Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada zaman dahulu orang tidak begitu membedakan antara deformitas fisik bawaan seperti kerdil dan lain-
lain dengan retardasi mental. Penderita epilepsi, psikosis, tuna rungu-wicara sering dicampuradukkan dengan
mereka yang terganggu intelektualnya. Pada kenyataannya memang keadaan-keadaan tersebut sering menyertai
penderita retardasi mental, sehingga menyulitkan untuk membuat diagnosis klinis. Pada masa kerajaan Yunani
di bawah hukum Lycurgus anak dengan retardasi mental mengalami perlakuan yang sangat mengenaskan, yang
dibolehkan untuk dimusnahkan, atau dibuang di sungai Eurotes. Di Romawi kuno ada hukum yang
membenarkan pembunuhan pada anak-anak yang cacat atau yang lemah, walaupun kadang-kadang anak cacat
tersebut masih dipertahankan hidup bila masih mampu menghibur para pembesar. Prevalens retardasi mental
pada anak-anak dibawah umur 18 tahun di negara maju diperkirakan mencapai 0,5-2,5% , di negara
berkembang berkisar 4,6%. Insidens retardasi mental di negara maju berkisar 3-4 kasus baru per 1000 anak
dalam 20 tahun terakhir.
Angka kejadian anak retardasi mental berkisar 19 per 1000 kelahiran hidup. Banyak penelitian melaporkan
angka kejadian retardasi mental lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Anak usia dini
adalah sosok individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Perkembangan anak merupakan proses
perubahan perilaku dari tidak matang menjadi matang, dari sederhana menjadi kompleks, suatu proses evolusi
manusia dari ketergantungan menjadi makhluk dewasa yang mandiri. Perkembangan anak adalah suatu proses
perubahan dimana anak belajar menguasai tingkat yang lebih tinggi dari aspek-aspek: gerakan, berpikir,
perasaan, dan interaksi baik dengan sesama maupun dengan benda-benda dalam lingkungan hidupnya.
Pekembangan anak perlu didukung oleh keluarga dan lingkungannya, supaya tumbuh kembang anak
berjalan secara optimal dan kelak menjadi manusia dewasa berkualitas dan manjadi insan berguna baik bagi
dirinya maupun keluarga, bangsa, dan negara. Namun dalam kenyataanya tidak sedikit anak-anak yang
mengalami gangguan/ permasalahan baik fisik maupun psikisnya, dimana kita sering menyebutnya sebagai
anak yang berkebutuhan khusus. Sebagai contoh yaitu anak yang menyandang retardasi mental, yang dalam
bahasa sehari-hari disebut sebaai anak yang bodoh/ pandir. Gangguan ini bila mungkin harus dicegah. Diantara
upaya yang dapat dilakukan ialah meningkatkan kesehatan ibu hamil, melalui gizi yang sehat, menghindari
penyakit, menghindari obat-obat atau kegiatan-kegiatan yang berdampak buruk bagi janin.
Selain itu juga harus diupayakan agar persalinan berlangsung dengan baik, didukung dengan tenaga yang
berkompeten. Kesehatan bayi perlu di jaga, dilindungi dari penyakit, cidera otak serta mal nutrisi. Adanya
retardasi mental dapat dideteksi sejak usia dini, melalui penilaian tingkat atau derap perkembangan kecakapan

1
mental bayi atau anak. Pengenalan ini berguna agar kita dapat mendeteksi penyebabnya serta melakukan
penanganan yang sesuai dan memberikan stimulasi yang dini.
Deteksi dini anak berkebutuhan khusus ini perlu dilakukan oleh orang tua, guru, maupun orang-orang
disekitar anak tersebut. Oleh karena itu orang tua maupun guru harus memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan anak serta menyadari adanya kelainan-kelainan yang timbul pada anak. Selain mendeteksi dini,
terutama untuk tenaga pendidik sebaiknya dapat mendiagnosa kelainan pada anak berkebutuhan khusus
sehingga mengetahui penyebab-penyebab terjadinya kelainan dan kemudian dapat melakukan treatmen/
intervensi yang tepat. Dalam penanganan ini guru dapat bekerja sama dengan pihak yang berkopeten misalnya
dokter, psikolog, maupun terapis

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa yang dimaksud dengan defenisi Retradasi Mental?
b) Seperti apa Klasifikasi retardasi mental?
c) Seperti apa Etiologi retardasi mental?
d) Apa Manajemen Terapi retardasi mental?
e) Apa saja terapi Retardasi Mental?
f) Seperti apa Treatmen yang dapat diberikan kepada anak retardasi mental?
g) Apa penyebab retardasi mental?
h) Seperti apa penanganan Retardasi Mental?

1.3 Tujuan Penulisan


a) Mahasiswa mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan defenisi Retradasi Mental
b) Mahasiswa dapat menegetahui seperti apa Klasifikasi retardasi mental
c) Mahasiswa harus mehgetahui seperti apa Etiologi retardasi mental
d) Mahasiswa dapat mengetahui seperti apa manajemen Terapi retardasi mental
e) Mahasiswa dapat mengetahui apa saja terapi Retardasi Mental
f) Mahasiswa dapat mengetahui apa treatmen yang dapat diberikan kepada anak retardasi mental
g) Mahasiswa dapat menegtahui Apa penyebab retardasi mental
h) Mahasiswa harus bisa mengentahuise seperti apa bentuk penanganan Retardasi Mental

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Retradasi Mental


Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermakna dan secara
langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan.Retardasi
mental merupakan suatu kelainan mental seumur hidup, diperkirakan lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia
menderita kelainan ini. Oleh karena itu retardasi mentalmerupakan masalah di bidang kesehatan masyarakat,
kesejahteraan sosial dan pendidikan baik pada anak yang mengalami retardasi mental tersebut maupun keluarga
dan masyarakat. Retardasi mental merupakan suatu keadaan penyimpangan tumbuh kembang seorang anak
sedangkan peristiwa tumbuh kembang itu sendiri merupakan proses utama, hakiki, dan khas pada anak serta
merupakan sesuatu yang terpenting pada anak tersebut. Terjadinya retardasi mental dapat disebabkan adanya
gangguan pada fase pranatal, perinatal maupun postnatal. Mengingat beratnya beban keluarga maupun
masyarakat yang harus ditanggung dalam penatalaksanaan retardasi mental, maka pencegahan yang efektif
merupakan pilihan terbaik.

2.2 Klasifikasi retardasi mental yaitu:


retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1) Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69
Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik (educable). Anak mengalami
gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk
wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen makan, mencuci,
memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih
lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada akademik sekolah, dan banyak yang
bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan
akademik, mereka tidak ada masalah. Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat
bahwa mereka mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan atau mengasuh anak,
atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya

2) Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49


Retardasi mental sedang, retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih
(trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan
bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan ketrampilan

3
motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang
hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih bisa belajar dasar-dasar membaca, menulis dan
berhitung.

3) Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34


Retardasi mental berat kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental sedang
dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama adalah pada
retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.

4) Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20


Retardasi mental sangat berat retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas
kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam
hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.

2.3 Etiologi retardasi mental


Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang anak.Seperti diketahui
faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya adalah 3,4,5 faktor
genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang
dimaksud dengan lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu) dimana anak
tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh
kembang. Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 3
golongan, yaitu: Dapat terjadi mulai dari pranatal, perinatal dan postnatal beberapa penulis secara terpisah
menyebutkan lebih dari 1000 macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat
dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial.
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas uji intelegensia saja, melainkan juga dari riwayat
penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang.
Tata laksana retardasi mental mencakup tatalaksana medis, penempatan di panti khusus, psikoterapi, konseling,
dan pendidikan khusus. Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi mental), atau
sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental).

4
2.4 Manajemen Terapi

1. Dokter anak memeriksa fisik anak secara lengkap dan mengobati kelainan/penyakit yang mungkin ada.
Adapun pencegahan yang mungkin dilakukan yaitu :

a) Preventif primer :

 Memberikan perlindungan spesifik terhadap penyakit tertentu (imunisasi)

 Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup sehat.

b) Preventif Sekunder :

 Mendeteksi penyakit sedini mungkin.

 Diagnosis dini PKU (fenilketonuria) dan hipotiroid ditanggulangi (untuk mencegah kerusakan lebih lanjut).

 oreksi defek sensoris kemudian dilakukan stimulasi dini (stimulasi sensoris, speech therapist)

2. Psikolog untuk menilai perkembangan mental terutama kognitif anak.


3. Pekerja sosial untuk menilai situasi keluarga bila dianggap perlu.

Setelah dilakukan penilaian, dirancang strategi terapi, mungkin perlu dilibatkan lebih banyak ahli. Misalnya
ahli saraf anak bila menderita epilepsy, palsi serebral dll. psikiater bila anak tersebut menderita kelainan tingkah
laku ; fisioterapis untuk merangsang perkembangan motorik dan sensorik ; ahli terapi bicara serta guru
pendidikan luar biasa.

2.5 Terapi Retardasi Mental

Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai berikut :
1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori)
Guru atau orang tua tidak secara langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba memberi peluang
pada anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa. Tujuan ini bertujuan untuk
memberikan edukasi secara dini kepada pasien.

2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untuk memilih kebutuhan yang sesuai dengan minatnya)
Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian dari kurikulum yang diberikan.

5
3. Terapi perilaku
Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak tersebut, misalnya tidak mau bermain games,
cara pandang terhadap sesuatu dan lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang cenderung
agresif dan menciptakan self injury.

4. Terapi bicara
Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena pada dasarnya, anak retardasi mental akan
terlihat dalam mengucapkan sebuah kata-kata

5. Terapi sosialisasi
Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, yaitu tetap menjalin komunikasi dengan orang lain
atau individu di sekitarnya dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan
menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh lingkungan, dan motivasi pada diri pasien agar tetap
survive dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

6. Terapi bermain
Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa hasil karya, atau sebuah permainan. Terapi ini
bertujuan untuk dapat mengasah kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang proses
berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien diajak untuk dapat merangkai sebuah
konstruksi bangunan, kemudian dapat meningkatkan imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi
tentang sesuatu hal yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara meningkatkan
dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk yang berbeda-beda sehingga pasien
mempunyai pengetahuan, pemahaman dan keanekaragaman tentang macam-macam jenis permainan atau hasil
karya yang dia temui.

7. Terapi menulis
Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk
menulis di selembar kertas berupa serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk melemaskan
otot atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh pasien tidak kaku dan lebih fleksibel dalam
menanggapi respon atau stimulus yang berada di sampingnya.

8. Terapi okupasi
Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf anak tersebut seperti pada bagian pergelangan
tangan, kaki dan daerah tubuh lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada masa

6
muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan dapat menyesuaikan dengan bentuk perlakuan
yang diberikan.

9. Terapi musik
Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat mendengarkan dan memaknai sebuah alunan
musik. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di
dengarkannya.

2.6 Treatmen yang dapat diberikan kepada anak retardasi mental adalah:
a. Occuppasional Therapy (okupasi terapi)
American Occupational Therapy Assosiation (Muryanto: 1989 dalam Sujarwanto: 2005) mengemukakan
Terapi Okupasi adalah suatu perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk menunjukkan jalan dari respon
penderita dalam bentuk kegiatan yang sudah diseleksi yang digunakan untuk membantu dan memelihara
kesehatan, menanggulangi kecacatan, menganalisa tingkah laku, memberikan latihan dan melatih pasien
menderita kelainan fisik, mental serta fungsi sosialnya. Sesuai dengan problema yang dialami anak retardasi
mental yaitu aspek sensori motorik, fisik, kognitif, intrapersonal-interpersonal, parawatan diri/ Activity Daily
Living (ADL), produktivitas, maka kegiatan terapi okupasi diarahkan untuk membantu mengatasi permasalahan
tersebut:
1) Sensori motorik
Terapi okupasi bertujuan untuk membantu mengembangkan aspek sensori motor. Kegiatan yang dapat
dilakukan misalnya: Meraba benda keras dan lunak
Tujuan umum : mengembangkan kemampuan sensori perabaan agar dapat berkembang seoptimal mungkin.
Tujuan khusus : melatih anak membedakan benda keras, lunak.
Kegiatan : membedakan benda keras dan lunak
Waktu : 1 x pertemuan 30 menit
Pelaksanaan : anak disuruh meraba benda keras maupun lunak/ halus sesuai bimbingan guru.
Evaluasi : evaluasi dilakukan melalui pengamatan sejak awal sampai latihan berakhir. Apakah anak dapat
membedakan benda keras dengan benda lunak atau tidak? Apakah selama mengikuti latihan anak senang atau
tidak?
Revisi program : berdasarkan evaluasi apabila selama mengikuti latihan tidak ada perkembangan dan anak-anak
tidak merasa senang, maka program harus ditinjau ulang/ direvisi.

2) Fisik
Terapi okupasi bertujuan untuk membantu mengembangkan aspek fisik. Kegiatan yang dapat dilakukan
misalnya: Naik sepeda statis

7
Tujuan umum : mengembangkan kemampuan kesegaran fisik agar dapat berkembang seoptimal mungkin.
Tujuan khusus : melatih kekuatan otot kaki, tangan.
Kegiatan : mengayuh sepeda
Waktu : 1 x pertemuan 30 menit
Pelaksanaan : dilakukan tes kekuatan otot (muscle test), anak disuruh mengayuh sepeda statis dibimbing guru.
Pada saat pelaksanaan latihan mengayuh sepeda diselingi istirahat.
Evaluasi : dilakukan test kekuatan otot (muscle test). Selama mengikuti kegiatan ada peningkatan kekuatan otot
kaki, otot tangan atau tidak?
Revisi program : berdasarkan evaluasi apabila kekuatan otot kaki, otot tangan tidak meningkat, maka program
harus ditinjau ulang/ direvisi.

3) Kognitif
Terapi okupasi bertujuan untuk membantu mengembangkan aspek kognitif. Kegiatan yang dapat dilakukan
misalnya: Senam diiringi musik
Tujuan umum : mengembangkan kemampuan kognitif
Tujuan khusus : memusatkan perhatian pada focus (senam diiringi musik).
Kegiatan : senam irama
Waktu : 1 x pertemuan 30 menit
Pelaksanaan : guru memberi contoh gerakan senam diiringi musik, anak disuruh melakukan senam diiringi
musik dibimbing guru.
Evaluasi : evaluasi dilakukan melalui pengamatan sejak awal sampai latihan berakhir. Apakah anak dapat
senam diiringi musik atau tidak? Apakah selama mengikuti latihan anak senang atau tidak?
Revisi program : berdasarkan evaluasi apabila anak tidak mengikuti senam diiringi musik, maka program harus
ditinjau ulang/ direvisi.

4) Parawatan diri/ activity daily living (ADL)


Terapi okupasi bertujuan untuk membantu mengembangkan aspek Parawatan diri/ activity daily living (ADL).
Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya: Memakai baju
Tujuan umum : mengembangkan kemampuan merawat diri sendiri
Tujuan khusus : meningkatkan kemampuan memakai baju sendiri
Kegiatan : memakai baju
Waktu : 1 x pertemuan 15-20 menit
Pelaksanaan : guru memberi contoh cara menanam bunga, anak disuruh menanam bunga di kebun
Evaluasi : evaluasi dilakukan melalui pengamatan sejak awal sampai latihan berakhir. Apakah anak dapat

8
melakukan pekerjaan berkebun atau tidak? Selam mengikuti kegiatan anak merasa senang atau tidak?
Revisi program : berdasarkan evaluasi apabila anak tidak melakukan kegiatan berkebun, maka program harus
ditinjau ulang/ direvisi

5) Produktivitas
Terapi okupasi bertujuan untuk membantu mengembangkan aspek produktivitas. Kegiatan yang dapat
dilakukan misalnya: Berkebun
Tujuan umum : mengembangkan kemampuan ketrampilan produktif
Tujuan khusus : mengembangakan kemampuan berkebun
Kegiatan : menanam bunga
Waktu : 1 x pertemuan 30-45 menit
Pelaksanaan : guru memberi contoh cara memakai baju dengan benar, anak disuruh memakai baju dengan
benar.
Evaluasi : evaluasi dilakukan melalui pengamatan sejak awal sampai latihan berakhir. Apakah anak dapat
memakai baju atau tidak?
Revisi program : berdasarkan evaluasi apabila anak tidak dapat memakai baju dengan benar, maka program
harus ditinjau ulang/ direvisi.

b. Play therapy (Terapi bermain)


Terapi yang diberikan kepada anak retardasi mental dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran
tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-beli.

c. Life Skill (Keterampilan hidup)


Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah rata-rata biasanya tidak
diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak retardasi mental yang memiliki IQ dibawah rata-rata,
mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka diberikan
pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan
keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.

d. Vocational Therapy (Terapi Bekerja)

9
Selain diberikan latihan keterampilan. Anak retardasi mental juga diberikan latihan kerja. Dengan bekal
keterampilan yang telah dimilikinya, anak retardasi mental diharapkan dapat bekerja.

2.7 Penyebab retardasi mental

1. Trauma (sebelum dan sesudah lahir) : pendarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir; cedera
hipoksia (kekurangan oksigen) sebelum, selama atau sesudah lahir; cedera kepala yang berat.
2. Infeksi (bawaan dan sesudah lahir) : Rubella kongenitalis, Meningitis, infeksi sitomegalovirus bawaan,
Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis, Listeriosis, infeksi HIV.
3. Kelainan kromosom : kesalahan pada jumlah kromosom (Sindroma Down), defek pada kromosom
(sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Will).
4. Kelainan genetik dan kelainan metabolik yang diturunkan: Galaktosemia, penyakit Tay-Sachs,
Fenilketonuria ,Sindroma Hunter, Sindroma Hurler, Sindroma Santifilipo, Leukodistrofi metakromatik,
Adrenoleukodistrofi, Sindroma Lesch-Nyhan, Sindroma Rett, Sklerosis tuberosa.
5. Metabolik: Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatrenik, Hipotiroid kongenital, Hipoglikemia (Diabetes
melitus yang tidak terkontrol dengan baik).
6. Keracunan: pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil; keracunan
metilmerkuri, keracunan timah hitam.
7. Gizi: Kwashiorkor, Marasmus, Malnutrisi.
8. Lingkungan: kemiskinan, status ekonomi rendah, sindroma deprivasi

2.8 Penanganan Retardasi Mental.

Penanganan anak dengan retardasi mental memerlukan integrasi multidisiplin untuk membantu anak-anak ini:

a) Remedial Teaching, perlu pengulangan secara terus menerus di berbagai situasi dan kesempatan untuk
membantu mereka memahami hal-hal yang baru dipelajari.

b) Pelayanan Pendidikan, pendidikan merupakan aspek yang paling penting berkaitan dengan treatment
pada anak penderita retardasi mental. Pencapaian hasil yang “baik” bergantung pada interaksi antara guru
dan murid. Program pendidikan harus berkaitan dengan kebutuhan anak dan mengacu pada kelemahan dan
kelebihan anak.

10
c) Target pendidikan, tidak hanya berkaitan dengan bidang akademik saja. Secara umum, anak penderita
retardasi mental membutuhkan bantuan dalam memperoleh pendidikan dan keterampilan untuk mandiri.

d) Kebutuhan-kebutuhan Kesenangan dan Rekreasi idealnya, anak penderita retardasi mental dapat
berpartisipasi dalam aktivitas bermain dan rekreasi. Ketika anak tidak ikut dalam aktivitas bermain, pada
saat remaja akan kesulitan untuk dapat berinteraksi sosial dengan tepat dan tidak kompetitif dalam aktivitas
olahraga. Partisipasi dalam olahraga memiliki beberapa keuntungan, yaitu pengaturan berat badan,
perkembangan koordinasi fisik, pemeliharaan kesehatan kardiovaskular, dan peningkatan self-image
(gambaran diri).

e) Kontrol Gangguan Tingkah laku, gangguan tingkah laku dapat dihasilkan dari ekspektasi/harapan orang
tua yang tidak tepat, masalah organik, dan atau kesulitan keluarga. Kemungkinan lain, gangguan tingkah
laku dapat muncul sebagai usaha anak untuk memperoleh perhatian atau untuk menghindari frustrasi.
Dalam mengukur tingkah laku, kita harus mempertimbangkan apakah tingkah lakunya tidak sesuai dengan
usia mental anak, daripada dengan usia kronologisnya. Pada  beberapa anak, mereka memerlukan teknik
manajemen tingkah laku dan atau penggunaan obat.

f) Mengatasi Gangguan, jika terdapat gangguan lain- Cerebral palsy; gangguan visual & pendengaran;
gangguan epilepsi; gangguan bicara dan gangguan lain dalam bahasa, tingkahlaku dan persepsi- maka yang
harus dilakukan untuk mencapai hasil yang optimal adalah diperlukan terapi fisik terus menerus, terapi
okupasi, terapi bicara-bahasa, perlengkapan adaptif seperti kaca mata, alat bantu dengar, obat anti epilepsi
dan lain sebagainya.

g) Konseling Keluarga, banyak keluarga yang dapat beradaptasi dengan baik ketika memiliki anak yang
menderita retardasi mental, tetapi ada pula yang tidak. Diantaranya karena faktor-faktor yang berkaitan
dengan kemampuan keluarga dalam menghadapi masalah perkawinan, usia orang tua, self-esteem (harga
diri) orang tua, banyaknya saudara kandung, status sosial ekonomi, tingkat kesulitan, harapan orang tua &
penerimaan diagnosis, dukungan dari anggota keluarga dan tersedianya program-program dan pelayanan
masyarakat.

Tujuan Penanganan, tujuan penanganan anak retardasi mental yang utama adalah mengembangkan
potensi anak semaksimal mungkin. Sedini mungkin diberikan pendidikan dan pelatihan khusus, yang meliputi
pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial untuk membantu anak berfungsi senormal mungkin. Pencarian
bakat dan minat juga perlu digali dan dikenali agar anak dapat diarahkan pada latihan dan keterampilan yang
dapat menunjang kehidupan mereka selanjutnya. Banyak cara dan variasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi

11
kesulitan adaptasi pada penderita retardasi mental, baik intervensi pribadi atau kombinasi. Terapi perilaku
berguna untuk membentuk tingkah laku sosial, mengontrol perilaku agresif atau tingkah laku yang merusak.

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan

Manajemen terapi yang mungkin diberikan pada anak dengan retardasi mental diantaranya :
1. Dokter anak memeriksa fisik anak secara lengkap dan mengobati kelainan/penyakit yang mungkin ada.

Adapun pencegahan yang mungkin dilakukan yaitu :


a. Preventif primer :
Memberikan perlindungan spesifik terhadap penyakit tertentu (imunisasi)
Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup sehat

b. Preventif Sekunder :
Mendeteksi penyakit sedini mungkin.
Diagnosis dini PKU (fenilketonuria) dan hipotiroid ditanggulangi (untuk mencegah kerusakan lebih lanjut).
Koreksi defek sensoris kemudian dilakukan stimulasi dini (stimulasi sensoris, speech therapist)

2. Psikolog untuk menilai perkembangan mental terutama kognitif anak.


3. Pekerja sosial untuk menilai situasi keluarga bila dianggap perlu. Setelah dilakukan penilaian, dirancang
strategi terapi, mungkin perlu dilibatkan lebih banyak ahli. Misalnya ahli saraf anak bila menderita epilepsy,
palsi serebral dll. psikiater bila anaktersebut menderita kelainan tingkah laku ; fisioterapis untuk merangsang
perkembangan motorik dan sensorik ; ahli terapi bicara serta guru pendidikan luar biasa.

B. Saran
Mahasiswa dapat menegetahui teknik-teknik pemberian terapi retardaso mental

12
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/312199231_Retardasi_Mental
https://failashofagmail.wordpress.com/2011/05/05/diagnostik-anak-retardasi-mental-rm/
http://www.academia.edu/35323208/ANAK_BERKEBUTUHAN_KHUSUS_-
_RETARDASI_MENTAL_TUNAGRAHITA_
https://autismecare.wordpress.com/2012/12/19/terapi-retardasi-mental/

13

Anda mungkin juga menyukai