Anda di halaman 1dari 4

CSIS Commentaries is a platform where policy researchers and analysts can present their timely analysis on various strategic

issues
of interest, from economics, domestic political to regional affairs. Analyses presented in CSIS Commentaries represent the views of
the author(s) and not the institutions they are affiliated with or CSIS Indonesia.

CSIS Commentaries DMRU-006


21 March 2020

Stimulus COVID-19
Dato’ Sri Tahir
Pendiri Mayapada Group;
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Republik Indonesia
Badri Munir Sukoco
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga

Sejak COVID-19 diumumkan sebagai pandemi global oleh Direktur Jenderal World Health Organization
(WHO) 11 Maret lalu, tingkat kekhawatiran akan perekonomian dunia semakin meningkat. Hal ini
seiring dengan pesimisme yang disampaikan oleh United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD) bahwa COVID-19 akan membuat perekonomian dunia hilang + US$ 1 triliun dan
pertumbuhan ekonomi dunia di bawah 2%, jauh di bawah prediksi sebelumnya yang mencapai 2,5%
(World Bank, Januari 2020). Selain gangguan supply chain dari- dan ke- China, kebijakan lockdown dan
semi lockdown beragam negara, maupun ketidakpastian yang diakibatkan harga minyak memperparah
kondisi yang ada.
Tanda-tanda akan resesi mulai terlihat dengan memudarnya tingkat kepercayaan pasar terhadap
prospek bisnis yang ada. Per tanggal 16 Maret 2020, Bloomberg melaporkan indeks Dow Jones turun
19%, sedangkan indeks Nikkei turun 27%, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) -33%. Sektor
industri paling terdampak adalah industri penerbangan, di mana International Air Transport Association
(IATA) memprediksi COVID-19 menghilangkan pendapatan sebesar US$113 miliar dikarenakan
sedikitnya orang yang bepergian, baik domestik maupun antar negara. Hal ini tentunya berdampak
pada industri ikutannya, seperti turisme, hotel, restoran, taksi dan lain sebagainya. International Civil
Aviation Organization (ICAO) memprediksi bahwa Jepang akan kehilangan US$1,29 miliar dari
wisatawan China, sedangkan Thailand akan kehilangan US$1,15 miliar.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dalam 2 minggu terakhir kita menyaksikan menurunnya kepercayaan
investor pada kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dari awal tahun,
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 31,09% ke 4.330,67 (19 Maret). Dibandingkan awal
tahun, Rupiah terdepresiasi hingga 15,12% terhadap US$. Hal ini patut dipahami, mengingat
ketidakpastian yang terjadi akan membuat semua orang akan mengubah investasi yang dianggap
memberikan kepastian dengan nilai yang stabil. Selain US$, emas menjadi pelarian yang mengakibatkan
naik hingga 22,41% (19 Maret 2019) dibandingkan 2 Januari 2019.
Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia agar kontraksi ekonomi dapat diminimalisasi?
Richard Kozul-Wright, salah satu Direktur UNCTAD menyarankan tiada lain agar masing-masing
pemerintahan perlu mengeluarkan stimulus untuk menggerakkan ekonomi yang terdampak sangat
keras oleh pandemi COVID-19.
Respons Negara Lain
Presiden Trump mengajukan proposal 3 tahap kepada Kongres Amerika Serikat untuk merespons
pandemi. Pertama, stimulus ekonomi sebesar US$8,3 miliar untuk meminimalisasi pandemi COVID-
19 guna membiayai riset terkait vaksin, stimulus bagi pemerintah negara bagian dan kota untuk
memerangi penyebaran virus, dan mengalokasikan dana untuk mencegah tersebarnya virus ke luar AS.
Kedua, memberikan fasilitas gratis untuk tes COVID-19 bagi yang membutuhkan, cuti darurat yang
dibayar, asuransi yang diperluas bagi penganggur, keamanan makanan, serta peningkatan dana Medicaid.
Selain itu, memperpanjang pembayaran pajak bagi wajib pajak individu maupun badan usaha hingga
90 hari dari 15 April, sehingga dana US$300 miliar terbebaskan selama 3 bulan untuk diputar ulang.
Individu bisa menunda pembayaran pajak hingga maksimal US$1 juta dan badan usaha hingga
maksimal US$10 juta.
Ketiga, stimulus ekonomi sebesar US$ 1 triliun dengan rincian sebagai berikut: membagikan stimulus
ekonomi sebesar $500 miliar melalui pendistribusian US$1,000 (rata-rata, tergantung tingkat
pendapatan dan jumlah keluarga) kepada setiap pembayar pajak (tahap pertama 6 April dan kedua 18
Mei 2020). Tahapan ini juga memberikan bantuan bagi pelaku usaha yang terdampak, misalnya US$50
miliar untuk industri penerbangan dan kargo; US$150 milyar untuk severely distressed sectors berupa
jaminan pinjaman bagi sektor pariwisata, khususnya perhotelan dan cruise ship; US$300 miliar untuk
garansi 100% bagi pinjaman sektor UKM agar ada kontinuitas pekerjaan dengan 500 karyawan atau
kurang.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, tanggal 12 Maret mengumumkan stimulus ekonomi
sebesar A$17,6 miliar dengan tujuan utama agar warga negara Australia tetap memiliki pekerjaan dan
pebisnis (khususnya UKM) tetap berbisnis. Terdapat 4 bagian stimulus ekonomi: Pertama, mendukung
investasi bisnis (A$3,9 miliar). Kedua, menyediakan bantuan arus kas (pinjaman) agar UKM tetap
berbisnis (A$6,7 miliar) dan mempertahankan pegawainya bekerja (A$1,3 miliar). Ketiga, membantu
sektor bisnis, kota, dan komunitas yang terdampak berat sebesar A$1 miliar. Keempat, stimulus A$4,8
miliar bagi rumah tangga (pensiunan, veteran, social security, dan lain yang mendapatkan bantuan selama
ini) yang akan memberikan kemanfaatan bagi ekonomi Australia secara keseluruhan.
Korea Selatan mengumumkan stimulus ekonominya pada 4 Maret 2020 sebesar 11,7 triliun won
(setara dengan US$9,8 miliar) untuk memulihkan perekonomiannya. Sama dengan negara lain, Menteri
Keuangan Hong-Nam Ki akan memfokuskan pada sektor perekonomian yang rentan, UKM dan
sektor informal lainnya. Penutupan defisit pendapatan negara menghabiskan 3,2 triliun won,
sedangkan layanan kesehatan dan karantina diberikan alokasi sebesar 2,3 triliun won, UKM yang
kesulitan membayar pegawainya dan subsidi perawatan anak sebesar 3 triliun won, sisanya digunakan
untuk injeksi fiskal.
Bagaimana dengan China, negara asal pandemi COVID-19? Meskipun sampai saat ini belum
diumumkan stimulus keuangan, namun lewat People’s Bank of China (PBOC), bank sentral China, pada
3 Februari 2020 memperpanjang pinjaman sebesar US$174 miliar untuk membuat pasar uang stabil
dan perbankan memiliki cash on hand. Besoknya, jumlah tersebut ditambah sebesar US$71 miliar. Selain
mengurangi lending facility rate pada 16 Februari, pada 13 Maret persyaratan cadangan bank yang bisa
dipinjamkan ke sektor riil diturunkan sebesar US$79 miliar.
Hal yang sama juga dilakukan negara-negara lain dengan menyediakan stimulus ekonomi, seperti
Jepang, Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Kanada. International Monetary Fund (IMF) menyediakan US$50
miliar pada 4 Maret, di mana US$10 miliar adalah pinjaman dengan bunga 0% bagi negara anggotanya.
Bahkan IMF menjanjikan bisa memobilisasi pinjaman hingga US$1 triliun bila diperlukan, di mana
masing-masing anggota bisa meminjam hingga US$1 miliar (dari US$400 juta kapasitas maksimal saat
ini). Bank Dunia pada 3 Maret mengeluarkan paket awal pinjaman sebesar US$12 miliar untuk negara-
negara yang terdampak oleh COVID-19, di mana US$ 8 miliar adalah pinjaman baru dan sisanya
merupakan perpanjangan dari pinjaman saat ini yang tersalurkan.
Penutup
Dari fakta terbaru hingga 19 Maret 2020 di atas (bisa jadi kebijakan pemerintahan di atas berubah
seiring dinamika perekonomian dunia dan politik di dalam negeri masing-masing), secara umum ada 5
macam stimulus yang dilakukan oleh masing-masing negara. Pertama, stimulus untuk mendukung
penguatan layanan kesehatan dan dana operasional untuk mengefektifkan kebijakan lockdown atau semi
lockdown yang diambil.
Kedua, memberikan bantuan langsung tunai bagi warga negara (tentunya disesuaikan dengan level
pendapatan dan jumlah keluarga yang ditanggung) untuk memampukan mereka berkonsumsi sekaligus
menggerakkan sektor riil di domestik.
Ketiga, memberikan stimulus bagi UKM yang memiliki porsi terbesar dan paling terdampak dengan
menjamin pinjamannya atau penggajian pegawainya agar tidak di-PHK. Keempat, memberikan
stimulus bagi sektor-sektor perekonomian yang paling terdampak dan dipastikan akan bangkrut dan
memperbesar jumlah pengangguran yang ada. Kelima, memberikan stimulus pengurangan suku bunga,
mengurangi persyaratan cadangan bank, maupun memberikan stimulus pajak bagi individu maupun
badan usaha.
Hal-hal praktis yang membuahkan hasil cepat harus segera dilakukan di sektor-sektor berpotensi.
Pertama, pembukaan sektor kelautan untuk menangkap ikan-ikan dan disertai dengan investasi
penyimpanan dingin (cold storage) dan pengalengannya. Kedua, di sektor pertambangan, relaksasi
perijinan ekspor dan investasi harus ditempuh, paling tidak di saat masa penanganan COVID-19 di
RI. Ketiga, industri padat karya juga harus diberi prioritas supaya mereka semakin mampu dan
dimantapkan untuk menyerap tenaga kerja. Bisa ditempuh dengan tax holiday untuk periode tertentu.
Contoh jika ada pabrik atau usaha yang bisa menunjukkan punya karyawan +/- 2000 atau lebih,
pemerintah berikan tax holiday. Ini untuk merangsang keberanian investasi dan membuka usaha yang
bisa menampung banyak tenaga kerja. Keempat, COVID-19 juga mengancam sektor pariwisata, suatu
sektor unggulan RI. Oleh karena itu investasi di sektor pariwisata harus diberi insentif yang agresif,
sebagai contoh pembebasan corporate tax untuk beberapa tahun. Kelima, hal pragmatis lain yang juga
tidak kalah penting: UMKM menyumbang sebesar 60 % pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka
perlu menerima bantuan kredit murah yang lebih terjangkau dari KUR, idealnya +/- 2% untuk
UMKM. Keenam, data menunjukkan merosotnya penjualan properti, contoh, penjualan properti
residensial kontraksi 16,33%. Sektor strategis ini juga perlu distimulasi. Restriksi yang ada pada
pengaturan kepemilikan tanah dan bangunan, dan juga pajak-pajak terkait juga harus direlaksasi, supaya
ada capital masuk ke Indonesia. Ketujuh, investasi di sektor yang dapat memperkuat ketahanan pangan,
seperti pertanian, pembudidayaan ikan, juga diberi fasilitas kredit murah, mungkin 2% per tahun.
Semua kepala negara dan kepala pemerintahan menyadari Pandemi COVID-19 adalah fenomena
global yang serius. Sebagaimana pembuka pidato Kanselir Jerman, Angela Merkel, “Es ist Ernst (This
is serious).” Tentu Pemerintah Indonesia akan “take it seriously.” Melihat pergerakan nilai tukar rupiah
dan turunnya IHSG yang cukup dalam, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan paket-paket stimulus
yang lebih serius agar tingkat kepercayaan masyarakat dan pelaku bisnis meningkat. Dan yang utama
adalah menjadikan rumah tangga dan UKM tetap dapat berkonsumsi di tengah pandemi COVID-19.
Beberapa berita positif terkait ditemukannya vaksin COVID-19 dalam 2 minggu terakhir cukup
melegakan, baik oleh tim riset di China, Jepang, maupun Australia. Namun sebagian besar ahli
menyatakan bahwa COVID-19 akan bersirkulasi antara 4 bulan hingga yang paling parah 2 tahun.
Tentu tidak salah jika Pemerintah Indonesia telah menyiapkan skenario untuk menyikapinya. Dan
tentunya diiringi doa kita semua agar pandemi ini lekas hilang dari bumi kita tercinta.

CSIS Indonesia, Pakarti Centre Building, Indonesia 10160


Tel: (62-21) 386 5532| Fax: (62-21) 384 7517
csis.or.id

Anda mungkin juga menyukai