). Pohon yang cepat tumbuh dan
246
rimbun untuk memenuhi kebutuhan ini antara lain jenis pohon  angsana.
f) Sumur Uji

Sumur uji diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran


terhadap air tanah yang disebabkan oleh adanya rembesan lindi dari dasar
TPA (dasar TPA tidak kedap, adanya retakan lapisan tanah, adanya kebocoran
geomembran ).

 Pembangunan fasilitas pendukung

a) Sarana Air Bersih

Air bersih di TPA diperlukan untuk pembersihan kendaraan


pengangkut sampah (truck), alat berat, keperluan mandi cuci bagi petugas
maupun pengunjung TPA. Selain itu apabila memungkinkan air bersih juga
diperlukan untuk menyiram debu disekitar area penimbunan secara berkala
untuk mengurangi polusi udara.

b) Bengkel

Bengkel di TPA diperlukan untuk pemeliharaan alat berat serta


memperbaiki kendaraan yang mengalami kerusakan ringan yang terjadi di
TPA, sehingga tidak sampai mengganggu operasi pembuangan sampah. 
Peralatan  bengkel harus disesuaikan dengan jenis kerusakan yang akan
ditangani.

c) Jembatan Timbang

Jembatan timbang diperlukan untuk mengetahui berat sampah yang


masuk TPA sehingga masa pakai TPA dapat dikendalikan. Selain itu jembatan
timbang tersebut dapat digunakan sebagai ukuran pembayaran pembuangan
sampah per truk (untuk sampah dari sumber tertentu yang tidak dikenakan
retribusi).

c. TAHAP PASCA KONSTRUKSI

1. Operasi dan Pemeliharaan TPA

Operasi dan pemeliharaan TPA merupakan hal yang paling sulit


dilaksanakan dari seluruh tahapan
247 pengelolaan TPA. Meskipun fasilitas TPA
yang ada sudah cukup memadai, apabila operasi dan pemeliharaan TPA tidak
dilakukan dengan baik maka tetap akan terjadi pencemaran lingkungan.
Untuk menghindari terjadinya dampak negatif yang mungkin timbul ,
maka pengoperasian pembuangan akhir sampah dilakukan  dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

 Penerapan sistem sel

 Penerapan sistem sel memerlukan  pengaturan lokasi pembuangan


sampah yang jelas termasuk pemasangan rambu-rambu lalu lintas
truk sampah , kedisiplinan sopir truk untuk membuang sampah
pada sel yang telah ditentukan dan lain-lain

 Pemadatan sampah sedemikian rupa agar dapat mencapai


kepadatan 700 kg/m3, yaitu dengan lintasan alat berat 5 x. Untuk
proses pemadatan pada lapis pertama perlu dilakukan secara hati-
hati agar alat berat tidak sampai merusak jaringan pipa leachate
yang dapat menyebabkan kebocoran leachate.

 Penutupan tanah dilakukan secara harian ( 20 cm), intermediate


( 30 cm) dan penutupan tanah akhir (50 cm ).  Pemilihan jenis
tanah penutup perlu mempertimbangkan tingkat kekedapannya,
diusahakan merupakan jenis yang tidak kedap. Dalam kondisi
penutupan tanah tidak dilakukan secara harian, maka untuk
mengurangi populasi lalat dilakukan penyemprotan insektisida.

 Pengolahan lindi dikondisikan untuk mengoptimalkan proses


pengolahan baik melalui proses anaerob, aerob, fakultatif, maturasi
248
dan resirkulasi lindi, sehingga dicapai efluen yang memenuhi
standar baku mutu (BOD 30 – 150 ppm).
 Pipa ventilasi gas berupa pipa berlubang yang dilindungi oleh
kerikil dan casing dipasang secara bertahap sesuai dengan
ketinggian lapisan timbunan sampah

2. Reklamasi lahan bekas TPA

Untuk menghindari terjadinya dampak negatif, karena proses


dekomposisi sampah menjadi lindi dan gas berlangsung dalam waktu yang
sangat lama 30 tahun (Thobanoglous, 1993), maka lahan bekas TPA
direkomendasikan untuk lahan terbuka hijau atau sesuai dengan rencana tata
guna lahannya. Apabila  lahan bekas TPA akan digunakan sebagai daerah
perumahan atau bangunan lain, maka perlu memperhitungkan faktor
keamanan bangunan secara maksimal.

Reklamasi lahan bekas TPA disesuaikan dengan  rencana


peruntukannya terutama yang berkaitan dengan konstruksi tanah penutup
akhir. Untuk lahan terbuka hijau, ketebalan tanah penutup yang dipersyaratkan
adalah 1 m (tergantung jenis tanaman yang akan ditanam), ditambah lapisan
top soil. Sedangkan untuk peruntukan bangunan, persyaratan penutupan tanah
akhir serupa dengan konstruksi  jalan dan  faktor keamanan sesuai dengan
peraturan konstruksi yang berlaku.

3. Monitoring TPA pasca operasi

Monitoring kualitas lingkungan pasca operasi  TPA diperlukan untuk


mengetahui ada tidaknya pencemaran baik karena kebocoran dasar TPA,
jaringan pengumpul lindi, proses pengolahan lindi yang tidak memadai 
maupun kebocoran pipa ventilasi gas. Fasilitas yang diperlukan untuk
monitoring ini adalah sumur uji dan pipa ventilasi gas yang terlindung. Sumur
uji yang harus ada minimal 3 unit, yaitu yang terletak sebelum area
peninmbunan, dekat lokasi penimbunan dan sesudah area penimbunan.

Parameter kunci yang diperlukan antara lain meliputi :

 Kualitas air , meliputi antara lain BOD/COD, chlorida, sulfat.

 Kualitas udara, meliputi249


debu, COx, NOx, H2S, gas metan (CH4).

 Kepadatan lalat
Periode pemantauan sebaiknya dilakukan secara berkala terutama
untuk parameter kunci, sedangkan untuk parameter yang lebih lengkap dapat
dilakukan setahun 1-2 kali (musim kemarau dan hujan).

4. DOKUMEN KAJIAN LINGKUNGAN

Dokumen kajian lingkungan TPA yang berisikan hal-hal tersebut


diatas, harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku (UU 23 / 1997 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
PP No 27 / 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan 
Kepmen LH/Depkes/Kimpraswil yang berkaitan dengan masalah kegiatan
yang berdampak terhadap lingkungan)

Secara umum dokumen yang harus dilengkapi untuk melaksanakan


pembangunan dan pengoperasian TPA adalah :

a. AMDAL

 Untuk kegiatan pembangunan TPA > 10 Ha.

 Untuk kegiatan pembangunan TPA yang terletak dikawasan


lindung, berbatasan dengan kawasan lindung atau yang secara
langsung mempengaruhi kualitas lingkungan kawasan lindung.
Seperti di pinggir sungai, pantai, laut dan kawasan lindung lainnya
(< 10 ha).

 Dokumen AMDAL terdiri dari Kerangka Acuan (KA) ANDAL,


ANDAL, RKL / RPL.

 KA ANDAL meliputi pendahuluan (latar belakang, tujuan dan


kegunaan studi), ruang lingkup studi (lingkup rencana kegiatan
yang akan ditelaah, lingkup rona lingkungan hidup awal dan
lingkup wilayah studi), metode studi (metode pengumpulan dan
analisa data, metode prakiraan dampak dan penentuan dampak
penting, metode evaluasi dampak), pelaksanaan studi (tim studi,
biaya studi dan waktu). KA ANDAL juga dilengkapi dengan daftar
250
pustaka dan lampiran.

 Penyusunan dokumen ANDAL meliputi pendahuluan (latar


belakang, tujuan studi dan kegunaan studi), metoda studi (dampak
penting yang ditelaah, wilayah studi, metode pengumpulan dan
analisa data, metode prakiraan dampak penting dan evaluasi
dampak penting), rencana kegiatan ( identitas pemrakarsa dan
penyusun ANDAL, tujuan rencana kegiatan, kegunaan rencana
kegiatan dari awal sampai akhir), rona lingkungan hidup (fisik-
kimia, biologi, sosial dan kesehatan masyarakat termasuk
komponen-komponen yang berpotensi terkena dampak penting) ,
prakiraan dampak penting (pra konstruksi, konstruksi, operasi dan
pasca operasi termasuk mekanisme aliran dampak pada berbagai
komponen lingkungan), evaluasi dampak penting (telaahan
terhadap dampak penting dan digunakan sebagai dasar
pengelolaan). Selain itu juga perlu dilengkapi dengan daftar
pustaka sebagai dasar ilmiah dan lampiran seperti surat izin
rekomendasi untuk pemrakarsa, SK, foto-foto, peta, gambar, tabel
dan lain-lain.

 Penyusunan dokumen RKL, meliputi latar belakang pengelolaan


lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (dampak penting dan
sumber dampak penting, tolok ukur dampak, tujuan rencana
pengelolaan lingkungan, pengelolaan lingkungan melalui
pendekatan teknologi/sosial ekonomi/institusi, lokasi pengelolaan
lingkungan, periode pengelolaan lingkungan, pembiayaan
pengelolaan lingkungan dan institusi yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan lingkungan). Dokumen RKL ini juga dilengkapi
dengan pustaka dan lampiran.

 Penyusunan dokumen RPL, meliputi latar belakang pemantauan


lingkungan (dampak penting yang dipantau, sumber dampak,
parameter lingkungan yang dipantaau, tujuan RPL, metode
pemantauan dan institusi yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan pemantauan lingkungan

b. UKL / UPL
251
 Untuk kegiatan pembangunan TPA < 10 ha

 Dokumen yang diperlukan adalah dokumen UKL dan UPL


 Penyusunan dokumen UKL dan UPL, meliputi deskripsi
rencana kegiatan (jenis kegiatan, rencana lokasi dan posisinya
dengan rencana umum tata ruang, jarak lokasi kegiatan dengan  
SDA dan kegiatan lainnya, sarana/fasilitas yang direncanakan,
proses yang akan dilaksanakan), komponen lingkungan yang
mungkin akan terkena dampak, dampak yang akan terjadi (sumber
dampak, jenis dampak dan ukurannya, sifat dan tolok ukur
dampak), upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan
oleh pemraakarsa, upaya pemantauan lingkungan  yang harus
dilaksanakan oleh pemrakarsa (jenis dampak yang dipantau, lokasi
pemantauan, waktu pemantauan dan cara pemantauan), mekanisme
pelaporan pelaksanaan UKL/UPL pada saat kegiatan dilaksanakan
(instansi pembina, BPLDH dan dinas teknis terkait). Dokumen ini
dilengkapi juga dengan pernyataan pemrakarsa yang ditanda
tangani untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan.

252
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pengolahan data diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
a. Peneliti menganalisis 3 tutupan lahan dari Citra Landsat 7+TM Kota Padang tahun
2016. Adapun luas terbesar sampai ke yang terkecil berdasarkan hasil klasifikasi
adalah sebagai berikut ; Vegetasi (51.486,40 Ha), Lahan Terbangun (11.578,44 Ha),
dan Sawah (5.713,93 Ha).
b. Prediksi jumlah penduduk Kota Padang pada tahun 2026 sebesar 1.011.116 jiwa. Dari
hasil prediksi jumlah penduduk tersebut dapat dihitung besaran volume sampah yang
dihasilkan hingga tahun 2026 sebesar 2.952.604.720 kg/ jiwa.
c. Daya tampung lokasi yang digunakan untuk perkiraan perencanaan penggunaan TPA
Kota Padang sampai tahun 2026 diperkirakan memerlukan lahan seluas 45,67 Ha
dengan luas daerah penyangga seluas 11,42 Ha. Tingkat kesesuaian penyisihan TPA
di Kota Padang berada pada tingkat sangat rendah, rendah, dan sedang. Daerah yang
menjadi rekomendasi pembangunan TPA tersebar di wilayah Kecamatan Koto
Tangah dan Kecamatan Kuranji. Pertimbangan pada daerah tersebut dikarenakan luas
lahan kebutuhan TPA yang mencukupi dan memiliki akses transportasi yang cukup
baik. Dareah Kecamatan Koto Tangah dan Kecamatan Kuranji berada di luar zona
sesar. Untuk kriteria permeabilitas tanah sebagian daerah rekomendasi memiliki
tekstur tanah yang bersifat lempung yang baik untuk pendirian TPA. Daerah
rekomendasi tersebut juga telah memenuhi beberapa kriteria yang ditentukan SNI 03-
3241-1994 seperti jarak terhadap bandara, badan air, dan permukiman.
d. Dampak keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Air Dingin bagi lingkungan
sosial masyarakat Air Dingin Kelurahan Balai Gadang Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang diperoleh interpretasi skor sebesar 64,16% yang berarti hanya termasuk ke
dalam kategori cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari sebagian masyarakat hanya
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat kurang mengetahui tentang
bahaya yang ditimbulkan oleh tumpukan
253 sampah di TPA karena jarang mendapatkan
penyuluhan, dan masyarakat juga terpengaruh oleh cara bergaul yang kurang baik.
e. Dampak keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Air Dingin Kelurahan Balai
Gadang Kecamatan Koto Tangah Kota Padang terhadap kebersihan lingkungan
diperoleh interpretasi skor 70,38% yang hanya berkategori cukup baik. Sebagian
masyarakat tidak pernah mendapatkan penyuluhan tentang menjaga kebersihan
lingkungan, hal ini juga mengakibatkan air sumur dipemukiman masyarakat tidak
layak dikonsumsi karena rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan
lingkungan.
f. Tempat Pembuangan Akhir (disingkat TPA) adalah tempat untuk menimbun sampah
dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. Pada kenyataannya, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPA
seharusnya merupakan singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir dan menerima
sampah residu yang telah diproses sebelumnya. Tujuannya adalah untuk memroses
dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan
lingkungan
g. TPA dapat berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah
membawa sampah di tempat produksi) begitu pun tempat yang digunakan oleh
produsen. Dahulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan
terorganisir dan tetap begitu di sejumlah tempat di dunia.
h. Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kabupaten Sijunjung berada di
Muaro Batuk bertempat di Jalan Lintas Sumatera Kecamatan Sijunjung. Lokasi ini
nantinya akan didesain menjadi TPA sanitary landfill sesuai dengan amanat undang-
undang persampahan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
i. Luas areal TPA di Kabupaten Sijunjung yaitu 4,8 Ha, namun kapasitas TPA tersebut
terbatas, hanya mampu melayani sampah pada kawasan Kota Muaro dan sampah
pasar Sijunjung. Produksi sampah di Kota Muaro dan pasar Sijunjung rata-rata 28
m3/hari, dimana jumlah sampah terangkut adalah 12 m3/hari atau 43% dari total
sampah dengan intensitas pengangkutan 1 kali sehari oleh 2 unit dump truck.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Seiring
dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada
volume sampah. Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia
(di TPA) merupakan sampah organik sebesar 60-70% yang mudah terurai.
Keberadaan sampah dalam jumlah yang banyak jika tidak dikelola secara baik dan
benar, maka akan menimbulkan gangguan
254 dan dampak terhadap lingkungan, baik
dampak terhadap komponen fisik kimia (kualitas air dan udara), biologi, sosial
ekonomi, budaya dan kesehatan lingkungan.
Dampak operasional TPA/TPST terhadap lingkungan akan memicu terjadinya konflik
sosial antar komponen masyarakat. Pada tahap Pengelolaan akhir/Pengelolaan, sampah akan
mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas
penyelesaian seluruh proses. Sehingga perlu disusun dokumen lingkungan atas operasional
TPA dan TPST.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diwajibkan untuk memiliki
Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UKL-UPL).
Setelah mengulas panjang lebar mengenai TPA, pengertian TPA, dan cara
penaggulangannya,maka kami akan mencoba menyimpulkan beberapa hal dibawah ini.
yaitu :

1. banyak sekali sampah yang kita hasilkan setiap harinya,dan sampah-sampah yang kita
hasilkan tersebut sebagian besar di buang begitu saja. Terkadang kita tidak pernah
peduli dampak yang dapat ditimbulkannya terhadap lingkungan.
2. Sekian banyak sampah yang di hasilkan masyarakat solo setiap harinya, bahkan
sampah yang dihasilkan tersebut jumlahnya mencapai ratusan ton, tapi sampah-
sampah tersebut belum dikelola dengan baik. pengelolaannya sebagian besar hanya
diserahkan kepada Masyarakat sekitar.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah penulis lakukan, maka
penulis menyarankan sebagai berikut:
a. Bagi pemerintah agar memperhatikan dan memperbaiki pengelolaan TPA Sampah di
Kota Padang. TPA dengan pengelolaan open dumping cederung merusak dan
memerlukan lahan yang banyak. AMDAL di lingkungan TPA juga perlu diperhatikan.
Diperlukan pembinaan oleh pemerintah terhadap peran serta masyarakat terhadap
pengelolaan sampah.
b. Bagi masyarakat agar lebih menjaga lingkungannya dengan tidak membuang sampah
sembarangan. Peran serta masyarakat dapat dimulai dari skala individual rumah
tangga yaitu dengan mereduksi timbulan sampah rumah tangga.

255
DAFTAR PUSTAKA

1. 03-3241-1994, S. (t.thn.). tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah. Badan
Standarisasi Nasional .
2. Akbar, P. F. (2016, 4 7). Daya Tampung TPA Air Dingin Tinggal 8 Tahun Lagi. Dipetik
Februari 18, 2017, dari https://www.katasumbar.com
3. Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
4. Chandra, B. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
5. Junadi. (2008, Juni 10). Dipetik Juni 4, 2017, dari Model-Model Proyeksi Penduduk:
https://www.google.co.id/am p/s/junaidichaniago.cord Lunkapis, G. J. (2004).
6. GIS as Decision Support Tool for Landfills Siting, Journal of Urban Planning and
Development. Murtudo. (1996).
7. Pengelolaan Limbah Padat dan Permasalahannya, Materi Pelatihan Pengelolaan Limbah
Padat. Yogyakarta: PUSTEKLIM. Rahman, D. (2014, Agustus 26).
8. Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Dipetik Maret 2, 2017, dari
dkpkotapadang.blogspot.com Rusdi, M. (2005).
9. Perbandingan Klasifikasi Maximum Likelihood dan Object Oriented Pada Pemetaan
Penutup/Penggunaan Lahan Studi Kasu Kabupaten Gayo Lues, NAD HTI PT Wirakarya
Sakti Jambi dan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Bogor:
10. Institut Pertanian Bogor. Sari, S. Y. (2013, September 11). Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Air Dingin-Lubuk Minturun.
11. Dipetik Desember 8, 2017, dari Laporan Kunjungan Lapangan Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Air Dingin-Lubuk Minturun: https://shabrinayunitassari.blo gspot.co.id
Statistik, B. P. (2016).
12. Padang dalam Angka 2016. Padang: BPS Kota Padang. Tchobanoglous, G., Theisen, H.,
& Vigil, S. (1993).
13. Integrated Solid Waste Management. New York: McGraw-Hill. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tentang Pengelolaan Sampah. (2008).
14. Jakarta. Zaini, M. A. (2012, Juli 2). Pengelolaan Limbah Sampah (Open Dumping dan
Controlled Landfill). Dipetik Januari 23, 2018, dari
muhammad_agusfkm10.web.unair.ac.id 256

Anda mungkin juga menyukai