Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Literatur Seputar Wanita Lesbian dan Sexual


Orientation Change Effort (SOCE)
Homoseksual ialah ketertarikan pada jenis kelamin yang sama.
Laki-laki yang tertarik pada sesama laki-laki disebut dengan istilah
gay, sedangkan perempuan yang tertarik dengan sesama perempuan
disebut sebagai lesbian. Lesbian menurut Matsumoto dalam The
Cambridge Dictionary of Psychology (2009) adalah seorang wanita
yang tertarik atau terlibat dalam aktivitas seksual dengan wanita dan
disebut juga sebagai homoseksual wanita. Lesbian merupakan salah
satu bagian dari homoseksual yang diartikan sebagai gejala dari dua
orang berjenis kelamin sama yang secara seksual tertarik satu
dengan yang lainnya dan keduanya terlibat dalam aktivitas seksual
(Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan beberapa pengertian lesbian
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lesbian ialah bagian dari
homoseksual yaitu perempuan yang tertarik dan terlibat dalam
aktivitas seksual dengan sesama wanita.
Seorang lesbian tentunya juga melakukan hubungan
berpacaran. Padgham & Bliyth dkk (dalam Santrock, 2003)
menjelaskan bahwa tujuan berpacaran adalah salah satunya sebagai
proses bersosialisasi untuk belajar berinteraksi dengan pasangan dan
mengatasi masalah yang muncul. Penelitian tentang Makna
Hubungan Seksual Dalam Pacaran Bagi Remaja Di Kecamatan
Baureno Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa makna
pacaran adalah sebagai naluri kebutuhan seks dimana aktivitas
seksual tersebut dilakukan bukan hanya sebagai simbol untuk
mengenal karakter pasangan tetapi sebagai pelampiasan dari rasa
rindu terhadap seseorang yang dicintainya, bukti kasih sayang dan
pengikat hubungan dalam pacaran (Kisriyati, 2013).
Menurut Tan (2005) di dalam kelompok lesbian terdapat
semacam label yang muncul karena dasar karakter atau penampilan
yang terlihat pada seorang lesbian yaitu Butch, Femme dan Andro.
Istilah lesbian di bagi menjadi beberapa sebagai peran mereka akan
jadi apa antaranya sebagai berikut:
10
11
a. Butch merupakan lesbian yang memiliki penampilan
tomboy, kelaki-lakian dan suka berpenampilan layaknya
laki-laki seperti memakai kemeja laki-laki, celana
panjang serta potongan rambut yang pendek menyerupai
potongan rambut laki-laki.
b. Femme merupakan lesbian dengan penampilan feminim,
lembut, layaknya perempuan normal (heteroseksual)
biasanya, dan berpakaian perempuan.
c. Andro merupakan gabungan penampilan antara butch
dan femme. Tipe ini lebih fleksibel dimana bisa
berpenampilan tomboy tapi juga bisa berpenampilan
feminim serta dapat berdandan dan sebagainya.
Menjadi seorang lesbian tentunya dilatarbelakangi oleh hal-hal
tertentu. Berikut faktor-faktor yang menyebabkan seorang menjadi
lesbian menurut Soetjiningsih (2004) berdasarkan teori biologi dan
psikososial yaitu:
a. Teori Biologi
Ada beberapa penelitian yang ditemukan terkait
dengan orientasi homoseksual merupakan pengaruh
genetik dan hormonal seperti:
1) Faktor genetik
Studi molekuler menunjukkan terdapat penanda DNA
pada ujung lengan panjang kromosom yaitu ada
segmen Xq28 yang mempunyai korelasi positif atas
terjadinya homoseksualitas. Orientasi homoseksual
pada penelitian anak kembar identik, kembar
heterozigot dan saudara kandung menunjukkan bahwa
kejadian homoseksual lebih tinggi sekitar 48-66%
yaitu faktor genetik memegang peranan penting tapi
bukan menjadi satu-satunya faktor yang berperan
terhadap pembentukan seorang lesbian.
2) Faktor hormonal
Hormon androgen prenatal diperlukan untuk
perkembangan genital eksternal laki-laki pada fetus
dengan genetik laki-laki. Jika Congenital Adrenal
Hyperplasi (CAH) yaitu kondisi dimana kongenital
terdapat defek dari suatu enzim sehingga terjadi suatu
12
produksi hormon androgen secara berlebihan terjadi
pada bayi perempuan maka akan mengakibatkan
maskulinitas pada bayi perempuan tersebut.
b. Teori Psikososial
Teori perkembangan mengenai orientasi
homoseksual dihubungkan dengan isu-isu seperti:
1) Pola asuh
Menurut Gunarsa (dalam Soetjiningsih, 2004) orang
tua mempunyai peran yang sangat penting dalam
menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh
bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui,
mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan
tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu
pengalaman masa kecil termasuk pola asuh orang tua
yang diterapkan kepada anak-anak akan berperan
penting dalam mengarahkan dan membentuk perilaku
anak termasuk di dalamnya orientasi seksualnya.
Adanya hubungan yang tidak baik antara anak dengan
kedua orang tua, anak dengan salah satu orang tua,
orang tua tiri atau lingkungan yang lain. Hubungan
yang seperti ini menjadi pemicu menjadi seorang
homoseksual atau lesbi karena adanya kecemasan dan
rasa bersalah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pontoh, Opod & Pali (2015) yang
berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan
Tingkat Homoseksual Pada Komunitas Gay X Di
Manado, menunjukkan hubungan yang positif antara
pola asuh orang tua dengan tingkat homoseksual pada
gay dalam komunitas x di Manado yang artinya
semakin baik pola asuh yang diterapkan, semakin
berkurang perilaku penyimpangan seksual seseorang
dan sebaliknya.
2) Trauma kehidupan
Pengalaman individu pada hubungan heteroseksual
yang tidak mengenakan dapat menjadi faktor menjadi
homoseksual khususnya pada perempuan karena lebih
13
memakai perasaan. Dari pengalaman yang tidak
mengenakan tersebut, dapat menjadi dendam dan
sampai pada tahap tidak bisa mempercayai laki-laki
lagi dan memilih untuk menjadi lesbian.
3) Tanda-tanda psikologis individu
Anak laki-laki yang bermain boneka, memakai baju
ibu, atau tidak menyukai permainan laki-laki disebut
sissy dan jika perempuan tidak menyukai permaian
perempuan dan senang bermain dengan teman laki-
laki disebut tomboy. Tanda-tanda tersebut akan
membentuk homoseksualitas di kemudian hari.
4) Pengalaman seks pertama
Seorang perempuan yang pernah mengalami kejadian
seks yang tidak mengenakan dan berlanjut sampai
pada pernikahan sehingga menolak untuk melanjutkan
hubungan seks dengan laki-laki. Hal tersebut
kemudian dapat menjadi pendorong untuk mengubah
orientasi seksualnya sehingga menjadi lesbian.
Lesbian hingga saat ini masih merupakan suatu fenomena
yang kontroversi. Lesbian dikaitkan dengan suatu hal yang negatif
karena masih dianggap sebagai suatu gangguan kejiwaan sehingga
masyarakat akan melakukan tindakan diskriminatif, penolakan dan
kekerasan. Kelompok lesbian akan cenderung mendapat penolakan
dari keluarga, teman, lingkungan sekitarnya dan masyarakat luas.
Stigma yang ada di masyarakat menjadikan kelompok lesbian lebih
tertutup jika dibandingkan dengan kelompok gay. Menurut
Susilandari (2005) sifat tertutup lesbian bila dibandingkan dengan
gay terletak pada norma budaya bahwa laki-laki lebih rasional,
sedangkan perempuan lebih mengutamakan perasaan. Perempuan
lebih rentan terhadap gunjingan orang dibandingkan laki-laki
sehingga banyak lesbian yang memilih untuk tertutup dari dunia luar
dan tidak sedikit yang mengalami konflik karena tidak bisa
menerima dirinya sebagai lesbian dan memilih untuk mengubah
orientasi seksualnya.
Orientasi seksual mengacu pada penilaian dan internalisasi
seksual dan refleksi eksplorasi diri, kesadaran diri, pengakuan diri,
keanggotaan kelompok dan afiliasi, budaya, dan stigma diri. Menurut
14
PPDGJ III (1998) pada kode F66 yaitu Gangguan Psikologis dan
Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan Orientasi
Seksual menunjukkan bahwa orientasi seksual bukan suatu gangguan
kejiwaan. Artinya, homoseksual pun bukan merupakan suatu
gangguan kejiwaan. Sexual orientation change effort (SOCE) atau
yang disebut juga sebagai terapi reparatif atau reorientasi, yaitu
terdiri dari upaya melalui konseling, praktik keagamaan, modifikasi
perilaku, pembingkaian kognitif, atau cara-cara lain untuk mengubah
orientasi seksual dari homoseksual menjadi heteroseksual. Dasar dari
mengubah orientasi seksual ialah asumsi bahwa orientasi
homoseksual tidak valid dan terdiri dari perilaku berdosa yang
merupakan hasil dari pengasuhan yang disfungsional, atau trauma
yang dialami manusia (American Psychological Association, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Beckstead dan Morrow (2004)
dan Shidlo dan Schroeder (2002) menyatakan bahwa SOCE
memberikan dampak yang positif dan negatif. Dampak positif yang
diberikan yaitu (a) tempat untuk membahas konflik mereka; (b)
kerangka kerja kognitif yang memungkinkan mereka untuk
mengevaluasi kembali identitas orientasi seksual mereka, daya tarik,
dan diri dengan cara mengurangi rasa malu dan kesulitan serta
meningkatkan harga diri; (c) dukungan sosial dan panutan dan (d)
strategi untuk hidup secara konsisten dengan agama dan komunitas
agama mereka. Sedangkan dampak negatifnya seperti (a) penurunan
harga diri dan keaslian orang lain; (b) peningkatan persepsi
kebencian diri dan negatif terhadap homoseksualitas; (c)
kebingungan, depresi, rasa bersalah, ketidakberdayaan,
keputusasaan, rasa malu, penarikan sosial, dan bunuh diri; (d)
kemarahan dan rasa pengkhianatan oleh penyedia SOCE; (e)
peningkatan penyalahgunaan zat dan perilaku seksual berisiko tinggi;
(f) perasaan tidak manusiawi dan tidak benar untuk diri sendiri; (g)
kehilangan iman; dan (h) rasa membuang waktu dan sumber daya.
Menurut APA (2009) dalam buku Report of the Task Force on
AppropriateTherapeutic Responses to Sexual Orientation
menjelaskan bahwa terdapat beberapa intervensi terapi afirmatif
yang dapat dilakukan dalam upaya mengubah orientasi seksual,
sebagai berikut :
15
a) Acceptance and Support
Pendekatan ini dilakukan dengan
menggabungkan tiga hal yaitu empati, hal-hal positif
dan kejujuran. Individu yang ingin mengubah
orientasi seksualnya dengan adanya peran budaya
serta keanekaragaman diri harus dapat menyadari
pribadi dan sosialnya secara utuh serta unik,
mengeksplorasi dan melawan dampak berbahaya
dari stigma dan stereotip pada diri individu
(termasuk prasangka yang berkaitan dengan usia,
jenis kelamin, identitas gender, ras, etnis, budaya,
asal kebangsaan, agama, orientasi seksual,
kecacatan, bahasa, dan status sosial ekonomi), dan
mempertahankan pandangan luas tentang pilihan
hidup yang dapat diterima oleh semua orang.
b) A Comprehensive Assessment
Asesmen yang komprehensif adalah seorang
terapis yang akan membantu individu homoseksual
untuk mengubah orientasi seksualnya dengan
melakukan SOCE dalam melakukan asesmen harus
secara jelas, lengkap dan menyeluruh.
c) Active Coping
Active coping adalah upaya yang mencakup
respon kognitif, perilaku, atau emosional pada diri
individu yang mampu mengelola stresor tersebut.
Strategi coping mengacu pada upaya yang
digunakan individu untuk menyelesaikan, bertahan,
atau mengurangi pengalaman hidup yang penuh
tekanan.
d) Cognitive Strategies
Menurut Beckstead & Israel (dalam
Bieschke, Perez & DeBord, 2006) Strategi kognitif
dapat mengurangi pemikiran, mengurangi stigma
diri, dan mengubah penilaian diri yang negatif.
Strategi kognitif membantu mengurangi disonansi
kognitif.
16
e) Emotion-Focused Strategies
Menurut Yarhouse (dalam APA, 2009)
pengalaman ketidakselarasan orientasi seksual
seseorang dengan nilai-nilai yang sangat dirasakan
seseorang, situasi kehidupan, dan tujuan hidup dapat
mengganggu inti rasa makna, tujuan, kemanjuran,
dan harga diri seseorang dan mengakibatkan konflik
emosional, kehilangan, dan penderitaan. Dengan
demikian, strategi yang berfokus pada emosi yang
memfasilitasi kerugian berkabung telah dilaporkan
bermanfaat bagi beberapa orang. Hasil terapi yang
telah dilaporkan termasuk datang untuk berdamai
dengan kekecewaan dan kehilangan dan dengan
disonansi antara kebutuhan psikologis dan
emosional dan diri yang mungkin dan tidak
mungkin, memperjelas dan memprioritaskan nilai-
nilai dan kebutuhan, belajar untuk mentolerir dan
beradaptasi dengan ambiguitas, konflik,
ketidakpastian, dan multiplisitas dengan sikap
positif.
f) Religious Strategies
Meskipun banyak individu yang ingin
menjalani kehidupan mereka secara konsisten
dengan nilai-nilai mereka, terutama nilai-nilai
agama, namun stigma dan rasa malu tidak mungkin
menghasilkan kesejahteraan psikologis. Intervensi
psikoterapi dapat memfokuskan klien pada
penanganan agama yang positif. Menghubungkan
klien dengan nilai-nilai inti dan menyeluruh seperti
amal, harapan, pengampunan, rasa terima kasih,
kebaikan, dan kasih sayang dapat mengalihkan fokus
dari penolakan agama terhadap homoseksualitas ke
unsur-unsur agama yang lebih menerima, yang dapat
memberikan lebih banyak penerimaan diri,
pengarahan, dan kedamaian.
17

g) Social Support
Berjuang dengan identitas yang tanpa
dukungan sosial yang memadai berpotensi mengikis
kesejahteraan psikologis. Meningkatkan dukungan
sosial melalui psikoterapi, kelompok swadaya, atau
komunitas penyambut (komunitas etnis, kelompok
sosial, denominasi agama) dapat meringankan
tekanan. Sebagai contoh, peserta melaporkan
manfaat dari kelompok dukungan timbal balik, baik
kelompok seksual-minoritas dan mantan gay.
h) Identity Exploration and Development
Masalah identitas, terutama kemampuan
untuk mengeksplorasi dan mengintegrasikan aspek
diri, adalah penting untuk penerapan intervensi
terapeutik afirmatif yang tepat untuk orang dewasa
yang memiliki keinginan untuk mengubah orientasi
seksual mereka. Eksplorasi identitas orientasi
seksual dapat bermanfaat bagi mereka yang akhirnya
menerima atau menolak ketertarikan seksual sesama
jenis dan ingin mengubah orientasi seksualnya
menjadi heteroseksual.
Berdasarkan kajian diatas dapat dirangkum bahwa lesbian
adalah bagian dari homoseksual yaitu perempuan yang tertarik dan
terlibat dalam aktivitas seksual dengan sesama wanita. Pada lesbian
terdapat semacam label yang muncul karena dasar karakter atau
penampilan yang terlihat pada seorang lesbian yaitu Butch, Femme
dan Andro. Faktor-faktor yang menyebabkan seorang menjadi
lesbian terdiri dari faktor biologi (genetik dan hormonal) dan faktor
psikososial (pola asuh orang tua, trauma kehidupan, tanda-tanda
psikologis individu dan pengalaman seks pertama). Kelompok
lesbian akan cenderung mendapat penolakan dari keluarga, teman,
lingkungan sekitarnya dan masyarakat luas sehingga membuat
mereka cenderung tertutup dibandingkan dengan gay dan tidak
jarang memilih untuk mengubah orientasi seksualnya. Upaya
mengubah orientasi seksual seseorang dapat dilakukan melalui
beberapa intervensi terapi afirmatif yang terdiri dari acceptance and
18
support, a comprehensive assessment, active coping, cognitive
strategies, emotion-focused strategies, religious strategies, social
support dan indetity exploration and development.

2.2 Kajian Literatur Seputar Dinamika Psikologis


Arti kata dinamika menurut kamus besar Bahasa Indonesia
yaitu sebagai gerak atau kekuatan secara terus menerus yang dimiliki
seseorang dalam kumpulan masyarakat yang dapat menimbulkan
perubahan dalam tata hidup masyarakat. Menurut Hurlock (2012)
dinamika merupakan suatu tenaga kekuatan, selalu bergerak,
berkembang dan dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan yang
terjadi dan merupakan suatu faktor yang berkaitan dengan
pematangan dan faktor belajar, pematangan sendiri ialah kemampuan
untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti
mengenai suatu objek kejadian. Menurut kamus lengkap psikologi
(Chaplin, 1999) dinamika merupakan tenaga atau kekuatan yang
berlangsung di tengah medan psikologis. Medan psikologis menurut
Lewin (2008) menyatakan bahwa manusia sebagai pribadi yang
berada dalam lingkungan psikologis dan ruang hidup yang disebut
topologi dimana berfokus pada hubungan antara segala sesuatu
dalam jiwa manusia, hubungan antara manusia dan hubungan antara
manusia dengan lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa dinamika
merupakan suatu tenaga kekuatan yang selalu berkembang dan
berubah dan bagi orang yang mengalami dinamika maka harus siap
dengan keadaan apapun yang akan terjadi.
Psikologi menurut arti kata berasal dari kata “psyche” yang
berarti jiwa atau nafas hidup, dan kata “logos” yang berarti ilmu dan
jika digabungkan berarti ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari
tentang jiwa. Menurut The Cambridge Dictionary of Psychology
(Matsumoto, 2009) psikologi adalah studi tentang pikiran, termasuk
kesadaran, persepsi, motivasi, perilaku, sistem saraf biologis dalam
hubungannya dengan pikiran, metode ilmiah mempelajari pikiran,
kognisi, interaksi sosial dalam kaitannya dengan pikiran, perbedaan
individu, dan aplikasi dari pendekatan ini untuk masalah praktis
dalam organisasi dan perdagangan dan terutama untuk pengurangan
penderitaan. Secara umum psikologi merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari manusia melalui pikiran, perasaan dan perilaku
19
yang timbul serta hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya
yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan.
Dinamika psikologis menurut beberapa ahli merupakan
keterkaitan antara berbagai aspek psikologis dalam menjelaskan
fenomena tertentu. Walgito (2010) menyatakan bahwa dinamika
psikologis ialah tenaga kekuatan yang terjadi pada diri manusia yang
mempengaruhi mental atau psikisnya untuk mengalami
perkembangan dan perubahan dalam tingkah lakunya sehari-hari
baik dalam pikiran, perasaan dan perbuatannya. Menurut Saptoto
(2009) definisi dinamika psikologis yaitu sebagai keterkaitan antara
berbagai aspek psikologis yang ada dalam diri seseorang dengan
faktor-faktor dari luar yang mempengaruhinya. Menurut Kamus
Lengkap Psikologi (Chaplin, 1999) dinamika psikologis adalah
sistem psikologi seperti teori medan atau psikoanalisa, yang
menekankan pada penelitian terhadap relasi-relasi sebab-akibat
dalam motif-motif dan dorongan-dorongan.
Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati, melalui sikap
dan tindakan, namun demikian tidak berarti bahwa bentuk perilaku
itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya saja, perilaku
dapat pula bersifat potensial, yakni dalam bentuk pengetahuan,
motivasi dan persepsi. Walgito (2010) juga menjelaskan bahwa ada
beberapa komponen dalam diri manusia yang mempengaruhi dan
membentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan dinamika psikologis, yaitu sebagai berikut:
a. Komponen kognitif atau perseptual merupakan komponen
yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan dan
keyakinan, dimana berhubungan dengan seseorang yang
mempersepsi objek perilaku atau kejadian yang sedang
dialami.
b. Komponen afeksi atau emosional yaitu berhubungan
dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek
perilaku.
c. Komponen konatif atau psikomotor ialah komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap
objek termasuk besar kecilnya kecenderungan bertindak
terhadap lingkungan sekitar.
20
Ketiga komponen diatas yaitu kognitif, afeksi dan konatif
dapat berlangsung secara harmonis dan lancar. Ketika ketiga hal
tersebut tidak berjalan lancar maka akan muncul konflik. Mullins
(2010) mendefenisikan bahwa konflik merupakan kondisi terjadinya
ketidaksesuaian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan di
pikiran, perasaan serta perilaku, baik yang ada dalam diri individu,
kelompok maupun organisasi.
Berdasarkan kajian diatas maka dapat dirangkum bahwa
dinamika psikologis merupakan suatu tenaga kekuatan yang selalu
berkembang dan berubah dan bagi orang yang mengalami dinamika
maka harus siap dengan keadaan apapun yang akan terjadi. Dinamika
psikologis terdiri dari tiga komponen yaitu afeksi, kognitif dan
konatif. Jika terjadi ketidakseimbangan antara ketiga komponen
tersebut maka akan terjadi konflik psikologis pada diri individu.

2.3 Dinamika Psikologis Pada Wanita Lesbian Yang Ingin


Mengubah Orientasi Seksualnya
Menurut Santrock (2006) pembentukan orientasi seksual
dimulai ketika individu memasuki masa remaja. Remaja menurut
teori perkembangan Erikson berada pada tahap identity vs role
confusion. Selama tahap ini remaja akan memeriksa kembali
identitasnya dan mencoba mencari tahu siapa dia sebenarnya. Selama
tahap ini, mereka mengeksplorasi kemungkinan dan mulai
membentuk identitas mereka berdasarkan hasil eksplorasi mereka
termasuk orientasi seksual. Proses pembentukan orientasi seksual
tersebut terus berlanjut ke tahap perkembangan dewasa awal dengan
rentan usia 18 sampai 25 tahun (Santrock, 2012). Menruut teori
perkembangan psikososial berada pada tahap intimacy vs isolation.
Konflik utama di tahap ini berpusat pada pembentukan hubungan
yang dekat dan penuh kasih dengan orang lain. Individu mulai
berbagi diri lebih akrab dengan orang lain dan mengeksplorasi
hubungan yang mengarah ke komitmen jangka panjang dengan
seseorang selain anggota keluarga. Jika individu mengalami
kebingungan dalam menentukan identitasnya termasuk identitas
seksualnya, maka tidak jarang individu akan tumbuh menjadi
seorang homoseksual dan hal tersebut juga akan mempengaruhi
tahap perkembangan selanjutnya yang akan mengikuti perilaku
21
homoseksual tersebut. Hal ini dibuktikan dengan data Kementrian
Kesehatan Indonesia pada tahun 2012 terdapat 1.095.970 pria yang
hidup dengan perilaku seks sesama pria atau gay. Perkiraan lain
menyebutkan bahwa jumlah homoseksual di Indonesia setidaknya
tiga persen dari total populasi Indonesia atau sekitar tujuh juta orang
(Usman, 2017).
Homoseksual merupakan istilah yang menunjukkan
ketertarikan pada jenis kelamin yang sama. Ada dua istilah dalam
homoseksual yaitu laki-laki disebut gay dan perempuan disebut
lesbian. Lesbian menurut The Cambridge Dictionary of Psychology
(Matsumoto, 2009) adalah seorang wanita yang tertarik atau terlibat
dalam aktivitas seksual dengan wanita dan disebut juga sebagai
homoseksual wanita. Lesbian merupakan salah satu bagian dari
homoseksual yang diartikan sebagai gejala dari dua orang berjenis
kelamin sama yang secara seksual tertarik satu dengan yang
lainnya dan keduanya terlibat dalam aktivitas seksual (Soetjiningsih,
2004). Berdasarkan beberapa pengertian lesbian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa lesbian ialah bagian dari homoseksual yaitu
perempuan yang tertarik dan terlibat dalam aktivitas seksual dengan
sesama wanita.
Lesbian akan cenderung mendapat penolakan dari keluarga,
teman, lingkungan sekitarnya dan masyarakat luas. Stigma yang ada
di masyarakat menjadikan kelompok lesbian lebih tertutup jika
dibandingkan dengan kelompok gay. Perempuan lebih rentan
terhadap gunjingan orang dibandingkan laki-laki sehingga banyak
lesbian yang memilih untuk tertutup dari dunia luar dan tidak sedikit
yang mengalami konflik karena tidak bisa menerima dirinya sebagai
lesbian dan beberapa diantara mereka ada yang memilih untuk
mengubah orientasi seksualnya.
Mengubah orientasi seksual disebut dengan istilah Sexual
orientation change effort (SOCE) atau yang disebut juga sebagai
terapi reparatif atau reorientasi, yaitu terdiri dari upaya melalui
konseling, praktik keagamaan, modifikasi perilaku, pembingkaian
kognitif, dan cara-cara lain untuk mengubah orientasi seksual dari
homoseksual menjadi heteroseksual. Dasar dari mengubah orientasi
seksual ialah asumsi bahwa orientasi homoseksual tidak valid dan
terdiri dari perilaku berdosa yang merupakan hasil dari pengasuhan
22
yang disfungsional, atau trauma yang dialami manusia (American
Psychological Association, 2009). Pada tahun 2002, Shidlo dan
Schroeder melakukan penelitian kepada 202 partisipan tentang
efektivitas mengubah orientasi seksual dan menunjukkan bahwa 25
partisipan setelah mengikuti terapi SOCE mencoba untuk bunuh diri
dan sisanya mengalami kerusakan seperti tekanan dan depresi
(Shildo & Schroeder, 2002).
Di Indonesia sendiri, penelitian terkait upaya mengubah
orientasi seksual khususnya SOCE belum ada, namun terdapat
beberapa cara yang juga dilakukan dengan hasil serupa dengan
SOCE. Menurut Hamdani (2016) cara untuk mengubah orientasi
seksual individu yang homoseksual yaitu dimulai dengan sesi
konseling atau bisa disebut juga dengan tahap asesmen dimana
individu homoseksual akan menceritakan segala hal terkait dengan
permasalahannya atau apa yang dialami oleh mereka sebagai
homoseksual. Selanjutnya dapat dilakukan pendekatan dengan
keagamaan, mencari dukungan sosial, dan berkomitmen dengan diri
sendiri untuk mengubah orientasi seksualnya. Di Amerika sendiri
SOCE merupakan suatu intervensi atau terapi afirmatif dimana yang
terdiri dari acceptance and support, a comprehensive assessment,
active coping, , cognitive strategies, emotion-focused strategies,
religious strategies, social dan indetity exploration and development
(APA, 2009). Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa upaya
mengubah orientasi seksual di Indonesia dengan Amerika memiliki
beberapa kesamaan dan perbedaan. Perbedaannya yaitu adanya
active coping, emotion-focused strategies, identity exploration and
development, cognitive strategies dan acceptance and support pada
upaya mengubah orientasi seksual di Amerika sedangkan di
Indonesia belum ada.
Walgito (2010) juga menjelaskan bahwa ada beberapa
komponen dalam diri manusia yang mempengaruhi dan membentuk
perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
dinamika psikologis. Beberapa kelompok orang yang mengubah
orientasi seksualnya ditunjukkan dengan perilaku seperti menarik
diri, kemudian timbul perasaan cemas dan sedih bahkan sampai pada
depresi, dan pikiran-pikiran yang tidak rasional seperti keinginan
untuk mengakhiri hidup. Perilaku, perasaan dan pikiran yang
23
ditunjukkan dalam ilmu psikologi disebut dengan dinamika
psikologis.
Dinamika psikologis menurut beberap ahli merupakan
keterkaitan antara berbagai aspek psikologis dalam menjelaskan
fenomena tertentu. Walgito (2010) menyatakan bahwa dinamika
psikologis ialah tenaga kekuatan yang terjadi pada diri manusia yang
mempengaruhi mental atau psikisnya untuk mengalami
perkembangan dan perubahan dalam tingkah lakunya sehari-hari
baik dalam pikiran, perasaan dan perbuatannya. Menurut Saptoto
(2009) definisi dinamika psikologis yaitu sebagai keterkaitan antara
berbagai aspek psikologis yang ada dalam diri seseorang dengan
faktor-faktor dari luar yang mempengaruhinya.
Santero, Whitehead & Ballesteros (2018) dalam penelitian
berjudul Effects of Therapy on Religious Men Who Have Unwanted
Same-Sex Attraction menunjukkan bahwa dari 125 partisipan laki-
laki dengan keyakinan agama telah menyelesaikan atau sedang
dalam proses SOCE. Terdapat 97% dari sampel telah menjalani
terapi profesional, 86% berpartisipasi dalam jenis SOCE yang
kurang formal, 68% melaporkan sendiri beberapa penurunan dalam
ketertarikan dan perilaku sesama jenis dan juga peningkatan
ketertarikan dan perilaku lawan jenis. 22 laki-laki (18% dari sampel)
merasakan ketertarikan heteroseksual untuk pertama kalinya dan
14% mengatakan benar-benar telah berubah menjadi tertarik dengan
lawan jenis. Spitzer (2003) adalah seorang psikiater yang berperan
penting dalam mendorong keputusan kontroversial American
Psychiatric untuk menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan
mental. Spitzer melakukan wawancara terstruktur dengan 200 orang
(143 laki-laki, 57 perempuan) dimana menunjukkan bahwa beberapa
perubahan minimal dari orientasi homoseksual menjadi
heteroseksual yang berlangsung setidaknya 5 tahun.
Berdasarkan penjelasan yang peneliti telah jabarkan serta
pemaparan beberapa penelitian yang telah ada diketahui bahwa
upaya mengubah orientasi seksual pada kaum LGBT telah ada.
Namun di Indonesia sendiri penelitian terkait upaya mengubah
orientasi seksual ini masih sedikit, sehingga peneliti ingin melakukan
penelitian dengan tema ini tetapi dengan kekhasan yang sesuai
dengan informan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
24
mengetahui bagaimana dinamika psikologis pada wanita lesbian
yang ingin mengubah orientasi seksualnya.

Anda mungkin juga menyukai