Anda di halaman 1dari 197

DINAMIKA PSIKOLOGIS PADA WANITA LESBIAN YANG

INGIN MENGUBAH ORIENTASI SEKSUALNYA

SKRIPSI

OLEH:

Jevin Regina Pasagi


NRP: 7103016098

Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya
2019
DINAMIKA PSIKOLOGIS PADA WANITA LESBIAN
YANG INGIN MENGUBAH ORIENTASI
SEKSUALNYA

SKRIPSI
Diajukan kepada
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Psikologi

OLEH :
Jevin Regina Pasagi
NRP. 7103016098

Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya
2019
i
SURAT PERNYATAAN

Bersama ini, saya:


Nama : Jevin Regina Pasagi
NRP : 7103016098
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

DINAMIKA PSIKOLOGIS PADA WANITA LESBIAN YANG INGIN


MENGUBAH ORIENTASI SEKSUALNYA

Benar-benar merupakan karya sendiri tanpa ada rekayasa dari pihak


manapun. Apabila dikemudian hari ditemukan bukti, bahwa skripsi ini merupakan
hasil plagiat atau hasil dari manipulasi data, maka saya bersedia menerima sanksi
berupa pembatalan kelulusan dan pencabutan gelas akademik yang telah
diperoleh, serta permohonan maaf dari pihak-pihak terkait.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan penuh
kesadaran dalam membuatnya.

Surabaya, 4 November 2019


Yang membuat pernyataan,

Jevin Regina Pasagi

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

DINAMIKA PSIKOLOGIS PADA WANITA LESBIAN YANG INGIN


MENGUBAH ORIENTASI SEKSUALNYA

OLEH:
Jevin Regina Pasagi
NRP. 7103016098

Telah dibaca, disetujui, dan diterima untuk diajukan ke tim penguji skrispi.

Pembimbing : Agustina Engry, M.Psi., Psikolog (________________)

Surabaya, 4 November 2019

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk Tuhan


Yesus Kristus, Papa dan Mama, serta orang-
orang tersayang di sekitar saya karena berkat
dukungan dan doa mereka, saya bisa
menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

iv
HALAMAN MOTTO

“Karena masa depan sungguh ada, dan


harapanmu tidak akan hilang.”
(Amsal, 28:13)

v
UNGKAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan atas berkat yang telah
diberikan sehingga penelitian yang berjudul “Dinamika Psikologis Pada Wanita
Lesbian Yang Ingin Mengubah Orientasi Seksualnya” dapat terselesaikan dengan
baik. Peneliti juga mengucapkan terima kasih atas segala doa, dukungan, bantuan,
serta semangat kepada pihak-pihak terkait sehingga penelitian ini dapat
terselesaikan. Pada kesempatan kali ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, atas tuntunan dan rahmatNya,
peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Terima kasih
Tuhan!
2. Ibu F. Yuni Apsari, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan izin
sehingga penelitian ini dapat dilakukan.
3. Ibu Agustina Engry, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk berdiskusi
dengan peneliti tanpa mengenal waktu. Terima kasih telah bersedia
membimbing dengan penuh kesabaran, memeriksa dan memberi masukan
demi kelancaran penelitian ini.
4. Bapak Andhika Alexander Repi, M.Psi., Psikolog selaku ketua penguji
dan Bapak Jaka Santosa S., M.Psi., Psikolog, selaku dosen penguji yang
telah bersedia memberikan masukan, saran, serta arahan yang terbaik dalam
menyempurnakan penelitian ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran yang
bermanfaat untuk peneliti dan telah memberikan ilmu selama peneliti
berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala.

vi
6. Karyawan Tata Usaha Bu Lilis, Bu Eva, dan Pak Anang, yang selalu
ramah dalam melayani pertanyaan peneliti mengenai surat menyurat, jadwal
pengumpulan naskah, jadwal sidang, dan lain sebagainya.
7. Papa, Mama, Koko dan Cece, yang telah memberikan dukungan secara
moral dan finansial, serta doa dari jarak yang terpisah sehingga peneliti
dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
8. Lionel, Velly dan Louisa, sebagai keponakan peneliti. Terima kasih karena
telah lahir ke dunia dan menjadi penghibur peneliti dalam menyelesaikan
penelitian ini! Aunty Jevin sayang kalian!
9. Informan Penelitian (informan SH dan M), yang telah bersedia menjadi
informan penelitian dan bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai
sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
10. Jeremy Calvin Michael Edward Foeh, sebagai partner peneliti dalam
segala hal. Terima kasih telah mendampingi dan menguatkan serta sabar
dalam menemani peneliti hingga penelitian ini berakhir! You are my best
partner!
11. FRP, yang telah mencarikan dan mengenalkan peneliti dengan kedua
informan dalam penelitian ini. Saranghae!
12. Ade Riska W. N., Stefany Nungki, Archidita N. Yasmin, Kartika Ayu
P., Anita Karina H., sebagai bidadari surga peneliti selama perkuliahan
yang selalu menyemangati peneliti, dan membantu peneliti dalam
menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini tidak akan berkesan tanpa
kalian.
13. Maria Angelia Oliviani Kape, A.Md.Farm., Jessica Chandra, S.Kom.,
Yosefa Rosselo Venny Adilla Setyaningsih, S.KM., Cahyaningsih D. V.
P., A.Md., Sih Wening Shivanela, Stephanie, Natalia Japari, sebagai
teman dekat peneliti selama kurang lebih sepuluh tahun. Terima kasih atas
dukungan dan motivasi yang kalian berikan walaupun terpisah oleh jarak!
EBF is always in my heart!
14. Asisten Konsultan Pusat Layanan Psikologi 2019/2020 (Oca, Alice,
Irma, Gloria, Vero, Elnia, Ader) yang menjadi keluarga baru bagi peneliti.

vii
Terima kasih atas dukungan, segala cerita, dan pengalaman suka maupun
duka selama di PLP. Jangan lupa terus diterapkan motto PLP-nya guys,
Your Better Life is Our Mission!
15. Anggota inti BPMF Psikologi 2018/2019 (Michelle, Arin, Vania, Irma,
Jesfan, Poppy, Levina, Kak Gaby, Fabio, Ko Dean, Kak Ogi, Kak
Iwara, Pace, Lenno, Tobby, Hokky, Wawan, Jojo) yang melengkapi
masa perkuliahan peneliti dalam hal berorganisasi. Terima kasih sudah
berproses bersama! See you on top, guys!
16. Teman-teman seluruh angkatan 2016, selaku teman seperjuangan peneliti
dalam berproses selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Widya Mandala Surabaya, terima kasih atas segala pengalaman berharga
selama menjalani perkuliahan.
17. Untuk semua pihak yang belum disebutkan namanya namun tetap peneliti
mengucapkan terima kasih untuk bantuan dan dukungannya.

Surabaya, 4 November 2019

Jevin Regina Pasagi

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN........................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. v
UNGKAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
ABSTRAKSI ....................................................................................................... xiv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian .......................................................................... 1

1.2 Fokus Penelitian ....................................................................................... 10

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 10

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 10

BAB II ................................................................................................................... 12
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 12

2.1 Kajian Literatur Seputar Wanita Lesbian dan Sexual Orientation Change
Effort (SOCE) ................................................................................................ 12

2.2 Kajian Literatur Seputar Dinamika Psikologis ........................................ 23

2.3 Dinamika Psikologis Pada Wanita Lesbian Yang Ingin Mengubah


Orientasi Seksualnya...................................................................................... 26

BAB III ................................................................................................................. 32


METODE PENELITIAN .................................................................................. 32

ix
3.1 Pendekatan Dalam Penelitian .................................................................. 32

3.2 Informan Penelitian.................................................................................. 33

3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 34

3.4 Teknik Analisis Data ............................................................................... 37

3.5 Validitas Penelitian .................................................................................. 38

3.6 Etika Penelitian ........................................................................................ 39

BAB IV ................................................................................................................. 41
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ............................................... 41

4.1 Persiapan Penelitian ................................................................................. 41

4.2 Proses Pengambilan Data......................................................................... 43

4.3 Hasil Penelitian ........................................................................................ 50

4.4 Pengolahan Hasil Penelitian .................................................................. 148

4.5 Validitas Penelitian ................................................................................ 157

BAB V................................................................................................................. 159


PENUTUP ....................................................................................................... 159

5.1 Pembahasan Hasil Penelitian ................................................................. 159

5.2 Refleksi Penelitian ................................................................................. 165

5.3 Keterbatasan Penelitian.......................................................................... 166

5.4 Simpulan ................................................................................................ 167

5.5 Saran ...................................................................................................... 169

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 170

x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Guideline Interview ...............................................................................36
Tabel 4.1 Jadwal Wawancara Informan SH ...........................................................43
Tabel 4.2 Jadwal Wawancara Informan M ............................................................47
Tabel 4.3 Tabel Kategorisasi Informan SH............................................................51
Tabel 4.4 Tabel Kategorisasi Informan M. ..........................................................103

xi
DAFTAR BAGAN
Bagan 4.1 Hasil Pengolahan Data Informan SH ..................................................101
Bagan 4.2 Hasil Pengolahan Data Informan M ...................................................147
Bagan 4.3 Hasil Pengolahan Data Penelitian Kedua Informan............................150

xii
DAFTAR LAMPIRAN
Informasi Mengenai Penelitian ............................................................................176
Pernyataan Kesediaan Berpartisipasi dalam Penelitian Informan SH .................178
Pernyataan Kesediaan Berpartisipasi dalam Penelitian Informan M ...................179
Pernyataan Keabsahan Hasil Wawancara Informan SH ......................................180
Pernyataan Keabsahan Hasil Wawancara Informan M ........................................181

xiii
Jevin Regina Pasagi. (2019). “Dinamika Psikologis Pada Wanita Lesbian Yang
Ingin Mengubah Orientasi Seksualnya”. Skripsi Sarjana Strata I. Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

ABSTRAKSI

Lesbian hingga saat ini masih menjadi fenomena yang kontroversi dan sering
dikaitkan dengan suatu yang negatif dan beberapa diantara mereka memilih untuk
mengubah orientasi seksualnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana dinamika psikologis pada wanita lesbian yang ingin mengubah
orientasi seksualnya. Usaha mengubah orientasi seksual merupakan terapi
reparatif atau reorientasi yang terdiri dari upaya melalui konseling, praktik
keagamaan, modifikasi perilaku, pembingkaian kognitif, atau cara-cara lain untuk
mengubah orientasi seksual dari homoseksual menjadi heteroseksual. Dasar dari
mengubah orientasi seksual ialah asumsi bahwa orientasi homoseksual tidak valid
dan terdiri dari perilaku berdosa yang merupakan hasil dari pengasuhan yang
disfungsional, atau trauma yang dialami manusia (APA, 2009). Penelitian ini
menggunakan metode studi kasus, melalui proses wawancara semi-struktur pada
dua wanita lesbian yang berusia 23 tahun atau berada pada tahap perkembangan
dewasa awal dan sedang berusaha untuk mengubah orientasi seksualnya. Teknik
analisis yang digunakan adalah teknik induktif, dengan melakukan validitas
komunikatif, dan argumentatif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dinamika
psikologis yang terjadi pada wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi
seksualnya yaitu termotivasi agar dapat menikah dengan laki-laki dan memiliki
keturunan sehingga melakukan usaha untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.
Aspek afeksi yang dirasakan kedua informan yaitu keraguan dan kebingungan
dalam mengubah orientasi seksualnya sehingga mempengaruhi usaha mereka.
Akan tetapi dukungan dari kerabat serta kesadaran dari kedua informan terkait
Agama yang melarang hubungan sesama jenis memperkuat keinginan mereka
untuk mengubah orientasi seksualnya.

Kata kunci: usaha mengubah orientasi seksual, lesbian, dinamika psikologis

xiv
Jevin Regina Pasagi. (2019). “Psychological Dynamics On Female Lesbians Who
Want To Change Their Sexual Orientation”. Bachelor Thesis. Faculty of
Psychology Widya Mandala Catholic University Surabaya.

ABSTRACT

Till this day, lesbian is still a considered as a controversial phenomenon and is


associated with something negative. Some of them choose to change their sexual
orientation. This study’s purpose is to know the psychological dynamics on female
lesbians who want to change their sexual orientation. Sexual orientation change
effort are reparative therapy or reorientation, that consist of efforts on
counseling, religious strategies, behavior modification, cognitive framing, or
other ways to change sexual orientation from homosexual to heterosexual. The
base of changing sexual orientation is the assumption that homosexuality is not
valid and consists of sins that are the results from dysfunctional parenting or past
trauma (APA, 2009). This study is using case study method, through semi-
structural interview on 2 female lesbians with the age of 23 years old, or on the
phase of early adulthood and is trying to change their sexual orientation. The
analysis technique that is used is inductive technique, with using communicative
and argumentative validity. The analysis data result shows that there is a
psychological dynamic on female lesbians who want to change their sexual
orientation, such as wanting to get married to a man and have children, so they
try to have relationship with men. There are affective aspects being felt by the two
informants, which are doubt and confusion on changing their sexual orientation.
These influence their efforts. Supports from relatives and the two informants’
religious awareness that forbids same sex relationship, strengthen their will to
change their sexual orientation.

Keywords: Sexual orientation change effort, lesbians, psychological dynamics

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Manusia diciptakan dalam dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki

yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dengan bereproduksi. Awal proses

reproduksi manusia terjadi ketika sel sperma dari pria bertemu dengan sel telur

wanita yaitu umumnya dalam hubungan seksual. Berarti hal ini hanya bisa

dilakukan pada manusia heteroseksual. Pada kenyataannya, tidak semua manusia

merupakan heteroseksual karena ada juga manusia yang memiliki orientasi

seksual pada sesama jenis yang disebut homoseksual. Menurut data Kementrian

Kesehatan Indonesia pada tahun 2012 terdapat 1.095.970 pria yang hidup dengan

perilaku seks sesama pria atau gay. Perkiraan lain menyebutkan bahwa jumlah

homoseksual di Indonesia setidaknya tiga persen dari total populasi Indonesia atau

sekitar tujuh juta orang (Usman, 2017).

Proses pembentukan identitas seksual serta orientasi seksual dimulai pada

tahap remaja. Remaja menurut teori perkembangan psikososial berada pada tahap

identity vs role confusion (Santrock, 2006). Ini adalah tahap perkembangan utama

di mana mereka harus mempelajari peran yang akan dia lakukan sebagai orang

dewasa. Selama tahap ini remaja akan memeriksa kembali identitasnya dan

mencoba mencari tahu siapa dia sebenarnya. Erikson menyarankan bahwa ada dua

identitas yang terlibat yaitu identitas seksual dan peranan mereka sebagai remaja.

Selama tahap ini, mereka mengeksplorasi kemungkinan dan mulai membentuk

identitas mereka sendiri berdasarkan hasil eksplorasi mereka (Erikson, 1963).

1
2

Hasil penelitian Yayasan Priangan Jawa Barat menyebutkan bahwa pada tahun

2003 homoseksual sudah terjadi di kalangan pelajar Bandung dan jumlahnya

cukup tinggi yaitu sebesar 21% siswa SMP dan 35% siswa SMA diperkirakan

melakukan perilaku homoseksual (Asteria, 2008). Hal tersebut menunjukan

bahwa perilaku homoseksual sudah banyak dilakukan sejak usia remaja. Proses

pembentukan identitas tersebut terus berlanjut ke tahap perkembangan dewasa

awal dengan rentan usia 18 sampai 25 tahun (Santrock, 2012). Pada teori

perkembangan psikososial disebut dengan tahap intimacy vs isolation. Konflik

utama di tahap ini berpusat pada pembentukan hubungan yang lebih dekat dan

penuh kasih dengan orang lain. Individu mulai berbagi diri lebih akrab dengan

orang lain dan mengeksplorasi hubungan yang mengarah ke komitmen jangka

panjang dengan seseorang selain anggota keluarga.

Orientasi seksual dalam American Psychological Association (2009)

mengacu pada penilaian dan internalisasi seksual dan refleksi eksplorasi diri,

kesadaran diri, pengakuan diri, keanggotaan kelompok dan afiliasi, budaya, dan

stigma diri. America Psychological Association (2008) yang berjudul “Answer To

Your Question: For A Better Understanding Of Sexual Orientation And

Homosexuality” menjelaskan bahwa orientasi seksual merupakan kondisi

emosional yang bertahan lama, romantis dan daya pikat seksual untuk

berhubungan dengan laki-laki, wanita atau keduanya. Orientasi seksual merujuk

pada suatu perasaan dan konsep diri dari individu. Menurut Kaplan (dalam

Sadock, Sadock & Ruiz, 2015) orientasi seksual digambarkan seperti impuls

seksual seseorang yang terdiri dari heteroseksual (jenis kelamin berlawanan),


3

homoseksual (jenis kelamin sama), dan biseksual (kedua jenis kelamin). Gay dan

lesbian dituliskan sebagai identitas diri pada suatu komunitas atau lingkungan

untuk identitas sosial. Fenomena homoseksual dikenal dengan dua istilah yaitu

homoseksual laki-laki yang disebut gay dan homoseksual perempuan yang disebut

lesbian.

Lesbian merupakan label yang diberikan untuk menyebut homoseksual

perempuan atau perempuan yang memiliki hasrat seksual dan emosi kepada

perempuan lainnya. Lesbian menurut Matsumoto dalam The Cambridge

Dictionary of Psychology (2009) adalah seorang wanita yang tertarik atau terlibat

dalam aktivitas seksual dengan wanita dan disebut juga sebagai homoseksual

wanita. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seorang mengambil

keputusan menjadi lesbian. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nurkholis (2013) yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Lesbian

Dan Kondisi Psikologisnya” menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi

latar belakang seorang menjadi lesbian yaitu berasal dari faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi persepsi subjek, dorongan-dorongan atau

kecenderungan penyuka sesama jenis yang sudah ada, dan kontrol diri yang

lemah. Faktor eksternal meliputi proses modeling, ejekan dari teman sebaya di

waktu SMA, orang tua yang membiarkan perilaku subjek, pengalaman kurang

menyenangkan terhadap lawan jenis, dan dukungan dari lingkungan sosial seperti

masuk ke komunitas lesbian. Melalui hasil survei singkat yang peneliti lakukan

pada 25 responden, menunjukkan bahwa 52% menjawab faktor seseorang menjadi

lesbian karena pertemanan atau pergaulan, 36% disebabkan karena pengalaman


4

buruk dengan lawan jenis dan 22% menjawab karena krisis identitas. Adapun

melalui hasil wawancara dengan informan penelitian yang dilakukan pada tanggal

13 Februari 2019 sebagai berikut.

“aku ya tidak pernah disakiti sama cowok, tapi gak tau


juga.. Cuma pasti muncul perasaan yang gak nyaman
ketika mau menjalin hubungan dekat dengan cowok..”
(SE, 23 tahun)

Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Gates (2011) menunjukkan bahwa

ada lebih dari 8 juta orang dewasa di AS yang teridentifikasi sebagai lesbian/gay,

dan bisexual. Jumlah untuk lesbian sendiri adalah sekitar 1.359.801 jiwa atau

1,1% dari 8 juta partisipan. Di Indonesia jumlah lesbian tidak dapat diperkirakan

secara pasti karena melakukan pengungkapan identitas termasuk orientasi seksual

bukan suatu hal yang mudah. Melakukan pengungkapan identitas seksual pada

homoseksual disebut dengan coming out. Coming out merupakan suatu proses

mengungkapkan orientasi seksual seseorang dimulai dengan pengakuan kepada

diri sendiri dan berlanjut kepada orang lain (Rhoads, 1994). Berdasarkan hasil

penelitian oleh Dewi & Tobing (2016) tentang “Faktor-Faktor yang Menghambat

Coming Out pada Lesbi Femme di Bali” menunjukkan bahwa empat responden

belum mampu mencapai tahapan akhir dari coming out yaitu tahap integration,

melainkan baru mencapai tahap awareness, exploration dan acceptance. Terdapat

dua faktor penghambat yang menyebabkan hal tersebut. Pertama adalah faktor

penghambat yang berasal dari diri individu dan faktor penghambat yang berasal

dari luar individu. Adapun faktor penghambat yang berasal dari diri individu yaitu

adanya harapan untuk kembali heteroseksual, rasa bersalah, dan rasa cinta,
5

sedangkan faktor penghambat yang berasal dari luar individu dipengaruhi oleh

keluarga, tekanan sosial, norma dan kebudayaan.

Lesbian akan cenderung mendapat penolakan dari keluarga, teman,

lingkungan sekitarnya dan masyarakat luas karena dianggap melanggar norma dan

merupakan suatu gangguan kejiwaan. Survei yang dilakukan oleh Lingkaran

Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2012 menunjukan sebesar 80,6% dari populasi

sampel yang tidak menginginkan memiliki tetangga dari kaum LGBT terkhusus

gay dan lesbian (Galih & Tofler, 2012). Menurut survei yang dilakukan National

Health Interview pada tahun 2013 dan 2014 di Amerika Serikat kepada 69.000

partisipan dengan 67.326 merupakan heteroseksual, 535 lesbian, 624 gay dan 515

biseksual. Hasil survei menyebutkan 91% lesbian lebih berisiko berada dalam

kondisi kesehatan yang buruk dari pada wanita heteroseksual. 28% lesbian

mengidap stres dan masalah kejiwaan yang diakibatkan adanya diskriminasi sosial

(Sulaiman, 2016). Akan tetapi menurut PPDGJ III (1998) pada kode F66 yaitu

Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan

Orientasi Seksual, dibawahnya diberikan catatan bahwa orientasi seksual tidak

dianggap sebagai suatu gangguan yang artinya homoseksual bukan merupakan

gangguan kejiwaan.

Stigma yang ada di masyarakat menjadikan lesbian lebih tertutup jika

dibandingkan dengan kelompok gay sehingga mengalami konflik karena tidak

bisa menerima dirinya sebagai lesbian dan beberapa diantara mereka ada yang

memiliki keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya. Hasil penelitian oleh

Fjelstrom (2013) menyatakan bahwa seorang yang homoseksual menganggap


6

dirinya melakukan perilaku berdosa yang tidak akan diterima oleh teman sebaya,

komunitas, keluarga, atau gereja sehingga mereka ingin mengubah orientasi

seksualnya menjadi heteroseksual.

“aku ngerasa gak normal, memang gak normal. Dan


hal itu juga buat kayak aku bikin malu keluargaku. Gak
enaklah pokoknya”
(SE, 23 tahun)
Upaya mengubah orientasi seksual menurut American Psychological

Association (2009) yang disebut juga sebagai terapi reparatif atau reorientasi,

yaitu terdiri dari upaya melalui konseling, praktik keagamaan, modifikasi

perilaku, pembingkaian kognitif, atau cara-cara lain untuk mengubah orientasi

seksual dari homoseksual menjadi heteroseksual. Dasar dari mengubah orientasi

seksual ialah asumsi bahwa orientasi homoseksual tidak sahih dan terdiri dari

perilaku berdosa yang merupakan hasil dari pengasuhan yang disfungsional, atau

trauma yang dialami manusia. Menurut Lipka (2013) pada survei yang dilakukan

oleh Pew Research Center tahun 2012 menemukan bahwa sekitar setengah dari

orang Amerika (51%) mengatakan bahwa orientasi seksual gay atau lesbian tidak

dapat diubah, sementara 36% mengatakan dapat diubah. Hasil yang diharapkan

dari mengubah orientasi seksual ini adalah individu akan mulai mengidentifikasi

dirinya sebagai heteroseksual karena heteroseksualitas adalah orientasi yang telah

diberikan Tuhan untuk setiap orang.

Pada Journal of Counseling Psychology, menunjukkan upaya perubahan

orientasi seksual (Sexual Orientation Change Effort) oleh 1.612 partisipan. Data

diperoleh melalui survei online yang komprehensif dari aitem kuantitatif dan

tanggapan tertulis. Terdapat 73% pria dan 43% wanita dalam sampel ini mencoba
7

perubahan orientasi seksual melalui 9 metode yang berbeda. Metode perubahan

pribadi dan agama adalah metode yang paling umum, dimulai lebih awal,

dilakukan untuk waktu yang lebih lama, dan dilaporkan sebagai yang paling

merusak dan paling tidak efektif. Jones & Yarhouse (2011) melakukan penelitian

longitudinal semu eksperimental selama kurang lebih tujuh tahun mengenai upaya

mengubah orientasi seksual yang dimediasi agama dari orientasi homoseksual ke

orientasi heteroseksual. Partisipan awal terdiri dari 72 pria dan wanita yang

terlibat dalam berbagai pelayanan Kristen, dengan langkah-langkah ketertarikan

seksual, fantasi, dan langkah-langkah gabungan dari orientasi seksual dan

gangguan psikologis, diberikan secara longitudinal. Bukti dari penelitian

menunjukkan bahwa perubahan orientasi homoseksual mungkin terjadi untuk

beberapa dan bahwa tekanan psikologis tidak meningkat secara rata-rata sebagai

hasil dari keterlibatan dalam proses perubahan. Hasil perubahan yang dijelaskan

dalam penelitian ini dihasilkan oleh serangkaian program intervensi berbasis

agama yang beragam.

Di Indonesia sendiri, penelitian terkait upaya mengubah orientasi seksual

khususnya SOCE belum ada, namun terdapat beberapa penelitian terkait dengan

mantan seorang lesbian. Penelitian oleh Puti (2014) mengenai upaya-upaya

pemulihan diri mantan lesbian yang dilakukan dengan penelitian kualitatif kepada

dua subjek dengan usia 17 tahun dan 21 tahun yang menunjukkan bahwa

penyebab kedua subjek ingin kembali menjadi heteroseksual karena memiliki

pemikiran bahwa dengan menjadi lesbian tidak menjamin untuk mencapai

kebahagiaan sejati dan tidak dapat memiliki keturunan. Pemikiran lain adalah
8

mereka merasa bersalah terhadap keluarga, orang yang mereka cintai, dan kepada

Tuhan. Upaya yang dilakukan subjek adalah membuat komitmen untuk mengubah

orientasi seksualnya, mengatur dan mengendalikan diri, mencari lingkungan yang

dapat membantu dalam upaya pemulihan, menciptakan usaha atau cara untuk

pemulihan.

Menurut Hamdani (2016) terdapat beberapa cara untuk mengubah orientasi

seksual individu yang homoseksual yaitu dimulai dengan sesi konseling atau bisa

disebut juga dengan tahap asesmen dimana individu homoseksual akan

menceritakan segala hal terkait dengan permasalahannya atau apa yang dialami

oleh mereka sebagai homoseksual. Selanjutnya dapat dilakukan pendekatan

dengan keagamaan, mencari dukungan sosial, dan berkomitmen dengan diri

sendiri untuk mengubah orientasi seksualnya. Di Amerika sendiri SOCE

merupakan suatu intervensi atau terapi afirmatif dimana yang terdiri dari

acceptance and support, a comprehensive assessment, active coping, , cognitive

strategies, emotion-focused strategies, religious strategies, social dan indetity

exploration and development (APA, 2009). Berdasarkan hal tersebut terlihat

bahwa upaya mengubah orientasi seksual di Indonesia dengan Amerika memiliki

beberapa kesamaan dan perbedaan. Perbedaannya yaitu adanya active coping,

emotion-focused strategies, identity exploration and development, cognitive

strategies dan acceptance and support pada upaya mengubah orientasi seksual di

Amerika.

Proses mengubah orientasi seksual yang dilakukan oleh seseorang bukan

suatu hal yang mudah. Apa yang dirasakan oleh individu yang satu dengan yang
9

lainnya tidak sama karena tergantung pada pengalaman pribadi setiap personal.

Mereka akan merasakan suatu yang mengenakkan atau pun tidak mengenakkan,

pemikiran-pemikiran yang beragam sehingga membuat perilaku untuk melakukan

suatu hal dalam rangka mengubah orientasi seksual yang homoseksual menjadi

heteroseksual. Hal tersebut merupakan aspek-aspek psikologis seseorang yang

disebut sebagai dinamika psikologis. Menurut Kamus Lengkap Psikologi

(Chaplin, 1999) dinamika psikologis adalah sistem psikologi seperti teori medan

atau psikoanalisa, yang menekankan pada penelitian terhadap relasi-relasi sebab-

akibat dalam motif-motif dan dorongan-dorongan. Pada dasarnya bentuk perilaku

dapat diamati, melalui sikap dan tindakan, namun demikian tidak berarti bahwa

bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya saja, perilaku

dapat pula bersifat potensial, yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan

persepsi. Walgito (2010) juga menjelaskan bahwa ada beberapa komponen dalam

diri manusia yang memengaruhi dan membentuk perilaku dalam kehidupan

sehari-hari yang berkaitan dengan dinamika psikologis, yaitu komponen kognitif,

afeksi, dan konatif.

Berdasarkan penjelasan yang peneliti telah jabarkan serta beberapa

penelitian yang telah dicantumkan diketahui bahwa upaya mengubah orientasi

seksual pada kaum LGBT telah ada khususnya di negara Amerika. Jika

dibandingkan dengan negara Indonesia, penelitian terkait tema ini masih belum

banyak, sehingga peneliti ingin melakukan penelitian terkait dinamika psikologis

seorang wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya.


10

1.2 Fokus Penelitian


Bagaimana dinamika psikologis pada wanita lesbian yang ingin mengubah

orientasi seksualnya ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis

pada wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan kepada ilmu Psikologi terutama pada bidang minat

Psikologi Klinis terkait kajian seksualitas manusia khususnya upaya

mengubah orientasi seksual pada wanita lesbian.

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Informan Penelitian

Manfaat bagi informan penelitian yaitu dapat memberi

informasi penelitian sehubungan dengan dinamika psikologis

informan. Diharapkan dengan informasi penelitian ini, informan

dapat memahami masalahnya dan dinamika psikologisnya dari

sudut pandang ilmiah.

b. Kaum LGBT
11

Manfaat bagi kaum LGBT yaitu dapat memberi informasi

terkait bagaimana dinamika psikologis seorang lesbian yang ingin

mengubah orientasi seksualnya.

c. Masyarakat

Manfaat bagi masyarakat adalah penelitian ini memberi

informasi yang terkait dengan dinamika psikologis yang dialami

oleh wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya.

Diharapkan dengan penelitian ini, masyarakat dapat lebih

memahami kondisi psikologis lesbian dan tidak menghakimi tanpa

memiliki pengetahuan terkait hal tersebut.

d. Peneliti Selanjutnya

Memberi informasi mengenai dinamika psikologi pada

wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya sehingga

dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Literatur Seputar Wanita Lesbian dan Sexual Orientation Change
Effort (SOCE)
Homoseksual ialah ketertarikan pada jenis kelamin yang sama. Laki-laki

yang tertarik pada sesama laki-laki disebut dengan istilah gay, sedangkan

perempuan yang tertarik dengan sesama perempuan disebut sebagai lesbian.

Lesbian menurut Matsumoto dalam The Cambridge Dictionary of Psychology

(2009) adalah seorang wanita yang tertarik atau terlibat dalam aktivitas seksual

dengan wanita dan disebut juga sebagai homoseksual wanita. Lesbian merupakan

salah satu bagian dari homoseksual yang diartikan sebagai gejala dari dua orang

berjenis kelamin sama yang secara seksual tertarik satu dengan yang lainnya

dan keduanya terlibat dalam aktivitas seksual (Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan

beberapa pengertian lesbian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lesbian ialah

bagian dari homoseksual yaitu perempuan yang tertarik dan terlibat dalam

aktivitas seksual dengan sesama wanita.

Seorang lesbian tentunya juga melakukan hubungan berpacaran. Padgham

& Bliyth dkk (dalam Santrock, 2003) menjelaskan bahwa tujuan berpacaran

adalah salah satunya sebagai proses bersosialisasi untuk belajar berinteraksi

dengan pasangan dan mengatasi masalah yang muncul. Penelitian tentang Makna

Hubungan Seksual Dalam Pacaran Bagi Remaja Di Kecamatan Baureno

Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa makna pacaran adalah sebagai naluri

kebutuhan seks dimana aktivitas seksual tersebut dilakukan bukan hanya sebagai

12
13

simbol untuk mengenal karakter pasangan tetapi sebagai pelampiasan dari rasa

rindu terhadap seseorang yang dicintainya, bukti kasih sayang dan pengikat

hubungan dalam pacaran (Kisriyati, 2013).

Menurut Tan (2005) di dalam kelompok lesbian terdapat semacam label

yang muncul karena dasar karakter atau penampilan yang terlihat pada seorang

lesbian yaitu Butch, Femme dan Andro. Istilah lesbian di bagi menjadi beberapa

sebagai peran mereka akan jadi apa antaranya sebagai berikut:

a. Butch merupakan lesbian yang memiliki penampilan tomboy, kelaki-

lakian dan suka berpenampilan layaknya laki-laki seperti memakai

kemeja laki-laki, celana panjang serta potongan rambut yang pendek

menyerupai potongan rambut laki-laki.

b. Femme merupakan lesbian dengan penampilan feminim, lembut,

layaknya perempuan normal (heteroseksual) biasanya, dan berpakaian

perempuan.

c. Andro merupakan gabungan penampilan antara butch dan femme. Tipe

ini lebih fleksibel dimana bisa berpenampilan tomboy tapi juga bisa

berpenampilan feminim serta dapat berdandan dan sebagainya.

Menjadi seorang lesbian tentunya dilatarbelakangi oleh hal-hal tertentu.

Berikut faktor-faktor yang menyebabkan seorang menjadi lesbian menurut

Soetjiningsih (2004) berdasarkan teori biologi dan psikososial yaitu:

a. Teori Biologi

Ada beberapa penelitian yang ditemukan terkait dengan orientasi

homoseksual merupakan pengaruh genetik dan hormonal seperti:


14

1) Faktor genetik

Studi molekuler menunjukkan terdapat penanda

DNA pada ujung lengan panjang kromosom yaitu ada

segmen Xq28 yang mempunyai korelasi positif atas

terjadinya homoseksualitas. Orientasi homoseksual

pada penelitian anak kembar identik, kembar

heterozigot dan saudara kandung menunjukkan bahwa

kejadian homoseksual lebih tinggi sekitar 48-66% yaitu

faktor genetik memegang peranan penting tapi bukan

menjadi satu-satunya faktor yang berperan terhadap

pembentukan seorang lesbian.

2) Faktor hormonal

Hormon androgen prenatal diperlukan untuk

perkembangan genital eksternal laki-laki pada fetus

dengan genetik laki-laki. Jika Congenital Adrenal

Hyperplasi (CAH) yaitu kondisi dimana kongenital

terdapat defek dari suatu enzim sehingga terjadi suatu

produksi hormon androgen secara berlebihan terjadi

pada bayi perempuan maka akan mengakibatkan

maskulinitas pada bayi perempuan tersebut.

b. Teori Psikososial

Teori perkembangan mengenai orientasi homoseksual

dihubungkan dengan isu-isu seperti:


15

1) Pola asuh

Menurut Gunarsa (dalam Soetjiningsih, 2004) orang

tua mempunyai peran yang sangat penting dalam

menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh

bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui,

mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan

tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-

norma yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu

pengalaman masa kecil termasuk pola asuh orang tua

yang diterapkan kepada anak-anak akan berperan

penting dalam mengarahkan dan membentuk perilaku

anak termasuk di dalamnya orientasi seksualnya.

Adanya hubungan yang tidak baik antara anak dengan

kedua orang tua, anak dengan salah satu orang tua,

orang tua tiri atau lingkungan yang lain. Hubungan

yang seperti ini menjadi pemicu menjadi seorang

homoseksual atau lesbi karena adanya kecemasan dan

rasa bersalah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Pontoh, Opod & Pali (2015) yang

berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan

Tingkat Homoseksual Pada Komunitas Gay X Di

Manado, menunjukkan hubungan yang positif antara

pola asuh orang tua dengan tingkat homoseksual pada


16

gay dalam komunitas x di Manado yang artinya

semakin baik pola asuh yang diterapkan, semakin

berkurang perilaku penyimpangan seksual seseorang

dan sebaliknya.

2) Trauma kehidupan

Pengalaman individu pada hubungan heteroseksual

yang tidak mengenakan dapat menjadi faktor menjadi

homoseksual khususnya pada perempuan karena lebih

memakai perasaan. Dari pengalaman yang tidak

mengenakan tersebut, dapat menjadi dendam dan

sampai pada tahap tidak bisa mempercayai laki-laki lagi

dan memilih untuk menjadi lesbian.

3) Tanda-tanda psikologis individu

Anak laki-laki yang bermain boneka, memakai baju

ibu, atau tidak menyukai permainan laki-laki disebut

sissy dan jika perempuan tidak menyukai permaian

perempuan dan senang bermain dengan teman laki-laki

disebut tomboy. Tanda-tanda tersebut akan membentuk

homoseksualitas di kemudian hari.

4) Pengalaman seks pertama

Seorang perempuan yang pernah mengalami

kejadian seks yang tidak mengenakan dan berlanjut

sampai pada pernikahan sehingga menolak untuk


17

melanjutkan hubungan seks dengan laki-laki. Hal

tersebut kemudian dapat menjadi pendorong untuk

mengubah orientasi seksualnya sehingga menjadi

lesbian.

Lesbian hingga saat ini masih merupakan suatu fenomena yang kontroversi.

Lesbian dikaitkan dengan suatu hal yang negatif karena masih dianggap sebagai

suatu gangguan kejiwaan sehingga masyarakat akan melakukan tindakan

diskriminatif, penolakan dan kekerasan. Kelompok lesbian akan cenderung

mendapat penolakan dari keluarga, teman, lingkungan sekitarnya dan masyarakat

luas. Stigma yang ada di masyarakat menjadikan kelompok lesbian lebih tertutup

jika dibandingkan dengan kelompok gay. Menurut Susilandari (2005) sifat

tertutup lesbian bila dibandingkan dengan gay terletak pada norma budaya bahwa

laki-laki lebih rasional, sedangkan perempuan lebih mengutamakan perasaan.

Perempuan lebih rentan terhadap gunjingan orang dibandingkan laki-laki sehingga

banyak lesbian yang memilih untuk tertutup dari dunia luar dan tidak sedikit yang

mengalami konflik karena tidak bisa menerima dirinya sebagai lesbian dan

memilih untuk mengubah orientasi seksualnya.

Orientasi seksual mengacu pada penilaian dan internalisasi seksual dan

refleksi eksplorasi diri, kesadaran diri, pengakuan diri, keanggotaan kelompok dan

afiliasi, budaya, dan stigma diri. Menurut PPDGJ III (1998) pada kode F66 yaitu

Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan

Orientasi Seksual menunjukkan bahwa orientasi seksual bukan suatu gangguan

kejiwaan. Artinya, homoseksual pun bukan merupakan suatu gangguan kejiwaan.


18

Sexual orientation change effort (SOCE) atau yang disebut juga sebagai terapi

reparatif atau reorientasi, yaitu terdiri dari upaya melalui konseling, praktik

keagamaan, modifikasi perilaku, pembingkaian kognitif, atau cara-cara lain untuk

mengubah orientasi seksual dari homoseksual menjadi heteroseksual. Dasar dari

mengubah orientasi seksual ialah asumsi bahwa orientasi homoseksual tidak valid

dan terdiri dari perilaku berdosa yang merupakan hasil dari pengasuhan yang

disfungsional, atau trauma yang dialami manusia (American Psychological

Association, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Beckstead dan Morrow (2004) dan Shidlo

dan Schroeder (2002) menyatakan bahwa SOCE memberikan dampak yang

positif dan negatif. Dampak positif yang diberikan yaitu (a) tempat untuk

membahas konflik mereka; (b) kerangka kerja kognitif yang memungkinkan

mereka untuk mengevaluasi kembali identitas orientasi seksual mereka, daya

tarik, dan diri dengan cara mengurangi rasa malu dan kesulitan serta

meningkatkan harga diri; (c) dukungan sosial dan panutan dan (d) strategi untuk

hidup secara konsisten dengan agama dan komunitas agama mereka. Sedangkan

dampak negatifnya seperti (a) penurunan harga diri dan keaslian orang lain; (b)

peningkatan persepsi kebencian diri dan negatif terhadap homoseksualitas; (c)

kebingungan, depresi, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, rasa malu,

penarikan sosial, dan bunuh diri; (d) kemarahan dan rasa pengkhianatan oleh

penyedia SOCE; (e) peningkatan penyalahgunaan zat dan perilaku seksual

berisiko tinggi; (f) perasaan tidak manusiawi dan tidak benar untuk diri sendiri;

(g) kehilangan iman; dan (h) rasa membuang waktu dan sumber daya.
19

Menurut APA (2009) dalam buku Report of the Task Force on

AppropriateTherapeutic Responses to Sexual Orientation menjelaskan bahwa

terdapat beberapa intervensi terapi afirmatif yang dapat dilakukan dalam upaya

mengubah orientasi seksual, sebagai berikut :

a) Acceptance and Support

Pendekatan ini dilakukan dengan menggabungkan tiga hal

yaitu empati, hal-hal positif dan kejujuran. Individu yang ingin

mengubah orientasi seksualnya dengan adanya peran budaya serta

keanekaragaman diri harus dapat menyadari pribadi dan sosialnya

secara utuh serta unik, mengeksplorasi dan melawan dampak

berbahaya dari stigma dan stereotip pada diri individu (termasuk

prasangka yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, identitas

gender, ras, etnis, budaya, asal kebangsaan, agama, orientasi

seksual, kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi), dan

mempertahankan pandangan luas tentang pilihan hidup yang dapat

diterima oleh semua orang.

b) A Comprehensive Assessment

Asesmen yang komprehensif adalah seorang terapis yang akan

membantu individu homoseksual untuk mengubah orientasi

seksualnya dengan melakukan SOCE dalam melakukan asesmen

harus secara jelas, lengkap dan menyeluruh.

c) Active Coping
20

Active coping adalah upaya yang mencakup respon

kognitif, perilaku, atau emosional pada diri individu yang mampu

mengelola stresor tersebut. Strategi coping mengacu pada upaya

yang digunakan individu untuk menyelesaikan, bertahan, atau

mengurangi pengalaman hidup yang penuh tekanan.

d) Cognitive Strategies

Menurut Beckstead & Israel (dalam Bieschke, Perez &

DeBord, 2006) Strategi kognitif dapat mengurangi pemikiran,

mengurangi stigma diri, dan mengubah penilaian diri yang negatif.

Strategi kognitif membantu mengurangi disonansi kognitif.

e) Emotion-Focused Strategies

Menurut Yarhouse (dalam APA, 2009) pengalaman

ketidakselarasan orientasi seksual seseorang dengan nilai-nilai

yang sangat dirasakan seseorang, situasi kehidupan, dan tujuan

hidup dapat mengganggu inti rasa makna, tujuan, kemanjuran, dan

harga diri seseorang dan mengakibatkan konflik emosional,

kehilangan, dan penderitaan. Dengan demikian, strategi yang

berfokus pada emosi yang memfasilitasi kerugian berkabung telah

dilaporkan bermanfaat bagi beberapa orang. Hasil terapi yang telah

dilaporkan termasuk datang untuk berdamai dengan kekecewaan

dan kehilangan dan dengan disonansi antara kebutuhan psikologis

dan emosional dan diri yang mungkin dan tidak mungkin,

memperjelas dan memprioritaskan nilai-nilai dan kebutuhan,


21

belajar untuk mentolerir dan beradaptasi dengan ambiguitas,

konflik, ketidakpastian, dan multiplisitas dengan sikap positif.

f) Religious Strategies

Meskipun banyak individu yang ingin menjalani kehidupan

mereka secara konsisten dengan nilai-nilai mereka, terutama nilai-

nilai agama, namun stigma dan rasa malu tidak mungkin

menghasilkan kesejahteraan psikologis. Intervensi psikoterapi

dapat memfokuskan klien pada penanganan agama yang positif.

Menghubungkan klien dengan nilai-nilai inti dan menyeluruh

seperti amal, harapan, pengampunan, rasa terima kasih, kebaikan,

dan kasih sayang dapat mengalihkan fokus dari penolakan agama

terhadap homoseksualitas ke unsur-unsur agama yang lebih

menerima, yang dapat memberikan lebih banyak penerimaan diri,

pengarahan, dan kedamaian.

g) Social Support

Berjuang dengan identitas yang tanpa dukungan sosial yang

memadai berpotensi mengikis kesejahteraan psikologis.

Meningkatkan dukungan sosial melalui psikoterapi, kelompok

swadaya, atau komunitas penyambut (komunitas etnis, kelompok

sosial, denominasi agama) dapat meringankan tekanan. Sebagai

contoh, peserta melaporkan manfaat dari kelompok dukungan

timbal balik, baik kelompok seksual-minoritas dan mantan gay.

h) Identity Exploration and Development


22

Masalah identitas, terutama kemampuan untuk

mengeksplorasi dan mengintegrasikan aspek diri, adalah penting

untuk penerapan intervensi terapeutik afirmatif yang tepat untuk

orang dewasa yang memiliki keinginan untuk mengubah orientasi

seksual mereka. Eksplorasi identitas orientasi seksual dapat

bermanfaat bagi mereka yang akhirnya menerima atau menolak

ketertarikan seksual sesama jenis dan ingin mengubah orientasi

seksualnya menjadi heteroseksual.

Berdasarkan kajian diatas dapat dirangkum bahwa lesbian adalah bagian

dari homoseksual yaitu perempuan yang tertarik dan terlibat dalam aktivitas

seksual dengan sesama wanita. Pada lesbian terdapat semacam label yang muncul

karena dasar karakter atau penampilan yang terlihat pada seorang lesbian yaitu

Butch, Femme dan Andro. Faktor-faktor yang menyebabkan seorang menjadi

lesbian terdiri dari faktor biologi (genetik dan hormonal) dan faktor psikososial

(pola asuh orang tua, trauma kehidupan, tanda-tanda psikologis individu dan

pengalaman seks pertama). Kelompok lesbian akan cenderung mendapat

penolakan dari keluarga, teman, lingkungan sekitarnya dan masyarakat luas

sehingga membuat mereka cenderung tertutup dibandingkan dengan gay dan tidak

jarang memilih untuk mengubah orientasi seksualnya. Upaya mengubah orientasi

seksual seseorang dapat dilakukan melalui beberapa intervensi terapi afirmatif

yang terdiri dari acceptance and support, a comprehensive assessment, active

coping, cognitive strategies, emotion-focused strategies, religious strategies,

social support dan indetity exploration and development.


23

2.2 Kajian Literatur Seputar Dinamika Psikologis


Arti kata dinamika menurut kamus besar Bahasa Indonesia yaitu sebagai

gerak atau kekuatan secara terus menerus yang dimiliki seseorang dalam

kumpulan masyarakat yang dapat menimbulkan perubahan dalam tata hidup

masyarakat. Menurut Hurlock (2012) dinamika merupakan suatu tenaga kekuatan,

selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan yang

terjadi dan merupakan suatu faktor yang berkaitan dengan pematangan dan faktor

belajar, pematangan sendiri ialah kemampuan untuk memahami makna yang

sebelumnya tidak dimengerti mengenai suatu objek kejadian. Menurut kamus

lengkap psikologi (Chaplin, 1999) dinamika merupakan tenaga atau kekuatan

yang berlangsung di tengah medan psikologis. Medan psikologis menurut Lewin

(2008) menyatakan bahwa manusia sebagai pribadi yang berada dalam

lingkungan psikologis dan ruang hidup yang disebut topologi dimana berfokus

pada hubungan antara segala sesuatu dalam jiwa manusia, hubungan antara

manusia dan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Dapat disimpulkan

bahwa dinamika merupakan suatu tenaga kekuatan yang selalu berkembang dan

berubah dan bagi orang yang mengalami dinamika maka harus siap dengan

keadaan apapun yang akan terjadi.

Psikologi menurut arti kata berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau

nafas hidup, dan kata “logos” yang berarti ilmu dan jika digabungkan berarti ilmu

jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Menurut The Cambridge

Dictionary of Psychology (Matsumoto, 2009) psikologi adalah studi tentang

pikiran, termasuk kesadaran, persepsi, motivasi, perilaku, sistem saraf biologis


24

dalam hubungannya dengan pikiran, metode ilmiah mempelajari pikiran, kognisi,

interaksi sosial dalam kaitannya dengan pikiran, perbedaan individu, dan aplikasi

dari pendekatan ini untuk masalah praktis dalam organisasi dan perdagangan dan

terutama untuk pengurangan penderitaan. Secara umum psikologi merupakan

ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia melalui pikiran, perasaan dan

perilaku yang timbul serta hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya yang

bertujuan untuk mengurangi penderitaan.

Dinamika psikologis menurut beberapa ahli merupakan keterkaitan antara

berbagai aspek psikologis dalam menjelaskan fenomena tertentu. Walgito (2010)

menyatakan bahwa dinamika psikologis ialah tenaga kekuatan yang terjadi pada

diri manusia yang mempengaruhi mental atau psikisnya untuk mengalami

perkembangan dan perubahan dalam tingkah lakunya sehari-hari baik dalam

pikiran, perasaan dan perbuatannya. Menurut Saptoto (2009) definisi dinamika

psikologis yaitu sebagai keterkaitan antara berbagai aspek psikologis yang ada

dalam diri seseorang dengan faktor-faktor dari luar yang mempengaruhinya.

Menurut Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 1999) dinamika psikologis adalah

sistem psikologi seperti teori medan atau psikoanalisa, yang menekankan pada

penelitian terhadap relasi-relasi sebab-akibat dalam motif-motif dan dorongan-

dorongan.

Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati, melalui sikap dan tindakan,

namun demikian tidak berarti bahwa bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari

sikap dan tindakannya saja, perilaku dapat pula bersifat potensial, yakni dalam

bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi. Walgito (2010) juga menjelaskan


25

bahwa ada beberapa komponen dalam diri manusia yang mempengaruhi dan

membentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan

dinamika psikologis, yaitu sebagai berikut:

a. Komponen kognitif atau perseptual merupakan komponen yang

berkaitan dengan pengetahuan, pandangan dan keyakinan,

dimana berhubungan dengan seseorang yang mempersepsi

objek perilaku atau kejadian yang sedang dialami.

b. Komponen afeksi atau emosional yaitu berhubungan dengan

rasa senang atau tidak senang terhadap objek perilaku.

c. Komponen konatif atau psikomotor ialah komponen yang

berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek

termasuk besar kecilnya kecenderungan bertindak terhadap

lingkungan sekitar.

Ketiga komponen diatas yaitu kognitif, afeksi dan konatif dapat berlangsung

secara harmonis dan lancar. Ketika ketiga hal tersebut tidak berjalan lancar maka

akan muncul konflik. Mullins (2010) mendefenisikan bahwa konflik merupakan

kondisi terjadinya ketidaksesuaian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan di

pikiran, perasaan serta perilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok

maupun organisasi.

Berdasarkan kajian diatas maka dapat dirangkum bahwa dinamika

psikologis merupakan suatu tenaga kekuatan yang selalu berkembang dan berubah

dan bagi orang yang mengalami dinamika maka harus siap dengan keadaan

apapun yang akan terjadi. Dinamika psikologis terdiri dari tiga komponen yaitu
26

afeksi, kognitif dan konatif. Jika terjadi ketidakseimbangan antara ketiga

komponen tersebut maka akan terjadi konflik psikologis pada diri individu.

2.3 Dinamika Psikologis Pada Wanita Lesbian Yang Ingin Mengubah


Orientasi Seksualnya
Menurut Santrock (2006) pembentukan orientasi seksual dimulai ketika

individu memasuki masa remaja. Remaja menurut teori perkembangan Erikson

berada pada tahap identity vs role confusion. Selama tahap ini remaja akan

memeriksa kembali identitasnya dan mencoba mencari tahu siapa dia sebenarnya.

Selama tahap ini, mereka mengeksplorasi kemungkinan dan mulai membentuk

identitas mereka berdasarkan hasil eksplorasi mereka termasuk orientasi seksual.

Proses pembentukan orientasi seksual tersebut terus berlanjut ke tahap

perkembangan dewasa awal dengan rentan usia 18 sampai 25 tahun (Santrock,

2012). Menruut teori perkembangan psikososial berada pada tahap intimacy vs

isolation. Konflik utama di tahap ini berpusat pada pembentukan hubungan yang

dekat dan penuh kasih dengan orang lain. Individu mulai berbagi diri lebih akrab

dengan orang lain dan mengeksplorasi hubungan yang mengarah ke komitmen

jangka panjang dengan seseorang selain anggota keluarga. Jika individu

mengalami kebingungan dalam menentukan identitasnya termasuk identitas

seksualnya, maka tidak jarang individu akan tumbuh menjadi seorang

homoseksual dan hal tersebut juga akan mempengaruhi tahap perkembangan

selanjutnya yang akan mengikuti perilaku homoseksual tersebut. Hal ini

dibuktikan dengan data Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2012

terdapat 1.095.970 pria yang hidup dengan perilaku seks sesama pria atau gay.
27

Perkiraan lain menyebutkan bahwa jumlah homoseksual di Indonesia setidaknya

tiga persen dari total populasi Indonesia atau sekitar tujuh juta orang (Usman,

2017).

Homoseksual merupakan istilah yang menunjukkan ketertarikan pada jenis

kelamin yang sama. Ada dua istilah dalam homoseksual yaitu laki-laki disebut

gay dan perempuan disebut lesbian. Lesbian menurut The Cambridge Dictionary

of Psychology (Matsumoto, 2009) adalah seorang wanita yang tertarik atau

terlibat dalam aktivitas seksual dengan wanita dan disebut juga sebagai

homoseksual wanita. Lesbian merupakan salah satu bagian dari homoseksual yang

diartikan sebagai gejala dari dua orang berjenis kelamin sama yang secara

seksual tertarik satu dengan yang lainnya dan keduanya terlibat dalam aktivitas

seksual (Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan beberapa pengertian lesbian diatas,

maka dapat disimpulkan bahwa lesbian ialah bagian dari homoseksual yaitu

perempuan yang tertarik dan terlibat dalam aktivitas seksual dengan sesama

wanita.

Lesbian akan cenderung mendapat penolakan dari keluarga, teman,

lingkungan sekitarnya dan masyarakat luas. Stigma yang ada di masyarakat

menjadikan kelompok lesbian lebih tertutup jika dibandingkan dengan kelompok

gay. Perempuan lebih rentan terhadap gunjingan orang dibandingkan laki-laki

sehingga banyak lesbian yang memilih untuk tertutup dari dunia luar dan tidak

sedikit yang mengalami konflik karena tidak bisa menerima dirinya sebagai

lesbian dan beberapa diantara mereka ada yang memilih untuk mengubah

orientasi seksualnya.
28

Mengubah orientasi seksual disebut dengan istilah Sexual orientation

change effort (SOCE) atau yang disebut juga sebagai terapi reparatif atau

reorientasi, yaitu terdiri dari upaya melalui konseling, praktik keagamaan,

modifikasi perilaku, pembingkaian kognitif, dan cara-cara lain untuk mengubah

orientasi seksual dari homoseksual menjadi heteroseksual. Dasar dari mengubah

orientasi seksual ialah asumsi bahwa orientasi homoseksual tidak valid dan terdiri

dari perilaku berdosa yang merupakan hasil dari pengasuhan yang disfungsional,

atau trauma yang dialami manusia (American Psychological Association, 2009).

Pada tahun 2002, Shidlo dan Schroeder melakukan penelitian kepada 202

partisipan tentang efektivitas mengubah orientasi seksual dan menunjukkan

bahwa 25 partisipan setelah mengikuti terapi SOCE mencoba untuk bunuh diri

dan sisanya mengalami kerusakan seperti tekanan dan depresi (Shildo &

Schroeder, 2002).

Di Indonesia sendiri, penelitian terkait upaya mengubah orientasi seksual

khususnya SOCE belum ada, namun terdapat beberapa cara yang juga dilakukan

dengan hasil serupa dengan SOCE. Menurut Hamdani (2016) cara untuk

mengubah orientasi seksual individu yang homoseksual yaitu dimulai dengan sesi

konseling atau bisa disebut juga dengan tahap asesmen dimana individu

homoseksual akan menceritakan segala hal terkait dengan permasalahannya atau

apa yang dialami oleh mereka sebagai homoseksual. Selanjutnya dapat dilakukan

pendekatan dengan keagamaan, mencari dukungan sosial, dan berkomitmen

dengan diri sendiri untuk mengubah orientasi seksualnya. Di Amerika sendiri

SOCE merupakan suatu intervensi atau terapi afirmatif dimana yang terdiri dari
29

acceptance and support, a comprehensive assessment, active coping, , cognitive

strategies, emotion-focused strategies, religious strategies, social dan indetity

exploration and development (APA, 2009). Berdasarkan hal tersebut terlihat

bahwa upaya mengubah orientasi seksual di Indonesia dengan Amerika memiliki

beberapa kesamaan dan perbedaan. Perbedaannya yaitu adanya active coping,

emotion-focused strategies, identity exploration and development, cognitive

strategies dan acceptance and support pada upaya mengubah orientasi seksual di

Amerika sedangkan di Indonesia belum ada.

Walgito (2010) juga menjelaskan bahwa ada beberapa komponen dalam diri

manusia yang mempengaruhi dan membentuk perilaku dalam kehidupan sehari-

hari yang berkaitan dengan dinamika psikologis. Beberapa kelompok orang yang

mengubah orientasi seksualnya ditunjukkan dengan perilaku seperti menarik diri,

kemudian timbul perasaan cemas dan sedih bahkan sampai pada depresi, dan

pikiran-pikiran yang tidak rasional seperti keinginan untuk mengakhiri hidup.

Perilaku, perasaan dan pikiran yang ditunjukkan dalam ilmu psikologi disebut

dengan dinamika psikologis.

Dinamika psikologis menurut beberap ahli merupakan keterkaitan antara

berbagai aspek psikologis dalam menjelaskan fenomena tertentu. Walgito (2010)

menyatakan bahwa dinamika psikologis ialah tenaga kekuatan yang terjadi pada

diri manusia yang mempengaruhi mental atau psikisnya untuk mengalami

perkembangan dan perubahan dalam tingkah lakunya sehari-hari baik dalam

pikiran, perasaan dan perbuatannya. Menurut Saptoto (2009) definisi dinamika


30

psikologis yaitu sebagai keterkaitan antara berbagai aspek psikologis yang ada

dalam diri seseorang dengan faktor-faktor dari luar yang mempengaruhinya.

Santero, Whitehead & Ballesteros (2018) dalam penelitian berjudul Effects

of Therapy on Religious Men Who Have Unwanted Same-Sex Attraction

menunjukkan bahwa dari 125 partisipan laki-laki dengan keyakinan agama telah

menyelesaikan atau sedang dalam proses SOCE. Terdapat 97% dari sampel telah

menjalani terapi profesional, 86% berpartisipasi dalam jenis SOCE yang kurang

formal, 68% melaporkan sendiri beberapa penurunan dalam ketertarikan dan

perilaku sesama jenis dan juga peningkatan ketertarikan dan perilaku lawan jenis.

22 laki-laki (18% dari sampel) merasakan ketertarikan heteroseksual untuk

pertama kalinya dan 14% mengatakan benar-benar telah berubah menjadi tertarik

dengan lawan jenis. Spitzer (2003) adalah seorang psikiater yang berperan penting

dalam mendorong keputusan kontroversial American Psychiatric untuk

menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Spitzer melakukan

wawancara terstruktur dengan 200 orang (143 laki-laki, 57 perempuan) dimana

menunjukkan bahwa beberapa perubahan minimal dari orientasi homoseksual

menjadi heteroseksual yang berlangsung setidaknya 5 tahun.

Berdasarkan penjelasan yang peneliti telah jabarkan serta pemaparan

beberapa penelitian yang telah ada diketahui bahwa upaya mengubah orientasi

seksual pada kaum LGBT telah ada. Namun di Indonesia sendiri penelitian terkait

upaya mengubah orientasi seksual ini masih sedikit, sehingga peneliti ingin

melakukan penelitian dengan tema ini tetapi dengan kekhasan yang sesuai dengan

informan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana


31

dinamika psikologis pada wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi

seksualnya.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Dalam Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis

pada wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya sehingga peneliti

menggunakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan

pendekatan kualitatif menurut Moleong (2007) adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dorongan dan sebagainya secara

holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah. Menurut Saryono (2010) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah

penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambakan, dan

menjelaskan kualitas atau keistimewaandari pengaruh social yang tidak dapat

dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif.

Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada studi kasus.

Rahardjo & Gudnanto (2011) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan suatu

metode untuk memahami individu yang dilakukan secara integratif dan

komprehensif agar diperoleh pemahaman yang mendalam tentang individu serta

masalah yang dihadapinya dengan tujuan masalahnya dapat terselesaikan dan

memperoleh perkembangan diri yang baik. Peneliti ingin mengetahui bagaimana

pola pikir, pola perasaan, pola perilaku serta faktor-faktor apa saja yang

mempengaruhi informan penelitian dengan kasus wanita lesbian yang ingin

32
33

mengubah orientasi seksualnya. Oleh sebab itu, hasil akhir dari penelitian ini

dapat menjelaskan serta mendiskripsikan bagaimana dinamika psikologis pada

wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya.

3.2 Informan Penelitian

3.2.1 Kriteria Informan


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika

psikologis pada wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi seksualnya.

Sesuai dengan tujuan tersebut maka peneliti menentukan kriteria informan

penelitian sebagai berikut :

1. Wanita Lesbian

Lesbian merupakan label yang diberikan untuk menyebut

homoseksual perempuan atau perempuan yang memiliki hasrat

seksual dan emosi kepada perempuan lainnya.

2. Berada dalam tahap perkembangan dewasa awal (18 sampai 25

tahun)

Konflik utama di tahap ini berpusat pada pembentukan

hubungan yang dekat dan penuh kasih dengan orang lain.

Individu mulai berbagi diri lebih akrab dengan orang lain dan

mengeksplorasi hubungan yang mengarah ke komitmen jangka

panjang dengan seseorang selain anggota keluarga (Erikson

1963). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibutuhkan

informan dengan kriteria dewasa awal dengan minimal usia 18

hingga 25 tahun.
34

3. Memiliki keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya

Menurut APA (2009) keinginan mengubah orientasi

seksual yaitu dorongan yang ada pada diri individu dengan

melakukan sesuatu yang terdiri dari upaya melalui konseling,

praktik keagamaan, modifikasi perilaku, pembingkaian

kognitif, atau cara-cara lain untuk mengubah orientasi seksual

dari homoseksual menjadi heteroseksual.

3.2.2 Cara Mendapatkan Informan


Selaras dengan kepentingan pengambilan data, maka diperluan

informan penelitian sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Unuk

mendapatkan informan penelitian digunakan teknik purposive. Purposive

adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,

2006). Berikut beberapa cara yang dilakukan untuk mendapatkan informan

penelitian yaitu peneliti mengenal informan sebelumnya atau informan

penelitian didapatkan melalui rekomendasi pihak tertentu.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (depth

interview). Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau

informasi, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang

diteliti. Proses wawancara akan dilakukan berdasarkan pedoman wawancara

(guideline) yang disusun. Wawancara ini bersifat semi terstruktur, yang artinya

peneliti bertanya sesuai guideline dan dapat mengembangkan pertanyaan yang ada
35

(Willig, 2008). Adapun pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti sebagai

berikut:

1. Identitas informan
a. Nama
b. Usia
c. Agama
d. Pendidikan
2. Latar Belakang
a. Masa kecil
b. Masa remaja
c. Asal usul keluarga terkait dengan budaya dan norma
3. Kehidupan di rumah
a. Pola asuh orang tua
b. Peran ayah
c. Peran ibu
d. Peran saudara
e. Peran informan
f. Anggota keluarga yang paling berpengaruh
4. Pengalaman
a. Relasi sosial
b. Pengaruh agama yang dianut
c. Orientasi seksual
5. Upaya mengubah orientasi seksual
a. Sejak kapan ingin mengubah orientasi seksual
b. Alasan ingin mengubah orientasi seksual
c. Hal apa saja yang telah dilakukan untuk mengubah
orientasi seksual
d. Perasaan ketika proses mengubah orientasi seksual
36

Tabel 3.1 guideline interview


Indikator Pertanyaan
Selamat pagi/siang/sore/malam, sebelumnya
Nama
namanya siapa?
Identitas Usia Saat ini berumur berapa ya?
Informan Mohon maaf jika agak sensitif, kalau boleh tahu
Agama
agamanya apa?
Pendidikan Boleh disebutkan riwayat pendidikannya?
Masa Kecil Bisa diceritakan bagaimana masa kecil anda?
Masa Remaja Bisa diceritakan bagaimana masa remaja anda?
Asal usul keluarga Bisa diceritakan bagaimana asal usul keluarga
Latar Belakang
terkait dengan anda?
budaya dan norma Bagaimana budaya dan norma yang dianut di
yang dianut keluarga anda?
Bisa diceritakan bagaimana pengasuhan orang
Pola asuh orang tua
tua anda?
Bisa diceritakan bagaimana hubungan anda
Peran ayah dengan ayah anda di rumah serta peran ayah
anda menurut anda?
Bisa diceritakan bagaimana hubungan anda
Peran ibu dengan ibu anda di rumah serta peran ibu anda
Kehidupan di menurut anda?
rumah Bisa diceritakan bagaimana hubungan anda
Peran saudara dengan saudara anda di rumah serta peran
saudara anda menurut anda?
Bisa diceritakan bagaimana peran anda di
Peran informan
rumah?
Anggota keluarga
Bisa diceritakan anggota keluarga yang paling
yang paling
berpengaruh pada anda?
berpengaruh
Bisa diceritakan bagaimana pengalaman
Relasi Sosial
hubungan anda dengan teman-teman anda?
Pengaruh agama Bisa diceritakan bagaimana pengaruh dari
Pengalaman
yang dianut kepercayaan anda bagi diri anda?
Pembentukan Bisa diceritakan bagaimana anda pertama kali
orientasi seksual menyadari orientasi seksual anda?
Sejak kapan ingin Bisa diceritakan sejak kapan anda mempunyai
mengubah orientasi keinginan untuk mengubah orientasi seksual
seksual anda?
Alasan ingin
Bisa diceritakan alasan anda mengapa ingin
mengubah orientasi
Upaya mengubah orientasi seksual anda?
seksual
mengubah
Hal apa saja yang
orientasi Bisa diceritakan hal-hal apa saja yang telah anda
telah dilakukan
seksual lakukan untuk mengubah orientasi seksual
untuk mengubah
anda?
orientasi seksual
Perasaan ketika
Bisa diceritakan apa yang anda rasakan ketika
proses mengubah
proses mengubah orientasi seksual anda?
orientasi seksual
37

3.4 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah

inductive thematic analysis. Inductive thematic analysis adalah proses penarikan

tema muncul dan menjadi jelas karena adanya data pendukung (Hayes, 2000).

Adapun proses pelaksanaan analisis data untuk inductive thematic analysis adalah

sebagai berikut:

a. Menyiapkan data untuk analisis, transkrip wawancara atau

catatan

b. Membaca hasil wawancara secara teliti, memberi tanda pada

kata-kata yang merupakan inti dari pernyataan informan

(potongan kecil) yang relevan dengan topik penelitian. Proses

ini wajib dilakukan secara terpisah pada setiap transkrip.

c. Mengelompokan potongan kecil yang relevan dari setiap

transkrip ke dalam tema. Pada tahap ketiga ini dimulai proses

pentemaan, artinya potongan kecil dari setiap transkrip yang

memiliki inti, dan relevan dengan topik penelitian dapat

ditempatkan dalam suatu kelompok.

d. Memeriksa hasil pentemaan dan menjadikan definisi kata

kunci.

e. Mengambil setiap tema secara terpisah dan uji kembali setiap

transkrip secara teliti untuk materi yang relevan pada tema

tersebut.
38

f. Menyusun bentuk akhir dari pentemaan yang memiliki tiga

bagian, yaitu: nama atau label untuk suatu tema, analisa tema,

dan data pendukung (transkrip dalam proses wawancara).

g. Memilih atau menentukan data yang relevan dan melalui data

tersebut dapat menjelaskan hasil laporan dari pentemaan.

3.5 Validitas Penelitian


Pada penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila

tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang

sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Sugiyono, 2009). Willig (2008)

langkah-langkah validasi penelitian adalah sebagai berikut:

a. Melakukan validitas komunikatif

Peneliti memberi kesempatan kepada informan penelitian

untuk mengkonfirmasi hasil penelitian. Dalam proses validasi ini,

informan penelitian boleh mengkoreksi, menambahkan, atau

mengubah temuan penelitian yang dilaporkan oleh peneliti

(Poerwandari, 2011). Dalam praktiknya, peneliti melakukan

validasi ini dengan berkonsultasi dengan pembimbing dan

melakukan transkripsi dan analisa dengan teliti.

b. Melakukan validitas Argumentatif

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan

kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat

dibuktikan dengan melihat data mentah (Poerwandari, 2011).


39

3.6 Etika Penelitian


Penelitian ini menggunakan sumber data dan informasi dari individu-

individu yang menjadi informan penelitian. John W. Creswell (dalam Sugiyono,

2009) mengatakan sangat penting bagi peneliti memiliki kewajiban bagi peneliti

untuk menghormati hak, kebutuhan, nilai dan keinginan informan atau informan

penelitian. Adapun dasar pertimbangan etika (Willig, 2008) yang dapat

diaplikasikan untuk memperlakukan dalam penelitian kulitatif adalah sebagai

berikut:

a. Informed consent

Peneliti memastikan bahwa informan mengetahui seluruh

prosedur penelitian dan informan mengisi surat persetujuan yang

diberikan oleh peneliti, untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian

sebelum proses pengambilan data.

b. No deception

Peneliti sebisa mungkin menghindari pengelabuhan

informan. Namun dengan pertimbangan tertentu, pengelabuhan

dapat dilakukan.

c. Right to Withdraw

Peneliti memberikan kebebasan pada informan untuk

mengundurkan diri dari proses penelitian tanpa konsekuensi

apapun.

d. Debriefing
40

Peneliti harus memastikan setelah pengumpulan data

informan diberitahu mengenai hasil penelitian.

e. Confidentiality

Peneliti harus menjaga kerahasiaan hasil penelitian selama

proses penelitian. Peneliti harus melindungi informan dari berbagai

kesalahan atau kerugian, dan peneliti harus melindungi martabat

dan kesejahteraan informan secara psikologis.


BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

4.1 Persiapan Penelitian

4.1.1 Persiapan Peneliti


Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan beberapa persiapan

untuk melakukan proses pengambilan data. Langkah pertama yang dilakukan

oleh peneliti adalah menentukan karakteristik informan sesuai dengan judul

dan tujuan penelitian. Kemudian peneliti menyusun guideline interview yang

akan menjadi pedoman peneliti dalam proses wawancara dengan informan.

Langkah berikutnya adalah peneliti membuat lembar pernyataan kesediaan

partisipasi (informed consent) dan informasi mengenai penelitian. Selanjutnya

peneliti mencari informan yang sesuai dengan karakteristik penelitian dan

menanyakan kesediaan informan. Setelah peneliti mendapatkan informan

penelitian, peneliti menghubungi informan melalui pesan singkat terkait

dengan kesepakatan jadwal dan tempat untuk melakukan penggalian data

dengan metode wawancara. Berdasarkan waktu dan tempat yang sudah

disepakati oleh peneliti dan informan, peneliti akhirnya bertemu dengan

informan sesuai dengan tempat dan jadwal tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan peneliti saat bertemu informan adalah

membangun rapport terlebih dahulu. Setelah itu, peneliti menjelaskan

mengenai informasi penelitian dan memberikan lembar pernyataan kesediaan

partisipasi (informed consent), setelah informan selesai membaca lembar

41
42

tersebut, peneliti meminta informan untuk menandatangani lembar penyataan

kesediaan partisipasi. Kemudian langkah berikutnya, peneliti meminta ijin

kepada informan untuk menggunakan alat bantu record, dan guideline

interview selama proses wawancara berlangsung. Setelah wawancara selesai,

peneliti mengingatkan dan menanyakan kepada informan terkait dengan jadwal

wawancara berikutnya.

4.1.2 Perijinan Penelitian


Adapun langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan

perijinan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Peneliti menjelaskan mengenai informasi penelitian kepada informan

dan menanyakan kesediaan informan sebelum peneliti melalukan

proses penggalian data.

2. Informan menyatakan bersedia untuk menjadi informan dalam

penelitian ini.

3. Peneliti memberikan lembar pernyataan kesediaan partisipasi kepada

informan dan meminta informan untuk mengisi serta menandatangani

lembar tersebut.

4. Peneliti dan informan menyepakati jadwal dan tempat untuk

melakukan wawancara.
43

4.2 Proses Pengambilan Data

4.2.1 Setting dan Timing Penelitian


a. Informan SH

Tabel 4.1. Jadwal Wawancara Informan SH


No Hari/Tanggal Waktu Tempat Kondisi Lingkungan
Wawancara Tahap Pertama
1 Sabtu/8 Juni 17.01 - 18.11 Restoran Cepat Kondisi lingkungan tempat
2019 WIB Saji X, wawancara saat awal tidak
Surabaya. terlalu ramai, namun ketika
ditengah-tengah proses
wawancara tempat tersebut
menjadi banyak pengunjung
dan terdapat suara-suara dari
pengunjung yang lain sehingga
dalam proses wawancara yang
peneliti lakukan, alat bantu
rekam langsung didekatkan ke
mulut.
Wawancara Tahap Kedua
2 Rabu/17 Juli 19.01 – Restoran Cepat Kondisi lingkungan tempat
2019 20.09 WIB Saji Y, Jakarta wawancara sangat ramai dan
Pusat. banyak sekali pengunjung,
tempat duduk yang peneliti
dan informan pilih berada di
pojok akan tetapi berada tepat
di belakang tempat mencuci
tangan dan terkadang
terdengar suara dari alat
pengering tangan (hand dryer)
sehingga untuk mengatasi hal
tersebut peneliti dan informan
mendekatkan alat bantu rekam
ke mulut saat berbicara.
Wawancara Tahap Ketiga
3 Jumat/19 Juli 18.50 – Restoran Cepat Kondisi lingkungan tempat
2019 19.52 WIB Saji Y, Jakarta wawancara sangat ramai dan
Pusat. banyak sekali pengunjung,
tempat duduk yang peneliti
dan informan pilih juga berada
di bagian smoking area
sehingga suara dari jalan raya
juga terdengar dan terkadang
mengganggu proses
wawancara.
44

4.2.1.1 Pertemuan I

Langkah pertama yang peneliti lakukan sebelum melakukan

pertemuan pertama dengan informan SH adalah menghubungi informan

dengan menggunakan aplikasi WhatsApp untuk menentukan waktu dan

tempat melakukan pertemuan pertama. Setelah menemukan waktu dan

tempat yang sesuai akhirnya peneliti dan informan sepakat untuk bertemu

pada hari Sabtu, 8 Juni 2019 jam 17.00 WIB di sebuah restoran cepat saji

X di Surabaya. Hal pertama yang peneliti lakukan ketika bertemu adalah

berkenalan dan menanyakan hal-hal yang ringan agar membangun

rapport. Setelah itu informan memesan makanan dan sembari

menghabiskan makanan tersebut, peneliti dan informan berbincang tentang

hal-hal di luar penelitian. Saat informan sudah menghabiskan makanannya

dan informan mempersilahkan untuk memulai proses wawancara, peneliti

mulai menjelaskan mengenai informasi penelitian kepada informan dan

kemudian memberikan lembar pernyataan kesediaan partisipasi dan

meminta informan untuk menandatangani lembar tersebut.

Setelah informan menandatangani lembar tersebut, peneliti

meminta ijin kepada informan untuk menggunakan alat bantu rekam

selama proses wawancara dan mengeluarkan guideline interview. Selama

proses wawancara, informan terlihat santai dan terbuka dalam menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang peneliti berikan karena terlihat dari cara

informan menjawab pertanyaan dengan panjang dan jelas serta sesekali

tertawa ataupun tersenyum. Proses wawancara berlangsung kurang lebih


45

selama 50 menit dan semua pertanyaan yang ada pada guideline interview

telah terjawab, peneliti mengakhiri wawancara pertama tersebut.

4.2.1.2 Pertemuan II

Sebelum melakukan pertemuan kedua, peneliti melakukan proses

verbatim wawancara pertama dan berkonsultasi dengan dosen pembimbing

sehingga bisa menyusun guideline interview kedua dan ketiga. Kemudian

peneliti melakukan komunikasi dengan informan melalui aplikasi

WhatsApp untuk menentukan jadwal dan tempat melakukan proses

wawancara kedua dan ketiga. Pada wawancara kedua dan ketiga, peneliti

harus menyesuaikan kondisi informan yang sedang bekerja di luar kota

Surabaya sehingga peneliti melakukan wawancara kedua dan ketiga di

Jakarta.

Proses wawancara kedua dilakukan pada hari Rabu, 17 Juli 2019

jam 19.00 WIB yang bertempat di sebuah restoran cepat saji Y di Jakarta

Pusat dimana tempat tersebut dekat dengan tempat kerja informan. Saat

informan telah tiba di tempat, peneliti langsung menanyakan kabar

informan dan mempersilahkan informan untuk memesan makanan terlebih

dahulu akan tetapi informan menolak dan mengatakan akan memesan

makanan setelah wawancara selesai. Akhirnya peneliti langsung memulai

proses wawancara dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan terkait

dengan jawaban informan pada wawancara tahap pertama. Setelah itu,

baru peneliti menanyakan pertanyaan-pertanyaan baru guna melengkapi

data yang ingin peneliti dapatkan. Proses wawancara kedua ini


46

berlangsung cukup kondusif dan informan terlihat semakin terbuka dalam

menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti karena terlihat dari cara

menjawab informan yang menjelaskan dengan panjang dan runtut.

4.2.1.3 Pertemuan III

Wawancara tahap ketiga ini dilakukan pada hari Jumat, 19 Juli

2019 jam 18.50 WIB di sebuah restoran cepat saji Y di Jakarta Pusat.

Dalam pertemuan ketiga ini, informan datang setelah selesai kerja dan

kondisi tempat wawancara saat itu banyak sekali pengunjung sehingga

peneliti dan informan cukup sulit menentukan tempat duduk yang nyaman.

Akhirnya informan memilih tempat duduk di smoking area karena

pengunjung di bagian ini tidak terlalu banyak akan tetapi suara dari jalan

raya terdengar dan sesekali suara dari pengunjung yang datang dan pergi

terdengar dan cukup mengganggu. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti

dan informan berusaha mendekatkan alat bantu rekam ke bagian mulut

saat sedang berbicara dan menaikkan sedikit volume suara.

Pada proses wawancara ketiga ini, peneliti menanyakan pertanyaan

sesuai dengan guideline interview yang sudah disusun terkait dengan usaha

informan dalam proses mengubah orientasi seksualnya khususnya aspek

emosi dan motivasi dan juga beberapa pertanyaan pendukung sesuai dari

hasil wawancara pertama yang sudah dilakukan. Dalam proses wawancara

ketiga peneliti juga menanyakan tentang hubungan informan dengan

pasangan lesbiannya yang paling terakhir karena informan masih

berhubungan sampai saat itu.


47

b. Informan M

Tabel 4.2. Jadwal Wawancara Informan M


No Hari/Tanggal Waktu Tempat Kondisi Lingkungan
Wawancara Tahap Pertama
1 Kamis/29 21.02 – Coffee Shop X, Kondisi lingkungan tempat
Agustus 2019 22.21 WIB Surabaya wawancara saat awal sepi
kemudian di tengah proses
wawancara pengunjung
menjadi banyak dan terdengar
suara dari pengunjung yang
lainnya, tapi tempat duduk
yang peneliti dan informan
pilih berada di pojok sehingga
tidak terlalu mengganggu
proses wawancara.
Wawancara Tahap Kedua
2 Minggu/13 17.53 – Coffe Shop Y, Kondisi lingkungan tempat
Oktober 2019 18.32 WIB Surabaya wawancara lumayan ramai
sehingga peneliti dan informan
memilih untuk duduk di
smoking area karena tidak ada
pengunjung di bagian sana,
namun ada TV dan sedang
memutarkan suatu tayangan
dengan volume yang cukup
besar.
4.2.2.1 Pertemuan I

Hal pertama yang peneliti lakukan sebelum melakukan proses

pengambilan data pada informan M adalah melakukan komunikasi melalui

aplikasi Line. Dalam proses komunikasi tersebut, peneliti menanyakan

kepada informan terkait dengan jadwal dan tempat untuk melakukan

pertemuan pertama. Setelah mendapatkan kesepakatan jadwal dan tempat,

peneliti dan informan akhirnya bertemu pada hari Kamis, 29 Agustus 2019

jam 21.02 WIB di sebuah coffee shop X di Surabaya. Saat informan

datang, informan langsung memesan minuman kemudian duduk dan mulai

berbincang-bincang dengan peneliti. Perbincangan yang dilakukan peneliti

dan informan saat awal masih membahas hal-hal umum. Hal ini dilakukan
48

peneliti untuk membangun rapport dengan informan dan membuat

informan merasa nyaman.

Setelah itu peneliti meminta ijin untuk memulai proses wawancara

tahap pertama. Sebelumnya, peneliti menjelaskan mengenai informasi

penelitian kepada informan dan menanyakan lagi kesediaan informan.

Kemudian memberikan lembar pernyataan kesediaan partisipasi kepada

informan dan meminta informan untuk menandatangani lembar tersebut.

Setelah itu peneliti meminta ijin untuk menggunakan alat bantu rekam

selama proses wawancara dan menggunakan guideline interview. Proses

wawancara berlangsung kondusif karena kondisi lingkungan tempat

wawancara yang tidak terlalu ramai dan juga posisi tempat duduk yang

peneliti dan informan pilih yang cukup berada di pojok dan tidak ada

tempat duduk untuk pengunjung yang lainnya.

Dalam proses wawancara pertama ini, peneliti menanyakan

pertanyaan umum terkait tentang kehidupan informan sejak kecil sampai

sekarang, relasi informan dengan orang-orang sekitarnya, terkait dengan

orientasi seksual informan dan usaha informan dalam mengubah orientasi

seksualnya. Informan dalam menjawab pertanyaan terlihat santai dan

terbuka karena memberikan jawaban dengan jelas dan cukup panjang serta

sesekali informan tertawa dan tersenyum ketika membahas hal yang cukup

sensitif atau privasi.

4.2.2.2 Pertemuan II
49

Wawancara tahap kedua ini peneliti lakukan pada hari Minggu, 13

Oktober 2019 pukul 17.00 yang bertempat di sebuah Coffee Shop Y yang

berada di Surabaya. Pada awalnya peneliti sudah menghubungi informan

terlebih dahulu untuk menentukan jadwal wawancara tahap kedua ini

melalui aplikasi Line. Sebelumnya informan menentukan jadwal

wawancara tahap kedua pada hari Kamis, 10 Oktober 2019 namun sehari

sebelumnya informan membatalkan jadwal tersebut dikarenakan informan

memiliki acara lain sehingga akhirnya informan menentukan untuk

wawancara kedua dilakukan pada hari Minggu, 13 Oktober 2019.

Peneliti lebih dahulu tiba di tempat tersebut sehingga menunggu

informan selama kurang lebih 15 menit. Setelah informan datang, peneliti

mempersilahkan informan untuk memesan minuman terlebih dahulu.

Sembari menunggu minuman informan datang, peneliti dan informan

sempat berbicara selama kurang lebih 30 menit dengan topik diluar dari

penelitian ini. Kemudian setelah peneliti merasa informan sudah mulai

nyaman dengan suasana di tempat tersebut, peneliti menanyakan kepada

informan untuk memulai proses wawancara.

Proses wawancara berlangsung cukup kondusif dan informan juga

kooperatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan di

tahap kedua ini. Pada wawancara kedua ini, peneliti menanyakan beberapa

pertanyaan tambahan untuk melengkapi data yang sudah ada pada

wawancara pertama. Dalam proses wawancara kedua ini, kondisi

lingkungan tempat melakukan wawancara cukup mendukung karena


50

tempat duduk yang peneliti dan informan pilih tidak ada pengunjung yang

lain namun ada TV yang sedang memutarkan suatu tayangan dengan

volume yang cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti meminta

ijin kepada informan untuk mendekatkan alat perekam ke bagian mulut

ketika berbicara dan informan mengijinkan. Dalam memberikan jawaban,

informan sangat santai dan terbuka, hal tersebut terlihat dari informan

tetap memberikan jawabannya pada beberapa pertanyaan yang sensitif

sambil tertawa kecil.

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Pengolahan Data Penelitian Informan SH


4.3.1.1 Anamnesa Informan SH

Nama : SH
Usia : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
SH merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan memiliki
adik perempuan. SH terlahir di keluarga yang sederhana dan cukup
harmonis. Ayahnya bekerja sebagai seorang PNS dan ibunya merupakan
seorang ibu rumah tangga. Ibu SH adalah soosk yang dominan di keluarga
sedangkan ayahnya bersikap lebih mengerti kondisi SH. SH memiliki satu
adik perempuan dan relasinya cukup dekat sekarang ini dimana SH mulai
terbuka untuk menceritakan apa yang ia alami kepada adiknya. Sejak
kecil, SH dibesarkan oleh ayah dan ibunya dengan pola asuh yang
membatasi kebebasan SH dalam bersosialisasi dengan sekitarnya. Hal
tersebut membuat SH memiliki lingkup pertemanan yang terbatas, namun
SH tetap berusaha untuk mendekatkan dirinya kepada teman-temannya
melalui komunikasi media sosial. SH sejak kecil dalam pertemanan lebih
senang untuk berteman dengan laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut
51

karena menurutnya laki-laki lebih memakai logika dibandingkan perasaan


dalam pertemanan.
SH berhubungan sesama jenis pertama kali ketika SD kelas VI
karena saat itu ia dibohongi oleh pasangannya yang ternyata adalah
seorang perempuan. Setelah putus dari pacar pertamanya tersebut, SH
mulai memiliki ketertarikan kepada sesama jenisnya dan mulai mencari
tahu banyak hal terkait hal tersebut. Ketertarikannya kepada sesama jenis
berlanjut terus hingga ia mulai menyadari bahwa orientasi seksualnya
adalah sesama jenis. Beberapa teman dekat serta kakak sepupunya
mengetahui kondisinya tersebut.
Namun SH menyadari bahwa ia memiliki keinginan untuk tetap
dapat menikah dan memiliki keturunan dimana hal tersebut tidak dapat ia
capai jika orientasi seksualnya kepada sesama jenis. Sehingga ia mulai
mengalami keraguan dalam orientasi seksualnya kepada sesama jenis dan
sedikit demi sedikit ia memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya
yang sebelumnya adalah homoseksual menjadi heteroseksual.

Tabel 4.3 Tabel Kategorisasi Informan SH


Selective Coding
No Tema Sub tema Sub sub tema (Sumber :
Analytical Label)
1 Kondisi Pandangan - Ayah adalah sosok
keluarga informan yang berpengaruh
Informan terhadap ayah untuk informan [SH
positif 1, 677-687]
Ayah seorang yang
bijaksana, keras,
disiplin, perhatian
dan lembut [SH 2,
14-21]
Ayah lebih fleksibel
terkait peraturan [SH
1, 219-223]
Ayah sebagai
penentu keputusan
hal yang penting [SH
1, 440-451]
Ayah mengalah
kepada ibu [SH 2,
52

339-344]
Ayah memberitahu
ibu untuk mengerti
anak [SH 2, 335-
339]
Ayah pekerja keras
[SH 2, 896-904]
Ayah sebagai teladan
informan dalam
berperilaku [SH 2,
863-881]
Ayah sebagi teladan
informan dalam
mencari pasangan
[SH 2, 881-883]
Relasi informan Kedekatan Dekat dengan ayah
dengan ayah dengan ayah [SH 1, 487-489]
Komunikasi Jarang berbicara
kurang dengan dengan ayah [SH 1,
ayah 421-425]
Topik pembicaraan
dengan ayah adalah
masa depan [SH 1,
425-430]
Karakter ibu Overprotective Ibu overprotective
[SH 2, 199-223]
Menyalahkan Ibu sering
menyalahkan [SH 1,
518-530]
Ibu memandang
negatif cerita
informan [SH 2, 280-
293]
Disiplin Ibu disiplin dalam
hal tepat waktu [SH
2, 228-252]
Ibu protektif, disiplin
dan keras [SH 2,
190-193]
Dominan Ibu keras dalam hal
pendapat [SH 2, 256-
264]
Ibu dominan [SH 1,
431]
Ibu dominan dalam
pengambilan
keputusan [SH 2,
392-416]
Ibu sebagai penentu
keputusan [SH 1,
53

435-436]
Pandangan Berselisih Sering berselisih
informan pendapat dengan pendapat dengan ibu
terhadap ibu ibu [SH 1, 459-469; SH
negatif 2, 278-279]
Tidak suka Lebih suka bicara ke
bicara kepada ayah dari pada ibu
ibu [SH 1, 470-471]
Informan lebih
memilih cerita
kepada teman atau
adik daripada ibu
[SH 2, 293-304]
Malas untuk cerita ke
ibu [SH 1, 530-532]
Takut kepada Ketakutan informan
ibu dengan ibu [SH 1,
493-502]
Tidak dekat Hubungan dengan
dengan ibu ibu jauh [SH 2, 188-
190]
Relasi orang tua - Orang tua harmonis
harmonis [SH 2, 350-358]
Relasi dengan Kedekatan Adik sebagai tempat
saudara dengan adik cerita [SH 1, 125-
126]
Lebih suka cerita ke
adik atau teman [SH
1, 152-155]
Kedekatan dengan
adik dimulai saat
sekarang [SH 1, 161;
545-548]
Kedekatan Kedekatan dengan
dengan kakak kakak sepupu sejak
sepupu SMA [SH 1, 164-
167]
Pola asuh orang Mengabaikan Orang tua
tua otoriter mengabaikan ketika
informan bercerita
[SH 1, 149-150]
Ketidaktahuan orang
tua terkait orientasi
seksual informan
[SH 2, 851]
Otoriter Pola asuh orang tua
konsisten otoriter
[SH 1, 368-380]
Peraturan dari Jam malam Orang tua melarang
orang tua pulang malam [SH 1,
54

184-187]
Peratuan jam malam
dari ibu [SH 1, 214-
219]
Tidak boleh Orang tua melarang
berteman berteman dengan
dengan laki-laki laki-laki [SH 1, 202-
203]
Orang tua melarang
berteman dengan
laki-laki gondrong
[SH 1, 352-362]
Tidak boleh Orang tua mau
keluar rumah informan di rumah
saja [SH 1, 254-257]
Orang tua melarang
keluar dengan teman
[SH 1, 268-276]
Orang tua melarang
nonton bioskop [SH
1, 249-253]
Orang tua
menganggap bioskop
tempat negatif [SH 1,
291-298]
Dampak pola Takut kepada Perasaan takut
asuh orang tua orang tua kepada orang tua
otoriter [SH 1, 119-120]
Hubungan yang Tidak dekat dengan
jauh dengan orang tua [SH 1,
orang tua 114-115]
Ketidakpatuhan Perilaku tidak patuh
informan informan [SH 1, 204-
207]
Informan sedih Informan sedih
karena dikekang karena orang tua
mengekang [SH 1,
319-324]
Keinginan Informan ingin lebih
bersosialisasi leluasa dalam
bersosialisasi [SH 1,
306-318]
Usaha informan - Informan pernah
berkomunikasi mencoba
kepada orang berkomunikasi
tua terkait pola dengan orang tua
asuh untuk mendapat
kebebasan tapi tidak
berhasil [SH 1, 392-
415]
55

2 Informan Bekerja - Di Jakarta bekerja


ketika [SH 1, 627]
merantau Informan - Merantau agar
menjadi mandiri mandiri [SH 1, 614-
621]
Relasi dengan - Semenjak merantau
keluarga jadi jadi lebih dekat
dekat dengan keluarga [SH
1, 656-665]
Komunikasi jadi erat
dengan keluarga
sejak merantau [SH
1, 670-672]
3 Pertemanan Senang - Sejak kecil informan
informan berteman lebih senang
dengan laki-laki berteman dengan
laki-laki dari pada
perempuan [SH 1,
15-20]
Informan senang
berteman dengan
laki-laki karena laki-
laki tidak pakai
perasaan, asik, bisa
melindungi, tidak
melecehkan dan
menggunakan logika
[SH 1, 84-93]
Memposisikan diri
sebagai laki-laki
ketika dengan teman
laki-laki [SH 1, 61-
64]
Teman sebagai - Teman sebagai
tempat sharing tempat sharing atau
meminta pendapat
[SH 1, 700-707]
Pertemanan - Pertemanan menjadi
terbatas sempit karena orang
tua mengekang [SH
1, 719-743]
Usaha mendekat - Usaha informan
kepada teman mendekatkan diri
kepada teman [SH 1,
753-768]
4 Dinamika Ketertarikan - Tertarik kepada
orientasi kepada perempuan [SH 1,
seksual perempuan 916-917]
informan Sejak putus dari
orang pertama
56

informan mulai
tertarik dengan
perempuan dan
mencari tahu tentang
lesbian [SH 2, 1301-
1310]
Coming out - Mengakui sebagai
sebagai lesbian lesbian sejak SMA
femme [SH 1, 792-796]
Penerimaan diri
sebagai lesbian saat
SMA [SH 1, 862-
864]
Lima kali menjalin
hubungan sesama
jenis [SH 2, 923-
929]
Kakak sepupu, adik
dan beberapa teman
dekat mengetahui
informan lesbian [SH
3, 1040-1044]
Informan sebagai
femme [SH 2, 1165-
1168]
Pandangan - Definisi pacar
informan menurut informan
tentang pacaran adalah tempat curhat,
bisa menjadi teman,
sahabat, kakak
ataupun orang tua,
mengayomi, dan
mendukung [SH 3,
624-635]
Makna pacaran
sesama jenis sebagai
support dan tempat
cerita [SH 2, 525-
532]
Kriteria - Kriteria mencari
pasangan pasangan sesama
sesama jenis jenis yaitu rambut
informan sebahu, tomboy,
berkacamata dan
putih [SH 2, 1584-
1604]
Ketertarikan - Orang pertama
informan kepada seorang femme [SH
lesbian butch 2, 1177-1180]
Orang kedua seorang
57

butch [SH 2, 1188-


1189]
Orang ketiga
awalnya bukan
lesbian [SH 2, 1189-
1191]
Orang keempat
seorang butch [SH 2,
1191-1193]
Orang kelima
seorang andro [SH 2,
1194-1199]
Perilaku seksual - Kontak fisik dengan
informan orang pertama dan
dengan sesama ketiga tidak ada [SH
jenis 2, 1428-1431]
Kontak fisik dengan
orang kedua ialah
pegangan tangan [SH
2, 1429-1430]
- Kontak fisik dengan
orang keempat dan
kelima sejauh
berhubungan seksual
[SH 2, 1524-1527]
Tahapan ciuman
dimulai dari pipi,
tangan dan bibir [SH
2, 1510-1518]
Informan melakukan
aktivitas seksual
bondage dominance
and sadomasochism
dengan orang kelima
[SH 3, 16-26]
Respon Respon menangis
menangis ketika ketika pertama kali
melakukan ciuman [SH 2, 1466-
perilaku seksual 1473]
Respon menangis
dan mengunci diri di
lemari ketika diraba
(pegang) oleh orang
keempat [SH 2,
1476-1492]
Informan - Berpacaran sesama
berhubungan jenis sejak SD [SH 1,
sesama jenis 800-801]
pertama kali Pacaran sesama jenis
pertama kali
58

dibohongi [SH 1,
805-811]
Rentang waktu
pacaran dengan pacar
pertama yaitu 3
bulan [SH 1, 826-
830]
Kronologi informan
menjalin hubungan
sesama jenis pertama
kali saat SD dan
dibohongi oleh
pasangan sesama
jenisnya [SH 2, 968-
1025]
Perasaan kecewa
informan karena
dibohongi [SH 1,
812-819]
Informan - Kronologi informan
berhubungan menjalin hubungan
sesama jenis sesama jenis kedua
kedua kali kali yang dikenalkan
oleh temannya
melalui aplikasi dan
juga dibohongi [SH
2, 1037-1085]
Hubungan dengan
orang kedua lewat
telepon dan kirim
foto [SH 2, 1147-
1158]
Informan - Menjalin hubungan
berhubungan sesama jenis dengan
sesama jenis orang ketiga karena
ketiga kali coba-coba [SH 2,
1226-1235]
Informan - Kronologi informan
berhubungan menjalin hubungan
sesama jenis dengan orang
keempat kali keempat yang HTS
dan ternyata tidak
dianggap [SH 2,
1338-1382]
Orang keempat
merupakan sosok
yang lengkap
menurut informan
[SH 2, 1357-1364]
Informan Kronologi informan
59

berhubungan menjalin hubungan


sesama jenis dengan orang kelima
dengan orang yaitu lewat aplikasi
kelima dan merasa cocok
sehingga pacaran
[SH 2, 1383-1420]
Pasangan sesama
jenis yang terakhir
merupakan biseksual
[SH 2, 637-638]
Orang kelima
mengalami mental
disorder [SH 2,
1401-1403]
5 Dinamika Aspek Motivasi Keinginan untuk Keinginan untuk
informan berhubungan menjadi normal saat
dalam normal SMA [SH 1, 852-
mengubah 857]
orientasi Keinginan untuk
seksualnya normal semakin kuat
saat sekarang [SH 1,
927-933]
Keinginan untuk
meninggalkan
hubungan dengan
sesama jenis [SH 1,
1182-1193]
Keinginan untuk
berhubungan secara
normal [SH 2, 584-
601]
Keinginan untuk Menyadari hubungan
menikah dan sesama jenis tidak
memiliki bisa untuk menikah
keturunan [SH 1, 1158-1174]
Keinginan untuk
menikah [SH 1,
1141-1150]
Motivasi untuk
berkeluarga dan
memiliki keturunan
[SH 3, 291-305]
Aspek Kognitif Pandangan Definisi laki-laki
terhadap laki- menurut informan
laki adalah ada yang baik,
jahat, superior,
pengambil
keputusan, dan
menggunakan logika
[SH 3, 457-481]
60

Pandangan bahwa
laki-laki adalah
hanya teman [SH 1,
870-884]
Pandangan tidak Pandangan terkait
mau memaksa mencari pasangan
mencari bahwa tidak ingin
pasangan memaksa [SH 2,
808-826]
Defense Rasionalisasi tentang
mechanism masih menjalin
rasionalisasi hubungan dengan
sesama jenis tidak
mempengaruhi
proses mengubah
orientasi seksualnya
[SH 2, 516-525; 774-
798]
Keinginan untuk Informan masih
tetap menjadi memiliki keinginan
lesbian karena untuk tetap menjadi
belum lesbian karena belum
menenmukan menemukan laki-laki
laki-laki yang yang tepat dan masih
tepat merasa nyaman
dengan kondisinya
sebagai seorang
lesbian [SH 3, 345-
369]
Aspek Afeksi Perasaan ragu, Pergolakan batin
dilema dan untuk menjadi
bingung ketika normal [SH 2, 554-
mengubah 567]
orientasi seksual Informan merasa
dilema dan bingung
dalam proses
mengubah orientasi
seksual [SH 3, 314-
331]
Tidak suka Belum siap dengan
kepada laki-laki laki-laki karena takut
dan bingung [SH 1,
1072-1092]
Tidak suka laki-laki
agresif [SH 1, 1034-
1047]
Merasa illfeel dengan
laki-laki yang
agresif, melantur,
kurang wawasan, dan
61

memakai cincin batu


akik [SH 3, 494-539]
Tidak nyaman saat
dekat dengan laki-
laki [SH 1, 987-
1001]
Usaha Dekat dengan Usaha dekat dengan
mengubah laki-laki laki-laki saat SMA
orientasi seksual [SH 1, 860-862]
(Aspek Pernah menjalani
Perilaku) hubungan dengan
laki-laki selama 2
minggu [SH 1, 1010-
1024]
Berusaha kenal dan
dekat dengan laki-
laki [SH 1, 982-986]
Informan sedang
menjalin komunikasi
dengan seorang laki-
laki [SH 3, 239-243]
Usaha mengubah
orientasi seksual
yang sudah
dilakukan adalah
dekat dengan laki-
laki [SH 3, 998-
1011]
Saat dengan orang
keempat informan
beberapa kali dekat
dan suka dengan
laki-laki [SH 2,
1313-1332]
Menenangkan Informan berusaha
diri ketika menenangkan dirinya
merasa bimbang ketika merasa
bimbang dan takut
dalam proses
mengubah orientasi
seksualnya [SH 3,
435-452]
Faktor protektif Pengalaman Alasan ingin
dalam SOCE sering disakiti mengubah orientasi
dalam seksual karena laki-
berhubungan laki dan perempuan
sesama jenis sama menyakitkan
[SH 1, 933-946]
Sering disakiti oleh
pasangan sesama
62

jenis [SH 3, 1154-


1174]
Pasangan sesama
jenis mengatakan
hubungan mereka
buang waktu [SH 2,
548-554]
Orang tua Orang tua
menanyakan menanyakan
pasangan pasangan informan
[SH 1, 1137-1141]
Kebebasan dari
orang tua terkait
memiliki pasangan
[SH 2, 834-847]
Dukungan Keluarga dan teman
kerabat dekat berusaha
mengingatkan
informan untuk
menjadi normal [SH
3, 260-281]
Pasangan sesama
jenis mendukung
menjadi normal [SH
2, 688-692]
Agama yang Agama sebagai
melarang pedoman berperilaku
hubungan [SH 1, 774-784; SH
sesama jenis 2, 428-460]
Agama informan
melarang pacaran
sesama jenis [SH 2,
532-547]
Informan ingin
mengubah orientasi
seksual karena secara
hukum dan
Agamanya melarang
pernikahan LGBT
[SH 3, 410-421]
Usia Alasan ingin
mengubah orientasi
seksual karena usia
[SH 1, 963-976]
Faktor risiko Masih menjalin Sekarang masih
eksternal dalam komunikasi berkomunikasi
SOCE dengan sesama dengan sesama jenis
jenis [SH 1, 1124-1130;
SH 2, 673-674]
Peran Agama Peran kepercayaan
63

yang kurang kurang dalam proses


menjadi normal [SH
2, 578-583]

4.3.1.2 Deskripsi Tema Informan SH

1. Kondisi keluarga informan

a. Pandangan informan terhadap ayah positif

Informan dalam keluarganya dekat dengan ayahnya

dan menganggap sosok ayah merupakan orang yang

paling berpengaruh di dalam kehidupannya yaitu sebagai

panutan dan teladannya. Hal ini ditunjukkan dari

perkataan informan yaitu:

“mungkin anggota keluarga yang


berpengaruh itu pa..papa kali ya maksudnya
kayak e.. aku jadi contoh, contoh ku itu kayak
papa, kayak orang itu bisa ngapain aja, even
di.. apa.. di posisi yang di bawah pun harus
bisa struggle kayak gitu sih jadi lebih ke
contoh.. mencontoh tauladanlah, sosok
tauladan kayak gitu” [SH 1, 677-687]
“Jadi kalau menurut aku, karakter ayah
sendiri itu bijaksana pasti ya soalnya kepala
keluarga, terus keras tapi engga yang keras
banget gitu lho jadi keras maksudnya disiplin.
Tapi tetep, apa ya, punya sisi yang perhatian,
lembut, ya kayak gitu lah…” [SH 2, 14-21]
“Tapi kadang ada suatu waktu di mana Papa
yang ngalah, Mama yang ini. Mungkin kalau
misalkan itu kayak kelewat malam atau apa,
kayak gitu sih” [SH 2, 339-344]
“tapi teladan aku juga dalam mencari
pasangan sih” [SH 2, 881-883]
“Selain itu… selain apa ya..dia jadi teladan
buat cari suami, calon, sama teladan buat aku
juga sih. Maksudnya kayak misalkan ulet ya
64

dia tuh mau kerja apa aja sampai malem.


Kayak kerja keras gitu banget loh, makannya
bikin aku jadi teladan aku juga” [SH 2, 869-
904]
b. Relasi informan dengan ayah

1) Kedekatan dengan ayah

Informan SH memiliki kedekatan dengan ayahnya.

Hal ini ditunjukkan dati kutipan verbatim berikut:

“kalau hubungan sama papa lebih deket sama


papa dibanding sama mama” [SH 1, 487-489]
2) Komunikasi kurang dengan ayah

Informan SH dengan ayahnya bercerita namun tidak

terlalu sering karena hal-hal yang diceritakan oleh

informan SH dengan ayahnya lebih mengarah pada

masa depan. Hal ini ditunjukkan dari hasil verbatim

berikut:

“aku sama papa ya deket sih maksudnya


deketnya tapi papa ku bukan orang yang suka
ngobrol gitu kan kadang-kadang ya ngobrol”
[SH 1, 421-425]
“tapi ngobrol untuk kayak yang future thing
gitu kan bukan untuk bukan hal-hal yang
kecil-kecil kayak gitu paling ngobrol ya kalau
lagi ngobrol” [SH 1, 425-430]
c. Karakter ibu

1) Overprotective

Ibu informan SH memiliki karakter yang

overprotective kepada anak-anaknya termasuk kepada


65

informan SH. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan hasil

verbatim berikut:

“Kalau menurut aku sih protektifnya lebih


over protective ya karena, misalkan gini ya,
aku mau main kemana gitu sama temenku,
engga boleh. Terus dibilang, kenapa sih kayak
main-main ke luar kan udah sering main sama
keluarga gitu lho, keluar kemana-mana. Tapi
kenapa kok harus ke tempat itu padahal itu
sering dikunjungin keluarga, padahal kan
udah pernah kenapa harus keluar lagi? Kayak
gitu, lebih protektifnya kayak gitu, terus
misalkan mau keluar kota karena emang
maksudnya liburan udah lama ya, waktu itu
sempet satu bulan lebih lah, liburan tapi
engga boleh keluar kota. Alasannya yang
inilah, itulah, bahkan waktu pernah hampir
hari-H itu udah pesen segala macem, udah
packing segala macem, ternyata hampir aja
dicancel. Gitu sih.” [SH 2, 199-223]
2) Menyalahkan

Ibu informan SH juga memiliki karakter yang sering

menyalahkan informan. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:

“karena menurut aku karena mama memang


dominan ya jadi ketika aku ngomong A kayak
belum sampai di titiknya berhenti gitu, udah di
sela dan apaya bukan dikata-katain lebih ke
dinasehatin tapi jadinya jatuhnya tuh seperti
aku yang salah jadi misalkan kayak ‘ma, aku
pingin ini kayak temen-temen’ ‘kamu tuh
kenapa sih pingin kayak gitu kan belum tentu
nnnnn...’ padahal aku belum sampai di titik”
[SH 1, 518-530]
“Terus abis itu kayak apa karena mungkin
setiap cerita kadang nilainya itu negatif,
daripada didengerin gitu lho. Maksudnya
ketika aku cerita bukan didengerin dulu terus
dikomentarin, entah itu positif atau negatif
66

nah itu jadi jatuhnya lebih ke kayak kamu tuh


kenapa sih kayak gini-gini misalkan, aku
punya temen nih, temenku gini, gini, gini.
Awalnya memang, ya udah engga usah
dipeduliin, mungkin nih, gitu, gitu.” [SH 2,
280-293]
3) Disiplin

Ibu informan SH juga adalah seorang yang disiplin.

Hal ini ditunjukkan melalui kutipan verbatim berikut:

“Kalau menurut aku sih, disiplin, keras,


hmm… Apa ya, aku… Oh protektif sih, lebih ke
protektif, disiplin dan, keras.” [SH 2, 190-193]
“Disiplinnya tuh lebih ke masalah waktu,
kayak waktu pulang. Misal, karena waktu itu
kan kurang tahu, maksudnya dunia
perkuliahan kayak gimana ya dan jadinya
masalah pulang, kayak ikut organisasi kan
sampai malam tuh. Dikira kuliah cuman
sampai, misalkan jam 5 gitu kan, disuruh
pulang tepat waktu, padahal engga bisa. Bisa
mungkin ada kelas pengganti atau apa sampai
malam, terus ditanyain, ditelponin mulu,
disiplin, kayak gitu kan. Terus misalkan kayak
ada pekerjaan rumah yang dalam arti kayak
cuci-cuci, setrika, itu bener-bener kayak harus
tepat waktu gitu- maksudnya bukan tepat
waktu ya, kayak, kamu harus ngerjain ini gitu
lho karena kamu di rumah engga cuman
ngerjain- maksudnya ngerjain kuliah doang,
tapi kamu juga… Kayak gitu sih.” [SH 2, 228-
252]
4) Dominan

Ibu informan SH dalam keluarga merupakan sosok

paling dominan dimana penentu keputusan berada di

ibu. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“dominan mama sih” [SH 1, 431]


67

“mama jadi kayak e desicion maker nya tetap


mama” [SH 1, 435-436]
“Iya sih, mungkin sedikit mempengaruhi ya itu
tadi kayak balik lagi yang waktu aku bilang
ketika jadi decision maker kadang
dominannya disitu, misalkan kayak engga mau
tahu gitu. Tapi kan kayak gini, gini, gini…
Terus akhirnya jadi ya udah deh, daripada ini
kan… Kayak gitu atau misalkan decision
maker pergi, waktu itu pernah karena yang…
Aku lupa deh tapi kasusnya kayak gimana aku
ngerjain tugas terus akhirnya, ya udah engga
usah ikut. Antara- oh bukan, waktu aku- iya,
emang lagi ada tugas banyak tapi ternyata
disuruh kayak pergi atau jalan-jalan.
Akhirnya, kamu tuh kok engga pernah ikut
sih? Kayak gini, gini… Terus ya, ya udah.
Akhirnya aku milih buat di rumah terus ya
udah dibiarin aja karena kayak gitu, kadang
terpaksa harus ikut.” [SH 2, 392-416]
d. Pandangan informan terhadap ibu negatif

1) Berselisih pendapat dengan ibu

Informan SH dengan ibunya sering berselisih

pendapat karena informan merasa ibunya tidak

mengerti dengan yang diceritakan informan dan ibunya

memiliki pendapatnya sendiri. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan berikut:

“kalau hubungan deket kalau di bilang deket,


deket cuman gak terlalu deket gituloh kadang
sering selisih paham juga sih maksudnya
ketika aku bilang A, mama punya e keputusan
sendiri dengan pengalamannya pribadi dan
tata tertib yang udah dari dulu di punya jadi
maunya B, padahalkan udah dijelasin tetap
maunya itu jadi gak bisa diubah” [SH 1, 459-
469]
68

“Karena gini ya, maksudnya sering-sering


berselisih pendapat.” [SH 2, 278-279]
2) Tidak suka bicara kepada ibu

Informan SH tidak suka berbicara kepada ibunya

karena seringnya berbeda pendapat. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan berikut:

“lebih baik ngobrolnya ke papa” [SH 1, 470-


471]
“aku belum sampai di titik jadinya kan orang
males kalau mau cerita kayak gitu” [SH 1,
530-532]
“Makanya kamu cari temen, makanya kamu
kayak gitu tuh jadi kan kayak mengintimidasi
aku sendiri kan. Makanya tuh aku kadang
males, kayak buat cerita atau apa-apa. Jadi
aku mikir aku jadi engga gitu kalau misalkan
ada apa-apa biasanya kan orang-orang ke
mamanya kayak atau apa. Aku engga sih,
lebih ke temen atau adek.” [SH 2, 293-304]
3) Takut kepada ibu

Informan SH takut kepada ibunya karena ibunya

memiliki karakter yang keras dan dominan. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“sama mama belum..belum tentu sampai


ngomong misal nih ‘aku punya pacar’ kayak
gitu ‘aku punya temen kayak gini-gini-gini’ itu
gak pernah berani sampai segitunya kalau
misalkan emang waktunya gak tepat. Tapi
rasanya waktunya gak tepat mulu hehe.” [SH
1, 493-502]
4) Tidak dekat dengan ibu

Informan SH tidak memiliki kedekatan dengan

ibunya karena apa yang informan rasakan tentang


69

karakter ibunya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan

verbatim berikut:

“Aku engga begitu deket ya, deket cuman


engga begitu deket banget.” [SH 2, 188-190]
e. Relasi orang tua harmonis

Menurut informan SH, hubungan kedua orang

tuanya masih harmonis karena kedua orang tuanya masih

sering berbicara dan bercanda. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:

“Relasinya bagus-bagus aja sih, maksudnya


kayak bercanda ya bercanda, maksudnya
masih ‘anget’ ya ‘anget’. Kayak gitu lah,
masih bagus-bagus aja sih, engga pernah ada-
ya mungkin selisih pendapat ada sih, Cuman
engga yang sampai kayak gimana gitu.” [SH
2, 350-358]
f. Relasi dengan saudara

1) Kedekatan dengan adik

Informan SH dan adiknya memiliki relasi yang

dekat karena adiknya sebagai temapat cerita dan

informan lebih senang bercerita kepada adik dari pada

orang tua. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“seringnya cerita ke adik sih jadi kayak


misalkan e ada apa-apa sama temen ceritanya
lebih dekat ke adik dari pada sama ke orang
tua” [SH 1, 125-129]
“mending cerita ke adik atau gak gitu lebih ke
temen sih makanya jarang-jarang cerita ke
orang tua gitu” [SH 1, 152-155]
70

2) Kedekatan dengan kakak sepupu

Informan SH sebelum dekat dengan adiknya, ia

lebih dekat dengan kakak sepupunya yang ia panggil

mbak. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“kalau semenjak mungkin kuliah atau SMA


mungkin lebih ke kakak sepupu sih kakak
sepupu cewek” [SH 1, 164-167]
g. Pola asuh orang tua otoriter

1) Mengabaikan

Kedua orang tua informan SH dalam mengasuh

informan cenderung mengabaikan informan. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“yang negatif atau kadang gak didengar gitu


loh” [SH 1, 149-150]
“Nggak, ngga tahu.” [SH 2, 851]
2) Otoriter

Pola asuh orang tua informan SH otoriter sejak kecil

sampai sekarang. Hal ini ditunjukkan dari kutipan

berikut:

“justru malah emang dari kecil kayak gitu


cuman kalau temen laki dari dulu kan mereka
tau kan karena memang rumahku dulu dekat
sama lingkunganku main kalau sekarang kan
gak aku juga gak pernah keluar, gak pernah
main sama sekali sama temen-temen kayak
paling ya jadi mereka kayak gak kontrol aja
sih even itu dikerjaku sekarang pun mereka
juga kayak siapa itu kayak gitu-gitu sih” [SH
1, 368-380]
71

h. Peraturan dari orang tua

1) Jam malam

Orang tua informan SH melarang anaknya untuk

pulang malam sehingga diberikan batasan jam malam.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“keluarga mama kayak ada apaya kebiasaan


yang dari dulu banget diterapin paling gak
boleh pulang malam” [SH 1, 184-187]
“kadang ada jam malam kalau mama lebih e
ngebatasin mungkin sampai jam 9 tapi kadang
kalau misalkan ada temen yang kayak udah
klop bisa lebih dari itu sih.” [SH 1, 214-219]
2) Tidak boleh berteman dengan laki-laki

Informan juga dilarang untuk berteman dengan laki-

laki oleh kedua orang tuanya dan jika laki-laki tersebut

berpenampilan nakal. Hal ini ditunjukkan dari kutipan

berikut:

“gak boleh keluar sama cowok,” [SH 1, 202-


203]
“pernah kayak aku lagi kumpul-kumpul sama
temen-temenku SMA kebetulan dia itu mereka
rambutnya ya awal-awal masuk kuliah ya
gondrong dan kawan-kawan terus mereka
tiba-tiba ngelarang tanpa kayak ada dasarnya
gitu cuman karena mereka berambut
gondrong doang aku jadi gak dibolehin main
sama mereka lagi kayak gitu” [SH 1, 352-362]
3) Tidak boleh keluar rumah

Kedua orang tua informan SH lebih suka jika

informan berada di rumah saja dari pada harus keluar


72

rumah. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“mungkin main sama temen kalau bisa


dimintanya tuh lebih harus ke rumah gitu dari
pada ke mall atau kemana kayak gitu” [SH 1,
254-257]
“untuk pergi-pergi sama temen itu benar-
benar terbatas jadi kayak harus nyolong-
nyolong waktu gitu bahkan sampai kayak
merasa ya semua orang butuh bebas juga kan
gak harus di rumah terus pingin cuman jalan-
jalan even sekedar facation kan pingin aja gitu
sama temen” [SH 1, 268-276]
“orang tuaku dua-duanya gak ngebolehin
nonton bioskop even itu sama sepupu pun
kadang gak boleh gitu kan” [SH 1, 249-253]
i. Dampak pola asuh orang tua otoriter

1) Takut kepada orang tua

Informan SH menjadi takut kepada orang tuanya.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“ketika kayak cerita mau cerita suatu hal itu


kayak ada benteng mungkin karena apaya mau
misalkan mau cerita punya pacar terus takut
gitu loh sering ada takut tersendiri” [SH 1,
119-124]
2) Hubungan yang jauh dengan orang tua

Relasi informan SH dengan kedua orang tuanya

jauh. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“kalau sama mama papa kurang begitu dekat”


[SH 1, 115-116]
3) Ketidakpatuhan informan
73

Informan SH karena mendapat larangan-larangan

dari kedua orang tuanya, sehingga ia terkadang

melanggar hal tersebut dengan tetap melakukannya.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“kalau kepepet pun ya mau gak mau harus


keluar sama cowok karena mungkin emang
temen karena urgent juga sih” [SH 1, 204-
207]
4) Informan sedih karena dikekang

Informan SH merasa sedih karena tidak mendapat

kebebasan dari kedua orang tuanya. Hal ini ditunjukkan

dari hasil kutipan verbatim berikut ini:

“aku pernah suatu ketika itu pernah nangis


karena aku gak dapat kesempatan buat main
bebas gitu loh sama temen even itu di
Surabaya sendiri” [SH 1, 319-324]
5) Keinginan bersosialisasi

Informan SH memiliki keinginan untuk dapat

bersosialisasi dengan teman-temannya tanpa harus

dibatasi oleh kedua orang tuanya. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan berikut:

“kalau aku rasa ini sih yang berbeda itu


kebebasan buat kayak ngelakuin hal-hal
apapun even itu berteman sekalipun
maksudnya apaya kalau kadang aku iri aja
gitu mungkin mereka membatasi dalam artian
baguskan buat akunya tapi kayak keinginan
buat misalkan jalan-jalan ke jalan-jalan ke
rumah teman, main, atau pun ke mall itu kan,
nonton em apaya nonton konser itu sepupuku
dapat tapi kenapa aku tuh gak” [SH 1, 306-
318]
74

j. Usaha informan berkomunikasi kepada orang tua terkait

pola asuh

Informan SH sudah berusaha untuk berkomunikasi

kepada orang tuanya terkait pola asuh yang

didapatkannya, namun menurutnya tidak ada perubahan.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“pernah banget gak sekali dua kali bahkan


sampai aku nangis ya karena waktu itu sempat
bertengkar juga karena aku ketahuan pergi
tapi gak bilang, ya aku bilang aja kenapa sih
aku gak bisa kayak orang-orang yang lain
temen-temen yang lain even kayak mereka
cuman makan pun ke mall pun sama cowok
kayak mereka boleh tapi kenapa aku gak boleh
aku juga kan iri pingin juga kayak kasih kabar
ke orang tua aku lagi di sini sama ini dan
dibolehin bukan ketika aku sampai di telfon
terus aku harus bohong padahal aku juga
pingin juga kayak gitu tapi ya mereka
ngelakuin kayak ngebolehin ya-ya berubah
sehari, dua hari, setelah itu juga tetap sama
lagi jadi mending buat apa harus jujur kayak
mending bohong aja dari pada gak dapat hal
itu gitu” [SH 1, 392-415]
2. Informan ketika merantau

a. Bekerja

Saat ini informan SH bekerja di Jakarta. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“kebetulan di Jakarta kerja” [SH 1, 627]


b. Informan menjadi mandiri
75

Informan SH memilih kerja di Jakarta untuk bisa

merantau dan menjadi mandiri. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan berikut:

“punya pikiran buat e..keluar rumah dalam


artian kayak merantau gitu karena selama ini
dia juga jadi gak mandiri kan makanya aku
pingin nerapin dia supaya jadi lebih mandiri
gitu dan aku juga karena gak kayak apa-apa
orang tua , apa-apa orang tua” [SH 1, 614-
621]
c. Relasi dengan keluarga jadi dekat

Menurut informan SH, ketika ia bekerja di Jakarta,

relasi informan dengan keluarganya menjadi lebih dekat.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“mungkin justru makin erat ya karena kayak


sering telfon terus orang tua e.. kayak sering
kangen karena belum pernah merantau juga
kan kayak gitu sih jadi lebih aku ngerasa jadi
lebih erat waktu di luar kota dari pada di sini,
kalau sama adik karena dia sibuk kan jadi
kadang ngabarin, kadang juga gak kayak gitu
sih” [SH 1, 656-665]
“iya jadi kayak harus, harus banget ada jam-
jamnya kayak malam atau pagi kayak gitu”
[SH 1, 670-672]
3. Pertemanan informan

a. Senang berteman dengan laki-laki

Informan SH mengatakan bahwa sejak kecil ia lebih

senang berteman dengan laki-laki dari pada perempuan

karena laki-laki lebih menggunakan logika dari pada


76

perasaan. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“aku cenderung lebih punya temen itu cowok


jadi jarang sih maksudnya cewek, temen
cewek main, enggak, seringnya main sama
cowok. Lebih apayah nyaman aja gitu kalau
sama cowok.” [SH 1, 22-28]
“jadi aku kayak memposisikan diri aku juga
sama kayak mereka jadi kayak sama-sama
cowok gitu loh.” [SH 1, 61-63]
“kalau misalkan berteman sama cowok itu
lebih nyaman karena mereka itu kayak gak
ada pakai perasaan kan, satu, terus kedua
mereka itu lebih asik lebih seru gitu loh kalau
diajak main kalau cewek kan mungkin lebih
ada yang kayak inilah apalah kebentur apalah
kalau cowok kan ya udah” [SH 1, 84-93]
b. Teman sebagai tempat sharing

Menurut informan SH, teman adalah tempat untuk

bercerita dan bertukar pendapat. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan berikut:

“kalau untuk temen deket sih masih sering


kontak sih cuman ada beberapa yang memang
karena dia sibuk, jadi gak pernah kontak lagi
cuman e..kontak juga kayak dalam arti kasus
misalkan minta pendapat, atau sharing, apa
kayak gitu” [SH 1, 700-707]
c. Pertemanan terbatas

Informan SH merasa bahwa pertemanannya menjadi

sempit karena orang tuanya tidak memberikan kebebasan

kepada informan dalam berteman. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:


77

“justru ada banget, malah ngerasa itu jadi


penyebab gitu karena jujur aja kayak semakin
gede kan circle pertemanan makin kecil, nah
tapi emang pertemananku dari dulu sampai
sekarang pun semakin kecil bahkan kayak
sama-sama kecilnya gitu bahkan temenku
yang dulu jaman SMA, jaman masih sering-
seringnya aku keluar ya, itu jadi mereka
jarang banget ajak aku keluar, jarang banget
ajak aku kumpul, bahkan even itu cuman apa
ya kayak e.. formalitas lah ngajak ‘eh kamu
mau ini gak, mau itu gak, mau ke kesini gak,
mau ke situ gak?’ itu justru mereka malah
formalitas itupun gak diterapin di aku karena
mereka tau udah pasti gak bisa dan ak..ketika
aku keluar sampai malam pun, terus e.. sempat
kena marah, temenku pun takut kayak gitu
sih” [SH 1, 719-743]
d. Usaha mendekat kepada teman

Informan SH menyadari bahwa pertemanannya

menjadi sempit sehingga ia berusaha untuk tetap

berkomunikasi dengan teman-temannya melalui media

sosial walaupun tidak bisa bertemu. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan berikut:

“kayaknya mereka kalau masih tetap ngajak


mungkin ada beberapa orang ya tapi, kalau
sebagian besar sih udah ya udah lah, udah
gak usah di ajak karena udah tau jawabannya
apa dan palingan aku yang lebih ngedeketin
mereka dan emang itu ngaruh banget sih
sampai kalau di tanya temen-temenmu kenapa
gak di ajak misalkan ada acara ya temenku
cuman itu doang karena kan kayak merasa
kalau circle pertemanan gak bisa di ajak
keluar ya kayak kita gak deket kan jadinya
kayak gitu sih” [SH 1, 753-768]
4. Dinamika orientasi seksual informan

a. Ketertarikan kepada perempuan


78

Informan SH mulai memiliki ketertarikan kepada

perempuan sejak ia menjalin hubungan dengan pacar

sesama jenisnya pertama kali. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan berikut:

“lebih mending pilih yang cewek sih


dibandingkan yang cowok” [SH 1, 916-917]
“Jadi setelah yang pertama itu ngaku, aku
tetep kayak lebih suka nyari ke arah sana gitu
loh. Jadi aku gak tau deh, maksudnya aku
lebih kek tertarik aja gitu jadi aku kek lebih
ngulik-ngulik bener bener sampe yang ke
istilahnya orang yang ter.. apa ya terparahnya
gitu lah. Terparah dari lesbi kayak gimana.”
[SH 2, 1301-1310]
b. Coming out sebagai lesbian femme

Informan SH mengakui dan menerima dirinya

sebagai lesbian sejak SMA. Informan SH juga sudah

memberitahu kepada beberapa temannya, adik serta kakak

sepupunya tentang kondisinya sebagai lesbian. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“kalau menyadari apakah aku tuh kayak gini


itu nah sebut aja namanya lesbian gitu ya, aku
taunya mungkin sekitar SMA kali ya,” [SH 1,
792-796]
“gak bisa juga gitu kan ternyata ya mungkin
ngerasa kayak udah ya emang udah kayak gini
sih” [SH 1, 862-864]
“Jadi dua kali dibohongi tapi terus akhirnya
yang… dua-duanya ini akhirnya ngaku. Terus
habis gitu… pokoknya total ada lima deh yang
bener bener ngaku ada tiga, yang dua bohong
tapi satu akhirnya ngaku juga.” [SH 2, 923-
929]
79

“Aku yang sosok yang… temennya dominan


apa sih lawannya dominan apa sih? Pokoknya
yang cewek lah ya” [SH 2, 1165-1168]
“Mbak, adek, lima, enam, tujuh, delapan,
mungkin lebih dari sepuluh kali ya. Tapi itu
paling sisanya ya temen-temen aku yang sama
juga.” [SH 3, 1040-1044]
c. Pandangan informan tentang pacaran

Informan SH memiliki pandangan bahwa pacaran

adalah seperti tempat cerita, kemudian orang tersebut bisa

menjadi teman, sahabat, kakak atau orang tua dan

melindungi serta mengayomi. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:

“Sebenarnya kalau dipikir-pikir jelas dosa,


tapi aku memposisikannya tuh karena
orangnya support kan, maksudnya support
satu sama lain, kayak gitu sih. Lebih ke ada
temen ngobrol, terus kayak gitu kan.” [SH 2,
525-532]
“Kalo menurut aku, definisi pacar itu yang
pasti dia bisa diajak curhat. Kayak temen sih,
kalo aku menganggapnya kayak paket lengkap
aja, dia jadi temen bisa, jadi sahabat bisa, jadi
kakak bisa, jadi orang tua bisa. Jadi kayak
mengayomi bisa, cerita bisa, terus support
bisa, terus kek seru-seruan bisa. Jadi kayak
definisi pacar menurut aku sih kayak gitu.”
[SH 3, 624-635]
d. Kriteria pasangan sesama jenis informan

Informan SH dalam mencari pasangan sesama jenis

memiliki kriteria secara fisik yaitu tomboy. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Ohhh aku lebih sukanya kayak dia tomboy


tapi gak tomboy yang rambutnya pendek kayak
80

cowok gitu gak. Dulu emang sempet sih yang


tomboy bener-bener kayak cowok, tapi
mungkin karena aku engga… satu, udah kayak
suka sama dirinya dan aku juga gak nemuin
yang kayak gitu kan yang rambutnya panjang.
Kalo sekarang mungkin lebih kayak yang
rambutnya panjang, maksudnya bener bener
rambutnya Panjang lah ya panjang se-bahu,
pake kacamata, kayak kalo gendut kurus mah
gak masalah sih, cuma biasanya sih lebih
cenderung kayak yang putih, biasanya, pake
kacamata sih iya. Dan pastinya kek tomboy.”
[SH 2, 1584-1604]
e. Ketertarikan informan kepada lesbian butch

Informan SH dalam berpacaran sesama jenis lebih

cenderung mencari lesbian yang berperan sebagai butch.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Engga. Yang pertama itu engga karena dia


sama sama cewek kan, maksudnya bener-
bener kayak femme gitu” [SH 2, 1177-1180]
“Yang kedua itu jadi cowoknya,”[SH 2, 1188-
1189]
“yang ketiga itu awalnya dia engga engga
lesbi, jadi kayak gitu.”[SH 2, 1189-1191]
Terus yang seterusnya.. yang keempat
cowoknya, sama sih sebenernya.”[SH 2, 1191-
1193]
“Cuma yang kelima ini karena dia biseksual
jadi kayak antara cowok dan cewek. Cuma
kayak apa ya lebih dominan…. I mean like
strong tomboy gitu tapi gak tomboy tomboy
banget sih.” [SH 2, 1194-1199]
f. Perilaku seksual informan dengan sesama jenis

Informan SH dalam berpacaran sesama jenis sudah

melakukan perilaku seksual dimulai dari cium bibir dan


81

pipi sampai pada berhubungan seksual. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan berikut:

“Hmmm kalo yang pertama gak pernah sama


sekali, kalo yang kedua itu paling pegangan
tangan,” [SH 2, 1428-1430]
“Awalnya dari pipi, ya pipi sih, pipi, tangan,
terus mulai dia kayak…karena mungkin dia
udah kek gede jadi udah terbiasa gitu kan.
Mulai cium bibir juga sih, nah itu aku ketika
itu aku takut yang sampe nangis itu.” [SH 2,
1510-1518]
“Nggak berenti sampe di situ ya pokoknya
lebih dari itu. Kalo istilahnya orang sekarang
mah having sex mungkin ya…” [SH 2, 1524-
1527]
1) Respon menangis ketika melakukan perilaku seksual

Saat informan SH pertama kali melakukan perilaku

seksual baik itu ciuman dan berhubungan seksual,

informan sempat menangis. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan berikut:

“waktu kissing itu pun juga sama yang


keempat aku sempet nangis kan karena emang
aku gak pernah ngelakuin itu kan jadi bener-
bener nangis yang nangis kek orang.. kek
orang di.. apaya dipaksa gitu loh bener
bener.” [SH 2, 1466-1473]
“Tapi waktu itu sempet pernah putus sama
yang kelima dan aku menganggap yang
keempat ini kan kayak tempat curhat karena
dia tuh ngerti, udah dewasa kan sebenernya.
Jadi aku butuh dia untuk kasih nasehat. Tapi
waktu dia tuh maksa… maksudnya kamu..
istilahnya apa ya.. Kamu jangan berpatokan
sama dia terus, ayo mau aku buat seneng.
Istilahnya seneng dalam tanda kutip. Nah
waktu dia mulai pegang-pegang aku itu, itu
pun aku nangis yang bener-bener nangis kejer
82

sampe aku ngunci diri di lemari.” [SH 2,


1476-1492]
g. Informan berhubungan sesama jenis pertama kali

Informan SH pertama kali berhubungan sesama

jenis saat SD dan saat itu ia dibohongi oleh pasangannya.

Hal ini ditunjukkan dengan kutipan verbatim berikut:

“waktu itu sempat berhubungan mulai dari


SD.” [SH 1, 800-801]
“kebetulan udah berhubungan dengan sesama
jenis cuman dia itu gimana ya, ngakunya jadi
orang yang aku sukain, tapi ternyata waktu
dia beberapa bulan setelahnya dia jujur kalau
dia perempuan,” [SH 1, 805-811]
“sama sih waktu SD juga cuman berselang 3
bulan setelah itu dia ngaku terus kita gak ada
kontak maksudnya aku udah dalam posisi aku
marah ya” [SH 1, 826-830]
“Jadi tuh ceritanya e… dia.. aku tuh les di
suatu bimbingan belajar itu kan. Aku tuh
naksir sama cowok, nah tapi tuh memang dari
jaman-jaman SD kan kita gak berani yang
naksir yang deket-deketan, aku tuh bukan tipe
orang yang kayak gitu. Ya naksir sih naksir
cuman kek yang lihat-lihatan dari jauh gitu
kan. Nah aku waktu itu dia ngasih sinyal,
kasih sinyal, chat chat an sama aku. Nah
waktu itu sempet dia kadang gak bawa hape,
kadang dia bales, nah kebetulan waktu kayak..
kok waktu bersamaan ketika dia gak bawa
hape si ini gak ngechat, ketika bawa hape kok
dia ngechat.. gitu kan. Terus akhirnya pacaran
tapi awalnya kayak biasa biasa aja, jalan, gitu
kan terus kok lama-lama dia gak pernah telfon
kan? Kek even cuma apa ya.. telfon sekali kek
dua kali kok gak pernah? Terus waktu itu
temenku juga curiga.. eh.. aku cerita ke
temenku kan terus temenku juga curiga Coba-
coba aku gak percaya deh ini dia. Awalnya dia
percaya tapi kok aku setelah aku cerita
kejadian dia kok susah dihubungi tapi kok apa
83

sih…. Waktu dia yang cowok ini asli ketemu


ini jatohnya jutek, kok jadi aneh.. waktu itu tuh
sempet akhirnya dia e… ketauannya ketika aku
bales, dia bales, ternyata si cowok ini… eh
salah.. aku chat dia gak bales, tapi si cowok
ini tuh pegang hape. Terus waktu aku chat dia
bales, si cowok tetep gak pegang hape gitu
loh, tapi dia bales, makannya kan kayak aneh.
Terus akhirnya sampe rumah baru aku tanya
Kamu ini siapa sih? Ternyata baru dia ngaku,
dia itu mantan nya si cowok itu. Nah aku tuh
gak tahu, gak tahu cewek itu tau darimana aku
suka sama dia karena aku gak pernah
ngomong secara langsung bahkan by chat aku
aku suka. Jadi aku cuma kayak apa ya secret
admire gitu loh cuma gitu doang. Tapi aku gak
tahu loh kalo si cewe itu tahu dari mana,
gitu.” [SH 2, 968-1025]
h. Informan berhubungan sesama jenis kedua kali

Informan SH berpacaran sesama jenis kedua kali

juga dibohongi oleh pasangannya namun ia menyadari

bahwa pasangannya adalah perempuan yang berpura-pura

seperti laki-laki. Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Kalo yang kedua itu jamannya ini ya.. apa


aplikasi-aplikasi gitu loh. Nah aku kenal dari
situ tapi aku kenal orangnya. Maksudnya si
katakanlah si A ini temennya sahabat aku si B
lah ya. Nah si B itu jamannya dulu itu kan
misalnya kalo ada.. bukan aplikasi BBM sih,
lebih ke aplikasi biasa chatting an gitu bilang
kayak Eh mau ga add temenku ini? Kan
jaman-jaman dulu kan kayak gitu kan, nah
waktu itu Boleh boleh, siapa ini? Tetanggamu.
Yaudah kayak temen ngobrol biasa gituloh.
Waktu itu aku juga gak ada ini kok, gak ada
ketertarikan sama perempuan sebenernya.. eh
tapi aku gak tahu sih ya. Cuma kadang aku
cuma ngeliat.. dari dulu tuh suka kalo ngeliat
cewek karena cantik ya kayak I mean she’s a
beautiful creature kayak gitu lah ya. Nah udah
tuh, udah di add ngobrol, ternyata si orang ini
84

si A ini bilang Kamu mau gak aku kenalin ke


saudara aku? Dia bilang gitu. Anggep aja si C
ya. Oh yaudah deh gapapa. Gitu kan ngobrol.
Nah dari situ si C itu awalnya sih kayak Masa
sih percaya gitu kan. tapi ya balik lagi dia itu
sering kayak ngilang, terus habis itu dia
bilang dia itu sakit lah ini lah terus akhirnya
ada temenku si… bukan si B, beda lagi itu
bilang Kayaknya tuh ini si ini deh apa deh
tetangganya temenmu deh, bukan saudaranya.
Masa sih? Iya ini kayaknya sih A deh bukan si
C. Nah dari situ. Tapi dia itu ngakunya itu dua
tahun lebih, tahun ketiga kali baru dia tahu.”
[SH 2, 1037-1085]
“Dia seingetku dia pernah telfon, pernah.. iya
pernah telfon sama kirim foto kan. Kalo yang
pertama itu kan gak pernah sama sekali. Nah
itu sih… yang ini pernah. Tapi semenjak itu…
maksudnya semenjak udahan itu aku juga
sama temenku kan ada tuh. Temenku sama sih
ngenalin aku juga sama ya orang yang seperti
itu, maksudnya sama kayak gitu lah.” [SH 2,
1147-1158]
i. Informan berhubungan sesama jenis ketiga kali

Informan SH berpacaran sesama jenis ketiga kali

saat SMA dan itu karena coba-coba. Pasangannya awalnya

bukan seorang lesbian namun menjadi lesbian. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“ketiga ini e… awalnya dia engga lesbi, terus


jadi kek dia… tapi dia tuh mengarah ke sana
karena dia suka sama kakak kelasnya. Bukan
suka ya tapi kek semacam ngefans gitu loh,
ngefans sama kakak kelasnya. Terus akhirnya
Kamu mau coba gak? kayak gitu, terus
akhirnya coba aja..” [SH 2, 1226-1235]
j. Informan berhubungan sesama jenis keempat kali
85

Informan SH berpacaran sesama jenis dengan orang

keempat cukup lama. Namun, informan sempat tidak

dianggap oleh pasangannya tersebut dan disia-siakan.

Berikut hasil kutipan dari verbatim informan SH:

“akhirnya aku pengen kayak punya kebebasan


kan akhirnya kita HTS-an ternyata ketika HTS
itu, ketika aku menganggap masih pacaran, si
mantan aku yang keempat ini nganggep kalo
kita udah gak ada apa-apa dan dia ternyata
pacaran sama orang lain. Di situ aku kayak
bener-bener yang ..apa ya istilahnya.. padahal
aku gak nganggep itu putus gitu kan, ternyata
dia nganggep itu udah selesai, ya udah. Jadi
selama.. aku lupa deh.. satu eh gak sampe satu
tahun, 9 bulan terus sisanya kan enam bulan
hampir enam bulan.. enam tahun hampir enam
tahun itu aku jadi orang ketiga istilahnya
karena aku apa ya… aku nganggep sosok dia
itu sosok yang lengkap dalam artian karena
mungkin dia latar belakang keluarga sama,
terus kita kayak.. dia lebih tua dari aku kan,
jadi aku nganggep kayak istilahnya saling
melengkapi gitu lah saling ngerti gitu kan, jadi
selama enam tahun itu aku jadi ini-annya dan
dia juga gak mempertegas gitu kalau kita udah
selesai gitu kan. Ternyata ya udah, sampe
suatu ketika sampe akhirnya hampir enam
tahun itu dia bilang kalo Kamu mau dianggep
apa? Orang selama ini kita cuma temen. Dari
situ tuh kayak aku tahu aku sadar kalo kita tuh
cuma temen, tapi aku kayak masih kayak apa
ya di kepala ku tuh masih kira-kira ada
kesempatan gak ya ada kesempatan gak ya,
tapi ternyata engga. Yaudah dari situ pulang
aku kayak fix lah yaudah aku gak mau peduli
sama orang ini lagi.” [SH 2, 1338-1382]
“aku nganggep sosok dia itu sosok yang
lengkap dalam artian karena mungkin dia
latar belakang keluarga sama, terus kita
kayak.. dia lebih tua dari aku kan, jadi aku
nganggep kayak istilahnya saling melengkapi
86

gitu lah saling ngerti gitu kan” [SH 2, 1357-


1364]
k. Informan berhubungan sesama jenis kelima kali

Informan SH berpacaran sesama jenis yang kelima

kali dengan seorang biseksual perempuan. Hal ini

ditunjukkan dengan kutipan berikut:

“Sebenarnya karena mungkin dia itu


hitungannya dia biseksual,” [SH 2, 637-638]
“aku cuma iseng kayak buka aplikasi kan
cuma ngechat- ngechat ya maksudnya killing
time lah ya cari temen. Kan aku lebih suka
cari temen di dunia maya kan. Akhirnya
ketemu lah sama orang ini. Jadi tuh kita sama-
sama…jadi tuh dia nyari orang tapi dia tuh
sering dibohongi karena dia cowok. Sama aku
juga suka kayak gitu akhirnya kita nyambung,
ngobrol, tapi aku gak menganggap itu sebagai
kedekatan gitu loh jadi cuma temen sharing
temen asik asikan aja. Sampe akhirnya makin
intens makin intens sampai akhirnya ini apa
namanya jalan bareng gitulah tapi gak
segampang itu karena dia punya mental
disorder kan ya. Emang parah banget ,
jadinya dia waktu pacaran sebulan… mungkin
karena LDR juga kan ya dia selingkuh sama
orang lain, cari orang lain lagi cari orang lain
lagi sampe berapa bulan masih aja kayak gitu.
Terus pada suatu ketika dia bilang kalo yang
sama aku tuh bukan dia tapi dia yang lain.
Terus akhirnya tetep jalan, ketika gak LDR
pun tetep kayak gitu Aku masih sayang, cuma
ada orang lain yang di dalem ku yang nolak
gitu loh. Akhirnya udah selesai, terus dia
bingung, nyambung lagi, kayak gitu lah
kurang lebih.” [SH 2, 1383-1420]
5. Dinamika informan dalam mengubah orientasi seksualnya

a. Aspek motivasi

1) Keinginan untuk berhubungan normal


87

Informan SH sudah memiliki keinginan untuk

berhubungan normal dengan laki-laki sejak SMA. Hal

ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“mungkin karena sebenarnya waktu pas masih


SMA itu kayak aku gak, aku gak terima sih aku
kayak gini karena apa aku gak bisa pacaran
kayak anak-anak yang lain maksudnya jaman
SMA” [SH 1 852-857]
“mungkin waktu SMA masih nyoba kan karena
memang kayak ‘oh aku gak mau nih kayak gini
nih, aku pingin kayak temen-temenku’ tapi, e..
makin kuat itu makin ke sini itu waktu aku
gede ini ya baru-baru ini” [SH 1, 927-933]
“mungkin hal yang kepikiran kayaknya em..
mungkin nyoba buat ninggalin hubungan sama
sesama kali ya soalnya waktu dibilang mau
sampai kapan kamu kayak gini kalau gak
kamu akhiri hal kayak gitu soalnya kalau
kamu akhiri hal kayak gitu pasti kedepannya
kamu bakalan kamu kayak ditemuin deh
istilahnya kayak gitu cuman gak tau itu deh
masih ngambang gitu sih” [SH 1, 1182-1193]
“Harusnya, tapi kenapa kok kayak ya, ya
udah, biasa aja cuman lebih ke, ya itu tadi.
Lebih ke ngeliat orang-orang pada,
maksudnya bisa apa ya engga backstreet even
aku kadang juga engga backstreet cuman…
Engga tahu deh, kalau menurut aku sih
peranan kepercayaan malah biasa aja.
Soalnya harusnya kan dari awal, dari awal
banget aku harus nyaman dan kalau misalkan
emang kalau udah hitam, harusnya engga aku
lakuin dong. Tapi aku memandang ini tuh
sebagai hal yang abu-abu, jadi ya aku engga
memandang itu ini sih, kayak berpengaruh
100%” [SH 2, 584-601]
2) Keinginan untuk menikah dan memiliki keturunan

Informan SH memutuskan untuk mengubah

orientasi seksualnya karena ia memiliki keinginan


88

untuk menikah dan mempunyai keturunan. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“terus dan lagi sepupu-sepupu aku dah pada


kayak udah pada ada yang mau jalan ke
plaminan, ada yang udah mau lamaran, kayak
gitu kan jadi ibaratnya aku jadi harus kayak
bukan suatu apa ya lomba pencapaian nikah
bukan sih cuman kayak terketuk aja gitu
kayaknya ya udah mulai harus berhenti gitu”
[SH 1, 1141-1150]
“ada sih, ya itu tadi pemicunya karena apa ya
kayak trauma aja sama cewek tetap aja
diperlakuin sama seperti cowok, terus di
dalam diriku juga kayak ngapain gitu kan
kayak habisin waktu sama cewek tapi ujung-
ujungnya di sama aja gitu kan mendingkan
sama cowok mungkin gak tau kan maksudnya
even itu menghabiskan waktu tapi kan jelas
misalkan kalau emang misalkan lanjut, lanjut,
kalau putus, putus. Kalau sama cewek kan
udah pasti jelas kayak udahnya gitu kan itu
sih” [SH 1, 1158-1174]
“Motivasiku karena suatu saat aku kayak
pengen aja gitu punya keluarga, punya
keturunan yang istilahnya apa ya… dari orang
yang bener. Gitu sih. Maksudnya kalo dilihat
orang-orang pun juga kayak pada nanyain
kan, Kamu kemana? pacarmu mana? pacarmu
mana? kayak apa ya.. kalo backstreet terus sih
kayak gak masalah cuma mereka pada
akhirnya akan kepo dan bakalan ngorek
ngorek itu sih. motivasi ku paling pengen
punya keluarga salah satunya.” [SH 3, 291-
305]
b. Aspek kognitif

1) Pandangan terhadap laki-laki


89

Informan SH memiliki pandangan terhadap laki-laki

bahwa mereka adalah hanya teman. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan berikut:

“sebenarnya udah nyoba cuman kayak malah


jatuhnya tuh karena mungkin ngobrol ku itu
sama dia itu jadinya balik lagi kayak jaman
waktu aku kecil ya aku merasa nyaman sama
mereka itu memposisikan diri kayak aku
sebagai cowok, sama-sama cowok, sama-sama
temen jadinya aku ngerasa temenan sama
mereka itu justru kayak temenan gituloh jadi
kayak mau di bawa ke pacaran pun kayak
udah ngebayanginnya pun kayak gak bisa
kayak aneh aja gitu” [SH 1, 870-884]
“Menurutku laki-laki itu… general ya. Tapi
ada macemnya, ada yang baik ada yang
sedang ada yang jahat. Ada yang baik itu
dalam artian bener-bener anaknya kayak baik
banget, kalo jahat ya jahat banget gitu kan.
Tapi so far dia itu apa ya, lebih superior.
Superior dalam artian kayak decision maker
itu even gak cuma perempuan tapi mereka
lebih… mayoritas kan orang lebih
nganggepnya laki-laki decision maker. Terus
mereka itu lebih main ke logika dan kadang
bisa kaya semaunya sendiri, itu sih. Lebih
apaya..mereka tuh lebih pengen seneng-
seneng kalo seusia aku sepantaran ya. Lebih
masih pengen seneng-seneng dibandingkan
perempuan. Kalo perempuan kan umurnya
berapa, tapi mereka udah dewasa. Kalo laki-
laki kan masih kayak anak-anak gitu sih.” [SH
3, 457-481]
2) Pandangan tidak mau memaksa mencari pasangan

Informan SH memiliki pandangan bahwa dalam

mencari pasangan ia tidak mau memaksa agar hasilnya

tidak terkesan terburu-buru. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:


90

“Iya sih masih dalam proses berusaha buat


berubah, tapi kan aku mikirnya sesuatu yang
dipaksa itu kan gak baik kan, even aku
berusaha berubah terus aku kayak nyari nyari
nyari gitu kan jatuhnya kayak dipaksa banget
kan? Ya aku sih apa ya… orang tuaku juga
gak maksa juga dalam artian.. ya mereka juga
bilang Kalau misalkan kamu pingin, tapi kamu
gak usah maksa yaudah biasa aja, maksudnya
let it flow. Kalau misalkan jodoh kan juga
ketemu kan? Kalau kamu maksa, malah
jatohnya dapet jelek. Jadi aku kayak berusaha,
tapi aku juga engga nyari-nyari gitu loh jadi
biasa aja.” [SH 2, 808-826]
3) Defense mechanism rasionalisasi

Informan SH melakukan rasionalisasi yaitu masih

menjalin komunikasi dengan sesama jenis tidak akan

mempengaruhi proses mengubah orientasi seksualnya.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Bentar ya, aku mikir dulu. Kalau dikaitkan


sama posisiku sekarang, pasti orang lihatnya
dosa, udah pasti jelas kan dosa. Tapi orang
juga di luar sana yang istilahnya posisinya
pacaran tapi lawan jenis pun juga dosa.
Apalagi yang sampai berbuat yang lebih dari
pacarannya, kayak gitu kan.” [SH 2, 516-525]
“Gak sih. Kalo menurutku gak berpengaruh
karena satu, aku lagi dak deket sama siapa-
siapa. Even aku deket pun, sempet aku deket
cuman belum ada kriteria gitu loh dan apa
ya… gak ada proses mendekati, ndak ada
proses didekati jadi aku nganggep biasa aja,
gak berpengaruh gitu. Kalo misalkan emang
ada yang deketin, ya kadang aku pasti
seriusin, cuma masih belum ada yang sesuai
kriteria. Dia juga sempet tanya sih Kamu ada
lagi deket sama orang gak? ya aku jawab Ada.
Memang ada beberapa, cuma aku bilang Gak
sih aku gak yang gimana-gimana gitu. Soalnya
aku bilang bukan tipe aku, emang bukan tipe
91

aku kan. Maksudnya kalo.. aku orangnya kalo


misalnya diterusin, maksudnya dipaksa juga
aku gak mau gitu loh. Malah kasihan, aku gitu
sih.” [SH 2, 774-798]
4) Keinginan untuk tetap menjadi lesbian karena belum

menemukan laki-laki yang tepat

Informan SH masih memiliki keinginan untuk

menjadi lesbian karena belum juga mendapatkan laki-

laki yang tepat sebagai pasangannya. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Soalnya karena apa ya? soalnya karena satu,


mungkin karena aku belum nemuin orang yang
cocok, terus yang kedua, aku masih nyaman
kayak gini. Maksudnya masih nyaman seneng-
seneng, masih nyaman di-support sama
pasanganku yang sekarang. bukan
pasanganku yang sekarang sih, maksudnya
masih nyaman dalam posisi kayak gini karena
kalo ketika aku di… apaya… e… kalo aku
pacaran itu yang aku pingin kadang gak
sesuai gitu kan, tapi pingin aja kalo misalkan
aku pacaran at least pacaran yang bener gak
sampai main main cewek, terus apa namanya
yang kalo misalkan berhubungan itu yang
sehat, kayak gitu sih. Nah soalnya kan kata
hati nyarinya susah, dan ini sekarang kayak
posisi aku udah umur segini gitu kan. Jadi
kayak bingungnya di situ sih” [SH 3, 345-369]
c. Aspek afeksi

1) Perasaan ragu, dilema dan bingung ketika mengubah

orientasi seksual

Informan SH dalam proses mengubah orientasi

seksualnya sempat merasa ragu dan bingung serta


92

dilema. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“Nah ditambah lagi semakin kesini, semakin…


Kadang melihat orang nikah itu ngiri, ngiri
tapi bukan berarti- apa ya, kayak, kapan sih
aku bisa kayak gitu? Maksudnya posisi aku
sekarang seperti ini, gitu lho. Kepinginnya
bukan karena liat orang-orang, oh pada nikah,
nikah muda. Engga sih, tapi lebih ke
pergolakan batin aja, ketika kamu di posisi
kayak gini, kamu pingin tapi kamu takut,
istilahnya kayak gitu sih.” [SH 2, 554-567]
“Yang aku rasain pasti, pasti dan pasti,
dilema bingung. Karena di satu sisi aku masih
pengen kayak gini tapi di sisi lain ya antara
kepercayaanku yang udah jelas kayak gitu,
terus habis itu lingkunganku. Aslinya
lingkunganku juga ada yang mendukung
maksudnya mendukung dalam artian aku
punya banyak temen yang kayak gitu juga sih,
cuma secara luas kan mereka memandangku
seperti orang yang normal, jadi kayak bingung
aja. Aku masih mau kayak gini, tapi di satu
sisi aku juga harus berubah dan di satu sisi
tuh pasanganku” [SH 3, 314-331]
2) Tidak suka kepada laki-laki

Informan SH belum merasa siap kepada laki-laki

karena menganggap mereka hanya teman, dan sering

merasa illfeel ketika sedang didekati oleh beberapa

laki-laki. Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“kayak gak greget gitu loh di aku even mereka


ngedeketin aku cuman aku kayak malah
kenapa sih kenapa kayak gitu malah bikin aku
illfeel gitu loh, aku gak tau sampai sekarang
masih belum ada yang ngeh aja di aku jadi
misalkan dideketin sama si A, ada hal yang
bikin aku gak suka, terus dideketin sama si B,
udah suka sih cuman cara deketin dia kayak
93

terlalu agresif aku gak tau ya kayak gak


seberapa suka cowok yang terlalu agresif
jadinya tuh serem aja gitu” [SH 1, 987-1001]
“ada hal yang emang aku gak bisa terima dari
dia, terus yang ked..em..kasus lain misal dari
cara dia ngedeketin dia terlalu agresif terus
jatuhnya jadi kayak misalkan kan orang
deketin banyak cara ya terus caranya dia itu
kayak jayus gitu loh, jadi kayak ngapain sih
orang ini jadi ketebak aja gitu kalau misalkan
dia mau ngedeketin aku dan aku kayak gak
suk..gak suka sih kayak gitu” [SH 1, 1034-
1047]
“satu bingung, maksudnya bingung harus
gimana, terus yang kedua apa ya kayak masih
takut gitu loh masih takut kayak apa bener-
bener aku bisa full balik kayak dulu ataukah
emang cuman sementara aja, sama.. lebih ke
apa yah mungkin buat ninggalin susah kali ya,
susah dalam artian aku kayak..dilema gitu
apakah aku harus sama ini ataukah sama itu
bahkan untuk kasus yang sama maksudnya
cowok yang sama aku kemarin pun dia tau aku
posisiku kayak gini, dia tau bahkan dia bisa
nerima gitu cuman akunya aja yang gak siap”
[SH 1, 1072-1092]
“Pertama karena mungkin dia agresif
awalnya ya, terus habis itu dia ngelakuin hal-
hal yang misalkan kek nggak aku suka.
Misalkan waktu itu pernah dia itu e… aku
memandang laki-laki kalo di pandangan aku
itu orangnya kayak to the point, straight gitu.
misalkan kalo kamu mau A ya A kalo mau B ya
B. Kalo gak gitu, kamu apa ya istilahnya..
misalnya kita mau makan, ada tuh aku ilfeel.
Nah satu orang itu dia waktu ketika jalan, aku
pingin makan, terus Kamu mau makan gak?
Aku jawab Engga. Gitu kan. Kamu mau makan
gak? Engga deh. nanti aja. Jadi dia ngikutin
au. Aku harusnya kalo misalnya dia cowok kan
Yaudah ayok makan ke sini. Mesikupin dia gak
pengen makan atau aku gak mau di situ at
least dia mengajak makan. jadi itu salah satu
kayak kenapa semua harus terserah aku?
94

karena dia punya punya ini sendiri kan. Terus


kedua, aku lebih suka orang yang apasih
wawasannya luas gak cuma pacaran kayak
haha hehe kek gitu. Pernah waktu itu aku
tanya misalkan Pandanganmu orang nikah itu
kek gimana sih? terus waktu dia jawab...habis
itu dia jawab Bisa aja pandanganku salah.
Padahal yang aku butuhkan bukan salah dan
benar. tapi lebih ke argumentasimu, opinimu
itu seperti apa. Terus ada yang dari
psychically yang aku suka itu misalkan kayak
dia pake …. waktu itu ini aneh banget sih aku
gak suka dia pake cincin semacam kayak
cincin semacam batu akik gitu, itu yang bikin
aku ilfeel juga salah satunya.” [SH 3, 494-
539]
d. Usaha mengubah orientasi seksual (aspek perilaku)

1) Dekat dengan laki-laki

Informan SH dalam mengubah orientasi seksualnya

melakukan usaha yaitu mencoba untuk dekat dengan

laki-laki. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan verbatim

berikut:

“nyoba buat sama cowok ternyata gak bisa


juga” [SH 1, 861-862]
“mulai dari kenalan maksudnya kenalan sama
temen, terus e.. deket sama temen bahkan
sampai nonton, makan, telfonan kayak tiap
hari” [SH 1, 982-986]
“He eh gak sampe dari tiga bulan. tapi yang
terakhir itu sampe sekarang masih ngobrol,
masih chat chatan tapi kayak as a friend aja
sih.” [SH 3, 239-243]
“Paling so far apa ya… ngobrol-ngobrol sama
orang baru, Terus apa ya.. get lebih deep lagi
sih, misalnya kayak ada orang ngobrol gitu
kan ya, orang baru ngobrol, ya aku timpalin
aja gitu. Sebenernya ada sih kadang orang
yang..maksudnya deket aku juga yaudah deh.
95

Tapi aku nya yang.. masa sih akunya yang


kaya gitu, gitu loh jadi tetep akunya yang
usaha kayak misalkan ada acara keluar apa
juga masih aku ajak. Kadang-kadang kayak
gitu sih.” [SH 3, 998-1011]
2) Menenangkan diri ketika merasa bimbang

Informan SH berusaha menenangkan dirinya ketika

merasa bimbang atau ragu ketika proses mengubah

orientasi seksualnya. Hal ini ditunjukkan dari kutipan

berikut:

“Kalo aku sih waktu bimbang paling kayak


bodo amat lah, bukan yang kayak usaha nyari
juga kan. Aku juga santai, kalo misalkan ada
yang ngechat ya aku ladenin, kalo engga ya
engga jadi kayak biasa aja. Soalnya hmm apa
ya…. bimbangku juga paling bimbang yang
gak bener-beerner dalam keadaan bimbang
cuma bimbang yang lebih kayak ke takut aja
sih. Takut… maksudnya aku udah di umur
segini, kenapa masih belom ini ya.. tapi aku
kayak mikir Halah paling juga masih belum
ketemu. mungkin apa namanya ya kayak lebih
berdoa aja sih. Kayak gitu.” [SH 3, 435-452]
e. Faktor protektif dalam SOCE

1) Pengalaman sering disakiti dalam berhubungan sesama

jenis

Informan SH memutuskan untuk mengubah

orientasi seksualnya karena ia merasa sering disakiti

oleh pasangan sesama jenisnya dulu sehingga timbul

pengalaman yang tidak enak. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:


96

“jadi lebih kuat lagi karena apa ya jatuhnya


sama aja kayak pacaran sama cewek, pacaran
sama cowok, sama-sama disakitin,
sama..bahkan sama yang terakhir kali ini bikin
aku bener-bener kayak trauma aja kenapa
sampai seperti itu dan bikin apa ya istilahnya
percaya diriku semua yang self confidence dan
kawan-kawan itu jadi bener-bener turun
sampai sering kena panic attack tiba-tiba
gitu” [SH 1, 933-946]
“Ditambah lagi partnerku juga bilang, ini-
sebenarnya ini kayak such a wasting time
engga sih? Kalau misalkan kita pacaran tapi
kedepannya kita engga bisa bareng, istilahnya
kayak gitu kan?” [SH 2, 548-554]
“Adasih, mungkin karena, apa ya, karena aku
sering disakitin mulu, terus habis itu kayak
kadang di.. Apa ya --- Ditunjukkan kalau ada
orang yang lebih baik, kayak gitu terus sering
--- maksudnya ada orang yang datang, gak
datang, gak cuma akunya yang belum buka,
mungkin. Lebih ke ditunjukkan aja sih, soal ---
mungkin ya, sama yang terakhir ini, jadi lebih
ke, Kamu sadar gak sih?. Kayak, Kamu yang -
-- jalan yang kamu ambil itu salah.. Gitu loh.
Dengan adanya apa ya dengan adanya dia
yang jahat ke kamu, jadi kayak makin
nunjukkin, kayak kamu udah waktunya buat
berhenti, kayak gitu sih.” [SH 3, 1154-1174]
2) Orang tua menanyakan pasangan

Kedua orang tua informan SH sudah beberapa kali

menanyakan tentang pasangannya sehingga membuat

informan merasa sudah waktunya ia mengubah

orientasi seksualnya. Hal ini ditunjukkan dari kutipan

berikut:

“ada sih, mungkin karena satu e orang tua


udah kayak ayo, ayo maksudnya kemana
97

maksudnya kayak pacarmu kemana bawa


sini,” [SH 1, 1137-1141]
“Maksa dalam artian menikah, soalnya kan
maksudnya udah umur segini, terus sodara
banyak yang menikah, temen banyak yang
menikah, ya pasti mereka memaksanya
sebenarnya secara halus sih cuma gak mau
yang Kamu harus dapet pacar. Kamu harus
nikah ini,ini,ini. Nggak soalnya jatuhnya
malah e.. ada sesuatu yang gak diharepin
kan? Jadi ya udah biarin aja, kalo kamu
malah maksa malah kenapa-kenapa ntar.”
[SH 2, 834-847]
3) Dukungan kerabat

Informan SH mendapat dukungan dari keluarga dan

teman dekatnya untuk mengubah orientasi seksualnya.

Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“ngedukung, tapi kalau sama cowok dia


ngedukung karena kan… Dia- besoknya juga
pingin balik lagi kan. Nah biar bisa sama-
sama balik lagi gitu.” [SH 2, 688-692]
“Sebenarnya banyak sih yang bilang, tapi kalo
kurang lebih paling sepupu aku, terus ya ada
sih temen aku juga beberapa. Cuma kalo
temen aku yang deket support paling cuma
bilang Ya nantinya kamu bakalan harus balik.
istilahnya kayak gitu, cuma mereka kayak
terserah aja, cuma rada maksa buat bener itu
paling mbak aku. Terus ada lagi yang... waktu
itu sempet kan aku SMA dia itu aku anggep
temen deket ya, ternyata waktu itu sempet
yang sampai dia ..karena aku ngerasa oke lah
aku nganggep dia temen, okelah aku percaya
waktu aku cerita dia malah ngejauhin aku
yang bener bener ngejauhin sampe aku bener
bener kayak semacam gak tahu ya stres aja
gitu” [SH 3, 260-281]
4) Agama yang melarang hubungan sesama jenis
98

Informan SH menyadari bahwa agamanya melarang

hubungan sesama jenis sehingga membuat ia

memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya. Hal

ini ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“kalau buat aku sih jadi kayak apa ya


pengaruhnya itu lebih bisa bikin aku kayak tau
diri aja sih, maksudku tau diri posisiku itu
seperti apa, misalkan kayak aku seorang
muslim, gak boleh melakukan ini, gak boleh
melakukan itu, terus lebih ke apa ya tenggang
rasa dan ngehargai aja sih, lebih ke sopan
santun menghargai kali ya..” [SH 1, 774-784]
“Kalau menurut aku sih kepercayaan itu, apa
ya, suatu yang kayak antara abu-abu dan
hitam-putih, gitu lho. Misal hitam-putih kayak,
kamu tuh makan babi misalkan, haram, udah
hitam kan. Tapi kalau kamu, apa namanya
sholat, harus, kewajiban, itu putih. Kayak
bersedekah itu putih karena pahala kan. Kalau
abu-abu di antaranya tuh, ibaratnya ngerokok.
Ada yang bilang haram, ada yang bilang
halal, maksudnya kayak biasa aja, gitu kan.
Tapi, balik lagi ke konteksnya kalau misalkan
emang dia merugikan itu, bener-bener haram,
kayak gitu sih. Jadi menurut aku apa ya,
antara hitam-putih, dan abu-abu, dan jadi
pedoman aku buat ngelakukan kebaikan sama
kejahatan, kayak gitu, harus gimana,
toleransi, ngajarin aku toleransi. Jadi kayak
ngerem- buat rem diri sendiri aja sih, antara
kamu melakukan kejahatan, maksudnya kayak
apa ya istilahnya, jahat lah ya istilahnya atau
maksiat kayak gitu tuh direm. Kalau misalkan
kebaikan, baiknya tuh yang seperti apa, kayak
gitu sih.” [SH 2, 428-460]
“Tapi kalau dikaitin dengan ini nah itu karena
apa ya, itu jadi salah satunya sih, salah
satunya karena, satu, kita engga akan mungkin
terus kan? Orang jelas kayak, walaupun
sekarang masih dilegalkan, ada beberapa
yang dilegalkan, tapi kan hal tersebut itu tetep
99

engga diterima, gitu lho. Even kita nikah pun


jatohnya kayak, living together, bukan
marriage kan? Karena itu tadi engga bisa
terus, dan engga ada- dari sononya udah
engga ada, kayak gitu. Jadi yang bikin aku
kayak, ya… Sama aja,” [SH 2, 532-547]
“Kayak gitu tuh e.. lebih ke ya pastinya hal ini
tuh dilarang kan, satu. Terus kedua gak
mungkin juga kan sampe bakalan sejauh itu,
padahal kan kalo dipikir pikir bisa aja sampai
sejauh itu tapi kan pernikahan seperti itu kan
gak legal juga dan gak akan apa ya.. orang-
orang memandangnya kalo di sini pasti ada..
hukum selain hukum agama pasti ada hukum
sosial juga kan?” [SH 3, 410-421]
5) Usia

Informan SH memikirkan usianya sehingga

memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya. Hal

ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“ada titik dimana kayak e.. udah gede aja


udah umur segini even kayak umur segini
masih bilang kalau untuk menikah juga gak,
masih bisa umur-umur berikutnya cuman lebih
diperkuat lagi sama yang e.. hubungan yang
sebelumnya tapi yang lebih itu sih dipoinnya
karena udah di umur segini aja, mau sampai
kapan toh juga sama-sama aja, sama cowok
juga kayak gini, sama cewek juga kayak gitu,
gitu sih” [SH 1, 963-976]
f. Faktor risiko eksternal dalam SOCE

1) Masih menjalin komunikasi dengan sesama jenis

Informan SH dalam usahanya mengubah orientasi

seksualnya masih menjalin komunikasi dengan mantan

pacar sesama jenisnya. Hal ini ditunjukkan dengan

hasil kutipan verbatim berikut:


100

“masih, malah kalau sama mereka itu justru


ibaratnya kayak orang apa yah istilahnya
ibaratnya kayak playgirl dideketin banyak
cowok ya kayak gitu tapi aku lebih ke playgirl
suka ngobrol sama banyak cewek gitu sih”
[SH 1, 1124-1130]
“Aku masih berhubungan lagi sama dia,
cuman engga ada yang” [SH 2, 673-674]
2) Peran agama yang kurang

Informan SH merasa bahwa agamanya memberikan

peran yang kurang dalam mengubah orientasi

seksualnya. Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Kok perasaan engga ada ya? Maksudnya


kayak, kalau peranan kepercayaan harusnya
kalau misalkan kayak gitu tuh dari dulu kan?
Dari dulu aku harusnya melihat ini tuh salah,
gitu.” [SH 2, 578-583]
101

Keterangan
Bagan 4.1 Hasil Pengolahan Data Informan SH Menyebabkan

Mempengaruhi

Saling Mempengaruhi

Pertemanan Usaha mendekat


Dinamika Orientasi Seksual Informan
terbatas pada teman
Teman sebagai
• Berhub. Sesama jenis ke1 saat SD tempat sharing
• Berhub. Sesama jenis ke2 dibohongi
• Berhub. Sesama jenis ke3 coba-coba
• Berhub. Sesama jenis ke4 disia-siakan
• Berhub. Sesama jenis ke5 dgn biseksual

Kriteria sesama Tertarik pada Faktor resiko dalam SOCE :


jenis tomboy perempuan • Masih berkomunikasi dgn
mantan pacar sesama jenis
Coming out sebagai • Peran agama yang kurang
Melakukan
lesbian femme perilaku
Faktor protektif dalam SOCE :
seksual dengan
Pacaran untuk • Pengalaman sering disakiti
sesama jenis
• Orang tua menanyakan pasangan
saling mendukung
• Dukungan kerabat
• Agama melarang
Menangis ketika melakukan hub. Seks pertama kali • Usia
102

4.3.2 Pengolahan Data Penelitian Informan M


4.3.2.1 Anamnesa Informan M

Nama :M
Usia : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
M merupakan anak terakhir dari dua bersaudara dan memiliki
kakak laki-laki. M terlahir di keluarga yang mengalami brokenhome. Ayah
dan Ibunya berpisah sejak M masih kecil. Ibu M merupakan seorang dosen
di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Hal ini menjadikan Ibu
M tidak bisa mengasuh M sepenuhnya sejak kecil sampai dengan
sekarang. Sewaktu M masih TK, ibunya harus menitipkan M kepada
pakde dan budenya karena ibunya melanjutkan sekolah di Filipina.
Sedangkan ayahnya tidak pernah bertemu dengan M sewaktu kecil sampai
dengan SMP karena ayahnya dinas di Banyuwangi. Kakak M tinggal
terpisah dengan M sewaktu ibunya tidak di Indonesia sehingga membuat
M dan kakaknya tidak memiliki relasi yang dekat. M dibesarkan oleh
ibunya sebagai orang tua tunggal dan dua kali diasuh oleh pakde dan
budenya yang ia panggil dengan sebutan ayah dan ibu saat TK dan SD
kelas VI sampai dengan SMP kelas VII.
M saat remaja tumbuh menjadi seorang remaja putri dengan
penampilan yang cukup tomboy dikarenakan lingkungan keluarganya yang
kebanyakan adalah laki-laki yaitu kakak kandungnya dan dua kakak
sepupunya (anak pakde dan budenya). Hal tersebut berpengaruh terhadap
cara berpenampilan M. M lebih suka berpenampilan layaknya laki-laki
dimulai dari potongan rambut yang pendek, sampai pada cara berpakaian.
Saat remaja, M mulai mengenal hal-hal yang lebih intens dari pada
pertemanan. Saat itu, M didekati oleh seorang adik kelasnya yang
merupakan seorang remaja putri dan mulai diberikan perhatian dan kasih
sayang sehingga M merasa nyaman dan mulai muncul ketertarikan kepada
sesama jenis. Sejak saat itu, M mulai memiliki ketertarikan kepada
103

perempuan daripada laki-laki. M juga menjalani hubungan dengan sesama


jenis yang lebih serius yaitu berpacaran.
Seiring berjalannya waktu, M mulai tumbuh dewasa dan
menyadari bahwa dirinya memiliki orientasi seksual yang menyimpang. M
memutuskan ingin mengubah orientasi seksualnya karena M memiliki
keinginan untuk menikah, mempunyai keturunan, dan ingin manjadi
wanita yang seutuhnya.

Tabel 4.4 Tabel Kategorisasi Informan M


Selective Coding
No Tema Sub tema Sub sub tema (Sumber : Analytical
Label)
1 Kondisi Orang tua bercerai - Hubungan orang tua
keluarga tidak harmonis [M 1,
informan 124-131]
Orang tua bercerai [M
1, 134-142]
Informan saat kecil
sering mendengarkan
orang tuanya
bertengkar [M 1, 977-
994]
Kurang kasih - Masa kecil informan
sayang orang tua kurang kasih sayang
dari orang tua [M 1,
48-53]
Orang tua sibuk Informan tidak
melaporkan tindakan
bully dan pemerasan
yang ia terima kepada
orang tua karena
orang tua sibuk [M 1,
390-411]
Pandangan - Informan jarang
terhadap rumah berada di rumah [M 1,
negatif 963-965]
Informan menganggap
rumah tempat
menyeramkan [M 1,
966-971]
Pandangan Sejak kecil Sejak kecil sampai
terhadap ayah kurang mengenal SMP tidak mengenal
negatif ayah siapa ayahnya [M 1,
59-69]
Ayah bekerja diluar
104

kota [M 1, 84-87]
Tidak ada Ayah informan
komunikasi berasal dari keluarga
dengan keluarga yang disiplin dan
ayah kurang kekeluargaan
[M 1, 429-440]
Relasi informan
dengan keluarga ayah
sudah tidak ada [M 1,
468-474]
- Saat informan kecil,
ayah hanya sebatas
memberi nafkah saja
[M 1, 610-614]
- Informan kasihan
kepada ayahnya [M 1,
614-623]
Informan Informan masih
menghindari ayah menghindari untuk
bertemu langsung
dengan ayahnya [M 1,
656-664]
Informan lebih sering
berhubungan melalui
SMS dan telepon
dengan ayah [M 1,
652-656]
- Ayah informan
mengajarkan untuk
menjaga kebersihan,
bekerja keras, tidak
mudah puas dan
berani untuk
berpendapat [M 1,
675-695]
Relasi dengan ibu - Dulu informan dan
dulu jauh ibu tidak dekat [M 1,
771-774]
Relasi denan ibu - Informan menganggap
sekarang dekat ibu seperti sahabat [M
1, 776-780]
Sekarang informan
dan ibu menjadi dekat
[M 1, 780-787]
Pandangan Berpendidikan Ibu melanjutkan studi
terhadap ibu diluar negeri [M 1,
sekarang positif 87-91]
Ibu informan berasal
dari keluarga yang
sederhana dan
105

berpendidikan [M 1,
421-429]
Single mother Ibu menjadi orang tua
tunggal [M 1, 124-
142]
Bekerja untuk Ibu mengasuh
memenuhi informan sambil
kebutuhan bekerja [M 1, 517-
530]
Ibu bekerja untuk
memenuhi kebutuhan
informan [M 1, 791-
803]
- Norma yang diajarkan
ibu kepada informan
yaitu sopan santun
dan budaya Jawa [M
1, 489-502]
- Saat kecil ibu
informan mengajari
dengan cara
memberitahu dan
pengaplikasian [M 1,
542-564]
- Sekarang ibunya
mengajari dengan
mengajak informan
bertukar pendapat [M
1, 570-581]
- Ibu informan
mengingatkan untuk
tetap berhubungan
baik dengan ayahnya
[M 1, 628-641]
Dekat dengan Relasi informan
keluarga Ibu dengan keluarga ibu
sampai sekarang dekat
[M 1, 466-468]
Pandangan - Informan dengan
terhadap kakak kakak saat kecil sering
dulu negatif bertengkar [M 1, 218-
226; 858-867]
Menganggap kakak
sosok yang jahat dan
acuh [M 1, 872-873]
Pandangan Melindungi Saat ini kakak
terhadap kakak menjadi sosok yang
sekarang positif melindungi informan
[M 1, 227-234]
Perhatian Sekarang kakak
106

menjadi sosok yang


baik dan perhatian [M
1, 873-881]
Memberi nasihat Kakak menjadi sosok
yang melindungi,
memberi nasihat dan
perhatian [M 1, 929-
952]
- Kakak informan
berada di Malaysia
saat ini [M 1, 936-
938]
Informan saat Diasuh saat kecil Masa kecil diasuh
diasuh Pakde dan oleh pakde dan bude
Bude [M 1, 53-56]
Informan diasuh oleh
pakde dan budenya
dua kali [M 1, 260-
264]
Informan senang Informan betah berada
di rumah pakde dan
bude [M 1, 1003-
1008]
Pakde dan Bude Hubungan pakde dan
harmonis bude harmonis dan
romantis [M 1, 1008-
1017]
Pandangan Informan merasa
terhadap Pakde disayang oleh
positif pakdenya sebagai
pengganti sosok ayah
[M 1, 190-204]
Pakde informan
seorang TNI [M 1,
590-592]
Pengasuhan pakde
otoriter [M 1, 592-
600]
Hubungan dengan
pakde seperti ayah
kandung [M 1, 709-
711]
Pakde adalah sosok
yang menyenangkan,
menenangkan dan
mengayomi [M 1,
711-721]
Bersyukur karena
pakde menjadi
pengganti ayah bagi
107

informan [M 1, 738-
751]
Pakde memberi
arahan dan perhatian
sepenuhnya sehingga
informan menjadi
orang baik [M 1, 754-
764]
Pandangan Bude sebagai
terhadap Bude pengganti ibu yang
positif perhatian dan
memberikan
kenyamanan [M 1,
813-824]
Bude sosok yang
tegas, persuasif dan
bisa mengerti
informan [M 1, 829-
841]
Pandangan Hubungan informan
terhadap anak dengan kedua anak
pakde dan bude pakde dan bude baik
positif [M 1, 1038-1057]
Anak pakde dan bude
menjadi kakak yang
baik, perhatian,
mendukung,
menyemangati dan
memberi nasihat [M 1,
1061-1082]
2 Peran Agama di Mengajarkan hal - Agama mengajarkan
kehidupan yang baik dengan pengalaman
informan buruk bisa mengubah
orang menjadi lebih
baik [M 1, 1172-1189]
Ajaran Agama untuk
memaafkan dan ikhlas
membuat hati
informan tenang [M 1,
1203-1235]
Membuat - Informan lebih tenang
informan tenang dan imannya
bertambah ketika
mendekatkan diri
kepada Tuhan [M 1,
1735-1753]
3 Pertemanan Saat SD - Saat SD
Informan pertemanannya baik
dan ada geng [M 1,
1102-1110]
108

Saat SMP Menjadi korban Informan menjadi


bully korban bully secara
fisik saat SMP [M 1,
272-286]
Informan menjadi
korban pemerasan saat
SMP [M 1, 297-315]
Informan takut
melaporkan tindakan
bully dan pemerasan
yang ia terima [M 1,
321-330]
Meminta Informan melawan
perlindungan tindakan bully dan
kepada teman pemerasan yang ia
laki-laki terima dengan cara
menghindari orang
tersebut dan meminta
perlindungan kepada
teman laki-laki [M 1,
335-372]
Relasi setelah Saat SMP pertemanan
tidak dibully informan semakin
kompak [M 1, 1111-
1118]
Saat SMA Pertemanan Saat SMA pertemanan
semakin luas informan semakin luas
karena mendapat
teman di luar sekolah
[M 1, 1118-1129]
- Pertemanan dari
sekolah membawa sisi
positif yaitu tidak
keluyuran [M 1, 1141-
1146]
- Pertemanan di luar
sekolah membawa sisi
negatif yaitu berbuat
onar [M 1, 1146-
1156]
4 Dinamika Pacaran sesama Pertama kali
orientasi seksual jenis pertama kali berhubungan sesama
informan saat SMP jenis saat SMP dengan
adik kelas [M 1, 1248-
1259]
Pacaran sesama jenis
pertama kali selama
tiga tahun [M 1, 1361-
1363]
Pasangan sesama jenis
109

pertama kali lesbian


femme [M 1, 1316-
1317]
Ketertarikan - Informan cenderung
kepada perempuan lebih tertarik kepada
perempuan [M 1,
1384-1385]
Alasan menjadi Coba-coba Awalnya berhubungan
lesbian sesama jenis karena
coba-coba [M 1,
1301-1309]
Informan saat SMA
tertarik kepada laki-
laki dan perempuan
[M 1, 1369-1373]
Takut kepada Informan
laki-laki berhubungan sesama
jenis karena dulu
trauma dengan
kejadian disakiti atau
hamil diluar nikah
oleh laki-laki [M 1,
1259-1265]
Informan membatasi
diri kepada laki-laki
karena takut [M 1,
1386-1391]
Media massa Saat itu menjadi
lesbian karena ada
pengaruh dari media
massa [M 1, 1282-
1286]
Senang diberi Informan nyaman
perhatian mendapat perhatian
dari sesama jenis [M
1, 1292-1300]
Coming out - Informan berperan
sebagai lesbian sebagai butch [M 1,
butch 1318-1323]
Informan sudah
pacaran sesama jenis
20an kali [M 1, 1404-
1407]
Hanya teman dekat
yang mengetahui
informan lesbian [M
1, 1500-1503; M 2,
492-501]
Pandangan - Definisi pacaran
informan tentang menurut informan
110

pacaran adalah saling


melengkapi, tempat
bercerita, saling
mengerti, dan
mendapat kasih
sayang [M 2, 310-
323]
Merasa nyaman ketika
menjalin hubungan
sesama jenis karena
bisa dimengerti [M 2,
295-303]
Kriteria pasangan Fisik Ketertarikan kepada
sesama jenis sesama jenis karena
fisik yang cantik dan
perilaku spesial yang
diberikan [M 1, 1339-
1349]
Kriteria sesama jenis
secara fisik yaitu
manis, kurus dan tirus
[M 1, 1429-1446]
Non-fisik Kriteria sesama jenis
secara non fisik yaitu
dari perilaku, hati dan
bersikap dewasa [M 1,
1450-1457]
Perilaku seksual - Kontak fisik sesama
informan dengan jenis awalnya adalah
sesama jenis cium pipi, kening dan
bibir [M 2, 384-388]
- Informan sudah
pernah berhubungan
seksual dengan
sesama jenis [M 2,
418-430]
5 Dinamika Aspek Motivasi - Informan ingin
informan dalam menikah dan memiliki
mengubah keturunan [M 1, 1544-
orientasi 1546]
seksualnya Aspek Kognitif - Menurut informan
lesbian adalah aib [M
1, 1503-1507]
Aspek Afeksi Capek harus Informan capek harus
bersembunyi bersembunyi ketika
menjalin hubungan
sesama jenis [M 1,
1528-1534]
Nyaman dalam Informan nyaman
SOCE dalam mengubah
111

orientasi seksualnya
[M 1, 1764-1777]
- Informan merasa di
terima oleh
lingkungan ketika
mengubah
penampilannya [M 2,
233-245]
- Informan merasa tidak
selamanya teman-
temannya bisa
menerima keadaanya
sebagai lesbian [M 1,
1570-1584]
Trauma Informan trauma
karena keluarganya
brokenhome [M 2,
103-108]
Putus asa dan Pernah merasa putus
ragu asa dalam proses
mengubah orientasi
seksualnya [M 1,
1805-1808]
Informan mengalami
keraguan saat
mengubah orientasi
seksualnya [M 2, 182-
194]
Usaha mengubah Memutuskan Informan mengubah
orientasi seksual untuk berubah orientasi seksualnya
(aspek perilaku) sejak kuliah sejak kuliah semester
lima [M 1, 1838-
1846]
Mengubah Informan mengubah
penampilan fisik penampilannya
menjadi lebih feminim
[M 1, 1550-1557]
Informan sudah tidak
mau menyamar
sebagai laki-laki [M 1,
1578-1579]
Informan mulai
memanjangkan
rambut, menggunakan
makeup, merawat
kulit, berpakaian lebih
ke perempuan [M 1,
1675-1701; M 2, 259-
274]
Menghindari Membatasi diri dari
112

lingkungan sesama jenis [M 1,


lesbian 1594-1598]
Informan mengontrol
diri untuk tidak
terjerumus ke lingkup
lesbian lagi [M 2,
535-545]
Harapan informan
adalah menghilangkan
ketertarikan kepada
sesama jenis [M 2,
808-811]
Menjalin Berusaha menemukan
hubungan dengan laki-laki yang tepat
laki-laki [M 1, 1599-1605]
Informan tetap
membuka hati kepada
laki-laki [M 1, 1623-
1625; M 2, 63-69]
Saat ini sedang dekat
dengan laki-laki [M 2,
143-159]
Kriteria laki-laki
informan adalah
membuat nyaman,
memiliki kontrol diri
yang baik, dewasa,
pintar dan tidak
mengekang [M 2,
122-136]
Tertarik pada laki-laki
yang penampilannya
rapi, berkumis tipis,
agak brewok, dan
memiliki lesung pipi
[M 2, 759-765]
Laki-laki yang
informan dekati
sekarang dapat
mengayomi [M 2,
785-795]
Beribadah Informan beribadah
sebagai usaha
mengubah orientasi
seksualnya [M 1,
1709-1722]
Meyakinkan diri Informan meyakinkan
diri untuk mengubah
orientasi seksualnya
[M 1, 1808-1821]
113

Faktor protektif Dukungan kerabat Teman yang


eksternal dalam mengetahui informan
SOCE lesbian mengingatkan
untuk menjadi normal
[M 1, 1509-1517]
Teman memberikan
dukungan kepada
informan untuk
mengubah orientasi
seksualnya [M 2, 215-
225]
Informan bercerita
kepada teman
dekatnya ketika
mengalami keraguan
dalam mengubah
orientasi seksualnya
[M 2, 208-215]
Faktor risiko Takut Informan takut jika
internal dalam diselingkuhi nanti diselingkuhi
SOCE oleh laki-laki [M 2,
92-103]
Merasa kesulitan Informan mengalami
kesulitan dalam
mengubah orientasi
seksualnya [M 1,
1782-1791]
Informan mengalami
kesulitan dalam
mengubah penampilan
fisik dan ketertarikan
kepada sesama jenis
[M 2, 17-44]
Faktor risiko Lingkungan Informan masih
eksternal dalam teman lesbian berada di lingkungan
SOCE pertemanan yang
lesbian [M 2, 54-63]
- Saat ini masih
menjalin komunikasi
dengan sesama jenis
[M 1, 1629-1639]

4.3.2.2 Deskripsi Tema Informan M

1. Kondisi keluarga informan

a. Orang tua bercerai


114

Kedua orang tua informan M sudah tidak tinggal

bersama sejak kecil dan menurut Agama informan M jika

suami sudah tidak memberi nafkah selama tiga bulan

berturut-turut maka sudah dianggap bercerai secara

Agama. Hal ini dibuktikan dengan hasil kutipan verbatim

yaitu :

“Kalau hubungan suami istri nggak sih kalau


menurut saya. Soalnya dari kecil itu saya
melihat sejak SMP pas waktu benar-benar
satu rumah sebagai selayaknya sekeluarga
saya melihat malah adanya tengkar, tengkar
yang hebat” [M 1, 124-131]
“Nah di situ mungkin makin lama makin pisah
dan akhirnya sampai sekarang statusnya tetap
suami istri, hanya beda rumah dan mungkin
kalau di agama saya kalau tidak dinafkahi
selama 3 bulan berturut-turut itu sudah resmi
cerai.” [M 1, 134-142]
“Kata-kata menyeramkan itu mungkin dari
kakak saya yang dulu, yang dia masih nggak
bisa terima untuk dimarahi, akhirnya
menimbakan ke saya. Terus kalau yang pas
waktu masih, kalau yang ada papa saya itu
yang nggak bikin betah itu pas selalu
bertengkar pada tengah malam, meskipun itu
papa saya yang tengkar sama mama saya,
atau nggak saya yang tengkar sama papa
saya, itu selalu dari pagi, tengah malam, ya
pagi sama tengah malam. Itu makanya yang
bikin saya nggak betah. Apalagi ada hari libur
ada papa saya tambah nggak betah lagi.” [M
1, 977-994]

b. Kurang kasih sayang orang tua

1) Orang tua sibuk


115

Informan M saat kecil harus diasuh oleh ibunya

seorang diri karena ayah dan ibunya yang bercerai.

Karena ibunya mengasuh seorang diri, maka ibunya

bekerja sambil merawat anak-anak. Dan ketika

informan M masih kecil, ibunya mendapat beasiswa

dari pekerjaannya untuk melanjutkan pendidikan di luar

negeri. Hal ini menyebabkan informan M merasa

kurang mendapat kasih sayang dari ibunya. Berikut

hasil kutipan verbatimnya :

“Masa kecil pada umumnya sih, tapi yang


bikin beda itu saat SD kelas 6 harus menerima
kalau orang tua saya ini harus kuliah diluar
dan harus meninggalkan anak-anaknya” [M 1,
48-53]
“Ya kalau dibully di SMP kenapa nggak
cerita, karena dari orang tua sendiri pasti
akan nggak percaya. Nggak percayanya itu
mungkin aku kayak mencari alasan supaya
untuk tidak sekolah atau ingin pindah sekolah.
Nah kan ya udah akhirnya nggak cerita dan
nggak nyaman juga untuk cerita pada saat itu.
Karena kondisi di mana orang tua saya juga
lebih mementingkan sendiri. Jadi saya nggak
ada peluang gitu untuk cerita. Sebenarnya
kalau mau disuruh milih cerita memang
enakan cerita sama orang tua, jadi terbuka.
Tapi mau gimana lagi, karena situasinya
berbeda dan takutnya nanti masalahnya jadi
gede, saya yang kena ancaman lagi. Jadi mikir
panjang sebenarnya” [M 1, 390-411]

c. Pandangan terhadap rumah negatif

Informan M mempunyai pandangan bahwa rumah

adalah tempat yang menyeramkan sejak kecil sehingga


116

membuat ia tidak betah berada dirumahnya. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“Tapi yang bikin beda itu mungkin saya lebih


jarang di rumah” [M 1, 963-965]
“karena saya mandang rumah itu adalah
sesosok yang menyeramkan, jadi saya
menghabiskan waktunya itu diluar, nggak,
terserah, pokoknya senyamannya saya aja”
[M 1, 966-971]

d. Pandangan terhadap ayah negatif

1) Sejak kecil kurang mengenal ayah

Sejak kecil ayah informan M bekerja di luar kota

Surabaya sehingga membuat tidak serumah dan

informan M kurang mengenal ayahnya. Berikut kutipan

verbatim:

“Dan awalnya itu saya nggak tahu


background papa saya itu siapa. Jadi saya
tahu papa saya itu sejak SMP, saya baru tahu,
SMP kelas 2 sampai kelas 3, karena baru
datang ke Surabaya. Dan di situ sebenarnya
terpukul sih kalau sebagai jadi anak kecil ya.
Tapi ya ya apa, memang harus kayak gitu, ya
namanya juga pilihan” [M 1, 59-69]
“Kalau yang papa itu nggak kuliah sih, lebih
tepatnya dipindahkan dinas di Banyuwangi”
[M 1, 84-87]

2) Tidak ada komunikasi dengan keluarga ayah

Karena kedua orang tua informan M sudah berpisah

sejak kecil, informan M juga sudah tidak pernah


117

menjalin komunikasi dengan keluarga ayahnya. Berikut

kutipan verbatimnya:

“Tapi kalau dari keluarga papa mungkin


karena dari segi papa kayak gitu orangnya,
jadi ya nggak erat, bahkan sekarang sudah
kayak lost contact gitu, jadi
miscommunication.” [M 1, 468-474]

3) Informan menghindari ayah

Informan M sampai saat ini masih berusaha untuk

menghindari ayahnya jika diminta untuk bertemu

karena informan M merasa belum siap menerima

ayahnya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut:

“Lebih ke SMS sama telepon sih, soalnya


kalau ketemu itu masih belum yang kayak
statement ini masih belum bisa ngerasain” [M
1, 652-656]
“Kalau ketemu kan orangnya menyebalkan,
takutnya kalau ketemu setiap hari perasaan
marah itu akan datang lagi. Makanya saya
menghindari itu, akhirnya biarkan orangnya
aja. Kalau pas orangnya lagi butuh atau
kangen ya udah aku welcome aja, jadi nggak
ada batasan” [M 1, 656-664]

e. Relasi dengan ibu dulu jauh

Informan M dan ibunya dulu memiliki relasi yang

jauh karena saat kecil ibunya harus bekerja sambil

mengasuh anak sebagai orang tua tunggal. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:


118

“Kalau dulu itu renggang. Renggang karena


mungkin ini ya terlalu memikirkan karier” [M
1, 771-774]

f. Relasi dengan ibu sekarang dekat

Informan M dan ibunya sekarang memiliki relasi

yang dekat dan menganggap ibunya seperti sahabatnya

sehingga bisa bercerita apapun. Hal ini ditunjukkan

melalui kutipan verbatim berikut:

“Tapi kalau sekarang alhamdulillah saya


bahkan menganggapnya itu nggak hanya
mama aja, tapi sebagai teman atau sahabat
saya sendiri.” [M 1, 776-780]
“Bahkan saya cerita tentang apapun, kecuali
yang dalam konteks privasi, itu saya cerita.
Jadi saya cerita teman-teman saya yang kayak
gini-kayak gini. Itu saya lega aja. Jadi lebih
nyaman yang sekarang daripada yang dulu”
[M 1, 780-787]

g. Pandangan terhadap ibu sekarang positif

1) Berpendidikan

Ibu informan merupakan seorang dosen sehingga

dulu sewaktu informan M masih kecil, ibunya

mendapat beasiswa dari tempat kerjanya untuk

melanjutkan pendidikan di Filipina. Selain itu, memang

ibunya berasal dari keluarga yang mengutamakan

pendidikan. Hal ini ditunjukkan melalui hasil kutipan

verbatim berikut:
119

“Tapi kalau mama itu tiba-tiba ngelanjutin S2,


kebetulan dapat beasiswa dari kampusnya dan
harus diluar negeri di Filipina.” [M 1,87-91]
“orang tua saya yang perempuan itu dari desa
Sidoarjo ya, dari desa Sidoarjo, dan memang
dulu hidupnya sederhana, nggak yang sampai
se-, nggak ngebayang juga sampai sukses
sekarang ini. Jadi lebih ke latar belakang
pendidikan.” [M 1, 421-429]

2) Single mother

Kedua orang tua informan M harus berpisah,

sehingga ibu informan harus menjadi orang tua tunggal

bagi informan M dan kakaknya. Hal ini ditunjukkan

dari hasil kutipan verbatim berikut:

“Kalau hubungan suami istri nggak sih kalau


menurut saya. Soalnya dari kecil itu saya
melihat sejak SMP pas waktu benar-benar
satu rumah sebagai selayaknya sekeluarga
saya melihat malah adanya tengkar, tengkar
yang hebat sampai di mana itu saya merasa
kok saya lama-lama sebagai anak kok jadi
anak durhaka kayak gini. Nah di situ mungkin
makin lama makin pisah dan akhirnya sampai
sekarang statusnya tetap suami istri, hanya
beda rumah dan mungkin kalau di agama saya
kalau tidak dinafkahi selama 3 bulan berturut-
turut itu sudah resmi cerai.” [M 1, 124-142]

3) Bekerja untuk memenuhi kebutuhan

Ibu informan M harus bekerja sambil merawat

kedua anaknya untuk memenuhi kebutuhan termasuk

kebutuhan informan M. Hal ini ditunjukkan dari hasil

kutipan verbatim berikut:


120

“Kalau mengasuh itu lupa-lupa dikit sih. Ini


sih lebih kayak selayaknya seorang ibu kepada
anaknya sih kalau ngasuh. Cuma mungkin
ngasuhnya ya nggak selalu ngasuh yang
sampai sepenuh hari gitu nggak, karena satu
sisi mama juga kebetulan di situ kan dosen
muda dan masih banyak tuntutan, dan juga
belum lagi sama sih sering ditinggal-tinggal
cuma ditinggalnya ya nggak terlalu lama.
Lebih ke gitu aja sih.” [M 1, 517-530]
“Perannya mama itu ini ya single fighter ya.
Jadi meskipun aku kayak gini, mungkin kalau
misalnya mama nggak memikirkan karier aku
nggak akan bisa seperti ini yang kuliah, keluar
negeri, terus sampai yang bisa mendidik aku
untuk beli motor yang apa yang aku inginkan
gitu. Jadi mungkin lebih ke materi, tapi secara
batin ini nggak terlalu kurang-kurang jugalah,
masih terpenuhi.” [M 1, 791-803]

4) Dekat dengan keluarga ibu

Relasi informan M dengan keluarga ibu sampai saat

ini dekat karena sejak kecil informan M dirawat oleh

ibunya. Hal ini ditunjukkan dari hasil kutipan verbatim

berikut:

“Kalau ke keluarga mama sampai sekarang


ini erat hubungannya” [M 1, 466-468]

h. Pandangan terhadap kakak dulu negatif

Informan M memiliki pandangan yang negatif

kepada kakaknya saat masih kecil karena sering

bertengkar. Hal ini ditunjukkan melalui hasil kutipan

berikut:

“Kalau hubungan kakak sama awal-awal itu


ini ya, kayak pertengkaran adik kakak pada
121

umumnya. Cuma mungkin itu karena memang


masih labil atau masih kecil ya, tengkarnya itu
yang tengkar yang nggak biasa yang harus
kayak saling bawa barang tajam gitu.” [M 1,
218-226]
“dulunya cuek sama saya, jahat sama saya”
[M 1, 872-873]

i. Pandangan terhadap kakak sekarang positif

1) Melindungi

Saat ini informan M memiliki pandangan yang

positif kepada kakaknya karena kakaknya telah berubah

menjadi kakak yang melindungi. Hal ini ditunjukkan

dari hasil kutipan berikut:

“Tapi alhamdulillah untungnya pas waktu


sekarang ini malah kakak saya itu berubah
malah menganggap saya itu adik yang
istimewa, dan saya itu bahkan dilindungi sama
kakak saya sendiri.” [M 1, 227-234]

2) Perhatian

Kakak informan M juga sekarang menjadi kakak

yang perhatian kepada informan. Hal ini ditunjukkan

melalui hasil kutipan berikut:

“sekarang jadi berbanding kebalik kayak apa-


apa itu saya dicari. Kayak kemarin pas waktu
kakak saya pulang dari kuliah itu saya dicari,
lo dik ke mana? Jadi kayak perhatian-
perhatian kecil gitu lo. Malah justru saya yang
agak-agak EGP sama kakak saya” [M 1, 873-
881]

3) Memberi nasihat
122

Kakak informan M juga memberikan nasihat dan

mengingatkan informan M untuk bersikap baik

khususnya kepada ibunya. Hal ini ditunjukkan melalui

kutipan verbatim berikut:

“Kalau peran yang sekarang itu lebih dewasa


ya, lebih dewasa, dan yang bikin saya takjub
itu pas waktu saya tengkar hebat dengan
mama saya karena masalah pindahan kuliah,
nah itu kan saya langsung ambil tindakan
kabur dari rumah. Dan di mana kakak saya itu
kan posisinya tidak di Indonesia, tapi di
Malaysia. Kakak saya itu bela-belain WA
saya, terus telepon saya bilang, kamu jangan
kayak kakak dulu, kamu ini beda pokoknya,
pokoknya jangan niru jejak kakak yang dulu.
Jadi kayak mengasih nasihat saya gitu. Jadi
saya kayak apa ya kayak punya perlindungan
seorang kakak laki-laki gitu lo. Jadi yang dulu
saya nggak pingin punya kakak sama sekali,
sampai akhirnya sekarang saya kayak oh ini
kayaknya beda dari kakak-kakak yang lain
gitu” [M 1, 929-952]

j. Informan saat diasuh oleh pakde dan bude

1) Diasuh saat kecil

Ketika ibu informan M harus melanjutkan

pendidikan di luar negeri, informan M sempat dirawat

oleh pakde dan budenya. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:

“Dan saya dititipkan ke pakde bude saya. Jadi


itu saya anggap orang tua kedua.” [M 1, 53-
56]
“Kalau diasuh sih sebenarnya pas waktu TK,
TK B itu diasuh sama ayah dan ibu. Terus
pindah lagi kelas 6 sampai SMP kelas 1, itu
saya diasuh.” [M 1, 260-264]
123

2) Informan senang pakde dan bude harmonis

Informan ketika dirawat oleh pakde dan budenya

senang karena merasa mendapatkan pengganti kedua

orang tuanya yang bercerai dan juga karena hubungan

pakde dan bude harmonis. Hal ini ditunjukkan melalui

kutipan berikut:

“Kalau yang sama ayah sama ibu itu beda ya,


beda jauh. Jadi saya itu kayak mau keluar itu
malas. Jadi saya itu lebih betah di rumah,
kayak lebih adem aja suasananya.” [M 1,
1003-1008]
“Dan melihat mereka berdua itu kayak kadang
romantis, kadang saling mengingatkan, atau
kadang gitu masak buat anak-anaknya, kayak
apa ya sentuhan sendiri gitu lo. Jadi saya
lebih menghargai sih, kayak nggak pulang
malam, terus nggak bikin onar di sekolah, ya
kayak gitu.” [M 1, 1008-1017]

3) Pandangan terhadap pakde positif

Informan M memiliki pandangan yang positif

terhadap pakdenya karena ia merasa pakdenya bisa

menjadi sosok yang menggantikan ayah kandungnya

yang tidak bisa merawat informan. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan berikut:

“Istimewanya itu kayak saya itu kayak


nganggap misalnya ada laporan masalah atau
ada pertengkaran diluar lingkungan itu saya
bisa curhat. Dan saya itu ini, misalnya saya
dulu kan cita-cita pingin, pingin aja diantar
sama sesosok bapak di sekolah. Saya curhat ke
ayah saya yaitu pakde, dan ternyata ayah saya
124

mengiyakan, nggak apa-apa, meskipun beda


orang tapi kan ya apa-apa saya juga bisa jadi
bapak kamu. Jadi di situ saya ngerasain oh
saya masih disayang ternyata.” [M 1, 190-
204]
“lebih kayak disiplinnya itu disiplin banget
yang harus melakukan beribadah, terus kalau
nggak ya konsekuensinya disiram air atau
gimana, terus jam segini itu sudah harus tidur,
tidur siang, lebih kayak gitu sih lebih keraslah
pokoknya.” [M 1, 592-600]
“Hubungan saya sama ayah saya itu ya
sebagai layaknya ini ya ayah saya kandung”
[M 1, 709-711]
“Peran ayah itu seperti pengganti, pengganti
yang saya itu kehilangan sosok orang tua laki-
laki, tapi bagaimanapun juga kan mungkin
namanya juga manusia ya, pinginlah kalau
orang tua aslinya yang kayak gitu. Tapi ya
udahlah saya ikhlas aja kalau ternyata saya
harus dapat perhatian dari ayah saya. Tapi
dari situ juga saya bersyukur karena mungkin
kalau nggak ada ayah saya mungkin saya
lebih nggak kayak sekarang.” [M 1, 738-751]

4) Pandangan terhadap bude positif

Informan M memiliki pandangan yang positif

terhadap bude karena bude menjadi sosok pengganti

ibunya ketika dirawat oleh pakde dan bude. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“Kalau ibu itu ini kalau dulu saya lebih kayak


teman curhat kalau sama ibu. Karena ibu itu
ini ngasih perhatian itu perhatian perasaan.
Jadi kalau pas waktu hati saya kosong atau
saya lagi sedih gitu ibu saya sudah langsung
peka dan pasti langsung menanyakan ada apa
to nduk? Jadi lebih apa ya lebih nyamanan ke
ibu sih kalau dulu daripada yang sekarang-
sekarang ini” [M 1, 813-824]
125

“Yang pas waktu masa kecil itu ya tegas tapi


toleransinya masih banyak. Jadi kalau
misalnya saya nggak mau sekolah, cuma
dirayu aja, nggak yang sampai dipukul atau
gimana. Terus kalau misalnya saya nggak mau
beribadah itu ya udah, orangnya lebih kayak
oh ya udah nggak apa-apa, mungkin lagi
memang nggak mau. Jadi kayak lebih nggak
memaksa sih, kayak lebih mengalir aja.” [M 1,
829-841]

5) Pandangan terhadap anak pakde dan bude positif

Informan M memiliki pandangan yang positif

terhadap kedua anak pakde dan bude karena mereka

menjadi sosok kakak yang baik, perhatian, mendukung,

menyemangati dan memberi nasihat kepada informan

juga. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan verbatim

berikut:

“Kalau sama kakak-kakak saya itu enak aja


sih. Cuma kalau sama kakak saya yang kedua
itu kan mungkin karena dari yang awal tadi
yang saya bilang yang nggak kenal akhirnya
kayak gitu itu. Cuma mungkin seiringnya
waktu ayah saya mungkin memarahi kakak
saya itu dan akhirnya kayak berubah total
gitu. Tapi berubah totalnya kakak saya yang
pertama, saudara pertama. Nah saudara
pertama itu lebih kayak background kakaknya
itu kayak kakak yang penyayang gitu. Kalau
kakak yang kedua itu lebih kayak cuek, cuek
hanya kayak kalau lagi butuh aja, eh mau ke
mana? Cuma tanya-tanya yang singkat aja
gitu.” [M 1, 1038-1057]
“Peran mereka berdua itu ini sih saling
mendukung sih, saling kayak menyemangati
satu sama yang lain. Apalagi kakak saya yang
pertama itu pas waktu masih belum punya
anak ya, itu kayak kamu jangan aneh-aneh lo
126

ya, kamu ini perempuan jangan pulang


malam-malam. Kayak lebih kayak
mengingatkan gitu. Tapi kalau kakak saya
yang kedua itu lebih kayak enjoy aja sih kayak
he mau ke mana? Terus kayak yang karena
kebetulan itu temanku sama temannya kakakku
yang kedua itu sama-sama saling kenal, jadi
kayak tahu kayak satu gumbulan gitu
malahan” [M 1, 1061-1082]

2. Peran Agama di Kehidupan Informan

a. Mengajarkan hal yang baik

Agama informan M memiliki peran yang besar

dikehidupannya karena mengajarkan informan menjadi

pribadi yang lebih baik. hal ini ditunjukkan melalui

kutipan berikut:

“Kalau dari segi agama sih sebenarnya ini ya,


menyimpang sih sebenarnya, menyimpang tapi
ya mau gimana lagi. Kalau kita nggak hidup-,
ini kalau menurut aku sih, cuma tetap ada
ajaran dari agamaku, kalau semisal kita
nggak punya pengalaman dari kehidupan yang
terpuruk atau istilahnya mungkin buruk ya, itu
kita nggak akan menemukan kehidupan yang
lebih baik lagi, karena akan merasa puas pada
kehidupan yang sudah baik-baik aja gitu. Jadi
lebih perubahannya itu bisa lebih drastis
malahan, kalau menurut saya sama yang di
agama saya itu.” [M 1, 1172-1189]
“Kalau dari segi agama saya kan saling
menghormati satu sama lain dan meskipun
kamu diejek atau diinjak-injak bahkan kamu
harus tetap sabar, Nah di situ saya lagi, kalau
sabar mungkin sampai sekarang masih belum
ya, masih belum ke tahap iman yang kayak
gitu. Tapi kalau lebih kayak memaafkan orang
itu dulu ini jujur saya dendam, harus gimana
caranya saya balas, tapi dengan orang yang
sama, bukan orang yang berbeda. Tapi pas
127

waktu agama saya melarang kalau balas


dendam itu percuma, akan bikin capek kamu
sendiri, akhirnya di situ saya mulai luluh
karena saya ini ya mungkin lagi beribadah
dan minta pertolongan, ini enaknya gimana,
gini-gini-gini. Terus beberapa hari kemudian
itu saya coba untuk nggak balas dendam,
akhirnya saya turuti ajaran agama saya,
ternyata hati saya itu tenang, hati saya itu
tenang dan nggak ada kayak amarah atau
malah takutnya itu kena sakit yang di dalam
mental kan malah lebih nggak enak daripada
diluar mental itu. Jadi kayak lebih ya udahlah
maafin aja gitu, itu sih” [M 1, 1203-1235]

b. Membuat informan tenang

Informan M merasa ketika ia mendekatkan diri

kepada Tuhan ia menjadi tenang. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:

“Karena nggak tahu ya, apa, dari diri saya itu


cobaannya itu langsung gitu lo. Jadi
semisalnya saya berbuat salah gini besok saya
langsung dapat balasan. Terus kalau saya
memohon atau langsung beribadah besoknya
itu saya kayak dikabulkan gitu lo. Jadi kan
saya berpikir juga saya ini lo kok jahat sih
sama Tuhan, orang Tuhan aja langsung
ngasih apa yang saya mau, tapi saya masih
kayak gini-gini aja. Jadi ya terus dari satu sisi
juga lebih adem sih daripada harus curhat ke
orang gitu atau gimana, lebih adem, berdoa,
terus juga ini lebih menambah iman dikit-dikit
aja sih, lebih tepatnya gitu.” [M 1, 1735-1753]

3. Pertemanan informan

a. Saat SD

Informan M ketika SD memiliki pertemanan yang

baik dan seperti anak lain pada umumnya mulai


128

membentuk grup-grup. Berikut kutipan verbatim yang

menunjukkan hal tersebut:

“Kalau dari SD itu soal hubungan teman


nggak ada yang nyandet ya, maksudnya nggak
ada yang kayak sampai musuhan atau gimana
itu nggak ada. Jadi teman dari SD sampai
pindah itu enak. Malah selalu bikin geng sama
bikin onar gitu. Jadi kayak ada kesenangan
sendiri aja.” [M 1, 1102-1110]

b. Saat SMP

1) Menjadi korban bully

Informan ketika SMP pernah menjadi korban bully

dan pemerasan dari teman kelasnya. Hal ini

ditunjukkan melalui kutipan verbatim berikut:

“Masa remaja, SMP sih masa remaja. Masa


remajanya ya ini agak sedikit kelam dikit sih
pas waktu SMP soalnya pas waktu masuk ke
kelas yang nggak sesuai di kelas 2 SMP itu
saya dapat perlakuan yang seperti apa ya
kayak ditindas dibully gitu. Tapi dibully nya
bukan bully-an verbal tapi bully-an secara
fisik. Jadi kalau semisalnya saya nggak
menuruti keinginan teman saya, saya yang
akan dipukul pas waktu itu. Karena dulu
memang saya orangnya sedikit penakut.” [M
1, 272-286]
“Mungkin ini agak sedikit aneh sih, tapi pas
waktu SMP itu saya kan masuk kelas di mana
kelas itu ya anak-anaknya sederhanalah. Ada
beberapa yang mungkin kastanya agak tinggi.
Tapi kan ya namanya masih anak-anak kan ya
nggak akan mikir kayak gitu kan. Tapi pas
waktu saya masuk di kelas 2 itu dan kelas
yang saya masukin itu ada kepala geng, cewek
kepala gengnya dan semisalnya kalau saya
nggak menuruti keinginan dia kayak saya
nggak boleh-, harus antar jemput dia, terus
harus membeli makanan pas waktu istirahat,
129

itu saya akan terancam. Jadi lebih keras sih.”


[M 1, 297-315]
“Dari pihak guru juga nggak sih, nggak
berani ngomong ya. Soalnya kan saya
kebetulan ditindasnya itu bareng sama
sahabat saya juga. Terus dari segi orang tua
mau curhat ke orang tua apa, wong orang tua
aja lebih mentingin karier daripada saya. Jadi
mungkin itu cuma buat kayak pelampiasan sih
buat saya.” [M 1, 321-330]

2) Meminta perlindungan kepada teman laki-laki

Informan meminta pertolongan kepada teman laki-

laki untuk tidak lagi menjadi korban bully dan

pemerasan dari teman-temannya. Informan juga

menghindari teman yang melakukan tindakan bully dan

pemerasan tersebut. Hal ini ditunjukkan dari kutipan

verbatim berikut:

“Yang saya lakuin, yang saya lawan ini, yang


saya lawan itu awal-awal mungkin saya diam
ya karena saya kan nggak suka ribut. Tapi
makin kelamaan makin ngelunjak orang yang
membully saya itu. Nah sampai akhirnya pas
waktu semester dua saya memberanikan diri
untuk menolak atau menolak secara halus, dan
itu mungkin sama pihak sananya ditoleransi.
Tapi makin lama-lama karena saya
bergumbulan dengan teman yang lain, dia
akhirnya jadi iri dan lo kenapa kamu lebih
memilih dia, apa karena dia anaknya kaya-
kaya gitu. Jadi saya untuk menghindari itunya
akhirnya saya berteman dengan laki-laki dan
melaporkan, minta perlindungan dari teman
saya yang laki-laki, tolong apa kalau bisa
semester dua ini jangan ada pembully-an atau
nggak jangan ada kayak pemaksaan
pemerasan uang gitu karena konteksnya sudah
beda. Dan teman saya yang laki-laki pun juga
130

lo kenapa kok nggak bilang dari dulu gitu?


Iya, saya takut soalnya. Ya mungkin masih
cupu kan dulu SMP itu. Akhirnya pas saya
semester dua sudah, akhirnya teman-teman
saya ngelindungi saya. Terus kalau semisalnya
kamu diancam lagi bilang ke saya, soalnya
sama-sama kepala geng juga kan gitu.” [M 1,
335-372]

3) Relasi setelah dibully

Relasi informan dengan temannya setelah tidak

menjadi korban bully dan pemerasan menjadi lebih

kompak. Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Terus kalau teman SMP itu lebih kompak,


cuma mungkin ada beberapa yang tadi yang
suka nindas itu tadi ya. Itu lebih kompak, tapi
kompaknya itu yang kayak bareng-bareng
yang kayak ayo kamu waktu yang traktir, ayo
gantian. Jadi saling nraktir gitu, jadi kan
enak.” [M 1, 1111-1118]

c. Saat SMA

1) Pertemanan semakin luas

Informan M ketika SMA memiliki pertemanan yang

semakin luas karena tidak hanya dari teman sekolah

tapi juga dari luar sekolah. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan verbatim berikut:

“Terus kalau SMA ini lebih enak lagi ya,


karena kan selain teman sekolah, saya dapat
teman luar sekolah, Itu malah lebih kayak
meluas gitu. Jadi saya tahu oh teman saya itu
latar belakangnya kayak gini. Dan latar
belakangnya itu yang bukan yang anak baik-
baik, yang anak yang diluar baik-baik
malahan. Jadi kayak nambah pengalaman
sosial aja sih.” [M 1, 1118-1129]
131

“Kalau sisi positif ini sih, lebih kayak rajin


belajar gitu, terus kayak kalau misalnya dapat
teman yang baik itu kamu jangan suka keluar
terus, keluar rumah malam-malam gitu” [M 1,
1141-1146]
“Tapi kalau yang dampak buruknya itu ini
diluar teman sekolah. Karena saya itu
berteman pas waktu saya SD bertemannya
sama SMP, SMP sama berteman sama SMA,
bahkan sampai orang kerja, itu dampaknya ini
sih kayak apa ya kata kasarnya itu kayak
sampah masyarakat sih tindakannya, ya gitu.”
[M 1, 1146-1156]

4. Dinamika orientasi seksual informan

a. Pacaran sesama jenis pertama kali saat SMP

Informan M pacaran pertama kali dengan sesama

jenis yaitu ketika SMP dengan adik kelasnya. Hal ini

ditunjukkan melalui kutipan verbatim berikut:

“Yang abnormal itu menyadari ini pas SMP


kelas 2 semester 2 tapi, itu saya menyadari.
Karena ada adik kelas saya, tapi saya nggak
tahu kalau ternyata adik kelas saya itu seperti
itu gitu. Saya menganggapnya kayak oh ini
adik saya gitu. Tapi makin lama-makin lama
seiringnya waktu itu kenapa anak ini jadi suka
sama perilaku yang saya berikan.” [M 1,
1248-1259]
“Kalau sama yang adik kelas itu sampai saya
SMA kelas 1, 3 tahun, 3 tahun.” [M 1, 1361-
1363]

b. Ketertarikan kepada perempuan

Informan M memiliki ketertarikan kepada

perempuan dibandingkan kepada laki-laki. Hal ini

ditunjukkan melalui kutipan berikut:


132

“Kalau yang pas waktu itu lebih ke


perempuan sih,” [M 1, 1384-1385]

c. Alasan menjadi lesbian

1) Coba-coba

Informan M menjadi lesbian awalnya adalah karena

coba-coba dengan adik kelasnya sewaktu SMP. Hal ini

ditunjukkan melalui kutipan verbatim berikut:

“Padahal sebenarnya kayak lo ini ada apa sih.


Tapi nggak sampai ke curiga yang ke sana,
cuma kayak halah paling cuma adik-adikan.
Nggak tahunya tiba-tiba lo la kok gini jadinya.
Ya udah awalnya sih coba-coba ya. Lama-
lama kok, oh alah mungkin gini to yang
dirasain, oh ya udah gitu.” [M 1, 1301-1309]
“Ini ya, apa, berlanjut sih sebenarnya,
berlanjut. Tapi tetap masih membuka hati
untuk laki-laki. Jadi ya kadang ini, kadang ini
gitu, nggak, nggak pasti.” [M 1, 1369-1373]

2) Takut kepada laki-laki

Informan M memiliki ketakutan kepada laki-laki

yaitu takut hamil di luar nikah sehingga membatasi diri

dari laki-laki. Hal ini ditunjukkan dari kutipan berikut:

“Jadi mungkin apa ya karena trauma juga sih,


trauma yang kayak dulu-dulu itu, kayak ya
kayak anak pada umumnyalah yang disakiti
atau yang kayak tiba-tiba teman saya hamil
diluar nikah itu, lebih kayak gitu sih.” [M 1,
1259-1265]
“karena kan kalau ke laki-laki takutnya
kebablasan, takutnya kebablasan. Karena dari
akupun juga hyper kan anaknya, jadi ya udah
takut aja, membatasi aja sih sebenarnya.” [M
1, 1386-1391]
133

3) Media massa

Informan M menjadi lesbian juga karena ada faktor

dari media massa yaitu tayangan di televisi saat masih

kecil yang menunjukkan salah satu duo grup

perempuan. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan

verbatim berikut:

“Iya, ini, lesbiannya itu disebabkan karena ini


ya, TV. Di TV yang dulu band-band terkenal
ya itulah sebut aja The V gitu, ya itu.” [M 1,
1282-1286]

4) Senang diberi perhatian

Informan M merasa nyaman ketika diberikan

perhatian dari sesama jenis karena perhatian tersebut

melebihi perhatian dari laki-laki. Hal ini ditunjukkan

dari kutipan verbatim berikut:

“Saya menyadarinya itu pas waktu ya ini


dikasih perhatian, dikasih perhatian lebih
yang di para lelaki itu nggak ada gitu, bahkan
lebihnya itu melebihi apa ya kayak, kayak
orang laki-laki yang dewasa yang sudah
punya anak gitu. Jadi kayak apa ya, kayak
tiba-tiba nyaman gitu.” [M 1, 1292-1300]

d. Coming out sebagai lesbian butch

Informan M berperan sebagai lesbian butch dan

sudah beberapa kali berpacaran dengan sesama jenis. Saat

informan M menjadi lesbian, ia juga memberitahu kepada


134

beberapa teman dekatnya. Hal ini ditunjukkan melalui

kutipan verbatim berikut:

“kalau yang saya kan memang mungkin


karena saya nggak, kakak perempuan itu cuma
satu kalau saudara dan lebih banyak ke laki-
laki gitu, jadi kayak kebawa aja gitu.” [M 1,
1318-1323]
“Berapa kali ya? Sik, sik. 20-an kali ya. Eh
tapi nggak juga sih, nggak sampai 20-an gitu,
kayak 170-an lah.” [M 1, 1404-1407]
“Pilih-pilih sih. Kalau kayak teman yang
misalnya teman yang SMP, SMP itu nggak
banyak yang tahu karena aku menutup,” [M 1,
1500-1503]
“Beberapa temen ajasih yang tahu, hanya
beberapa temen yang bisa menerima saja.
Maksudnya teman dekat gitu. Kalo teman yang
umum kayak teman kampus gitu teman-teman
lainnya itu banyak yang gak tahu karena aku
juga tertutup kan. Gak mau mereka tahu
karena itu hanya masa laluku sih.” [M 2, 492-
501]

e. Pandangan informan tentang pacaran

Informan M memiliki pandangan bahwa pacaran

adalah untuk saling melengkapi, tempat bercerita, dan

mendapatkan kasih sayang. Hal ini ditunjukkan dari

kutipan berikut:

“Yang tak rasakan dulu tuh lebih…


sebenarnya lebih enak sih. Mungkin karena
sesama wanita ya lebih mengerti ya. Cuman
e… apa ya kayak kalo untuk mem-publish tuh
gak layak gitu loh. Cuma hanya kesenangan
untuk di dalem aja sih gak untuk di luar gitu.
Lebih ke gitu sih.” [M 2, 295-303]
135

“Menjalin hubungan tuh ini ya… salah


satunya ya saling melengkapi kekurangan dan
kelebihan. Terus bisa jadi bahan curhat.
Bahan curhat sama orang yang kita sayang
kan lebih enak apa namanya.. masukannya dia
dan yang lain-lain. Terus lebih kayak ini sih..
bisa dapat lebih. Dapet kayak kasih sayang
atau yang dulunya mungkin aku kurang kasih
sayang akhirnya aku dapat dari pacarku ini.
Jadi lebih mengerti aja sih.” [M 2, 310-323]

f. Kriteria pasangan sesama jenis

1) Fisik

Infoman M memiliki kriteria kepada pasangan

sesama jenis dalam segi fisik yaitu perempuan yang

feminim. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“Kalau yang fisik itu ini sih, tergantung aku


melihat, kalau aku melihatnya ya anak ini kok
manis ya gitu, ya udah deketin aja. Tapi kalau
ya tetap menyamarlah, menyamar pada
selayaknya orang umum gitu. Cuma kalau
semisalnya anaknya merespons ya oh ya udah
berarti aku nggak memaksa juga, ya mereka
merespons ya udah gitu. Fisiknya paling ya
pada selayaknya itulah, kurus, tirus, terus apa
yang enak dilihat atau nggak sesuai mata,
misalnya kayak mataku bilang anak ini manis,
ya udah berarti cocok, jadi nggak ada yang
kayak spesifik banget gitu.” [M 1, 1429-1446]
“Kalau tertarik sih tertariknya lebih kayak
bukan yang kayak ini ya mau jadi pacar gitu
bukan, tertariknya itu kayak lebih ke lo anak
ini lo tertarik ke fisik gitu, lo anak ini lo cantik
rek, aku pingin wajahnya kayak gini gitu lo,
dan anak ini tu asyik gitu. Tapi nggak tahu
tiba-tiba mungkin karena perilakunya dia
spesial atau gimana ya, kebawa jadi
akhirnya.” [M 1, 1339-1349]
136

2) Non fisik

Selain kriteria dari segi fisik, informan M dalam

mencari pasangan sesama jenis juga memiliki kriteria

secara non fisik yaitu dari perilaku baik perempuan

tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan berikut:

“Kalau yang non fisik itu lebih ke sifat, sifat


atau perilakunya dia ke aku, terus ini sih ke
mungkin perilakunya dia lebih dewasa dari
aku gitu. Bolehlah gitu, boleh. Meskipun dari
fisik nggak bisa dipandang, tapi ya hatinya
baik ya coba aja gitu.” [M 1, 1450-1457]

g. Perilaku seksual informan dengan sesama jenis

Informan M dalam menjalin hubungan dengan

sesama jenis sudah melakukan perilaku seksual. Perilaku

seksual yang dilakukan informan yaitu mulai dari cium

pipi sampai dengan berhubungan seksual. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“Kalau bagian wajah itu ya seperti cipika-


cipiki, terus cium kening, mungkin yang lebih
gak rasional ya ini kali ya bibir kali ya.” [M 2,
384-388]
“Ya kayak yang tadi awal-awal itu pasti dari
atas dulu dari daerah wajah lah. Terus e… itu
satu orang sih. Terus karena mungkin
hubungannya agak lama, akhirnya merambah
ke bagian tubuh yang bawah. Terus mungkin
karena pernah e… pernah lama sampai tiga
tahun, dari bagian yang badan tengah itu
akhirnya sampe ke… tahap seksual
yang…gimana ya… ke tahap yang paling
bawah sendiri sih. Udah.” [M 2, 418-430]
5. Dinamika informan dalam mengubah orientasi seksualnya
137

a. Aspek motivasi

Informan M memutuskan untuk mengubah orientasi

seksualnya karena ia memiliki keinginan untuk menikah

dan memiliki keturunan. Hal ini ditunjukkan melalui

kutipan berikut:

“Ya cowoklah, gila aku pingin punya anak


gitu.” [M 1, 1544-1546]
b. Aspek kognitif

Informan M mempunyai pemikiran bahwa lesbian

adalah suatu aib sehingga ia memutuskan untuk mengubah

orientasi seksualnya. hal ini ditunjukkan dari kutipan

verbatim berikut:

“aku menutup, karena itu kan juga aib juga


kan gitu. Terus banyak orang juga ya nggak
nerimalah gitu. Jadi nggak enak aja.” [M 1,
1503-1507]
c. Aspek afeksi

1) Capek harus bersembunyi

Informan M merasakan lelah dalam berhubungan

sesama jenis karena harus terus menerus bersembunyi

ketika menjalin hubungan pacaran. Hal ini ditunjukkan

dengan kutipan berikut:

“Awalnya itu karena ini sih, capek ya, capek


buat kayak sembunyi-sembunyi, terus kayak
apa ya. Mungkin kalau sekarang lebih lebih
kayak diekspos gitu sebenarnya nggak apa-
apa sih, cuma kan nggak nggak enak aja.” [M
1, 1528-1534]
138

2) Nyaman dalam SOCE

Informan M dalam proses mengubah orientasi

seksualnya merasa nyaman karena dapat diterima oleh

lingkungannya. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan

verbatim berikut:

“Yang saya rasain itu ini sih pertama nyaman


dulu sih, nyaman, terus apa ya mungkin sedikit
kayak kikuk gitu kan, tiba-tiba langsung
berubah drastis gitu. Dan kayak apa ya, dari
segi lingkungan tu orang-orang jadi kayak
lebih menerima aku gitu, apalagi khususnya
orang-orang yang nggak tahu kayak gitu,
lebih menerima aku dan apa ya, aku lebih
kayak bisa ini sih nggak terbebani sama yang
aib yang tadi itu.” [M 1, 1764-1777]
“Yang tak rasain itu ini, nyaman di diri
sendiri.. terus pas waktu.. mungkin aku
mengubah secara penampilan itu ya.. orang
itu jadi welcome ke aku, meskipun itu yang
pihak perempuan atau pihak laki-laki itu jadi
nyaman dengan aku, tidak ada yang ada
Batasan-batasan, mungkin di situ aku kayak
merasakan “Oh ini normal yang
sesungguhnya.” Dia lebih ke situ dulu sih.”
[M 2, 233-245]
3) Trauma

Informan M merasa trauma karena orang tuanya

bercerai sehingga ia pun takut dalam proses mengubah

orientasi seksualnya. Hal ini ditunjukkan dari kutipan

berikut:

“Sebenernya ketakutan dari diri sendiri sih


karena aku kan juga dari keluarga yang
broken home, pasti juga punya traumatic
sendiri lah untuk membuka perasaan kepada
laki-laki” [M 2, 103-108]
139

4) Putus asa dan ragu

Informan M mengalami keraguan dalam proses

mengubah orientasi seksualnya dan juga sempat merasa

putus asa. Hal ini ditunjukkan melalui kutipan verbatim

berikut:

“Pernah sih, pernah dikit. Kayak haduh kok


masih tetap kayak gini-gini aja ya gitu,
pernah.” [M 1, 1805-1808]
“Ya hmm dari perasaanku sendiri kayak “Bisa
gak ya?” meyakinkan diri sendiri dulu, bisa
gak ya aku mau merubah. Soalnya udah agak
lama juga. Tapi kalo aku terus kan aku
takutnya nyaman dan aku agak mau seperti
temenku yang di luar yang sampe dia bela-
bela-in nikah di luar negeri hanya untuk gitu.
Aku gak mau seperti itu, aku juga me… ingin
memiliki keturunan dan apa.. selayaknya lah.”
[M 2, 182-194]
d. Usaha mengubah orientasi seksual (aspek perilaku)

1) Memutuskan untuk berubah sejak kuliah

Informan M memutuskan untuk mengubah orientasi

seksualnya sejak kuliah semester lima. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“Sejak ini sih kuliah semester 5-an itu sudah


mulai kayak berubah-berubah dikit-dikit-dikit
gitu. Sampai sekarang sih, sekarang juga
mengubah dikit-dikit. Lebih kayak nggak yang
kayak yang dulu lagi yang banyak, terus yang
terlalu gimana gitu.” [M 1, 1838-1846]
2) Mengubah penampilan fisik
140

Informan M melakukan perubahan dalam

penampilannya yaitu menjadi lebih feminim. Hal ini

ditunjukkan dari hasil kutipan verbatim berikut:

“dari segi fisikmu dulu. Ya akhirnya pas waktu


saya renung-renung itu ya benar juga sih,
kalau aku berpenampilan cowok terus kan
kayak makin lama kayak gimana gitu, kan
nggak enak juga. Akhirnya aku mengubah dari
segi fisik dulu sih.” [M 1, 1550-1557]
“Kan aku juga nyamar juga di kuliah. Oh ya
ya, ya udah deh aku berubah karena untuk
teman-temanku.” [M 1, 1578-1579]
“Perbedaannya yang pasti ini.. rambut.
Rambut yang dulunya selalu cepak cepak,
sekarang panjang. Terus yang dulunya gak
mengenal skin care, sekarang jadi kayak
mengenal dikit-dikit gitu terus jadi kayak
milih-milih belajar buat make up dikit
meskipun gak yang terlalu. Tetapi mungkin
kalo dari segi baju sama aja sih, cuma gak
seperti dulu yang terlalu bajunya gimana gitu.
Kalo sekarang bajunya lebih yang bisa buat
cewek bisa buat cowok, gitu. Sudah sih lebih
kayak gitu aja” [M 2, 259-274]
3) Menghindari lingkungan lesbian

Informan M dalam usahanya mengubah orientasi

seksualnya salah satunya adalahnya menghindari

lingkungan pertemananya yang juga lesbian. Hal ini

ditunjukkan dari hasil kutipan verbatim berikut:

“Kalau keinginan dari diri sendiri ada, cuma


masih belum sepenuhnya, masih kayak
setengah gitu, tapi ada. Sudah membatasi
diri” [M 1, 1594-1598]
“Usaha lain mungkin ini sih.. lebih kayak ke
dalam diri. Usaha di dalam diri. Misalkan ada
ajakan temen atau ada orang yang deket itu,
141

membatasi. Bukan membatasi pertemanan sih


tapi membatasi jangan sampai ikut. E… ke
lingkup seperti itu lagi. Mereka gak papa, tapi
jangan aku. Lebih ke usaha yang lebih gitu.”
[M 2, 535-545]
“Ada sih. E… harapanku itu yang e… yang
tadi aku bilang itu menghapus ketertarikanku
dengan perempuan.” [M 2, 808-811]
4) Menjalin hubungan dengan laki-laki

Informan M saat ini sedang menjalin hubungan

dengan seorang laki-laki dan ini menjadi salah satu

usahanya dalam proses mengubah orientasi seksualnya

juga. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“kayak aku kalau sudah menemukan lelaki


yang baik ya aku bakal buang yang ini-ini,
nggak-. Maksudnya oke berteman nggak apa-
apa tapi langsung mengubah rasa. Itu sudah
aku tekankan sih di dalam diri.” [M 1, 1599-
1605]
“Aku bilang kalau semisalnya aku masih
membuka hati untuk laki-laki gitu.” [M 1,
1623-1625]
“Kedekatannya itu… ini sih.. sebenernya dari
IG ya. Gak tahu dia yang sotoy pernah lihat
aku atau kayak gimana. Takutnya, kan e.. apa
ya.. kalo misalnya melihat langsung itu kan
takutnya kecewa anaknya itu. Jadi misalnya
kayaknya anaknya memuji muji gitu tuh aku
Cuma kayak “Apaan sih?! Cantik itu centil
filter. Itu cuma editan doang.” Jadi kayak
membikin anak ini serius apa gak, anak ini
hanya melihat fisik apa gak. Tapi setelah aku
gitu-gitu kan tuh dia makin malah ngechat
serius gitu terus ya kayak selayaknya orang
deketin lah.” [M 2, 143-159]
“Kalo kriteria fisik gak ada sih, soalnya tau
diri jugasih. Lebih kayak mungkin kalo
nyaman udah hal umum lah nyari nyaman.
142

Lebih kayak ini lah.. tidak kasar, karena


kebanyakan kan laki-laki sekarang itu kasar,
tidak berpikiran Panjang dan lebih cari ini
sih.. lebih cari yang dewasa. Karena aku
orangnya sukanya bebas, aku gak terlalu suka
dikekang. Kecuali dikekangnya itu untuk hal
baik. Tapi kalo untuk hal yang akan
menjerumuskanku ya gak akan.” [M 2, 122-
136]
“Yang pertama itu pasti dia rapi dari segi
rambut. Terus e.. kalo wajah itu kumis tipis,
agak agak sedikit ada brewoknya dikit gitu.
Terus mungkin yang ada lesung pipinya juga
bisa bikin tertarik juga. Lebih ke situ sih.” [M
2, 759-765]
“Sekarang yang lagi deket itu lebih tua.
Karena kalo lebih tua kan lebih enak
manggilnya bisa Mas, bisa kak gitu. Kalo yang
lebih muda itu kayaknya engga deh, engga
enak, malah ngemong gitu. Selain itu juga dia
tipenya kalo yang lagi deket ini lebih dewasa
dikit sih kayak mengayomi gitu. Tertariknya
juga karena mengayomi gitu.” [M 2, 785-795]
5) Beribadah

Informan M melakukan ibadah sebagai salah satu

usaha untuk mengubah orientasi seksualnya. hal ini

ditunjukkan melalui kutipan berikut:

“Kalau diluar fisik itu lebih kayak ini sih,


curhat sama Tuhan ya, beribadah, beribadah,
sembahyang, curhat gitu, terus sama ini lebih
kayak bukan menjauh sih, bukan menjauhi,
tapi sedikit menghindari anak yang kayak gitu,
supaya bukan nggak kebawa juga, supaya apa
ya, dilihat sama orang yang normal itu enak
gitu lo kalau misalnya pertemanannya nggak
yang terlalu rasis banget gitu. Lebih kayak ke
situ sih.” [M 1, 1709-1722]
6) Meyakinkan diri
143

Informan M ketika merasakan keraguan dalam

mengubah orientasi seksualnya, yang informan M

lakukan adalah meyakinkan dirinya. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“Tapi ya balik lagi ke diri kita kan, ya apa-


apa motivasinya ya bersembahyang itu tadi
motivasinya gitu. Terus kayak harus
memaksakan diri sendiri aku harus bisa-aku
harus bisa. Terus ya kayak mengurangi ling-,
bukan mengurangi lingkungan sih, kayak
menguatkan mental kalau oalah ya udah kayak
gitu orang itu, ya udah kita nggak usah ikut
gitu lo, kan yang penting sudah tahu gitu,
lebih kayak gitu aja sih.” [M 1, 1808-1821]
e. Faktor protektif eksternal dalam SOCE

1) Dukungan kerabat

Informan M mendapatkan dukungan dari teman-

temannya yang mengetahui kondisinya sekarang

sedang ingin mengubah orientasi seksualnya. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“ada yang tahu gitu, bahkan sahabatku


sendiri juga tahu gitu. Tapi tetap, jangan
sampai kamu nanti, tetap diingatkan sih,
jangan sampai kamu nanti itunya juga sama
itu, Oh ya. Ya udah lebih kayak dikasih
pengertian aja sih.” [M 1, 1509-1517]
“Nah di situ saya merasa nyaman dan
akhirnya saya bercerita ke teman, tapi teman
yang benar-benar ingin saya maju, bukan
yang ingin saya mundur stay di situ aja. Ada
e.. dua teman yang deket sama saya, saya
ceritakan,” [M 2, 208-215]
“dia mendukung. Mendukung positif dan gak
yang terlalu memaksa “Kamu harus gini,
144

kamu harus gini.” Gak. Dia yang balik ke


awal sih, yakinkan dulu. Emang awal-awalnya
susah, masih yang jelalatan sana jelalatan
sini, tapi kalo kamu punya bersikukuh ya bakal
bisa. Akhirnya dari situ sih ada semangat buat
merubah.” [M 2, 215-225]
f. Faktor risiko internal dalam SOCE

1) Takut diselingkuhi

Informan M dalam proses mendekatkan diri pada

laki-laki masih takut jika harus diselingkuhi. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim:

“Kesulitannya itu lebih kayak ini… kan


banyak juga yang temenku berpacaran sama
laki-laki itu diselingkuhi, ada juga yang sampe
digituin gitu. Terus ini sekarang ceritanya kan
aku ada lagi deket sama seseorang yang.. gitu
lha. Aku kayak ngerasa “Ih sama laki-laki ini
kok gini banget sih.” Kayak risih gitu loh. Ini
beneran atau engga, gitu loh.” [M 2, 92-103]
2) Merasa kesulitan

Informan M merasa sulit dalam mengubah orientasi

seksualnya khususnya dalam mengubah penampilan

fisiknya. Hal ini ditunjukkan dari kutipan verbatim

berikut:

“Proses yang saya ubah itu ini rasanya apa


ya, susah ya dilalui ya, nggak bisa ngomong
kata-kata sih. Kayak ya udah berjalan begitu
aja, karena dapat dari teman dan segala
macamnya. Makanya akhirnya bisa mengubah
yang kayak gini dikit-dikit. Ya kalau menurut
saya sih alhamdulillah aja gitu.” [M 1, 1782-
1791]
“Tantangannya yang pertama mengubah
penampilan. Mengubah penampilan itu dari
145

yang pertama tertarik sama sesama jenis


harus merubah gimana lawan jenis juga
tertarik. Jadi selayaknya perempuan lain.
Terus tantangan yang kedua itu ke ini….
Tingkah… bukan tingkah laku sih, sifat. Sifat
untuk melihat orang yang mungkin e… kita
dulunya tipenya kayak gitu akhirnya harus
dihilangin. Itu harus, mau gak mau harus
dihilangin. Karena kalau gak akan jadi
kebiasaan, tantangan kedua. Terus tantangan
ketiga yang paling susah itu kalau melihat..
sebenernya melihat e.. cowok itu juga tertarik
tapi tertariknya hanya kayak biasa “Ih
ganteng.” “Ih manis.” Kalau lihat cewek yang
masih setipe, itu kayak ya gitu lah…. Kayak ya
kayak “O gini.. gini.. gini…” itu yang paling
sulit sih. Tapi mau gak mau harus diubah
supaya kembali lagi.” [M 2, 17-44]
g. Faktor risiko eksternal dalam SOCE

1) Lingkungan teman lesbian

Informan M saat ini masih memiliki lingkungan

pertemanan lesbian sehingga menjadi tantangannya

dalam mengubah orientasi seksualnya. Hal ini

ditunjukkan dari kutipan verbatim berikut:

“Kesulitannya yang pertama itu ini.. dari


lingkungan. Ya lingkunganku rata-rata
menyimpang seperti itu. Apalagi yang di
sosmed ada beberapa temen dulu itu yang
menyimpang seperti itu. Terus waktu aku lagi
berkumpul, secara gak langsung masih
kebawa meskipun aku masih membatasi.” [M
2, 54-63]
Selain informan masih memiliki lingkungan

pertemanan lesbian, informan M juga masih menjalin

komunikasi dengan mantan pacar sesama jenisnya.


146

“Jadi apa ya, tetap sih, bukan tetap juga,


maksudnya nggak separah dulu. Kalau
sekarang itu lebih kayak oke kita misalnya
bersama ni, kita bersama terus kalau semisal
aku menemukan laki-laki ini baik dan serius
ya udah why not gitu, itu kan juga aku mau
menjalani hidup yang lebih baik lagi. Jadi
sudah dikasih pengertian gitu lo.” [M 1, 1629-
1639]
Kurang kasih rumah negatif jadi Pandangan
kakak ke kakak
dulu negatif
sayang orang Pandangan
jarang di rumah terhadap sekarang positif
tua ayah negatif
Kurang kasih Pandangan ke kakak
sayang orang Pandangan terhadap Relasi
sekarang dengan ibu
positif 147
Informan pernah diasuh oleh pakde
ayah & bude:
negatif dulu jauh kemudian
tua Keterangan
• Diasuh saat kecil 2 kali sekarang dekat
Relasi dengan ibu
Bagan 4.2 Hasil Pengolahan Data Informan M • Senang
Informan diasuh
pernah oleholeh
diasuh pakde&bude
pakde & bude:
Menyebabkan
dulu jauh kemudian
• Pandangan
• Diasuh saat kecilterhadap
2 kali pakde&bude positif Pandangan
Mempengaruhiterhadap
sekarang dekat
• Pandangan terhadap anak pakde&bude positif ibu sekarang positif
• Senang diasuh oleh pakde&bude Saling Mempengaruhi
• Pandangan terhadap pakde&bude positif Pandangan terhadap
• Pandangan terhadap anak pakde&bude positif ibu sekarang positif
Peran Agama di
kehidupan Informan Pertemanan Informan

PeranMengajarkan
Agama di hal Saat SD memiliki geng
kehidupanyang
Informan
baik Pertemanan Informan
Saat SMP: Saat SMA
Mengajarkan hal Saat SD memiliki geng pertemanan
Membuat • Menjadi korban bully
yang baik tenang
informan • Minta pertolongan ke semakin luas
teman
Saat laki-laki
SMP: yaitu dari
Saat SMA
Membuat • Relasi
• Menjadi setelah
korban bully sekolah
dibully pertemanan dan
informan tenang • Mintajadi baik
pertolongan ke luarluas
semakin sekolah
teman laki-laki yaitu dari
• Relasi setelah dibully sekolah dan
jadi baik luar sekolah
148

4.4 Pengolahan Hasil Penelitian

4.4.1 Persamaan Kedua Informan Penelitian


Tabel 4.5 Kategorisasi Persamaan Kedua Informan
No Tema Sub Tema Informan SH dan M
1 Kondisi keluarga Pola asuh otoriter Kedua informan mendapat
informan pola asuh otoriter saat kecil
Ibu dominan Kedua ibu informan memiliki
peran yang dominan dalam
kehidupan keluarga
2 Dinamika Ketertarikan kepada Kedua informan memiliki
orientasi seksual perempuan ketertarikan kepada
informan perempuan
Coming out sebagai Kedua informan sudah pernah
lesbian beberapa kali menjalin
hubungan dengan sesama
jenis
Kedua informan sudah
memberitahu kepada
beberapa teman dekat terkait
orientasi seksual lesbian
mereka
Pandangan tentang Kedua informan memandang
pacaran bahwa pacaran sesama jenis
sebagai tempat cerita
Perilaku seksual Kedua informan sudah pernah
informan dengan berciuman (pipi dan bibir)
sesama jenis dengan sesama jenis
Kedua informan sudah pernah
melakukan hubungan seksual
dengan sesama jenis
Tidak pernah Kedua informan sama-sama
berpacaran dengan tidak pernah menjalin
laki-laki hubungan pacaran dengan
laki-laki
3 Dinamika Aspek motivasi Kedua informan sama-sama
informan dalam memiliki keinginan untuk
mengubah menikah dan memiliki
orientasi keturunan
seksualnya Aspek afeksi Kedua informan sama-sama
merasa ragu dalam proses
mengubah orientasi
seksualnya
Usaha mengubah Kedua informan sama-sama
orientasi seksual melakukan usaha yaitu
(aspek perilaku) mendekatkan diri kepada laki-
laki
Faktor protektif Kedua informan sama-sama
149

eksternal dalam mendapatkan dukungan dari


SOCE teman dekat yang mengetahui
kondisi mereka sebagai
seorang lesbian
Kedua informan sama-sama
menyadari bahwa Agama
mereka melarang hubungan
sesama jenis sehingga
membuat mereka mau
berubah
Faktor risiko Kedua informan sama-sama
eksternal dalam masih menjalin komunikasi
SOCE dengan sesama jenis yaitu
mantan pacar mereka
150

Bagan 4.3 Hasil Pengolahan Data Penelitian Kedua Informan

Keterangan
Menyebabkan

Mempengaruhi

Saling Mempengaruhi
Dinamika orientasi seksual informan
Kondisi Keluarga Informan
Tertarik pada Coming out sebagai
Pola asuh otoriter perempuan lesbian:
• Pernah pacaran beberapa
kali dgn sesama jenis
Pacaran
Ibu yang memiliki • Memberitahu ke beberapa
peran dominan sesama jenis
teman dekat terkait
sebagai tempat
kondisi orientasi seksual
cerita

Melakukan perilaku seksual dgn sesama jenis:


• Cium pipi dan bibir
• Berhubungan seksual
4.4.2 Perbedaan Kedua Informan Penelitian
Tabel 4.6 Kategorisasi Perbedaan Kedua Informan
No Tema Sub tema Informan SH Informan M
1 Kondisi Pandangan Informan SH Informan M
keluarga terhadap ayah memiliki memiliki
informan pandangan yang pandangan yang
positif kepada negatif kepada
ayahnya ayahnya sehingga
sehingga relasi relasi dengan
dengan ayahnya ayahnya pun
pun menjadi menjadi jauh
dekat
Pandangan Informan SH Informan M
terhadap ibu memiliki memiliki
pandangan yang pandangan yang
negatif kepada positif kepada
ibunya sehingga ibunya sehingga
relasi dengan relasi dengan
ibunya menjadi ibunya pun dekat
jauh
Relasi yang Informan SH Informan M tidak
dekat dengan memiliki memiliki
saudara kedekatan kedekatan dengan
dengan adik kakak laki-
perempuannya lakinya
Pandangan Informan SH Informan M dulu
terhadap saudara memiliki memiliki
pandangan yang pandangan yang
positif kepada negatif terhadap
adiknya dan kakaknya karena
menjadikan saat kecil sering
adiknya tempat bertengkar,
bercerita segala namun sekarang
hal kakaknya sudah
berubah menjadi
baik dan perhatian
sehingga
pandangan
informan M
menjadi positif
Relasi orang tua Kedua orang tua Kedua orang tua
informan SH informan M sudah
memiliki pisah rumah dan
hubungan yang bercerai sejak
harmonis informan masih
kecil
Pengasuhan Informan SH Informan M
orang tua mendapatkan mendapatkan
pengasuhan dari pengasuhan dari
41
152

kedua orang ibunya serta


tuanya pakde dan
budenya ketika
informan
ditinggalkan oleh
ibunya untuk
melanjutkan
pendidikan di luar
negeri
Peraturan dari Informan SH Informan M tidak
orang tua mendapatkan diberikan aturan-
peraturan- aturan yang
peraturan yang mengikat dari
membuat SH orang tuanya
merasa di kekang
oleh orang
tuanya
Dampak pola Informan SH Informan M
asuh orang tua menjadi takut menjadi tidak
kepada orang begitu dekat
tuanya, tidak dengan ibunya
memiliki karena ibunya
hubungan yang sibuk bekerja
dekat, muncul sampai saat ini
perilaku tidak dan informan M
patuh dari menjadi jarang
informan serta berada di rumah
keinginan untuk
bersosialisasi
Usaha untuk Informan SH Informan M
berkomonikasi berusaha untuk cenderung diam
kepada orang tua berkomunikasi dan menerima
kepada orang pola asuh yang ia
tuanya terkait dapatkan dari ibu
pola asuh namun maupun pakde
tidak berhasil dan budenya
Pandangan Informan SH Informan M
terhadap rumah menganggap memiliki
rumah adalah pandangan yang
tempat yang negatif terhadap
biasa saja rumah karena ia
merasa rumah
merupakan
tempat yang
menyeramkan
sehingga tidak
betah berada di
rumah
2 Kondisi Bekerja untuk Informan SH Informan M saat
informan saat menjadi mandiri sekarang ini ini belum bekerja
153

ini bekerja di
Jakarta dimana
tujuan ia bekerja
di luar Surabaya
agar bisa mandiri
Peran agama di Agama menurut Agama menurut
kehidupan informan SH informan M
informan hanya sebagai mengajakarkan
pedoman kebaikan dan
berperilaku mengubah pribadi
informan menjadi
lebih baik
3 Pertemanan Senang berteman Informan SH Informan M
informan dengan laki-laki senang berteman senang berteman
dengan laki-laki dengan
karena laki-laki perempuan dan
lebih laki-laki
menggunakan
logika dari pada
perasaan, dan
asik ketika diajak
berteman karena
dapat melindungi
Lingkup Kedua orang tua Informan M
pertemanan informan SH memiliki lingkup
yang mengekang pertemanan yang
pertemanan luas
informan
membuat lingkup
pertemanan
informan sempit
Usaha mendekat Informan SH Informan M tidak
kepada teman berusaha untuk berusaha untuk
tetap menjaga mendekatkan diri
pertemanannya kepada teman
melalui media karena ia memang
sosial karena ia sering
sadar bahwa menghabiskan
pertemanannya waktu dengan
menjadi sempit temannya
karena kedua
orang tuanya
Menjadi korban Informan SH Informan M
bully dan tidak pernah ketika SMP kelas
pemerasan menjadi korban VII pernah
bully ataupun menjadi korban
pemerasan ketika bully dan
bersekolah mendapatkan
tindakan
pemerasaan
154

materi dari teman


kelasnya
4 Dinamika Pacaran sesama Informan SH Informan M
orientasi jenis pertama pacaran sesama pacaran sesama
seksual kali jenis pertama jenis pertama kali
informan kali saat SD dan saat SMP dengan
ia dibohongi oleh adik kelasnya
pasangannya dimana saat itu
informan hanya
coba-coba
Alasan menjadi - Informan M
lesbian menjadi lesbian
awalnya karena
coba-coba, senang
diberi perhatian
oleh perempuan,
adanya pengaruh
dari media massa
yaitu TV dan juga
karena informan
memiliki
ketakutan kepada
laki-laki
Coming out Informan SH Informan M tidak
sebagai lesbian sudah mengakui sepenuhnya
dan menerima menerima dirinya
dirinya sebagai sebagai lesbian
lesbian sejak karena merasa
SMA lesbian adalah aib
Informan SH Informan M
berperan sebagai berperan sebagai
lesbian femme lesbian butch
Pandangan Informan SH Informan M
tentang pacaran merasa pacaran merasa nyaman
dengan sesama ketika menjalin
jenis agar dapat hubungan sesama
menjadi teman, jenis karena dapat
sahabat, kakak dimengerti
dan pacar dalam
waktu bersamaan
Kriteria Informan SH Informan M
pasangan sesama memiliki kriteria memiliki kriteria
jenis terhadap terhadap
pasangan sesama pasangan sesama
jenis yang jenis yang cantik,
penampilannya manis, tirus,
rambut sebahu, berbadan kurus,
tomboy, memiliki perilaku
berkacamata dan yang baik dan
berkulit putih dewasa
155

Ketertarikan Informan SH Informan M


kepada lesbian memiliki memiliki
ketertarikan ketertarikan
kepada lesbian kepada lesbian
butch femme
5 Dinamika Aspek Kognitif Informan SH -
Informan memiliki
dalam pandangan
mengubah terhadap laki-laki
orientasi bahwa mereka
seksualnya hanya teman
Informan SH -
melakukan
defense
mechanism
rasionalisasi
yaitu proses
mengubah
orientasi
seksualnya tidak
akan
terpengaruhi
walaupun ia
masih menjalin
hubungan
dengan sesama
jenis sampai saat
ini
Informan SH Informan M
sempat berpikir memiliki
untuk tetap pemikiran bahwa
menjadi lesbian menjadi lesbian
karena belum adalah sebuah aib
mendapat laki- sehingga ia ingin
laki yang tepat mengubah
orientasi
seksualnya
Aspek Afeksi Informan SH Informan M suka
memiliki kepada laki-laki
perasaan tidak dan siap untuk
suka kepada laki- menjalani
laki karena hubungan jika
belum siap dan menemukan laki-
takut laki yang tepat
Informan SH Informan M
merasa tidak nyaman selama
nyaman selama proses mengubah
proses mengubah orientasi
orientasi seksualnya
seksualnya
156

Usaha mengubah Informan SH Informan M lebih


orientasi seksual berusaha melakukan ibadah
(aspek perilaku) menenangkan atau berdoa ketika
dirinya ketika merasakan
merasa bimbang keraguan dalam
dan takut dalam mengubah
proses mengubah orientasi
orientasi seksualnya
seksualnya
- Informan M
melakukan
perubahan dari
segi
penampilannya
yaitu berusaha
untuk tampil lebih
feminim
Faktor protektif Informan SH -
internal dalam memiliki
SOCE pengalaman
pernah disakiti
ketika menjalin
hubungan
dengan sesama
jenis
Informan SH Informan M tidak
merasa bahwa merasa bahwa
usianya sudah usianya saat ini
semakin menjadi faktor
bertambah untuk mengubah
sehingga ia orientasi
memutuskan seksualnya
untuk mengubah
orientasi
seksualnya
Faktor protektif Orang tua -
eksternal dalam informan SH
SOCE menanyakan
tentang pasangan
informan
Faktor risiko - Informan M
internal dalam memiliki
SOCE ketakutan
diselingkuhi oleh
laki-laki
- Informan M
mengalami
kesulitan dalam
mengubah
penampilan
157

fisiknya
Faktor risiko - Informan M
eksternal dalam masih memiliki
SOCE lingkungan
pertemanan
lesbian

4.5 Validitas Penelitian


Usaha yang dilakukan peneliti untuk dapat melakukan validitas

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Validitas Komunikatif

Validitas komunikatif yang dilakukan peneliti adalah

menunjukkan hasil verbatim wawancara pada kedua informan

dalam penelitian ini. Peneliti menunjukkan verbatim wawancara

pada informan SH pada tanggal 23 Oktober 2019 melalui email.

Peneliti mengirimkan melalui email karena informan SH berada di

Jakarta untuk bekerja. Informan SH menyetujui hasil dari verbatim

yang peneliti tunjukkan keesokan harinya. Setelah itu peneliti

mengirimkan surat keabsahan kepada informan SH melalui email

dan informan SH mencetak surat tersebut lalu menandatangani

surat tersebut. Kemudian informan SH memberikan hasil scan

surat keabsahan tersebut kepada peneliti melalui email kembali.

Peneliti melakukan validitas komunikatif dengan informan

M pada tanggal 20 Oktober 2019 di sebuah Coffee Shop X,

Surabaya. Informan M ketika peneliti memberikan hasil verbatim

wawancara langsung membacanya dengan teliti dan beberapa kali

sempat tersenyum kecil. Setelah membaca verbatim wawancara


158

yang peneliti berikan, informan M langsung menyetujui hasil

verbatim tersebut dan mengatakan bahwa sudah sesuai dengan

hasil wawancara yang dilakukan. Informan M menandatangani

surat keabsahan yang peneliti berikan.

2. Validitas Argumentatif

Validitas argumentatif dalam penelitian ini terpenuhi

karena selama proses pembuatan penelitian ini, peneliti membuat

dengan rasional dan sesuai dengan hasil verbatim wawancara dari

kedua informan yang dapat dibuktikan dengan data mentah yaitu

rekaman wawancara. Peneliti juga melakukan double check hasil

verbatim dengan cara mendengarkan kembali rekaman wawancara

sambil mencocokan dengan verbatim yang sudah peneliti tuliskan.

Selain itu, peneliti juga melakukan konsultasi dan bimbingan

kepada dosen pembimbing. Peneliti meminta bantuan kepada

dosen pembimbing untuk memeriksa kembali hasil analisis yang

dilakukan oleh peneliti selama pembuatan penelitian ini.


BAB V

PENUTUP

5.1 Pembahasan Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil analisis data, peneliti menemukan beberapa hal yang

sama dalam tema-tema yang diidentifikasi dari informan SH dan M. Hal serupa

pertama yaitu kondisi keluarga kedua informan diantaranya adalah mendapatkan

pola asuh otoriter dan sosok ibu yang dominan. Pola asuh otoriter yang

didapatkan oleh kedua informan lebih mengarah pada masa kecil informan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pontoh, Opod & Pali (2015) yang

berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Homoseksual Pada

Komunitas Gay X Di Manado, menunjukkan hubungan yang positif antara pola

asuh orang tua dengan tingkat homoseksual pada gay dalam komunitas x di

Manado yang artinya semakin baik pola asuh yang diterapkan, semakin berkurang

perilaku penyimpangan seksual seseorang dan sebaliknya. Melalui hasil penelitian

tersebut, peneliti melihat bahwa pola asuh orang tua yang diterapkan pada kedua

informan mempengaruhi orientasi seksual kedua informan sehingga hal ini

penting untuk ditinjau kembali agar pola asuh yang diterapkan oleh orang tua bisa

semakin lebih baik agar tidak menimbulkan pengalaman yang kurang

menyenangkan dan menimbulkan orientasi seksual homoseksual.

Pada dinamika orientasi seksual kedua informan terlihat bahwa baik

informan SH maupun informan M tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan

jenis yaitu laki-laki karena mereka memiliki ketertarikan kepada perempuan atau

sesama jenis dan hal tersebut menyebabkan mereka untuk coming out sebagai

159
160

lesbian. Menurut Rhoads (1994) coming out merupakan suatu proses

mengungkapkan orientasi seksual seseorang dimulai dengan pengakuan kepada

diri sendiri dan berlanjut kepada orang lain. Sejalan dengan definisi tersebut,

kedua informan sudah melakukan pengakuan kepada diri mereka sendiri dan juga

ke beberapa teman dekat mereka tentang orientasi seksual mereka sebagai lesbian.

Dalam kelompok lesbian terdapat semacam label yang muncul karena dasar

karakter atau penampilan yang terlihat pada seorang lesbian yaitu Butch, Femme

dan Andro (Tan, 2005). Kedua informan pada penelitian ini, terdapat perbedaan

yang signifikan terkait dengan label mereka sebagai lesbian yaitu informan SH

sebagai lesbian femme dan informan M sebagai lesbian butch.

Kedua informan dalam penelitian ini juga sudah beberapa kali menjalin

hubungan pacaran dengan sesama jenis. Informan SH sudah berpacaran sebanyak

lima kali dan informan M sudah berpacaran sebanyak 20 kali dengan sesama

jenis. Kedua informan sama-sama memaknai pacaran sebagai tempat untuk

berbagi cerita. Menurut Padgham & Bliyth dkk (dalam Santrock, 2003)

menjelaskan bahwa tujuan berpacaran adalah salah satunya sebagai proses

bersosialisasi yaitu belajar untuk berinteraksi dengan pasangan dan menghadapi

konflik yang dialami. Dalam perilaku berpacaran terdapat pengalaman yang

berkaitan dengan perilaku seksual karena menurut Mar’at (2005) bahwa untuk

melepaskan diri dari ketegangan seksual, individu mencoba untuk

mengekspresikan dorongan seksual dalam berbagai bentuk tingkah laku seksual

mulai dari melakukan aktivitas berpacaran, bercumbu sampai pada melakukan

hubungan seksual. Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
161

hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis dan perbedaan jenis

kelamin akan mempengaruhi perilaku seksualnya (Sarwono, 2006). Hal ini sejalan

dengan kedua informan pada penelitian ini yang juga dalam perilaku berpacaran

mereka sudah melakukan perilaku seksual yaitu berciuman sampai pada

melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Dalam penelitian lain oleh

Kisriyati (2013) tentang Makna Hubungan Seksual Dalam Pacaran Bagi Remaja

Di Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa salah satu

makna pacaran adalah sebagai naluri kebutuhan seks dimana aktivitas seksual

tersebut dilakukan bukan hanya sebagai simbol untuk mengenal karakter

pasangan tetapi sebagai pelampiasan dari rasa rindu terhadap seseorang yang

dicintainya, bukti kasih sayang dan pengikat hubungan dalam pacaran.

Sexual orientation change effort (SOCE) atau yang disebut juga sebagai

terapi reparatif atau reorientasi, yaitu terdiri dari upaya melalui konseling, praktik

keagamaan, modifikasi perilaku, pembingkaian kognitif, atau cara-cara lain untuk

mengubah orientasi seksual dari homoseksual menjadi heteroseksual (APA,

2009). Informan SH sejak SMA sudah mulai memiliki keinginan untuk mengubah

orientasi seksualnya sedangkan informan M mulai memutuskan untuk mengubah

orientasi seksualnya saat berkuliah di semester lima. Keinginan untuk mengubah

orientasi seksual homoseksual menjadi heteroseksual pada informan SH dan M

dilandasi dengan motivasi untuk dapat menikah dengan laki-laki dan memiliki

keturunan. Motivasi menurut Chaplin (2002: 310) dalam kamus lengkap psikologi

ialah sebagai suatu intervening variable (ikut campur tangan) yang digunakan

untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu pada individu, membangkitkan,


162

mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku menuju suatu tujuan.

Didukung oleh Hamalik (2001) yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi

motivasi adalah mendorong timbulnya suatu perilaku, sehingga dari pengertian

dan fungsi motivasi tersebut terlihat jelas bahwa motivasi kedua informan untuk

dapat menikah dengan laki-laki dan memiliki keturunan memberikan pengaruh

dalam upaya untuk mengubah orientasi seksual mereka.

Adapun upaya mengubah orientasi seksual yang dilakukan oleh informan

SH dan M yaitu berusaha untuk membuka hati dan menjalin hubungan dengan

laki-laki. Namun bila dilihat lebih dalam lagi, informan SH sendiri selain

berusaha untuk dekat dengan laki-laki, ia juga melakukan active coping dalam

upayanya untuk mengubah orientasi seksualnya. Active coping adalah upaya yang

mencakup respon kognitif, perilaku, atau emosional pada diri individu yang

mampu mengelola stresor tersebut. Strategi coping mengacu pada upaya yang

digunakan individu untuk menyelesaikan, bertahan, atau mengurangi pengalaman

hidup yang penuh tekanan (APA, 2009). Active coping yang dilakukan oleh

informan SH ialah menenangkan dirinya ketika mengalami keraguan,

kebingungan ataupun kesulitan dalam proses mengubah orientasi seksualnya.

Selain informan SH, informan M juga melakukan usaha yang lain yaitu mengubah

penampilan fisiknya dari berpenampilan tomboy menjadi feminim, hal ini

termasuk dalam upaya identity exploration and development yaitu berusaha untuk

mengeksplorasi identitas mereka sehingga dapat mengubah ketertarikan mereka

dari sesama jenis menjadi heteroseksual (APA, 2009). Upaya yang informan M

lakukan juga adalah religious strategies dimana informan M berusaha untuk


163

mendekatkan diri kepada Tuhan dan meyakinkan dirinya untuk mengubah

orientasi seksualnya. Selama informan SH dan M berusaha untuk mengubah

orientasi seksualnya, mereka mengalami perasaan-perasaan yang tidak

mengenakan yaitu merasa ragu, dilema dan kebingungan. Aspek afeksi yang

dirasakan kedua informan tersebut mempengaruhi usaha mereka dalam mengubah

orientasi seksualnya. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rakhmahappin dan Prabowo (2014) tentang kecemasan sosial kaum homoseksual

gay dan lesbian yang menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan kecemasan

sosial yang sangat signifikan yaitu tingkat kecemasan sosial pada kaum lesbian

lebih tinggi daripada kaum gay.

Pada pengolahan data kedua informan, aspek kognitif yang muncul pada

informan SH dan M berbeda. Informan SH memiliki konsep bahwa laki-laki

adalah teman karena sejak kecil informan SH lebih senang untuk berteman

dengan laki-laki, informan SH juga memiliki pandangan bahwa ia tidak ingin

terlalu memaksa dalam mencari pasangan karena belum menemukan laki-laki

yang tepat, dan informan SH juga melakukan defense mechanism rasionalisasi

yaitu walaupun ia sampai saat ini masih menjalin komunikasi dengan mantan

pacar sesama jenisnya menurutnya hal tersebut tidak akan mempengaruhi

usahanya dalam mengubah orientasi seksualnya. Sedangkan aspek kognitif yang

muncul pada informan M yaitu ia mempunyai konsep bahwa menjadi seorang

lesbian adalah suatu aib tersendiri. Hal ini yang menguatkan informan M untuk

mengubah orientasi seksualnya. Dalam SOCE sendiri, cognitive strategies adalah

salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh individu untuk mengubah orientasi
164

seksualnya yaitu mengurangi terjadinya disonansi kognitif. Terlihat bahwa

kognitif informan SH dan M bertolak belakang dalam usaha mengubah orientasi

seksual dimana kognitif informan SH berisiko dalam SOCE sedangkan kognitif

informan M menjadi protektif dalam SOCE.

Dalam upaya mengubah orientasi seksual pada kedua informan baik SH

maupun M mendapatkan social support dari teman-teman yang mengetahui

kondisi mereka dan religious strategies terkait kepercayaan atau Agama dari

kedua informan yang disadari oleh mereka bahwa lesbian merupakan suatu

perilaku berdosa. Pernyataan kedua informan sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Fjelstrom (2013) yang menyatakan bahwa seorang yang

homoseksual menganggap dirinya melakukan perilaku berdosa sehingga mereka

memilih untuk mengubah orientasi seksualnya. Hal ini menjadi faktor protektif

eksternal dalam mengubah orientasi seksual mereka. Akan tetapi selain faktor

protektif, kedua informan juga mendapatkan faktor risiko yaitu kedua informan

masih menjalin komunikasi dengan mantan pacar sesama jenis mereka.

Melalui hasil analisis pada penelitian ini, peneliti menemukan beberapa

perbedaan dan persamaan pada tiap informan dalam usaha mengubah orientasi

sekusalnya, dan perbedaan tersebut menjadi kekhasan untuk setiap informan.

Kedua informan sama-sama mendapatkan pola pengasuhan otoriter saat masa

kecilnya dan sosok yang berperan dominan ialah ibu. Kedua informan kemudian

memiliki ketertarikan kepada sesama jenis dan memutuskan untuk coming out

sebagai lesbian. Kedua informan memiliki keinginan untuk menikah dengan laki-

laki dan mempunyai keturunan sehingga membuat mereka ingin mengubah


165

orientasi seksualnya dari homoseksual menjadi heteroseksual. Kedua informan

dalam upaya mengubah orientasi seksualnya melakukan usaha yaitu mendekatkan

diri pada laki-laki sehingga dalam usahanya tersebut muncul perasaan yang

membuat ragu atau kebingungan sehingga mempengaruhi usahanya tersebut. Hal

ini sejalan dengan kedua informan mendapatkan social support dari teman-teman

yang mengetahui keadaan mereka dan dikuatkan dengan kepercayaan mereka

yang melarang hubungan sesama jenis.

5.2 Refleksi Penelitian


Berawal dari keingintahuan dan ketertarikan peneliti terkait dengan tema

orientasi seksual, peneliti melakukan sebuah preliminary kepada dua orang yang

memiliki orientasi seksual biseksual dan lesbian. Dari hasil preliminary tersebut

akhirnya peneliti mendapatkan insight yang dibantu oleh dosen pembimbing

sehingga peneliti melakukan sebuah penelitian mengenai Sexual Orientation

Change Effort (SOCE) pada wanita lesbian yang ingin mengubah orientasi

seksualnya. Selama proses pembuatan penelitian ini, peneliti mendapat tantangan

tersendiri karena penelitian ini memiliki tema yang sensitif sehingga dalam

pengambilan datanya pun sempat mengalami beberapa kesulitan. Kesulitan

tersebut seperti mencari informan yang bersedia untuk menjadi informan

penelitian, peneliti harus membangun rapport dengan kedua informan dalam

penelitian ini lebih dalam agar dapat membuat informan nyaman dalam menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat privasi atau sensitif, kemudian peneliti juga

masih memiliki banyak kekurangan dalam melakukan proses wawancara karena

keterbatasan pengetahuan peneliti.


166

Peneliti mendapatkan suatu pembelajaran baru yang didapatkan dari

proses pembuatan penelitian ini. Adapun pembelajaran yang peneliti peroleh

diantaranya adalah peneliti lebih mengetahui tentang orientasi seksual khususnya

lesbian, kemudian peneliti belajar untuk lebih menghargai dan membatasi diri

agar tidak melakukan judgement pada kedua informan. Dalam proses

pengambilan data yaitu melalui wawancara pada kedua informan, peneliti

mendapat pembelajaran yaitu berusaha untuk memiliki kepekaan terhadap setiap

perkataan yang disampaikan sehingga data yang terkumpul banyak. Peneliti juga

belajar tentang ketekunan, kedisiplinan dan kesabaran dalam melakukan

penelitian ini agar dapat menyelesaikan penelitian ini dengan hasil yang

maksimal.

5.3 Keterbatasan Penelitian


Selama proses pelaksanaan penelitian, peneliti menyadari bahwa terdapat

beberapa hal yang menjadi keterbatasan penelitian ini, yaitu:

1. Penelitian ini memiliki tema yang cukup sensitif sehingga peneliti

hanya mampu mendapatkan dua informan yang sesuai dengan kriteria

penelitian. Hal ini menjadi suatu keterbatasan peneliti karena data yang

didapatkan tidak banyak karena hanya dari kedua informan penelitian.

2. Peneliti merasa masih kurang mendalam selama proses pengambilan

data. Hal ini disebabkan karena peneliti masih merasa canggung

dengan kedua informan terkhusus ketika harus menanyakan

pertanyaan-pertanyaan yang cukup sensitif dan masih kurang paham


167

bagaimana untuk memotivasi informan dalam menjawab pertanyaan

agar menghasilkan data yang banyak.

3. Tema penelitian ini masih kurang di Indonesia sehingga referensi yang

peneliti gunakan lebih banyak berasal dari luar negeri. Hal ini menjadi

keterbatasan penelitian ini karena ada beberapa hal yang membedakan

kondisi Indonesia dengan negara luar khususnya Eropa.

5.4 Simpulan
Lesbian merupakan bagian dari orientasi seksual homoseksual yaitu

wanita yang tertarik dan terlibat dalam aktivitas seksual dengan sesama wanita.

Pada kalangan lesbian terdapat tiga macam label yang merujuk pada perbedaan

penampilan mereka yaitu lesbian femme, butch, dan andro. Lesbian masih

menjadi fenomena yang kontroversi dan sering dikaitkan dengan suatu yang

negatif sehingga beberapa diantara mereka akhirnya memilih untuk mengubah

orientasi seksualnya. Sexual orientation change effort (SOCE) merupakan suatu

terapi reparatif atau reorientasi yang terdiri dari upaya melalui konseling, praktik

keagamaan, modifikasi perilaku, pembingkaian kognitif, atau cara-cara lain untuk

mengubah orientasi seksual khususnya homoseksual menjadi heteroseksual.

Penelitian ini berfokus pada Dinamika Psikologis pada Wanita Lesbian

yang Ingin Mengubah Orientasi Seksualnya sehingga dapat disimpulkan bahwa

dinamika psikologis yang terjadi pada kedua informan penelitian ini yaitu

dinamika mengubah orientasi seksual yang didalamnya berfokus pada aspek

motivasi, kognitif, afeksi dan perilaku serta faktor protektif maupun risiko dalam

SOCE. Sejalan dengan hal tersebut, terdapat pula beberapa hal yang
168

mempengaruhi dinamika psikologis kedua informan dalam SOCE yaitu kondisi

keluarga, pertemanan, peran Agama dan dinamika pembentukan orientasi seksual

informan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua informan mendapatkan pola

pengasuhan yang bersifat otoriter dimana hal tersebut memberikan pengaruh pada

pembentukan orientasi seksual informan. Kedua informan tidak pernah menjalin

hubungan dengan laki-laki karena memiliki ketertarikan kepada perempuan. Hal

ini membuat kedua informan memutuskan untuk coming out sebagai lesbian. Pada

saat coming out, kedua informan tidak hanya mengakui kepada diri sendiri

melainkan juga melakukan pengakuan kepada teman dekat dan juga telah

beberapa kali menjalin hubungan berpacaran dengan sesama jenis. Dalam

menjalin hubungan dengan sesama jenis, kedua informan memaknai hal tersebut

sebagai suatu proses untuk bersosialisasi dan berinteraksi akan tetapi dalam proses

berpacarannya kedua informan sudah melakukan perilaku seksual sampai pada

berhubungan seksual dengan pasangan sesama jenisnya.

Pada kedua informan terjadi aspek motivasi yaitu ingin menikah dengan

laki-laki dan memiliki keturunan, kemudian terdapat pula social support dan

religious strategies yang merupakan usaha berupa intervensi terapi afirmatif yang

membuat kedua informan memutuskan untuk mengubah orientasi seksualnya

dengan melakukan beberapa usaha diantaranya yaitu mendekatkan diri kepada

laki-laki. Dalam usaha mendekatkan diri kepada laki-laki tersebut, terdapat aspek

afeksi di kedua informan yaitu mengalami perasaan ragu, dilema dan kebingungan

sehingga memberikan pengaruh pada proses mengubah orientasi seksual mereka.


169

5.5 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan

beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Bagi infoman penelitian

Penelitian ini memberikan penjelasan tentang bagaimana dinamika

psikologi pada wanita lesbian yang sedang mengubah orientasi

seksualnya, sehingga harapannya dengan adanya penelitian ini kedua

informan penelitian dapat merefleksikan kondisi psikologis mereka

dalam SOCE.

2. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan membuat masyarakat untuk menjadi lebih

peka dan tidak melakukan judgement terhadap orang-orang yang

sedang berusaha mengubah orientasi seksualnya karena setiap orang

memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi

penelitian selanjutnya terkait dengan SOCE pada wanita lesbian dan

kedepannya penelitian terkait SOCE bisa semakin banyak dengan

mengkaji variabel psikologi yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Association, Task Force on Appropriate Therapeutic
Responses to Sexual Orientation. (2009). Report of the American
Psychological Association Task Force on Appropriate Therapeutic
Responses to Sexual Orientation. Retrieved from
http://www.apa.org/pi/lgbc/publications/therapeutic-resp.html

American Psychological Association. (2008). Answer to your question: for a


better understanding of sexual orientation and homosexuality.
Washingthon, DC: Author

Asteria. (2008). Ancaman Perilaku Homoseksual. Retrieved from,


https://m.inilah.com/news/detail/15225/ancaman-perilaku-homoseksual

Beckstead, A. L., & Morrow, S. L. (2004). Mormon clients’ experiences of


conversion therapy: The need for a new treatment approach. The Counseling
Psychologist, 32, 651-690

Bieschke, K. J., Perez, & DeBord, K. A. (2006). Handbook of counseling and


psychotherapy with lesbian, gay, bisexual, and transgender clients.
Washington, DC: American Psychological Association

Chaplin, J. P. (1999). Kamus lengkap psikologis terjemahan kartini kartono.


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Chaplin, J. P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Alih Bahasa: Kartono, Kartini.


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Dehlin, J. P., Galliher, R. V., Bradshaw, W. S., Hyde, D. C., & Crowell, K. A.
(2015). Sexual orientation change efforts among current or former LDS
church members. Journal of Counseling Psychology, 62(2), 95–105.
http://doi:10.1037/cou0000011

Departemen Kesehatan RI. (1998). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis


Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) edisi ketiga. Jakarta: Dirjen
Pelayanan Medis RI.

170
171

Departemen Pendidikan Indonesia. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

Dewi, I. G. A. P., & Tobing, D. H. (2016). Faktor-faktor yang menghambat


coming out pada lesbi femme di bali. Jurnal Psikologi Udayana, 3(1), 20-34

Erikson, E. H. (1993). Childhood and society. New York: Norton

Fjelstrom, Jo. (2013). Sexual Orientation Change Efforts and the Search for
Authenticity. Journal of Homosexuality, 60(6), 801-827

Galih, B., & Tofler, A. (2012, october 21). Masyarakat indonesia makin tidak
toleran?. Diunduh pada tanggal 23 Maret 2019, dari VivaNews:
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/361146-masyarakatindonesia-makin-
tidak-toleran

Hamalik, O. (2001). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara

Hamdani, D. (2016). Beragam cara “penyembuhan” orientasi seksual. Diunduh


pada tanggal 28 Maret 2019 dari https://www.gatra.com/rubrik/fokus-
berita/185992-beragam-cara-penyembuhan-orientasi-seksual

Hayes, N. (2000). Doing Psychological Research: Gathering and Analysing Data.


Open University Press

Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan (terjemahan). Jakarta: Erlangga

Jones, S. L., & Yarhouse, M. A. (2011). A longitudinal study of attempted


religiously mediated sexual orientation change. Journal of Sex and Martial
Therapy, 37,404–427

Kisriyati. (2013). Makna hubungan seksual dalam pacaran bagi remaja di


kecamatan baureno kabupaten bojonegoro. Jurnal Paradigma, 1(1), 1-7.
172

Lewin, K. (1936). Principles of topological psychology. USA: McGraw-Hill Book


Company, Inc.

Lipka, M. (2013). Half of Americans say sexual orientation cannot be changed.


Retrieved from, http://www.pewresearch.org/fact-tank/2013/08/20/half-of-
americans-say-sexual-orientation-cannot-be-changed/

Mar’at, S. (2005). Desmita Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja


Rosdakarya

Matsumoto, D. (2009). The cambridge dictionary of psychology. New York:


Cambridge University Press

Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya Offset

Mullins, L. J. (2010). Management and organisational behaviour ninth edition.


England: Pearson Education Limited

Nurkholis. (2013). Faktor-faktor yang melatarbelakangi lesbian dan kondisi


psikologisnya. Jurnal Online Psikologi, 1(1), 174-186

Phelan, J. E. (2014). Successful outcomes of Sexual Orientation Change Efforts


(SOCE). Charleston, SC: Practical Application Publications

Poerwandari, K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.


Jakarta: LPSP3 UI

Pontoh, M.M., Opod, H., & Pali, C. (2015). Hubungan pola asuh orang tua
dengan tingkat homoseksual pada komunitas gayx di Manado. Jurnal e-
Biomedik (eBM), 3(3), 900-903

Puti, N. F. (2014). Upaya-upaya pemulihan diri mantan lesbian. EMPATHY, 3(1)


173

Rahardjo, S. & Gudnanto. (2011). Pemahaman Individu Teknik Non Tes. Kudus:
Nora Media Enterprise

Rakhmahappin, Y. & Prabowo, A. (2014). Kecemasan sosial kaum homoseksual


gay dan lesbian. Jurnal ilmiah psikologi terapan, 2(2), 199-213

Rhoads, R. A. (1994). Coming out in college: the struggle for a queer identity
(critical studies in education and culture series). London: Greenwood
Publishing Group, Inc.

Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan and Sadock’s Synopsis of
Psychiatry 11th edition. Philadelphia: LWW

Santero, P.L., Whitehead, N.E., & Ballesteros, D. (2018). Effects of Therapy on


Religious Men Who Have Unwanted Same-Sex Attraction. The Linacre
Quarterly, 1(1), 1-17

Santrock, J. W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta:Erlangga.

Santrock, J. W. (2013). Adolescence fifth edition. New York: McGraw-Hill


Education

Santrock, J.W. (2012). Life span development fourteenth edition. New York:
McGraw-Hill Education

Saptoto, R. (2009). Dinamika psikologis nerimo dalam bekerja : nerimo sebagai


motivator atau demotivator?. Jurnal Psikologi Indonesia, 6(2), 131-137

Sarwono, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: Rasa Grafindo Persada.

Saryono. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Shaffer, David R. 2008. Social and Personality Development , Sixth Edition.


United States of America: Wadsworth Publishing.
174

Shidlo, A., & Schroeder, M. (2002). Changing sexual orientation: A consumer’s


report. Professional Psychology: Research and Practice, 33(3), 249-259

Soetjiningsih. (2004). Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan


Permasalahannya. Jakarta: IBCLC

Spitzer, R. L. (2003). Can Some Gay Men and Lesbians Change Their Sexual
Orientation? 200 Participants Reporting a Change from Homosexual to
Heterosexual Orientation. Archives of Sexual Behavior, 32(5), 403-417

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:


Alfabeta

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :


Alfabeta

Sulaiman, M. R. (2016). Survei ini sebut kelompok LGBT punya lebih banyak
masalah kesehatan. Diunduh pada tanggal 16 Maret 2019 dari
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3245240/survei-ini-sebut-
kelompok-lgbt-punya-lebih-banyak-masalah-kesehatan

Susilandari, E., Darwin, M., & Abdullah, I. (2005). Konsep diri lesbian dan
strategi penyesuaian sosial dalam komunitas islam di yogyakarta. Jurnal
Sosiosains, 18(3), 589-603

Tan, P. (2005). Mengenal Perbedaan Orientasi Remaja Putri. Surabaya: Suara


Ernest

Usman, A. (27 Desember 2017). LGBT: Angka-angka, gerakan, dan proyeksi ke


depan. Diunduh pada tanggal 28 Maret 2019 dari
https://pepnews.com/2017/12/27/lgbt-angka-angka-gerakan-dan-proyeksi-
ke-depan

Walgito, B. (2010). Bimbingan dan Konseling Studi & Karir. Yogjakarta: Andi
175

Willig, C. (2008). Introducing Qualitative Research In Psychology 2nd Edition.


UK: McGraw-Hill Education
176
177
178
179
180
181

Anda mungkin juga menyukai